Anda di halaman 1dari 16

KAJIAN ASBĀB AL-NUZŪL AYAT ĪLĀ’ DAN ẒIHĀR

MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Asbāb al-Nuzūl

HALAMAN JUDUL

Dosen Pengampu:
Dr. Khoirul Umami, M.Ag.

Oleh:
NUR FIATIN HAFIDH
NIM. 02040521046

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA

2022
1

PENDAHULUAN

Islam mensyariatkan sebuah pernikahan sebagai sebuah ikatan yang tidak


terikat oleh waktu. Setiap kebajikan yang dilakukan di dalamnya bernilai ibadah
dan menjadi ladang pahala. Walaupun demikian, adalah sebuah keniscayaan
bahwa setiap pernikahan pasti menemui problem yang dapat menggoyahkan
keutuhan rumah tangga, seperti kasus īlā’ yang termaktub dalam QS. al-
Baqarah:02: 226-227 dan ẓihār dalam QS. al-Mujādilah:58: 2-4.
Aksin Wijaya dalam karyanya “Arah Baru Studi Ulumul Qur‟an”
mengemukakan bahwa sebagian ayat al-Qur‟an turun dilatar belakangi oleh suatu
peristiwa yang disebut dengan sabab al-nuzūl. Sedangkan suatu peristiwa
terbentuk karena realitas.1 Berkaitan dengan īlā’ dan ẓihār dalam al-Qur‟an, maka
menjadi penting mengetahui sabab al-nuzūl dari keduanya, serta melihat realitas
yang terjadi pada masa tersebut.
Selain melacak sebab turunnya suatu ayat beserta realitas yang
membentuknya, hal yang tidak kalah penting adalah cara mengontekstualisasikan
ayat tersebut pada masa sekarang. Oleh karena itu, setelah mengetahui makna
asal sebuah teks, langkah selanjutnya adalah menggali signifikansi dari teks
tersebut sesuai dengan konteks kekinian. Berdasarkan latar belakang tersebut,
maka rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana asbāb al-nuzūl dari ayat tentang īlā’ dan ẓihār?
2. Bagaimana kontekstualisasi kandungan ayat īlā’ dan ẓihār di masa
kontemporer?

PEMBAHASAN
A. Īlā’
1. Definisi Īlā’
Secara epistimologi, īlā’ berarti bersumpah yang tidak berhubungan
dengan masa tertentu.2 Dalam pendapat yang lain disebutkan bahwa īlā’

1
Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulumul Qur‟an (Yogyakarta: IRCiSoD, 2020), 244.
2
Yaḥyā ibn Abū al-Khair al-Shāfi‟ī, al-Bayān fī Madhhab al-Shāfi’ī (ttp: Dār al-Manhaj, tt), 271.
2

berarti menjauh.3 Hal ini sesuai dengan tafsiran ayat ‫للذين يؤلون من نسائهم تربص‬

‫اربعة اشهر‬4 mengandung maksud “bagi orang yang meng-īlā‟ yaitu menjauhkan

diri mereka dari para istri mereka, harus menunggu empat bulan”.

Sedangkan secara terminologi, para jumhur ulama sepakat bahwa īlā’


adalah sumpah suami -yang sah talaknya- dengan asma Allah atau sifat-Nya
untuk tidak menggauli istri secara mutlak atau lebih dari empat bulan.
Definisi ini disortir dari tradisi masa Jahiliyah yang menjadikan īlā’ sebagai
talak yang bersifat konstan.5

Berdasarkan definisi ini dapat dipahami bahwa īlā’ tidak boleh dilakukan
oleh orang selain suami sah. Ketentuan suami yang sah mentalak istri adalah
baligh, berakal, dan mampu untuk waṭi’. Kecuali itu, batas minimum sumpah
adalah harus di atas empat bulan. Oleh karenanya, sumpah yang berada di
batas empat bulan atau di bawahnya tidak dinamakan īlā’ melainkan sumpah
biasa saja.6 Islam menetapkan tenggat waktu empat bulan ini karena diyakini
perempuan masih bisa bersabar selama masa tersebut. Sedangkan
melampauinya, sama saja dengan membiarkan ketidakharmonisan keluarga
berlarut-larut, maka Islam mengharamkannya.7

Īlā’ diharamkan dalam Islam karena menyakiti perempuan. Namun, jika


sumpah tersebut dilakukan untuk tujuan mendidik maka diperbolehkan asal
tidak melebihi waktu empat bulan. Pada masa dulu, sumpah īlā’ bertujuan
untuk memberikan pelajaran bagi para istri yang membangkang atau tidak

