Anda di halaman 1dari 24

Judul : Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat

Penulis : Martin Van bruinessen


Penerbit : Gading Publishing
Tebal : 596 Hlm
Tahun Terbit : 2015 (Cetakan ke II)
ISBN : 978-602-95645-5-6

Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat

Mohammad Alqodhi Abi Saidil Mahzumi


Fakultas Tarbiyah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Tribakti Kediri
Alqodhiabie28@gmail.com

Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk menmereview karya martin van bruinnesen buku berjudul
kitab kuning, pesantren dan tarikat. Dalam kajian ini penulis menyajikan Analisa terkait
judul buku. Dari hasil kajian penulis bahwa berawal dari pesantren yang merupakan
bentuk Pendidikan islam tradisional di Indonesia. Pesantren sebagai tempat pusat kajian
islam di Indonesia sampai sekarang yang memilki metode pembelajaran berupa
sorogan, bandongan, musyawarah. Bertahannya pesantren hingga sekarang juga
dipengaruhi sosok kyai yang bersifat sentralis. Kajian dalam pesantren menggunakan
media kitab kuning sebagai sumber keilmuan yang bersifat dogmatis tentang ajaran-
ajaran islam. Sedangkan tarekat yang menyebar keseluruh Indonesia sangatlah banyak
beberapa diantaranya adalah qodariyah, naqsabandiyah, tijaniyah dan lain sebagainya.

Kata Kunci: Kitab Kuning, Pesantren dan Tarikat


Pendahuluan
Masuknya Islam ke Nusantara melalui dua cara, yaitu dikenalkan oleh para
pedagang Muslim Arab dan lewat aktivitas dakwah dari para ulama. Saat para
ulama pertama kali mendakwahkan Islam di Nusantara, sempat terjadi benturan antara
ajaran Islam dengan adat istiadat setempat. Menurut sejarah, jauh sebelum Islam masuk
ke Nusantara, masyarakat memang sudah lebih dulu meyakini agama Hindu-Buddha
dan budayanya sudah mengakar kuat. Menyadari hal itu, para dai Islam tidak lantas
berusaha memusnahkan tradisi masyarakat yang sudah ada, melainkan
menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Percampuran antara ajaran Islam dengan adat
istiadat setempat inilah yang melahirkan berbagai tradisi Islam di Nusantara. hal
tersebut, juga terjadi dalam bidang Pendidikan. Dimana Pendidikan islam di Indonesia
mengalami penyesuaian dengan adat setempat.
Pembentukan tradisi pendidikan di Nusantara ini memang melalui proses
yang panjang dan bukan secara tiba - tiba. Akan tetapi melalui proses yang begitu
panjang dan diturunkan dari generasi ke generasi menjadi sebuah momentum peradaban
di Nusantara.1
Dewasa ini, telah diketahui bahwa mayoritas Pendidikan islam terjadi di dalam
pesantren. Eksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia
sangat membantu dalam mencetak kader-kader ulama yang handal dalam ilmu-ilmu
agama.2 Kemudian dalam menjalankan Pendidikan di pesantren perlu adanya sebuah
metode. Pesantren sendiri memiliki corak karakteristik yang berbeda dengan Pendidikan
yang lain. Kajian Pendidikan yang digunakan pesantren mengunakan kitab kuning
sebagai pengembangan intelektual.
Kitab Kuning umumya dipahami sebagai kitab-kitab keagamaan Arab,
menggunakan aksara Arab, yang dihasilkan para ulama dan pemikir muslim lainnya di
masa lampau khususnya berasal dari Timur Tengah.3 Namun dalam pengkajian kitab
kuning yang terjadi di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri. Kitab kinung dikaji
dengan cara dimaknai dengan menggunakan Bahasa jawa atau melayu dengan tulisan
arab yang dikenal dengan pegon.
Disamping itu Sebagian pesantren juga mengajarkan ilmu tasawuf yang
implementasinya berorientasi ke tradisi tarekat. Di Indonesia banyak berkembang
tarekat, hal itu berkaitan dengan teori yang telah secara umum diterima, yaitu Islam
masuk kawasan ini dengan gerakan kesufian dalam tarekat-tarekat. Aliran-aliran tarekat
yang masuk di Indonesia snagat banyak. Namun hanya beberapa tarekat di Indonesia

1
Muhammad Asroruddin dan M Amin, Pembentukan Tradisi Pendidikan Islam di Nusantara, EL
HUDA,Vol 11, 1 (2020), h. 166.
2
Indra Syah Putra dan Diyan Yusr, Pesantren dan Kitab Kuning, Al-IKHTIBAR, Vol. 6 ,2
(Desember, 2019), h.647.
3
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium
III (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012), h. 143.
yang berhasil memperoleh simpati rakyat diantaranya, tarekat Khalwatiyah, Syatariyah,
Qadariyah, Naqsabandiyah dan Alawiyah.4
Dari penjelasan diatas, penulis akan mereview dan mengkaji buku karya Martin
van Bruinessen yaitu Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat”. Martin van Bruinessen
adalah seorang antropolog yang di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya NU,
sangat tidak asing. Bukunya yang berjudul “Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat”
yang merupakan hasil penelitiannya di tahun 80-an sudah sangat dikenal oleh para
tokoh pesantren, bahkan mungkin menjadi buku babon yang harus dibaca oleh siapa
saja yang melakukan penelitian tentang kitab kuning.5 Dalam kajian ini ada 3 fokus
utama sesuai dengan judul buku yakni terkait kitab kuning sebagai media belajar
pesantren, kemudian pesantren sebagai wajah mayoritas Pendidikan islalam di
Indonesia, dan tarekat-tarekat yang masuk di indonesia.
PEMBAHASAN
PESANTREN
Pesantren sebagai pusat Perkembangan Tradisi Keilmuan Islam di Indonesia

Dalam buku “Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat”, Martin hanya


menyebutkan bahwa pesantren yang ada di Indonesia mencerminkan pengaruh asing.
Pesantren, menurutnya, menyerupai madrasah India dan Timur Tengah. 6 Martin tidak
menjelasan pengertian PESANTREN baik dari sisi etimologis maupun terminologis.
Istilah pesantren sendiri seperti halnya istilah mengaji, langgar, atau surau di
Minangkabau, Rangkang di Aceh bukan berasal dari istilah Arab, melainkan India. 7
Namun bila kita menengok waktu sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pendidikan
tradisional di Jawa dan Madura lebih dikenal dengan sebutan pondok, barangkali

4
Rifai Shodiq Fathoni , Tarekat-Tarekat yang Berkembang di Indonesia,
https://wawasansejarah.com/tarekat-tarekat-yang-berkembang-di-indonesia/ diakses pada tanggal
11 maret 2023.

5
Roland Gunawan, Martin van Bruinessen dan Kitab Kuning, https://islamina.id/martin-van-
bruinessen-dan-kitab-kuning/ diakses pada tanggal 11 maret 2023
6
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat (Yogjakarta : Gading Publishing,
2015), h. 21
7
Karen Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1974)
istilah pondok berasal dari kata Arab funduq, yang berarti pesangrahan atau
penginapan bagi para musafir. Perkataan pesantren sendiri berasal dari akar kata santri
dengan awalan “Pe” dan akhiran “an” berarti tempat tinggal para santri. Profesor John
berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti Guru mengaji
sedangkan C.C. Berg (dalam buku yang sama) berpendapat bahwa istilah tersebut
berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India adalah orang-orang yang tahu buku-
buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata
Shastri sendiri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama
atau pengetahuan.

