Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

TAFSIR AYAT TENTANG WARISAN

Disusun Oleh: Kelompok 6

Sakinah Ayuning 1930403084

Sarita Putri 1930403088

Widiya Yulianti 1930403103

DOSEN PEMBIMBING:

DAPIT AMRIL, SIQ., S. TH.I., MA

AKUNTANSI SYARIAH 4C

FAKULTAS EKONOMI BISNIS DAN ISLAM

INSTITUS AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

BATUSANGKAR

2021
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT atas limpahan rahmat, nikmat,
dan karunia-Nya, sehingga makalah Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi ini dapat
terselesaikan tepat waktu. Shalawat beserta salam penulis do’akan kepada Allah
SWT. Semoga selalu tercurah kan kepada nabi Muhammad SAW, semoga selaku
umat beliau dapat menegak kan nilai-nilai sunnahnya secara integral dalam
kehidupan sehari-hari.

Penulis berterimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung sehingga


makalah mata kuliah Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi ini dapat terseleseikan tepat waktu,
terutama dosen pembimbing dan teman-teman.Penulis menyadari bahwa makalah
ini jauh dari kesempurnaan., Oleh sebab itu penulis berharap pembaca dapat
memberikan kritik dan saran demi memperbaiki makalah ini agar lebih baik lagi
kedepannya.

Batusangkar, 8 April 2021

Pemakalah

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR.............................................................................................1

DAFTAR ISI............................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3

A. Latar Belakang...................................................................................................3
B. Rumusan Masalah..............................................................................................4
C. Tujuan Masalah..................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5

A. Pengertian Warisan............................................................................................5
B. Sebab Penerima Warisan...................................................................................7
C. Ayat-Ayat tentang yang berhak Mendapatkan Warisan (QS An-Nisa’:7)........8
D. Ayat tentang pembagian harta Warisan (QS An-Nisa’:11,12,176).................10

BAB III PENUTUP...............................................................................................22

A. Kesimpulan......................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................23

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kewarisan Islam sebagai bagian dari syari‟at islam dan lebih khusus lagi
sebagai bagian dari aspek muamalah subhukum perdata, tidak dapat dipisahkan
dengan aspek-aspek lain dari ajaran Islam. Karena itu, penyusunan kaidah-
kaidahnya harus didasarkan pada sumber yang sama seperti halnya aspek-aspek
yang lain dari ajaran islam tersebut. Sumber-sumber Islam itu adalah Al-Qur‟an,
Sunah Rasul dan Ijtihad. Ketiga sumber ini pula yang menjadi sumber hukum
kewarisan islam. Penggunaan ketiga sumber ini didasarkan kepada ayat Al-Qur‟an
sendiri dan hadist Nabi.

Dan hukum Islam juga mengatur segala sesuatu dengan sangat adil
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Alquran, termasuk dalam mengatur
pembagian harta waris yang menjunjung tinggi keadilan. Turunnya ayat Alquran
mengenai pembagian harta waris yang menjadikan perempuan sebagai ahli waris,
disebabkan karena pada zaman jahiliyyah nasib kaum perempuan sangat
memprihatinkan, dalam hal kewarisan perempuan tidak berhak mendapatkan harta
waris, bahkan ia menjadi objek yang diwariskan. Turunnya ayat-ayat kewarisan
memberikan penghargaan dan keadilan bagi perempuan, dengan dijadikanya
perempuan sebagai subjek warisan menjadikan mereka bahagia. Namun dalam
kenyataanya sekarang ini, umat Islam banyak yang membagi harta waris tidak
sesuai dengan ayat Alquran. Mereka menganggap pengaplikasian surat an- Nisa
ayat 11 (anak laki-laki mendapat dua kali bagian anak perempuan) pada zaman
sekarang ini kurang adil, karena sekarang perempuan lebih mandiri, mereka
mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam banyak hal, seperti pendidikan,
pekerjaan, peran di masyarakat dan sebagainya, sehingga pembagian harta
warisannyapun disesuaikan dengan keadaannya.

3
Kewarisan Islam sebagai bagian dari syari‟at islam dan lebih khusus lagi
sebagai bagian dari aspek muamalah subhukum perdata, tidak dapat dipisahkan
dengan aspek-aspek lain dari ajaran Islam. Karena itu, penyusunan kaidah-
kaidahnya harus didasarkan pada sumber yang sama seperti halnya aspek-aspek
yang lain dari ajaran islam tersebut. Sumber-sumber Islam itu adalah Al-Qur‟an,
Sunah Rasul dan Ijtihad. Ketiga sumber ini pula yang menjadi sumber hukum
kewarisan islam. Penggunaan ketiga sumber ini didasarkan kepada ayat Al-Qur‟an
sendiri dan hadist Nabi.
B. RUMUSAN MASALAH
a) Apa pengertian dari warisan?
b) Apa saja sebab-sebab menerima warisan?
c) Bagaimana penjelasan ayat Al-Qur’an yang berhak mendapatkan warisan pada
surat AN-NISA’:7?
d) Bagaimana penjelasan ayat Al-Qur’an tentang pembagian harta warisan pada
surat AN-NISA’ :11,12,176?
C. TUJUAN
a) Untuk mengetahui pengertian dari warisan
b) Untuk mengetahu sebab-sebab menerima warisan
c) Untuk mengetahui penjelasan tentang yang berhak mendapatkan warisan pada
surat AN-NISA:7
d) Untuk mengetahui penjelasan tentang pembagian harta warisan pada surat AN-
NISA:11,12,176

