Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

RUJUK

Mata kuliah Fiqh Munakahat

HTN 2B

DOSEN PENGAMPU:

Dr. BUSMAN EDYAR, S.Ag., MA

DISUSUN OLEH:

1. ARY RIZKY RAMADHAN ( 21671010 )


2. IWAN HANAPI ( 21671025 )

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

INSTITUT AGAMA NEGERI ISLAM ( IAIN) CURUP

TAHUN AJARAN 2022/2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik hidayah
serta nikmat sehat sehingga dapat menyusun makalah Fiqh Munakahat untuk memenuhI tugas
yang telah di beri. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang telah membantu
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materi sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Semoga makalah ini dapat membantu, memberikan manfaat serta berguna bagi khayalak
umum dan tidak lupa kami memohon maaf apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat
kesalahan baik dalam kosa kata maupun isi dari keseluruhan makalah ini. Kami sebagai penulis
makalah sadar bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna.

CURUP, 27 MARET 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................................................

Dafta Isi..............................................................................................................................................

BAB i PENDAHULUAN

A. Latar belakang ………………………………………………..………………………...


B. Rumusan masalah ………………………………………………..…………………….
C. Tujuan pembahasan ……………………………………………..……………………..

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Rujuk dan Landasan Hukum ……………………………….………………


B. Syarat Sahnya Rujuk …………………………………………….……………………..
C. Cara-Cara Rujuk ……………………………………………………………………….

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………………………………….
B. Saran …………………………………………………………………………………...

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Rujuk merupakan upaya untuk berkumpul kembali setelah terjadinya perceraian, para
ulama sepakat bahwa rujuk itu diperbolehkan dalam islam. upaya rujuk ini diberikan sebagai
alternatif terakhir untuk menyambung kembali hubungan lahir batin yang telah putus. Rujuk
dapat menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan sebagaimana dalam
perkawinan, namun antara keduanya terdapat perbedaan yang prinsip dalam rukun yang dituntut
untuk sahnya kedua bentuk lembaga tersebut. Ulama sepakat bahwa rujuk tidak memerlukan
wali untuk mengakadkannya, tidak perlu dihadiri oleh kedua orang saksi dan tidak perlu mahar.
Dengan demikian pelaksanaan rujuk lebih sederhana dibandingkan dengan perkawinan . Akan
tetapi yang menjadi masalah bagaimana caranya suami untuk rujuk pada istrinya? Dalam
masalah ini timbul perbedaan pendapat.

Merujuk istri yang ditalak raj’i adalah diperbolehkan. Demikian menurut kesepakatan
pendapat para Imam madzhab. Tetapi, para Imam madzhab berbeda pendapat tentang hukum
menyetubuhi istri yang sedang menjalani iddah dalam talak raj’i, apakah diharamkan atau tidak?
Menurut pendapat Imam Hanafi dan Imam Hambali pendapat yang kuat “tidak haram”.
Sedangkan menurut pendapat Imam Maliki, Imam Syafi’i dan pendapat Imam Hambali yang
lainnya “haram”. Apakah dengan telah disetubuhinya istri tersebut telah menjadi rujuk atau
tidak? Dalam masalah ini, para Imam madzhab berselisih pendapat. Menurut pendapat 2 Imam
Hanafi dan pendapat Imam Hambali dalam salah satu riwayat menyatakan bahwa “persetubuhan
itu berarti rujuk”, dan tidak diperlukan lafazh rujuk. Baik diniatkan rujuk maupun tidak. Menurut
Imam Maliki dalam pendapatnya yang masyhur menyatakan bahwa “jika diniatkan rujuk, maka
dengan terjadinya persetubuhan itu terjadi rujuk”.