Potret Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam


tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di
bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai. Asrama untuk para
siswa tersebut berada dalam komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal.
Disamping itu juga ada fasilitas ibadah berupa masjid. Biasanya komplek pesantren
dikelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi arus keluar masuknya santri. Dari
aspek kepemimpinan pesantren, kyai memegang kekuasaan yang hampir-hampir
mutlak. Martin juga menyatakan bahwa pondok, masjid, santri, kyai dan pengajaran
kitab-kitab klasik merupakan lima elemen dasar yang dapat menjelaskan secara
sederhana apa sesungguhnya hakikat pesantren. Mengapa pesantren dapat survive
sampai hari ini ketika lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional seperti pesantren
di Dunia Islam tidak dapat bertahan menghadapi perubahan atau sistem pendidikannya
yang modern dan mengalami “pembaratan?” Secara implisit pertanyaan tadi
mengisyaratkan bahwa ada tradisi lama yang hidup ditengah-tengah masyarakat Islam
dalam segi-segi tertentu yang masih tetap relevan. Di samping itu, bertahannya
pesantren karena ia tidak hanya identik dengan makna ke-Islaman tetapi karakter
eksistensialnya mengandung arti keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai indigenous,
pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat
lingkungannya.

Pesantren di Indonesia secara konvensional dipandang sebagai lembaga


pendidikan tradisional Islam, karena tradisinya yang panjang; atau lembaga pendidikan
Islam tradisional, karena umumnya dimiliki para kyai yang berafiliasi kepada
Nahdlatul Ulama (NU) yang dipandang sebagai organisasi ‘Islam tradisional’.
Madrasah di Indonesia, pada pihak lain, semula merupakan lembaga pendidikan yang
umumnya didirikan kaum Muslim modernis untuk merespons ekspansi sekolah-
sekolah model Belanda. Dalam perkembangannya, sistem dan kelembagaan madrasah
juga diadopsi banyak pesantren

Sejarah pesantren dan madrasah selanjutnya sejak 1920-an adalah sejarah


pembaharuan pendidikan Islam, yang menemukan momentum terkuatnya pada 1970-
an ketika Menteri Agama Mukti Ali memasukkan sekitar 70 persen mata pelajaran
umum ke dalam kurikulum madrasah. Berkat pembaharuan ini, puncaknya adalah
pengakuan tentang ekuivalensi pendidikan madrasah dengan sekolah umum seperti
ditegaskan UU Sisdiknas 1989.

Sejak 1970-an pula pesantren berkembang menjadi semacam ‘holding


institution’, lembaga yang mencakup tidak hanya institusi pendidikan agama --baik
yang khusus untuk tafaqquh fid-din dan madrasah-- tetapi juga pendidikan umum,
seperti SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi umum. Bahkan, pesantren juga menjadi
pusat pengembangan masyarakat dalam berbagai bidang sejak dari ekonomi rakyat
seperti koperasi dan usaha kecil, teknologi tepat guna, kesehatan masyarakat sampai
kepada konservasi lingkungan. Dan pesantren tidak lagi hanya terdapat di pedesaan;
sejak 1980-an, banyak pesantren bermunculan di kawasan perkotaan, memunculkan
gejala yang penulis sebut sebagai ‘pesantren urban’. Bahkan, sistem ‘santri mukim’
juga diadopsi sekolah-sekolah elite Islam, dengan menggunakan istilah ‘boarding’,
yang dilengkapi figur ‘kyai’ seperti di pesantren. Berbagai pembaharuan dan
perkembangan itulah yang membuat pesantren mampu tetap bertahan di tengah
berbagai perubahan yang begitu cepat dan berdampak luas dalam masyarakat; dengan
begitu pula, pesantren sekaligus mampu menampilkan citra yang kian positif terhadap
distingsi pendidikannya. Semua itu juga, yang membuat anak-anak lulusan pesantren,
sejak 1980- an mampu berkompetisi dan sukses melanjutkan pendidikan di
mancanegara; tidak hanya di negara-negara Timur Tengah, namun juga di negara-
negara Barat. Mereka ini pada gilirannya memperkaya dan memperkuat generasi baru
kaum terpelajar dan intelektual Muslim di negeri ini.8

Dari keterangan ini, kita dapat menarik garis linear tentang apa peranan
pesantren dan dimana letak pendidikan pesantren dalam masyarakat Indonesia
merdeka. Persoalannya sekarang adalah mampukah pesantren-pesantren yang ada di
Indonesia mengikuti jejak sebagai sebuah kelanjutan pesantren di Amerika Serikat
(ambil sebagai misal “pesantren” yang didirikan oleh pendeta Harvard di dekat
Boston) yang sekarang telah tumbuh menjadi universitas yang paling prestigious di
Amerika.9

Menggambarkan Tradisi
Menurut Martin, unsur-unsur kunci Islam tradisional adalah keberadaan
lembaga pesantren itu sendiri dan peranan serta kepribadian seorang kyai (ajengan,
tuan guru, dan lain sebagainya). Sikap takzim dan kepatuhan mutlak kepada kyai
adalah salah satu nilai pertama yang harus dimiliki oleh setiap santri. Kepatuhan ini
bahkan dalam konteks yang lebih luas merambah pada kepatuhan santri terhadap
ulama sebelumnya, a fortiori, ulama yang mengarang kitab-kitab yang dipelajari.
Kepatuhan ini, menurutnya, lebih penting dari pada menguasai ilmu. Jika dilihat dari
sudut pandang hubungan kyai-santri, kepemimpinan kyai meletakkan kerangka
berpikir untuk melaksanakan keharusan menjaga ilmu pengetahuan agama. Aspek
penting dari kepemimpinan kyai ini kerap diabaikan dalam usaha-usaha
memodernisasi pesantren, sehingga lambat laun kepatuhan “mutlak” seperti ini
justru, hemat penulis, telah merampas kreatifitas para santri untuk lebih berpikir
kritis dan realistis. Ironisnya, alih- alih mendapatkan konsumsi ilmu yang matang,
secara tak sadar malah menjadi medan kontaminasi dan pendinginan nalar yang tak
berkesudahan.10 Penulis mengakui, kepemimpinan kyai di pesantren memang unik
dalam arti mempertahankan ciri-ciri “primordialismenya”, sebagaimana hubungan
pemimpin-pengikut yang didasarkan atas system kepercayaan dibandingkan hubungan

8
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA yang dimuat dalam rubrik Resonansi pada harian umum
Republika, Kamis, 22 Desember 2005
9
Ronald A. Lukens-Bull,” teaching morality:Javanese Islamic Education in a Globalizing Era”,
dalam Journal of Arabic and Islamic Studies, 1998.
10
Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren…, h. 86-87.
patron-klien yang semu sebagaimana diterapkan dalam masyarakat pada umumnya.
Para santri menerima kepemimpinan kyainya karena mereka mempercayai konsep
barakah, yang berdasarkan pada “doktrin emanasi” dari para sufi. Namun hal ini
bukan satu-satunya sumber ketaatan tersebut, karena tradisi pra-Islam, Hindu, Budha
mengenai hubungan guru-santri juga berperan dalam hal ini. Namun secara bertahap—
sebagaimana hasil riset yang dilakukan Sidney Jones di Kediri beberapa tahun yang
lalu—mengungkapkan bahwa secara eksternal kepemimpinan kyai berkembang
sepenuhnya menjadi hubungan patron-klien.11 Hemat penulis, apapun dan
bagaimanapun karisma seorang kyai sangat diperlukan dalam dunia pesantren, namun
bukan menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar. Meniscayakan unsur karisma kyai
sebagai nilai prestisius yang ultim, justru kian mendistorsi hakikat pesantren yang
secara alamiah sudah muncul selama ini.

