Anda di halaman 1dari 26

TAFSIR TEMATIK

TENTANG
(ILA- DZIHAR -QADZAF-LI’AN)

Oleh :
DIQKI AULIA
2021540014
SALEH UMAR
2021540015

PROGRAM PASCA SARJANA


HUKUM KELUARGA ISLAM
INSITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) LHOKSEUMAWE
TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan keadaan hambanya. Ini terbukti
dengan ayat-ayat yang tertera dalam kitab suci ummatnya yang selalu menyeru kepada amar
ma’ruf nahi mungkar. Namun karena tabiat manusia adalah makan al-khatha’ wa an-
nisyan, yang selalu luput dengan kesalahan apabila tidak ada aturan yang mengatur dan
hamba yang saling menegur. Di sini Islam sangat berperan penting dalam mengatur tatanan
hidup manusia dan memberikan batasan-batasan pergaulan antara lawan jenis agar tidak
terlalu jauh keluar dari jalur yang telah digariskan. Salah satu aturan yang akan selalu
menjaga hubungan antara lawan jenis adalah an-nikah.
Banyak permasalahan yang akan bermunculan, apabila seorang hamba Allah SWT
yang telah terpenuhi syarat untuk nikah, namun menundanya. Tidak hanya godaan untuk
melakukan perbuatan zina yang membayangi diri manusia tersebut, melainkan tuduhan
berzina pun akan mungkin terjadi terhadapnya. Islam tidak hanya melarang dan mela’nat bagi
hambanya yang melakukan perzinahan, akan tetapi menuduh wanita baik-baik melakukan
perzinahan merupakan perbuatan yang amat keji dan terla’nat. Begitu juga dengan
permasalahan yg berkaitan dengan li’an dan zidhar.suatu perkara yang harus di bahas dengan
terperinci di karnakan hal-hal tersebut sering terjadi di kalangan kita.
Dalam Surat An-Nuur ayat 23, Allah SWT berfirman:
‫عظَي ٌم‬ ٌ‫عِذاب‬ ‫َوَّلهم‬ ‫َواَألِخْرة‬ ‫اَّلُّدْنَيا‬ ‫ِفي‬ ‫َّلِعَنوا‬ ‫اَّلُمْؤُمَناِت‬ ‫اَّلَغاِفَالِت‬ ‫اَّلُمْحَصَناِت‬ ‫يْرُموَّن‬ ‫اَّلِذيَن‬ ‫إَّن‬
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang
tengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la’nat di dunia dan akhirat, dan
bagi mereka azab yang besar, (QS. An-Nuur : 23)
Sejalan dengan beratnya hukuman bagi pelaku jarimah zina, hukum Islam melalui
ayat di atas mengancamkan hukuman yang tak kalah beratnya bagi seseorang yang
melakukan tuduhan berzina kepada orang lain. Hukuman tersebut akan dijatuhkan ketika
tuduhannya mengandung kebohongan.
Namun, apabila tuduhannya dapat dibuktikan kebenarannya, maka jarimah qadzaf itu
tidak ada lagi dan di jatuhkan kepada orang yang menuduh. Artinya, bila si penuduh tak dapat
membuktikan tuduhannya karena lemahnya pembuktian atau kesaksiannya, hukuman qadzaf
dijatuhkan bagi si penuduh. Suatu prinsip dalam fiqih Jinayah bahwa barang siapa menuduh
orang lain dengan sesuatu yang haram, maka wajib atasnya membuktikan tuduhan itu.
Apabila ia tak dapat membuktikan tuduhan itu, maka ia wajib dikenai hukuman.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. ILA’
ِۚ ‫َوَل ت ۡجِعلوا ٱَّلل ع ْۡرض ٗة َِأل ۡي َُٰمَنك ۡم أَّن تبْرَوا َوتتقوا َوتَصۡ لْحوا ب َۡيَن ٱَّلَن‬
‫َيم َل يْؤاِخِذكم ٱَّلل بٱَّلل َۡغو‬ٞ ‫اس َوٱَّلل سُمَي ٌع عل‬
‫َيم َّلِلِذيَن ي ْۡؤَّلوَّن ُمَن ْنِسآئه ۡم تْربص أ ۡربِعة أ ۡشه ْٖۖر‬ٞ ‫ور حل‬ٌ ‫ِف ٓي أ ۡي َُٰمَنك ۡم َو ََّٰلكَن يْؤاِخِذكم بُما كسب ۡت قلوبك ۡۗۡم َوٱَّلل غف‬
‫َيم‬ٞ ‫َيم َوإ َّۡن عزُموا ٱَّلط َٰلق ِفإَّن ٱَّلل سُمَي ٌع عل‬ٞ ‫ور رح‬ ٞ ‫ِفإَّن ِفآءَو ِفإَّن ٱَّلل غف‬
Artinya : Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk
berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan islah di antara manusia. Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui (224) Allah tidak menghukum kamu disebabkan
sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu
disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun (225) Kepada orang-orang yang meng-īlā`
istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali
(kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (226) Jika mereka berketetapan hati untuk talak, maka sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (227)
Kata ila’ berasal dari bahasa arab dari kata: al-‘Aliyatu yang berarti sumpah.1 Al-Jaziri
memberi keterangan bahwa kata ila’ secara bahasa lebih umum dari pengertian secara
syara’ dimana syara’ mengkhususkan hanya terhadap soal wata’ dari suami kepada
istrinya. Dengan demikian sumpah tidak makan, minum atau yang lainnya tidak termasuk
sumpah ila’.2
Adapun pengertian ila’ menurut istilah adalah sumpah kepada istrinya untuk tidak
mengkumpulinya selama empat bulan atau selama-lamanya. Dan menurut istilah fiqih, ila’
adalah menolak, tidak mau bersenggama dengan istri dengan bersumpah. Ada juga yang
menyebutkan pengertian ila’ menurut istilah adalah sumpah yang diucapkan suami kepada
istrinya, yaitu sumpah untuk tidak menyetubuhi istrinya dalam waktu tertentu.
Sebenarnya sumpah ila’ sudah ada sejak zaman Jahiliyah, yang pada masa itu sumpah
ila’ merupakan tradisi seorang suami yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dengan
tujuan agar istrinya merasa terkatung-katung seperti seorang perempuan yang tidak

1
Achmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, Surabaya, Pustaka Progessif, Edisi Kedua,
1997, hlm. 3
2
Abdul Rahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Juz IV, Bairut: Libanon, Daar al-kutub al-
‘Ilmiyah, t.th., hlm. 413
2
mempunyai suami dan merasa tersiksa dengan keadaan demikian tersebut dengan tidak
membatasi waktu dalam bersumpah untuk tidak menggauli istrinya tersebut.3
Kemudian seiring dengan perubahan dan kemajuan yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Saw, terjadi pula perubahan pada ketentuan sumpah ila’ yang oleh risalahnya
yang berupa wahyu diberi batasan tenggang waktu empat bulan, hal ini yang demikian
tersebut agar hak-hak seorang istri dapat terlindungi. Apabila Suami Kembali kepada Istrinya
sebelum habis masa empat bulan tersebut berarti ia melanggar sumpahnya dan suami wajib
membayar denda kafarat.
Zaman Jahiliyah merupakan zaman kegelapan terutama bagi kaum wanita sampai
mereka sendiri sering diberlakukan seenanknya oleh kaum laki- laki, termasuk dalam masalah
perkawinan. Jika kaum laki-laki merasa tidak suka dengan istrinya maka mereka bersumpah
untuk tidak menggaulinya tetapi tidak pula diceraikan sehingga pada saat itu wanita merasa
tertindas sekali.
Dengan datangnya Islam, hukum ila’ sebagaimana yang berlaku dikalangan Arab
Jahiliyah masih tetap berlaku. Untuk menghapuskannya dalam waktu yang dekat diduga akan
menimbulkan antipati orang-orang Arab kepada agama Islam. Oleh karena itu, sesuai dengan
salah satu asas hukum Islam dalam menetapkan hukum secara berang sur-angsur disesuaikan
dengan kemampuan masyarakat yang akan menerimanya, maka disyari’atkan ila’ dengan
menghilangkan kemungkinan-kemungkinan akibat-akibat yang merugikan pihak- pihak istri
yang di ila’ oleh suaminya. Allah membatasi kebiasaan yang buruk ini sehingga batas waktu
ila’ itu hanya empat bulan, yang dijadikan masa penangguhan bagi suami untuk
merenungkan diri dan memikirkan tentang perbuatan yang telah ia lakukan terhadap istrinya,
apakah ia membatalkan sumpahnya dengan kembali kepada istrinya atau mentalak istrinya
tersebut.
Dalam masa ila’ suami tidak boleh mendekati istrinya selama waktu yang telah
ditentukan. Seperti yang telah dijelaskan bahwa Nabi SAW meninggalkan dan menjauhkan
diri dari mereka (istri-istrinya) pada tenggang waktu yang telah ditentukan.4
Imam Malik berpendapat bahwa ila’ dapat terjadi dengan ucapan sumpah. Ulama
Madhhab Malikiyah berpendapat bahwa sumpah suami ada tiga macam.5