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN WARISAN
Pengertian Warisan menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu
(baik itu materi atau non-materi) dari orang yang satu ke orang yang lain.
Waris ini mengakar pada kata Al-Irts atau pun Al-Mirats.
Adapun menurut Istilah, pengertian waris adalah berpindahnya
harta (hak dan kewajiban) mereka yang sudah wafat kepada golongan yang
disebut dengan ahli waris yang merupakan kerabat atau karena adanya
hubungan perkawinan sesuai dengan aturan syariat islam
Wujud warisan atau harta peninggalan menurut hukum islam sangat
berbeda dengan wujud warisan menurut hukum barat sebagai mana diatur
dalam BW maupun hukum waris adat. Warisan atau harta peninggalan
menurut hukum islam yaitu “sejumlah harta benda serta segala hak dari yang
meninggal dunia dalam keadaan bersih”. Artinya harta peninggalan yang
diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda serta sagala hak,
“setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan
pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya sipeninggal
waris”.
Harta warisan adalah kekayaan yang berupa kaseluruhan aktiva dan
pasiva yang ditinggalkan pewaris dan berpindah kepada ahli waris.
Keseluruhan kekayaan yang berupa aktiva dan pasiva yang menjadi milik
bersama ahli waris yang disebut boedel.1
Pada masa pra-Islam, seseorang akan mendapat harta warisan apabila:
1. Adanya pertalian kerabat.

1
afidah wahyuni,”system waris dalam perspektif islam dan peraturan perundang-undangan di
Indonesia”,jurnal social & budaya syar’I,Vol.5,No.2, hal 6

5
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan
orang yang mewarisi yang disebabakan oleh kelahiran. Pertalian kerabat
yang menyebabkan seorang ahli waris dapat menerima warisan adalah laki-
laki yang memiliki kekuatan untuk membela, melindungi, dan memelihara
qabalah (persukuan) atau sekurang-kurangnya keluarga mereka. Persyratan
ini menyebabkan anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuantidak
dapat menerima pusaka.
2. Adanya janji ikatan prasetia
Janji prasetia adalah dorongan kemauan bersama untuk saling membela
jiwa raga dan kehormatan mereka. Tujuan ini tidak mungkin terealisasikan
apabila pihak-pihak yang berjanji adalah anak-anak yang belum dewasa,
apalagi kaum wanita. Konsekuensi janji setia itu adalah jika salah satu
pihak meninggal dunia, maka pihak lain yang masih hidup berhak
mempusakai harta peninggalan partner-nya sebanyak 1/6 begian harta
peninggalannya. Adapun sisa harta setelah dikurangi 1/6 dibagikan kepada
ahli warisnya.
3. Adanya pengangkatan anak
Sebelum diangkat menjadi Rasul, Nabi Muhammad saw mengangkat
Zaid Ibn Haritsah menjadi anak angkatnya dan dikatakanlah Zaid bin
Muhammad. Beliau mengangkat Zaid ini sebagai anaknya, sesudah Zaid
dimerdekakan. Abu Hutzaifah Ibn ‘Utbah mengangkat Salim menjadi
anaknya dan dikatakanlah: Salim ibn Abu Huzaifah. Keadaan ini berlaku
hingga turun surat al-Ahzab dibawah ini:

6
Artinya: “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu
tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu
terhadap apa yan kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang
disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
Ayat ini menegaskan bahwa, Nabi Muhammad saw bukanlah ayah dari
seorang anak angkat (Zaid) dan anak-anak angkat tidaklah dapat dianggap
sebagai anak sendiri, serta anak-anak angkat itu haruslah dibangsakan kepada
ayah mereka sendiri. 2
B. SEBAB MENERIMA WARISAN
Menerima warisan merupakan perbuatan pengalihan hak dan kewajiban,
dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya sebagai penerima
warisan dalam memiliki dan memanfaatkan harta peninggalan. Orang-orang
yang berhak menerima harta peninggalan atau harta warisan (mewarisi) orang
yang meninggal disebut ahli waris. Pewarisan tersebut baru terjadi jika ada
sebab-sebab yang mengikat pewaris dengan ahli warisnya.
Adapun sebab-sebab tersebut adalah:
a. Perkawinan
Perkawinan yang menjadi sebab menerima warisan tersebut disyaratkan
harus menjadi akad yang sah menurut syariat, walaupun dalam perkawinan
tersebut belum terjadi khalwat (tinggal berduaan), dan ikatan perkawinan
tersebut masih utuh atau hanya anggapan. Jadi perkawinan yang fasid atau
yang batil tidak menjadi sebab penerima warisan.
b. Kekerabatan
Kekerabatan merupakan sebab menerima warisan karena kelahiran, suatu
unsur kausalitas adanya seorang yang tidak dapat dihilangkan, baik untuk
2
asrizal,”peletakan dasar-dasar hukum kewarisan islam”,al-ahwal,Vol.9,No.1,2016,hal 3

7
anak turun (cabang) dari si mayit (furu’ul mayyit), leluhur (pokok) yang
menyebabkan adanya si mayit (ushulul mayyit), atau keluarga yang
dihubungkan dengan si mayyit melalui garis menyamping (al-hawasyi).
Mereka yang memiliki kekerabatan dengan si mayyit, sebagai sebab dalam
menerima harta peninggalan, adalah ayah dan ibu si mayyit, anak-anak, dan
orang-orang yang bernasab kepada mereka.
c. Wala’
Wala’ secara bahasa adalah penolong atau pertolongan, biasanya
ditujukan untuk menunjukkan kekerabatan. Menurut istilah syariat, wala’
adalah hubungan kekerabatan menurut hukum sebagaimana ditetapkan oleh
syariat antara mu’tiq (yang membebaskan) dan mu’taq (yang dibebaskan) atau
yang muncul antara seseorang dan yang lain disebabkan oleh akan muwalah
dan sumpah. Jadi, kekerabatan itu ada dua macam. Pertama, kekerabatan yang
disebabkan oleh hubungan nasab yang sesungguhnya. Dia mempunyai
hubungan peranakan, per-ayah-an, persaudaraan, dan perpamanan. Kedua,
hubungan kekerabatan yang
disebabkan oleh hukum, seperti wala’ al-muwalah dan wala’ perbudakan. 3
B. AYAT-AYAT TENTANG YANG BERHAK MENDAPATKAN WARISAN
(QS AN-NISA’:7)
Al-Qat yaitu ketetapan yang pasti. Misalnya dalam sebuah menetapkan telah
Aku‚ ‫ فرضت لفالن كن ا من المال أی قطعت‬ungkapan dengan pasti bagian harta untuk
si Fulan‛ Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat An- Nisa’:

َ ‫صيبٌ ِم َّما تَ َر‬


‫ك‬ َ ‫ك ْال َوالِ َدا ِن َواأْل َ ْق َرب‬
ِ َ‫ُون َولِلنِّ َسا ِء ن‬ َ ‫صيبٌ ِم َّما تَ َر‬
ِ َ‫ال ن‬
uِ ‫ِّج‬
َ ‫لِلر‬
ِ ‫ْال َوالِ َد‬
‫ان‬
ِ َ‫ُون ِم َّما قَ َّل ِم ْنهُ أَ ْو َكثُ َر ۚ ن‬
ً ‫صيبًا َم ْفرُو‬
‫ضا‬ َ ‫َواأْل َ ْق َرب‬
3
asrizal,”peletakan dasar-dasar hukum kewarisan islam”,al-ahwal,Vol.9,No.1,2016,hal 9

8
Artinya:
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua
dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan. (QS. AN-NISA’(4):7)

Berdasarkan pencermatan terhadap tenerjemah surat An-Nisa ayat 7 diatas


maka dapat disimpulkan bahwa laki-laki dan wanita (baik masih kecil maupun
sudah dewasa, baik kuat berjuang maupun tidak) sama-sama mempunyai hak untuk
mendapatkan harta warisan meskipun dengan jumlah bagian yang tidak sama.4

Imam Abul Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidi (wafat 468 H/1076 M)
mengutip dari para mufassir, Surat An-Nisa ayat 7 ini turun berkaitan dengan
Ummu Kuhhah RA dan tiga anak perempuan yang ditinggal wafat suaminya yaitu
Aus bin Tsabit al-Anshari RA, dimana mereka tidak mendapatkan harta warisannya
karena diambil semua oleh dua keponakan laki-lakinya, Suwaid dan Arfajah.

Demikianlah tradisi waris Jahiliyah yang tidak memberikan hak waris


kepada para perempuan dan anak laki-laki yang masih kecil. Mereka hanya
memberikan hak waris kepada para laki-laki dewasa. Dalam hal ini orang-orang
Jahiliyah berkata, “Kami tidak memberikan warisan kecuali kepada orang yang
mampu berperang di atas punggung kuda dan mampu mengambil harta rampasan.”
Atas peristiwa ini Ummu Kuhhah RA mengadu kepada Rasullulah SAW yang
kemudian memanggil Suwaid dan Arfajah. Setelah menghadap, kedua orang inipun
bersikukuh, “Wahai Rasulullah, anak Ummu Kuhhah tidak bisa naik kuda, tidak
bisa memanggul senjata dan tidak bisa mengalahkan musuh.” Kemudian Rasulullah
SAW menjawab, “Bubarlah kalian sehingga aku menanti apa yang Allah firmankan
kepadaku tentang urusan mereka.” Lalu mereka bubar dan turunlah Surat An-Nisa

4
Yazidah,Aminah. “KAJIAN ARITMATIKA SOSIAL DALAM PERHITUNGAN ILMU FARAIDH (ILMU
WARIS ) DALAM QS.AN-NISA”, Jurnal Prismatika, Vol.1,No.1, Hal.54

9
ayat 7 ini. (Abul Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidi an-Naisaburi, Asbabun Nuzul,
[Jakarta, Darul Kutub Al-Islamiyyah: 1431 H/2010 M], halaman 89).

Pakar tafsir kota Naisabur, Imam Nizhamuddin Al-Hasan bin Muhammad


An-Naisaburi (wafat 850 H/1446 M), menjelaskan bahwa setelah turun Surat An-
Nisa ayat 7 kemudian Rasullullah SAW mengirim utusan kepada Suwaid dan
Arfajah agar jangan sedikitpun menggangu harta sahabat Aus karena Allah telah
menjadikan bagian hak waris bagi istri dan anak-anaknya. (Nizhamuddin An-
Naisaburi, Gharaibul Qur’an wa Ragha’ibul Furqan, [Beirut, Darul Kutub
Al-‘Ilmiyyah: 1416 H/1996 M], juz II, halaman 355).5

