Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada periode pertengahan abad keempat inilah terjadi fase taqlid dan
kejumudan, yang membuat gerakan ijtihad dan upaya perumusan undang-
undang sudah berhenti. Semangat kebebasan dan kemerdekaan berfikir para
ulama sudah mati, mereka tidak lagi menjadikan Al-Quran dan hadits menjadi
sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa puas dengan cara
bertaqlid, dan usaha-usaha bagi para Ulama didalam meneliti illat-illat hukum
dan mentarjjih pendapat-pendapat yang bertentangan didalam madzhab.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kondisi Sosial Politik pada masa pertengahan abad ke 4 H?
2. Jelaskan munculnya doktrin tertutupnya pintu ijtihad?
3. Sebuutkan sebab-sebab kebekuan pemikiran fiqih?
4. Apa sajakah usaha-usaha para Ulama’ pada periode ini?
5. Jelaskan Karakteristik fiqih pada periode ini?

C. Tujuan Masalah
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menyelesaikan tugas
tentang Kondisi Sosial Politik dari Pertengahan Abad ke 4 H, dengan munculya
doktrin tertutupnya pintu Ijtihad, dan usaha-usaha para ulama dalam meneliti
illat-illat hukum, serta karakteristik fiqih didalam periode ini.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kondisi Sosial Politik


Pada periode pertengahan abad keempat (tahun 12M), yang berarti
sebagai penutupan periode ijtihad atau periode tadwin (pembukuan). Kondisi
sosial politik yang terjadi pada masa pertengahan abad keempat ini sangat tidak
mungkin bagi fiqh islam untuk maju seperti zaman sebelumnya, bahkan fiqh
mengalami kemunduran disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:

1. Munculnya pergolakan politik dalam negara islam sehingga memberikan


efek negatif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan . Pergolakan politik
ini menghambat para fuqaha’ untuk melakukan perjalanan ilmiah dalam
rangka mencari ilmu ke berbagai negeri yang sebelumnya perjalanan ini
telah memberikan andil yang sangat besar.

2. Para penguasa yang sibuk dengan urusan politik dan peperangan sehingga
kurang memberikan kepada ilmu dan ulama. Negeri-negeri Islam sangat
lemah dari aspek kebebasan berpolitik sehingga mempengaruhi kebebasan
berpikir dan membuat syariat yang merupakan tonggak utama bagi para
fuqaha’ untuk mengembangkan fiqh islam pada zaman sebelumnya. Padahal
spirit kebebasan berpikir inilah yang mendorong Imam Abu Hanifah untuk
mengatakan tentang orang-orang sebelumnya dalam masalah ijtihad dan
istinbat “Mereka lelaki dan kita pun lelaki” dan memotivasi Imam Malik
untuk mengatakan, “semua orang berhak diterima dan ditolak ucapannya
kecuali Rasulullah SAW.”1

Umat Islam menyadari kelemahan dan kemunduran meraka yang sudah


berlangsung semakin lama itu. Gerakan pembaruan ini cukup berpengaruh
terhadap perkembangan fiqih, banyak diantara perkembangan itu juga adalah

1
Rasad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2009), h. 118

2
Ulama-ulama yang berperan penting dalam perkembangan fiqih itu sendiri,
mereka berseru antara umat islam, agar umat islam meninggalkan taklid dan
kembali kepada Al-Quran, hadits dan mengikuti jejak para ulama terdahulu.
Mereka inlah yang disebut sebagai golongan salaf.2