Dari keterangan inilah Martin kurang bisa menerjemahkan “karisma” kyai dari
segala dimensinya, ia hanya hadir sebagai pembaca ala F. Schleiermacher atau W.
Dilthey yang polos apa adanya tanpa melihat segala bentuk variannya yang boleh jadi
nampak lebih indah dan riil. Ia tidak melangkah menuju perbendaharaan pengertian
yang lebih maknawi-hakiki, bahkan diperlukan pula rasa ingin tahu—untuk tidak
menyatakan kecurigaan/suspicion—dalam mengungkap objek material yang dikaji
sebagaimana yang dilakukan tokoh-tokoh lain seperti Gadamer (hermeneutika
produktif), Ricoer (hermeneutika kritis) atau yang lain. Inilah yang sejak awal saya
sebut kalau Martin belum sepenuhnya menyentuh makna yang utuh/dinamis mengenai
karisma kyai. Dengan demikian tesis yang dikemukakan Martin terbantahkan oleh
keniscayaan realitas yang terus berkembang dalam dunia pesantren dengan segala

tradisinya. Perkembangan yang penulis maksudkan di sini bukan hanya


didasarkan pada ciri khas pesantren berupa karisma seorang kia—yang ternyata
banyak disalahartikan, namun juga metode pembelajarannya. Hal inilah yang, sekali
lagi, penulis sayangkan bagaimana Martin menangkap objek/realitas tanpa
menyelaminya lebih mendalam dengan pendekatan historis-antropologis.

11
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2001),
h. 172.
Dia juga mengemukakan pentingnya penyampaian materi—sebagaimana yang
hingga saat ini masih berlaku di pesantren-pesantren—adalah melalui lisan oleh para
kyai, sementara para santrinya memberikan harakat sebagaimana bacaan kyai dan
mencatat penjelasannya, baik dari segi lughawi (bahasa) maupun maknawi (makna).
Hemat penulis, pandangan Martin seperti ini secara implisit adalah untuk
menegaskan tipikal pengajaran yang hanya bisa ditemui di dunia pesantren.
Sistem Pengajaran
Martin, seperti penulis paparkan di awal, mengemukakan pentingnya
penyampaian materi melalui beberapa pendekatan yang terjadi dalam dunia pesantren,
salah satunya melalui pengenalan terhadap sistem pengajarannya. Metode pengajaran
di lingkungan pesantren ada dua. Pertama, Sistem bandongan atau seringkali disebut
sistem weton. Dalam sistem ini sekelompok santri mendengarkan seorang guru/kyai
yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku
islam dalam bahasa arab. Setiap santri memperhatikan buku/ kitabnya sendiri dan
membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah
pikiran yang sulit. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang
artinya lingkaran santri, atau sekelompok santri yang belajar di bawah bimbingan
seorang guru.

Kedua adalah sistem sorogan, yaitu sistem dimana seorang santri mendatangi
guru yang akan membacakan kitab-kitab berbahasa arab dan menerjemahkannya
kedalam bahasa ibunya seperti bahasa Jawa atau Sunda. Pada gilirannya santri
mengulangi dan menerjemahkannya kata demi kata sepersis mungkin seperti apa yang
diungkapkan oleh gurunya.

Sistem penerjemahan dibuat sademikian rupa agar santri mudah mengetahui


baik arti maupun fungsi kata dalam suatu rangkaian kalimat arab 12 Sistem tersebut,
santri diwajibkan menguasai cara pembacaan dan terjemahan secara tepat, dan hanya
boleh menerima tambahan. Pelajaran bila telah berulang-ulang mendalami pelajaran
sebelumnya.

Sistem Sorogan inilah yang dianggap fase yang tersulit dari system keseluruhan

12
Dhofier, Tradisi.., h. 28
pengajaran pesantren, karena disana menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan
disiplin pribadi dari sang santri sendiri. Di sini banyak santri yang tidak menyadari
bahwa sebenarnya mereka harus mematangkan diri dalam metode tersebut sebelum
dapat mengikuti sistem lainnya. Sebab pada dasarnya santri yang telah menguasai
sistem sorogan inilah yang dapat memetik manfaat keilmuan dari sistem bandongan di
pesantren. Sorogan memungkinkan sang kyai dapat membimbing, mengawasi, menilai
kemampuan santri. Ini sangat efektif guna mendorong peningkatan kualitas santri.

Kebanyakan pesantren, terutama pesantren-pesantren besar menyelenggarakan


bermacam-macam halaqoh (kelas bandongan), mengajarkan mulai kitab-kitab
elementer sampai tingkat tinggi, yang diselenggarakan setiap hari (kecuali hari Jumat),
dari pagi buta setelah shalat shubuh sampai larut malam. Penyelenggaraan kelas
bandongan dimungkinkan oleh suatu sistem yang berkembang di pesantren dimana
kyai seringkali memerintahkan santri-santri senior untuk mengajar dalam halaqah.
Santri senior yang mengajar ini mendapat titel ustad (guru). Para assatid (guru-guru)
ini dapat dikelompokan ke dalam kelompok yunior (ustad muda), dan yang senior,
mereka menjadi anggota kelas musyawarah.

Dalam kelas musyawarah sistem pembelajaran berbeda dengan sistem


bandongan atau sorogan. Disini para santri harus mempelajari sendiri kitab-kitab yang
di tunjuk. Kyai memmimpin sendiri kelas musyawarah seperti dalam forum seminar
dan terkadang lebih banyak dalam bentuk Tanya jawab, biasanya hampir seluruhnya
diselenggaralkan dalam wacana kitab klasik. Wahana tersebut merupakan latihan bagi
santri untuk menguji keterampilan dalam menyadap sumber-sumber argumentasi dari
naskah-naskah klasik.13

Dari narasi tadi mudahlah untuk mengetahui bahwa dalam komplek pesantren,
dari kyai (sebagai pimpinan tetinggi pesantren), kyai muda, asatid, santri senior,
sampai santri yunior, tercipta suatu kelompok masyarakat yang berjenjang jenjang
yang didasarkan pada kematangan dalam bidang pengetahuan.