B.Rumusan Masalah

1. Menjelskan Pengertian Rujuk dan Landasan Hukum ?


2. Menjelskan Syarat Sahnya Rujuk ?
3. Menjelskan Cara-Cara Rujuk ?
C.Tujuan Pembahasan

1. Untuk Mengetahui Pengertian Rujuk dan Landasan Hukum


2. Untuk Mengetahui Syarat Sahnya Rujuk
3. Untuk Mengetahui Cara-Cara Rujuk
BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian Rujuk dan Landan Hukum

Rujuk secara bahasa adalah kembali. Secara istilah, menurut H{anafiyah adalah
“memperpanjang/meneruskan hubungan suami isteri pada masa ‘iddah talak raj’i. Mālikiyah
mendefinisikan rujuk dengan “mengembalikan istri yang telah dicerai ke dalam ikatan
perkawinan tanpa akad baru”. Shafi’iyah dengan rujuk mendefinisakan “mengembalikan
istrinya yang tertalak yang bukan talak bā’in kepada nikah ketika masih dalam ‘iddah“.
Sementara itu, definisi rujuk menurut ulama Hanābilah adalah “mengembalikan wanita yang
ditalak dengan talak bukan bā’in kepada keadaan semula tanpa akad”.1

Berdasarkan definisi di atas, dapat dipahami bahwa Hanafiyah menganggap hubungan


suami isteri belum berakhir pada masa ‘iddah talak raj’ī. Oleh sebab itu, Hanafiyah menganggap
rujuk sebagai ‘ Perpanjangan ‘ hubungan suami isteri, bukan ‘ Membangun ‘ akad baru atau
pun ‘ Mengembalikan ‘ikatan suami isteri setelah berakhir. Hal ini sejalan dengan pernyataan
al-Qur’an yang tetap menyebut istilah ‘suami’ kepada para suami yang telah menceraikan istri
yang masih dalam masa ‘iddah talak raj’i.2

Berbeda dengan Hanafiyah, tiga definisi terakhir melahirkan kesimpulan bahwa ikatan
suami istri berakhir setelah jatuh talak, dan rujuk mengembalikan ikatan yang telah berakhir itu.
Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa talak mengharamkan yang dihalalkan saat pernikahan.4
Namun demikian, definisi di atas setidaknya sepakat dalam dua hal. Pertama, istilah rujuk adalah
kembali kepada isteri ketika masih dalam masa ‘iddah. Jika kembali di luar masa ‘iddah, tidak
disebut rujuk. Kedua, rujuk tidak perlu akad baru.

Landasan hukum rujuk adalah al-Qur’an, hadis Nabi, serta ijma’ ulama’:

1
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islāmy, vol. 9, 6986
2
Manṣūr b. Yūnus b. Idrīs al-Bahūtī, Kashshāf al-Qanā’ ‘an Matn al-Iqnā’, vol.18, (T.t.: t.p., t.th.), 408
1. . Q.S. al-Baqarah [2]:228

…‫ق بُع ُْولَتُه َُّن َو‬ َ ِ‫ اِ ْن ٰذل‬ ‫… اِصْ اَل حًا اَ َرا ُد ْٓوا‬
ُّ ‫اَ َح‬ ‫ ِه َّن بِ َر ِّد‬ ‫ك فِ ْي‬

“…dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika


mereka (para suami) menghendaki islah...”

2. Riwayat dari Ibnu ‘Umar ketika menceraikan isterinya saat haid. Ketika ayahnya
yakni ‘Umar bin Khaṭṭāb melaporkan hal itu kepada Nabi, beliau bersabda:

“Perintahkan dia untuk rujuk pada isterinya dan tahanlah (tidak menceraikannya)
hingga suci kemudian haid kemudian suci kemudian tahanlah (jangan diceraikan)
kalau ia mau atau ceraikan jika ia mau sebelum mengumpulinya, maka itulah ‘iddah
dimana Allah memerintahkan seseorang (jika mau) menceraikan isterinya”.
3. Saat Nabi menceraikan Hafsah, beliau diperintahkan untuk rujuk:

“Jibril datang kepadaku dan berkata, ‘kembalilah kepada Hafsah, sesungguhnya ia


adalah wanita yang selalu berpuasa, mendirikan salat, dan ia adalah isterimu di
surga”.
4. Seluruh ulama sepakat bahwa seorang laki-laki dapat rujuk kepada isterinya yang
ditalak raj’ī (satu dan dua) selama dalam masa ‘iddah, baik wanita tersebut rida atau
tidak, sebab menurut Hanafiyah, dalam masa itu pada hakikatnya mereka masih
suami isteri. Alasan Hanafiyah, seluruh ulama sepakat bahwa dalam masa ‘iddah
talak raj’ī, dapat dan sah terjadi ẓihār, īlā’, li’ān, serta mereka bisa saling mewarisi,
bahkan juga dapat terjadi talak.3

3
al-Zuhailī, al-Fiqh al-Islāmī, vol. 9, 6987
B.Syarat Sahnya Rujuk

Sebagaimana disebutkan di atas, rujuk merupakan hak suami sehingga tidak


membutuhkan persetujuan istri. Rujuk juga tidak memerlukan mahar ataupun wali karena tidak
perlu akad baru. Namun demikian, jika ‘rujuk’ dilakukan ketika masa ‘iddah telah habis, maka
berlaku ketentuan sebagaimana rujuk dalam talak bā’in, yaitu akad nikah baru dengan semua
persyaratannya. Model yang kedua ini menurut Malikiyah tidak bisa disebut rujuk, tetapi
murāja’ah, karena harus berdasarkan kerelaan kedua pihak.

Syarat sahnya rujuk adalah sebagai berikut:

1. Suami adalah orang yang cakap bertindak hukum


2. Rujuk dapat dilakukan dengan lisan atau perbuatan. Namun menurut Shāfi’ī, rujuk harus
dinyatakan dengan lisan. Menurut Hanābilah, jika menggunakan bahasa sindiran, harus
disertai dengan niat. Mālikiyah mensyaratkan niat secara mutlak, baik dengan lisan
maupun tindakan.
3. Istri berada dalam masa ‘iddah talak raj’ī. Bagi budak, karena hak talaknya hanya dua,
maka rujuk hanya berlaku dalam talak satu. Dengan demikian, talak ketiga tidak ada
kesempatan seorang suami untuk rujuk, begitu juga istri yang tertalak dalam keadaan
belum pernah digauli, serta talak yang disebabkan fasakh atau keputusan hakim.4
4. Dalam rujuk, tidak diperlukan kerelaan istri karena rujuk adalah hak suami (Q.S. al-
Baqarah [2]:228).
5. Istrinya sudah digauli.
6. Talak tersebut tidak disertai ‘iwad (uang tebusan) dari istri.
7. Wanita tersebut halal di-rujuk. Jika dalam masa ‘iddah, ia murtad, maka ia tidak boleh di-
rujuk.
8. Harus jelas wanita yang akan di-rujuk. Misalnya ia menceraikan salahsatu isterinya
namun tidak dijelaskan orangnya, kemudian merujuknya, maka rujuk itu tidak sah. Atau
ia ceraikan semua isterinya, kemudian merujuk salahsatunya tanpa menjelaskan
orangnya, maka rujuk tersebut juga tidak sah.5

4
al-Jazīrī, Kitāb al-Fiqh, vol. 4, 203
5
Ibid., vol. 4, 203.
9. Tidak boleh dibatasi waktu, misalnya ia akan rujuk selama sebulan, atau seminggu, atau
sehari, atau lain-lain. Rujuk juga tidak boleh digantungkan pada syarat tertentu, misalnya
‘saya akan rujuk kalau Zaid datang’. Namun demikian, Mālikiyah berbeda pendapat jika
rujuk disyaratkan pada waktu yang akan datang, seperti akan rujuk besok, atau lusa atau
minggu depan atau bulan depan. Sebagian mereka berpendapat tidak sah. Sebagian yang
lain berpendapat tidak sah saat ini, namun sah pada saat hari yang dipersyaratkan itu
sudah datang.6
10. Dalam pandangan jumhur, yakni Hanafī, Mālik dan Shāfi’ī dalam qaul jadīd-nya, serta
Hanabalī dalam salah satu riwayatnya, rujuk tidak disyaratkan ada saksi. Namun
demikian, kehadiran saksi disunnah-kan dalam rangka hati-hati untuk menjaga adanya
pengingkaran dari pihak istri serta menghilangkan keraguan. Sebaliknya, kalangan
Ẓahiriyah mewajibkan adanya saksi, sehingga rujuk yang tidak dihadiri saksi dinilai tidak
sah. Pendapat ini juga disepakati oleh sebagian ulama Mālikiyah dan salah satu riwayat
Hanbalī

C.Cara-Cara Rujuk.