3
Ibn al-Qāsim al-Ghazzā, Ḥāshiyah al-Shaikh Ibrāhīm al-Baijūrī (Beirut: Dār al-Kutub al-
Ilmiyah, 1999), 288.
4
QS. al-Baqarah/02: 226.
5
al-Shāfi‟ī, al-Bayān fī Madhhab al-Shāfi’ī, 271.. Lihat juga, al-Ghazzā, Ḥāshiyah al-Shaikh
Ibrāhīm al-Baijūrī, 288-289. Bandingkan dengan, Abū Mālik Kamāl ibn al-Sayyid Sālim, Ṣaḥīḥ
Fiqh al-Sunnah wa Adillatuhū wa Tauḍīh Madhāhib al-Aimmah (Kairo: al-Maktabah al-
Taufīqiyah,tt), 362.
6
al-Ghazzā, Ḥāshiyah al-Shaikh Ibrāhīm al-Baijūrī, 290.
7
Alī ibn Aḥmad al-Wāḥidī, Asbāb al-Nuzūl al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1991),
81.
3

melaksanakan tugas.8 Bahkan Rasulullah pernah melakukannya, karena īlā’


juga termasuk jenis hujūr.9

2. Rukun Īlā’
Adapun rukun īlā’ ada enam:10
1. Suami (ḥālif)
Rukun īlā’ yang pertama adalah suami. Menurut Abū Ḥanīfah, sumpah
suami baik merdeka atau budak, muslim atau kafir adalah sah karena
dalam QS. al-Baqarah:02: 226 tidak ada batasan īlā’ hanya untuk suami
merdeka atau muslim saja. Di samping itu, ketentuan ḥālif di sini
mensyaratkan si suami harus mukallaf, boleh melakukan talak, dan
mengucapkan sumpah atas kemauan sendiri.11
2. Istri (maḥlūf „alaihā)
Rukun īlā’ kedua adalah istri. Maka apabila seorang suami meng-īlā’
perempuan yang bukan istrinya maka ia tidak termasuk orang yang
bersumpah (mūlin).
3. Sumpah (maḥlūf bihī)
Ketika seorang suami hendak meng-īlā’ istrinya maka ia harus
menggunakan sumpah dengan asma Allah atau sifat-sifat-Nya. Sumpah
boleh juga dengan syarat atau nazar. Nazar mencakup nazar ibadah atau
memerdekakan budak. Sedangkan nazar dengan talak dianggap tidak sah.
4. Objek sumpah (maḥlūf „alaih)
Objek sumpah yang dimaksud disini adalah kehendak suami untuk tidak
menggauli istri.

8
“Sumpah dan Ila‟; Surah al-Baqarah Ayat 224-227”, Suara Muhammadiyah: Syiar Islam
Berkemajuan pada https://suaramuhammadiyah.id/2020/03/06/sumpah-dan-ila-2-surat-al-baqarah-
ayat-224-227/amp/. Diunggah pada tahun 2020.
9
Dalam QS. al-Nisa‟/04: 34, Allah memperbolehkan suami untuk mendidik istri yang tidak
menjalankan kewajibannya dengan memberi nasihat, meninggalkan tempat tidurnya, atau bahkan
memukulnya. Lihat, Abd al-Karīm ibn Muḥammad al-Lāḥim, al-Muṭli’ ‘alā Daqāiq Zād al-
Mustaqni’ (Riyāḍ: Knooz Keshbelia, 2010), 94.
10
al-Shāfi‟ī, al-Bayān fī Madhhab al-Shāfi’ī, 271. Bandingkan dengan, Sālim, Ṣaḥīḥ Fiqh al-
Sunnah wa Adillatuhū…, 362, Alfin Haidar Ali, “Sumpah Ila‟ dalam Islam”, Majalah Nabawi
Media pada https://majalahnabawi.com/sumpah-ila-dalam-islam/?amp=1. Diunggah pada tahun
2021.
11
Ali, “Sumpah Ila‟ dalam Islam”, Majalah Nabawi Media pada
https://majalahnabawi.com/sumpah-ila-dalam-islam/?amp=1. Diunggah pada tahun 2021.
4

