Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH TENTANG WARIS TERHADAP KHUNSA,ANAK ZINA DAN ANAK

ANGKAT

DISUSUN OLEH :
DESIMA NASUTION (1920100158)

DOSEN PEMBIMBING :
SYILVIA KURNIA RITONGA,Lc.M.sy

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PADANGSIDIMPUN
T.A 2021-2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah sama sama kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang

telah memberikan rahmat dan karunia -Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan

makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat dan salam tidak lupa kita hadiahkan ke ruh

Nabi kita nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kebodohan

menuju alam yang penuh dengan ilmu dan iman seperti saat ini. Adapun tujuan utama

penulisan makalah dengan judul ” Waris terdapat KHUNSA, anak zina,dan anak

angkat ” ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah fiqih muwaris.

Dalam penulisan makalah ini saya menyadari adanya kekurangan dan kesalahan

dalam penulisan makalah, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang

bersifat membangun dari semua pihak guna kesempurnaan makalah ini.Kami

berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin ya

Rabbal’alamiinn.

Padangsidimpuan,21 April 2022

Penulis
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A.latar belakang masalah


B.Rumusan masalah
C.Tujuan penulisan

BAB II PEMBAHASAN

A.Pengertian waris terhadap KHUNSA,anak zina dan anak angkat

B.Ahli waris khuntsa,anak zina dan anak angkat dalam Islam

C.Syarat mendapatkan waris anak khuntsa, anak zina dan anak angkat

BAB III KESIMPULAN

D.Kesimpulan

E.Saran

Daftar pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

kebutuhun ruhaniahnya. Oleh sebab itu, merawat anak itu wajib dan mendidiknyalebih

wajib lagi. Islam mengganjar dengan dosa besar bagi orang-orang yangmenterlantarkan

anak-anaknya, tidak diperkenalkan akhlak, tidak diperkenalkan pendidikan.adahal seorang

anak merupakan penerus generasi yang memegang peranan penting bagieksistensi agama

serta kemajuan bangsa dan !egara. Orangtua kelak akan dimintakan pertanggungjawaban

atas anak-anaknya dihapdapan Allah.


BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian waris terhadap khuntsa,anak zina dan anak angkat

Menurut para ahli fiqh, khuntsa dapat didefinisikan sebagai manusia yang mempunyai

dua alat kelamin pria dan wanita yang menyatu dalam individu yang satu.mazhab Maliki,

pembagian waris bagi khuntsa yaitu mendapat kedua bagian terkecil dari perkiraan laki- laki

dan perempuan yang kemudian jumlah dari perkiraan tersebut dibagi setengah. Di dalam

Al-Quran, dalam ayat-ayat mawaris, tidak disebutkan bahwa khuntsa dikecualikan dalam

pembagian warisan. Adapun anak zina Anak hasil zina tidak mendapatkan warisan dari

harta peninggalan bapak biologisnya dengan alasan tidak memiliki hubungan nasab.dengan

hadits yang yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dalam Putra

menyebutkan bahwa seorang anak hasil zina dapat waris-mewarisi dengan ibu yang telah

melahirkannya dan atau dengan keluarga dari pihak ibunya, sedangkan dengan ayah

biologisnya ia tidak dapat waris-mewarisi.

B.Ahli waris terhadap khuntsa,anak zina dan anak angkat

Bahwa waris terhadap khuntsa menguatkan dalil permohonannya pemohon mengajukan

bukti surat, dua orang saksi, dan dua orang ahli yang telah didengar keterangannya di

bawah sumpah. Bahwa selama persidangan telah ditemukan fakta-fakta hukum dan adanya
pertimbangan medis yang dikemukanan para saksi ahli, hakim menilai apa yang didalilkan

pemohon selama persidangan telah dapat dibuktikan dan dengan berpedoman pada fatwa

MUI (Majelis Ulama Indonesia) Nomor 03/Munas-VIII/MUI/2010 tertanggal 27 Juli 2010

tentang Perubahan Dan Penyempurnaan Jenis Kelamin, yang berisi:

A. Penggantian Alat Kelamin

1. Mengubah alat kelamin dari laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya yang dilakukan

dengan sengaja, misalnya operasi ganti kelamin, hukumnya haram;

2. Membantu melakukan ganti kelamin sebagaimana point 1 hukumnya haram

3. Penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi alat kelamin sebagaimana point

tersebut

4. Kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi ganti kelamin

sebagaimana point 1 adalah sama dengan kelamin semula seperti sebelum dilakukan

Opeerasi ganti kelamin, meski telah memperoleh penetapan pengadilan.