B. Ditutupnya Pintu Ijtihad


Pada pertengahan abad keempat, ditandai dengan menurunnya semangat
ijtihad bagi para Ulama, dan boleh dikatakan langkah bagi Ulama yang
mencapai tingkat mujtahid mutlak atau mandiri, yakni yang sanggup
mengambil hukum-hukum dari Al-Quran dan Hadits tanpa terikat oleh
pendapat satu pemuka mujtahid.
Ulama-ulama pada periode ini cukup puas dengan mengikuti metode-
metode fiqih yang disusun dalam berbagai madzhab, dan lebih senang untuk
memperluas ataupun meringkas masalah yang ada di kitab fiqih madzhab
masing-masing, seperti madzhab maliki, madzhab hanafi, madzhab syafi’i,
madzhab hanbali dan madzhab yang lainnya, dan dapat dikatakan bahwa para
Ulama pada periode ini mencurahkan segala potensinya untuk memperkuat
madzhab-madzhab yang telah ada, yang menjadikan tertutupnya pintu ijtihad
pada periode ini.
Dan dalam waktu yang bersamaan kegiatan-kegiatan dalam bidang fiqih
ditangani oleh orang-orang yang semata-mata mengincar jabatan hakim (qadli)
dengan tanpa keahlian yang memadai. Para Ulama cukup dengan menghafal
hukum-hukum mazhabnya tanpa harus berpikir dan berijtihad atau melakukan
pembaruan dibidang hukum Islam, karena mereka cukup menerapkan
sepenuhnya hukum-hukum yang dihasilkan para Imamnya tanpa melakukan
apa pun.3
Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan beberapa penyebab yang
menjadikan tertutupnya pintu ijtihad, yaitu sebagai berikut:

2
Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 137
3
Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), h. 276

3
1. Ulama merasa lebih baik mengikuti pendapat yang ada didalam madzab,
dari pada mengikuti metode yang dikembangkan oleh imam madzhabnya
untuk melakukan ijtihad.
2. Munculnya buku fiqih yang disusun oleh masing-masing madzhab, dan hal
ini pun yang menyebabkan umat islam hanya mencukupkan diri untuk
mengikuti yang tertulis dari buku-buku tersebut.
Dan pada periode ini banyak orang berani berfatwa, dan menggali hukum
sedangkan mereka sangat jauh dari kefahaman terhadap kaidah dan dalil-dalil
fiqih, yang pada akhirnya mereka berbicara tentang agama yang tanpa ilmu.
Keadaan inilah yang menyebabkan Ulama untuk menutup pintu ijtihad pada
pertengahan abad keempat hijriyah, agar mereka yang mengklaim diri sebagai
mujtahid tidak bisa bertindak leluasa dan dapat menyelamatkan masyarakat
umum dari fatwa yang menyesatkan.4

Dan faktor lain yang menyebabkan tertutupnya pintu ijtihad adalah Para Ulama
dilanda krisis moral yang menghambat mereka, sehingga tidak bisa sampai
pada level orang-orang yang melakukan ijtihad, seperti halnya dikalangan
mereka terjadi saling menghasut dan egois, kalau salah seorang diantara
mereka berusaha mengetuk pntu ijtihad yang berarti akan membuka pintu
kemasyhuran bagi dirinya, dan merendahkan rekan-rekan lainnya, kalau ia
berani berfatwa mengenai suatu masalah menurut pendapatnya, maka para
ulama lainnya meremehkn pendapatnya dan merusk fatwanya dengan berbagai
macam cara. Oleh karena itu, para ulama berusaha untuk tetap menjaga diri
dari adanya tipu daya dari rekan-rekannya dan dari celaan mereka dengan
mengatakan bahwa dia itu tukang taqlid dan tukang kutip saja, dan bukanlah
seorang mujtahid, dengan demikian semangat ijtihad berhenti dan mati,
sehingga tidak ada yang lahir dan tidak terangkat menjadi tokoh-tokoh dalam
dunia fiqih islam, dan kepercayaan ulama terhadap dirinya sendiri menjadi
lemah dan kurang. Demikian pula, kepercayaan masyarakat kepadanya juga
lemah dan kurang, sehingga dengan demikian mereka bertaqlid kepada
madzhab-madzhab imam mujtahid terdahulu

4
Dedi supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 121

4
C. Sebab-sebab kebekuan pemikiran fiqih
Telah disebutkan diawal bahwa kebekuan ijtihad yang disebabkan oleh
beberapa faktor yang sangat komplek, telah menyebabkan kejumu dan
pemikiran fiqih.Berbagai faktor, baik faktor politik, mental, sosial dan
sebagainya. Telah mempengaruhi kegiatan pemikiran ulama pada saat itu
dalam lapangan hukum, sehingga membawa sikap mereka menjadi tidak
sanggup mempunyai orisinalitas kepribadian dan pemikiran sendiri, melainkan
mereka harus selalu bertaqliq, beberapa faktor tersebut antara lain :