5. Tempo sumpah (muddah)


Sebenarnya para ulama berbeda pendapat tentang tempo minimum dari
sumpah ini. Pendapat pertama adalah dari Abū Ḥanīfah. Beliau
mengemukakan bahwa sumpah yang dilakukan dengan tempo empat
bulan atau di bawahnya tetap dihukumi sah. Hal tersebut atas
pertimbangan bahwa kafarat yang ditetapkan Allah adalah sebagai
tebusan atas kezaliman suami terhadap istri, baik sebentar maupun dalam
waktu yang panjang. Sedangkan pendapat yang kedua menyatakan bahwa
sumpah sehari, dua hari, atau di bawah empat bulan dianggap sumpah
biasa saja.12
6. Redaksi sumpah (ṣīghat)
Redaksi sumpah dapat dikelompokkan pada tiga macam, yaitu:13
a. Ṣāriḥ ẓāhiran wa bāṭinan, seperti ‫ال اغيب ذكري ىف فرجك‬

b. Ṣāriḥ fī al-hukm, seperti ‫الوطئتك‬

c. Kināyah, seperti ‫الابشرتك‬, ‫وهللا اليتوقف رأسي ورأسك‬. Sumpah dengan

sindiran membutuhkan niat. Jika ia berniat mengucapkan sumpah īlā’


dengan sindiran tersebut, maka jatuh hukum īlā’. Begitupun
sebaliknya, jika sindiran tersebut diucapkan tanpa niat īlā’, maka tidak
dihitung sumpah īlā’.14

3. Kafarat Īlā’

Penting diketahui bahwa gugurnya sumpah īlā’ disebabkan empat hal,


yaitu habisnya waktu, talak bāin, wafatnya salah satu pihak, dan waṭi’. Maka,
apabila seorang suami yang telah mengucapkan sumpah untuk tidak
menggauli istri dalam jangka waktu lebih dari empat bulan, kemudian
melanggar dengan menggauli istri, maka sumpah dianggap gugur namun

12
al-Shāfi‟ī, al-Bayān fī Madhhab al-Shāfi’ī, 284.
13
Ibid. 281-282.
14
al-Ghazzā, Ḥāshiyah al-Shaikh Ibrāhīm al-Baijūrī, 290.
5

harus membayar kafarat, yaitu dengan memerdekakan budak, memberi


makan 10 orang miskin, atau berpuasa selama tiga hari berturut-turut.15

4. Sabab al-Nuzūl Ayat Īlā’

‫ حدثنا‬,‫ حدثنا ابراىيم بن مرزوق‬,‫ حدثنا دمحم بن يعقوب‬,‫اخربان دمحم بن موسى بن الفضل‬
‫ عن ابن عباس‬,‫ حدثنا عامر األحول عن عطاء‬,‫ حدثنا احلارث بن عبيد‬,‫مسلم بن ابراىيم‬
‫ فمن كان‬,‫ فوقت هللا اربعة اشهر‬,‫ كان ايالء اىل اجلا ىلية السنة والسنتني واكثر من ذلك‬:‫قال‬
‫ايالءه اقل من اربعة اشهر فليس إبيالء‬
“Diriwayatkan dari Muḥammad ibn Mūsā ibn Fadhl, dari Muḥammad ibn
Ya‟qūb, dari Ibrāhīm ibn Marzūq, dari Muslim ibn Ibrāhīm, dari Ḥārith ibn
Ubaid, dari Āmir ibn al-Aḥwāl, dari „Aṭā‟ dari Ibn Abbās, ia berkata:
Sesungguhnya īlā’-nya masyarakat Jahiliyah satu tahun, dua tahun atau
bahkan lebih dari itu. Maka Allah membatasi tenggat waktu sumpah dengan 4
bulan saja. Maka barang siapa yang sumpah īlā’-nya masih dalam masa
empat bulan, maka tidak disebut īlā’ ”.16

Menurut Sa‟īd ibn Musayyab, īlā’ temasuk kebiasaan para suami Jahiliyah
yang tidak lagi memiliki interest terhadap istrinya, namun di satu sisi ia tidak
ingin si istri dinikahi laki-laki lain. Maka ia melontarkan sumpah untuk tidak
mendekati istri, sehingga pihak istri digantung pada keadaan tidak bersuami
tapi tidak menjanda. Oleh karena itu, Allah menetapkan tenggat waktu
sumpah sampai empat bulan saja dengan turunnya QS. al-Baqarah:02: 226-
227.17

B. Ẓihār
1. Definisi Ẓihār
Term ẓihār berasal dari isim maṣdar mushtaq; ẓahrun yang berarti
punggung. Berdasarkan makna aslinya, maka ẓihār berarti menghadapkan

15
Ali, “Sumpah Ila‟ dalam Islam”, Majalah Nabawi Media pada
https://majalahnabawi.com/sumpah-ila-dalam-islam/?amp=1. Diunggah pada tahun 2021.
16
al-Wāḥidī, Asbāb al-Nuzūl al-Qur’ān, 80. Bandingkan dengan al-Suyūṭī, al-Durr al-Manthūr fī
al-Tafsīr al-Ma’thūr (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, tt), 482-483, al- Suyūṭī, Lubāb al-Nuqūl fī
Asbāb al-Nuzūl (Beirut: Muassasah al-Kutub al-Thaqāfiyyah, 2002), 255.
17
Ibid. 81.
6

punggung dengan punggung.18 Definisi ini dibantah oleh imam al-Rāzī bahwa
arti ẓihār yang dimaksud bukanlah bagian yang melekat di badan, melainkan
lambang ketinggian. Maka barang siapa yang posisinya lebih tinggi dari yang
lain, maka ia disebut melakukan ẓihār, dan pihak yang di bawahnya telah
dijatuhi ẓihār.19
Sedangkan secara terminologi, ẓihār adalah penyerupaan suami kepada
istri –yang tidak ditalak bāin- atau sebagian dari anggota tubuhnya dengan
salah satu perempuan yang mahram dengan suami. Seperti ucapan ‫انت علي‬

