Anda di halaman 1dari 103

i

USHUL FIQH I
(UNTUK ORANG “AWAM”)

Penulis:

Dra. Sri Haningsih, M.Ag

Ransi Mardi

Penerbit:
KATALOG DALAM TERBITAN (KDT)
ushul fiqh I
Haningsih, Sri Untuk orang “awam”
Ushul Fiqh I Untuk orang “awam” /
Sri Haningsih, Ransi Mardi. --Yogyakarta:
Universitas Islam Indonesia, 2017.
viii + 88 hlm. ; 18 x 24 cm

ISBN 978-602-450-083-2
e-ISBN 978-602-450-084-9

Penulis :
Dra. Sri Haningsih, M.Ag
© 2017 Penulis Ransi Mardi
Hak cipta dilindungi undang-undang.

Dilarang memperbanyak atau memindahkan


seluruh atau sebagian isi buku ini dalam
bentuk apapun, baik secara elektronik ataupun
Cetakan I
mekanik termasuk memfotokopi, tanpa izin
Januari 2017 M / Rabi’ul Akhir 1438 H
dari Penulis.

Penerbit:

Kampus Terpadu UII


Jl. Kaliurang Km 14,5 Yogyakarta 55584
Tel. (0274) 898 444 Ext. 1301; Fax. (0274) 898 444 psw. 2091
http://library.uii.ac.id; e-mail: perpustakaan@uii.ac.id
Kata Pengantar
‫بسم اهلل الرمحن الرحيم‬
ّ ‫ صال ةً وسال ًما ىلع‬,‫ادلين‬ َّ
ّ ‫تفق َه ىف‬ َْ
ُ ‫سي ِد‬
‫المر سلني وىلع اهل وصحبه أمجعني‬ ‫ح ًدا ل ِمن‬
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan banyak nikmat
dan karunia, sehingga bermaksiat pun kita (tanpa sadar) di atas nikmat yang Allah
berikan kepada kita. Shalawat teriring salam senantiasa tercurah kepada junjungan
alam, Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga beliau, para sahabat beliau, dan orang-
orang yang senantiasa mengikuti jalan beliau dengan ihsan.

Di zaman yang serba canggih ini, banyak permasalahan baru yang muncul di dalam
kehidupan sehari-hari. Tidak sedikit perbuatan-perbuatan ini terjadi pada situasi
kondisi yang menuntut kita untuk menentukan keputusan dengan cepat dan
cermat tanpa bisa menunggu waktu yang lebih lama. Seperti para pendaki gunung,
kehidupan di tempat-tempat kos dan kontrakan, para pelancong, pedagang atau
pebisnis, kehidupan di dunia persekolahan, dan hubungan antar masyarakat serta
dunia internet yang tentu belum tersedia bahan bacaan memadai yang membahas
permasalahan-permasalahan ini. Kalaupun ada kadang tidak tersedia untuk
masyarakat secara luas, apakah masalahnya pada bahan bacaan yang terbatas,
bahasa yang terlalu tinggi, sumber bacaan yang tebal dan mahal, perbedaan
pendapat yang membingungkan serta permasalahan lainnya yang menjadi momok
di tengah masyarakat.

Islam adalah agama sempurna yang mudah lagi indah. Sempurna dalam penentuan
hukum-hukumnya, mudah dalam penerapan hukum-hukumnya, dan indah
dalam memberikan keringanan bagi mereka yang berhalangan. Kesempurnaan,
kemudahan, dan keindahan Islam ini bisa kita rasakan ketika kita mampu memahami
Islam dengan baik. Ya, karena Islam telah mempersiapkan solusi bagi masalah-
masalah yang akan dihadapi oleh penganutnya. Jika dalil-dalil (Al-Qur’an, as-sunah,
dan ijmak ulama) dan permasalahan itu adalah daging, maka pisau pembedah yang
akan mengurai dan memberikan solusi adalah ilmu ushul fiqh yang akan kita pelajari
berikut ini.

iii
Mempelajari buku ini tidak akan menjadikan kita ahli dalam ilmu ushul fiqh hingga
ketingkat seorang ulama mujtahid. Namun, setidaknya dengan mempelajari buku
ini penulis berharap pembaca mampu untuk tidak “sembarangan” terhadap suatu
perbuatan yang belum diketahui hukumnya, pembaca mampu bersikap bijak
terhadap suatu perbedaan dalam masyarakat, dan pembaca mampu menempatkan
diri ketika menghadapi permasalahan-permasalahan yang akan dihadapi. Apakah
kita berada pada situasi kondisi yang memungkinkan kita untuk bertanya kepada
yang lebih ahli (ulama mujtahid), atau menuntut kita untuk mengambil keputusan
tanpa sempat mencari solusi kepada ahlinya.

Tidak ada gading yang tidak retak. Sepandai-pandainya tupai melompat pasti terjatuh
jua. Ya, kesempurnaan hanya milik Allah. Semaksimal kemampuan kami memper-
siapkan buku ini agar layak dikonsumsi oleh orang “awam” dan tetap berada di jalur
keilmuan yang bisa dipertanggungjawabkan, namun kekurangan dan mungkin
kesalahan masih akan ada di dalam buku ini. Maka, kepada Allah kami memohon
ampun dan kepada pembaca sekalian kami meminta maaf yang sebesar-besarnya.
Besar harapan kami buku ini bermanfaat bagi kami, mahasiswa, dan bagi masyarakat
Islam secara umum.

Mudah-mudahan Allah mempertemukan kita (kami yang menulis dan anda yang
membaca) di dalam surgaNya. Amin.

Wassalammu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Yogyakarta, 19 Januari 2017


Ketua Tim Penulis,

Sri Haningsih

iv
Daftar Isi
Kata Pengantar iii
Daftar Isi v
Daftar Tabel vii
Daftar Gambar viii

1. Ushul Fiqh Sebagai Ilmu


A. Urgensi mempelajari ushul fiqh bagi orang awam 1
B. Pengertian ushul fiqh sebagai ilmu, alat istinbat hukum
dan perbedaannya dengan fikih 4
C. Ruang lingkup bahasan pokok ushul fiqh 9
D. Tujuan dan manfaat ushul fiqh 9
2. Periodisasi Ushul Fiqh dan Sumber Hukum Islam yang Disepakati
Jumhur Ulama
A. Sejarah perkembangan ushul fiqh 11
B. Dalil dan sumber istinbat/perumusan hukum Islam 15
C. Al-Qur’an sebagai sumber dan dalil 19
D. Sunah sebagai sumber dan dalil 21
E. Rakyu (nalar) sebagai dalil hukum 24
F. Ijmak sebagai dalil hukum fikih 24
G. Qiyas sebagai metode penggalian hukum syara’ 27
H. Metode formulasi hukum Islam 29
3. Ijtihad dan Metode Ijtihad
A. Pengertian ijtihad 31
B. Hukum berijtihad 33
C. Unsur pokok dalam berijtihad dan
syarat menjadi mujtahid 34
D. Beberapa metode ijtihad 36
1). Istihsan 37
2). Maslahah mursalah 40
3). Adat atau “urf” 41
4. Hukum Melakukan Sesuatu yang Belum Diketahui Hukumnya
A. Sebab-sebab diwajibkannya seseorang mengikuti hukum 45
B. Sebab diwajibkannya seseorang mengikuti hukum syar’i 47
C. Cara mengetahui hukum dari suatu perbuatan 48
D. Adab murid kepada guru atau adab penanya
kepada yang ditanya 50

v
E. Kepada siapa harusnya orang awam bertanya 52
F. Sikap orang awam ketika terjadi perbedaan pendapat
di kalangan ulama 55
G. Sikap orang awam ketika seorang mufti atau
ulama merubah pendapatnya 57
H. Sikap orang awam jika tidak ada mujtahid atau mufti 58
I. Hukum orang awam bertaqlid kepada ulama
yang serampangan 60
J. Hukum orang awam mengambil yang mudah-mudah
ketika terjadi “ikhtilaf” atau perselisihan pendapat
di kalangan ulama 61
K. Hukum orang awam bermazhab 63
5. Istinbat dan Kaidah-kaidahnya
A. Istinbat hukum 4 (empat) mazhab 65
B. Kaidah-kaidah ushuliyah 71
C. Mengistinbatkan hukum dalam masalah kontemporer 82
6. Penutup 85

Referensi 86
Glosari 88

vi
Daftar Tabel
Tabel 1. Perbedaan ushul fiqh dengan fiqh 6
Tabel 2. Perbedaan ushul fiqh dengan kaidah fiqhiyyah 6

vii
Daftar Gambar
Gambar 1. Diagram ushul fiqh 17

viii
  Bab I

Ushul Fiqh sebagai Ilmu

Capaian pembelajaran
1. Mahasiswa mampu menjelaskan urgensi mempelajari ushul fiqh I
2. Mahasiswa mampu menjelaskan dengan benar pengertian ushul fiqh sebagai
ilmu, alat istinbat hukum dan perbedaannya dengan fikih
3. Mahasiswa mampu menjelaskan ruang lingkup bahasan pokok ushul fiqh
4. Mahasiswa mampu menjelaskan tujuan mempelajari ushul fiqh dan manfaatnya

A. Urgensi mempelajari ushul fiqh I

Orang awam adalah orang biasa yang tidak ahli dalam suatu hal.1 Dalam kaitannya
dengan agama Islam, maka orang awam adalah orang yang tidak mengetahui ilmu
Islam secara mendalam. Dari pengertian ini, dapat kita pahami bahwa mayoritas
umat Islam hari ini, dan khususnya di Indonesia adalah orang awam.