C. AYAT TENTANG PEMBAGIAN HARTA WARISAN


 AN-NISA:11

‫ق‬ َّ ِ‫ص ْي ُك ُم هّٰللا ُ فِ ْٓي اَ ْواَل ِد ُك ْم ل‬


َ ‫لذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ ااْل ُ ْنثَيَي ِْن ۚ فَاِ ْن ُك َّن نِ َس ۤا ًء فَ ْو‬ ِ ‫ي ُْو‬
ِّ‫ف ۗ َواِل َبَ َو ْي ِه لِ ُكل‬
ُ ْ‫اح َدةً فَلَهَا النِّص‬ ِ ‫ت َو‬ ْ َ‫ك ۚ َواِ ْن َكان‬ َ ‫ْاثنَتَي ِْن فَلَه َُّن ثُلُثَا َما تَ َر‬
ٓ ٗ‫ان لَهٗ َولَ ٌد ۚ فَاِ ْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّهٗ َولَ ٌد َّو َو ِرثَه‬
َ ‫ك اِ ْن َك‬ َ ‫اح ٍد ِّم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ ِم َّما تَ َر‬ ِ ‫َو‬
‫ص ْي‬ ِ ‫صيَّ ٍة ي ُّْو‬ ِ ‫ان لَهٗ ٓ اِ ْخ َوةٌ فَاِل ُ ِّم ِه ال ُّس ُدسُ ِم ۢ ْن بَ ْع ِد َو‬ َ ‫ث ۚ فَاِ ْن َك‬ ُ ُ‫اَبَ ٰوهُ فَاِل ُ ِّم ِه الثُّل‬
‫ضةً ِّم َن‬ َ ‫بِهَٓا اَ ْو َد ْي ٍن ۗ ٰابَ ۤا ُؤ ُك ْم َواَ ْبنَ ۤا ُؤ ُك ۚ ْم اَل تَ ْدر ُْو َن اَيُّهُ ْم اَ ْق َربُ لَ ُك ْم نَ ْفعًا ۗ فَ ِر ْي‬
‫ان َعلِ ْي ًما َح ِك ْي ًما‬ َ ‫هّٰللا ِ ۗ اِ َّن هّٰللا َ َك‬
Artinya:

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan


untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan

5
Muntaha,Ahmad.,2020,”Tafsir Surat AN-NISA’:7”, https://islam.nu.or.id/post/read/125452/tafsir-
surat-an-nisa--ayat-7, Diakses 22 Desember 2020

10
yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia
memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-
bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak
mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar)
utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu.
Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui,
Mahabijaksana.” (QS. An-Nisa’(4):11)

Ayat ini menjelaskan ketentuan pembagian harta warisan yang dijelaskan


Allah secara rinci agar tidak diabaikan. Allah mensyariatkan, yakni mewajibkan,
kepada kamu tentang pembagian harta warisan untuk anak-anak kamu baik laki-
laki atau perempuan, dewasa atau kecil, yaitu bagian seorang anak laki-laki
apabila bersamanya ada anak perempuan dan tidak ada halangan yang
ditetapkan agama untuk memperoleh warisan, disebabkan karena membunuh
pewaris atau berbeda agama, maka ia berhak memperoleh harta warisan yang
jumlahnya sama dengan bagian dua orang anak perempuan, karena lakilaki
mempunyai tanggung jawab memberi nafkah bagi keluarga. Dan jika anak itu
semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua dan tidak ada bersama
keduanya seorang anak lelaki, maka bagian mereka adalah dua pertiga dari harta
warisan yang ditinggalkan ibu atau ayahnya. Jika dia, anak perempuan, itu
seorang diri saja dan tidak ada bersamanya anak laki-laki, maka dia memperoleh
harta warisan setengah dari harta yang ditinggalkan orang tuanya.

11
Demikianlah harta warisan yang diterima anak apabila orang tua mereka
meninggal dunia dan meninggalkan harta. Dan apabila yang meninggal dunia
adalah anak laki-laki atau perempuan, maka untuk kedua ibu-bapak mendapat
bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan oleh sang anak.
Jumlah itu menjadi hak bapak dan ibu, jika dia yang meninggal itu mempunyai
anak laki-laki atau perempuan. Akan tetapi, jika dia yang meninggal itu tidak
mempunyai anak laki-laki atau perempuan dan harta dia diwarisi oleh kedua
ibu-bapaknya saja, maka ibunya mendapat bagian warisan sepertiga dan
selebihnya untuk ayahnya. Jika dia yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara dua atau lebih, baik saudara seibu dan sebapak, maupun saudara seibu
atau sebapak saja, lelaki atau perempuan, dan yang meninggal tidak mempunyai
anak, maka ibunya mendapat bagian warisan seperenam dari harta waris yang
ditinggalkan, sedang ayahnya mendapat sisanya.

Pembagian-pembagian tersebut di atas dibagikan kepada ahli warisnya yang


berhak mendapatkan setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya sebelum meninggal
dunia atau setelah dibayar utangnya. Allah sengaja menentukan tentang
pembagian harta warisan untuk orang tua dan anak-anak kamu sedemikian rupa
karena kamu tidak mengetahui hikmah di balik ketentuan itu siapa di antara
mereka yang lebih banyak manfaatnya bagi kamu dari kedua orang tua dan
anak-anak kalian. Ini adalah ketetapan yang turun langsung dari Allah untuk
ditaati dan diperhatikan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu,
Mahabijaksana dalam segala ketetapan-ketetapan-Nya.

Demikianlah ketentuan pembagian harta warisan yang ditetapkan langsung


oleh Allah agar tidak terjadi perselisihan di antara ahli waris. Jika manusia yang
membuat ketentuan, niscaya terjadi kecurangan dan kezaliman. Allah Mahatahu
hikmah di balik ketetapan dan ketentuan itu.