‫ كظهر امي‬atau ‫نصفك علي كظهر امي‬.20 Penyerupaan ini berlaku untuk semua

anggota tubuh, seperti tangan, kaki, dan mata. Sedangkan bagian yang tidak
terhitung sebagai anggota badan seperti otot dan tulang, atau anggota jasmani
seperti hati tidak termasuk ẓihār.21

2. Rukun Ẓihār
Rukun ẓihār ada empat, sebagai berikut.22
1. Suami (muẓāhir)
Pihak yang men-ẓihār istri haruslah suami yang sah talaknya, yaitu
dewasa dan berakal sehat . Maka apabila seorang suami men-ẓihār
seorang perempuan selain istri meskipun kemudian ia menikahinya,
hukum ẓihār tidak berlaku.23
2. Istri (muẓāhar minhā)

18
Muḥammad Alī al-Ṣābūnī, Rawāi’ al-Bayān fī Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-Qur’ān
(Damaskus: Maktabah a-Ghazālī), 514.
19
Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafātiḥ al-Ghaib (Beirut: Dār al-Fikr), 252.
20
“Mā Huwa al-Ẓihāru”, Mawḍū’ pada
https://mawdoo3.com/%D9%85%D8%A7_%D9%27%D9%88_%D8%A7%D9%84%D8%B8%D
9%87%D8%A7%D8%B1. Diunggah pada tahun 2020.
21
al-Ghazzā, Ḥāshiyah al-Shaikh Ibrāhīm al-Baijūrī, 295.
22
Ibid. 294.
23
Ibid. 295.
7

Pihak yang disebut dengan muẓāhar minhā adalah istri walaupun telah
ditalak raj‟ī. Maka ẓihār suami terhadap perempuan selain istri walau
budak sendiri, tidak berlaku hukum ẓihār.24
3. Objek penyerupaan (mushabbah bihī)
Keharaman menyerupakan istri tidak hanya terbatas pada ibu saja. Akan
tetapi, semua perempuan yang mahram dinikahi oleh suami juga haram
diserupakan dengan istri, baik dari sisi nasab (nasab), susuan (raḍā‟),
maupun kemertuaan (muṣāharah).25
4. Redaksi ẓihār (ṣīghat)
Redaksi ẓihār adakalanya jelas, adakalanya berbentuk sindiran. Di antara
contoh kalimat ẓihār yang jelas adalah ‫انت علي كظهر امي‬. Sedangkan contoh

ẓihār yang mengandung sindiran adalah ‫انت علي كعني امي‬. Pemakaian term

„ain biasanya dimaksudkan untuk penghormatan26. Dalam hal ini (Red.


sindiran) menurut Abū Ḥanīfah disyaratkan adanya niat. Jika suami
berniat ẓihār dengan ucapannya tersebut, maka jatuh hukum ẓihār
begitupun sebaliknya. Sedangkan menurut imam Mālik, Aḥmad, dan
Muḥammad ibn Ḥasan, semua kalimat yang mengandung penyerupaan
istri dengan pihak yang mahram dengan suami, dihukumi ẓihār.27
3. Macam-macam Ẓihār
Berdasarkan bentuk penyerupaannya, ẓihār dibagi pada tiga macam,
yaitu:28
1. Ẓihār mutlak
Secara umum, pengucapan kalimat ẓihār bersifat konstan (mutlak).
Maka keharaman menggauli istri tetap berlaku sepanjang suami belum
menunaikan kafarat yang ditentukan.
2. Ẓihār mu’allaq

24
Ibid. 295.
25
Ibid. 295.
26
Ibid. 295
27
al-Shāfi‟ī, al-Bayān fī Madhhab al-Shāfi’ī, 336.
28
al-Ghazzā, Ḥāshiyah al-Shaikh Ibrāhīm al-Baijūrī, 295-296.
8