1. Pergolongan politik. Chaos politik telah mengakibatkan terpecahnya negeri


islam menjadi beberapa Negara kecil,” sehingga negeri-negeri tersebut
selalum mengalami kesibukan perang, fitnah memfitnah dan hilanghnya
ketentraman masyarakat. Salah satu dampak riilnya adalah kurangnya
perhatian kemajuan ilmu pengetahuan.
2. Pada fase ketiga (pembangunan, perkembangan dan koodifikasi hukum
islam) telah timbul madzhab-madzhab yang mempunyai manhaj dan cara
berfikir sendiri di bawah seseorang imam mujtahid.
3. Kodifikasi pendapat-pendapat madzhab telah memudahkan seseorang untuk
mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapinya. Para fuqaha terpaksa
harus berijtihad karena dihadapkan kepada hal-hal yang tidak ada hukumnya
dalam syara’.
4. Pada masa-masa sebelumnya, para hakim terdiridari orang-orang yang
mampu melakukan ijtihad sendiri, bukan dari pengikut-pengikut mereka,
yang ditunjuk oleh penguasa. Akan tetapi pada masa sesudahnya, hakim-
hakim diangkat dari orang-orang yang bertaqlid, agar mereka memakai
madzhab tertentu (sesuai madzhab penguasa) dan terputus hubungannya dari
madzhab yang tidak dipakai penguasa dipengadilan.
5. Penutupan pintu ijtihad, karena para ulama pada saat itu tidak mengadakan
tindakan-tindakan tertentu dalam bidang penetapan pendapat atau
mengadakan jaminan agar ijtihad tidak dilakukan oleh orang-orang yang
tidak berhak.5

5
Roibin, Sosio -Antropologis penetapan hukum islam dalam lintasan sejarah (Malang: UIN Maliki
PRESS, 2010), h. 93

5
Abdul Wahhab Khallaf menambahkan satu lagi penyebab kebekuan
pemikiran fiqih yaitu :
6. Bahwasanya sudah tersebar luas dikalangan para ulama berbagai penyakit
moral yang menghalangi mereka dari ketinggian derajat ijtihad. Dikalangan
mereka sudah merata penyakit saling menghasut dan egoisme
(mementingkan diri sendiri atau pun kelompoknya), serta ta’ashub
(fanatisme madzhab).6

Adapun tanda-tanda kebekuan pemikiran fiqih

Beberapa tanda kebekuan dan kemunduran yang meliputi masa yang


panjang tersebut dapat dilihat pada kenyataan-kenyataan berikut :

1. -pendapat imam-imam mujtahidin yang lalu, seperti penerbitan dan


pengurutan masa’il yang telah ada, memilih pendapat-pendapat yang kuat
dan yang lemah, menyusun ikhtisar-ikhtisar kitab fiqih dan menghimpun
fatwa-fatwa dalam satu madzhab.
2. Hukum islam menjadi terpisah dari gerak hidup, sebab gerak hidup ini
dengan segala persoalnnya yang dinamais tidak pernah mengenal kata henti.
3. Pusat-pusat ilmu pada waktu itu, terutama hukum islam berpindah-pindah,
dari kota-kota Baghdad, Bukhara dan Naisabure, ke kota-kotaMesir, Syam,
India, Asia kecil dan Afrika.

Dan adapun beberapa sebab munculnya gejala-gejala kebekuan, kelusuhan dan


kemunduran hukum islam pada masa muqallidun, yakni:

Derajat dan otoritas keilmuan para ulama madzhab yang telah menelurkan
berbagai produk fiqih monumental ketika itu, tidak sedikit melahirkan
berbagai pengaruh signifikan di eranya, baik pengaruh dinamis berupa gerakan
berijtihad pada satusisi, maupun berupa pengaruh sikap puas dan merasa final
dalam berijtihad pada sisi lain.

Namun di sisi lain gerakan dinamis yang sarat dengan kerangka metodelogis
yang komperehensif dan holistic itu, tanpa terasa telah menaklukan,

6
Roibin, Sosio -Antropologis penetapan hukum islam dalam lintasan sejarah (Malang: UIN Maliki
PRESS, 2010), h. 94

6
melumpuhkan, dan menenggelamkan sederet kemauan dan kemampuan nalar
kritis tradisi berijtihad para fuqaha pasca ulama madzhab.

