Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH FIQH MUNAKAHAT DAN MAWARIS

“RUJUK”

Dosen Pengampu : Misyuraidah Hamdani, M.H

Disusun Oleh :

1. Samsu Rizal 1532100256


2. Ade Difta Yanti Noor 1522100018
3. Dewi Sintah Wati 1532100103

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN PENDIDIKAN

UNIVERSITAS RADEN FATAH PALEMBANG

2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan adalah suatu ikatan antara laki dan perempuan, yang pernikahan itu
sendri fitrah dan merupakan sunnah Rasu. Namun dalam kehidupan berumah tangga
tidak akan terlepas juga dengan berbagai permasalahan yang menjadi sebab dan
musabbab terjadinya perceraian. Namun, perceraian bukanlah solusi akhir dari sebuah
permasalahan. Bila permasalahan itu sangat merugikan bagi keduanya maka wajib
hukumnya talak. Begitupun sebaliknya.
Seorang suami yang terlanjur mentalak istrinya maka boleh merujuk kembali
dengan beberapa syarat dan seorang suami juga harus tahu tatacaranya. Berikut akan
kami paparkan satu-persatu mengenai pembahasan pengertian rujuk, dasar hukumnya,
syarat dan rukunnya serta persoalan rujuk yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian rujuk?
2. Apa saja macam-macam rujuk?
3. Bagaimana syarat-syarat rujuk?
4. Apa saja hukum rujuk?
5. Bagaimana prosedur rujuk?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Rujuk
Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali, sedangkan dalam pengertian
terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah
dicerai raj’i bukan cerai ba’in, dan dilaksanakan selama istri dalam masa iddah.1
Allah telah berfirman : ” dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah” (Al-Baqarah : 228).
Maksud dari ayat diatas, adalah apabila seorang telah menceraikan istrinya2 ,
maka ia dibolehkan bahkan dianjurkan untuk rujuk kembali dengan syarat bila
keduanya betul-betul hendak berbaikan kembali ( islah ). Dengan pengertian bahwa
mereka benar-benar sma-sama saling mengerti dan penuh rasa tanggung jawabantara
satu dengan yang lainnya. Tetapi jika suami mempergunakan kesempatan rujuk itu
bukan untuk berbuat islah , bahkan sebaliknya untuk menganiaya tanpa memberi
nafkah , atau semata-mata untuk menahan istri agar jangan menikah dengan orang lain.
Maka suami tersebut, tidak berhak untuk merujuk istrinya
Rujuk merupakan hak suami. Bila ia benar bermaksud baik, ia boleh
mempergunakan haknya itu dan sah hukumnya. Suka atau tidak sukanya istri tidak
menjadi halangan untuk sahnya rujuk.

B. Macam-Macam Rujuk
Seperti diketahui cara bercerai itu dalam islam ada enam macam sesuai dengan kondisi
suami , istri ketika bercerai itu. Sehingga penjelasan cara rujuknya sebagai berikut :
1. Talak raj’i
Talak Raj’i3 adalah talak dimana suami mentalak istrinya untuk pertama kali,
sedangkan istrinya itu sudah pernah digaulinya secara seksual sempurna, dan
istrinya itu tidaklah menebus talak itu. Cara rujuknya yaitu mereka dapat rujuk
kembali tanpa tanpa nikah baru asal saja dilakukannya rujuk itu keadaan istri masih
dalam masa iddah.