Jenis ẓihār mu’allaq adalah ẓihār yang digantungkan terhadap


suatu hal. Sebagai misal adalah jika menggunakan baju merah, maka
kamu seperti ibuku. Dalam konteks ini jatuh hukum ẓihār sebab
penggantungan tersebut. Maka jika pihak bersuami berinisiatif untuk
mencabut ucapannya, ia harus membayar kafarat terlebih dahulu.
3. Ẓihār muqayyad
Ẓihār muqayyad terpecah pada dua bagian:
a. Muqayyad bi al-zamān/ muaqqat
Ẓihār muaqqat adalah menyerupakan istri dengan pihak yag mahram
dengan suami dalam tempo tertentu. Jika misalnya terdapat kasus suami
yang menyerupakan istri dengan ibu dalam jangka watu 5 bulan, maka
selain terjadi ẓihār berlaku pula hukum īlā’. Dalam artian, setelah empat
bulan, istri mendapatkan hak faiah yaitu menuntut suami untuk
meneruskan pernikahan atau menceraikannya. Jika suami ingin
meneruskan, maka ia harus menggauli istri sebagai tanda gugurnya īlā’.
Namun, hukum ẓihār tetap berlaku, artinya suami tidak boleh mengauli
istri untuk kedua kalinya sebelum membayar kafarat atau menunggu
tempo ẓihār selesai.
b. Muqayyad bi al-makān
Ẓihār muqayyad bi al-makān adalah penyerupaan istri oleh suami
dengan perempuan yang mahram dengannya dan dibatasi pada suatu
tempat. Sebagai contoh, ‫انت علي كظهر امي ىف بلد كذا‬. Sebagaimana hukum

ẓihār muaqqat, jika pembatasan tempat melebihi empat bulan, maka


terjadi pula hukum ẓihār dan īlā’. Adapun cara menggugurkannya adalah
sama dengan ẓihār muaqqat.
4. Kafarat Ẓihār

Apabila seorang suami telah men-ẓihār istrinya, maka ia diharamkan untuk


menggauli istri sebelum membayar kafarat. Ketentuan kafarat ẓihār
termaktub dalam QS. al-Mujādilah/58: 3-4. Dalam dua ayat tersebut, Allah
menjelaskan urutan pembayaran ẓihār. Pertama, memerdekakan budak.
9

Kedua, berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Kafarat puasa berlaku jika
suami tidak menemukan atau mampu memerdekakan budak.

Ketiga, memberi makan 60 orang miskin. Kafarat terakhir berlaku jika


suami tidak bisa menjalankan kafarat kedua. Terkait porsi makanan ini, ulama
berbeda pendapat. Menurut Imam Ibn Ḥayyān, tidak ada ketentuan khusus
perihal makanan yang diberikan selain harus mengenyangkan.29 Sedangkan
menurut imam al-Rāzī, porsi makanan bagi tiap orang miskin adalah 1 mud
sesuai makanan di masing-masing negara.30

5. Sabab al-Nuzūl Ayat Ẓihār

‫ حدثنا ابو‬:‫ قال‬,,‫ اخربان علي بن عمر احلاف‬:‫ قال‬,‫اخربان ابو منصور دمحم بن دمحم انمنصوري‬
‫ انو سأل قتادة‬,‫ حدثنا سعيد بن بشري‬:‫ قال‬,‫ حدثنا دمحم بن بكار‬:‫ قال‬,‫بكر دمحم بن االشعث‬
‫ ان اوس بن الصامت ظاىر من امرأتو‬:‫ قال‬,‫ فحدثين ان انس بن مالك‬:‫ قال‬,‫عن الظهار‬
‫ ورق‬,‫مين حني كرب سين‬ ‫ ظاىر رو‬:‫ فقالت‬,‫ فشكت ذلك اىل النيب ملسو هيلع هللا ىلص‬,‫خويلة بنت ثعلبة‬
‫ مايل بذلك‬:‫ فقال‬,‫ اعتق رقبة‬:‫ فقال رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص ألوس‬,‫ فانزل هللا تعاىل اية الظهار‬,‫عظمي‬
‫ اما أين اذا اخطأين ان الاكل ىف اليوم(مرتني) كل‬:‫ قال‬, ‫ فصم شهرين متتابعني‬:‫ فقال‬,‫يدان‬
‫ فأعانو‬:‫ قال‬.‫ الاجد اال ان تعينين منك بعون و صلة‬:‫ قال‬,‫ فأطعم ستني مسكينا‬:‫ قال‬,‫بصري‬
,‫ وكانوا يرون ان عنده مثلها‬,‫ وهللا رحيم‬,‫رسول هللا ملسو هيلع هللا ىلص خبمسة عشر صاعا حىت مجع هللا لو‬
‫وذلك لستني مسكينا‬
“Diriwayatkan dari Abū Manṣūr Muḥammad ibn Muḥammad al-Manṣūrī
berkata: diriwayatkan dari Alī ibn Umar al-Ḥāfiẓ berkata: diriwayatkan dari
Abu Bakar Muḥammad ibn Ziyād al-Naisāburī berkata: diriwayatkan dari
Abu Bakar Muḥammad ibn al-Ash‟ath berkata: diriwayatkan dari Muḥammad
ibn Bikār berkata: diriwayatkan dari Sa‟īd ibn Bashīr, sesungguhnya ia
bertanya kepada Qatādah tentang ẓihār, maka Qatādah menjawab:
Diceritakan kepadaku bahwa Anas ibn Malik pernah berkata: bahwa Aus ibn
Ṣāmit men-ẓihār istrinya, Khuwailah bint Tha‟labah. Si istri lalu
mengadukannya kepada Rasulullah, ia berkata: suamiku mengucap ẓihār
kepadaku ketika aku sudah tua dan tulangku rapuh. Maka Allah menurunkan
QS. al-Mujādilah/58: 2. Lalu Rasulullah bersabda kepada Aus:
merdekakanlah seorang budak. Aus menjawab: Aku tidak mampu

