Anda di halaman 1dari 12

HUKUM KELUARGA ISLAM DI BRUNEI DARUSSALAM

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur dalam Mata Kuliah

Hukum Keluarga di Negara-Negara Islam

Oleh:

YEFRI YANTO : 1117.012

M.ZIKRI KHAIRULLAH : 1117.027

DOSEN PEMBIMBING

Dr. H. ISMAIL, M. Ag

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI BUKITTINGGI

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Brunei Darussalam adalah negara yang memiliki corak pemerintahan
Monarki Absolut berdasar hukum Islam dengan Sultan yang menjabat sebagai
Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, merangkap sebagai Perdana
Menteri dan Meteri Pertahanan dengan dibantu oleh Dewan Penasehat
Kesultanan dan beberapa menteri.
Dalam peraturan perundang-undangannya, Brunei mengalami beberapa
kali pembaruan sejak masa penjajahan Inggris sampai pasca
kemerdekaan.Pembaruan hukum keluarga Islam terkadang melahirkan
perdebatan dikalangan modernis-progresif dan tradisional-konservatif.
Pembaruan hukum keluarga stidak-tidaknya berkaitan dengan materi hukum
yang dianggap out of date yang dilakukan dengan metode-metode tertentu
agar selaras dengan perubahan zaman. Hukum keluarga di Brunei tidak luput
dari dinamika reformasi, hal ini didasarkan kepada sebuah asumsi yang
menyatakan bahwa hukum keluarga Islam merupakan hukum yang hidup.
Brunei Darussalam menjadi sorotan dunia belakangan ini, bukan karena
kekayaan negeri tersebut, melainkan karena syariat Islam atau hukum Islam
yang baru diimplementasikan di negeri tersebut. Sejak Hassanal Bolkiah
mengumumkan penerapan syariat Islam di negerinya, kritik dari berbagai
belahan dunia datang bertubi-tubi. Mayoritas menganggap bahwa penerapan
hukum Islam tersebut di anggap terlalu kejam. Namun hal inilah yang
membawa angin segar dalam proses legislasi hukum keluarga Islam di Brunei
Darussalam.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sekilas Tentang Brunei Darussalam

Negara Brunei Darussalam merupakan salah satu negara kerajaan Islam di utara
Kalimantan,berbatasan dengan lautan Cina Selatan, dan Serawak di Barat dan Timur.
Luas :5765 km. Jumlah penduduk rakyat Brunei Darussalam adalah 264.000(1991).
Komposisi penduduk di Brunei terdiri dari Melayu 69%, asli 5%, China 18%, dan
bangsa lain 8%. Negara ini mempunyai otoritas tidak hanya meliputi seluruh pulau
Borneo tetapi juga beberapa bagian pulau Suluh dan Filipina. Kekuasaan Brunei
mulai berkurang akibat adanya konsesi yang dibuat dengan Belanda dan Inggris,
Serawak, British North Borneo Company dan serangan-serangan para pembajak.

Bentuk pemerintahan Brunei Darussalam adalah kesultanan dijalankan oleh


Majelis Umum, Dewan Menteri dan Badan Legislatif. Sultan mempunyai kekuasaan
yang sangat besar. Kekuasaan eksekutif berada ditangan Sultan sebagai Menteri
besar(Ketua Menteri). Mahkamah Syari’ah Brunei hanya dibenarkan melaksanakan
Undang-Undang Islam yang berkaitan dengan perkara-perkara kawin, cerai, dan
ibadah. Sedangkan masalah yang berkaitan dengan Jinayah diserahkan kepada
Undang-Undang Inggris yang berdasarkan common law England.

Brunei Darussalam merupakan negara yang berdasar pada syariat. Konstitusi


Brunei Darussalam berdasar aliran Ahlis Sunnah Wal Jama’ah dan bermazhab
Syafi’i. Hal ini berdampak pada aturan yang berlaku disandarkan pada fiqh Syafi’i di
setiap aspeknya. Namun demikian, dalam beberapa aturan hukumnya yang tidak
diatur dalam hukum keluarga,warga negara tetap mempunyai hak untuk memilih atas
beberapa mazhab fiqh lain selain mazhab Syafi’i.

Peraturan perundang-undangan di Brunei terus menerus dirombak, seperti pada


tahun 1912 majelis mesyuarat negeri telah mengundangkan agama Islam yang
dikenal dengan “Muhammadans Law Enactmen” yang disempurnakan pada tahun
3
1913 dengan aturan yang dikenal dengan “Muhammadans Marriages and Divorce
Enactmen”. Sampai yang terakhir yaitu dengan diundangkannya Undang-undang
Majelis Ugama, Adat negeri dan Mahkamah Kadi tahun 1955, yang telah berlaku
pada tanggal 1 januari 1956. Setelah tahun itu berturut turut undang-undang
mengalami amandemen yaitu mulai tahun 1957, 1960, 1961, dan 1967. Ketika terjadi
Revision Laws of Brunei pada tahun 1984, undang-undang ini pun mengalami revisi
tapi hanya sedikit saja disamping namanya ditukar dengan Akta Majelis Ugama dan
Mahkamah Kadi Penggal 77.