3
Abdul Rahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Juz IV, Bairut: Libanon, Daar al-kutub al-
‘Ilmiyah, t.th., hlm. 413
4
Abd al-Rahman ‘Abdullah bin al-Bassam, SharhBulugh al-Maram (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), 613.
5
al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami..., 466.
3
Dalam menafsirkan al Qur’an, para Mufassir masih berselisih pendapat
tentang waktu di mana perempuan itu tertalak oleh suaminya. Berikut ini beberapa
pendapat ulama mengenai hal itu.
a) Menurut Ibn Abbas, apabila ila’ itu lebih dari empat bulan dan si suami
tidak juga kembali, otomatis tertalak satu. Dan ini pendirian Madzhab
Hanifah pula.
b) Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad mengatakan bahwa berlalunya waktu itu
tidak menjadikan istri otomatis tertalak. Tetapi suami diperintahkan untuk
memilih kembali atau talak. Maka apabila suami tetap enggan menalak,
maka hakimlah yang menceraikannya.
Ayat ila’ tersebut di atas selanjutnya menimbulkan kontroversi di kalangan
ulama terkait apakah ila’ disyaratkan untuk menyusahkan (li al idhrar) ataukah
tidak. Dalam hal ini ulama terbagi ke dalam beberapa kubu, yaitu:
1) Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad, menurut mereka ila’ dianggap sah
meskipun diucapkan dalam keadaan rela maupun marah. Pendapat ini juga
didukung oleh Ibn Jarir al Thabari.
2) Malik berpendapat bahwa ila’ itu sah apabila diucapkan dalam keadaan
marah dan untuk menyusahkan. Dalil yang ia gunakan adalah apa yang
diriwayatkan oleh Ali bahwa ia pernah ditanya tentang seorang laki-laki
yang bersumpah tidak akan mencampuri istrinya sehingga anaknya disapih.
Dan sama sekali tidak dikandung maksud untuk menyusahkan pihak istri,
tapi semata-mata demi kemaslahatan anak. Maka Ali menjawab, “Engkau
benar-benar bermaksud baik. Ila’ itu hanya dalam keadaan marah.
Telah dijelaskan di muka bahwa hanya ada dua pilihan bagi suami yang
telah mengila’ istrinya, yakni kembali dan cerai. Ruju’ yang dimaksud dalam ayat
tersebut adalah bercampur. Ini sesuai dengan pendapat Sa’id bin Zubair dan al
Sya’bi. Ada pula yang berpendapat bahwa kembali di situ adalah kembali bagi
orang yang tidak ada uzur. Ii sesuai dengan yang dikemukakan Jumhur ulama.
Adapun cara untuk melakukan fai’ (kembali) ialah dengan perbuatan, seperti jima’
dan dengan ucapan.
Adapun hukum ila’ menurut para ulama adalah sebagai berikut:
Bila seorang bersumpah tidak akan mendekati istrinya, tetapi dalam masa empat bulan
dia menyentuh istrinya itu, maka hentikanlah masa ila’nya dan dia wajib membayar kafarat
yamin (denda melanggar sumpah), tetapi kalau sampai habis masa empat bulan itu dia tidak
4
bersenggama dengan istrinya itu, maka jumhur ulama berpendapat bahwa istri berhak
meminta kepada suaminya akan menyenggamanya atau mentalaknya, bila suami enggan
kedua-duanya, maka menurut:
1. Imam Malik, berpendapat bahwa hakimlah yang menjatuhkan talak laki- laki itu, karena
menjaga agar perempuan itu tidak melarat.
2. Imam Syafi’i, dan Ahli Zahir, berpendapat bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan talak
itu, tetapi dia berhak menekan laki-laki tersebut seperti memenjarakannya, sehingga dia
sendiri yang mentalak istrinya itu.
3. Menurut Ahnaf, berpendapat bila masa empat bulan telah habis dan suami tidak
menyenggama istrinya itu, maka istrinya itu telah dikenakan talak bain dengan talak
lewat masa tersebut. Dan suami tidak mempunyai hak untuk rujuk lagi, karena salah
dalam menggunakan haknya dengan enggannya bersenggama tanpa uzur itu. Dengan
demikian, maka hilanglah haknya terhadap keluarganya dan dia termasuk penganiaya
istrinya itu.
4. Imam Malik, berpendapat dengan sendirinya suami dikenakan hukum ila’, bila
maksudnya dengan mengila’ itu hendak merusakkan istrinyawalaupun dia
tidak bersumpah untuk itu, karena menimbulkan kemelaratan, maka dianggap
dia telah bersumpah.6
Adapun pihak yang boleh melakukan ila’ yaitu orang-orang yang boleh menjatuhkan
talak, meliputi orang merdeka, budak, pemabuk, pemboros dan orang yang di bawah
pengampuan (dengan catatan mereka harus baligh) serta pria baya yang masih memiliki
quwah dan nasyath untuk berjima’.
Terkait dengan kriteria sumpah yang termasuk dalam kategori ila’, di antara ulama
masih terjadi perselisihan pendapat, sebagai berikut:
1) Imam Syafi’i dalam Qaul Jadid mengatakan bahwa hanya sumpah yang disertai
dengan nama Allah saja yang bisa menjatuhkan ila’. Dasar yang dia pakai adalah
hadits
‫ فليحلف با هلل أو ليصمت‬,‫من كان حالفا‬.

2) Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa segala bentuk sumpah


yang mengindikasikan pada tarku al wathi (meninggalkan jima’) disebut ila’. Ini
sesuai dengan perkataan Ibn Abbas:

6
Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Juz 7 Alih Bahasa, Mahyuddin Syaf, Bandung, PT. Al- Ma’arif, 1990, hlm 156-157
5
‫ أقسم باهلل‬:‫ فقال‬,‫ وكل من حلف باهلل او بصفة من صفاته‬.‫كل يمين منعت جماعا فهي ايالء‬
‫ فانه يلزمه االيالء اتفاقا‬,‫ أو علي عهد هللا و كفالته وميثاقه و ذمته‬,‫أو أشهد باهلل‬
Para ulama pun telah sepakat, kalau ada seorang suami meninggalkan istrinya dalam
waktu lebih dari empat bulan, tidak juga disebut ila’, kecuali kalau dia bersumpah, karena
firman Allah jelas mengatakan ‫َّللِذيَن يْؤَّلوَّن‬. Maksudnya ialah orang-orang yang mengila’ istri-
istrinya. Sedangkan meninggalkan itu sendiri tidak disebut sumpah. Oleh karena itu ada
kaitannya dengan wajib kafarat dan istrinya tidak tertalak karena meninggalkannya.
Dalam menafsirkan al Qur’an, para Mufassir masih berselisih pendapat tentang waktu
di mana perempuan itu tertalak oleh suaminya. Berikut ini beberapa pendapat ulama
mengenai hal itu.
c) Menurut Ibn Abbas, apabila ila’ itu lebih dari empat bulan dan si suami tidak juga
kembali, otomatis tertalak satu. Dan ini pendirian Madzhab Hanifah pula.
d) Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad mengatakan bahwa berlalunya waktu itu tidak
menjadikan istri otomatis tertalak. Tetapi suami diperintahkan untuk memilih
kembali atau talak. Maka apabila suami tetap enggan menalak, maka hakimlah
yang menceraikannya.
Ayat ila’ tersebut di atas selanjutnya menimbulkan kontroversi di kalangan ulama
terkait apakah ila’ disyaratkan untuk menyusahkan (li al idhrar) ataukah tidak. Dalam hal ini
ulama terbagi ke dalam beberapa kubu, yaitu:
a) Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad, menurut mereka ila’ dianggap sah meskipun
diucapkan dalam keadaan rela maupun marah. Pendapat ini juga didukung oleh
Ibn Jarir al Thabari.
b) Malik berpendapat bahwa ila’ itu sah apabila diucapkan dalam keadaan marah
dan untuk menyusahkan. Dalil yang ia gunakan adalah apa yang diriwayatkan
oleh Ali bahwa ia pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang bersumpah tidak
akan mencampuri istrinya sehingga anaknya disapih. Dan sama sekali tidak
dikandung maksud untuk menyusahkan pihak istri, tapi semata-mata demi
kemaslahatan anak. Maka Ali menjawab, “Engkau benar-benar bermaksud baik.
Ila’ itu hanya dalam keadaan marah.
Telah dijelaskan di muka bahwa hanya ada dua pilihan bagi suami yang telah mengila’
istrinya, yakni kembali dan cerai. Ruju’ yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah
bercampur. Ini sesuai dengan pendapat Sa’id bin Zubair dan al Sya’bi. Ada pula yang
berpendapat bahwa kembali di situ adalah kembali bagi orang yang tidak ada uzur. Ii sesuai

6
dengan yang dikemukakan Jumhur ulama. Adapun cara untuk melakukan fai’ (kembali) ialah
dengan perbuatan, seperti jima’ dan dengan ucapan.