29
al-Ṣābūnī, Rawāi’ al-Bayān…, 533.
30
al-Rāzī, Mafātiḥ al-Ghaib, 261.
10

melakukannya. Rasulullah bersabda: maka berpuasalah selama dua bulan


secara berturut-turut. Aus menimpali: Jika aku tidak diperbolehkan makan
dua kali sehari, maka penglihatanku akan lemah. Rasulullah bersabda: Maka
berilah makan 60 orang miskin. Aus lagi-lagi menjawab: aku tidak dapat
melakukannya kecuali engkau membantuku. Maka Rasulullah membantunya
dengan 15 ṣā’ makanan hingga Allah melipat gandakan makanan tersebut dan
cukup untuk 60 orang miskin”.31

Dari sabab al-nuzūl di atas, diketahui bahwa turunnya ayat ẓihār adalah
sebagai jawaban atas pengaduan Khuwailah (banyak riwayat menyebut
Khaulah bint Tha‟labah) kepada nabi yang di-ẓihār oleh suaminya, Aus ibn
Ṣāmit, saudara „Ubādah ibn Ṣāmit. Pada zaman Jahiliyah, -seperti īlā’- ẓihār
dihukumi sama dengan talak, bahkan ia adalah bentuk talak paling tinggi
karena keharamannya bersifat ta’bīd.32

Masyarakat Arab Jahiliyah biasa men-ẓihār istrinya untuk menyakiti hati


istrinya. Pada kasus ini, Khaulah tidak mau pernikahannya rusak, ia ingin
tetap kembali pada suaminya. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ia sampai
mendebat Rasulullah saat beliau menghukumi dirinya sebagai perempuan
yang tertalak. Maka, Khaulah kembali pulang dan terus mengadukan
persoalan rumah tangganya kepada Allah, hingga turunlah ayat QS. al-
Mujādilah/58: 1-4.

Turunnya empat ayat ini menjadi penegasan bahwa ẓihār bukan termasuk
talak, namun diharamkan oleh Allah. Oleh karenanya, bagi setiap orang
muslim yang melakukan ẓihār diwajibkan membayar kafarat sebagai bentuk
pemberatan Allah terhadap tindakan mereka. Adapun kafarat yang harus
dibayar adalah memerdekakan budak, berpuasa selama dua bulan berturut-
turut, atau memberi makan 60 orang miskin.

31
al-Wāḥidī, Asbāb al-Nuzūl al-Qur’ān, 428-429. Bandingkan dengan al-Suyūṭī, al-Durr al-
Manthūr fī al-Tafsīr…, 262-265.
32
al-Ṣābūnī, Rawāi’ al-Bayān…, 526.
11

C. Signifikansi Ayat Ẓihār dan Īlā’ di Era Kontemporer

Dari sudut waktu, Islam berproses dalam dua bentang waktu yang berbeda,
namun tidak dapat dipisahkan, yaitu proses tashrī’ (pada masa nabi) dan
pasca proses tashrī’ (sejak masa sahabat hingga sekarang).33 Posisi al-Qur‟an
sebagai kitab rujukan ummat Islam harus dapat applicable dalam semua
masa. Oleh karenanya pada pembahasan ini, pemakalah meminjam metode
interpretasi dinamis (lively interpretative) Abou el-Fadhl.