13
Dhofier, Tradisi…, h. 28.
KITAB KUNING
Mengenal Kitab Kuning
Istilah kitab kuning pada beberapa puluh tahun terakhir ini belum dikenal, sebab
dunia pesantren pada saat itu menutup diri dari dunia luar, terutama dari arus
kebudayaan asing (baca: Barat), sebagai satu sikap oposisi diam (silent opposition)
terhadap penjajah Belanda. Oleh karena itu, dunia pesantren tidak mengenal adanya
buku-buku di luar kitab kuning.14 Andai kata ada yang mengenalnya, maka dilarang
mempelajarinya. Pada tahun 1960 terlihat dengan jelas garis pemisah antara kelompok
tradisionalis dan modernis, yang lebih cenderung menggunakan ‘kitab putih’ yang
biasanya menolak sebagian besar tradisi skolastik dan berpihak pada upaya untuk
kembali pada sumber-sumber asli—al-Qur’an dan Hadis.15 Dengan demikian, boleh jadi
istilah ini pada awalnya diperkenalkan oleh para peneliti Barat dan kelompok yang tidak
sejalan dengan sistem pendidikan yang berlangsung di dunia pesantren yang sangat
didominasi kitab kuning. Inilah pula sebabnya mengapa pada awalnya penyebutan
istilah kitab kuning ini seringkali dibarengi dengan nada merendahkan (pejorative).
Mengapa demikian?, sebab kitab kuning dianggap sebagai bahan rujukan yang berkadar
keilmuan rendah, ketinggalan jaman, dan—yang lebih parah lagi—menjadi salah satu
penyebab stagnasi berpikir umat.16 Berangkat dari sini, menjadi patut dipertanyakan,
apakah kitab kuning?.
Secara umum kitab kuning dipahami sebagai kitab-kitab keagamaan berbahasa
Arab, menggunakan aksara Arab yang dihasilkan oleh para ulama dan para pemikir
muslim lainnya, terutama dari Timur Tengah. Pengertian tersebut terlihat kurang luas,
oleh karena itu Azyumardi Azra menambahkan bahwa kitab kuning tidak hanya
mengunakan bahasa Arab, akan tetapi juga bahasa lokal (daerah), seperti: Melayu, Jawa
dan bahasa lokal lainnya di Indonesia dengan menggunakan aksara Arab. Dengan

14
Ali Yafie, Kitab Kuning: Produk Peradaban, PASANTREN, Vol. 6, 1 (1989), h.3.
15
Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren…, h. 132.
16
Affandi Mukhtar, Tradisi Kitab Kuning: Sebuah Observasi Umum, dalam Marzuki Wahid, dkk
(ed.), Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, ( Yogjakarta: Pustaka
Hidayah, cet. I, 1999), hal. 222. Bandingkan dengan:A. Malik Madany, ‘Posisi Kitab Kuning dalam
Khasanah Keilmua Islam, dalam jurnal Pesantren, No. I, Vol. VI, 1989, hal. 23
demikian, selain ditulis oleh para ulama Timur Tengah juga ditulis oleh para ulama
Indonesia sendiri.17
Kitab kuning juga diistilahkan dengan al-kutub al-qadimah (kitab-kitab
klasik/kuno) kebalikan dari al-kutub al-‘asyriyyah (kitab-kitab modern). Istilah yang
sering pula digunakan guna menyebut kitab kuning adalah ‘kitab gundul’, sebab cara
penulisan dalam kitab tersebut tanpa syakal, tanpa tanda baca dan pemberhentian.
Disebut kitab kuning karena pada umumnya kitab-kitab tersebut dicetak di atas
kertas berwarna kuning, berkualitas rendah, dan kadang-kadang lembarannya pun lepas
tidak terjilid, sehingga mudah diambil bagian-bagian yang diperlukan tanpa harus
membawa satu kitab secara utuh. Biasanya para santri hanya membawa lembaran-
lembaran tertentu yang akan dipelajari. Karena bentuk tulisannya yang ‘gundul’, maka
kitab kuning tidak mudah dibaca, apalagi dipahami oleh mereka yang tidak menguasai
gramatika bahasa Arab (nahwu dan sharaf). Format kitab kuning biasanya mempunyai
bentuk tersendiri, yang sering kali terdiri dari dua bagian, matan yang menempati
margin, dan syarahnya menempati bagian tengah secara luas. Untuk ukuran kertasnya
biasanya digunakan ukuran kwarto
Dengan demikian, dapatlah dibedakan karakteristik kitab kuning dan kitab putih.
Pada umumnya kitab kuning dikarang oleh ulama sebelum abad XX, bahkan sering kali
kitab tersebut dikarang oleh para ulama klasik. Sementara kitab putih tidak membatasi
tahun penulisan kitab. Akan tetapi biasanya kitab putih lebih banyak dikarang oleh para
ulama masa akhir-akhir ini (mutaakhirin). Karekteristik lainnya, yang jelas kitab kuning
ditulis dengan huruf Arab, meskipun bahasa yang digunakan bukan bahasa Arab,
semisal bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan sebagainya. Kitab kuning juga lebih
menekankan pada mazhab Syafi’I untuk kajian fiqh, Asy’ari dalam kajian teologi, dan
al-Ghazali untuk bidang tasawuf. Sementara kitab putih tidak membatasi madzhab-
madzhab tertentu sebagaimana dalam kitab kuning. Satu perbedaan penulisan lainnya,
yaitu penulisan kitab kuning cenderung tidak mengunakan foot note.

17
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru,
(Jakarta: Logos, 1999) h. 111.
Kitab Kuning dan Sejarahnya
Tidak diketahui secara pasti kapan kitab kuning menjadi satu rujukan pokok
dalam pendidikan Islam di Indonesia. Jelas kitab kuning ada sebelum munculnya
pesantren. Menurut Martin Van Bruinessen,18 kitab kuning sebagai kitab klasik
berbahasa Arab telah dikenal dan dipelajari pada abad ke-16. Argumen yang dijadikan
dasar adalah diibawanya sejumlah naskah Indonesia yang berbahasa Arab, Melayu dan
Jawa ke Eropa sekitar tahun 1600 M. Di antara kitab yang berbahasa Arab adalah kitab
yang membahas fiqh: kitab al-Taqrib fi al-Fiqh karya Abu Suja’ al-Isfahani, yang
hingga sekarang masih banyak digunakan dalam pesatren dan kitab al-Idhah fi al-Fiqh.
Kitab yang disebut terakhir kini sudah tidak dijumpai lagi dalam pesantren. Sementara
kitab-kitab yang berbahasa Melayu terdiri dari tafsir tentang dua bab penting dari
alQur’an, dua hikayat bertema Islam, sebuah hukum pernikahan Islam, dan sebuah
terjemahan syair-syair pujian terhadap Nabi (Qasidah burdahnya al-Busyairi). Untuk
kitab yang berbahasa Jawa antara lain ‘Wejangan Syeh Bari’ yang sebelumnya dikenal
dengan ‘Kitab Sunan Bonang’. Dalam kitab berbahasa Jawa tersebut ditemukan dua
judul kitab yang dijadikan sebagai rujukan, yaitu ‘Ihya’ Ulum al-Din karya al-Ghazali
dan Tamhid—menurut Martin yang dimaksud dengan Tamhid adalah kitab al-Tamhid fi
Bayan al-Tauhid karya Abu Syukur al-Kasyi al-Salimi. Kitabkitab yang dikirim ke
Eropa inilah—sebagaimana tersebut di atas—yang dijadikan Martin sebagai bukti
bahwa kitab kuning telah ada di Indonesia pada abad ke-16.
Pada tahap selanjutnya, usaha para alumni Haramain ini tidak berhenti
komunitas atau masyarakat yang mampu berbahasa Arab, akan tetapi mereka
mengarang kitab yang muatannya merujuk pada kitab-kitab yang dikajinya. Sebagai
contoh: al-Raniri (w. 1068 H/1658 M) dengan karyanya ‘ Sirat al-Mustaqim’,
Abdurahman al-Singkel dengan karyanya ‘Mir’at al-Thullab’. Kedua kitab tersebut,
misalnya, merujuk pada kitab Fath al-Wahhab karya Zakariya al-Anshari dan kitab-
kitab fiqh bermadzhab Syafi’I lainnya
Apa yang dilakukan oleh dua ulama—al-Raniri dan al-Singkel—juga diikuti
oleh beberapa tokoh berikutnya, pada abad ke 18—seperti Muhammad Arsyad al-
Banjari (w. 1227 H/1812 M) yang menulis kitab Sabil al-Muhtadin dan Dawud ibn Abd