B. DZIHAR
a. Dasar Hukum Dzhihar
Allah SWT berfiman dalam surat Al-Mujadalah ayat 1 dan 2 yang artinya sebagai
berikut :
‫َيْر ٱَّلِذيَن‬
ٌ ‫َيع بَص‬ ُۢ ‫ق ُّۡد سُمع ٱَّلل ق ۡول ٱَّلتي ت َٰجُّدَّلك ِفي ز َۡوجها َوت ۡشتك ٓي إَّلى ٱَّلل َوٱَّلل ي ۡسُمع تْحاَوركُم ِۚا ٓ إَّن ٱَّلل سُم‬
ٓ َٰ
ٗ ‫ي َٰظهْرَوَّن ُمَنكم ُِمَن ْنِسآئهم ُما هَن أُم َٰهته ٖۡۖم إ َّۡن أُم َٰهته ۡم إَل ٱَّلـي َوَّل ُّۡدْنه ِۡۚم َوإْنه ۡم َّلَيقوَّلوَّن ُمَنك ْٗرا ُِمَن ٱ َّۡلق ۡول َوز‬
‫َور ِۚا‬
‫ور‬
ٞ ‫َوإَّن ٱَّلل َّلِعف ٌّو غف‬
Artinya : Sesungguhnya allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan
kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada allah. Dan allah
mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya allah maha mendengar
lagi maha melihat (1) Orang-orang yang mendhihar isterinya di antara kamu,
(menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu
mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan
sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar
dan dusta. Dan sesungguhnya allah maha pemaaf lagi maha pengampun.

Zdihar menurut etimologi berasal dari kata zhahr yang berarti punggung. Dalam
termonologi syariah, konteks membandingkan atau menyamakan isteri dengan ibunya sering
disebut dengan dhihar, dhihar bisa didefinisikan sebagai seorang suami yang mengungkapkan
bahwa istrinya itu menyerupai (secara hukum) dengan wanita yang haram dinikahinya secara
seterusnya, seperti ibu, saudara wanita dan seterusnya 7. Tindakan menyamakan dalam dhihar
adalah dengan maksud untuk mengharamkan hubungan antara suami istri. Dhihar terjadi
manakala seorang suami ingin mengharamkan istrinya dengan mengucapkan kalimat,"kamu
seperti punggung ibu saya". Maksudnya bahwa saya menyatakan bahwa istri saya itu haram
bagi saya sebagaimana haramnya punggung ibu saya bagi saya. Dhihar adalah salah satu
bentuk perceraian pada masa arab jahiliyyah. Sebagaimana mana halnya dengan illa’, maka
dhihar dilakukan oleh suami yang tidak menyukai istrinya lagi, oleh karena suami tidak berani
untuk mengatakan kata talak kepada istrinya.

7
Abdul Azhim, bin Badawi al-Khalafi, Al-Wazij, (Jakarta:Pustaka as Sunnah, 2006),hlm 622

7
Sayyid sabiq mengutip dari kitab fatul bahri, menjelaskan bahwa khusus disebut
punggung bukan anggota badan yang lainnya, karena umumnya punggung merupakan tempat
tunggangan, lalu perempuan diserupakan dengan punggung, sebab ia menjadi tempat
tunggangan laki-laki. Pada permulaan datangnya agama islam , hukum dhihar tersebut tetap
berlaku dikalangan kaum muslimin, samapi allah swt menurunkan surat al- mujadilah ayat 1
sampai 4 ketika peristiwa khaulah binti tsa’labah yang didhihar oleh suaminya.
Menurut Ibnu Asy'ur ayat di atas berkaitan dengan substansi dan hakikat amal
perbuatan guna tegaknya syari'at. Dijelaskan dalam ayat ini juga, bahwa substansi dan hakikat
sesuatu adalah yang melekat pada dirinya, bukan atas dasar dugaan atau pengakuan
seseorang.
Kata zhihar yang merupakan pengakuan seseorang secara hukum sekaligus yang
dimaksud dalam ayat di atas adalah mempersamakan istri sendiri dengan ibu kandung atau
dengan wanita lain yang haram dikawini oleh sang suami dengan keharaman abadi-baik
dengan mempersamakannya dengan punggung atau salah satu bagian badan wanita lain.
Walaupun ada juga mengatakan zhihar hanya mempersamakan istri dengan ibu bukan dengan
wanita yang lain.

b. Sejarah timbulnya Dzhihar


Dasar hukum zhihar adalah haram, karena allah mengakategorikan dhihar sebagai
perkataan yang mungkar dan dusta seperti yang telah tertera didalam ayat ke dua,surat al-
mujadilah.turunya ayat kedua menganggambarkan suatu kisah, bahwasanya aus bin
shamit pernah melakukan dhihar kepada istrinya bernama khaulah binti malik bin
tsa’labah.dia adalah perempuan yang pernah berdebat dengan rasulallah saw, dan
mengadukan nasibnya kepada allah swt.
Ketika itu khaulah binti tsa’labah berkata “wahai rasulullah, ia telah merenggut masa
mudaku dan aku hamil karenanya. Namun ketika aku berusia lanjut dan tidak mampu
melahirkan anak kembali, ia malah mendhiharku. Aku tidak kuasa menahan keperihan ini
karena aku memiliki anak yang banyak. Jika aku menyerahkan anak-anakku kepadanya bisa
jadi mereka akan kelaparan karena kemiskinan suamiku. Namun jika anak-anakku yang
masih kecil bersamaku, maka mereka akan merasakan kehilangan bapaknya. Wahai
rasulullah, putuskanlah untuk kami yang bisa mengumpulkan kami kembali bersamanya
karena ia telah menyesali perbuatannya”. Khaulah berkata,”wahai rosulullah, aus bin shabit
telah rosulullah saw kemudian berkata kepadanya,”aku belum mendapat jawaban berkaitan
dengan dengan masalah yang engkau alami ini”8

8
sabiq Sayyid , Fiqih Sunah 4,(Jakarta:Cakrawala Publishing, januari 2009)Hal 98
8
Kemudian khaulah membaca doa, “Ya allah swt sesungguhnya aku mengadu
kepadamu kemudian Allah SWT mendengarkan pengaduan dari khaulah binti tsa’labah. Lalu
turunlah surat Al-Mujadilah ayat 1 sampai dengan 4.

c. Akibat zhihar
Apabila seorang suami telah mendhihar istrinya, itu belum berarti bahwa telah terjadi
perceraian antara kedua suami istri tersebut, mereka masih terikat dengan tali perkawinan dan
masih terikat dengan hak dan kewajiban sebagai seorang suami dan istri, kecuali hak suami
untuk mencampuri istrinya. Selam suami belum membayar kaffarat dhiharnya, selama itu pula
istrinya itu haram dicampurinya.
Agar keadaan istri tidak terkatung-katung dan menderita karena telah didhihar
suaminya, maka ditetapkan masa menunggu bagi suami yang telah mendhihar istrinya, waktu
menunggu bagi istri yaitu maxsimum dapat ditetapkan selama empat bulan dengan dasar
mengkiaskan waktu menunggu dhihar kepada waktu menunggu illa’.
Apabila telah lewat waktu menunggu selama empat bulan sedangkan pihak suami
belum menetapkan pilihannya, yaitu menggauli istrinya kembali dengan membayar kaffarat
atau menjatuhkan talaknya, maka istri berhak untuk mengajukan gugatan perceraian ( khulu’)
kepada pengadilan.
Adapun rukun-rukun zhihar yaitu sebagai berikut ini :
i. Yang menzhiharkan adalah suami
ii. Yang dizhiharkan adalah istri
iii. Orang yang disamakan dengan isteri (ibu)
iv. Lafaz zhihar pada isteri ( shigat )

Adapun syarat-syarat zhihar sebagai berikut ini :


i. Suami yang menzhiharkan isteri mestilah suami yang boleh menlakukan
talak kepada isteri.
ii. Zhihar yang dilakukan mesti seorang suami dan isteri sah dalam
perkahwinan

d. Perbedaan dan persamaan antara zhihar dan talak


Orang laki-laki dijaman jahilia berkata kepada istrinya: kamu seperti punggung ibuku.
Dengan kata-kata itu wanita menjadi tertalak akan tetapi islam membatalkan dhihar dan
menjadikan suami haram bagi istrinya hingga ia membayar kafarat.
Persamaan dhihar dengan talak : adalah masing-masing menghilangkan kehalalan istri
bagi suaminya untuk melakukan hubungan badan, hanya saja perbedaan dhihar tidak