Metode interpretasi dinamis adalah proses menggali konteks kekinian


(significance) dari makna asal sebuah teks. Dengan kata lain, seorang
pembaca harus menempuh dua proses; mengenali makna asal saat teks
pertama kali diturunkan, kemudian dijadikan dasar referensi untuk memaknai
teks dalam konteks kekinian..34

Sebagaimana pemaparan di atas, turunnya ayat tentang īlā’ dikarenakan


suami Jahiliyah suka menyakiti istrinya dengan bersumpah untuk tidak
menggaulinya. Mereka biasa melakukannya dalam waktu yang lama.
Tindakan tersebut membuat istri menderita karena digantung, yaitu tidak
disentuh namun tidak ditalak, sehingga Allah mengharamkannya.

Sedangkan turunnya ayat tentang ẓihār bertujuan untuk merubah tradisi


Jahiliyah yang menjadikan ẓihār sebagai salah satu jenis talak. Kendati
demikian, Allah menetapkan kafarat bagi orang yang men-ẓihār istrinya. Hal
ini menunjukkan bahwa tindakan tersebut termasuk hal yang dimurkai Allah,
sehingga Dia memberikan sanksi (Red.kafarat) bagi laki-laki yang hendak
kembali kepada istri.

Pada setiap teks mengandung signifikansi yang diindikasikan oleh makna


dalam konteks sosio-historisnya. Maka berdasarkan makna asal ayat tentang
ẓihār dan īlā’ di atas, dapat ditarik sisi signifikansi ayat sebagai berikut.

33
M. Arfan Mu‟ammar dkk, Studi Islam Kontemporer Perspektif Insider/Outsider (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2017), 5-6.
34
Ibid. 170 dan 173.
12

1. Pernikahan merupakan sebuah ikatan sakral antara suami dan istri. Ia


harus dibingkai dengan tali kasih dan sayang. Di sisi lain, īlā’ dan ẓihār
adalah dua hal yang dapat merusak stabilitas rumah tangga, sehingga
adanya pemberatan berupa kafarat bagi pelakunya bertujuan agar para
suami menjauhi tindakan tersebut, serta mengantisipasi ketidak-
harmonisan dalam rumah tangga berlarut-larut.
2. Pembelokan hukum īlā’ dan ẓihār dengan tidak dihitung sebagai talak
adalah siasat Islam untuk mengantisipasi perceraian. Karena
bagaimanapun, perceraian adalah perkara halal yang diharamkan oleh
Allah.
3. Penting diketahui bahwa objek yang dirugikan akibat īlā’ dan ẓihār adalah
perempuan. Maka signifikansi dari turunnya ayat tentang dua persoalan
tersebut adalah mengangkat derajat perempuan. Islam hendak
mengajarkan untuk lebih menghargai dan menghormati perempuan.
Dalam lingkup rumah tangga, suami dan istri diharapkan dapat membina
hubungan harmonis dengan prinsip ketersalingan. Permasalahan yang
acap kali dihadapi harus diselesaikan dengan jalan musyawarah, bukan
dengan saling mendiamkan.

KESIMPULAN

Īlā’ dan ẓihār merupakan dua persoalan yang terjadi dalam sebuah
pernikahan. Keduanya sudah berkembang sebelum Islam disyariatkan.
Masyarakat Jahiliyah menghukumi dua persoalan tersebut sebagai talak. Dalam
artian, seseorang yang mengucap kalimat īlā’ dan ẓihār berarti pernikahannya
telah gugur. Namun kemudian Islam merubah tradisi tersebut dengan tidak
menghukumi keduanya sebagai talak, namun termasuk perkara yang diharamkan.
Īlā’ secara bahasa berarti bersumpah yang tidak berhubungan dengan masa
tertentu. Sedangkan secara istilah berarti sumpah suami -yang sah talaknya-
dengan asma Allah atau sifat-Nya untuk tidak menggauli istri secara mutlak atau
lebih dari empat bulan. Rukun īlā’ ada enam; suami, istri, sumpah, objek sumpah,
tempo, dan redaksi sumpah.
13