Bagi orang awam, mempelajari ilmu ushul fiqh hukumnya memang tidak wajib.
Namun, mempelajari ilmu ushul fiqh akan memberikan banyak manfaat,
2
terutama
dalam kehidupan sehari-hari. Di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Ilmu ushul fiqh adalah ilmu syar’i yang bila dipelajari dengan niat mencari
keridhoan Allah akan mendatangkan pahala. Karena melakukan segala
sesuatu yang bermanfaat dan tidak terkandung di dalamnya maksiat kepada
Allah, maka perbuatan itu akan bernilai ibadah.3 Tentu balasan yang didapat
bagi orang yang mempelajari ilmu ushul fiqh tidak hanya balasan di akhirat.
Di dunia, orang yang mempelajari ilmu ushul fiqh juga akan mendapatkan
balasan berupa kemudahan ketika menerapkan hukum-hukum Islam dalam
kehidupan sehari-hari.
2. Ilmu ushul fiqh akan membuat seseorang itu menjadi ahli dalam mengeluarkan
hukum ketika kondisi membutuhkannya. Umumnya, orang awam mengikuti
ulama setempat ketika menerapkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, pada kondisi-kondisi tertentu orang awam harus memutuskan masalah

1. Munawir. Kamus al Munawir. 1997. Surabaya: Pustaka Progressif: hal.975


2. As Syasyri, Said bin Nashir. Al Qowa’idul ushuliyah wal fiqhiyah al Muta’alliqoh bil Muslim ghairul
Mujtahid. 2003. Riyadh: Darul Isybiliyah
3. Al Bugha, Musthofa dan Mihyudin Mistu. Al Waafi fii Syarhil Arba’in an Nawawi. 2007. Bairut: Daar
Ibnu Katsir, hal.14 4

BAB I | Ushul Fiqh Sebagai Ilmu 1


sendiri, apalagi masalah kian bertambah dan beraneka ragam tiap harinya.
Dengan mempelajari ilmu ushul fiqh maka orang awam yang terpaksa
memutuskan masalah sendiri akan lebih dekat dengan kebenaran. Karena
telah dilandasi dengan ilmu ketika memutuskan masalah.4
3. Ilmu ushul fiqh akan memperjelas istilah-istilah yang digunakan ulama dalam
fatwa dan tulisan mereka. Karena para ulama berbeda-beda ketika menggunakan
istilah dalam masing-masing mazhab mereka. Istilah-istilah ini kadang lafal
atau kata-katanya sama, namun maksudnya berbeda. Contoh, kata Imam
dalam mazhab Hanafiyah maksudnya adalah Imam Abu Hanifah,5 sedangkan
dalam madzhab Malikiyah maksudnya adalah al Maruzi6 dan dalam mazhab
Syafi’iyah maksudnya adalah al Juwaini.7 Contoh lainnya adalah penggunaan
istilah Syaikhoni yang dalam mazhab Hanafiyah maksudnya adalah Imam
Abu Hanifah dan Abu Yusuf,8 dalam madzhab Malikiyah maksudnya adalah
al-Qairawani dan Ibnul Qabisi,9 dalam mazhab Syafi’iyah maksudnya adalah
an-Nawawi dan ar-Rafii,10 sedangkan dalam mazhab Hanabalah maksudnya
adalah Ibnu Qudamah dan Majuddin bin Abdissalam bin Taimiyah.11 Begitu
pula nanti penggunaan kata “para ulama sepakat” antar mazhab maksudnya
berbeda, dan lain sebagainya.
4. Ilmu ushul fiqh menjadikan seseorang (orang awam) itu teratur kata-katanya
dalam menyampaikan pesan. Banyak orang pintar tapi tidak cakap dalam
menyampaikan pesan atau apa yang ingin disampaikan. Hal ini tentunya
membuat orang yang mendengarkan menjadi bingung dan tidak nyaman.
Ilmu ushul fiqh hadir sebagai solusi dalam Islam untuk memberikan keteraturan
dalam penyampaian pesan, ilmu atau berita. Tentunya keteraturan kata-kata
yang dihasilkan dari mempelajari ilmu ushul fiqh lebih islami.
5. Ilmu ushul fiqh memberikan kepercayaan kepada orang awam akan
kebenaran suatu ijtihad atau pendapat seorang ulama. Karena ilmu ushul
fiqh memberikan kepahaman kepada orang awam tentang bagaimana para
ulama dalam berpendapat atau menetapkan suatu hukum. Hal ini tentu akan
menghilangkan keraguan, yang keragu-raguan itu adalah salah satu pintu yang
akan dimanfaatkan oleh setan untuk menggoda dan menggelincirkan orang

4 Syarifudin, Amir. Ushul Fiqh. 2000. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, hlm.41
5 Al Hafnawi, Muhammad Ibrahimtt. Fathul Mubin fii halli Rumuzi wa Mushtholahatil Fuqoha’ wal
Ushuliyyin,hal.17
6 Ibid: 74
7 Ibid: 114
8 Ibid: 17
9 Ibid: 74
10 Ibid: 114
11 Ibid: 164

2 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


awam. Contoh, ulama mazhab Syafi’i berpendapat bahwa mengangkat tangan
ketika takbir sebaiknya menyentuh telinga agar terhindar dari keraguan. Orang
awam akan dapat memahami dan memaklumi hal ini karena memang tidak
ada dalil yang jelas menjelaskan hal ini. Selain itu, pendapat ini bisa dipahami
dan diterima dengan baik karena unsur kehati-hatiannya.
6. Ilmu ushul fiqh akan memberikan pengetahuan kepada manusia tentang
bagaimana adab- adab bertanya kepada para ulama, dan kepada siapa
harusnya orang awam bertanya. Sebagai seorang awam yang biasanya baru
belajar, tentu memiliki banyak pertanyaan-pertanyaan yang terpendam. Hal
pertama yang menjadi masalah biasanya adalah, “Kepada siapa seharusnya
saya bertanya?” Ilmu ushul fiqh akan menuntun orang yang mempelajarinya
untuk mengerti kepada siapa seharusnya bertanya. Karena di dalam ilmu
ushul fiqh akan dijelaskan ciri-ciri ulama mujtahid (ulama yang bisa dijadika
tempat bertanya). Ketika berada pada momen yang tepat setelah menemui
tempat bertanya yang ideal, kadang orang awam langsung “menyerang” untuk
menyampaikan pertanyaan demi pertanyaan, yang tentu tujuan utamanya
adalah mendapatkan jawaban. Namun, semangat menyampaikan pertanyaan
kadang membuat orang awam lupa hingga melanggar kode etik dalam
berinteraksi (dalam hal ini adalah melontarkan pertanyaan) dengan ulama.
Ya, ada semacam kode etik atau adab jika orang awam ingin menyampaikan
pertanyaan kepada seorang ulama. Ilmu ushul fiqh memberikan jalan keluar
yang bijak dan tepat.

Ushul fiqh sebagai ilmu sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW, bahkan
penetapan hukum “sudah” menggunakan ushul fiqh sebagai salah satu alat
istinbat hukum. Sebagai contoh adalah peristiwa tawanan perang Badr, ketika
Nabi Muhammad SAW meminta pendapat kepada sahabat Abu Bakar as Shiddiq
dan Umar bin al Khattab. Nabi Muhmmad SAW juga pernah bermusyawarah untuk
menentukan berbagai hal dengan para sahabat dan menggunakan pendapat beliau
dalam berbagai hal yang lain. Artinya pada zaman Nabi ushul fiqh “telah” digunakan.
Hal ini berlanjut pada zaman para sahabat, zaman Tabiin, dan ulama- ulama
setelah mereka. Namun ushul fiqh ketika itu belum berdiri sebagai suatu disiplin
ilmu. Ushul fiqh pertama kali berdiri sebagai suatu disiplin ilmu pada masa Imam
as Syafi’i,12 melalui karya beliau kitab yang berjudul ar Risalah. Karya ini lahir dari
pengetahuan beliau setelah belajar kepada Syaikh Muslim bin Khalid az Zinji, Imam
Malik, Muhammad bin Hasan as Syaibani (murid dari Imam Abu Hanifah) dan Yahya

12 Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i yang lahir pada tahun ke 150 H di Ghaza
(Palestina sekarang) dan wafat pada tahun 204 H.

BAB I | Ushul Fiqh Sebagai Ilmu 3


bin Hissan murid dari al Laits, sebagian ulama mengatakan bahwa Imam as Syafi’i
pernah berguru kepada al Laits secara langsung. Dalam karyanya ini Imam as Syafii’i
menggabungkan aliran ashhabul Hadits dari Madinah dan aliran ashhabur ra’yu dari
Kuffah.

Sebagai sebuah disiplin ilmu, ushul fiqh adalah cabang ilmu yang fokus membahas
dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadis serta pendapat dan perbuatan para sahabat
dan tidak ketinggalan ijtihad atau pendapat para ulama. Ilmu ushul fiqh berusaha
membuat sebuah rumusan yang dapat dimanfaatkan oleh orang-orang berikutnya
agar mudah dalam menentukan sebuah hukum dari dalil yang ada. Kerangka atau
rumusan inilah yang menjadi objek kajian ilmu ushul fiqh.

Kerangka atau rumusan yang ada dalam ruang lingkup ilmu ushul fiqh cukup
banyak. Di antaranya adalah pembahasan seputar dalil yang meliputi Al-Qur’an,
hadis dan pendapat para sahabat. Pembahasan seputar ijtihad, mujtahid dan syarat-
syarat mujtahid, hukum dan pembagiannya. Ilmu ushul fiqh juga membahas seputar
mukalaf atau orang yang terkena hukum dari sebuah aturan, pertentangan antar dalil
(bila ada), kaidah-kaidah yang berkaitan dengan hukum dan kehidupan sehari-hari
serta pembahasan-pembahsan lain semisalnya.

Setelah itu ushul fiqh berkembang menjadi suatu disiplin ilmu yang banyak diminati
kalangan penuntut ilmu karena saking pentingnya disiplin ilmu ini. Hingga ilmu
ushul fiqh diajarkan di masjid-masjid yang memang menjadi tempat majelis ilmu
para ulama kala itu. Perkembangan itu berlanjut hingga masa-masa berikutnya.
Output dari ilmu ushul fiqh adalah hukum fikih yang biasanya menjadi objek pemba-
hasan cabang ilmu fikih. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu fikih tidak bisa dilepaskan
dari cabang ilmu usul fiqh.