B. Penyempurnaan Alat Kelamin

1. Menyempurnakan alat kelamin bagi seorang khuntsa yang fungsi alat kelamin laki-lakinya

lebih dominan atau sebaliknya, melalui operasi penyempurnaan alat kelamin hukumnya

boleh.

2. Membantu melakukan penyempurnaan alat kelamin sebagaimana dimaksud pada point 1

hukumnya boleh.

3. Pelaksanaan operasi penyempurnaan alat kelamin sebagaimaba dimaksud pada point 1

harus didasarkan atas pertimbangan medis, bukan hanya pertimbangan psikis semata.

4. Penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi penyempurnaan alat kelamin

sebagai mana dimaksud pada point 1 dibolehkan, sehingga memiliki implikasi hukum.

5. Kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi penyempurnaan
alat kelamin sebagaimana dimaksud pada point 1 adalah sesuai dengan jenis kelamin

setelah penyempurnaan sekalipun belum memperoleh penetapan pengadilan terkait

perubahan status tersebut.

Kemudian anak zina dengan hadits yang yang diriwayatkan oleh

Imam Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dalam Putra menyebutkan bahwa seorang anak hasil

zina dapat waris-mewarisi dengan ibu yang telah melahirkannya dan atau dengan keluarga

dari pihak ibunya, sedangkan dengan ayah biologisnya ia

tidak dapat waris. Dan poin-poin hukum Islam dalam

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 11 Tahu

2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan

Perlakuan Terhadapnya memutuskan bahwa bagi

keturunan dari hasil perzinahan secara spesifik

menjelaskan bahwa anak hasil zina terputus hubungan

nasabnya, wali pernikahan nya dan nafkahnya dari ayah

biologis yang menyebabkan kelahirannya. Tetapi, anak

hasil perzinahan memiliki hubungan nasab, waris dan

nafkah dengan ibu dan keluarga ibunya.

Rasulullah SAW bersabda tentang anak hasil zina: “Bagi

keluarga ibunya ...” (HR. Abu Dawud). Dari ‘Amr ibn

Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah

SAW bersabda: ”Setiap orang yang menzinai perempuan

baik merdeka maupun budak, maka anaknya adalah

anak hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan.“


(HR. Al-Turmudzi).

Dan anak angkat,Anak angkat bukanlah ahli waris, namun berdasarkan ketentuan Pasal

209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, anak angkat yang tidak diberi wasiat oleh orang tua

angkatnya diberi wasiat wajibah maksimal sepertiga (1/3) dari harta peninggalan pewaris.

Dantidak bisa menjadi ahli waris orang tua angkatnya. Demikian juga sebaliknya, orang tua

angkat tidak bisa menjadi ahli waris anak angkatnya. Dalam hukum kewarisan, sesuai

dengan ketentuan pasal 209 KHI kalau orang tua angkat meninggal dunia, maka anak

angkat akan mendapat wasiat wajibat.Di dalam Islam tidak membenarkan pengangkatan

anak sebagaimana dilakukan pewaris tersebut. Islam melarang mengambil anak orang lain

untuk diberi status anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya

dan mewarisi harta peninggalannya dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan

orang tua. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Surah al-Ahzab ayat 40 : “Muhammad itu

sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah

dan penutup nabi-nabi.”

Sebagaimana kita ketahui sebelum nabi Muhammad diutus sebagai Rasulullah, dahulu

ia mempunyai seorang anak angkat yaitu Zaid Bin Haritsah. Waktu itu karena anak angkat

dihukumi sebagai anak kandung, maka Zaid itupun dipanggil oleh orang banyak dengan

panggilan Zaid Bin Muhammad, sampai kemudian turun ayat diatas yang membatalkan

anak angkat sebagai anak kandung, dan tetaplah Zaid dipanggil dengan Zaid Bin Haritsah.

Sejak itu anak angkat tetap menjadi anak kandung orang tua biologisnya, hanya

pemeliharaan dan biaya hidup sehari-harinya beralih kepada orang tua angkatnya.

Perbuatan semacam ini mungkin dipandang sepele oleh orang tua angkatnya, hanya

masalah administrasi saja. Masalahnya bukan sebatas hanya administrasi saja, tetapi

berkaitan dengan nasab, kemahraman, kewarisan dan perwalian seseorang yang harus
dikaitkan dengan orang tua kandung. Perbuatan semacam ini merupakan kebohongan yang

sangat dilarang dalam Islam. Islam mengatur bahwa penyebutan anak itu tidak bisa

dibangsakan kepada orang lain yang bukan ayahnya. Penyebutan seorang anak hanya

dibenarkan digandengkan dengan ayah kandungnya. Harus menyebut Bin atau Binti ayah

kandungnya. Tidak bisa disebut dengan Bin atau Binti ayah angkatnya. Allah berfirman

dalam surat al-Ahzab ayat 5: “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai)

nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah”. Memanggil anak angkat

dengan membangsakan kepada bapak angkatnya adalah kebohongan, dosa besar.