Sebenarnya perundang-undangan ini, menurut Hooker, didasarkan pada


perundangan yang berlaku dinegeri kelantan dengan mengalami penyesuain dengan
kondisi Brunei. Peraturan ini membuat peraturan tentang:

1. Pendahuluan (Bagian I Pasal 1-4)

2. Majlis Ugama Islam (Bagian II Pasal 5-44)

3. Mahkamah Syari’ah (Bagian III Pasal 45-96)

4. Masalah Keuangan (Bagian IV Pasal 97-122)

5. Masjid (Bagian V Pasal 123-133)

6. Perkawinan dan Perceraian (Bagian VI Pasal 134-156)

7. Nafkah Tanggungan (Bagian VII Pasal 157-163)

8. Mualaf (Bagian VIII Pasal 164-168)

9. Kesalahan (Bagian IX Pasal 169-195)

10.Perkara Umum (Bagian X Pasal 196-204)

B. Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam


Hukum keluarga Islam Brunei yang terdapat dalam undang-undang
Majlis Ugama Islam dan Mahkamah Kadi Penggal 77 bentuk dan kandungannya
4
masih sama dengan undang-undang Majlis Ugama Islam, Adat Negeri dan
Mahkamah Kadi No.22/1955. Dalam undang-undang tersebut masalah hukum
keluarga islam diatur hanya 29 bab, yaitu dibawah aturan: Marriage and Divorce
dibagian VI yang diawali dari pasal 134 sampai 156, dan Maintenance of Dependent
di bagian VII yang dimulai dari pasal 157 sampai 163.
Sebelum datangnya Inggris, undang-undang yang dilaksanakan di Brunei ialah
undng-undang islam yang telah dikanunkan dengan hukum kanun Brunei. Hukum
qanun Brunei tersebut sudah ditulis pada masa pemerintahan Sultan Sassan (1605-
1619 M) yang disempurnakan oleh Jalilul Jabbar (1619-1652 M).

1. Pendaftaran Perkawinan di Brunei Darussalam


Dalam undang-undang Brunei, orang yang bisa menjadi pendaftar nikah cerai
selain kadi besar dan kadi-kadi adalah imam-imam setiap mesjid, disamping imam-
imam itu merupakan juru nikah yang diberi tauliah untuk menjalankan setiap akad
nikah. Orang yang biasa melangsungkan sebuah pernikahan adalah orang yang diberi
kuasa oleh sultan atau yang diberi kuasa oleh hukum untuk orang islam, tetapi dalam
hal ini kehadiran dan kebenaran pendaftaran juga diperlukan. Walaupun demikian,
pernikahan yang tidak mengikuti aturan ini tetap dilangsungkan (sah), tetapi menurut
aturan hukum muslim dianggap sah dan hendaknya didaftarkan. Sedangkan yang
dinamakan perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang tidak mengikuti
hukum mazhab yang dianut oleh kedua belah pihak.
Aturaran-aturan yang berlaku diatas merupakan reformasi keluarga Islam yang
sifatnya legulatory, karena dengan tidak adanya pencatatan dan pendaftaran tidak
menyebabkan batalnya suatu perkawinan. Bahkan dalam hal ini ternyata di Brunei
terasa lebih longgar dibanding dengan negara tetangganya, karena dengan tidak
mendaftarkan perkawinan tersebut, tidak merupakan suatu pelanggaran.1

1
Atho Mudzar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), hlm.
180-184

5
2. Wali dalam perkawinan di Brunei Darussalam
Persetujuan kedua belah pihak dalam perkawinan sangat diperlukan. Di samping
itu, wali pengantin perempuan pun harus memberikan persetujuan atau kadi yang
mempunyai kewenangan bertindak sebagai wali raja yaitu apabila tidak terdapat wali
nasab. Hal serupa terjadi di malaysia yang memberlakukan aturan tentang keharuan
adanya izin wali dalam pernikahan. Izin wali merupakan hal yang esensial yang
berlaku diseluruh negara malaysia.2

