Anda di halaman 1dari 10

SAKSI DAN HAKIM WANITA DALAM PERADILAN ISLAM1

A. PENDAHULUAN
Di zaman modern layaknya sekarang, perbincangan mengenai boleh atau tidaknya
seorang wanita menjadi saksi dan hakim dalam persidangan peradilan masih menjadi
perbincangan hangat. Terlebih dikalangan orang-orang yang fanatik terhadap suatu paham
tertentu. Jika berbicara mengenai tema ini dalam perspektif islam, pun akhirnya akan timbul
perbedaan pendapat mengenai boleh atau tidak.

Setiap pendapat yang berbeda ini tentu tidak datang begitu saja. Semua berdiri dari
dasar yang sama-sama kuat. Baik dari dalil Kitabullah, sunnah Rasul, maupun dalil-dalil fiqh
yang lain. Perbedaan ini pun dihasilkan dari hasil penelitian mengenai kondisi fisik dan mental
wanita pada zaman dahulu. Wanita zaman dahulu secara fisik lemah jika harus melakukan
tugas-tugas berat layaknya menjadi saksi dalam persidangan ataupun menjadi hakim. Selain
itu kecakapan wanita pada masa Rasul masih kurang karena rendahnya tingkat pendidikan.

Berbanding terbalik dengan kondisi wanita zaman dulu, sekarang wanita telah banyak
yang memiliki kecakapan. Wanita tidak lagi berdiam diri di rumah dan mengerjakan pekerjaan
rumah tangga saja. Wanita zaman sekarang sekolah sampai mendapat gelar-gelar tinggi,
bekerja diinstitusi mapan, dan punya banyak kahlian. Dengan demikian, masih relevankan
perdebatan mengenai boleh atau tidak seorang wanita menjadi saksi atau hakim?

B. PEMBAHASAN
1. SAKSI DAN HAKIM DALAM PERADILAN ISLAM
a. Saksi
Menurut etimologi saksi disebut syahid (saksi laki-laki) atau syahidah (saksi
perempuan) yang terambil dari kata musyahadah yang artinya menyaksikan dengan mata
kepala sendiri, dan saksi adalah manusia hidup. Sedangkan secara istilah saksi yaitu informasi
yang diberikan oleh orang yang jujur untuk membuktikan kebenaran dengan lafal kesaksian di
dalam majelis persidangan. Oleh karena itu, dalam pengertian kesaksian dapat pula
dimaksudkan kesaksian yang didasarkan atas hasil pendengaran, seperti kesaksian atas
kematian, kecuali kesaksian atas perkara yang mengandung syubhat.

Kemudian menjadi saksi pun mempunyai beberapa syarat, antara lain yaitu:

1
Disusun oleh kelompok 5 (Nevie Hydqani, Shella Syifa Purnama, Syauqi Maulani Alamsyah, dan Ujang
Bawon Sobarna). Dipresentasikan di ruang S-02 Mata Kuliah Pengantar Peradilan Islam Rabu, 27 Maret 2019.
1) Berakal sehat dan baligh (dewasa)
Seorang saksi harus berakal sehat dan baligh berdasarkan kesepakatan fuqaha,
sehingga kesaksian orang yang tidak berkal tidak dapat diterima secara ijma’, seperti
orang gila, orang mabuk, dan anak kecil yang belum dewasa.

2) Merdeka
Ulama Hanafi, Maliki, dan Syafi’i sepakat bahwa saksi harus merdeka sehingga
kesaksian budak tidak diterima. Namun demikian, pengertian merdeka dalam hal ini
adalah tidak ada ancaman ataupun tekanan terhadap saksi.

3) Islam

Fuqaha sepakat bahwa saksi harus beragama Islam, sehingga tidak diterima kesaksian
seorang kafir terhdapa orang Islam. Akan tetapi, ulama Hanafi dan Hanbali
membolehkan saksi kafir dalam masalah wasiat yang dibuat dalam perjalanan.