12
Dalam tafsir al-Baidawi, yang berjudul Anwar al-Tanzil wa Asraru al-Ta’wil
menjelaskan bahwa Allah memerintah dan mengamanahkan kepadamu perihal
pembagian satu orang laki-laki sama dengan dua orang perempuan, beserta
kelipatanya. Artinya jika terdapat dua orang laki-laki berarti bagianya sama
dengan empat orang perempuan. Anak laki-laki memiliki kekhususan
mendapatkan bagian lebih banyak daripada perempuan dengan tujuan untuk
menunjukkan bahwa laki-laki memiliki keutamaan. Dan bagian anak laki-laki
yang melebihi anak perempuan dianggap cukup untuk menunjukkan bahwa laki-
laki memiliki keutamaan dibanding perempuan.Bagian dua banding satu untuk
anak laki-laki merupakan pembagian harta warisan yang telah disyari’atkan
dalam oleh Allah yang telah tercantum dalam al-Qur’an.
 AN-NISA:12

۞ ‫ف َما ت ََركَ أَ ْز ٰ َو ُج ُك ْم إِن لَّ ْم يَ ُكن لَّه َُّن َولَ ٌد ۚ فَإِن َكانَ لَه َُّن َولَ ٌد فَلَ ُك ُم ٱلرُّ بُ ُع‬ ُ ْ‫َولَ ُك ْم نِص‬
‫ُوصينَ بِهَٓا أَوْ َدي ٍْن ۚ َولَه َُّن ٱلرُّ بُ ُع ِم َّما ت ََر ْكتُ ْم إِن لَّ ْم يَ ُكن لَّ ُك ْم‬
ِ ‫صيَّ ٍة ي‬ ِ ‫ِم َّما ت ََر ْكنَ ۚ ِم ۢن بَ ْع ِد َو‬
ۗ ‫صيَّ ٍة تُوصُونَ بِهَٓا أَوْ َد ْي ٍن‬ ِ ‫َولَ ٌد ۚ فَإِن َكانَ لَ ُك ْم َولَ ٌد فَلَه َُّن ٱلثُّ ُم ُن ِم َّما ت ََر ْكتُم ۚ ِّم ۢن بَ ْع ِد َو‬
ٌ ‫ث َك ٰلَلَةً أَ ِو ٱ ْم َرأَةٌ َولَ ٓۥهُ أَ ٌخ أَوْ أُ ْخ‬
‫ت فَلِ ُكلِّ ٰ َو ِح ٍد ِّم ْنهُ َما ٱل ُّس ُدسُ ۚ فَإِن‬ ُ ‫َوإِن َكانَ َر ُج ٌل يُو َر‬
‫ص ٰى بِهَٓا أَوْ َد ْي ٍن َغ ْي َر‬َ ‫صيَّ ٍة يُو‬ ِ ُ‫َكانُ ٓو ۟ا أَ ْكثَ َر ِمن ٰ َذلِكَ فَهُ ْم ُش َر َكٓا ُء فِى ٱلثُّل‬
ِ ‫ث ۚ ِم ۢن بَ ْع ِد َو‬
‫صيَّةً ِّمنَ ٱهَّلل ِ ۗ َوٱهَّلل ُ َعلِي ٌم َحلِي ٌم‬
ِ ‫ضٓارٍّ ۚ َو‬
َ ‫ُم‬

Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan


oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka
para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah

13
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-
saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah,
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (QS. An-Nisa’(4):12)

Allah menyebutkan hak warisan bagi suami istri, saudara, dan kalalah: Bagi
kalian hai para suami, setengah dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian jika
mereka tidak memiliki anak. Jika mereka mimiliki anak dari kalian atau dari suami
yang lain, maka bagi kalian seperempat dari harta yang mereka tinggalkan. Bagian
ini dihitung setelah pembayaran hutang dan pelaksanaan wasiat yang sesuai syariat
yang mereka tinggalkan. Dan bagi para istri, seperempat dari harta yang
ditinggalkan para suami jika mereka tidak memiliki anak; namun jika mereka
memiliki anak maka bagi istrinya -baik itu suami memiliki satu atau lebih istri-
maka bagian mereka adalah seperdelapan. Bagian ini dihitung setelah pembayaran
hutang dan pelaksanaan wasiat yang sesuai syariat yang mereka tinggalkan. Jika
seorang laki-laki atau perempuan meninggal tanpa meninggalkan anak atau
orangtua, sedangkan ia memiliki saudara atau saudari seibu, maka saudara atau
saudari ini mendapatkan seperenam.

Namun jika saudara atau saudarinya lebih dari satu maka mereka berserikat
dalam bagian sepertiga. Bagian ini dihitung setelah pembayaran hutang dan
pelaksanaan wasiat yang tidak merugikan para ahli waris, yaitu wasiat pemberian
harta yang tidak melebihi sepertiga. Dengan perintah agung inilah Allah
mewajibkan kalian kewajiban yang penuh hikmah. Allah Maha Mengetahui apa

14
yang baik bagi hamba-hamba-Nya, dan Maha Lembut, sehingga tidak segera
menimpakan azab bagi yang bermaksiat kepada-Nya.

Pembahasan pertama, berkaitan dengan bagian waris suami yang ada dua
kondisi. Satu, bila istri tidak mempunyai anak—termasuk pula tidak mempunyai
cucu dari anak laki-lakinya ke bawah—secara mutlak, baik laki-laki atau
perempuan, baik satu atau lebih, baik dari suami yang mewaris atau mantan
suaminnya, maka suami mendapatkan bagian separo dari harta warisan istri. Dua,
bila istri mempunyai anak—termasuk pula tidak mempunyai cucu dari anak laki-
lakinya ke bawah—, dengan perincian seperti sebelumnya, maka suami
mendapatkan bagian seperempat dari harta warisan istri. Dalam dua kondisi ini,
sisa harta warisan yang ada maka untuk ahli waris lainnya. Kemudian bagian
warisan suami dapat diambil setelah pemenuhan wasiat atau hutang mayit bila
memang ada. Semuanya sesuai dengan frasa: ،‫َولَ ُك ْم نِصْ فُ َما تَ َركَ أَ ْز َوا ُج ُك ْم إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَه َُّن َولَ ٌد‬
‫صينَ بِهَا أَوْ َدي ٍْن‬ ِ ‫“ فَإ ِ ْن َكانَ لَه َُّن َولَ ٌد فَلَ ُك ُم الرُّ بُ ُع ِم َّما تَ َر ْكنَ ِم ْن بَ ْع ِد َو‬dan bagi kalian para suami
ِ ‫صيَّ ٍة يُو‬
adalah separo dari harta yang ditinggalkan oleh para istri kalian bila mereka tidak
mempunyai anak; bila mereka mempunyai anak, maka bagi kalian mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya; setelah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) setelah dibayar hutangnya.”