3. Pencatatan Perkawinan di Brunei Darussalam


Secara umum, pola adsminitrasi hukum keluarga di Brunei memiliki kesamaan
prinsip dengan hukum keluarga yang diterapkan oleh Malaysia. Menurut undang-
undang Brunei, orang yang bisa menjadi pencatat perkawinan dan perceraian adalah
kadi besar, kadi-kadi, dan imam-imam di setiap mesjid yang diberi tauliah oleh
sultan.
Lebih lanjut terkait dengan pencatatan perkawinan aturan hukum ini hanya
persyaratan administratif. Pernikahan yang tidak mengikuti ketentuan ini, tetap
dianggap sah menurut aturan hukum Islam. Selanjutnya, pemerintahan Brunei juga
mewajibkan adanya pencatatan perkawinan dalam jangka waktu 7 hari setelah akad
nikah dilangsungkan.
Aturan tersebut dapat kita jumpai dalam Religious Council and Kadis Cours
Chap 77, pasal 143 ayat (1) menyatakan: “dalam jangka waktu tujuh hari setelah
melakukan akad nikah para pihak diharuskan melaporkan perkawinan tersebut, yang
boleh jadi para pasangan atau wali”.
Ayat (2), “pencatat wajib memeriksa apakah seluruh persyaratan perkawinan
sudah terpenuhi sebelum melakukan pecatatan”.3

2
Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam, Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2,
2005. hlm. 155

3
Dian Mustika, Pencatatan Perkawinan Dalam Undang-undang Hukum Keluarga di Dunia
Islam, Jurnal Marriage Registration, Family Law, Islamic World,hlm. 63
6
4. Perceraian di Brunei Darussalam
Mengenai peraturan yang sangat kontroversial di Brunei adalah masalah
perceraian. Jika perempuan dicerai sebelum disetubuhi, maka ia tidak boleh
dikawinkan dengan orang lain selain dengan suaminya yang terdahulu dalam masa
iddah, kecuali telah dibenarkan oleh Kadi yang berkuasa dimana ia tinggal.
Kemungkinan negara Brunei dalam menetapkan masalah ini lebih banyak
mengadopsi hukum adat setempat yang menganggap bahwa kegadisan seorang
wanita adalah hak sepenuhnya seorang suami yang akhirnya menetapkan masa iddah
bagi istri yang dicerai sebelum terjadi hubungan badan.4
Dalam Undang-Undang Brunei selanjutnya disebutkan bahwa bagi perempuan
yang dicerai dengan talak tiga, maka tidak boleh menikah lagi dengan suaminya yang
terdahulu, kecuali ia kawin dengan laki-laki lain dengan cara yang sah dan bersetubuh
dengannya kemudian bercerai dengan cara yang sah sesuai dengan Undang-Undang.
Peraturan perceraian Brunei yang lainnya adalah seorang suami bisa menceraikan
istrinya dengan talak 1, 2, dan 3 dengan hukum Islam. Seorang suami mesti
memberitahu tentang perceraiannya kepada pendaftar dalam tempo 7 hari. Jika
seorang perempuan yang sudah menikah bisa juga mengajukan permohonan cerai
kepada Kadi dengan mengikuti hikum Islam. Apabila suaminya rela hendaknya dia
mengucapkan cerai. Kemudian didaftarkan dan Kadi akan mengeluarkan akta
perceraian kepada kedua belah pihak.5
Di Brunei diberlakukan juga aturan yang menyatakan bahwa jika pihak suami
tidak menyetujui perceraian dengan penuh kerelaan, maka kedua belah pihak bisa
menyetujui perceraian dengan tebusan atau cerai tebus talak. Kadi akan menilai
jumlah yang perlu dibayar sesuai dengan taraf kemampuan kedua belah pihak
tersebut serta mendaftarkan perceraian itu.

4
Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam,...,hlm.156

5
Abdul Qadir Zaelani, Hukum Keluarga di Negara-Negara Muslim Modern, (Bandar
Lampung : Anugrah Utama Raharja, 2013), hlm. 20