1
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, Hal. 110
2 Slamet Abidin, Aminuddin. Fiqih Munakahat, ( CV Pustaka Setia, Bandung:1999 ), Hal, 149.
3
Hasbullah Bakry. Pedoman Islam Indonesia, ( UI-Press, Jakarta:1990 ), Hal 189
Karena besarnya hikmah yang terkandung dalam ikatan tali perkawinan itu,
maka bila seseorang telah menceraikan istrinya , ia diperintahkan oleh Allah SWT.
Agar merujuknya kembali :
Artinya : “Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya, maka rujuknyalah mereka dengan cara yang baik , atau ceraikan mereka
dengan cara yang ma’ruf (pula). “ ( Q.S. Al-Baqarah : 231 ).
2. Talak Bain Sughra
Talak model ini yaitu jika suami telah mentalak istrinya dengan mendapatkan
tebusan (khulu), dari istrinya berupa uang atau barang , semacam ganti rugi karena
penjatuhan talak itu adalah permintaan istri. Atau talak bain sughra yaitu suami
menjatuhi talak kepada istrinya yang belum pernah dia gauli secara seksual.Cara
rujuknya yaitu hendaknya apabila suami kembali (rujuk) padanya hendaklah
melalui nikah baru lagi.
3. Talak Bain Kubra
Talak Bain Kubra4 ialah jika suami telah 3 kali menjatuhkan talak . sehingga
apabila suami apabila ingin kembali ke mantan istrinya , yaitu mantan istrinya harus
nikah dengan orang lain lagi , dan menunggu masa iddahnya.
4. Fasakh
Fasakh yaitu diceraikan oleh hakim pengadilan . penceraian fasakh ini boleh rujuk
tetapi harus dengan nikah baru. Artinya suami melamar lagi , dinikahkan lagi
dengan saksi-saksi persis dengan pernikahan mereka semula dengan mahar yang
baru.
5. Cerai Lian
Cerai secara li’an yaitu menuduh istri didepan hakim secara berkali-kali bahwa dia
telah berzina dengan laki-laki lain, akibatnya mereka bercerai untuk selama-
lamanya. Artinya sang suami tidak boleh memperistrinya lagi , walaupun sang
istrinya itu telah menikah dengan laki-laki lain berkali-kali.
6. Cerai Wafat
Cerai akibat suami wafat, yaitu masa iddah bagi istri yang ditinggalkan suami
karena wafat yaitu empat bulan sepuluh hari.setelah itu dia bebas untuk kawin
dengan laki-laki muslim manapunyang dikendaki.

4
Ibid, Hal. 190
C. Syarat Rujuk
1. Syarat Sah Rujuk
Banyak yang menjelaskan tentang Syarat rujuk , baik itu di buku maupun di kitab,
namun disini saya akan memabahas syarat dari rujuk yang di jelaskan oleh ulama’
fiqih Dan juga yang di terangkan didalam KHI.
Ulama’ fiqih menetapkan syarat sahnya rujuk, yaitu5:
a. Suami yang melakukan rujuk adalah orang yang cakap bertindak hukum yaitu
baligh dan berakal.
b. Suami yang akan rujuk harus menyatakan dengan jelas keinginannya atau dapat
juga dengan sindiran. Sebagian ulama ada juga yang berpendapat boleh
langsung dengan perbuatan
c. Status wanita yang sedang ditalak haruslah masih berada dalam masa ‘iddah.
d. Rujuk harus dilakukan secara langsung tanpa ada persyaratan-persyaratan yang
dibuat oleh si suami sendiri.

Rujuk hanya dapat di lakukan pada talak raj’i, yaitu talak yang di jatuhkan
suami pertama dan kedua. Oleh karena itu, kesempatan untuk rujuk tidak dapat
diberikan pada peristiwa talak yang ke tiga karena talak yang ke tiga dianggap talak
ba’in. Selain itu ruju’ tidak dapat di lakukan pada talak yang dijatuhkan sebelum
terjadi hubungan seksual, atau talak kesatu atau keduanya, namun di lakukan karena
tebusan sejumlah harta dari pihak istri(khulu’) serta juga tidak dapat bisa jika
perceraian keduanya melalui putusan pengadilan (fasakh)6.

Menurut Imam Syafi’, Rujuk dapat di lakukan dengan syarat-syarat sebagaimana


berikut:
a. Bekas istri sudah dicampuri, sebab itu bekas istri yang belum dicampuri tidak
boleh dirujuki, karena ia tidak ber’Iddah sama sekali.
b. Talak yang dijatuhkan tiada disertai dengan ‘iwadl dari pihak istri, sebab ituistri
yang di talak dengan di sertai ‘iwadl dari pihak istri, tidak boleh dirujuki.
c. Rujuk itu dilakukan waktu bekas istri masih dan ‘iddah kalau bekas istri telah
habis waktu ‘iddahnya, tidak boleh dirujuk kembali.
d. Adanya ucapan rujuk, rujuk itu dilakukan dengan diikrarkan dengan lisan
menurut imam syafi’i, seperti kata suami:” aku kembalikan engkau kepadaku”,

5
Amiur Nuruddin, Perdata Islam di Indonesia, Cet. I,(Jakarta: Kencana, 2004) Hal.90
6
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Cet. I,(Bandung: Pustaka Setia, 2000) Hal. 209.
atau “aku rujuk kepada mu”. Sebelum bekas suami mengikrarkan dengan lisan,
maka ia tidak boleh mencampuri bekas istrinya.