B. Pengertian ushul fiqh sebagai ilmu, alat istinbat hukum dan perbedaannya
dengan fikih

Setelah mengetahui betapa pentingnya mempelajari ilmu ushul fiqh, tentu tidak
akan sempurna bila kita tidak mengetahui apa itu ilmu ushul fiqh. Kata “ushul fiqh”
adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul” dan kata “fiqh” secara etimologi
berarti paham yang mendalam.” Kata ini muncul sebanyak1320 (dua puluh) kali dalam
dengan arti paham, misalnya dalam surat Al-Kahfi (18): 93:

13 Departemen Agama RI. 2009, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI, hal. 22

4 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


َ ُ َ َ َّ ً ْ َ َ ُ َ َ َ ْ َّ َّ َ ْ َ َ َ َ َ ٰ َّ َ
‫حت إِذا بلغ بي السدي ِن وجد مِن دون ِ ِهما قوما ل يكادون‬
ًَْ َ ُ َْ َ
93‫يفقهون قول‬
Hingga apabila Dia telah sampai di antara dua buah gunung, Dia mendapati di
hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan.
Maksudnya: mereka mereka tidak bisa memahami bahasa orang lain, karena bahasa
mereka berbeda dengan bahasa-bahasa yang dikenal oleh umat manusia dan taraf
kecerdasan merekapun sangat rendah. Lafadz yafqohuna dalam ayat tersebut berarti
“mereka memahami”. Sedangkan kata fiqh berasal dari kata faqiha yang bermakna
mengerti atau faham, sehingga kata fiqh bisa diartikan dengan pengetahuan. Arti
fiqh dari segi istilah hukum sebenarnya tidak jauh berbeda, yaitu “ilmu tentang
hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang digali dan dirumuskan dari dalil-
dalil tafsili”. Dari pengertian secara istilah tersebut dapat dipahami dua bahasan
pokok yang terdapat dalam ilmu fiqih, yaitu bahasan tentang hukum-hukum syara’
yang bersifat amali dan kedua tentang dalil-dalil tafsili.

Kata “ushul” yang merupakan kata jamak dari kata “ashal” (َ‫ )أ‬secara etimologi
berarti “sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya”. Arti etimologi ini sepadan
dari maksud definisi dari kata ashal tersebut karena ilmu ushul fiqh merupakan
suatu ilmu yang didasarkan atau yang dijadikan dasar “fikih”. Dengan demikian
“ushul fiqh” sebagai istinbat hukum (teknik hukum) dapat didefinisikan sebagai ilmu
tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’
dari dalilnya yang terinci,” atau dapat diartikan secara sederhana: kaidah-kaidah yang
menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil Al-Qur’an yang
bersifat global untuk dapat dipahami secara detail atau rinci, sehingga jelas benang
merah kandungan hukum suatu masalah yang belum jelas dasar hukumnya dalam
Al-Qur’an yang dijadikan sumber referensi dan pedoman seluruh umat Islam.

Sebagai contoh, ketika dalam kitab-kitab fikih ditemukan ungkapan, “menger-


jakan salat itu hukumnya wajib”. Maka dapat dipahami wajibnya melakukan salat itu
disebut “hukum syara’”. Tidak pernah disebut dalam Al-Qur’an maupun Hadis bahwa
salat itu hukumnya wajib. Yang tercantum dalam Al-Qur’an hanya perintah menger-
jakan salat yang berbunyi: “... ...(kerjakanlah salat). Ayat Al-Qur’an yang
mengandung perintah mengerjakan salat disebut “dalil syara’”. Untuk merumuskan
kewajiban salat yang disebut “hukum syara’” dari firman Allah atau
seperti sabda Rasulullah SAW berikut ini:

BAB I | Ushul Fiqh Sebagai Ilmu 5


َ ْ ‫ول َح َّر َم َبيْ َع‬
ْ‫المر‬ ُ َ ‫الل َو َر ُس‬
َ َّ ‫إ َّن‬
ِ ِ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamr (benda-benda
yang memabukkan)” (HR. Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).

Adapun yang disebut “dalil syara’“ diatur dalam bentuk kaidah, seperti: ”setiap
perintah menunjukkan wajib”

Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara menetapkan


hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut itulah yang dinamakan “ilmu ushul fiqh”14.
Dari uraian tersebut dapat dipahami perbedaan ushul fiqh dengan fikih. Berikut
penjelasan perbedaan antara ushul fiqh dan fikih sebagaimana tertulis pada tabel
1 (satu) berikut, dan perbedaan ushul fiqh dengan kaidah fiqhiyyah sebagaimana
tertulis pada tabel 2 (dua) berikut.

Tabel 1 Perbedaan ushul fiqh dengan fiqh


Ushul fiqh Fikih
Pedoman atau aturan-aturan yang Hukum-hukum syara’ yang telah digali
membatasi dan menjelaskan cara-cara dan dirumuskan dari dalil-dalil menurut
yang harus diikuti seorang fakih dalam aturan yang sudah ditentukan
usahanya menggali dan mengeluarkan
hukum syara’ dari dalilnya

Tabel 2 Perbedaan ushul fiqh dengan kaidah fiqhiyyah


Ushul fiqh Kaidah fiqhiyyah
Menjelaskan ketentuan atau aturan Kumpulan hukum-hukum kesamaan
yang harus diikuti mujtahid untuk yang setiap hal dirujukkan kepada satu
menghindarkan dirinya dari kesalahan pola yang sama; seperti kaidah khiar,
dalam usahanya merumuskan hukum atau kaidah-kaidah fasakh secara umum
syara’ dari dalilnya
Inti perbedaannya terletak dalam
lingkup bahasannya

Dari pengertian ini, ada beberapa hal yang menjadi perlu dipahami secara komprehensif,
di antaranya pertama, kaidah atau metode adalah rambu-rambu yang yang

14 Amir Syarifuddin, 2000, Ushul Fiqh Jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu; hal.36

6 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


digunakan ulama (mujtahid) untuk membedah suatu dalil; kedua mujtahid
adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menggunakan kaidah-kaidah
(fikih) sebagai jalan untuk memahami hukum-hukum, dan ketiga ahkam adalah hasil
dari istinbath (pengambilan hukum) yang berkaitan dengan aktivitas manusia dalam
menjalankan aturan agama.15 Jadi, ilmu ushul fiqh itu adalah ilmu yang mempelajari
bagaimana tata cara menghasilkan sebuah produk hukum yang diambil dari sumber
terpercaya (Al-Qur’an, al Hadis dan Ijma’ ulama). Di dalamnya juga dipelajari segala
hal yang berkaitan dengan proses pengambilan hukum.

Hakikat hukum Islam, salah satu di antaranya adalah fikih yang berarti pemahaman
dan kecakapan tentang ilmu agama Islam. Pengertian fikih yang mencakup seluruh
pengetahuan agama sebagaimana firman Allah QS. At-Taubah ayat 122 berikut:

ْ‫ك ف ِْرقَة ّمِنْ ُهم‬ ُّ َ َ َ َ ْ َ َ ً َّ َ ُ َ َ ُ ْ ُ ْ َ َ َ َ


َّ َ
ٍ
َ ِ ‫وما ك ّن المؤمِنون ِلنفِروا كفة ۚ فلول نف َر مِن‬
َ ّ ‫َطائ َف ٌة ِلَ َت َف َّق ُهوا ف‬
‫ِين َو ِلُن ِذ ُروا ق ْو َم ُه ْم إِذا َر َج ُعوا إِلْ ِه ْم ل َعل ُه ْم‬
ِ ‫ادل‬ ِ ِ
َ ََُْ
122ِ‫يذرون‬
“Dan tidak sepatutnya bagi mukminin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa
sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam
pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.”

Kata “liyataffaqqohu fi ad-Din” pada QS. At-Taubah (9):122, akar kata yang terdiri
dari (‫ ـه‬-‫ق‬-‫ ) ف‬menunjukkan arti mengetahui dan memahami sesuatu. Seorang yang
alim dan cerdas disebut fakih. Pada mulanya istilah tafaqquh fi ad-Din adalah untuk
pekerjaan mengerti, memahami, dan mendalami seluk-beluk ajaran agama Islam.
Namun pada periode berikutnya, istilah fikih digunakan untuk ilmu-ilmu syariat
sebagai lawan dari ilmu tauhid yang berkaitan dengan akidah.

Dalam Al-Qur’an, istilah tafaqquh fi ad-Din disebut hanya sekali. Arti liyatafaqqohu fi
ad-din ialah agar mereka mendalami tentang agama. Kata ad-din dalam rangkaian
istilah tersebut berarti “agama” dalam arti yang luas, bukan “agama” dalam arti sempit,
seperti mempelajari seluk-beluk wudu dan masalah-masalah salat, atau hanya

15 Al Hafnawi, Muhammad Ibrahimtt. Fathul Mubin fii halli Rumuzi wa Mushtholahatil Fuqoha’ wal
Ushuliyyin,hal.17

BAB I | Ushul Fiqh Sebagai Ilmu 7


menyangkut masalah fikih. Agama yang oleh ungkapan tersebut didorong untuk
didalami dari Nabi SAW, pada saat beliau berada di tempat/Madinah karena tidak
berangkat memimpin perang, meliputi berbagai informasi yang terkandung dalam
ayat-ayat Al-Qur’an yang telah diterima Rasulullah SAW pada periode Mekah selama
13 (tiga belas) tahun, dan juga masalah-masalah agama yang mungkin dapat
disampaikan Nabi pada saat para sahabat yang berminat melakukan tafaqquh fid-din.
Jadi, seolah-olah dikatakan bahwa jika Rasulullah SAW sedang berada di Madinah,
tidak berangkat memimpin perang, sepatutnya sebagian sahabat memanfaatkan
kesempatan itu untuk mendalami berbagai persoalan agama dari Nabi yang telah
beliau terima dalam bentuk ayat-ayat Al-Qur’an yang telah diturunkan.16

Kesimpulan dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa tidak semua orang mukmin
harus berangkat ke medan perang, bila peperangan itu dapat dilakukan oleh
sebagian kaum muslimin saja yang berkompeten di bidangnya. Tetapi harus ada
pembagian tugas dalam sosial kemasyarakatan dan sebagian lagi harus menuntut
ilmu dan mendalami agama Islam, dengan harapan ajaran-ajaran agama dapat
diajarkan dan dipelajari secara merata. Demikian juga terkait dengan dakwah dapat
dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan bermanfaat, sehingga kecerdasaran
umat Islam dapat ditingkatkan. Perang bertujuan untuk mengalahkan musuh-musuh
Islam serta menamankan jalannya dakwah islamiyah. Sedang menuntut ilmu dan
mendalami ilmu-ilmu agama bertujuan untuk mencerdaskan umat dan mengem-
bangkan agama Islam, agar dapat disebarluaskan dan dipahami oleh seluruh lapisan
masyarakat.