9
dianggap talak dan tidak terhitung dalam jumlah talak. Sedangkan dhihar bisa ditebus dengan
kafarat yang telah ditetapkan.9

e. Kaffarat zhihar
apabila seorang suami hendak mencampuri istrinya kembali yang telah didhiharnya
,maka sebelum melaksanakan kehendaknya itu ia wajib membayar kafarat, kewajiban
membayar kafarat itu adalah disebabkan telah terjadinya dhihar, mengenai kafarat dhihar itu
Allah swt telah memberikan penjelasan dalam surat Al- Mujadilah ayat 3 dan 4 yang artinya
sebagai berikut :
‫َوٱَّلِذيَن ي َٰظهْرَوَّن ُمَن ْنِسآئه ۡم ثم يِعودَوَّن َّلُما قاَّلوا ِفت ْۡحْريْر رقبة ُِمَن ق ۡبل أَّن يتُمآس ِۚا َٰذَّلك ۡم توعظوَّن ب ِۚهۦ َوٱَّلل بُما‬
‫َيْر ِفُمَن َّل ۡم يج ُّۡد ِفَصَيام شهۡ ْر ۡيَن ُمتتابِع َۡيَن ُمَن ق ۡبل أَّن يتُمآس ٖۖا ِفُمَن َّل ۡم ي ۡستطعۡ ِفإ ۡطِعام ست َِيَن ُم ۡسك َٗيَن ِۚا‬ٞ ‫تِعۡ ُملوَّن ِخب‬
ۡۗ ‫َٰذَّلك َّلت ْۡؤُمَنوا بٱَّلل َورسوَّل ِۚهۦ َوت ۡلك حُّدَود‬
ٌ ‫ٱَّلل َوَّل ۡل َٰكفْريَن عِذ‬
‫اب أَّلَي ٌم‬

Artinya :Orang-orang yang mendhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik
kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang
budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan
kepada kamu, dan allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(3) Barangsiapa
yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah
atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu
beriman kepada allah dan rasul-nya. Dan itulah hukum-hukum allah, dan bagi
orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.(4)
Dari keterangan surat Al-Mujadalah diatas tersebut dapat kita simpulkan mengenai
kaffarat dhihar itu ada tiga tingkatan, tingkatan-tingkatan tersebut ialah:
i. Memerdekakan hamba sahaya yang beriman
ii. Kalau budak tidak ada,puasa duabulan berturut-turut
iii. Kalau tidak sanggup berpuasa dua bulan berturut-turut, wajib memberi
makan 60 orang miskin tiap-tiap orang mendapat ¼ dari ½ kg beras.10

Jika suami berpendapat bahwa jika memperbaiki kembali hubungan dengan istrinya
tidak memungkinkan dan menurut pertimbangannya bercerai itu jalan yang terbaik, maka
hendaklah suami mengajukan talaq kepada istrinya. Tetapi apabila suami tidak mencabut
kembali dhiharnya, dan tidak pula menceraikan istrinya, maka setelah berlalu masa empat

9
Drs.Munir Amin, Samsul, Kamus Ilmu Ushul Fikih,( Sumatra: PT. Amzh, Juli 2005) Hal. 364
10
Abdul Mujieb Mabruri Tholhah Syafi’ah, Muhammad, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: PT. Pustaka
Firdaus, 1995) Hal. 442
10
bulan sejak diucapkan dhihar, maka haikm menceraikan antara keduanya sebagai perceraian
ba’in.
Dalam Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, Sayyid Quthb menjelaskan bahwa ayat ini mengatasi
masalah secara mendasar. Istri bukanlah ibu sehingga ia mesti diharamkan seperti ibu. Ibu
adalah orang yang telah melahirkan.Tidak mungkin seorang wanita menempati kedudukan ibu
hanya dengan sebuah ungkapan. Itu adalah ungkapan mungkar yang dibenci oleh realitas;
ungkapan dusta yang dibenci oleh kebenaran. Segala persoalan dalam kehidupan mesti
bertumpu pada kebenaran dan kenyataan secara jelas dan tertentu. Setiap persoalan jangan
dicampur-baurkan dan dikacaukan.11 Setelah menegaskan prinsip hukum secara jelas dan
terfokus, dijelaskan tentang keputusan penyelesaian masalah zihar dalam QS. al-
Mujadilah/58: 2. .Sayyid Quthb menafsirkan bahwa Allah menetapkan memerdekaan budak
melalui berbagai jenis kafarat. Juga menetapkan berbagai sarana untuk memerdekakan
perbudakan yang ditimbulkan oleh sistem perang hingga waktu tertentu dan berakhir dengan
salah satu cara ini. Kemudian Allah melanjutkan ketentuan hukum zihar dalam firman-Nya
pada QS. al-Mujadilah/58: 4.
Kemudian ketentuan itu diikuti dengan sebuah keterangan dan penjelasan,
“Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Mereka tetap sebagai
mukmin. Namun, penjelasan tentang aneka jenis kafarat tersebut dan kaitan antara perilaku
mereka dengan perintah serta ketentuan Allah merupakan bagian dari perkara yang
membuktikan keimanan dan mengaitkan keimanan dengan kehidupan serta menempatkan-
Nya sebagai penguasa utama dalam realitas kehidupan. “Dan itulah hukum-hukum Allah”
yang ditegakkan agar manusia berdiri di atasnya dan tidak melampauinya. Allah murka
kepada orang-orang yang tidak memelihara had, “Dan bagi orang kafir ada siksaan yang
sangat pedih.” Mereka mendapat siksaan pedih karena perbuatan melampaui batas,
menentang, tidak beriman, dan tidak berdiri di atas had-had Allah sebagai seorang mukmin.

C. QADZAF
Zina adalah suatu pelanggaran syariat yang menyebabkan pelakunya terkena hukuman
(had). Namun tidak hanya pelaku zina, orang yang menuduh zina juga bisa mendapatkan
hukuman. Dalam literatur fiqih, penuduhan zina tersebut dikenal dengan istilah qadzaf.
Allah SWT berfiman dalam surat An-Nuur ayat 4 dan 5 yang artinya sebagai berikut :
ٓ
‫َوٱَّلِذيَن ي ْۡرُموَّن ٱ َّۡلُم ْۡحَص ََٰنت ثم َّل ۡم ي ۡأتوا بأ ۡربِعة شهُّدآء ِفٱ ۡجلُّدَوه ۡم ث َُٰمَنَيَن ج ۡلُّد ٗة َوَل ت ۡقبلوا َّله ۡم ش َٰهُّدة ً أبُّد ِۚٗا َوأَو ََّٰلئك‬
‫م‬ٞ ‫ور رحَي‬ ٞ ‫هم ٱ َّۡل َٰفسقوَّن إَل ٱَّلِذيَن تابوا ُم َُۢن بِعۡ ُّد َٰذَّلك َوأصۡ لْحوا ِفإَّن ٱَّلل غف‬
Artinya :Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik lalu mereka tidak mampu
mendatangkan empat orang saksi, maka cambuklah mereka sebanyak 80 kali dan
11
janganlah kalian terima kesaksian mereka selamanya, dan mereka itulah orang-
orang yang fasiq. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki
(dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.
An-Nur [24]: 4-5)
qadzaf dari ar-ramyu bil hijarah dalam arti bahasa adalah ‫ اَّلْرُمى باَّلْحجارة َو ْنْحوها‬artinya
melempar dengan batu dan lainya 11.
Dalam istilah syara’, qadzaf ada dua macam, yaitu :
1. Qadzaf yang diancam dengan hukuman had, dan
2. Qadzat yang diancam dengan hukuman ta’zir.
Pengertian qadzaf yang diancam dengan hukuman had adalah :
‫رُمى اَّلُمْحَصَن باَّلزْنا أَو ْنفي ْنسبه‬
“Menuduh orang yang muhshan dengan tuduhan berbuat zina atau dengan
tuduhan yang menghilangkan nasabnya.”
Sedangkan arti qadzaf yang diancam dengan hukuman ta’zir adalah :
‫اَّلْرُمى بَغىْر اَّلزْنا أَو ْنفي اَّلَنسب سواء كاَّن ُمَن رُمى ُمْحَصَنا أَو غَيْر ُمْحَصَن‬
“Menuduh dengan tuduhan selain berbuat zina atau selain menghilangkan
nasabnya, baik orang yang dituduh itu muhshan maupun ghair muhshan.”
kelompok qadzaf macam yang kedua ini mencakup perbuatan mencaci maki orang dan
dapat dikenakan hukuman ta’zir. Dalam uraian berikut ini, yang akan kita bicarakan hanyalah
qadzaf macam pertama, yaitu qadzaf yang diancam dengan hukuman had.
Dalam memberikan definisi qadzaf ini, abu rahman al-jairi mengatakan sebagai berikut :
‫اَّلقِذف عبارة عَن يتهم شخص آِخْر باَّلزْنا صْريخا أَو دَلَّلة‬
“Qadzaf adalah suatu ungkapan tentang penuduhan seseorang kepada orang
lain dengan tuduhan zina, baik dengan menggunakan lafaz yang sharih (tegas) atau
secara dilalah (tidak jelas).”
contoh tuduhan yang sharih (jelas/tegas), seperti ‫ أْنت زاَّن‬artinya engkau orang yang berzina.
Adapun contoh tuduhan yang tidak jelas (dilalah) seperti menasabkan seseorang kepada orang
yang bukan ayahnya.
a. Unsur-unsur jarimah qadzaf
dari definisi yang dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa unsur-unsur jarimah qadzaf
itu ada tiga, yaitu sebagai berikut :
i. Adanya tuduhan zina atau menghilangkan nasab.