Rujuk itu boleh dilakukan, baik istri rela atau tidak. Hanya rujuk itu hukumnya
harom, jika bekas suami tidak sanggup membayar nafkah secara ma’ruf, sedang
istrinya tidak rela.7 Kalau seorang perempuan dirujuk oleh suaminya, sedangkan dia
tidak tahu bahwa dia sudah di rujuk kembali oleh suaminya, kemudian dia menikah
lagi dengan laki-laki lain, dan ketika itu sudah habis masa iddahnya, maka nikah
yang kedua ini tidak sah dan batal dengan sendirinya, dan perempuan tersebut harus
dikembalikan kepada saumi yang pertama.
Sebagaimana sabda Rosulullah SAW: “ wanita mana saja yang dikawini oleh dua
orang laki-laki, maka dia yang lebih dahulu mengawininya”.(HR.Bukhori)8

Rujuk menurut pendapat diatas adalah sah. Tetapi kalau hal itu akan
menimbulkan kesulitan atau menyakiti perempuan tersebut, sudah tentu si suami
akan mendapatkan hukuman yang setimpal dengan niat dan perbuatannya, hadist di
atas banyak sekali menerangkan bahwa suami wajib bersikap adil seadil-adilnya dan
sangat dilarang melakukan sesuatu yang menyakiti hati si istri9.

Sedangkan Syarat rujuk yang terdapat dalam KHI Terdapat dalam pasal 104 ayat (2)
yang berbunyi sebagaimana berikut :
a. Bekas istri sudah di campuri;
b. Talak yang dijatuhkan tiada disertai dengan ‘iwadh dari pihak istri;
c. Rujuk itu dilakukan waktu bekas istri masih dalam iddah
d. Rujuk itu dilakukan dengan diikrarkan dengan lisan menurut syafi’i dan boleh
di lakukan dengan perbuatan menurut jumhur.
2. Syarat Lapadz (Ucapan) Rujuk
a. Lafaz yang menunjukkan maksud rujuk, misalnya kata suami “aku rujuk
engkau” atau “aku kembalikan engkau kepada nikahku”.
b. Tidak bertaklik — tidak sah rujuk dengan lafaz yang bertaklik, misalnya kata
suami “aku rujuk engkau jika engkau mahu”. Rujuk itu tidak sah walaupun ister
mengatakan mau.
c. Tidak terbatas waktu — seperti kata suami “aku rujuk engkau selama sebulan

7
Ibid, hal.145
8
Abu Bakar Muhammad, Terjemah Subulus Salam, jil. III, Cet.1 (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995) Hal. 656.
9
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Cet. VX,(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011) Hal. 419.
D. Hukum Rujuk
1. Wajib apabila Suami yang menceraikan salah seorang isteri-isterinya dan dia belum
menyempurnakan pembahagian giliran terhadap isteri yang diceraikan itu.
2. Haram Apabila rujuk itu menjadi sebab mendatangkan kemudaratan kepada isteri
tersebut.
3. Makruh Apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.
4. Makruh Apabila perceraian itu lebih baik diteruskan daripada rujuk.
5. Sunnah Sekiranya mendatangkan kebaikan.

E. Prosedur Rujuk Dari Segi Hukum Negara


Prespektif UU No 1/1974 tampaknya UUP tidak mengatur masalah rujuk,
demikian pula halnya di dalam PP No.9 tahun 1975. Kendati demikian jauh sebelum
kelahiran UUP, didalam UU No.32 Tahun1954 yo UU No.22 tahun 1946, sudahdibuat
aturan-aturan mengenai, pencatatan nikah, talak dan rujuk.10
Tata cara rujuk yang di jelaskan dalam KHI terdapat pada pasal 167 yang berbunyi
sebagaimana berikut:
a. Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama ke pegawai pencatatan
nikah atau Pegawai Pembantu Pencatat Nikah yang mewilayahi tenmpat tinggal
istri dengan membawa penetapan terjadinya talak dan surat keyterangan lain yang
diperlukan.
b. Ruju’ dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau
Pegawai Pembantu Pencatatan Nikah.
c. Pegawai Pencatat Nikah atau Pegawai Pembantu Pegawai Pencatatan Nikah
memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan meruju’ itu memenuhi syarat-
syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah ruju’ yang akan di lakukan itu
masih ‘iddah talak raj’i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah istrinya.
d. Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan
beserta saksi-saksi menandatangani buku pendaftaran rujuk
e. Setelah rujuk itu dilaksanakan, pegawai pencatat nikah atau pembantu pegawai
pencatat nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukum dan kewajiban
mereka yang berhubungan.