Diriwayatkan dari Saad Bin Abi Waqas bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang

mengakui (bapak) yang bukan bapaknya sendiri, atau membangsakan maula yang bukan

maulanya sendiri, maka ia akan mendapatkan kutukan Allah swt, Malaikat dan seluruh

manusia. Allah tidak berkenan menerima taubat dan tebusannya”. (HR Bukhari dan Muslim).

Rasululah bersabda: “Tiada seorang laki-laki yang mengakui bapak yang bukan bapaknya

sendiri sedangkan ia mengetahui (hal itu), melainkan dia telah kufur”. (HR Bukhari dan

Muslim).

Rasulullah bersabda: “Barang siapa mengakui bapak yang bukan bapaknya sendiri,

sedangkan ia mengetahui bahwa ia bukan bapaknya, maka surga haram baginya”. (HR

Bukhari dan Muslim).

Sungguh sangat fatal akibat orang yang membangsakan seorang anak bukan dengan ayah

kandungnya tetapi dengan orang tua angkatnya. Dalam hadits-hadits diatas, orang yang

membangsakan anak dengan orang yang bukan ayah kandungnya akan mendapat kutukan

Allah, Malaikat dan seluruh manusia dan Allah tidak menerima taubat dan tebusannya, juga

ia dikatakan telah kufur dan surga haram baginya. Masyaallah, na’udzubillah min dzalik.
Bagaimanapun dekatnya hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya, tetap

saja orang tua angkat adalah orang lain, tidak bisa menggantikan kedudukan orang tua

kandung. Ketika ia menikah haruslah berwali dengan orang tua kandungnya tidak bisa

berwali dengan orang tua angkatnya. Ketika membagi waris juga hanya berhubungan

dengan orang tua kandungnya. Anak angkat tidak bisa menjadi ahli waris orang tua

angkatnya. Demikian juga sebaliknya, orang tua angkat tidak bisa menjadi ahli waris anak

angkatnya.

C.Syarat mendapatkan harta waris anak khuntsa, anak zina dan anak angkat

bagian anak laki-laki dua berbanding satu dengan anak perempuan.Al-Quran

menetapkan hak kewarisan seseorang berdasarkan jenis kelamin yang dimilikinya, apakah

sebagai laki-laki atau perempuan. Dasar kewarisan anak laki-laki dan dan perempuan

adalah firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 11 yaitu bagian anak laki-laki sama dengan

bagian dua orang anak perempuan. Seorang ahli waris khuntsa apabila telah melakukan

operasi penyesuaian kelamin dan telah mendapat kejelasan mengenai status kelaminnya

sebagai laki-laki atau perempuan, maka sesuai dengan ketentuan yang disebutkan dalam

Al-Quran, ahli waris tersebut berhak untuk mendapatkan bagian warisannya secara penuh

sesuai dengan ketentuan atau dengan kata lain, bagian waris yang sebelumnya

ditangguhkan saat masih seorang khuntsa, setelah diperoleh

kepastian statusnya hak waris yang ditangguhkan tersebut diberikan secara

penuh sesuai dengan ketentuan.

Anak zina berrdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa: Pembagian harta
waris anak di luar nikah menurut madzhab fiqih adalah sebagai berikut : a) Menurut Imam

Abu Hanifah pendiri madzhab Hanafi yang paling sharih (eksplisit) menegaskan sahnya

status anak zina dinasabkan pada bapak biologisnya apabila kedua pezina itu menikah

sebelum anak lahir. Dalam kewarisan anak luar nikah menurut madzhab Hanafiah adalah

sama dengan anak mula’anah yaitu tidak memiliki bapak dalam kewarisan, dalam sebuah

hadits disebutkan bahwa Nabi menghubungkan anak mula’anah terhadap ibunya, dan tidak

memiliki hubungan kerabat dengan pihak bapak, maka hanya diwajibkan yang mewarisi

darinya adalah kerabat ibunya, dan mereka mewariskan kepadanya. b) Menurut Madzhab