7
Dalam berbagai kitab fiqh klasik, ketentuan itu juga dibenarkan yang
diistillahkan dengan khulu’. Hanya saja orang yang berkhulu’ (cerai talak tebus) tidak
mengucapkan talaknya kecuali dengan upah, sedangkan orang yang mentalak itu
tidak mengambil upah.6
Selain aturan mengenai cerai talak tebus, di Brunei juga diberlakukan aturan bagi
pihak istri untuk berpisah dari suaminya melalui fasilitas fasakh. Fasakh adalah suatu
pernyataan pembubaran perkawinan menurut hukum Islam. Perrnyataan fasakh ini
tidak boleh dikeluarkan kecuali pihak istri memberi keterangan di hadapan Kadi
sekurang-kurangnya dua saksi dan mengangkat sumpah atau membuat pengakuan.
Dan bagi istri yang dicerai dapat mengajukan pemberian penghibur (mut’ah) kepada
Kadi yang diserahkan setelah keterangan kedua belah pihak didengar oleh Kadi.
Dari dua fasilitas tersebut si atas, cerai talak tebus dan fasakh, kedua-duanya
mengaharuskan pihak istri yang akan berpisah dari suaminya untuk mengeluarkan
biaya penebusan atas perceraianya. Hanya saja kalau cerai talak tebus diberikan
kepada mantan suami, sedangkan fasakh diberikan kepada Kadi yang menangani
perkara. Jalur fasakh dalam Al-Umm dibenarkan, disertai dengan beberapa macam
sebab dibolehkannya fasakh tersebut, diantaranya :
a) Laki-lakinya mempunyai penyakit lepra, gila, dan impoten.
b) Setiap akad nikah yang fasid seperti nikah tanpa wali, atau nikah tanpa
izin orang tua.
c) Murtadnya salah seorang dari suami istri.
5. Rujuk di Brunei Darussalam
Dalam undang-undang ini disebutkan adanya ruju’ (rojok) setelah
dijatuhkannya talak, yaitu apabila pun cerainya dengan talak satu atau dua. Tinggal
bersama setelah bercerai mesti berlaku dengan kerelaan kedua belah pihak dengan
syarat tidak melanggar hukum muslim dan kadi harus mendaftarkan untuk “tinggal
bersama” itu. Apabila perceraian yang bisa dirujuk kembali dilakukan dengan tanpa

6
Intan Cahyani, Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam,....,hlm.157

8
sepengetahuan istri, maka ia tidak dapat untuk tinggal bersama sampai diberitahukan
tentang perkara itu.
Dalam Al-Umm Asy-Syafi’i berpendapat tentang firmah Allah SWT
dalam QS. 2:228 ( ... jika mereka menginginkan perdamaian) maksudnya adalah
rujuk. Suami yang mentalak istrinya satu kali atau dua kali sesudah mensetubuhinya
maka laki-laki itu berhak merujuknya selama wanita itu belum habis masa iddahnya.

6. Hakam (Arbitrator) di Brunei Darussalam


Apabila selalu muncul masalah antara suami dan istri, maka kadi bisa
mengangkat seseorang, dua orang pendamai, atau hakam dari keluarga yang dekat
dari masing-masing pihak yang mengetahui keadaannya. Kadi memberikan petunjuk
kepada hakam untuk melaksanakan arbitrasi dan harus melaksanakannya sesuai
dengan hukum muslim. Apabila kadi tidak sanggup atau kadi tidak menyetujui apa
yang dilakukan oleh hakam, kadi akan mengganti dan mengangkat hakam lain.7

7
Atho Mudzar, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003) hlm.
186-194

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada kenyataannya Negara Brunei Darussalam telah mengalami
perubahan setelah diadakannya perjanjian keberlakuan hukum dengan inggris,
hal tersebut menyebabkan camour tangan inggris dalam kekuasaan kehakima,
keadilan, penegakan hukum serta Perundang-undangan, sementara seluruh
mekanisme pelaksanaan hukum islam secara khusus diserahkan kepada
pemerintahan Brunei, yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan
Mahkamah Syariah. Brunei Darussalam mengakomodasi hukum islam,
hukum adat, dan hukum barat tetapi aplikasi hukum islam leboh dominan
dibandingkan hukum yang lainnya, karena mayoritas penduduk Brunei
Darussalam beragama Islam.
Brunei terus-menerus melakukan pembaharuan hukum dan tidak
menyimpang jauh dari hukum islam sehingga tidak tertinggal dengan Negara-
negara lainnya. Metode intra Doktrinal Reform yang digunakan di Brunei
Darussalam, diharapkan pengetahuan hukum islam di brunei menjadikan
mereka lebih yakin dan percaya bahwa hukum islam yang digunakan adalah
hukum yang benar, sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, pada tahun 2014
yang menandakan berlakunya syariat islam secara mutlak di Negara tersebut
yang secara otomatis merangkum hukum keluarga di Negara tersebut.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa penulisan makalalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, masih ada kekurangan dan kesalahan karena keterbatasan
referensi yang kami miliki sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun guna memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam penulisan

10
berikutnya. Penulis berharap agar makalah ini dapat menjadi referensi dalam
materi legislasi hukum keluarga islam Melayu Nusantara.

11
DAFTAR PUSTAKA

Mudzar, Atho. 2003. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern. Jakarta:


Ciputat Press.
Mustika, Dian. Pencatatan Perkawinan Dalam Undang-undang Hukum
Keluarga di Dunia Islam, Jurnal Marriage Registration, Family Law, Islamic
World.
Cahyani, Intan. 2005. Hukum Keluarga Islam di Brunei Darussalam,
Jurnal Al-Qadau Vol.2 No.2.
Zaelani, Abdul Qadir. 2013. Hukum Keluarga Islam di Negara-Negara
Muslim Modern, Bandar Lampung: Anugrah Utama Raharja.

12

Anda mungkin juga menyukai