10
Jafizham, persentuhan hukum di indonesia dengan hukum perkawinan islam, (Medan: Mestika, 1977)
Hal. 331.
Kemudian tata cara pelaksanaan rujuk di dalam KHI dilanjutkan dengan pasal 168
dan kemudian pasal 169, selebihnya pasal tentang rujuk mengarah pada teknis
pelaksanaan serta teknis administrasi, disamping itu tentu saja harus terpenuhinya
persyaratan normatif, yang berkenan dengan kondisi si istri, seperti benar tidanya dia
sebagai istri, masih atau lewatnya ‘iddah si istri.
Dari beberapa uraian pelaksanakaan rujuk baik menurut perspektif agama Ataupun
KHI ada perbedaan mengenai persetujuan istri, didalam agama yang penjelasannya
telah disebut di lembar sebelumnya “istri yang dirujuk meski ia tidak tahu bahwa
dirinya dirujuk , rujuk itu tetap sah”, karena ruju’ itu merupakan hak suami yang
digunakan tanpa sepengetahuan orang lain, termasuk istrinya.11 Sedangkan dalam KHI
terlaksananya rujuk itu harus dengan persetujuan sang istri, itu dibuktikan dalam KHI
pasal 167 ayat (2)” Ruju’ dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai
Pencatat Nikah atau Pegawai Pembantu Pencatatan Nikah”. Dan juga dalan pasal 165
yang berbunyi “rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri dapat dinyatakan
tidak sah dengan putusan pengadilan agama”.
Jadi rujuk yang di lakukan didalam KHI harus melewati beberapa cara, sedangkan
di dalam agama asalkan suami sudah merujuk istrinya baik denga perbuatan ataupun
ucapan itu sudah sah, tanpa harus pegawai pencatat nikah atau pembantu pegawai
pencatat nikah.

11
Amir Syarifuddin, hukum perkawinan di indonesia antara fiqih munakahat dan undang-undang
perkawinan, Cet.II, (Jakarta:kencana,2007) Hal.347
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Rujuk adalah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setlah terjadi
talak raj’i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddah,
dengan ucapan tertentu. Adapun fungsi rujuk adalah untuk meneruskan pernikahan
yang lama, sehingga rujuk itu tidak perlu kehadiran wali dan kerelaannya orang yang
dirujuki.
Rujuk hanya terjadi melalui perkataan bukan perbuatan, seperti bercampur atau
yang lainnya. Rujuk seseorang terhadap istrinya tidak dinyatakan sah hingga ia
mengucapkan perkataan yang bermakna rujuk.
Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) mengatur persoalan rujuk ini pada bab XVIII
pasal 163-166, sedangkan tatacara rujuk diatur dalam pasal 167-169
DAFTAR PUSTAKA

Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia

Slamet Abidin, Aminuddin. 1999. Fiqih Munakahat, Bandun: Pustaka Setia

Hasbullah Bakry. 1990. Pedoman Islam Indonesia, Jakarta: UI-Press, Jakarta

Amiur Nuruddin, 2004. Perdata Islam di Indonesia, Cet. I, Jakarta: Kencana,

Rahmat Hakim, 2000. Hukum Perkawinan Islam, Cet. I, Bandung: Pustaka Setia

Abu Bakar Muhammad, 1995. Terjemah Subulus Salam, jil. III, Cet.1. Surabaya: Al-Ikhlas

Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, 2001. Cet. VX, Bandung: Sinar Baru Algensindo

Jafizham, 1977. persentuhan hukum di indonesia dengan hukum perkawinan

islam, Medan: Mestika

Amir Syarifuddin, 2007. hukum perkawinan di indonesia antara fiqih munakahat dan

undang-undang perkawinan, Cet.II, Jakarta:kencana

Anda mungkin juga menyukai