Imam Malik yaitu: dalam warisan anak di luar nikah terhadap ayah biologisnya tidak

mendapatkan warisan, karena tidak terhubung kepada laki-laki yang menghamili perempuan

yang melahirkan anak tersebut, tetapi ia bisa mendapatkan warisan dari ibunya. Anak hasil

zina tidak mendapatkan warisan dari harta peninggalan bapak biologisnya dengan alasan

tidak memiliki hubungan nasab. c) Menurut Imam Syaf’i, Hukum kewarisan anak luar nikah

sama dengan anak mula’anah, yaitu tidak saling mewarisinya bapak biologis dan anak

disebabkan terputusnya nasab, berserta ahli keluarga pihak bapak biologis, yaitu ayah, ibu,

dan anak dari bapak biologis. Anak tersebut hanya mewarisi dari pihak ibu, dan keluarga

ibunya. Anak boleh mewarisi dari pihak bapak biologisnya apabila adanya klaim atau

pengakuan (istilhaq) dari bapak biologisnya. Dalam pengakuan nasab atas kewarisan, imam

Syafi’I memperbolehkan pewaris yaitu dari pihak bapak biologis mengakui nasab kepada

yang diwariskannya dengan syarat, anak tersebut dapat memperoleh harta warisan atau di

akui oleh semua ahli warisnya, adanya orang yang mengakui (mustalhiq) anak kepada yang

meninggal (pewaris), tidak diketahui kemungkinan nasab selain dari pewaris, dan pihak

(mustalhiq) yang membenarkan nasab anak tersebut adalah seorang yang berakal dan telah
baligh. d) Menurut Madzhab Imam Ahmad Bin Hambal, yaitu pembagian harta waris anak di

luar bahwa anak di luar nikah tidak mendapatkan warisan dari bapaknya, karena tidak

terhubung kepada laki laki yang menghamili perempuan yang melahirkan anak tersebut,

tetapi ia bisa mendapatkan warisan dari ibunya. Anak hasil zina tidak mendapatkan warisan

dari harta peninggalan bapak biologisnya dengan alasan tidak memiliki hubungan nasab.

Meskipun anak angkat bukan sebagai ahli waris, namun anak angkat berhak atas

bagian harta warisan orangtua angkatnya dengan mendapatkan bagian atas dasar wasiat

wajibah sebagaimana pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang besarnya tidak lebih

dari (satu per tiga) dari seluruh harta peninggalan orang tua
D.Kesimpulan

Hukum kewarisan memegang peranan yang sangat penting. Sebab

merupakan sesuatu yang sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan

manusia karena setiap manusia yang hidup akan mengalami peristiwa hukum

yang lazim disebut dengan kematian.


1.Hukum waris adalah hukum yang mengatur peralihan harta kekayaan
seseorang yang telah meninggal dunia beserta akibatnya bagi ahli waris. Ash-
Shabuni menyebutkan bahwa hukum waris yaitu segala jenis harta benda atau
kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan
sebagainya.

2. Hukum waris adalah hukum yang mengatur peralihan harta kekayaan


seseorang yang telah meninggal dunia beserta akibatnya bagi ahli waris.
AshShabuni menyebutkan bahwa hukum waris yaitu segala jenis harta benda atau
kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.

3.Hukum waris Islam sering pula dinamakan sebagai farāid karena bagian masing-
masing ahli waris telah ditentukan oleh syara’. Selain itu, hukum waris Islam juga
sering dinamai sebagai ilmu mawāriś karena membicarakan tentang pemindahan
harta warisan orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup

E.Saran

Saya sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan

sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah
dengan

mengacu pada sumber yang dapar dipertanggungjawabkan nantinya. Oleh karena itu,

penulis sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.
Daftar Pustaka

Abdusysyakin, Abdul Aziz, ‘Analisis Matematika Terhadap Filsafat Al-


Quran’ (Malang: UIN-Malang, 2006)
Alhaitami, Muhammad, ‘Analisis Konsep Māqaṣid Al-Syarī ‘ah Dalam
Pertimbangan Putusan MK RI No. 46/Puu-Viii/2010 Dan Fatwa MUI
No. 11 Tahun 2012 Tentang Status Anak Di Luar Nikah.’ (UIN Ar-
Raniry Banda Aceh, 2017), pp. 1–76
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Pembagian Waris Menurut Islam (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995)
Aziz, Nasaiy, and Muksal Mina Muksal Mina, ‘Nasab Anak Yang Lahir Di
Luar Nikah: Analisis Fatwa MPU Aceh Nomor 18 Tahun 2015 Dan
Keputusan MK Nomor 46/PUU/-VIII/2010’, SAMARAH: Jurnal
Hukum Keluarga Dan Hukum Islam, 1.1 (2017), 72–100
Bahri, Samsul, ‘Praktik Penyelesaian Pembagian Harta Warisan Terhadap

Anda mungkin juga menyukai