11
Ahmad Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. ( Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 61-69
12
unsur ini dapat terpenuhi apabila pelaku menuduh korban dengan tuduhan
melakukan zina atau tuduhan atau tuduhan yang menghilangkan nasabnya, dan ia
(pelaku/penuduh) tidak mampu membuktikan apa yang dituduhkannya. Tuduhan zina
kadang-kadang menghilangkan nasab korban dan kadang-kadang tidak. Kata-kata
seperti ‫“ يا ابَن اَّلزْنا‬hai anak zina”, menghilangkan nasab anaknya dan sekaligus
menuduh ibunya berbuat zina. Sedangkan kata-kata seperi ‫“ يا زاْني‬hai pezina” hanya
menuduh zina saja dan tidak menghilangkan nasab atau keturunannya.
para imam mazahib al-arba’ah berbeda pendapat perihal menuduh dengan
menghilangkan nasab. Apakah ibu dari tertuduh itu harus seorang muslimah dan
merdeka, atau tuduhan itu tetap sah walaupun dia seorang kafir dan budak. Imam
malik mewajibkan had terhadap keduanya, sedangkan ibrahim an-nakha’i mengatakan
bahwa tidak diwajibkan had apabila ibu dari tertuduh tersebut seorang budak atau ahli
kitab, dan pendapat ini sebuah qiyas dari perkataan imam syafi’i dan abu hanifah.12
dengan demikian, apabila kata-kata atau kalimat itu tidak berisi tuduhan zina
atau menghilangkan nasabnya maka pelaku (penuduh) tidak dihukum dengan
hukuman had, melainkan hanya dikenai hukuman ta’zir. Misalnya tuduhan mencuri,
kafir, minum-minuman keras, korupsi, dan sebagainya. Demikian pula dikenakan
hukuman ta’zir setiap penuduhan zina atau menghilangkan nasab yang tidak
memenuhi syarat untuk dikenakan hukuman had.
Demikian pula halnya penuduhan yang tidak berisi perbuatan maksiat,
walaupun dalam kenyataannya tuduhan tersebut memang benar, seperti menyebut
orang lain pincang, impoten, mukanya hitam, dan sebagainya. Dari uraian tersebut,
dapat dikemukakan bahwa tuduhan merupakan kata-kata yang menyakiti orang lain
dan perasaannya. Ukuran untuk menyakiti ini didasarkan kepada adat kebiasaan.
diatas telah dikemukakan bahwa tuduhan selain zina atau menghilangkan
nasab tidak dikenai hukuman had, melainkan hukuman ta’zir. Lalu bagaimana dengan
tuduhan liwath (homoseksual), atau menyetubuhi binatang, apakah dikenai hukuman
had atau ta’zir?
Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat. Menurut imam malik, imam
syafi’i, dan imam ahmad, hukumannya sama dengan hukuman tuduhan zina karena
sebagaimana telah diuraikan dalam bab zina, mereka ini menganggap liwath
(homoseksual) sebagai zina dikenai hukuman had. Akan tetapi, menurut imam ibu

12
Imam Al-qodhi Abu Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad. Bidayatul mujtahid wa
nihayatul muktashad.(Beirut Lebanon: Darul fikri, 2005), hlm. 362
13
hanifah, tuduhan liwath (homoseksual) tidak sama dengan hukuman zina, karena ia
tidak menganggap liwath sebagai zina.
Ringkasnya, kaidah umum yang berlaku dikalangan fuqaha dalam masalah ini
adalah bahwa setiap perbuatan yang mewajibkan hukum had zina kepada pelakunya,
mewajibkan hukuman had kepada penuduhnya. Sebaliknya, setiap perbuatan yang
tidak mewajibkan hukuman had atas pelakunya, juga tidak mewajibkan hukumann
had atas orang yang menuduhnya.
Tuduhan yang pelakunya (penuduhnya) dikenai hukuman had, harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
 kata-kata tuduhan harus tegas dan jelas (syarih), yaitu tidak mengandung
pengertian lain selain tuduhan zina. Apabila tuduhan itu tidak syarih maka
berarti ta’ridh atau tuduhan dengan kinayah (sindiran). Adapun qadzaf
(tuduhan) dengan kinayah, hukumannya diperselisihkan oleh para ulama.
Menurut imam abu hanifah dan salah satu riwayat dari mazhab hanbali,
pelaku(penuduh) tidak dikenai hukuman had, melainkan hukuman ta’zir.
Adapun menurut mazhab sayfi’i, apabila dengan tuduhan kinayahnya itu
memang diniatkan sebagai qadzaf maka penuduh dikenai hukuman had.menurut imam
malik, apabila kata-kata kinayahnya bisa diartikan sebagai qadzaf, atau ada qarinah
(tanda) yang menunjukan bahwa pelaku sengaja menuduh maka ia dikenai hukuman
had. Diantara qarinah itu adalah seperti adanya permusuhan atau pertengkaran antara
penuduh dan orang yang dituduh.
 orang yang dituduh harus tertentu (jelas). Apabila orang yang dituduh itu
tidak diketahui maka penuduh tidak dikenai hukuman had.
 tuduhan harus mutlak, tidak dikaitkan dengan syarat dan tidak disandarkan
dengan waktu tertentu. Dengan demikian, apabila tuduhan dikaitkan syarat
atau disandarkan kepada masa yang akan datang maka penuduh tidak
dikenai hukuman had.
 imam abu hanifah mensyaratkan terjadinya penuduhan tersebut di negeri
islam. Apabila penuduhan terjadi di darul harb maka penuduh tidak dikenai
hukuman had. Akan tetapi, imam-imam yang lain tidak mensyaratkan hal
ini.

ii. Orang yang dituduh harus orang yang muhshan


Dasar hukum tentang syarat ihshan untuk maqdzuf (orang yang tertuduh) ini adalah:
Surah An-Nur ayat 23
14
ٌ ‫إَّن ٱَّلِذيَن ي ْۡرُموَّن ٱ َّۡلُم ْۡحَص ََٰنت ٱ َّۡل ََٰغف َٰلت ٱ َّۡلُم ْۡؤُم ََٰنت َّلِعَنوا ِفي ٱَّلُّد ْۡنَيا َو ۡٱَألِٓخْرة َوَّله ۡم عِذ‬
‫َيم‬ٞ ‫اب عظ‬

Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik yang


lengah, lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan
bagi mereka azab yang besar. (qs. An-nuur:23)
dalam ayat qs. An-nuur:23, ihshan diartikan merdeka, ‫(اَّلَغاِفَالِت‬lengah)
diartikan ‫(اَّلِعفائف‬bersih) dan ‫(اَّلُمْؤُمَناِت‬mukmin) artinya muslimah. Dari dua nas (ayat) itu
para fuqaha mengambil kesimpulan bahwa iman (islam), merdeka, dan iffah(bersih)
merupakan syarat-syarat ihshan bagi maqdzuf (orang yang dituduh).
di samping tiga syarat tersebut, terdapat syarat ihshan yang lain , yaitu balig
dan berakal. Illat dari dua syarat ini bagi maqdzuf (orang yang dituduh) adalah karena
zina tidak mungkin terjadi kecuali dari orang yang balig dan berakal. Disamping itu,
zina yang terjadi dari orang gila atau anak di bawah umur tidak dikenai hukuman had.
Namun syarat balig ini tidak disepakati oleh para fuqaha. Imam abu hanifah
dan imam syafi’i memasukkannya sebagai syarat ihshan baik untuk laki-laki maupun
perempuan, sedangkan imam malik mensyaratkan hanya untuk laki-laki, tidak untuk
perempuan. Di kalangan ulama hanabilah berkembang dua pendapat. Segolongan
mensyaratkannya, sedangkan segolongan lagi tidak mensyaratkannya.
pengertian iffah dari zina juga tidak ada kesepekatannya di kalangan para
ulama. Menurut iman abu hanifah iffah dari zina itu artinya belum pernah seumur
hidupnya melakukan persetubuhan yang diharamkan bukan pada milik sendiri.
Adapun menurut imam malik pengertian iffah itu adalah tidak melakukan zina, baik
sebelum dituduh maupun sesudah. Menurut mazhab syafi’i, iffah adalah terhindarnya
orang yang dituduh dari perbuatan yang mewajibkan hukuman had zina, baik sebelum
dituduh maupun sesudahnya. Ulama hanabillah mengartikan iffah dengan tidak bisa
dibuktikannya perbuatan zina seseorang, baik dengan saksi, ikrar (pengakuan),
maupun qarinah (tanda), dan ia tidak dihukum dengan hukuman had zina.