Sejak itulah, kerja keras sebagian ulama muqalliadun pada perilaku


memuja-muja karya ulama madzhabkannya, dan bahkan berusaha menciptakan
suasana yang umatnya memiliki sikap panatisme madzhab yang berlakunya
keilmuan mereka lebih difokuskan pada persiapan-persiapan bangun dan
mengokohkan argumentasi-argumentasi menjaga dan melindungi kebenaran
hasil produk masing-masing para ulama madzhab tersebut.

Sayangnya para ulama muqallidun ini model dan karakteristik para ulama
madzhab tidak banyak di antara mereka justru berbeda pada komunitas yang
pembelaan-pembelaan dan justifikasi-justifikasi ulama madzhab yang telah
muncul sebelumnya. Inilah yang menyebabkan produktifitas karya-
karyastagnan.

Terminologi muqallid merupakan bentuk subjek ahli ushul fiqih


menyebutnya dengan istilah lain, perkataanlain, seseorang yang bukan
muqallid.

Ciri utama dari muqallid adalah ketidakmampuan dihadapakan dengan


sebuah pertanyaan tentang hukum atas berdasarkan atas bukti-bukti tekstual.
Dalam sejarah pembentukan hukum, telah diketahui bahwa ‘alam al islamy
pernah mengalami situasi ini. Dimana kondisi pada saat itu menyebabkan
hamper mayoritas umat islam hanya bertaqlid. Realitas yang demikian pada
akhirnya menyebabkan stagnasi hukum islam secara meluas yang diperparah
lagi oleh robohnya nilai-nilai islami pada sektorsosio-kultural dan politik
dimasa itu. situasi yang terakhir inilah yang menyebabkan berlangsung
lamanya fase kemunduran hukum islam dari pertengahan abad ke-4 H sampai
abad ke-13 H.7

Namun demikian pada masa yang dapat dianggap kabut gelap tersebut,
masih ada secercah situasi positif pada daerah-daerah tertentu, dimana

7
Roibin, Sosio -Antropologis penetapan hukum islam dalam lintasan sejarah (Malang: UIN Maliki
PRESS, 2010), h. 87

7
beberapa komunitas ulama tertentu tetap konsisten dan teguh keilmuannya,
yang pada akhirnya memunculkan hasil-hasil karya terbaik mereka.8

Ada pula gambaran hukum islam dan keadaan ulama pada masa taqlid,
yakni:

Zaman kejayaan umat islam yang terbanagun sebelumny apada saat itu mulai
berangsur-angsur menemukan titik kesuramanya. Kemunduran itu mulai
terlihat sejak abad keempat hijriah atau sejak tahun 351 H. setelah imam-imam
mujtahidin berlalu, datanglah zaman kemunduran, taqlid dan kebekuan.
Demikian pada zaman tersebut pudarlah semangat ijtihad, meraja lelanya taqlid
buta dan timbulnya kebekuan dalam studi hukum islam. Kebanyakan
perkembangan yang bersifat teoritis ini sangat bebas dari Al-Qur’an ,hadits dan
ijma’ yang secara teknis menggambarkan bagaimana cara pemikiran hukum
islam, masih perlu untuk diselidiki.

Menurut pandanagan tarikh tasyri’, zaman taqlid ini telah mengurungi tiga
priode di dalam sejarah islam.

1. Pertama dari abad keempat hijriah sampai jatuhnya bagdad ketangan


bangasa tartar (pertengahan abad ketujuh hijriah). Pada masa ini permulaan
adanya taqlid. Masing-masing ulama mulai menegakkan fatwa imamnya,
menyeru umat supaya bertaqlid akan madzhab yang dianutnya.
2. Dari abad keempat hijriah sampai abad kesepuluh hijriah. Dalam periode
ini bersifat lebih nyata, sedangkan ulama-ulama yang berani merobek tirai
taqlid telah amat kurang. Diantara mereka yang masih menggunakan daya
ijtihad di periode ini ialah : Al Bulqini (724 H-809 H), ibnurif’ah (645 H-
710 H), Ibnu Taimiyah (661 H-728 H), Ibnu Hajar Al Asqolani (773 H-
858 H).dan lain-lain.
3. Dari abad kesepuluh hijriah sampai kezaman Muhammad Abduh. Dan
adapun dari masa ini, ruh taqlid benar-benar padam .fatwa-fatwa haram
berijtihad pun hidup di tengah-tengah para ulama.

