Anda di halaman 1dari 18

1.

Pengertian Wali dalam Pernikahan


Kata wali menurut bahasa berasal dari bahasa
Arab, yaitu al Wali dengan bentuk jamak Auliyaa
yang berarti pecinta, saudara, atau penolong.
Sedangkan menurut istilah, kata wali mengandung
pengertian orang yang menurut hukum (agama,
adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak
yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang
mewakilkan pengantin perempuan pada waktu
menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan
pengantin pria).[1] Wali dalam nikah adalah yang
padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak
sah nikahnya tanpa adanya (wali).[2]
Kesimpulan, bahwa wali dalam pernikahan
adalah orang yang melakukan akad nikah
mewakili pihak mempelai wanita, karena wali
merupakan rukun nikah, dan akad nikah yang
dilakukan tanpa wali dinyatakan batal.
2. Kedudukan Wali sebagai salah satu Rukun
Nikah
Wali adalah rukun dari beberapa rukun
pernikahan yang lima, dan tidak sah nikah
tanpa wali laki-laki. Dalam KHI pasal 19
menyatakan wali nikah dalam perkawinan
merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya.
a. Jumhur ulama, Imam SyafiI dan Imam Malik
Mereka berpendapat bahwa wali merupakan salah satu
rukun perkawinan dan tak ada perkawinan kalau tak ada
wali. Oleh sebab itu perkawinan yang dilakukan tanpa wali
hukumnya tidak sah (batal).
Selain itu mereka berpendapat perkawinan itu mempunyai
beberapa tujuan, sedangkan wanita biasanya suka
dipengaruhi oleh perasaannya. Karena itu ia tidak pandai
memilih , sehingga tidak dapat memperoleh tujuan tujuan
utama dalam hal perkawinan ini. Hal ini mengakibatkan ia
tidak diperbolehkan mengurus langsung aqadnya tetapi
hendaklah diserahkan kepada walinya agar tujuan
perkawinan ini benar-benar tercapai dengan sempurna.
b. Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi)
Mereka berpendapat bahwa jika wanita itu telah baligh
dan berakal, maka ia mempunyai hak untuk mengakad
nikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Selain itu Abu
Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat dalam
akad nikah. Beliau menganalogikan dimana kalau wanita
sudah dewasa, berakal dan cerdas mereka bebas
bertasarruf dalam hukum-hukum muamalat menurut
syara, maka dalam akad nikah mereka lebih berhak lagi,
karena nikah menyangkut kepentingan mereka secara
langsung. Khususnya kepada wanita (janda) diberikan
hak sepenuhnya mengenai urusan dirinya dan
meniadakan campur tangan orang lain dalam urusan
pernikahannya.
Menurut beliau juga, walaupun wali bukan syarat sah
nikah, tetapi apabila wanita melaksanakan akad
nikahnya dengan pria yang tidak sekufu dengannnya,
maka wali mempunyai hak Itiradh (mencegah
perkawinan).
3. Syarat syarat Wali
1. Islam ( orang kafir tidak sah menjadi wali)
2. Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali)
3. Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali)
4. Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali)
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk
wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri.
Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh
wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal
ini sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW:
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, dia berkata:
Rasulullah SAW bersabda wanita tidak boleh
mengawinkan wanita dan wanita tidak boleh
mengawinkan dirinya(HR. Ibnu Majah dan
Daruquthni ).
5. Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali)
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil,
maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasik,
orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak
membiasakan diri berbuat munkar.[3] Ada
pendapat yang mengatakan bahwa adil diartikan
dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan
cerdas disini adalah dapat atau mampu
menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-
baiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan
sabda Nabi SAW:
Artinya: Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW
bersabda: Tidak sah pernikahan kecuali dengan
wali dan dua orang saksi yang adil(HR.Ahmad Ibn
Hanbal).
6. Tidak sedang ihram haji atau umrah.

Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah


mengemukakan beberapa persyaratan wali
nikah sebagai berikut : Syarat-syarat wali ialah:
merdeka, berakal sehat dan dewasa. Budak,
orang gila dan anak kecil tidak dapat menjadi
wali, karena orang-orang tersebut tidak berhak
mewalikan dirinya sendiri apalagi terhadap
orang lain. Syarat kempat untuk menjadi wali
ialah beragama Islam, jika yang dijadikan wali
tersebut orang Islam pula sebab yang bukan
Islam tidak boleh menjadi walinya orang Islam.
[4]
4. Macam Macam Wali
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam,
yaitu:
a. Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari
keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi
wali. Wali nasab urutannya adalah sebagai berikut:
1. Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya
ke atas
2. Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak)
3. Saudara laki-laki sebapak
4. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
6. Paman (saudara dari bapak) kandung
7. Paman (saudara dari bapak) sebapak
8. Anak laki-laki paman kandung
9. Anak laki-laki paman sebapak.[5]
Urutan diatas harus dilaksanakan secara tertib.
b. Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah
untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali
hakim dapat menggantikan wali nasab apabila:
Calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab sama
sekali.
1. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
2. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang
wali yang sederajat dengan dia tidak ada.
3. Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful
qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar)
yaitu 92,5 km.
4. Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak
boleh dijumpai.
5. Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.
6. Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
7. Walinya gila atau fasik.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun
1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim
adalah KUA Kecamatan.
c. Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang
diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk
bertindak sebagai wali dalam akad nikah
mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali
muhakkam adalah orang lain yang terpandang,
disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang
munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan
laki-laki.[6]
1. Pengertian Saksi dalam Akad Nikah
Saksi nikah adalah orang yang menyaksikan
secara langsung akad pernikahan, yang
berfungsi memberitahukan kepada masyarakat
luas perihal pernikahan tersebut agar tidak
timbul kesalahpahaman. Masalah saksi
pernikahan dalam al-Quran tidak tertera secara
eksplisit, namun saksi untuk masalah lain
seperti dalam masalah pidana muamalah atau
masalah cerai atau rujuk sangat jelas
diutarakan.
2. Kedudukan Saksi
KHI menyatakan dalam pasal 24 ayat 1, saksi dalam
perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad
nikah.
Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Malik
bersepakat bahwa saksi termasuk syarat dari
beberapa syarat sahnya nikah. Jumhur ulama
berpendapat bahwa pernikahan tidak dilakukan
kecuali dengan jelas dalam pengucapan ijab dan
qabul, dan tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan
saksi-saksi hadir langsung dalam pernikahan agar
mengumumkan atau memberitahukan kepada
orang-orang.
Dalam KHI pasal 26, saksi harus hadir dan
menyaksikan secara langsung akad nikah serta
menandatangani Akta Nikah pada waktu dan di
tempat akad nikah dilangsungkan.
3. Syarat syarat Saksi
Dalam KHI pasal 25, yang dapat ditunjuk
menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang
laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak
terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau
tuli.
Adapun berikut adalah beberapa syarat yang
harus ada pada dua orang saksi, antara lain:
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Laki-laki
5. Adil.
6. Tidak tuna rungu atau tuli[7]
Disini para ulama berbeda pendapat mengenai
syarat-syarat dua orang saksi, dari kalangan
jumhur seperti syafiiyah dan hanabilah
mensyaratkan dalam kesaksian adalah dua
orang laki-laki, berdasarkan hadis Nabi saw,
yang artinya: tidak diperbolehkan kesaksian
seorang wanita dalam hukuman, pernikahan
dan perceraian.
Tetapi Hanafiyah tidak mensyaratkan hal itu,
dan berpendapat bahwa saksi adalah dua orang
laki-laki, atau dengan satu orang laki-laki dan
dua orang wanita, berdasarkan surat al Baqarah
ayat 282, yang artinya:
Persaksian dengan dua orang saksi dari kaum
lelaki di antaramu, jika tidak ada dua orang lelaki,
maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai.
Kemudian Imam Hanafi berpendapat bahwa jika
pernikahan dihadiri oleh dua saksi yang fasik tidak
apa-apa karena maksud saksi di sini adalah untuk
pengumuman. Namun Imam Syafii mempunyai
pendapat bahwa saksi mengandung dua arti, yaitu
pengumuman dan penerimaan, jadi disyaratkan
saksi yang adil.
[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989,
hal. 1007
[2] Abdurrahman Al Jaziri, Al- Fiqh ala Mazaahib Al-
Arbaah, Beirut : Daar Al- Fikr, Juz 4, hal. 29
[3] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, Yogyakarta: Dana Bakti
Wakaf, 1995, jilid. 2, hal.82
[4] Sayyid Sabiq, Fiqhus sunnah, Beirut : Dar al Fikr,
1968, Juz VI, hal.261
[5] M. Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut
Empat Mazhab, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996, hal.
55
[6] M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta:
Bumi Aksara,1999, cet. Ke-2, hal. 25
[7] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta:
Kencana, 2006, hal. 64

Anda mungkin juga menyukai