iii. Adanya niat yang melawan hukum.


unsur melawan hukum dalam jarimah qadzaf dapat terpenuhi apabila seseorang
menuduh orang lain dengan tuduhan zina atau menghilangkan nasabnya, padahal ia
tahu bahwa apa yang dituduhkannya tidak benar. Dan seseorang dianggap mengetahui
ketidakbenaran tuduhannya apabila ia tidak mampu membuktikan kebenaran
tuduhannya.ketentuan itu didasarkan kepada ucapan rosulullah saw. Kepada hilal ibnu
umayyah ketika ia menuduh istrinya berzina dengan syarik ibn sahma’ :

15
‫اَّلبَيَنة َوإَل ِفْحُّد ِفى ظهْرك { اَّلْحُّديث أِخْرجه أبو يِعلى‬....
...datanglah saksi, apabila tidak bisa medatangkan saksi maka hukuman had
akan dikenakan kepadamu (diriwayatkan oleh abu ya’la)
padahal hilal sendiri menyaksikan peristiwa perzinahan tersebut. Hilal sendiri
tidak bisa bebas dari hukuman had, andai kata tidak turun ayat lain, inilah yang
ditunjukkan oleh al-quran dengan jelas dalam surah an-nur ayat : 13.
ٓ
‫َّل ۡوَل جآءَو عل َۡيه بأ ۡربِعة شهُّدآ ِۚء ِفإ ۡذ َّل ۡم ي ۡأتوا بٱَّلشهُّدآء ِفأَو ََّٰلئك عَنُّد ٱَّلل هم ٱ َّۡل َٰكِذبوَّن‬
Artinya: Mengapa mereka ( para penegak ) tidak mendatangkan empat orang saksi berita
bohong itu ? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itu
di sisi allah adalah orang-orang yang dusta. ( qs. An-nur: 13).
Atas dasar inilah jumhur fuqaha berpendapat bahwa apabila saksi dalam
jarimah zina kurang dari empat orang maka mereka dikenai hukuman had sebagai
penuduh, walaupun menurut sebagian yang lain mereka tidak dikenai hukuman had,
selama mereka betul-betul bertindak sebagai saksi.

b. Pembuktian jarimah qadzaf


jarimah qadzaf dapat dibuktikan dengan tiga macam alat bukti, yaitu sebagai berikut :
i. Dengan saksi
saksi merupakan salah satu alat bukti untuk jarimah qadzaf, dengan sekurang-
kurangya dua orang saksi.
Syarat-syarat saksi sama dengan syarat saksi dalam jarimah zina, yaitu balig,
berakal, adil, islami, dapat berbicara, dan tidak ada penghalang menjadi saksi.
ii. Dengan pengakuan
jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan adanya pengakuan dari pelaku
(penuduh), dan cukup dinyatakan satu kali dalam pengadilan.
iii. Dengan sumpah
menurut imam syafi’i, jarimah qadzaf dapat dibuktikan dengan sumpah apabila
tidak saksi dan pengakuan. Sedangkan imam malik dan imam hanafi tidak
membenarkan pembuktian dengan sumpah, sebagaimana yang dikemukakan oleh
mazhab syafi’i. Sedangkan sebagian ulama hanafiyah pendapatnya sama dengan
mazhab syafi’i, yaitu membenarkan pembuktian dengan sumpah, tetapi sebagian lagi
tidak membenarkannya.

c. Hukuman untuk jarimah qadzaf


Hukuman untuk jarimah qadzaf ada dua macam, yaitu sebagai berikut.

16
i. Hukuman pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak-banyaknya delapan puluh kali.
Hukuman ini adalah merupakan hukuman had yang telah ditentukan oleh syara’.
ii. Hukuman tambahan, yaitu tidak diterima persaksiannya.
Jumlah jilid adalah 80 kali, tidak dikurangi dan tidak ditambah, bila ia bertobat.
Menurut imam abu hanifah tetap tidak dapat diterima. Sedangkan menurut imam
ahmad, imam syafi’i, imam malik dapat diterima kembali persaksiannya apabila telah
tobat. Perbedaan pendapat ini kembali kepada perbedaan mereka dalam mengartikan
surat an-nur ayat 4tentang istisna (eksepsi) apakah istisnanya kembali kepada kata
yang terdekat ataukah kembali kepada seluruhnya.
Di samping itu, menurut imam malik bila seseorang malakukan qadzaf dan minum
khamar maka sanksinya cukup satu kali, yaitu delapan puluh kali jilid. Karena baik qadzaf
maupun minum khamar sama-sama diancam dengan delapan puluh kali jilid.
Dan karena sanksi kedua tindak pidana ini memiliki tujuan yang sama. Sedangkan
menurut ketiga imam lainnya sanksi qadzaf tidak dapat bergabung dengan sanksi jarimah
lainnya, masing-masing berdiri sendiri.13

d. Hal-hal yang menggugurkan hukuman


Hukuman qadzaf (orang yang menuduh) dapat gugur karena hal-hal berikut ini.
i. Karena orang yang dituduh melakukan zina memaafkan orang yang menuduh
ii. Karena orang yang dituduh melakukan zina membenarkan tuduhan penuduh.
iii. Karena lii’an. Yaitu orang yang tidak mempunyai saksi bisa diterima dengan
bersumpah menyebut nama allah swt. Empat kali bahwa dia adalah benar dalam
tuduhannya.
iv. Karena penuduh dapat mendatangkan empat orang saksi, bahwa tertudu benar-benar
melakukan zina.

13
A. Djazuli. Fiqih Jinayah. (Jakarta: Raja Garfindo Persada, 1997), hlm. 68-69
17
D. LI’AN
Qs. An-nuur [24]: 6-10

َٰ ‫َل أْنفسه ۡم ِفش َٰهُّدة أحُّده ۡم أ ۡربع ش َٰه َُّٰد ُِۢت بٱَّلل إْنهۥ َّلُمَن ٱ‬
‫َّلَصُّدقَيَن‬ ٓ ‫َوٱَّلِذيَن ي ْۡرُموَّن أ ۡز ََٰوجه ۡم َوَّل ۡم يكَن َّله ۡم شهُّدآء إ‬
‫َوٱ َّۡل َٰخُمسة أَّن َّلِعۡ َنت ٱَّلل عل َۡيه إَّن كاَّن ُمَن ٱ َّۡل َٰكِذبَيَن َوي ُّۡدرؤا ع َۡنها ٱ َّۡلِعِذاب أَّن ت ۡشهُّد أ ۡربع ش َٰه َُّٰد ُِۢت بٱَّلل إْنهۥ َّلُمَن‬
‫ضل ٱَّلل عل َۡيك ۡم َور ۡحُمتهۥ َوأَّن ٱَّلل‬ َٰ ‫َوٱ َّۡل َٰخُمسة أَّن غضب ٱَّلل عل َۡيها ٓ إَّن كاَّن ُمَن ٱ‬. ‫ٱ َّۡل َٰكِذبَيَن‬
ۡ ‫َوَّل ۡوَل ِف‬. ‫َّلَصُّدقَيَن‬
‫اب حكَي ٌم‬
ٌ ‫تو‬