18
Brinessen, Kitab Kuning: Pesantren…, h. 27.
Allah al-Fatani (w. setelah 1259 H/1843 M) dengan karyanya antara lain: Bughat al-
Thullab, Furu’ al-Masail, Jami’ al-Fawa’id, dan Hidayat Muta’allim. Yang menarik
adalah bahwa kitab-kitab tersebut di atas— karya para ulama Indonesia—meskipun
menggunakan judul bahasa Arab, akan tetapi isinya menggunakan bahasa Melayu,
sehingga mudah dipahami oleh masyarakat yang belum mampu berbahasa Arab. Perlu
juga dikemukakan bahwa tulisan dalam kitab-kitab tersebut menggunakan huruf Arab
(dalam istilah Jawa disebut dengan pegon).
Pada sisi lain, pada abad ke-19 transportasi laut menuju ke tanah suci semakin
lancar. Hal ini membuat jamaah haji dari Indonesia semakin bertambah. Pada saat yang
sama terjadi percetakan kitab berhuruf Arab secara besar-besaran. Implikasinya, para
jamaah haji—yang sekaligus penuntut ilmu di haramain—membawa kitab-kitab
tersebut pulang ke Indonesia.
Kitab Kuning sebagai Kurikulum di Pesantren Bila kembali pada pengertian
kurikulum, sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, yaitu seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi,
maupun bahan bahan kajian dan pelajaran serta penyampaian dan penilaian, maka kitab
kuning dapat dikatakan sebagai kurikulum dalam pesantren. Pertama yang ingin dikaji
adalah isi dari kitab kuning itu sendiri. Apabila dikelompokkan, isi dari kitab kuning
dapat dibagi menjadi dua: ajaran dan non ajaran. Kitab yang berisi ajaran dapat pula
dibagi menjadi dua: ajaran dasar sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah,
dan ajaran yang timbul sebagai penafsiran dan interpretasi para ulama atas ajaran dasar
tersebut.19 Kitab-kitab yang dapat dikategorikan pada bagian kedua ini adalah sesuatu
yang datang sebagai hasil dari perkembangan sejarah dalam masyarakat Islam. Menurut
penulis, ilmu alat dapat dimasukkan dalam kategori kitab kuning yang berisi non ajaran
Bila diklasifikasikan menurut bidang kajiannya, maka dapat diibagi menjadi
delapan bidang. Menurut laporan hasil penelitin Martin Van Bruinessen, karya-karya
yang ada secara prosentasi dapat diklasifikasikan dalam kategori pokok pembahasan
sebagai berikut:

19
A. Chozen Nasuha, Epistemologi Kitab Kuning, PESANTREN, Vol. 6, 1 (1989), h.12.
NO JENIS KITAB PRESENTASE
1. Fiqh 20 %
2. Doktrin (akidah/ushuluddin) 17 %
3. Tata bahasa Arab tradisional (nahwu, sharaf, balaghah) 12 %
4. Kumpulan hadis 8%
5. Tasawuf dan tarekat 7%
6. Akhlak 6%
7. Kumpulan doa, wirid, mujarabat 5%
8. Qishah al-Anbiya’, maulid, manaqib, dan sejenisnya 6%

Menurut isi penyajiannya, kitab kuning dapat dibagi menjadi tiga, 1). dalam
bentuk ringkasan (mukhtashar) yang hanya menyajikan pokok-pokok masalah, baik
muncul dalam betuk nadham (syi’ir) atau dalam bentuk ulasan biasa (natsar), kitab yang
membawakkan uraian panjang lebar, banyak menyajikan argmentasi dan banyak
mengutip pendapat ulama dengan hujjahnya masing-masing, kitab yang penyajian
materinya tidak terlalu singkat dan tidak terlalu leluasa (mutawasith). Sedangkan dilihat
dari kreatifitas penulisannya dapat dibagi menjadi tujuh, yaitu: 1. Berupa gagasan baru
yang belum ditemukan oleh penulis-penuli sebelumnya— seperti al-Risalah karya al-
Syafi’I, al-Arudl wa al-Qawafi karya Imam Khalil ibn Ahmad alFarahidi, 2. Sebagai
penyempurna kitab yang telah ada—seperti karya al-Sibawaih yang menyempurnakan
karya Abu Aswad al-Du’ali, 3. Berupa komentar atau syarah terhadap kitab yang telah
ada—seperti Ibn Hajar al-Atsqalani yang memberi syarah kitab Shaheh Bukhari, 4.
Berupa ringkasan—seperti kitab Lubb al-Ushul karya Zakaria al-Anshari sebagai
ringkasan dari kitab Jam’ul Jawami’ karya al-Subhi, 5. Memperbaharuii sistematika—
seperti Ihya’ Ulum al- Din karya al-Ghazali yang mensistematisasikan ajaran tasawuf
dikaitkan dengan fiqh, 7. Berupa kritik atau komentar yang meluruskan—seperti kitab
Mi’yar al-Ilmi karya al-Ghazali sebagai kritik terhadap kaidah-kaidah mantiq yang telah
ada20