Dengan demikian, ayat ini mempunyai hubungan yang erat dengan ayat-ayat lain,
karena sama-sama menerangkan hukum berjihad, akan tetapi dalam bidang dan
cara yang berbeda. Dalam Al-Qur’an terdapat 20 (dua puluh) ayat yang menyebut
kata-kata fiqh. Hal ini dapat dipahami dari sabda Nabi Muhammad SAW berikut:
yang artinya barang siapa dikehendaki Allah akan
diberikan kebajikan dan keutamaan, niscaya diberikan kepadanya paham yang
mendalam dalam agama (HR. Bukhari Muslim).

Mencermati kandungan hadis tersebut, pengertian fikih pada masa itu adalah
segala macam pengetahuan agama yang tidak mudah mendapatkannya, diperlukan
usaha yang sungguh-sungguh dengan cara melakukan penelitian, pengkajian dan
sebagainya. Fikih mempunyai arti yang sama dengan ilmu17, kemudian pada abad

16 Ibid, 2009, Departemen Agama RI, hal. 232


17 Saifudin Zuhri, (2011), Ushul Fiqh, Akal Sebagai Sumber Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,hal.12

8 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


kedua Hijriyah sesudah meluasnya Islam dan bertambah banyaknya macam dan
kajian hukum terkait dengan persoalan kehidupan manusia, dan hubungan antara
seseorang dengan lainnya, lahirlah mujtahid-mujtahid yang membangun mazhab.

Pengertian fikih dipersempit menjadi suatu disiplin ilmu (pengetahuan) hukum


yang menyangkut perbuatan. Hukum yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadis melalui
usaha pemahaman dan ijtihad. Sejak masa itu pengertian serta bidang cakupan
pembahasan fiqih bervariasi dipengaruhi oleh aliran-aliran dari golongan ahli ushul
fiqh. Misalnya menurut Imam Abu Hanifah, segala pengetahuan mengenai keper-
cayaan, akhlak dan ilmu furu’ (perbuatan manusia) termasuk bidang pembahasan
fikih. Dalam hai ini disebut dengan istilah Fikih Akbar, sedangkan menurut Ibnu
Hazam, dalam kitabnya “Al-Ihkam fi Usul Ahkam” fikih meliputi pengantar ilmu tafsir,
pengantar ilmu hadis, dasar-dasar ushul fiqh, hukum-hukum fikih yang disepakati
dan diperselisihkan.18

C. Ruang lingkup bahasan pokok ushul fiqh

Berangkat dari pengertian ilmu ushul fiqh di atas, maka bahasan pokok ushul fiqh
adalah19:
a) Dalil-dalil atau sumber hukum syara’
b) Hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil itu
c) Kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syara’ dari dalil
atau sumber yang terkandung di dalamnya
d) Ijtihad

Dalam membicarakan sumber hukum Islam di sini dibahas pula kemungkinan


terjadinya perselisihan pendapat atau ikhtilaf antara dalil-dalil dan cara
menyelesaikannya. Dalam hal ini akan dibahas pula tentang kualifikasi orang-orang
yang berhak dan berwenang menggunakan kaidah atau metode dalam melahirkan
hukum syara’ tersebut. Oleh karena itu, dimunginkan munculnya pembahasan
tentang ijtihad dan mujtahid yang akan dibahas di bab berikutnya. Demikian juga
pembahasan mengenai tindakan dan usaha yang dapat ditempuh orang-orang
yang tidak mempunyai kemampuan dan kemungkinan berijtihad atau pembahasan
tentang taklid dan hal-hal lain berhubungan dengannya.

18 Hasby Asy-Shidiqy (1995), Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, hal.35
19 Amir Syarifuddin, 2000, Ibid, hal.43

BAB I | Ushul Fiqh Sebagai Ilmu 9


D. Tujuan dan manfaat ushul fiqh

Tujuan yang dirumuskan dapat dicapai dari ushul fiqh ialah untuk dapat mener-
apkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terinci agar sampai kepada
hukum-hukum syara’ yang bersifat amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan
kaidah ushul serta bahasannya dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum yang
terkandung di dalamnya. Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat
apa-apa yang dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada
rumusan itu.

Dengan metode tersebut para ulama telah berhasil merumuskan hukum syara’ dan
telah terjabar secara rinci dalam kitab-kitab fikih.

Adapun maksud mengetahui ushul fiqh ada dua, yaitu:


Pertama, bila seseorang sudah mengetahui metode ushul fiqh yang dirumuskan
ulama terdahulu, maka bila suatu ketika menghadapi masalah baru yang tidak
mungkin ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fikih terdahulu, maka kita akan
dapat mencari solusi sebagai jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan
cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu.

Kedua, bila seseorang mengahadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab-
kitab fikih, tetapi mengalami kesulitan dalam penerapannya karena sudah begitu
jauhnya perubahan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fukaha
lama itu atau ingin merumuskan hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan
tuntutan kondisi yang menghendakinya, maka usaha yang harus ditempuh adalah
merumuskan kaidah baru yang memungkinkan timbulnya suatu rumusan baru
dalam fikih. Mengkaji ulang terhadap suatu kaidah atau menentukan kaidah baru
itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui secara baik usaha dan cara
ulama lama dalam merumuskan kaidahnya. Hal ini akan diketahui secara baik dalam
ilmu ushul fiqh.

Dengan jalan merumuskan hukum Islam akan senantiasa berkembang dengan


seiring perkembangan dan dinamika masyarakat. Seseorang yang akan melakukan
ijtihad diperlukan memahami dengan benar Ilmu Ushul fiqh, karena merupakan alat
untuk melakukan istinbat. Menetapkan hukum harus mempunyai dasar dan harus
ada sistemnya. Oleh karena itu, Ilmu ushul fiqh dapat dikatakan sebagai Ilmu Sistem
Hukum Islam20 di dalam menetapkan hukum.

20 Ibid, (1980) hal.195

10 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


Bab II

Periodisasi Ushul Fiqh dan Sumber Hukum Islam


yang Disepakati Jumhur Ulama

Capaian pembelajaran
1. Mahasiswa mampu menjelaskan dengan benar sejarah perkembangan ushul
fiqh
2. Mahasiswa mampu menyebutkan dengan sistematis sumber perumusan
hukum Islam
3. Mahasiswa mampu menjelaskan dengan benar pengertian dan klasifikasi
hukum Islam
4. Mahasiswa mampu menunjukkan metode formulasi hukum Islam

A. Sejarah perkembangan ushul fiqh

Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fikih, meskipun dalam penyusu-
nannya ilmu fikih dilakukan lebih dahulu dari ushul fiqh. Pada hakikatnya keberadaan
fikih harus didahului ushul fiqh, karena ushul fiqh merupakan ketentuan atau kaidah
yang harus diiukti mujtahid pada waktu menghasilkan fikihnya. Namun dalam
perumusannya ushul fiqh datang belakangan.

Sementara pada masa Rasulullah SAW belum dikenal. Hal ini mudah dipahami,
karena pada masa itu Rasulullah SAW masih hidup sehingga semua persoalan
hukum langsung bersumber dari Rasulullah SAW. Pada masa sahabat, ilmu ushul
fiqh belum juga dikenal. Para sahabat Nabi SAW memberikan fatwa-fatwa dan
menetapkan hukum dengan berdasarkan pada dalil-dalil nas yang dapat mereka
pahami, berdasarkan kemampuan mereka dalam memahami bahasa Arab, tanpa
memerlukan kaidah bahasa yang dijadikan pedoman dalam memahami nas. Mereka
juga menetapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak dijumpai nasnya
secara langsung dengan berdasarkan pada kemampuan mereka dalam memahami
perkembangan pembinaan hukum Islam.

Melalui pergaulan mereka dengan Rasulullah SAW di samping itu mereka juga
menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan wurudnya hadis-hadis Nabi SAW. Mereka
memahami tujuan dan dasar-dasar pembentukan hukum. Para sahabat mempunyai
pengetahuan yang sempurna tentang Al-Qur’an, as sunah, bahasa Arab dan menge-
tahui pula sebab-sebab turunnya, rahasia-rahasia siar, dan tujuannya. Pengetahuan

BAB II | Periodisasi Ushul Fiqh dan Sumber Hukum Islam yang Disepakati Jumhur Ulama 11
ini disebabkan karena pergaulan mereka dengan Nabi SAW, di samping kecerdasan
bawaan para sahabat Nabi. Oleh karena itu, para sahabat Nabi tidak memerlukan
peraturan-peraturan dalam mengistinbatkan hukum, seperti halnya pula mereka
tidak membutuhkan kaidah-kaidah untuk mengetahui bahasa mereka sendiri.

Perumusan fikih sebenarnya sudah dimulai langsung sesudah Nabi wafat, tepatnya
pada periode sahabat. Pemikiran dalam ushul fiqh telah ada pada waktu perumusan
fikih itu. Para sahabat di antaranya Umar ibn Khattab, Ibnu Mas’ud, Ali ibn Abi
Thalib, pada saat mengemukakan pendapatnya tentang hukum, sebenarnya sudah
menggunakan aturan atau pedoman dalam merumuskan hukum, meskipun secara
jelas mereka tidak mengemukakan demikian. Sewaktu Ali ibn Abi Thalib menetapkan
hukum cambuk sebanyak 80 (delapan puluh) kali terhadap peminum khamar,
beliau berkata, “Bila ia minum akan mabuk dan bila ia mabuk, ia akan menuduh
orang berbuat zina secara tidak benar, maka kepadanya diberikan sanksi tuduhan
berbuat zina”. Berangkat dari pernyataan Ali itu akan diketahui bahwa Ali menggu-
nakan kaidah menutup pintu kejahatan yang akan timbul atau dalam bahasa ushul
fiqh disebut “sad ad-dzari’ah”. Demikian juga Ibnu Mas’ud sewaktu mengemukakan
pendapatnya tentang wanita hamil yang suaminya meninggal, idahnya adalah
sampai dengan saat melahirkan anak, mengemukakan argumennya dengan firman
Allah dalam surat Al-Talaq (85) ayat 4, meskipun juga ada firman Allah dalam surat
Al-Baqarah (2) yang menjelaskan bahwa istri yang suaminya meninggal, idahnya
empat bulan sepuluh hari. Dalam menetapkan pendapat ini beliau mengatakan
bahwa ayat 4 surat Al-Thalaq datang sesudah ayat 234 surat Al-Baqarah (2).