Artinya “dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-masing
orang itu ialah empat kali bersumpah dengan (nama) allah, babhwa sesungguhnya
dia adalah termasuk orang yang benar.”6 “dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat
allah akan menimpanya, jika dia termasuk orang yang berdusta.”7 “dan istri itu
terhindar dari hukuman apabila dia bersumpah empat kali atas (nama) allah bahwa
dia (suaminya) benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta.”8 “dan (sumpah)
yang kelima bahwa kemurkaan allah akan menimpanya (istri), jika dia (suaminya)
itu termasuk orang yang berkata benar.”9”dan sekiranya bukan karena allah dan
rahmat-nya kepadamu (niscaya kamu akan menemukan kesulitan). Dan
sesungguhnya allah maha penerima tobat, mahabijaksana.”10.
Ayat yang mulia ini merupakan jalan keluar bagi suami dan tambahan jalan keluar,
jika suami menuduh istrinya berbuat zina dan dia kesulitan untuk mengajukan kesaksian.jalan
keluar itu ialah suami me-li’an istrinya sebagaimana diperintahkan allah azza wa jalla. Hakim
meminta suami bersumpah dengan empat kesaksian atas nama allah sebagai padanan empat
orang saksi. Kesaksian itu menyatakan bahwa dia benar dalam tuduhan bahwa istrinya
berbuat zina. “dan yang kelima: bahwa laknat allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang
yang berdusta.
Menurut imam syafi’i dan sekelompok ulama, dengan sumpah li’an ini berarti suami
telah menyampaikan kesaksian, dan istrinya pun haram atas dirinya untuk selamanya, lalu dia
memberi istrinya (melunasi) mahar. Kemudian suami menghadapkan istrinya kepada
hukuman perzinaan.14
Kata “li’an” terambil dari kata al-la’nu, yang artinya jauh dan laknat atau kutukan.
Disebut demikian karena suami yang saling berli’an itu berakibat saling dijauhkan oleh

14
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir(terj. Drs. Syihabuddin),
jilid-3, cet-8, (Depok: Gema Insani, 2006) hlm 459
18
hukum dan diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk selama-lamanya, atau karena
yang bersumpah li’san itu dalam kesaksiannya yang kelima menyatakan bersedia menerima
laknat (kutuk) allah jika pernyataannya tidak benar.Menurut istilah hukum islam, li’an ialah
sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat
kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada
sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat allah jika ia
berdusta dalam tuduhannya itu.15
Hukuman perzinaan itu tidak dibebaskan dari istri, kecuali jika dia balik meli’an
suaminya. Lalu si istri bersaksi dengan empat kesaksian atas nama allah bahwa tuduhan suami
atas perzinaan dirinya itu dusta. “dan yang kelima ialah bahwa laknat allah atasnya jika
suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” Karena itu, allah ta’ala berfirman, “istrinya
itu dihindarkan dari hukuman,”, yakni had, “oleh sumpahnya empat kali atas nama allah
sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta.
Dan yang Kelima ialah bahwa laknat allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-
orang yang benar”. Kemurkaan allah dikhususkan bagi dirinya. Hal ini karena pada umumnya
seorang laki-laki tidak mau membebankan rasa malu kepada istrinya dan menuduhnya berbuat
zina kecuali jika dia benar dan mempunyai alasan, dan istrinya pun mengetahui kebenaran
tuduhannya suaminya.
Karena itu, pada sumpah kelima yang diucapkan istri dikatakan bahwa murka allah
akan menimpa dirinya jika dia berdusta. Yang dimurkai allah ialah orang yang mengetahui
kebenaran, kemudian mengelak darinya.
Kemudian Allah SWT menceritakan kasih sayang dan kelembutan-nya kepada
makhluk-nya dalam pensyariatan jalan keluar bagi mereka dari suatu kemelut yang rumit.
Maka allah ta’ala berfirman, “dan andai kata tidak ada karunia allah dan rahmat-nya atas
dirimu,” niscaya kamu akan mengalami banyak kesulitan dalam persoalanmu, : dan bahwa
allah itu penerima taubat” terhadap hamba-hamba-nya, walaupun karunia itu terjadi setelah
sumpah yang berat, “lagi maha bijaksana” dalam perkara yang disyariatkan, diperintahkan,
dan dilarang-nya.
Bahwa sesungguhnya allah swt mensyari’atkan li’an dengan maksud untuk menutupi
kekejian ini atas hamba-nya. Maka kalau seandainya tidak disyari’atkan tentu suami (sebagai
penuduh) terkena hukuman (dera) padahal pada hakekatnya ia benar, sedang dengan li’an ini
kedua-duanya menanggung resiko kehinaan dan cela dan kalau seandainya dipadang cukup
(pembuktiannya) dengan bersumpahnya pihak suami maka tentu istri terkena hukuman

15
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, cet-2 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006) hlm. 238-239
19
(rajam). Maka merupakan suatu kebijakan dan pandangan yang bagus bahwa secara serentak
disyari’atkan hukum (li’an) ini untuk keduanya, sehingga keduanya terhindar dari hukuman
lantaran sumpah-sumpahyang mereka ucapkan itu.16
a. Asbabul nuzul
Imam bukhari, tirmidzi dan ibnu majjah meriwayatkan dari ibnu abbas r.a bahwa hilal
bin umayah menuduh istrinya (berzina) dengan syarik bin sahma’ di sisi nabi saw. Lalu
nabi saw bersabda:
‫البيّنة و الّّ فح ّّد في ظهرك‬
(tampilkan) bukti! Jika tidak, hukuman (dera) menimpa punggungmu!

Lalu hilal bertanya: ya rasulullah, apakah kalau salah seorang diantara kita melihat
istrinya bepergian dengan seorang laki-laki lain itu masih harus mencari bukti (lagi)? Nabi
saw bersabda (lagi): “tampilkan bukti! Jika tidak, hukuman (dera) mengenai
punggungmu”. Hilal lalu berkata: demi dzat yang mengutusmu dengan benar, semoga
Allah segera menurunkan (ayat) yang akan membebaskan punggungku dari hukuman.
Lalu allah menurunkan Surat Annur 6-10, jika ia (suaminya) benar”. Kemudian Nabi
Muhammad saw pergi meningggalkannya lalu ia memanggil Hilal dan istrinya lalu Hilal
datang kemudian ia bersumpah (li’an), lalu Nabi Muhammad SAW bersabda: “Allah
maha tahu, dimana sesungguhnya salah seorang diantara kalian ini berdua ini pasti ada
yang dusta, lalu apakah ada diantara kalian yang sudi bertaubat?”
Kemudian istrinya berdiri lalu bersumpah pula dan tatkala sampai pada sumpahnya
yang kelima, orang-orang pada menghentikannya seraya berkata: “Sesungguhnya sumpah
yang kelima inilah yang menentukan!” Lalu ia berhenti dan mundur hingga kita mengira
bahwa ia akan membatalkan (sumpahnya), lalu ia berkata: “aku tidak akan membuat cela
kaumku!” Kemudian ia melanjutkan (sumpahnya). Lalu Nabi Muhammad SAW bersabda:
“lihatlah dia itu, jika kelak ia datang membawa bayinya yang kedua matanya hitam
laksana bercelak, kedua pinggulnya besar dan kedua betisnya berisi, maka ia anak si
syarik bin sahma’”. Kemudian datanglah perempuan itu membawa bayinya dalam
keadaan persis seperti yang yang disifati Nabi Muhammad SAW, lalu Nabi bersabda:
“kalau seandainya belum ada keputusan dari kitabullah tentu ada masalah bagiku dan
perempuan itu.”17
b. Akibat li’an

16
Mu’ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, jilid-2, cet-4 (Surabaya: PT.Bina
Ilmu, 2003) hlm. 163

17
Op.Cit hlm.159-160
20
Sunnah nabi menentukan, bahwa suami istri yang ber-li’an tidak dapat bertemu lagi
(sebagai suami istri) buat selama-lamanya, oleh karena itu apabila suami istri telah ber-
li’an maka berarti terjadilah perceraian antara keduanya untuk selama-lamanya.
Ibnu abbas r.a meriwayatkan, bahwa Nabi Muhammad SAW. Bersabda:
‫اذاتفر قال يجتمعان ابدا‬
ّّ ‫المتالعنان‬
“suami istri yang ber-li’an apabila telah bercerai maka tidak dapat bertemu
kembali (sebagai suami istri) buat selama-lamanya”. (h.r ad-daruquthni)

Ali dan ibnu mas’ud r.a berkata:

‫مضت السنّة ان ل يجتمعان‬


“berlakulah sunnah nabi bahwa suami istri yang berli’an tidak dapat bertemu
kembali (sebagai suami istri).” (h.r. Ad-daruquthni).