8
Roibin, Sosio -Antropologis penetapan hukum islam dalam lintasan sejarah (Malang: UIN Maliki
PRESS, 2010), h. 89

8
Dari rentang waktu yang relatif lama itu, masa yang terkenal dengan fase
kemunduran hukum islam berada pada abad keempat sampai abad ketiga belas
Hijriah. Mereka merasa sudah cukup mengikuti pendapat-pendapat yang
ditinggalkan oleh imam-imam mujtahidin yang sebelumnya.

Dengan demikian pembentukan hukum pada saat itu hanya terbatas pada
apa yang disampaikan oleh para imam-imam mujtahid periode terdahulu, tidak
memperhatikan perjalanan yang ada atau terjadi serta tidak mengamati
perkembangan masyarakat, kemajuan ilmiah dan muamalah, urusan peradilan-
peradilan dan kejadian-kejadian problematicka hukum yang baru.9

D. Usaha Para Ulama pada Periode ini

Pada masa ini semangat taklid sudah mulai tumbuh, para ulama membatasi
dirinya dalam berijtihad. Namun demikian para ulama waktu itu banyak pula
yang menjalankan usaha yang menonjol di bidang fiqih., yang mana usaha
tersebut menunjukkan besarnya tekad mereka.

Usaha-usaha mereka tersebut meskipun tidak sampai mengangkat mereka


ketingkat mujtahid mutlak/mandiri,namun apa-apa yang mereka lakukan itu
dapat menjadikan mereka menjadi mujtahidin.

1. Penilitian ilat-ilat ukum ( Takhrij)


Yaitu ijtihad dalam “istanbat illatul hukmi” (mendapat sebab hukum),
agar bapat menyamakan hukumnya suatu masalah dengan masalah yang
lain yang hukumnya telah di tegaskan oleh imam mazhabnya. Ulama yang
menjalankan peranan ini ialah para pengikut mazhab hanafi. Sebab kitab-
kitab yang menjadi sandaran, dalam mazhab ini adalah kitab-kitab yang
ditulis Muhammad bin hasan, yang pada umumnya jarang menyebutkan
ilat-ilat hukum masalah yang dimuat dalam kitab-kitab itu. Ulama-ulama
ppengikut mazhab hanafi itu erring bertemu dengan pengikut-pengikut
mazhab syafi’I dalam gelanggang-pelanggang munadharoh dan
9
Roibin, Sosio -Antropologis penetapan hukum islam dalam lintasan sejarah (Malang: UIN Maliki
PRESS, 2010), h. 97

9
sebagainya. Untuk itu pengikut-pengikut mazhab hanafi itu harus dapat
mempertahankan dan memperkuat alasan hukum yang mereka tetapkan
dengan dalil-dalil dan kaidahnya. Sehinggah mampu menghadapi lawan
diskusi mereka.
Adapun pengikut-pengikut mazhab syafi’I tidaklah begitu disubukkan
untuk mendapatkan ilat hukumnya. Sebab imam syafi’I telah menyusun
kitab-kitanya yang jadi pegangan dengan dilengkapi dasar-dasar
kaidahnya. Kitabnya itu terutama “ al-risalah” yang menjadi induk ilmu
usul fiqh dan kitab “al um” yang menjadi induk ilmu fiqh mazhab syafi’I.
adapun paara pengikut mazhab hanafi dan maliki mereka tidak terdesak
untuk mendapatkan ilat-ilat hukumnya.10
2. Mentarjih pendapat-pendapat yang bertentangan dalam mazhab
Yaitu usaha untuk riwayat atau isi kandungan riwayat, mengenai apa-
apa yang dikutip dari imam-imam mazhab, sehungga mendapatkan yang
lebih kuat dan benar. Ulama-ulama yang menjalankan usaha ini dinamakan
Murajjih.
a. Dalam tarjih segi riwayat, adalah muncul setelah stabilnya berbagai
mazhab. Kemudian para mencari di antara beberapa riwayat yang
palimg unggul, tentang adanya pendapat imam mazhab terdapat suatu
masalah. Tahrih ini sesuai dengan besar atau kecilnya kepercayaan
terhadap pembawa riwayat itu. Dalam mazhab hanafi misalnya, para
ulama mengunggulkan riwayat-riwayat yang dibawakan oleh
Mumammad Bn Hasan, dibandingkan dengan yang dibawakan olehnya.
Dalam mazhab syafi’I misalnya, para ulama yang mengunggulkan
riwayat yang dibawakan oleh Rabie Al Muradi sekalipun bertentangan
dengan riwayat yang dibawakan oleh Ismail bin Yahya Al Muzani.
Padahal Muzani lebih unggul pengetahuan fiqhnya dbandingkan dengan
Rabie. Dalam mazhab maliki misalnya, para ulamanya menggunkan
riwayat yang dibawakan oleh ibnul Qosim di bandingkan dengan
lainya.