Pembahasan kedua, berkaitan dengan bagian waris istri yang juga ada dua
kondisi. Satu, bila suami tidak mempunyai anak—termasuk pula tidak mempunyai
cucu dari anak laki-lakinya ke bawah—dengan perincian seperti pada pembahasan
bagian waris suami, maka istri mendapatkan seperempat harta warisan yang
ditinggalkan suami. Dua, bila suami mempunyai anak—termasuk pula mempunyai
cucu dari anak laki-lakinya ke bawah—dengan perincian seperti sebelumnya, maka
istri mendapatkan seperdelapan harta warisan yang ditinggalkan suami. Dalam dua
kondisi ini, sisanya untuk ahli waris lainnya. Pengambilan bagian warisan istri ini
juga dilakukan setelah pemenuhan wasiat atau hutang mayit bila memang ada.
Semuanya sesuai dengan frasa: ‫ ٌد فَلَه َُّن‬uَ‫انَ لَ ُك ْم َول‬u‫إ ِ ْن َك‬uَ‫ ف‬،‫ ٌد‬uَ‫ َر ْكتُ ْم ِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَ ُك ْم َول‬uَ‫َولَه َُّن الرُّ بُ ُع ِم َّما ت‬

15
‫ا أَوْ َد ْي ٍن‬uuَ‫ونَ بِه‬u‫وص‬ ِ ‫“ الثُّ ُمنُ ِم َّما تَ َر ْكتُ ْم ِم ْن بَ ْع ِد َو‬dan bagi para istri mendapat seperempat
ُ ُ‫صيَّ ٍة ت‬
harta yang kalian tinggalkan jika kalian tidak mempunyai anak; bila kalian
mempunyai anak, maka mereka mendapatkan seperdelapan dari harta yang kalian
tinggalkan; setelah dipenuhi wasiat yang kalian buat atau (dan) setelah dibayar
hutang kalian”.

Pembahasan ketiga, berkaitan dengan bagian waris saudara laki-laki dan


saudara perempuan seibu secara kalalah, yaitu ketika mayit tidak mempunyai ahli
waris orang tua ke atas dan anak ke bawah, sebagaimana jawaban Abu Bakar As-
Shiddiq saat ditanya tentangnya ‫رزاق‬uu‫د ال‬uu‫ (رواه عب‬.َ‫د‬u ِ‫هُ َواَل َوال‬u َ‫ َد ل‬u َ‫ةُ َم ْن اَل َول‬u َ‫ اَ ْلكَاَل ل‬Artinya,
“Kalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak dan orang tua.” (HR.
Abdurrazzaq). (Abu Bakr Abdurrazzaq bin Hammam as-Shan’ani, Mushannaf
‘Abdurrazzaaq, [Beirut, Al-Maktab Al-Islami: 1403 H], tahqiq: Habiburrahman Al-
A’zhami, cetakan kedua, juz X, halaman 304).

Pembatasan saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja dalam tafsir
ayat berdasarkan dua argumentasi. Satu, adanya qira’ah Sa’d bin Abi Waqqash RA
yang jelas-jelas menyantumkan redaksi: ‫ت ِم ْن أُ ٍّم‬
ٌ ‫“ َولَهُ أَ ٌخ أَوْ أُ ْخ‬dan mayit mempunyai
satu orang saudara laki-laki atau satu orang saudara perempuan seibu”. Dua, untuk
saudara laki-laki dan perempuan seayah seibu dan seayah telah terkover dalam ayat
176 di akhir surat, yaitu: ‫ ِة‬uَ‫ك قُ ِل هللاُ يُ ْفتِي ُك ْم فِي ْالكَاَل ل‬
َ َ‫“ يَ ْستَ ْفتُون‬Mereka bertanya kepadamu
tentang waris kalalah, katakanlah: ‘Allah akan memberitahukan kepada kalian
tentang waris kalalah”. Dalam kasus bagian waris saudara laki-laki dan saudara
perempuan seibu secara kalalah terdapat dua kondisi. Satu, bila mayit hanya
mempunyai satu saudara laki-laki atau satu saudara perempuan seibu, maka masing-
masing mendapatkan bagian waris seperenam, tanpa perbedaan dari sisi laki-laki
dan perempuan sebagaimana prinsip ‘laki-laki mendapat bagian dua perempuan’,
sebab jalur mereka kepada mayit sama-sama melalui perempuan, yaitu ibunya. Dua,
bila mayit mempunyai lebih dari satu saudara laki-laki atau saudara perempuan

16
seibu, maka mereka bersama-sama mendapatkan bagian warisan sepertiga. Dalam
kata lain, sepertiga itulah yang menjadi bagian warisan mereka dan dibagi rata tanpa
membeda-bedakan dari sisi laki-laki dan perempuannya.