Dalam praktek hukum acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama, keabsahan
saksi non muslim dipertimbangkan berdasarkan kedudukan saksi tersebut, apakah
sebagai syarat hukum atau sebagai alat pembuktian. Dalam hal saksi sebagai alat
pembuktian, yang diperlukan dalam proses pemeriksaan di pengadilan untuk
memperjelas suatu peristiwa dan kejadian yang dipersengketakan oleh para pihak
yang berperkara, dan bukan masalah yang berhubungan dengan agama seperti dua
orang saksi bergama Islam adalah syarat hukum untuk sahnya perkawinan, maka
kesaksian non muslim dapat diterima.2

4) Tidak buta

5) Adil

6) Netral

b. Hakim

Hakim atau qadhi secara bahasa diambil dari kata hakama-yahkumu-haakimun,


merupakan isim fa’il yang berarti orang yang memberi hukuman. Atau diambil dari kata
Qadha-Yaqdhi-Qhadi’, yang juga merupakan isim fa’il berarti orang yang memutuskan.

2
Abdul Mannan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet. 4 (Jakarta: Kencana,
2006), hlm. 381
Secara istilah, hakim atau qadhi yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara untuk
menjadi hakim atau pemutus perkara seorang hakim berperan dalam pencarian hukum-hukum
yang terdapat dalam dalil-dalil hukum syara’ untuk mnyelesaikan sebuah persoalan.

Adapun syarat-syarat menjadi seorang hakim adalah:

1) Islam
2) Baligh
3) Berakal sehat
4) Merdeka
5) Adil
6) Laki-laki
7) Memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah. Minimal ayat-ayat dan dalil hadits
mengenai hukum syara’
8) Mengetahui ijma’ kalangan ulama dan memahami perbedaan pendapat ulama
9) Menguasai bahasa arab atau sekedar dapat memahami suatu dalil
10) Pandai menjalankan Qiyash
11) Pendengaran dan penglihatan yang cukup
12) Sadar.3

2. SAKSI WANITA DALAM PERALIAN ISLAM


Sebagaimana dalam beberapa ayat di al-Quran terdapat penyebutan tentang
saksi wanita yaitu:

a. Apabila mereka telah mendekati masa iddahnya, maka rujukilah mereka dengan
baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan keluar. (QS att-Thalaq: 2)

b. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah salah
seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis

3
Rasyid, H. Sulaiman, Fiqh Islam, cetakan ke-80 (Bandung: Sinar Baru Algensindo) hlm. 487
enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya. Maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan apa yang akan ditukus
itu, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan jangan ia mengurangi
sedikit pun dari utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau
lemah keadaannya atau ia sendiri tidak mampu mengimlakan, hendaklah walinya
mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari laki-laki
diantaramu. Dan jika tidak ada dua orang laki-laki maka boleh dengan seorang laki-
laki dan dua orang wanita dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa,
yang seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan memberi
keterngan apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil
disisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
menimbulkan keraguanmu. Tulislah muamalah itu, kecuali jika muamalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kami maka tidak ada dosa bagi kamu,
jika kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli, dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu melakukan yang
demikian, sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah
kepada Allah, Allah mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS al-
Baqarah: 282)

Dalam penggalan terjemahan QS al-Baqarah: 282 yang mengatakan “di antara para
saksi yang kamu ridhai” bahwasanya adanya syarat berupa sifat adil pada saksi. Dan
terjemahan “jika tidak ada dua orang laki-laki maka boleh dengan seorang laki-laki dan dua
orang perempuan” bahwasanya apabila tidak ada dua orang laki-laki maka boleh dengan
seorang laki-laki dan dua orang perempuan, agar bila saksi yang satu khilaf maka saksi yang
perempuan yang satunya mengingatkannya.4

Menurut Imam Syafi’I kesaksian perempuan itu tidak dapat diterima kecuali pada dua
tempat, yaitu:

a. Pada kasus dimana seorang laki-laki memiliki hak berupa harta pada laki-laki
yang lain. Namun kesaksian mereka dalam kasus ini tidak diterima, kecuali ada bersama
mereka seorang laki-laki yang turut memberikan kesaksian dan jumlah mereka minimal dua

4
Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid I, Gema Insani, hlm.
466.
orang karena Allah Swt mempersyaratkan diterimanya kesaksian dua wanita apabila bersama
mereka seorang laki-laki yang turut memberikan kesaksian.