20
Nasuha,h.17-18.
Selanjutnya perlu dicermati kitab-kitab yang dipakai sebagai kurikulum dalam
pesantren—menurut hasil penelitian Martin Van Bruinessen, Mastuhu 21, dan
pengamatan penulis—dapat diklasifikasikan dalam bidang kajian sebagai berikut:
1. Ilmu Alat : Pada dasarnya ilmu alat atau ilmu bantu yang dikaji dalam pesantren
terdiri dari berbagai cabang tata bahasa Arab tradisional. Yang dapat dikategorikan
dalam ilmu alat antara lain: nahwu, sharaf, balaghah, mantiq, dan tajwid.
Pada hampir seluruh pesantren di Nusantara mengajarkan ilmu alat, dan
sering kali ilmu alat ini—terutama nahwu dan sharaf—mendapatkan perhatian yang
luas. Hal ini disebabkan bahwa mayoritas kitab kuning yang dikaji di pesantren
dengan menggunakan bahasa Arab, dan untuk memahaminya dengan menguasai
ilmu tata bahasa Arab. Dengan kata lain dengan meguasai ilmu tata bahasa Arab,
maka kunci untuk memahami kitab kuning telah terpegang.
2. Fiqh : Perhatian yang tidak kalah besarnya adalah bidang fiqh. 22 Subyek yang satu
ini boleh dikatakan sebagai inti dari pesantren, sehingga wajarlah apabila bidang ini
mendapatkan prioritas utama dan terdapat berbagai macam kitab fiqh yang dikaji di
pesantren. Kitab-kitab yang sering digunakan untuk tingkat tsanawiyah adalah
Taqrib dan Fath al-Qarib, Minhaj al-Qawim, Sulam al-Taufiq, Uqud al-Lujain,
Mabadi’ al-Fiqh, Fiqh Wadhih, dan sebagainya. Sementara pada tingkat ‘aliyah
kitab yang sering digunakan adalah Fath al-Mu’in, Kifayat al-Ahyar, Bajuri, Iqna’,
Fath al-Wahab, Mahalli, Tahrir, dan sebagainya. Pada tingkat aliyah ini juga sering
mengkaji ilmu Ushul Fiqh. Kitab yang sering digunakan dalam bidang ini antara
lain: Waraqat/Syarah Waraqat, Lathaif al-Isyarat, Jam’ul Jawami’, al-Asbah wa al-
Nadhair, dan sebagainy
3. Tauhid/Aqidah : umat Islam Indonesia mayoritas berpaham Asy’ariyah. Oleh
karena itu kitab yang dikaji pun juga beraliran yang sama. Tidak seperti abad-abad
sebelumnya—pada awal perkembangan kitab kuning di Indonesia—yang
menunjukkan minat yang besar pada kajian tauhid, terutama tentang kosmologis,
eskatologis, dan spekulasi metafisik. Menurunnya minat ini boleh jadi disebabkan
oleh pepatah lama yang mengatakan bahwa ‘terlalu besarnya minat terhadap

21
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h. 170-173.
22
Brinessen, Kitab Kuning: Pesantren…, h. 112-131
masalah-masalah aqidah akan membawa kepada kekafiran’ atau doktrin yang
mengatakan ‘berpikirlah tentang makhluk Allah, jangan berpikir tentang
Penciptanya (Tuhan).’ Meski demikian, bukan berarti kitab kuning yang berbicara
tentang tauhid tidak dikaji. Di antara kitab-kitab dalam subyek ini yang sering
dikaji di dunia pesantren adalah Ummu al-Barahin, Sanusi, Dasuki, Kifayat al-
Awam, Aqidah al-Awam, Fath al-Majid, Jawahir al-Kalamiyah, Husnul
Hamidiyah, dan sebagainya.
4. Tafsir al-Qur’an : Tafsir merupakan satu bidang yang dijadikan kurikulum dalam
dunia pesantren. Sering kali kajian tentang tafsir ini dikhususkan untuk tingkat
aliyah atau tingkat di atasnya. Kitab yang biasa digunakan adalah Tafsir Jalalain,
Tafsir Baydhawi, Tafsir Munir, Tafsir Ibn Katsir, Jami’ al-Bayan, dan sebagainya.
Untuk tiga kitab tafsir yang disebut terakhir, misalnya, tidak semua pesantren
menggunakannya. Sementara Tafsir al-Manar dan Tafsir al-Maraghi seringkali
digunakan oleh pesantren yang berorientasi modernis.
Di samping kitab-kitab tafsir tersebut di atas, terdapat beberapa kitab tafsir dengan
menggunakan bahasa lokal/daerah karya para Ulama Indonesia yang patut
diungkapkan. Di antara kitab tafsir karya ulama Nusantara antara lain: Raudhah al-
Irfan fi Ma’rifah al-Qur’an berbahasa Sunda yang ditulis oleh Ahmad Sanusi bin
Ibrahim bin Abdurahim dari Sukabumi, al-Ibriz li Ma’rifah li al-Tafsir al-Qur’an al-
Aziz berbahasa Jawa karya K.H. Bisri Musthofa dari Rembang. Sedangkan yang
berbahasa Melayu antara lain: al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil karya Misbah bin Zain al-
Mushthafa
Satu catatan yang perlu diperhatikan adalah bahwa orang dahulu dilarang
menterjemahkan al-Qur’an, hanya boleh menterjemahkan tafsirnya.23 Pada sisi lain,
Ilmu Tafsir atau Ulumul Qur’an juga dikaji pada sebagian Pesantren. Kitab yang
biasanya digunakan adalah Itqan dan Itmam al-Dirayah.
5. Hadis : Hadis termasuk salah satu materi yang banyak dikaji di Pesantren. Kitab-
kitab hadis yang sering dipakai di pesantren antara lain: Bulugh al-Maram, Riyadh
al-Shalihin, Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Durratun Nashihin, Mukhtar al-Hadis,