Hikmah larangan bertemu lagi buat selama-lamanya ini ialah karena antara keduanya
telah terjadi saling membenci dan saling memotong (tali kekeluargaan dan kasih sayang)
diantara mereka yang bersifat abadi, sebab pihak suami kalau ia benar dalam tuduhannya
berarti ia telah menyiarkan kekejian istrinya dan celanya di hadapan khalayak ramai yang
menyaksikan li’an itu berlangsung, dimana hal itu sama saja dengan menempatkan
istrinya dalam kehinaan dan kerendahan, dan kalau ia dusta dalam tuduhannya maka
benar-benar ia telah berdusta terhadap istrinya dan menambah rasa sakit hatinya,
penyesalannya dan kemarahannya. Demikian juga pihak istri kalau ia benar telah
mebohongi suaminya (bersaksi dia tidak melakukan) maka benar-benar ia telah merusak
nama baik merusak nama baik keluarga, mengkhianati suami serta membuatnya tercela
dan terhina.
c. Perbedaan fuqaha’ tentang kapan diceraikannya istri dengan adanya li’an
Imam syafi’i rah, berpendapat bahwa perceraian di antara keduanya itu terjadi semata-
mata sebab li’annya suami meskipun pihak istri menolak untuk berli’an.
Imam malik dan ahmad dalam salah satu dari dua riwayatnya berpendapat bahwa
perceraian itu tidak terjadi malainkan apabila kedua suami istri itu sama-sama berli’an.
Sedang abu hanifah dan ahmad dalam riwayatnya yang lain berpendapat bahwa
perceraian itu tidak terjadi melainkan setelah terjadi saling berli’an dengan sempurna dan
kemudian keduanya diceraikan oleh hakim.18
d. Pelaksanaan li’an

18
Ibid. Hlm. 175-176
21
Fuqaha’ sepakat bahwa pelaksanaan li’an harus di depan hakim atau orang yang
dikuasakan olehnya sebab apabila satu pihak dari suami-istri itu menolak untuk berli’an
maka ia harus di hukum (dera/rajam), sedang melaksanakan hukuman adalah khusus
menjadi wewenang hakim (pengadilan). Imam seharusnya menasihati dan mamberi
peringatan tentang hukuman dan laknat allah jika terbukti berdusta.19 Teknisnya yaitu
seorang suami yang akan meli’an istrinya mengucapkan kalimat sumpah di bawah ini
sebanyak 4 kali:
ّ ‫اشهد باهلل إنّنى لمن ال‬
ّ ‫صادقين فيما رميت به زوجتي فالنة من‬
‫الزنا‬

“Aku bersaksi dengan nama allah bahwa aku termasuk orang yang jujur dalam
tuduhan terhadap istriku si fulan dengan perbuatan zina.”

Yang kelima ditambah kalimat dibawah ini:

‫علي ان كنت من الكا ذبين‬


ّّ ‫وإنّّ لعنة هللا‬

“Bahwasanya laknat allah atasku jika aku termasuk orang-orang yang berbohong.”

Dan istri menjawab suami dengan kalimat di bawah ini sebanyak 4 kali:

ّ ‫اشهد باهلل إنّه لمن الكا ذبين فيما رما ني به من‬


‫الزنا‬

“Aku bersaksi kepada allah bahwasanya dia termasuk orang-orang yang berbohong
dalam tuduhannya terhadapku dengan perbuatan zina.”

‫وإن غضب هللا علي ان كان من الصادقين فيما رما ني به من الزنا‬

“Sesungguhnya murka allah atasku jika memang dia termasuk orang yang jujur
dengan tuduhannya terhadapku dengan perbuatan zina.”

Ditambah kalimat ini jika sang suami ingin menafikan anak yang dilahirkan istrinya.

ّ ‫وإنّّ هذا الولد من‬


‫الزنا‬
“Dan bahwasanya anak itu hasil dari zina.”20

19
Ibid. Hlm. 168
20
Segaf Hasan Baharun, Bagaimana Anda Menika dan Mengatasi permasalahannya?, cet-1, (Bangil: Yayasan
Pondok Pesantren Darullughahwadda’wah, 2006) hlm. 182-183
22
BAB III
KESIMPULAN

1. Ila’ menurut bahasa artinya bersumpah takkan melakukan sesuatu, sedangkan


menurut syara’ yang dimaksud ila’ ialah bersumpah takkan menyetubuhi istri. Syarat
Ila’ yaitu :Suami Istri dalam keadaan baligh, berakal sehat, dan tidak gila dan Ila’
Hendaknya berupa sumpah atas nama Allah, atau salah satu sifat-Nya dan berisi
bahwa suami harus membayar kafarat.
2. Dzihar merupakan suatu perkataan dari seorang suami kepada istrinya dengan
mengatakan bahwa istrinya tersebut sama dengan punggung ibunya, dengan maksud
suami untuk mengharamkan istrinya yang sama halnya haram ibunya atas dirinya
untuk digauli. Hal ini disebabkan oleh karena suami tidak berani untuk mengatakan
ucapan talak kepada istrinya,
3. Dalam permasalah dhihar ini, ada beberapa syarat atau kaffarat yang yang harus
dipenuhi oleh seorang suami jika ingin menarik ucapan dan hendak menggauli
istrinya kembali, dengan kaffarat seperti yang telah dijelaskan diatas.
4. Tuduhan merupakan perbuatan yang sangat keji dan tidak terpuji. Perbuatan ini dapat
menghancurkan harga diri seseorang apalagi tuduhan tersebut terbukti
kebohongannya. Hal ini tidak hanya berlaku pada permasalahan zina, namun
mencakup semua aspek kehidupan seseorang. Pada hakekatnya perbuatan qadzaf ini
akan memberikan wadah bagi si penuduh untuk melakukan perbuatan maksiat
lainnya, seperti mengguncing (ghibah), menghasut, berbohong, dan maksiat lainnya.
Sehingga dosa yang akan didapatkannya berlipat ganda.
5. Dari penjelasan di atas, Penulis menarik kesimpulan, bahwa para ulama telah sepakat
menyatakan sesungguhnya perbuatan qadzaf (menuduh) merupakan perbuatan yang
sangat dimurkai Allah dan dapat dijatuhkan hukuman had atau ta’zir. Hukuman had
diberikan apabila tuduhan itu mengarah kepada perihal zina, sedangkan hukuman
ta’zir diberikan jika tuduhan itu mengarah kepada menyakiti orang lain. Tuduhan
tersebut harus berbentuk sharih (jelas), adapun jika berbentuk ta’ridh (tidak
jelas) telah terjadi perbedaan pendapat di dalamnya.Adapun pembuktian jarimah
qadzaf dapat dibuktikan dengan saksi, pengakuan, dan sumpah.
6. kaidah umum yang berlaku dikalangan Fuqaha dalam masalah ini adalah bahwa setiap
perbuatan yang mewajibkan hukum had zina kepada pelakunya, mewajibkan
hukuman had kepada penuduhnya. Sebaliknya, setiap perbuatan yang tidak

23
mewajibkan hukuman had atas pelakunya, juga tidak mewajibkan hukuman had atas
orang yang menuduhnya, maka dalam hal ini berlaku ta’zir.
7. Apabila suami menuduh istrinya berzina maka noleh jadi ia di hukum (had) atau ber-
li’an
a. Li’an khusus terhadap suami istri
i. Li’an betujuan untuk kemaslahatan suami istri.
ii. Kata-kata li’an harus diucapkan lima kali dengan redaksi tersendiri.
iii. Seharusnya li’an dilaksanakan dengan berwibawa,baik tempat dan
waktunya.
iv. Bagi suami istri yang berli’an haram kembali selama-lamanya.
v. Dipergunakannya kata “la’nat” khusus untuk suami dan “ghadab”
(murka) untuk istri
vi. adalah untuk membedakan di antara kejiwaan suami istri.

24
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, sinar grafika, cetakan k-2, jakarta, 2005,
hlm. 61-69
Imam Al-qodi Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin ahmad,
bidayatul mujtahid wa nihayatul muktashad, darul fikri, Beirut Lebanon, 2005,
jilid ke-2. Hlm 362-363.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. 2006. Taisiru al-Aliyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu
Katsir(terj. Drs. Syihabuddin). Depok: Gema Insani.
Baharun, Segaf Hasan. 2006. Bagaimana Anda Menika dan Mengatasi
permasalahannya?. Bangil: Yayasan Pondok Pesantren
Darullughahwadda’wah.
Ghazaly, Abd. Rahman. 2006. Fiqih Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Hamidy, Mu’ammal dan Imron A. Manan. 2003. Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-
Shabun. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Mujieb Abdul Mabruri Tholhah Syafi’ah, Muhammad, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta:
PT. Pustaka Firdaus, 1995)
Azhim, Abdul bin Badawi al-Khalafi, Al-Wazij, (Jakarta:Pustaka as-Sunnah, 2006)
Drs. Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,( Jakarta : Bulan
Bintang, 1974)
Sayyid sabiq , Fiqih Sunah 4,(Jakarta:Cakrawala Publishing, januari 2009)
Munir Drs Amin, Samsul, Kamus Ilmu Ushul Fikih,( Sumatra: PT. Amzh, Juli 2005)

25

Anda mungkin juga menyukai