Adapun hal yang melatarbelakangi turunnya ayat tentang īlā’ adalah bahwa
para suami dari kalangan Jahiliyah seringkali mengucapkan kata sumpah untuk
tidak mendekati istrinya dalam jangka waktu yang panjang, namun tidak
menceraikannya. Hal tersebut membuat pihak istri berada dalam situasi yang tidak
pasti.
Oleh karena itu, Islam membatasi tenggat waktu sumpah hanya sampai 4
bulan. Selepas waktu itu, istri diberikan hak untuk menuntut suami memilih antara
meneruskan pernikahan atau menyudahinya. Kecuali itu, Allah juga menetapkan
kafarat bagi suami yang melanggar īlā’, yakni dengan memerdekakan budak,
memberi makan 10 orang miskin, atau berpuasa selama tiga hari berturut-turut.
Adapun ẓihār secara bahasa berarti punggung. Sedangkan secara istilah
penyerupaan suami kepada istri –yang tidak ditalak bain- atau sebagian dari
anggota tubuhnya dengan salah satu perempuan yang mahram dengannya. Rukun
ẓihār ada empat; suami, istri, objek, dan redaksi penyerupaan. Ẓihār terbagi ke
dalam tiga macam, yaitu ẓihār mutlak, ẓihār mu’allaperq, dan ẓihār muqayyad (bi
al-zamān atau bi al-makān).
Adapun sebab turunnya ayat ẓihār adalah saat Khaulah bint Tha‟labah
mengadukan tindakan suaminya yang mengucap kata ẓihār kepada Rasulullah. Ia
meminta agar ucapan suaminya tersebut tidak menjadi sebab gugurnya pernikahan
mereka. Namun Rasulullah menghukuminya sebagai talak –sebagaimana tradisi
yang berkembang pada masa itu-. Khaulah pun pulang dan tidak henti-hentinya
mengadukan permasalahannya kepada Allah, sehingga turunlah QS. al-
Mujādilah/58: 2-4.
Dengan turunnya ayat-ayat ini, ẓihār tidak lagi dihukumi sebagai bagian dari
talak. Walaupun demikian Allah mengharamkannya, sehingga Dia memberikan
kafarat bagi para pelaku ẓihār. Kafarat tersebut harus ditunaikan secara berurutan.
Yaitu memerdekakan budak, berpuasan selama 2 bulan berturut-turut, atau
memberi makan 60 orang miskin.
Setelah mengetahui sebab turunnya ayat īlā’ dan ẓihār, penting pula mengkaji
signifikansi yang tekandung dalam makn teks agar dapat dikontekstualisasikan
pada masa kekinian. Jadi berdasarkan uraian tentang makna asalnya, maka
14

signifikansi dari ayat īlā’ dan ẓihār bertujuan untuk mengantisipasi perceraian
dalam Islam, mengantisipasi konflik dalam keluarga dengan memberikan
pemberatan bagi pelakunya, serta mengangkat derajat perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

al-Ghazzā, Ibn al-Qāsim. Ḥāshiyah al-Shaikh Ibrāhīm al-Baijūrī. Beirut: Dār al-
Kutub al-Ilmiyah, 1999.
al-Lāḥim, Abd al-Karīm ibn Muḥammad. al-Muṭli’ ‘alā Daqāiq Zād al-Mustaqni’
(Riyāḍ: Knooz Keshbelia, 2010.
al-Rāzī, Fakhr al-Dīn. Mafātiḥ al-Ghaib. Beirut: Dār al-Fikr.
al-Ṣābūnī, Muḥammad Alī. Rawāi’ al-Bayān fī Tafsīr Āyāt al-Aḥkām min al-
Qur’ān. Damaskus: Maktabah a-Ghazālī.
al-Shāfi‟ī, Yaḥyā ibn Abū al-Khair. al-Bayān fī Madhhab al-Shāfi’ī. ttp: Dār al-
Manhaj, tt.
al-Suyūṭī. al-Durr al-Manthūr fī al-Tafsīr al-Ma’thūr. Beirut: Dār al-Kutub al-
Ilmiyah, tt.
----------- Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl. Beirut: Muassasah al-Kutub al-
Thaqāfiyyah, 2002.
al-Wāḥidī, Alī ibn Aḥmad. Asbāb al-Nuzūl al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Kutub al-
Ilmiyah, 1991.
Mu‟ammar, M. Arfan dkk. Studi Islam Kontemporer Perspektif Insider/Outsider.
Yogyakarta: IRCiSoD, 2017.
Sālim, Abū Mālik Kamāl ibn al-Sayyid. Ṣaḥīḥ Fiqh al-Sunnah wa Adillatuhū wa
Tauḍīh Madhāhib al-Aimmah. Kairo: al-Maktabah al-Taufīqiyah,tt.
Wijaya, Aksin. Arah Baru Studi Ulumul Qur‟an. Yogyakarta: IRCiSoD, 2020.
Ali, Alfin Haidar. “Sumpah Ila‟ dalam Islam”, Majalah Nabawi Media pada
https://majalahnabawi.com/sumpah-ila-dalam-islam/?amp=1.
------ “Mā Huwa al-Ẓihāru”, Mawḍū’ pada
https://mawdoo3.com/%D9%85%D8%A7_%D9%27%D9%88_%D8%A7
%D9%84%D8%B8%D9%87%D8%A7%D8%B1.
15

------ “Sumpah dan Īlā‟; Surah al-Baqarah Ayat 224-227”, Suara Muhammadiyah:
Syiar Islam Berkemajuan pada
https://suaramuhammadiyah.id/2020/03/06/sumpah-dan-ila-2-surat-al-
baqarah-ayat-224-227/amp/.

Anda mungkin juga menyukai