23
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam diIndonesi, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1986), h.
173.
Arba’in Nawawi, Tanqih alQaul, dan sebagainya. Sementara untuk kajian Ulum al-
Hadis atau Ulum Dirayah al-Hadis kitab yang biasa digunakan adalah
Baiqunah/Syarah dan Mihadd al-Mughis.
6. Akhlaq dan Tasawuf : Kurikulum pesantren memberikan tempat yang luas pada
kajian akhlaq dan tasawuf. Kedua istilah ini seringkali digabungkan karena batas
keduanya sangat tipis, bahkan terlihat kabur. Kitab akhlaq yang sering digunakan di
pesantren adalah Ta’lim Muta’alim, Washaya, Akhlaq li al-Banin, Akhlaq li al-
Banat, Irsyad al-Ibad dan Nashaihul Ibad. Sedangkan kitab tasawuf yang banyak
dikaji di pesantren antara lain: Ihya’ Ulum al-Din, Bidayah al-Hidayah, Minhaj al-
Abidin, Hikam/Syarah Hikam, Risalah al-Mu’awwanah, dan sebagainya. Satu hal
yang patut diperhatikan adalah tasawuf yang berkembang dan banyak dikaji di
dunia pesantren adalah tasawuf amali, yang kuat warna syariatnya ketimbang warna
filosofisnya. Dengan kata lain tasawuf yang dikaji lebih kuat ortodoksinya,
sehingga kitab-kitab yang berisi ajaran yang mengarah pada paham wahdat al-
wujud, misalnya, tidak mendapatkan tempat di Pesantren.
7. Sejarah (Tarikh) : Tidak banyak pesantren yang mengkaji secara khusus sejarah
Islam. Maksimal sejarah yang dibahas terbatas pada sejarah Nabi dan para Khulafa’
al-Rasyidin. Menarik untuk dicermati mengapa kitab tentang tarikh tidak banyak
dikaji?. Bisa dimungkinkan sedikitnya kitab sejarah yang dikaji di pesantren
dikarenakan kitab sejarah tersebut tidak berisi ajarang secara langsung. Artinya,
kitab sejarah hanya mengungkapkan suatu peristiwa-peristiwa atau ceritacerita,
tidak akan banyak memberi manfaat tanpa ada analisa. Sementara budaya analisa
kurang dikembangkan di pesantren. Alasan lain yang layak dikemukakan adalah
bahwa dalam kajian-kajian kitab kuning—baik yang berbicara tentang fiqh, hadis,
akhlaq, tasawuf, dan kitab-kitab lainnya—secara tidak langsung termasuk di
dalamnya sejarah. Dengan kata lain sejarah include dalam materi-materi kajian
kitab kuning. Pada sisi lain, seringkali kitab yang berbicara tentang tarikh tidak
dikaji secara khusus akan tetapi dibaca bersama pada waktu-waktu tertentu, seperti
kitab al-Barzanji, Manakib Syaikh Abd Qadir Jaelani, Maulid al-Dhiba’, dan
sebagainya. Sering pula kisah-kisah tersebut terungkap dalam bentuk syair berupa
puji-pujian yang terdiri dari beberapa bait, seperti Shalawat Badar.
Meski demikian, bukan berarti kitab kuning yang berbicara tentang sejarah tidak
ada. Di antara kitab yang membahas tentang sejarah yang dikaji dalam pesantren
adalah Khusnul Yaqin (Khulashah), Dardir dan Barzanji. Kitab yang disebut
terakhir, misalnya, selain dibaca bersama dalam waktu-waktu tertentu juga dikaji
tersendiri sebagaimana kitab-kitab dalam bidang lainnya.
Tarekat-tarekat di Indonesia
Tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang berarti: (1)
jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran
haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung
(‘amud al-mizalah). Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740- 816 M),
tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju
Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.
Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode
pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya
menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi
(sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah,
ribath, atau khanaqah.
Tarekat terbagi dua: Tarekat wajib yaitu syariat yang berbentuk teori kemudian
diamalkan sungguh-sungguh. Contoh: bertarekat dalam shalat maknanya kita belajar
ilmu tentang shalat kemudian melaksanakan shalat seperti yang kita pelajari.
Tarikat sunat. Seperti tarekat Alawiyah, Satariah Qadariah, Naqsabandiyah,
Muhammadiyah dan lain-lain, yaitu kita mengamalkan disiplin wirid-wirid, shalawat-
shalawat tertentu yang disusun oleh ulama-ulama terdahulu yang tersambung dengan
Rasulullah saw.
Tarekat wajib, memang wajib bagi setiap orang untuk mengamalkannya. Tarekat
sunat banyak diamalkan oleh orang yang bercita-cita mendidik diri dan oleh ulama-
ulama yang haq. Sebaiknya kita juga mengamalkan tarekat sunat untuk memudahkan
jalan kita menuju Allah. Orang yang mengamalkan tarekat sunat ini akan dibantu dalam
bermujahadah melawan nafsu dan mendidik hati ke arah taqwa. Perlu diingat dalam kita
mengamalkan tarekat sunat, kita tidak boleh meninggalkan tarekat wajib, karena amalan
sunat tidak akan memiliki nilai apa-apa tanpa mengerjakan amalan wajib.
Kedudukan Tarekat dalam Empat Tingkatan Spiritual
Bagan Empat Tingkatan Spiritual Umum dalam Islam, syariat, tariqah atau tarekat,
hakikat. Tingkatan keempat, ma’rifat, tingkatan yang ‘tak terlihat’, sebenarnya adalah
inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari kempat tingkatan spiritual tersebut.
Beberapa tarekat-tarekat yang menyebar di Indonesia yang dapat diditemukan
oleh Martin yaitu
Tarekat Qadiriyah
Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani dari Gilan di
Iran, yang kemudian bermukim di Baghdad, Irak. Setelah wafatnya, tarekatnya
disebarkan oleh putra-putranya. Syaikh Abdul Qadir meninggal dunia pada tahun 1166
(561 Hijri). Makamnya sejak dulu hingga sekarang tetap di ziarahi khalayak ramai, dari
segala pelosok dunia Islam. Di kalangan sufi, Abdul Qadir diakui sebagai ghauts atau
quthb al-awliya, yang menduduki tingkat kewalian yang tertinggi. Tarekat Qadiriyah
telah menyebar ke banyak tempat, termasuk Suriah, Turki, beberapa bagian Afrika
seperti Kamerun, Kongo, Mauritania dan Tanzania, dan di wilayah Kaukasus, Chechnya
dan Ferghana di Asia Tengah, serta di tempat- tempat lain.
Aspek Ajaran:
Pada dasarnya ajaran Syaikh ‘Abd al-Qadir tidak ada perbedaan yang mendasar
dengan ajaran pokok Islam, terutama golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Sebab,
Syaikh ‘Abd al-Qadir adalah sangat menghargai para pendiri mazhab fiqih yang empat
dan teologi Asy’ariyah. Dia sangat menekankan pada tauhid dan akhlak yang terpuji.
Menurut al-Sya’rani, bahwa bentuk dan karakter Tarekat Syaikh ‘Abd al-Qadir jilani
adalah tauhid, sedangkan pelaksanaannya tetap menempuh jalur syariat lahir dan batin.
Adapun ajaran spiritual syaikh ‘Abd al-Qadir berakar pada konsep tentang dan
pengalamannya akan Tuhan. Baginya, Tuhan dan tauhid bukanlah suatu mitos teologis
maupun abstraksi logis, melainkan merupakan sebuah pribadi yang kehadiran-Nya
merengkuh seluruh pengalaman etis, intelektual, dan estetis seorang manusia. Ia selalu
merasakan bahwa Tuhan senantiasa hadir. Kesadaran akan kehadiran Tuhan di segenap
ufuk kehidupannya merupakan tuntunan dan motif bagi kebangunan hidup yang aktif
sekaligus memberikan nilai transeden pada kehidupan. Ajaran Syaikh ‘Abd al-Qadir
selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia. Karena itu, dia memberikan
beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang tertinggi. Adapun beberapa ajaran
tersebut adalah, taubat, zuhud, tawakal, syukur, ridha, dan jujur.24
Tarekat Maulawiyah
Tarekat Maulawiyah berpusat di sekitar Maulana Jalaluddin Rumi dari Qonya di
Turki (m. 1273). Sekarang kebanyakan terdapat di Anatolia di Turki, dan pada akhir-
akhir ini di Amerika Utara. Para pengikut tarekat ini juga dikenal sebagai para darwis
yang berputar-putar.
Tentang ajaran-ajaran Rumi ini, tentunya hanya yang pokok-pokok saja yang
akan di kemukakan, karena ajaran-ajaran mistiknya yang lebih komprehansif harus
dikaji secara tersendiri dan bukan dalam rangka kajian tarekatnya. Ajaran-ajaran pokok
sang Mawlana, pada dasarnya dapat dirangkum sebagai triologi metafisik, yaitu, Tuhan,
Alam, Manusia.
Tarekat Naqsyabandiyah
Tarekat Naqsyabandiyah mengambil nama dari Syekh Baha’uddin Naqsyaband
dari Bukhara (m. 1390). Tarekat ini tersebar luas di wilayah Asia Tengah, Volga dan
Kaukasus, Cina bagian baratlaut dan baratdaya, Indonesia, di anak-benua India, Turki,
Eropa dan Amerika Utara. Ini adalah satu-satunya tarekat terkenal yang silsilah
penyampaian ilmunya kembali melalui penguasa Muslim pertama, Abu Bakar, tidak
seperti tarekat-tarekat sufi terkenal lainnya yang asalnya kembali kepada salah satu
imam Syi’ah, dan dengan demikian melalui Imam ‘Ali, sampai Nabi Muhammad SAW.
Ajaran-ajaran:
Ajaran dasar Tarekat Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada empat aspek
pokok yaitu: syari’at, thariqat, hakikat dan ma’rifat. Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah ini
pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan yang harus dilakukan oleh seseorang yang
ingin merasakan nikmatnya dekat dengan Allah. Ajaran yang nampak kepermukaan dan
memiliki tata aturan adalah suluk atau khalwat. Suluk ialah mengasingkan diri dari
keramaian atau ke tempat yang terpencil, guna melakukan zikir di bawah bimbingan
seorang syekh atau khalifahnya selama waktu 10 hari atau 20 hari dan sempurnanya
adalah 40 hari. Tata cara bersuluk ditentukan oleh syekh antara lain; tidak boleh makan
daging, ini berlaku setelah melewati masa suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul

24
Brinessen, Kitab Kuning: Pesantren…, h.2569-261
dengan suami atau istri; makan dan minumnya diatur sedemikian rupa, kalau mungkin
sesedikit mungkin.
Waktu dan semua pikirannya sepenuhnya diarahkan untuk berpikir yang telah
ditentukan oleh syekh atau khalifah. Sebelum suluk ada beberapa tahapan yaitu; Talqin
dzikir atau bai’at dzikir, tawajjuh, rabithah, tawassul dan dzikir. Talqin dzikir atau bai’at
dzikir dimulai dengan mandi taubat, bertawajjuh dan melakukan rabithah dan tawassul
yaitu melakukan kontak (hubungan) dengan guru dengan cara membayangkan wajah
guru yang mentalqin (mengajari dzikir) ketika akan memulai dzikir.
Dzikir ada 5 tingkatan, murid belum boleh pindah tingkat tanpa ada izin dari guru.
Kelima tingkat itu adalah
a. dzikir ism al-dzat,
b. dzikr al-lata’if,
c. dzikir naïf wa isbat,
d. dzikir wuquf dan
e. dzikir muraqabah.25
Tarekat Tijaniyah
Tarekat Tijani didirikan oleh Syekh Abbas Ahmad ibn at-Tijani, orang Berber
Aljazair (rn. 1815). Tarekat ini telah menyebar dari Aljazair ke selatan Sahara dan
masuk ke Sudan bagian barat dan tengah, Mesir, Senegal, Afrika Barat dan bagian utara
Nigeria, dan telah diperkenalkan di Amerika Barat dan Utara.
Semua tarekat, menurut Syaikh al-Sya’rani, harus berlandas kepada al-Qur’an dan al-
sunnah serta berasal dari metode suluk yang dipraktikan oleh rasulullah. Karena itu,
unsur sanad (silsilah), urutan-urutan guru secara berkesinambungan sampai kepada
Rasulullah, sangat penting dalam tarekat. Setiap guru dalam sanad harus bertemu
langsung dengan guru diatasnya dan seterusnya sampai sumber utama Rasulullah. Akan
tetapi, tidak semua talqin tarekat menggunakan sanad seperti itu. Ada talqin yang
disampaikan melalui komunikasi spiritual langsung antara murid dengan guru, antara
guru-dengan guru, antara guru sufi dengan Rasulullah. Kasus seperti ini dinamakan
sistem barzaki. Tarekat Tijaniyah termasuk tarekat yang dasar pembantukannya
menggunakan sistem barzakhi.

25
Brinessen, Kitab Kuning: Pesantren…, h.432
Sitem demikian bukan hanya terjadi pada terekat Tijaniyah saja, tetapi juga
terjadi pada terekat-terekat besar lainnya. Menurut K.H. Badruzzaman, semua tarekat
menggunakan sistem barzakhi, kecuali tarekat Qadariyah, karena sanad tarekat ini
bersambung sampai kepada Rasulullah melalui Sayyidina ‘Ali.26
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, bahwa:
Pesantren merupakan pusat tradisi keilmuan Indonesia yang memiliki sistem
klasikal dengan menggunakan kitab kuning sebagai kurikulum atau pusat kajian
keilmuannya dan dikaji dengan sistem bandongan, sorogan dan musyawarah.
Kitab kuning sendiri sebuah buku atau kitab yang berwarna kuning dikarang
oleh ulama’-ulama’ yang berasal dari timur tengan serta orang Indonesia sendiri yang
mukim di daerah arab. Di Indonesia kitab kuning dipahami dengan cara kyai
membacakan artinya dengan Bahasa jawa dan santri menulis arti makna Bahasa arab
tersebut dengan menggunakan tulisan arab namun berbahasa jawa.
Kemudian penyebaran tarikat-tarikat di Indonesia sangatlah luas ada beberapa
tarekat yang memiliki massa yang massif yang dirangkum oleh martin yakni qodariyah,
naqsabandiya, tijaniyah dan lain-lain.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan
Milenium III. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012.

Bruinessen Van Martin. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat. Yogjakarta : Gading
Publishing, 2015.

Indra Syah Putra dan Yusr, Diyan. Pesantren dan Kitab Kuning, Al-IKHTIBAR, Vol.
6 ,2, Desember, 2019.

Lukens-Bull, Ronald A.” teaching morality:Javanese Islamic Education in a Globalizing


Era”, dalam Journal of Arabic and Islamic Studies, 1998.

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS, 1994.

Muhammad Asroruddin dan Amin, M. Pembentukan Tradisi Pendidikan Islam di


Nusantara, EL HUDA,Vol 11, 1, 2020.

26
Brinessen, Kitab Kuning: Pesantren…, h.440
Mukhtar, Affandi. Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi
Pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

Nasuha, A. Chozen. Epistemologi Kitab Kuning, PESANTREN, Vol. 6, 1. 1989.

Steenbrink, Karen. Pesantren, Madrasah, Sekolah.Jakarta: LP3ES, 1974.

Wahid, Abdurrahman. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta: LKiS,


2001.

Yafie, Ali. Kitab Kuning: Produk Peradaban, PASANTREN, Vol. 6, 1. 1989.

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam diIndonesi. Jakarta: Hidakarya Agung,


1986.

Fathoni, Rifai Shodiq. Tarekat-Tarekat yang Berkembang di Indonesia,


https://wawasansejarah.com/tarekat-tarekat-yang-berkembang-di-indonesia/

Gunawan, Roland . Martin van Bruinessen dan Kitab Kuning, https://islamina.id/martin-


van-bruinessen-dan-kitab-kuning/

Anda mungkin juga menyukai