Ulama berbeda pendapat tentang cara rujuk suami kepada isteri. Pertama, menurut
jumhur, rujuk dapat dilakukan dengan lisan atau perbuatan. Namun, kelompok ini berbeda
pendapat dalam hal niat. Menurut Hanafiyah dan salah satu riwayat Ahmad , sekalipun seseorang
tidak berniat rujuk, begitu dia menggauli istrinya, berarti telah terjadi rujuk. 7 Dalam hal ini, tidak
perlu ada pernyataan rujuk dari suami. Berbeda dengan Hanafiyah, Mālikiyah mengharuskan ada
niat. Jika seseorang menggauli istrinya dengan niat rujuk, berarti terjadi rujuk, namun jika dia
menggauli isterinya tanpa niat rujuk, maka hukumnya haram. Namun demikian, perbuatan
tersebut tidak mengharuskan pelakunya mendapat hukuman had ataupun membayar mahar,
sekalipun ia tahu bahwa perbuatan itu haram, sebab ulama berbeda pendapat tentang
kebolehannya.

6
al-Jazīrī, Kitāb al-Fiqh, vol. 4, 209.
7
Al-Wazīr Abū al-Muẓaffar al-Shaibānī, Ikhtilāf al-Aimmat al-‘Ulama’, vol.2, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah,
2002), 181.
Hukuman ta’zīr juga tidak dapat diberlakukan kecuali kepada orang yang meyakini
keharamannya dan tahu bahwa perbuatan itu haram. Bagaimana jika lahir seorang anak ? Status
anak itu bernasab kepadanya, karena persetubuhan tersebut terjadi saat masa ‘iddah sehingga
termasuk kategori persetubuhan shubhat.

Bagaimana jika menyentuh atau mencium, apakah tergolong rujuk ? Dalam hal ini
seluruh ulama sepakat bahwa menyentuh atau mencium tidak tergolong rujuk. Namun mereka
berbeda pendapat jika sentuhan atau ciuman itu disertai syahwat. Menurut Hanafiyah, jika
sentuhan atau ciuman itu disertai syahwat, maka secara otomatis terjadi rujuk. Tidak ada
perbedaan apakah yang bersyahwat itu salah satu pihak atau keduanya sepanjang pihak suami
mengakui. Mālikiyah tetap mempersyaratkan harus ada niat. Shāfi’iyah juga tetap menyatakan
tidak sah tanpa ada pernyataan lisan. Demikian pula salah satu riwayat Imam Hanbalī.

Kedua, menurut Shāfi’ī dan salah satu riwayat Ahmad, rujuk hanya dapat dilakukan
dengan lisan. Jika dalam masa ‘iddah mereka melakukan hubungan suami isteri tanpa ada
pernyataan rujuk, maka hukumnya haram dan suami wajib membayar mahar mithil (mahar
sebagaimana berlaku di kalangan keluarga istri).8

Mālikiyah dan Shāfi’iyah sepakat bahwa sebelum terjadi rujuk, mereka haram melakukan
segala macam bentuk istimta’ (bermesraan), termasuk melihat dengan tanpa syahwat sekalipun.
Alasan kelompok ini, jika nikah menghalalkan istimta’, maka talak mengharamkan istimta’,
karena nikah dan talak adalah dua hal yang bertolak belakang. Jika sebelum terjadi rujuk mereka
boleh melakukan istimta’, maka berarti talak tidak berimplikasi apapun. 9