Me-review dari tindakan Ibnu Mas’ud tersebut seakan kelihatan bahwa dalam
menetapkan fatwanya itu ia menggunakan kaidah ushul tentang nasakh-mansukh,
yaitu dalil yang datang kemudian menasakhkan dalil yang datang terdahulu.1 Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan Ibnu Mas’ud dan Ali ibn Abi
Thalib sebagaimana contoh tersebut di atas kita dapat memahami bahwa para
sahabat dalam melakukan ijtihad mengikuti suatu pedoman tertentu meskipun
tidak dirumuskan secara jelas.

Pada periode tabiin lapangan istinbat atau perumusan hukum semakin meluas karena
begitu banyaknya peristiwa hukum yang bermunculan. Pada waktu itu beberapa
ulama tabiin tampil sebagai pemberi fatwa hukum terhadap kejadian yang muncul,
misalnya Sa’id ibn Musayyab di Madinah dan Ibrahim Nakha’i di Irak. Masing-masing
ulama ini mengetahui secara baik ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dan mempunyai

1 Amir Syarifuddin, 2000, Ibid, hal 37.

12 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


koleksi yang lengkap tentang hadis Nabi. Jika mereka mengikuti metode maslahat
dan sebagian mengikuti metode qiyas. Usaha hukum yang dilakukan Ibrahim al-Na-
kha’i dan ulama Irak lainnya mengarah kepada mengeluarkan ilat hukum dari nas dan
menerapkannya terhadap peristiwa yang sama yang baru bermunculan kemudian
hari.

Dari keterangan di atas semakin jelas bahwa metode yang digunakan dalam
merumuskan hukum syara’ semakin memperlihatkan bentuknya. Perbedaan metode
yang digunakan menyebabkan timbulnya perbedaan aliran dalam fikih, di antaranya
adalah sebagai berikut: Abu Hanifah dalam usaha merumuskan fikihnya menggu-
nakan metode tersendiri, yaitu menetapkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok,
kemudian hadis Nabi, berikutnya fatwa sahabat. Ia mengambil hukum-hukum yang
telah disepakati para sahabat. Dalam beberapa hal di mana ulama sahabat berbeda
pendapat, ia memilih satu di antaranya yang dianggap lebih kuat. Abu Hanifah tidak
mengambil pendapat ulama tabiin sebagai dalil dengan pertimbangan bahwa ulama
tabiin berada dalam satu ranking dengannya. Metodenya dalam menggunakan qiyas
dan istihsan terlihat nyata sekali.

Imam Malik menempuh metode ushuli yang lebih jelas menggunakan tradisi yang
hidup di kalangan penduduk Madinah, sebagaimana dinyatakan dalam buku dan
risalahnya. Terlihat usahanya menolak hadis yang dihubungkan kepada Nabi karena
hadis itu menyalahi nas Al-Qur’an. Imam Malik lebih banyak menggunakan hadis
daripada Abu Hanifah, kemungkinan karena banyaknya hadis yang ditemukan.
Dalam penggunaan qiyas ia menggunakan maslahat mursalah yang tidak digunakan
ulama jumhur, sebagai perimbangan dari istihsan yang digunakan Abu Hanifah.

Imam Syafi’i, telah menemukan dalam masanya perbendaharaan fikih yang sudah
berkembang semenjak periode sahabat, tabiin dan imam-imam yang mendahuluinya.
Ia menemukan perbincangan fikih dengan diskusi yang cukup antusias dan polemik
di antara para tokoh yang berbeda pendapat. Perdebatan terbuka berlangsung di
antara kubu Madinah dan kubu Irak. Imam Syafi’i menggali pengalaman dan penge-
tahuannya yang luas dan mendalam memberi petunjuk kepada Imam Syafi’i untuk
meletakkan pedoman dan neraca berpikir yang menjelaskan langkah-langkah yang
harus dilakukan mujtahid dalam merumuskan hukum dari dalilnya. Metode yang
dirumuskan Imam Syafi’i itulah yang kemudian disebut “ushul fiqh”. Oleh karena
itu, Imam Syafi’i layak disebut orang pertama yang menyusun sistem metodologi
berpikir tentang hukum Islam dan kemudian populer dengan sebutan ushul fiqh
sehingga tidak salah ucapan seseorang orientalis Inggris, N.J. Coulson, bahwa Imam

BAB II | Periodisasi Ushul Fiqh dan Sumber Hukum Islam yang Disepakati Jumhur Ulama 13
Syafi’i adalah arsitek ilmu fiqh.2 Dalam hal ini bukan berarti beliau yang merintis dan
mengembangkan ilmu tersebut, tetapi jauh sebelumnya beliau sudah menemukan
metodologi dalam perumusan fikih, tetapi belum menyusun itu secara sistematis
sehingga dapat disebut sebagai ilmu yang berdiri sendiri.

Kemampuan Imam Syafi’i dalam melahirkan ilmu ushul fiqh ini ditopang potensi
internal pribadi dan pengalamannya. Bahkan disebut ahli Lisa al Arab, sehingga ia
memiliki kemampuan yang tinggi dalam merumuskan kaidah-kaidah untuk menge-
luarkan hukum syara’ dari teks Al-Qur’an dan hadis yang keduanya berbahasa Arab
orisinal. Selama keberadaannya di Mekah, Imam Syafi’i mewarisi ilmu Al-Qur’an dari
Abdullah ibn Abbas yang memungkinkannya untuk mengenal kedudukan nasakh
mansukh dalam Al-Qur’an, sehingga dapat menyelesaikan pendapat dan anggapan
adanya pertentangan antara Al-Qur’an dan hadis Nabi serta berhasil menyusun
metodologi yang sistematis dalam merumuskan hukum syara’.

Secara monumental pada akhir abad kedua Hijriyah barulah ilmu ushul fiqh
dibukukan melalui seorang ulama mujtahid, yaitu Muhammad bin Idris as Syafii
(150-204 H). Beliau meramu, menyistematisasi, dan membukukan ushul fiqh di dalam
karya beliau Ar Risalah yang terkenal itu. Hal ini sejalan dengan perkembangan ilmu
yang sangat pesat ketika itu karena ditopang oleh seorang khalifah yang cinta ilmu,
yaitu Harun ar Rashid (145-193 H). Perkembangan ini dilanjutkan oleh putra khalifah
yang sama-sama mencintai ilmu, yaitu al Ma’mun hingga menjabat menjadi khalifah
selama 20 tahun.3

Sepeninggal Imam Syafi’i pembahasan tentang ushul fiqh semakin menarik dan
ushul fiqh sendiri semakin berkembang. Dalam pengembangannya terlihat adanya
perbedaan arah yang menyebabkan perbedaan dalam ushul fiqh. Sebagian ulama
yang kebanyakan pengikut Imam Syafi’i mencoba mengembangkan ushul fiqh
Syafi’i dengan cara antara lain mensyarahkan, memperinci yang bersifat garis besar,
mempercabangkan pokok pikiran Imam Syafi’i sehingga ushul fiqh Syafi’iyyah
menemukan formulasi yang sempurna.

Pada prinsipnya fuqaha mazhab yang empat tidak berbeda dengan dasar yang
ditetapkan Imam Syafi’i tentang penggunaan dalil yang empat, yaitu: Al-Qur’an,
hadis, ijmak, dan qiyas, meskipun dalam kadar penggunaannya terdapat perbedaan
terutama sesudah melembaganya mazhab-mazhab fikih, maka arah pengembangan

2 Amir Syarifuddin, 2000, Ibid, hal 36.


3 Satria Efendi Muhammad Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005) hal 19.

14 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


ushul fiqh terlihat dalam dua bentuk yang berbeda yaitu: pertama arah pemikiran
murni dan yang kedua mengarah pada penyusunan ushul fiqh yang dipengaruhi
pada furu’ dan menyesuaikan pada kepentingan furu’ dan berusaha mengem-
bangkan ijtihad yang telah berlangsung sebelumnya.

B. Dalil dan sumber istinbat/perumusan hukum Islam

Untuk lebih menyederhanakan dalam memahami penggunaan sumber hukum


Islam penulis kemukakan tahapan periodisasi sumber hukum Islam. Adapun sumber
istinbat yang dimaksudkan adalah sebagai berikut4:

Pengertian dalil dan sumber istinbat

Kata dalil atau adillah syariat sering digunakan dalam literatur klasik atau kitab“kuning”,
sedangkan “sumber” dalam hukum fikih adalah terjemahan dari lafaz “masdar” jamak
dari “mashadir”. Lafaz tersebut hanya terdapat dalam sebagian literatur kontemporer
sebagai ganti dari sebutan dalil. Apabila ditinjau secara etimologis, akan nampak
bahwa kedua kata itu tidak sinonim, setidaknya jika dihubungkan dengan kata
“syariat”. Kata sumber (masdar), dengan jamaknya “mashadir”, dapat diartikan suatu
wadah yang darinya dapat ditemukan suatu norma hukum. Sedangkan “dalil hukum”
berarti sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun umat manusia terutama
muslim/muslimat dalam menemukan hukum Allah. Kata “sumber” dalam artian
ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan sunah, karena memang keduanya
merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’, tetapi tidak mungkin kata ini
digunakan untuk ijmak dan qiyas karena keduanya bukanlah wadah yang dapat
ditimba suatu norma hukum. Ijmak dan qiyas keduanya merupakan cara dalam
menemukan hukum. Kata “dalil” dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan sunah, juga
dapat digunakan untuk ijmak dan qiyas, karena memang semuanya menuntun
kepada penemuan hukum Allah. Oleh karena itu, pembahasan dalam buku ini akan
menjangkau kepada rakyu dan ijtihad, maka istilah yang lebih tepat digunakan
adalah “dalil-dalil fikih.”
Kata “dalil” berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti sesuatu
yang dapat menunjuki. Kata “dalil” dan yang seakar dengannya disebut sebanyak 8
(delapan) kali dalam Al-Qur’an dengan arti tersebut. Misalnya firman Allah SWT

4. Sri Haningsih, Modul Kuliah Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Prodi PAI-FIAI UII, pertemuan ketiga, 2015)
hal 2.