10
Rasad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2009), h. 122

10
b. Dalam tarjih isi kandungan riwayat yaitu apabila terdepat perbedaan
antara bagaimana yang dikaitkan oleh sahabat imam tersebut. Tarjih di
segi ini memerlukan adanya kemampuan ilmu fiqh yang tahguh bagi
ulama yang menjalankan usaha ini. Selanjutnya para ulama itu
mengadakan penelitian dan perbandingan, antara isi kandundungan
riwayat riwayat itu lebih medekati dalil-dalil alquran, hadist, kaidah-
kaidah umum syariah, qiyas dan sebagainya. Dariitu semua di
tetapkanlah mana yang di anggap unggul dari pada yang lain.11
c. Merumuskan dasar-dasar dan kaidah-kaidah usul fiqih
Para ulama pada periode ini mengembangkan kerangka ushul fiqih
yang sudah dirumuskan oleh para ulama sebelumnya, terutama yang
telah dilakukan oleh Imam Syafi’ie. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa Imam Syafi’ie telah merumuskan prinsip-prinsip
ushul fiqih dalam bukunya, al-Risalah, dan telah mendapatkan
pengakuan dari para sejarawan bahwa buku al-Risalah adalah buku
pertama yang berisi prinsip-prinsip dasar ushul fiqih. Para fuqaha pada
periode ini mengembangkan ushul fiqih sebagai kelanjutan dari apa
yang sudah dirumuskan oleh Imam Syfi’ie. Dan pada periode ini justru
bermunculan buku-buku ushul fiqih dengan dua kategori (metodologi)
yaitu metodologi yang cenderung teoretis (nazhari) yang tidak berubah
walaupun diterapkan dalam fiqih madzhab manapun dan metodologi
yang berubah menurut forma dan hukum-hukum juz’iyyah. Buku-buku
dalam kategori pertama misalnya al-mu’tamad karya Abu Hasan
Muhammad Ali al-bashri (seorang tokoh Mu’tazilah yang wafat pada
tahun 413 H), al-burhan karya Imam al-haramain (wafat 487 H), dan al-
mustashfa karya Imam al-Ghazali.
Di samping penulisan buku-buku fiqih dan ushul fiqih, pada
periode ini penulisan fatwa juga mulai semarak, terutama abad ke 8 H
hingga akhir abad ke 10 H. Diantara buku-buku fatwa yang sangat
berpengaruh adalah fatawa ibnu taimiyah (wafat 728 H), buku lain

11
Rasad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2009), h. 124

11
dalam masalah ini adalah al-hawi li al-fatawi karya al-sayuti (wafat 911
H), fatawa karya Ibnu Hajar al-Haitami (wafat 974 H).
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa pada masa
kemunduran bukan berarti tidak ada kerja para ulama atau fuqaha dala
bidang fiiqih, akan tetapi meraka masih tetap melakukan aktivitas,
meskipun tidak seperti pendahulu mereka. 12

