Anda di halaman 1dari 3

IBNU BAJJAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu : 1. Pak.Ahsannudin

1183010110 Riyan Ramdhana

JURUSAN HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2019
IBNU BAJJAH
Biografi
Ibnu Bajjah atau lengkapnya Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin ash-Shayigh at-Tujibi bin
Bajjah adalah seorang astronom,filsuf,musisi,dokter,fisikawan,psikolog,botanis,sastrawan, dan
ilmuwan Muslim Andalusia yang dikenal di Barat dengan nama latinnya Avempace. Ia lahir di
Zaragoza, tempat yang kini bernama Spanyol, dan meninggal di Fez pada 1138.
Pemikirannya memiliki pengaruh yang jelas pada Ibnu Rushdi dan Yang Besar Albert.
Kebanyakan buku dan tulisannya tidak lengkap (atau teratur baik) karena kematiannya yang
cepat. Ia memiliki pengetahuan yang luas pada kedokteran, Matemaika, dan Astronomi.
Sumbangan utamanya pada filsafat Islam ialah gagasannya pada Fenomenologi Jiwa, namun
sayangnya tak lengkap.
Ekspresi yang dicintainya ialah Gharib dan Motivahhed, ekspresi yang diakui dan terkenal
dari Gnostik Islam. Para ahli sejarah memandangnya sebagai orang yang berpengetahuan luas
dan mampu dalam berbagai ilmu. Fath Ibnu Khayan yang telah menuduh Ibnu Bajjah sebagai
ahli bid’ah dan mengecam pedas dalam karyanya (Qawa’id al-Iqyan) pun mengakui kekuasaan
Ilmu Pengetahuannya dan tidak pernah meragukan kepandaiannya. Ibnu Bajjah menguasai
sastra, tat bahasa, dan filsafat kuno. Oleh tokoh-tokoh sezamannya, Ibnu Bajjah disejajarkan
dengan al-Syam al-Rais Ibnu Sina.
Selain menguasai beragam ilmu, Ibnu Bajjah pun dikenal pula sebagai politikus ulung.
Kehebatannya dalam berpolitik mendapat perhatian dari Abu Bakar Ibrahim, gubernur Saragosa.
Ia pun diangkat sebagai menteri semasa Abu Bakar Ibrahim berkuasa di Saragosa. Setelah itu,
Ketika kota Saragosa jatuh ketangan raja alfonso 1 di Aragon, Ibnu Bajjah terpaksa pindah ke
kota Seville via Valencia. Di kota ini ia bekerja sebagai Dokter. Kemudian dari sini ia pindah ke
Granada dan selanjutnya berangkat ke afrika utara, pusat kerajaan dinasti murabith barbar.
Setelah itu Ibnu Bajjah berangkat pula ke fez, marokko. Di kota ini ia di angkat menjadi wazir
oleh Abu Bakar yahya ibnu yusuf ibnu tashfin selama 20 tahun. Akhirnya di kota inilah ia
menghembuskan nafasnya yang terakhir pada bulan ramadhan 533 H/1138 M, menurut beberapa
informasi kematiannya ini karena di racuni oleh temannya,”Ibnu Zuhr” dokter termahsyur pada
zaman itu, yang iri hati terhadap kejeniusannya.1

1
M.M. Syarif, dkk (edt), History of Muslim Pholosophy, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963), hlm,.143.
Hasil Karya Ibnu Bajjah
Ibnu Bajjah adalah seorang yang pintar dan mempunyai analisa paling cemerlang,senada yang
di ucapkan oleh Ibnu Thufail bahwa; Ibnu Bajjah adalah seorang filosof Muslim yang paling
cemerlang otaknya, paling tepat analisisnya, dan paling benar pemikirannya. Namun, amat
disayangkan pembahasan filsafatnya dalam beberapa bukunya tidaklah matang dan sempurna.
Ini dikarenakan ambisi kedunianya yang begitu besar dan kematiannya yang begitu cepat.2
Beberapa karya Ibnu Bajjah adalah :
1.Filsafat al-Wada’, berisi tentang ilmu pengobatan
2.Tardiyyan, berisi tentang syair pujian
3.Kitab an-Nafs, berisi tentang catatan dan pendahuluan dalam bahasa Arab
4.Tadbir al-Mutawahhid, rezim satu orang
5.Risalah-risalah Ibnu Bajjah yang berisi tentang penjelasan atas risalah-risalah al-Farabi dalam
masalah logika

Kitab Tadbir al-Mutawahhid


Ini dalah kitab yang paling populer dan penting dari seluruh karya tulisnya. Kitab ini berisikan
akhlak dan politik serta usaha-usaha individu menjauhkan diri dari segala macam keburukan
keburukan dalam masyarakat dan negara, yang disebutnya sebagai Insan Muwahhid (manusia
penyendiri). Menurutnya, dengan cara begitu ia dapat berhubungan dengan Al-‘Alul-Fa’al (Full
Force Mind). Memang benar bahwa hidup memencilkan diri pada hakikatnya lebih baik.
Sebagaimana yang dikatakan olehnya, “untuk itu, orang yang hidup menyendiri, dalam beberapa
segi kehidupannya, sedapat mungkin harus menjauhkan diri dari orang lain kecuali dalam
keadaan mendesak atau terdapat ilmu pengetahuan, kalau ada”. Sikap demikian tidak
bertentangan dengan apa yang disebut dengan ilmu peradaban, dan tidak bertentangan pula
dengan apa yang tampak jelas di dalam ilmu alam. Telah jelas bahwa manusia adalah berada
menurut kodratnya.3

2
Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya,1986), hlm.360.
3
Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Ter. Tim Pustaka Firdaus, Cet. VIII, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1977),hlm.99.

Anda mungkin juga menyukai