Sementara sisanya dibagikan kepada ahli waris lainnya, ashabul furudh dan
‘ashabah yang ada. Pembagian harta waris dalam dua kondisi ini juga dilakukan
setelah pemenuhan wasiat dan hutang yang menjadi tanggungan mayit. Semuanya
ٌ ‫ث كَاَل لَةً أَ ِو ا ْم َرأَةٌ َولَهُ أَ ٌخ أَوْ أُ ْخ‬
sesuai dengan frasa: ‫ فَإ ِ ْن‬، ُ‫ت فَلِ ُكلِّ َوا ِح ٍد ِم ْنهُ َما ال ُّس ُدس‬ ُ ‫ُور‬
َ ‫َوإِ ْن َكانَ َر ُج ٌل ي‬
‫صى بِهَا أَوْ َدي ٍْن‬ َ ِ‫“ َكانُوا أَ ْكثَ َر ِم ْن َذل‬bila seseorang meninggal,
ِ ُ‫ك فَهُ ْم ُش َر َكا ُء فِي الثُّل‬
ِ ‫ث ِم ْن بَ ْع ِد َو‬
َ ‫صيَّ ٍة يُو‬
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai satu orang saudara laki-laki (seibu) atau satu
orang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta; tetapi bila saudara-saudara seibu itu lebih dari satu
orang, maka mereka bersama-sama mempunyai hak bagian sepertiga; setelah
dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan) setelah dibayar hutangnya.” (Muhammad
As-Sayyid Thanthawi, Al-Wasith, juz I, halaman 875-883).

Adapun diksi ‫ا ٍّر‬uuu‫ض‬ َ ‫“ َغي‬dengan tidak merugikan”, maksudnya tidak


َ ‫ر ُم‬uuuْ
merugikan ahli waris yaitu wasiatnya tidak melebihi sepertiga harta. Bila
melebihinya maka wasiatnya batal kecuali diperbolehkan oleh para ahli waris.
(Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiyyah as-Shawi ‘ ala Tafsir al-Jalalain,
[Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], editor: Shidqi Muhammad Jamil, juz I,
halaman 276-277).

Sementara frasa penghujung ayat: ‫ َوهللاُ َعلِي ٌم َحلِي ٌم‬،ِ‫يَّةً ِمنَ هللا‬uuu‫ص‬
ِ ‫“ َو‬Demikianlah
ketentuan Allah, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”, maksudnya adalah
berbagai ketentuan pembagian waris yang telah dijelaskan merupakan ketentuan
dari Allah. Ia maha mengetahui terhadap siapa saja yang berbuat zalim atau berbuat
adil di dalamnya; dan maha bijaksana terhadap orang yang zalim dengan menunda
hukumannya, sebab itu hendaknya ia tidak terlena dengan penundaan hukuman

17
tersebut. (Muhammad Nawawi al-Jawi, At-Tafsirul Munir li Ma’alimit Tanzil,
[Beirut, Darul Fikr: 1425 H/2006 M], juz I, halaman 157).

 AN-NISA:176

‫ف‬ُ ‫ص‬ ۡ ِ‫ت فَلَهَا ن‬ ٌ ‫س لَهۥُ َولَ ٌد َولَ ٓۥهُ أُ ۡخ‬


َ ‫ك لَ ۡي‬َ َ‫يَ ۡست َۡفتُونَكَ قُ ِل ٱهَّلل ُ ي ُۡفتِي ُكمۡ فِى ۡٱل َك ٰلَلَ ِة ۚ إِ ِن ٱمۡ ُر ٌؤ ْا هَل‬
‫ك ۚ َوإِن‬ َ ‫َما ت ََركَ ۚ َوهُ َو يَ ِرثُهَٓا إِن لَّمۡ يَ ُكن لَّهَا َولَ ٌد ۚ فَإِن َكانَتَا ۡٱثنَت َۡي ِن فَلَهُ َما ٱلثُّلُثَا ِن ِم َّما ت ََر‬
ْ ُّ‫ضل‬
‫وا ۗ َوٱهَّلل ُ بِ ُك ِّل‬ ِ َ‫َكانُ ٓو ْا إِ ۡخ َوةً رِّ َجااًل َونِ َسٓا ًء فَلِل َّذ َك ِر ِم ۡث ُل َحظِّ ٱأۡل ُنثَيَ ۡي ِن ۗ يُبَي ُِّن ٱهَّلل ُ لَ ُكمۡ أَن ت‬
‫َش ۡى ٍء َعلِي ٌم‬
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah,
“Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan
dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka
bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara
perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu
dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan
jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan
perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu
tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’(4):176)

Mereka meminta fatwa kepadamu, Nabi Muhammad, tentang kala'lah, yaitu


seorang yang mati tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak.
Katakanlah, Allah memberi fatwa kepadamu tentang kala'lah, yaitu jika seseorang
mati dan dia tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai saudara perempuan, maka
bagiannya, yakni bagian dari saudara perempuan itu, adalah seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi seluruh harta saudara
perempuan, jika saudara perempuan itu mati dan saudara laki-laki itu masih hidup,
ketentuan ini berlaku jika dia, saudara perempuan yang mati itu, tidak mempunyai
anak. Tetapi jika saudara perempuan yang mewarisi itu berjumlah dua orang, maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan

18
jika mereka, ahli waris itu, terdiri atas saudarasaudara laki-laki dan perempuan,
maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan.

Demikian Allah menerangkan hukum tentang pembagian waris kepadamu,


agar kamu tidak sesat, dalam menetapkan pembagian itu. Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu yang membawa kebaikan bagimu dan yang menjerumuskan kamu ke
dalam kesesatan, maka taatilah segala perintah-Nya dan jauhilah segala larangan-
NyaSurah ini diawali dengan perintah kepada setiap orang yang beriman agar
memenuhi janji-janji yang telah diikrarkan, baik janji kepada Allah maupun janji
kepada sesama manusia. Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji,
yaitu janji-janji antara manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, dan
manusia dengan dirinya sendiri, selama janji-janji itu tidak mengharamkan yang
halal dan tidak menghalalkan yang haram.