BAB II | Periodisasi Ushul Fiqh dan Sumber Hukum Islam yang Disepakati Jumhur Ulama 15
dalam surat Al-Furqaan (25): 45 berikut:

ً َ ْ َ َ َ ْ َّ َ ْ َ َ
45‫ثم جعلنا الشمس عليهِ د ِلل‬
“Kemudian Kami jadikan matahari sebagai dalil (petunjuk).”

Sebagian besar fuqaha, kata dalil diartikan sebagai sesuatu yang terdapat menun-
jukkan pengajaran atau pembelajaran, baik yang dapat menyampaikan kepada
sesuatu yang meyakinkan atau kepada dugaan kuat yang tidak meyakinkan.
Sedangkan kalangan ulama ushul fiqh kata “dalil” diartikan sesuatu yang menyam-
paikan kepada tuntutan atau menyampaikan kepada tuntutan yang bukan khabari,
atau yang menyampaikan dengan pemikiran yang salah, bukan disebut “dalil” dalam
artian ini.

Dalam hal ini al-Syatibi5 mengemukakan prinsip suatu dalil syara’ sebagai berikut:
A. Dalil syara’ tidak bertentangan dengan tuntutan akal. Prinsip ini didasarkan
pada: (a) kalau menyalahi akal, maka bukan dalil syara’ untuk hamba Allah yang
berakal, (b) kalau menyalahi akal, berarti membebani manusia dengan sesuatu
yang tidak mampu dilakukan manusia, (c) sumber taklif atau pembebanan
hukum adalah akal, (d) hasil penelitian menunjukkan bahwa dalil syara’ berlaku
menurut akal.
B. Tujuan pembentukan dalil adalah menempatkan perbuatan manusia dalam
perhitungannya.
C. Setiap dalil bersifat kulli (global). Seandainya ia bersifat juz’i (terinci) adalah
tersebab oleh hal-hal yang datang kemudian dan tidak menurut asal
penetapannya.
D. Dalil syara’ terbagi kepada qath’i dan zhanni.
E. Dalil syara‘ terdiri dari dalil naqli dan dalil akli.

Sedangkan al-Amidi membagi dalil menjadi dua kelompok, yaitu, pertama, dalil yang
sahih menurut dirinya dan wajib diamalkan, terdiri dari (a) dalil yang disampaikan
oleh Nabi dalam bentuk yang terbaca, yaitu Al-Qur’an dan (b) dalil yang disampaikan
Nabi dalam bentuk yang tak terbaca, yaitu sunah. Al-Qur’an dan sunah dapat disebut
dalil nas, (c) dalil yang tidak disampaikan Nabi atau bukan nas, bentuknya terdiri dari:
(i) terpelihara dari kesalahan, yaitu ijmak, (ii) tidak terpelihara dari kesalahan tetapi

5 Ibid, hal 44.

16 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


dapat dihubungkan kepada nas, yaitu qiyas, (iii) tidak terpelihara dari kesalahan dan
tidak pula dihubungkan kepada nas, yaitu istidlal. Nas dan ijmak adalah dalil pokok
sedangkan qiyas dan istidlal adalah cabang yang mengikut kepada nas dan ijmak.
Kedua, sesuatu yang diperkirakan dalil sahih, sebenarnya bukan dalil, yaitu syar’u
man qoblana, mazhab shahabi, istihsan dan maslahah mursalah.

Dari uraian tersebut di atas, dalil syara’ dapat dikelompokkan pada dua bagian , yaitu:
(1) dalil-dalil syara’ yang disepakati terdiri dari Al-Qur’an, sunah, ijmak, dan qiyas dan
(2) dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati yaitu istihsan, maslahah mursalah, istishab,
urf, syar’u man qoblaa, dan mazhab sahabi. Sebagai gambaran sederhananya dapat
dilihat pada diagram berikut:

Gambar 1. Diagram ushul fiqh

Al-Qur’an, sunah, ijmak, dan qiyas disepakati oleh ahlusunah sebagai dalil secara
prinsip, meskipun berbeda dalam kadar penggunaannya. Keempatnya mendapat
landasan hukum yang kuat dalam Al-Qur’an dan sunah, yaitu:
1. Landasan dalam Al-Qur’an adalah pada surat An-Nisaa (4): 59:

ْ‫ول َوأُول ْالَمر‬


َ ُ َّ ُ َ َ َ َّ ُ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ
‫يا أيها الِين آمنوا أ ِطيعوا الل وأ ِطيعوا الرس‬
ِ ِ
BAB II | Periodisasi Ushul Fiqh dan Sumber Hukum Islam yang Disepakati Jumhur Ulama 17
َّ َ ُ ُّ ُ َ ْ َ ْ َ ََ َ ْ ُ
‫ازع ُت ْم ِف ش ٍء فردوه إِل َاللِ والر ْسو ِل إِن‬
ُ َّ َ ‫مِنكم ۖ فإن تن‬
ً َ ُ َ ْ َ ٌ ْ َ َ َٰ ْ ْ َ ْ َ َّ َ ِ ُ ْ ُ ْ ُ ُ
59‫خ ِر ۚ ذل ِك خي وأحسن تأوِيل‬ ِ ‫كنتم تؤمِنون بِاللِ والو ِم ال‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Perintah mentaati Allah berarti perintah menjalankan hukum yang terdapat dalam
Al-Qur’an. Perintah mentaati Rasul berarti perintah mengamalkan apa yang disam-
paikan Rasul dalam sunahnya. Demikian juga perintah mematuhi ulil amri berarti
perintah mengamalkan hukum yang ditemukan berdasarkan ijmak. Perintah
mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan hukumnya kepada Allah dan Rasul
berarti perintah mengamalkan hukum yang ditemukan melalui qiyas.

2. Landasan dalam sunah adalah kisah pembicaraan Nabi dengan Muadz bin
Jabal sewaktu ia diutus Nabi untuk menjadi penguasa di Yaman. Sebagaimana
hadis berikut:
ْ ُ ‫تقيض إذا‬ ْ ْ‫كي‬
‫تاب‬
ِ ‫ك‬
ِ ‫ب‬ ‫ض‬ ِ ‫أق‬ : ‫قال‬ ‫؟‬ ‫قضاء‬ ‫لك‬ ‫ض‬ ‫ر‬
ِ ‫ع‬ ِ ‫ف‬
ُ ّ ُ ْ ْ ْ ِ
‫ فبِسنةِ رسو ِل‬: ‫اب اهللِ ؟ قال‬ ِ ِ ‫يف كت‬ ِ ‫جتد‬ ِ ‫ فإِن لم‬: ‫اهللِ قال‬
‫اب اهلل‬ ِ ‫ت‬ ‫ك‬ ‫يف‬ ‫وال‬ ‫اهلل‬ ‫ل‬ ‫و‬ ُ ِ‫لم جت ْد يف ُس ّنة‬
‫رس‬ ْ ‫ فإ ْن‬: ‫اهللِ قال‬
ِ ِ ِ ِ ِ ْ ِ
ْ ‫رسول اهلل‬ ُ ُ ‫أجته ُد رأي وال آلو فرضب‬ ْ : ‫؟ قال‬
: ‫صدرهُ وقال‬ ِ ِ ِ
ُْ ُ ْ ُ ُ ُ ّ ّ ُْ
ِ‫احلمد ِل الِي وفق رسول رسو ِل اهللِ ل ِما يريض رسول اهلل‬
“Rasulullah SAW bertanya: ... bagaimana cara kamu memutuskan jika datang
kepadamu suatu perkara? Ia menjawab: saya putuskan dengan (hukum) yang
terdapat dalam kitab Allah. Beliau bertanya lagi. Jika tidak kamu dapati (hukum
itu) dalam kitab Allah? Ia menjawab: maka dengan sunah Rasulullah SAW. Beliau
bertanya: jika tidak kamu dapati dalam sunah Rasulullah SAW juga dalam Kitab
Allah? Ia menjawab: saya akan berijtihad dengan pikiran dan saya tidak akan

18 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


lengah. Kemudian Rasul SAW menepuk dadanya dan bersabda: segala puji bagi
Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah SAW yang diridai oleh
Rasululah“ (HR Abu Daud).

C. Al-Qur’an sebagai sumber dan dalil

1. Pengertian Al-Qur’an

Kata “Qur’an” digunakan dalam arti sebagai nama kitab suci yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad SAW. Bila dilafazkan dengan menggunakan alif-lam berarti
untuk keseluruhan apa yang dimaksud dengan Qur’an, sebagaimana firman Allah
dalam surat Al-Isra’ (17): 9.

َ
َ‫ني َّالِين‬
َ ِ ‫ش ال ْ ُم ْؤ ِمن‬
ُ ِ ّ َ‫ه أقْ َو ُم َو ُيب‬ َ ِ ‫آن َي ْه ِدي ل َِّلت‬َ ْ ُ ْ َ ٰ َ َّ
‫إِن هذا القر‬
َ َ ِ َ َ
ً ً ْ ْ ُ َّ َ َّ َ َُْ َ
9‫ات أن لهم أجرا كبِريا‬ ِ ‫ال‬ ِ ‫يعملون الص‬
“Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan
memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh
bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.”

Al-Qur’an disebut juga Al-Kitab sebagaimana tersebut dalam surat Al-Baqarah: 2.

َ َّ ُ ّْ ً ُ َ ْ َ َ ُ َ ْ َ َ
2‫ذٰل ِك الكِتاب ل ريب ۛ فِيهِ ۛ هدى ل ِلمت ِقني‬
“(Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”

Tuhan menamakan Al-Quran dengan Al-Kitab yang di sini berarti yang ditulis,
sebagai isyarat bahwa Al-Quran diperintahkan untuk ditulis. Sedangkan takwa yaitu
memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya
dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya, tidak cukup diartikan dengan takut
saja.