b. Pada kasus dimana laki-laki tidak boleh atau tidak dapat melihat yaitu seperti
melihat aurat kaum wanita. Sesungguhnya dalam masalah ini kesaksian mereka dapat diterima
tanpa disertai oleh kesaksian laki-laki. Akan tetapi kesaksian mereka dalam masalah ini tidak
diterima bila jumlahnya kurang dari emppat orang. Hal ini di qiyaskan kepada hukum Allah
Swt sehubungan dengan mereka dimana Allah Swt menjadikan dua wanita menempati posisi
satu orang laki-laki dan dua saksi perempuan. Apabila perempuan memberi kesaksian secara
tersendiri maka kedudukan dua saksi laki-laki dapat diganti oleh empat perempuan.5

Menurut al-Syaukani, kesaksian perempuan dalam penetapan hukuman qisas dapat


diterima dengan syarat jumlahnya dua orang dan disertai laki-laki. Menurut al-Ghazali, pada
pembunuhan tidak sengaja (Qatl al-Khata) dan semua pelukaan (al-Jarb) yang tidak
mewajibkkan diyat selain harta saksinya,boleh terdiri atas satu orang laki-laki dan dua
perempuan. Hal ini karena ia memasukkan masalah tersebut dalam masalah yang berhubungan
dengan harta. Sedangkan Imam Syafi’I hanya membolehkan kesaksian perempuan dalam
pelukaan (al-Jarb) yang tidak ada hukuman qisasnya, baik yang dilakukan dengan sengaja
maupun tidak. Akan tetapi syaratnya haruslah disertai laki-laki.

Jadi, mayoritas fuqaha sepakat bahwa dalam tindak pidana pembunuhan, khususnya
yang hukuman krisis, syarat saksi haruslah laki-laki karena kesaksian perempuan dalam
masalah ini tidak diterima karena keasksian perempuan mengandung unsur syubhat, berup
badal (keraguan dalam pergantian). Namun demikian, para ulama juga menerima kesaksian
perempuan dalam masalah pembunuhan jika terdapat bukti-bukti yang jelas dan nyata untuk
menetapkan kebenaran itu, sedangkan hakim bisa memercayainya.6 Adapun masalah had zina
ulama bersepakat bahwa masalah tersebut hanya dapat ditetapkan minimal dengan kesaksian
empat orang laki-laki merdeka, adil, dan beragama Islam.

Dalam masalah yang tidak diketahui kecuali kaum perempuan, kesaksian kaum
perempuan saja dapat diterima tanpa harus kesaksian seorang laki-laki. Namun mengenai
batas-batas masalah yang dimaksud ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Hanafi kesaksian
kaum perempuan saja dapat diterima dalam hal kelahiran, keperawanan, cacat yang dimiliki

5
Imam Syafi’I Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan kitab Al-Umm (Buku 3 Jilid 7-8), Jakarta,
Pustaka Azzam, 2006, hlm. 48.
6
Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, hlm. 162.
kaum perempuan, tetapi dalam masalah penyusuan, dan tangis bayi pada saat kelahiran dalam
hubungannya untuk mendapat warisan, kesaksian kaum perempuan saja tidak diterima.
Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Hanbali kesaksian perempuan saja
dapat diterima dalam masalah yang tidak diketahui oleh kaum laki-laki secara umum seperti
keperawanan, kelahiran, haid, pernyusuan, tangisan bayi pada saat kelahiran, dan cacat yang
dimilki perempuan dibalik pakaian.

Allah Swt telah menjadikan kedudukan seorang perempuan adalah setengah dari laki-
laki dalam berbagai hukum yang ada dalam syari’at, yaitu:

a. Muamalah

b. Warisan dalam hal diyat

c. Aqiqah

d. Perbudakan

Hanya Allah Swt yang mengetahui hikmah dibolehkannya mengajukan saksi


perempuan dalam kasus yang berkaitan dengan harta benda. Sebab perempuan sering kali
berkecimpung dalam hal muamalah. Maka dari itu, masalah ini selain dikuasai laki-laki juga
dapat dimengerti oleh kalangan perempuan. Jadi dalam hal ini perempuan boleh menjadi saksi.

Dalam hal kesaksian kaum perempuan saja, ulama berbeda pendapat mengenai jumlah
saksi wanita. Ulama Imam Hanafi dan Hanbali berpendapat kesaksian kaum perempuan saja
yang adil dapat diterima. Ulama Imam Malik mensyaratkan dua orang saksi perempuan
sedangkan ulama Imam Syafi’I mensyaratkan minimal empat orang saksi perempuan.