E. Karakteristik fiqih islam pada periode ini


Perundang-undangan islam pada masa ini memiliki karakteristik tersendiri
yang berbeda dengan fase-fase sebelumnya. Pada periode ini kondisi
perjalanan fiqih islam sangat buruk sekali, padahal pada periode ini adalah fase
terpanjang dalam sejarah fiqih islam, mengalami kemunduran dan jumud. Jka
pada periode pertama kita bisa melihat para fuqaha yang sibuk menggali fiqih
mencari illat, dan berijthad, maka pada periode ini para ulamanya sudah beralih
profesi menjadi tqlid buta, padahal memiliki kemampuan untuk menempuh
jalan para pendahulunya sehingga terhentinya kegiatan ijtihad.
Periode ini dimana semangat ijtihad mutlak para ulama sudah pudar dan
pendek dan mereka hanya mengikuti hukum-hukum yang telah dihasilkan oleh
imam-imam mujtahid terdahulu.13
Dan seiring dengan kejumudan dan kemandekan pemikiran fiqih, mulailah
bangkit bidang keislaman yang lain, yakni tasawuf. Kebangkitan tasawuf ada
kaitannya dengan mulai berkurangnya perhatian ulama terhadap fiqih dan
permasalahannya. Selama abad ke-4 H dan ke-5 H memang terjadi
perkembangan yang begitu semarak dalam dunia tasawuf, dengan
perkembangan tasawuf yang begitu pesat, kerja ulama fiqih menjadi amat
terbatas.
Sejarah tidak saja mencatat nama-nama besar yaitu seperti Abu Yazid al-
Busthami, al-sarraj, al-Kalabadzi, al-Qushairi, al-Ghazali, dan lain-lain, tetapi
gerakan tasawuf telah mendapat perhatian dari sebagian besar ulama yang
12
Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), h. 278
13
Noel J. Coulson, Hukum Islam dalam persepektif sejarah (Jakarta: Midas Surya Grafindo, 1987),
h. 212

12
sebelumnya telah menolak, bahkan menganggapnya sebagai ajaran yang sesat.
Hal ini dapat dipahami karena kondisi jumud dan taqlid yang melanda fiqih
menjadikan mereka berpaling pada kehidupan tasawuf.14

14
Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), h. 277

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada masa pertengahan abad ke 4 H sebagai penutupan periode ijtihad atau
periode tadwin (pembukuan). Kondisi sosial politik yang terjadi pada masa
pertengahan abad keempat ini sangat tidak mungkin bagi fiqh islam untuk maju
seperti zaman yang sebelumnya, dan beberapa faktor yang menyebabkan
kebekuan pemikiran fiqih adalah adanya pergolongan politik, dan pada fase
ketiga adanya ( pembangunan, perkembangan, dan kordifikasi hukum islam).
Dan usaha-usaha para Ulama’ dalam periode ini adalah dengan meneliti illat-
illat hukum (tahrijh) dan dengan mentarjih pendapat-pendapat yang
bertentangan didalam madzhab. Perundang-undangan islam pada masa ini
memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan fase-fase sebelumnya,
yakni pada masa pertengahan abad ke-4 H ini kondisi perjalanan fiqih islam
sangat buruk sekali, padahal pada periode ini adalah fase terpanjang dalam
sejarah fiqih islam, pada fase ini telah mengalami kemunduran dan jumud. Dan
pada periode ini para ulamanya sudah beralih profesi menjadi tqlid buta,
padahal memiliki kemampuan untuk menempuh jalan para pendahulunya
sehingga terhentinya kegiatan ijtihad, dimana semangat ijtihad mutlak para
ulama sudah pudar dan pendek dan mereka hanya mengikuti hukum-hukum
yang telah dihasilkan oleh imam-imam mujtahid terdahulu, dan muncullah
bidang keislaman yang lain yakn tasawuf, dan dengan perkembangan tasawuf
yang begitu pesat, kerja ulama fiqih menjadi amat terbatas.

B. Saran
Makalah ini dibuat agar penulis dan pembaca dapat mengetahui kondisi
sosial politik pada abad pertengahan ke 4 H dengan adanya doktrin tertutupnya
pintu ijtihad, dan juga dapat mengetahui sebab-sebab kebekuan pemikiran fiqih
islam pada masa ini, dan juga usaha-usaha para ulama pada abad pertengahan
ke-4 H, serta karakteristik fiqih islam didalam periode ini. Apabila makalah ini

14
terdapat banyak kekeliruan baik dari segi kalimat ataupun dari segi kosa kata
yang tidak baku, sehingga kritik dan saran yang membangun untuk penulisan
makalah-makalah selanjutnya sangat diharapkan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Hasan Khalil, Rasyad. 2009. Tarikh Tasyri’ ( Sejarah legislasi hhukum islam).
Jakarta: Sinar Grafika Offset.

Coulsen, J. Noel. 1987. Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: PT


Midas Surya Grafindo.

Roibin. 2010. Sosio-Antropologis Penetapan Hukum Islam dalam Lintasan


Sejarah. Malang: Uin-Maliki PRESS.

Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV Pustaka Setia

Marzuki. 2013. Pengantar Studi Hukum Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

16

Anda mungkin juga menyukai