Dengan menganalisis unsur-unsur definisi tersebut di atas dapat dirumuskan, bahwa


Al-Qur’an adalah lafaz bebahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, yang dinukilkan secara mutawatir.

BAB II | Periodisasi Ushul Fiqh dan Sumber Hukum Islam yang Disepakati Jumhur Ulama 19
2. Autentisitas Al-Qur’an

Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa kumpulan wahyu Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW. Yang disebut Al-Qur’an dan yang termuat dalam
mushaf adalah autentik (semuanya benar-benar dari Allah SWT) dan semua wahyu
yang diterima Nabi Muhammad SAW dari Allah SWT melalui malaikat Jibril telah
termuat dalam Al-Qur’an. Keautentikan Al-Qur’an ini dapat dibuktikan dari kehati-
hatian para sahabat dalam membukukan dan memelihara penggandaannya.
Sebelum dibukukan, ayat-ayat Al-Qur’an berada dalam rekaman yang teliti oleh
para sahabat, baik melalui hafalan yang kuat dan setia atau melalui tulisan di tempat
yang terpisah. Ia disampaikan dan disebarluaskan secara periwayatan oleh orang
banyak yang tidak mungkin bersepakat dusta. Bentuk periwayatan seperti itu
dinamai periwayatan secara mutawatir yang menghasilkan suatu kebenaran yang
tidak meragukan. Oleh karena itu, Al-Qur’an bersifat autentik. Demikian juga saat
pembukuan Al-Qur’an di masa Abu Bakar. Pembukuannya dilakukan secara teliti
dengan mencocokkan tulisan yang ada dengan hafalan para penghafal, sehingga
kuat dugaan bahwa semua wahyu telah direkam dalam mushaf. Kemudian hasil
pembukuan itu disimpan secara aman oleh Abu Bakar, lalu dialihkan ke Umar ibn
Khattab dan setelah beliau wafat, pindah ke tangan Hafsah binti Umar (istri Nabi).
Terakhir diadakan pentashihan pada masa khalifah Usman sehingga menghasilkan
satu naskah autentik yang disebut mushaf Imam. Salinan dari naskah (mushaf )
itu dikirimkan ke kota-kota besar lain, sedangkan yang selain dari itu, dibakar.
Mushaf Imam yang dijadikan standar itu dijadikan rujukan bagi penggandaan dan
pentashihan berikutnya, sehingga berkembang dalam bentuk aslinya sampai saat
sekarang. Inilah yang dimaksud Allah SWT dalam firmanNya pada surat Al-Hijr (15):
9 berikut ini:

َ ُ َ َ ُ َ َّ َ ْ ّ َ ْ َّ َ ُ ْ َ َّ
9‫إِنا نن نزلا اذلِكر ِإَونا ل لاف ِظون‬
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya.”

Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al-Quran selama-la-
manya. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa seluruh ayat Al-Qur’an dari
segi lafaz dan wurudnya adalah qath’i (meyakinkan) serta tidak ada keraguan lagi
karena dijamin Allah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Abu Nasr Zed dalam buku
Historisitas Teks Al-Qur’an bahwa Al-Qur’an sesuai untuk generasi sepanjang masa
dan di manapun berada (sholihun likulli zaman wa makan).

20 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


3. Al-Qur’an sebagai sumber hukum fikih

Sebagaimana disebutkan pada firman Allah tersebut di atas bahwa Al-Qur’an


adalah membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-
hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya, maka kedudukan Al-Qur’an
sebagai sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum. Apabila seseorang
ingin menemukan hukum terhadap suatu kejadian, tindakan pertama yang harus
dilakukan adalah mencari jawaban penyelesaiannya dari Al-Qur’an. Sepanjang
hukumnya dapat diselesaikan dengan Al-Qur’an, maka ia tidak boleh mencari
jawaban lain di luar Al-Qur’an. Selain itu, sesuai dengan kedudukan Al-Qur’an sebagai
sumber dari segala sumber hukum. Oleh karena itu, jika akan menggunakan sumber
hukum lain di luar Al-Qur’an, maka harus sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan
tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Hal ini berarti
bahwa sumber-sumber hukum selain Al-Qur’an tidak boleh menyalahi apa-apa yang
telah ditetapkan Al-Qur’an. Kekuatan hujah Al-Qur’an sebagai sumber dan dalil
hukum fikih terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat manusia
mematuhi Allah. Hal ini disebutkan lebih dari tiga puluh kali dalam Al-Qur’an.
Perintah mematuhi Allah itu berarti perintah mengikuti apa saja yang diifirmank-
anNya dalam Al-Qur’an.

D. Sunah sebagai sumber dan dalil

Dalam Al-Qur’an terdapat kata “sunah” di 16 (enam belas) tempat yang tersebar
dalam beberapa surat dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan “jalan yang diikuti”.
Misalnya dalam firman Allah dalam surat Aal-Imran (3): 137 berikut:

ََْ ُ ُ َ ْ َْ ُ ‫س‬ َ ٌَ ُ ْ ُ َْ ْ َ‫قَ ْد َخل‬


‫ريوا ِف الر ِض فانظروا كيف‬ ِ ‫نف‬ ‫ت مِن قبلِكم س‬
َ ّ َ ُْ َُ َ َ َ
137‫كن عق ِبة المك ِذبِني‬
“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunah-sunah Allah, karena itu berjalanlah
kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang
mendustakan.”

BAB II | Periodisasi Ushul Fiqh dan Sumber Hukum Islam yang Disepakati Jumhur Ulama 21
Yang dimaksud dengan sunah Allah di sini ialah hukuman-hukuman Allah yang
berupa malapetaka, bencana yang ditimpakan kepada orang-orang yang mendus-
takan Rasul. Demikian juga dalam surat Al-Isra’ (17): 77:

ً ْ َ َ َّ ُ ُ َ َ َ َ ُ ُّ َ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ َ َ َّ ُ
77‫تد ل ِسنتِنا توِيل‬
ِ ‫سنة من قد أرسلنا قبلك مِن رسلِنا ۖ ول‬
“(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap Rasul-rasul Kami
yang Kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan
Kami itu. Maksudnya: tiap-tiap umat yang mengusir Rasul pasti akan dibinasakan Allah.
Demikian Itulah sunah (ketetapan) Allah SWT.”

Para ulama Islam mengutip kata sunah dari Al-Qur’an dan bahasa Arab yang mereka
gunakan dalam artian khusus yaitu: cara yang biasa dilakukan dalam pengamalan
agama. Kata sunah dalam periode awal Islam dikenal dalam artian seperti ini.

Macam-macam sunah meliputi:

a) Sunah qauliyah
Sunah “qauliyah” adalah ucapan lisan dari Nabi Muhammad SAW yang didengar
dan dinukilkan oleh sahabatnya, namun yang diucapkan Nabi itu bukan wahyu
Al-Qur’an. Al-Qur’an juga lahir dari lisan Nabi yang juga didengar oleh sahabat
dan disiarkannya kepada orang lain sehingga kemudian diketahui orang
banyak. Dengan demikian, menurut lahirnya Al-Qur’an dan sunah qauliyah
sama-sama muncul dari lisan Nabi. Namun para sahabat yang mendengarnya
dari Nabi dapat memisah-misahkan mana yang wahyu dan mana yang hanya
ucapan biasa dari Nabi.

b) Sunah fi’liyyah
Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat, diperhatikan oleh sahabat
Nabi, kemudian disampaikan dan disebarluaskan oleh orang yang mengeta-
huinya. Perbuatan Nabi yang dapat diketahui merupakan penjelasan hukum
untuk umat dan menjadi dalil hukum yang harus dipatuhi oleh umat. Dalam hal
ini tidak ada perbedaan pendapat dari ulama. Semuanya sepakat. Penjelasan
dalam bentuk ini adalah yang dikemukakan Nabi dengan ucapan yang jelas,
seperti sabda Nabi berikut:

22 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


ّ َ ُ ُ ُ ْ َ َ َ َ ُّ َ
‫ون أص ِل‬
ِ ‫صلوا كما رأيتم‬
“Salatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya salat.”

‫وخذ واعين منا سككم‬


“Ambillah dari saya cara-cara kamu beribadah.”

Atau melalui qarinah haliyah. Misalnya datang suatu teks hukum dalam bentuk
lafaz mujmal (umum) yang belum ditakhsis dan dimaksud untuk tujuan khusus,
atau lafaz mutlak (yang dimaksud adalah menurut qayidnya) , yang sebel-
umnya memang belum dijelaskan karena belum diperlukan. Kemudian pada
saat diperlukan penjelasan lebih lanjut, Nabi melakukan perbuatan yang patut
untuk menjadi penjelas. Yang demikian disebut sebagai penjelasan terhadap
suatu hukum yang belum jelas. Hukum yang timbul dari penjelasan Nabi itu
mengikuti hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an, baik dalam bentuk wajib,
nas maupun ibadah. Banyak firman Allah yang menyuruh mengikuti apa-apa
yang diperbuat oleh Nabi seperti firmanNya dalam surat Aal-Imran (3): 31:

ُ َ ْ ْ َ َ ُ َّ ُ ُ ْ ْ ُ
ْ‫كم‬ ُ َّ َ َ َّ َ ُّ ُ ْ ُ ُ ُْ
‫ون يبِبكم الل ويغ ِفر ل‬ ‫ع‬
ِ ِ ‫ب‬ ‫ات‬ ‫ف‬ ‫الل‬ ‫ون‬ ‫ب‬ِ ‫ت‬ ‫م‬ ‫نت‬ ‫ك‬ ‫ن‬ِ ‫ق‬
‫إ‬ ‫ل‬
31‫يم‬ٌ ‫ح‬ ٌ ‫الل َغ ُف‬
ِ ‫ور َّر‬
ُ َ ُُ
ُ َّ ‫ك ْم ۗ َو‬ ‫ذنوب‬
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang."