3. HAKIM WANITA DALAM PERADILAN ISLAM

Pembicaraan mengenai boleh tidaknya seorang wanita menjabat menjadi seorang


hakim adalah masalah khilafiah. Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam memutuskan
masalah ini. Ada kalangan ulama yang melarang secara mutlak wanita menjadi hakim (baik
dalam perkara pidana maupun perdata); ada yang membolehkan seorang wanita menjadi hakim
hanya dalam perkara perdata dantidak dalam perkara pidana; serta adapula yang membolehkan
secara mutlak seorang wanita menjadi hakim (baik dalam perkara pidana maupun perdata).
Perbedaan yang terjadi bukanlah tanpa sebab. Setiap kalangan dengan pendapatnya
berdasar pada dalil-dalil hukum yang diyakini. Selain perbedaan dalil syara’, adakalanya para
ulama berbeda dalam menggunakan kaidah Ushul fiqh sehingga hasil pemikiran pun akan
berbeda pula. Berikut adalah tiga pendapat kalangan ulama dalam ihwal wanita menjadi
seorang hakim.

a. Melarang secara mutlak

Yang dimaksud melarang secara mutlak adalah tidak bolehnya seorang wanita
menjadi hakim dalam perkara apapun, baik pidana maupun perdata. Pendapat ini
dipegang oleh kalangan ulama Jumhur (Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Dalil yang
dipegang kalangan jumhur adalah HR al-Bukhari, yakni:

‫لن يفلح قوم ولو أمرهم امرأة‬


Tidak akan memperoleh kejayaan suatu kaum yang menyerahkan urusan
mereka kepada wanita. (HR al-Bukhari)

Kalangan Jumhur menyatakan bahwa redaksi hadits tersebut berupa khabar atau
berita, namun makna isinya berupa larangan, yaitu melarang umat agar jangan
menyerahkan segala urusan kehidupan kepada wanita. Segala urusan yang
dimaksud termasuk urusan peradilan.

Kemudian pendapat ini lahir karena kalangan jumhur menggunakan kaidah ushul
fiqh yang menyatakan bahwa “larangan menunjukan kepada haram” serta
“larangan menunjukan rusaknya yang dilarang”. Karena Jumhur meyakini
bahwa makna hadits Bukhari diatas adalah sebuah larangan maka mereka
menyimpulkan bahwa wanita haram hukumnya menjadi hakim dan karena
dilarang maka tidak mungkin diperintahkan.

Kalangan Jumhur pun menilai bahwa wanita kurang mampu dan memiliki
kelemahan baik fisik maupun akal sehingga tidak mungkin dapat menyelesaikan
perkara persidangan. Tiga dalih inilah yang kemudian memperkuat pendapat
Jumhur bahwa wanita tidak boleh menjadi hakim secara mutlak.

b. Membolehkan dalam perkara perdata saja.

Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah pendiri azhab fiqh hanafiyah.
Sebenarnya, dalil hukum syara’ yang digunakan Imam Abu Hanifah adalah sama
dengan kalangan Jumhur yakni HR al-Bukhari. Imam Abu Hanifah pun
membenarkan bahwa redaksi hadits tersebut merupakan khabar yang bermakna
larangan. Namun, letak perbedaan antara Imam Abu Hanifah dengan Jumhur
ulama ialah penggunaan kaidah Ushul fiqh yang berbeda.

Menurut kaidah fiqh hanafi, “larangan tidak menunjukan kepada rusaknya yang
dilarang, bahkan menunjukkan kepada sahnya yang dilarang”, sebab tidak akan
terjadi sebuah larangan terhadap sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Atas dalih
ini, akhirnya kalangan Fuqaha (hanafiyah) membolehkan wanita menjadi hakim
dalam peradilan. Namun hanya perkara perdata saja yang diperbolehkan untuk
diselesaikan oleh wanita.