Di antara janji Allah itu ialah hukum-hukum-Nya yang ditetapkan


kepadamu, yaitu bahwasanya hewan ternak, yaitu unta, sapi, kambing, dihalalkan
bagimu sesudah disembelih secara sah, kecuali yang akan disebutkan kepadamu
haramnya, yaitu yang disebut pada ayat ketiga dari surat ini, dan juga dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram haji atau umrah. Sesungguhnya
Allah menetapkan hukum halal dan haram sesuai dengan yang Dia kehendaki,
menurut ilmuNya dan hikmah-Nya.6

Cara Menghitung Bagian Ahli Waris:

1) Hitung Total Harta Waris yang Ditinggalkan


Rumus perhitungan total harta waris adalah sebagai berikut:

2) Hitung Bagian Harta Waris yang Diperoleh Setiap Ahli Waris

6
Risalah,Muslim. https://risalahmuslim.id/quran/an-nisaa/4-176/

19
Setelah itu, hitung bagian waris yang diperoleh masing-masing ahli waris, dengan
rumus berikut:
a) Bagian Ayah (Kakek Anda)
Sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya, bagian ayah sudah
ditentukan, yaitu berhak atas 1/6 bagian dari harta waris.
b) Bagian Anak
Dikarenakan Anda selaku anak merupakan ahli waris asabah, maka perlu
dihitung terlebih dahulu besaran harta waris yang tersisa setelah dikurangi
dengan bagian ahli waris dzul faraid, dengan rumus berikut:

Dalam kasus Anda, perhitungannya adalah sebagai berikut:

Sehingga, sisa harta waris yang berhak dibagi kepada ketiga anak pewaris ialah
5/6 bagian dari harta waris.
Selanjutnya, hitung bagian masing-masing anak. Diketahui bahwa:
A = Anak perempuan
B = Anak laki-laki (1)
C = Anak laki-laki (2)
Sehingga bagian masing-masing, sebagaimana yang kami jelaskan sebelumnya,
yaitu: A = 1, B = 2, dan C = 2.
Kemudian, besaran bagian tersebut dijumlahkan sebagai penyebut, sehingga
masing-masing anak mendapat bagian sebagai berikut:

20
Setelah itu, kalikan bagian masing-masing dengan sisa harta waris tadi, sehingga
hasilnya sebagai berikut:

Dengan demikian, bagian masing-masing ahli waris dalam kasus Anda adalah
sebagai berikut:
Ayah (kakek Anda) : 1/6 bagian;
Anak perempuan : 1/6 bagian;
Anak laki-laki (1) : 2/6 bagian;
Anak laki-laki (2) : 2/6 bagian.7

7
Permatasari,Erizka.,2021.”Rumus Menghitung Bagian Ahli Waris Menurut Islam”,
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt601735794d007/begini-rumus-menghitung-
bagian-ahli-waris-menurut-hukum-islam/ , Diakses 11 Februari 2021

21
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

WARISAN menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu (baik itu materi atau non-materi)
dari orang yang satu ke orang yang lain. Waris ini mengakar pada kata Al-Irts atau pun Al-
Mirats.

Sebab-Sebab Menerima Warisan:

a) Perkawinan
b) Kekerabatan
c) Wala’

Hukum waris Islam terdapat dalam Al-Quran yaitu Surat An-Nisa (4) ayat 11, ayat 12, dan
ayat 176. Terbukanya waris setelah yang bersangkutan meninggal dunia dan meninggalkan
harta, yang dimaksud dengan yang bersangkutan adalah:

1. Suami.
2. Isteri.
3. Bujangan (duda/janda).

Dengan meninggal dunianya suami maka terbukalah waris bagi ahli waris sebagai berikut:

1. Anak laki-laki dan anak perempuan, maka anak laki-laki mendapat bagian dua kali
bagian anak perempuan.
2. Anak perempuan saja dan jumlahlah lebih dari dua orang, maka anak-anak perempuan
tersebut mendapatkan 2/3 bagian.
3. Anak perempuan tunggal mendapatkan ½ bagian.
4. Ibu mendapatkan 1/6 bagian harta, jika almarhum mempunyai anak.
5. Bapak mendapatkan 1/6 bagian harta, jika almarhum memiliki anak.
6. Ibu mendapatkan ½ bagian harta, jika almarhum tidak memiliki anak.
7. Ibu mendapatkan 1/6 bagian harta, jika almarhum mempunyai saudara kandung.
8. Isteri mendapatkan ¼ bagian harta, jika almarhum tidak memilki anak.
9. Isteri mendapatkan 1/8, jika almarhum memilki anak.

22
DAFTAR PUSTAKA

asrizal,”peletakan dasar-dasar hukum kewarisan islam”,al-


ahwal,Vol.9,No.1,2016,hal 9

afidah wahyuni,”system waris dalam perspektif islam dan peraturan perundang-


undangan di Indonesia”,jurnal social & budaya syar’I,Vol.5,No.2, hal 6

Yazidah,Aminah. “KAJIAN ARITMATIKA SOSIAL DALAM PERHITUNGAN


ILMU FARAIDH (ILMU WARIS ) DALAM QS.AN-NISA”, Jurnal Prismatika,
Vol.1,No.1,

Muntaha,Ahmad.,2020,”Tafsir Surat AN-NISA’:7”,


https://islam.nu.or.id/post/read/125452/tafsir-surat-an-nisa--ayat-7, Diakses 22
Desember 2020

Risalah,Muslim. https://risalahmuslim.id/quran/an-nisaa/4-176/

Permatasari,Erizka.,2021.”Rumus Menghitung Bagian Ahli Waris Menurut Islam”,


https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt601735794d007/begini-rumus-
menghitung-bagian-ahli-waris-menurut-hukum-islam/ , Diakses 11 Februari 2021

23

Anda mungkin juga menyukai