Pernyataan rujuk dapat berbentuk ṣarīh (tegas) atau kināyah (sindiran). Jika berbentuk
ṣarīh, maka tidak perlu niat, namun jika berbentuk kināyah, harus disertai niat. Lafaz rujuk yang
ṣarīh seperti, “aku kembali padamu”. Adapun bentuk kināyah -nya seperti, “saya nikahi
engkau”, “engkau sekarang bagiku seperti engkau yang dulu”. Lafaz ini merupakan lafaz ṣarīh
untuk menikah, tapi kināyah untuk rujuk.10

8
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy, vol. 9, 6988.
9
Ibid.
10
Al-Jazārī, Kitāb al-Fiqh, vol. 4, 208-9.
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Dari uraian dan pembahasan pada bab sebelumnya, kesimpulan yang dapat peneliti ambil
adalah :

1. Cara merujuk dalam Pandangan Hukum Islam terhadap suami istri para ulama bebeda
pendapat. Menurut Hanafi rujuk bisa terjadi dengan perbuatan meskipuntanpa adanya
niat. Berbeda halnya dengan Imam Malik yang menambahkan harus adanya niat rujuk
dari sang suami disamping perbuatan. Karena menurut Imam Malik rujuk melalui
perbuatan saja tidak sah tanpa adanya niat. Sedangkan menurut Imam Asy-Syafi’i rujuk
harus dengan ucapan yang jelas bagi orang yang dapat mengucapkannya, dan tidak sah
jika hanya dengan perbuatan, pendapat tersebut bisa dipahami bahwa ucapan yang jelas
menjadi syarat sahnya rujuk bagi oarng yang mampu mengucapkan atau tidak bisu.
2. Cara merujuk dalam Tinjauan Hukum Positif adalah rujuk dapat dilakukan terhadap istri
yang masih dalam masa iddah talak raj’I dengan syarat adanya persetujuan dan kerelaan
istri dan tidak disertai dengan pembayaran iwad, setelah mendapatkan persetujuan dari
istri, bekas suami datang bersama-sama istrinya kePegawai Pencatat Nikah yang ada di
daerah suami istri tersebut, kemudian rujuk diucapkan oleh suami dihadapan Pegawai
Pencatat Nikah atau P3NTR dengan dihadiri dua orang saksi yang adil.

B.Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis menyampaikan saransaran sebagai berikut:

1. Kepada aparatur pemerintah untuk lebih mengenalkan undangundang perkawinan


khususnya Kompilasi Hukum Islam, suapaya masyarakat sadar akan pelaksanaan
Kompilasi Hukum Islam sebagai pengatur dan sebagai panutan hukum di Indonesia
khususnya masalah perkawinan.
2. Kepada bekas suami dan istri dianjurkan untuk rujuk kembali, hal ini untuk mencegah
kemadharatan dan menjaga akibat buruk dari adanya perceraian. Karena rujuk dapat
megembalikan hubungan perkawinan yang sempat putus, dengan terjadinya rujuk
diharapkan hubungan rumah tangga yang lebih baik dari sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad. Usul al-Fiqh. T.t.: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.

Albani (al), Muhammad Nasir al-Din . Mukhtasar Irwa’ al-Ghalil fi Takhrij Ahadith
Manar al-Sabil, vol.1. Beirut : al-Maktab alIslamy, 1985.

Arifin, Busthanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Gema Insani Press,
1996.

Andalusi (al), Abu Muhammad ‘Ali b. Ahmad b. Sa’id b. Hazm. alMuhalla, vol.9. T.t.:
Dar al-Fikr li al-Tiba’ah wa al-Nashr wa alTawzi’, t.th.

‘Arabi (al), Ibn. al- Mu’jam Ibn al-‘Arabi, vol.1. T.t.: t.p., t.th.

‘Asqalani (al), Ahmad b. ‘Ali b. Hajr Abu al-Fadl. Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari,
vol.2. Beirut : Dar al-Ma’rifah, 1379.

Anda mungkin juga menyukai