Alasan diperbolehkannya wanita menyelesaikan perkara perdata dan tidak


diperbolehkannya wanita menyelesaikan perkara pidana adalah Qiyash Imam Abu
Hanifah tentang persoalan hakim wanita kepada persoalan saksi wanita, dimana
wanita boleh menjadi saksi dalam perkara transaksi jual beli dan pernikahan
(perdata) dan keharusan kesaksian laki-laki terhadap perkara kriminal (pidana).

c. Membolehkan secara mutlak

Pendapat ini merupakan pendapat yang paling kontemporer yang dikemukakan


oleh Ibnu Hazm dan Ibnu Zahiri ath-Thabrani. Ibnu berpegang pada ayat Al-
Qur’an yang berbunyi:

ِ َّ‫ت ِإلَى أ َ ْه ِل َها َو ِإ َذا َح َك ْمت ُ ْم بَيْنَ الن‬


‫اس‬ ِ ‫هللا يَأ ْ ُم ُر ُك ْم أَن ت ُ َؤدُّوا اْأل َ َمانَا‬
َ ‫ِإ َّن‬
‫يرا‬
ً ‫ص‬ ِ َ‫س ِميعًا ب‬ َ َ‫هللا َكان‬ َ ‫ظ ُك ْم بِ ِه ِإ َّن‬ َ ‫أ َ ْن ت َ ْح ُك ُموا بِ ْالعَ ْد ِل ِإ َّن‬
ُ ‫هللا نِ ِع َّما يَ ِع‬

... Apabila kamu memutuskan perkara diantara manusia maka hendaklah


kamu putuskan dengan adil. (Q.S. an-Nisa (4):58)

Ibnu Hazm menggunakan pendekatan nahwu dalam memahami tujuan ayat

tersebut. Dhamir yang terdapat dalam kata ‫ َح َك ْمت ُ ْم‬mencakup gender pria dan
wanita. Atas dasar inilah Ibnu Hazm menyatakan bahwa perintah untuk
menyelesaikan perkara manusia (menjadi hakim) tidak hanya berlaku bagi pria
saja, tapi berlaku pula pada wanita. Dan atas dasar ini maka wanita sah hukumnya
menjadi seorang hakim.
Kemudian dalam menyikapi dalil hadits yang dipegang kaum Jumhur, Ibnu Hazm
berbeda pendapat mengenai makna dari hadits. Karena redaksi hadits adalah
sebuah khabar maka makna nya pun bukan merupakan larangan atau perintah.
Terlebih hadits tersebut di latar belakangi oleh peristiwa diangkatnya seorang ratu
dari dinasti persia. Sehingga menurut Ibnu Hazm, kata ‘kaum’ dalam hadits
tersebut hanya ditujukan pada bangsa persia.

Selain itu pendapat Ibnu Hazm diperkuat oleh Ibnu Jarir at-Thabiri yang
mengemukakan bahwa wanita zaman sekarang sudah banyak yang memiliki
kecakapan dan kemampuan dalam ihwal menjadi hakim tidak seperti wanita-
wanita pada zaman Rasulullah, dimana kebanyakan wanita tidak berpendidikan
dan tidak memiliki kemampuan dalam menyelesaikan sebuah perkara. Selain itu
tidak ada satupun ayat dalam Al-Qur’an yang menyatakan secara tegas larangan
wanita menjadi hakim. Ibnu Jarir ath-Thabrani juga mengqiyashkan masalah
masalah peradilan kepada masalah fatwa bahwa wanita boleh menjadi mufti.7

C. KESIMPULAN

Perbedaan pendapat mengenai boleh atau tidaknya seorang wanita menjadi saksi
ataupun hakim nampaknya sudah bukan menjadi topik yang relevan diperdebatkan. Kemajuan
zaman dengan modernisasi tekhnologi telah mengizinkan wanita untuk mengembangkan
potensi dirinya. Pendapat kontemporer menyatakan bahwa jika seorang wanita mampu dan
telah cakap dalam menjadi saksi maupun hakim maka tidak ada larangan lagi baginya.

7
Drs. H.A.Basiq Djalil, S.H., M.A., Peradilan Islam, cetakan 1 (Jakarta: AMZAH), hlm. 67-71
DAFTAR PUSTAKA

Manan, Abdul. Penerapan hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta:
Kencana, 2006.
Rasyid, H. Sulaiman, Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2017.

Ar-Rifa’i, Muhammad Nashib, Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid I,
Gema Insani, 1999.

Imam Syafi’I Abu Abdullah Muhammad bin Idris, Ringkasan kitab Al-Umm, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2006.

Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, Ghalia Indonesia, 2011.

Drs. H.A.Basiq Djalil, S.H., M.A., Peradilan Islam, Jakarta: AMZAH, 2012

Anda mungkin juga menyukai