Allah menjadikan mengikuti perbuatan Nabi sebagai suatu kelaziman dari


mencintai Allah yang mewajibkannya.

c) Sunah taqririyyah
Bila seseorang melakukan sesuatu perbuatan atau mengemukakan suatu
ucapan di hadapan Nabi atau pada masa Nabi, Nabi mengetahui apa yang
dilakukan orang tersebut dan mampu menyanggahnya, namun Nabi diam
dan tidak menyanggahnya, maka hal itu merupakan pengakuan dari Nabi.
Keadaan diamnya Nabi dapat dibedakan pada dua bentuk, yaitu: pertama, Nabi
BAB II | Periodisasi Ushul Fiqh dan Sumber Hukum Islam yang Disepakati Jumhur Ulama 23
mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci Nabi dan dilarang oleh Nabi.
Diamnya Nabi di sini menunjukkan pencabutan larangan sebelumnya; kedua,
Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui
pula haramnya. Diamnya Nabi di sini menunjukkan hukum mubah/ibahah.

Kedudukan sunah sebagai sumber hukum. Dalam kedudukannya sebagai penjelas,


sunah kadang-kadang memperluas hukum dalam Al-Qur’an atau menetapkan
sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Qur’an. Kedudukan sunah
sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-Qur’an, dan
tidak diragukan lagi dan dapat diterima oleh semua pihak, karena memang untuk
itulah Nabi ditugaskan Allah SWT.

E. Rakyu (nalar) sebagai dalil hukum

Penggunaan rakyu sebagai dalil hukum fikih dapat dipahami bahwa pemahaman
hukum fikih dari sumber di luar Al-Qur’an dan sunah (keduanya disebut nas) disebut
pemahaman hukum berdasarkan rakyu atau rasio. Bentuk penggunaan rakyu dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Dilihat dari segi orang yang menggunakannya, secara kolektif. Artinya, hukum
yang ditetapkan didasarkan pada hasil penalaran yang sama atau kesepakatan
pendapat dalam menetapkan hukum. Cara ini disebut dengan ijtihad jama’i,
secara perorangan. Artinya, apa yang dapat dicapai oleh seseorang mujtahid
tentang hukum sesuatu masalah yang sama. Cara penggunaan rakyu dalam
bentuk ini disebut ijtihad fardi.
2. Dilihat dari segi ada atau tidaknya dasar rujukan rakyu itu kepada nas Al-Qur’an
atau sunah. Dalam hal ini terdapat dua bentuk, yaitu rakyu yang merujuk kepada
nas Al-Qur’an atau sunah dan sebaliknya rakyu yang tidak merujuk secara jelas
kepada Al-Qur’an atau sunah. Yang terkuat dan terhindar dari kesalahan adalah
yang merujuk pada Al-Qur’an dan sunah. Penggunaan rakyu dalam bentuk ini
dalam istilah hukum disebut qiyas.

F. Ijmak sebagai dalil hukum fikih

Pengertian “ijmak” dalam istilah teknis hukum atau syar’i terdapat perbedaan
rumusan. Perbedaan itu terletak pada segi siapa yang melakukan kesepakatan itu.
Perbedaan rumusan ini dapat dilihat dalam beberapa rumusan atau definisi ijmak.
Berdasarkan suatu rumusan mujtahid, bahwa ijmak adalah kesepakatan, dan yang
sepakat di sini adalah semua mujtahid muslim, berlaku dalam suatu masa tertentu
sesudah wafatnya Nabi. Di sini ditekankan “sesudah masa Nabi”, karena selama masa

24 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


Nabi masih hidup, Al-Qur’an lah yang menjawab persoalan hukum, karena Nabi
masih hidup, sehingga semua persoalan kembali ke Nabi. Disebutkan secara jelas
dalam definisi ini bahwa kesepakatan itu hanya terbatas dalam masalah hukum
amaliah dan tidak menjangkau kepada masalah akidah. Dari definisi di atas terlihat
unsur pokok yang merupakan hakikat dari suatu ijmak yang sekaligus merupakan
rukun ijmak, yaitu:
1. Saat berlangsungnya kejadian yang memerlukan adanya ijmak, terdapat
sejumlah orang yang berkualitas mujtahid.
2. Semua mujtahid sepakat tentang hukum suatu masalah, tanpa memandang
negeri asal, jenis, dan golongan mujtahid.
3. Kesepakatan itu tercapai setelah terlebih dahulu masing-masing mujtahid
mengemukakan pendapatnya sebagai hasil dari usaha ijtihadnya, secara
terang-terangan, baik pendapatnya itu dikemukakan dalam bentuk ucapan
dengan mengemukakan bahwa fatwa tentang hukum kejadian itu, atau
dalam perbuatan dengan memutuskan hukum dalam pengadilan dalam
kedudukannya sebagai hakim. Penyampaian pendapat itu mungkin dalam
bentuk perorangan yang kemudian ternyata hasilnya sama, atau secara
bersama-sama dalam satu majelis yang sesudah bertukar pikiran ternyata
terdapat kesamaan pendapat.
Dasar hukum ijmak

Di antara dasar hukum ijmak berupa Al-Qur’an, hadis. Di antara dasar-dasar tersebut
Al-Qur’an surat An-Nisaa (4): 59.

ْ‫ول َوأُول ْالَمر‬ َ ُ َّ ُ َ َ َ َّ ُ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ


ِ ُ ِ ‫يا أيها الِين آمنوا أ ِطيعوا الل وأ ِطيعوا الرس‬
ُ ‫الر ُسول إن ك‬
ْ‫نتم‬ َّ َ ُ ُّ ُ َ ْ َ
َّ ‫اللِ َو‬ َ ‫ِنك ْم ۖ فَإن َت َن‬
ْ ‫از ْع ُت‬ ُ
ِ ِ ْ ‫ل‬ ِ ‫إ‬ ‫وه‬ ‫د‬‫ر‬ ‫ف‬ ‫ء‬
ٍ ‫ش‬ ‫ف‬ِْ ‫م‬ ِ ‫م‬
ً َ ُ َ ْ َ َ ٌ ْ َ َ َٰ ْ َّ َ ْ ُ
59‫خ ِر ۚ ذل ِك خي وأحسن تأوِيل‬ ِ ‫تؤم ُِنون بِاللِ َوالَ ْو ِم ال‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”

Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal keadaan atau urusan yang

BAB II | Periodisasi Ushul Fiqh dan Sumber Hukum Islam yang Disepakati Jumhur Ulama 25
bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan
dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam
urusan agama ialah para mujtahid.

Hadis, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

َ َ ََ َُ ُ ََْ َ
...‫ل تت ِمع أم ِت ع خطا ٍء‬

“Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan” ( Hr. Abu Dawud
dan At-Tirmidzi).

Objek ijmak

Objek ijmak ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam
Al-Qur’an dan hadis, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadah
ghairu mahdlah (ibadah yang tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang
muamalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan
urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan hadis.

Kedudukan ijmak sebagai dalil hukum

Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijmak menempati salah satu sumber
atau dalil hukum sesudah “Al-Qur’an” dan “sunah”. Ini berarti ijmak dapat menetapkan
hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada ketetapan
hukumnya dalam “Al-Qur’an” maupun “sunah”. Untuk menguatkan pendapatnya ini
jumhur mengemukakan beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi. Di antara dalil ayat
Al-Qur’an adalah surat An-Nisaa (4): 115.

َ َ ْ َ ْ َّ َ َ ٰ َ ُ ْ ُ َ َ َّ َ َ َ ْ َ َ ُ َّ َُ ََ
‫يل‬
ِ ِ ‫ب‬ ‫س‬ ‫ي‬ ‫غ‬ ‫ع‬ ِ ‫ب‬ ‫ت‬ ‫ي‬ ‫و‬ ‫ى‬ ‫د‬ ‫ه‬‫ال‬ ‫ل‬ ‫ي‬ ‫ب‬ ‫ت‬ ‫ا‬‫م‬ ‫د‬
ِ ‫ع‬ ‫ب‬ ‫ِن‬
‫م‬ ‫ول‬ ‫س‬‫الر‬ ‫ِق‬
ِ ‫ق‬‫ا‬ ‫ش‬ ‫ومن ي‬
ً َ ْ َ َ َ َ َّ َ َ ْ َّ
ُ َ ٰ ََ َ َُ َ ْ ُْ
ّ
115‫المؤ ِمنِني نو ِلِ ما تول ونصلِهِ جهنم ۖ وساءت م ِصريا‬
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam

26 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


jahanam, dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. Allah biarkan mereka
bergelimang dalam kesesatan.” Dalam ayat ini, “jalan-jalan orang mukmin” diartikan
sebagai apa-apa yang telah disepakati untuk dilakukan orang mukmin. Inilah yang
disebut ijmak kaum mukminin.

Ketetapan ijmak

Bila telah berlangsung suatu ijmak maka ia mempunyai kekuatan hukum atau hujah
untuk umat pada masa berlangsungnya ijmak itu dan untuk umat sesudahnya.
Tentang bagaimana caranya kaum muslimin mengetahui bahwa ijmak tentang
suatu hukum telah berlaku dan mengikat untuk mereka, adalah melalui periwayatan
dari satu orang kepada orang lain dan dari satu generasi ke genarasi berikutnya.
Dengan demikian ijmak itu ditetapkan melalui kabar atau periwayatan. Kelompok
ulama yang membolehkan penukilan ijmak melalui penukilan ahad menggunakan
alasan dengan nas dan qiyas. Adapun alasan nas adalah sabda Nabi:

َ َّ ‫واهلل يتوىل‬
َ‫السائر‬ ُ َ ّ ُ ُ ْ َُْ
ِ ‫نن حنكم بالظواه ِِر‬
“Kami menetapkan hukum berdasarkan yang lahir, sedangkan Allah menyukai yang
tersembunyi.”

G. Qiyas sebagai metode penggalian hukum syara’

a) Pengertian qiyas

Secara bahasa diartikan “menyamakan”, “membandingkan” atau “mengukur”, sedang


menurut istilah ulama ushul fiqh qiyas adalah menetapkan hukum suatu kejadian
atau peristiwa yang tidak ada dasar nasnya dengan cara membandingkannya
kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nas karena ada persamaan ilat antara kejadian atau peristiwa itu.
Contoh: minum narkotika sama dengan minum khamar atau yang sejenis miras yang
lain yang jenisnya saat ini beraneka ragam sepanjang memabukkan hukumnya sama
dengan minum khamar (haram), hal ini sesuai dengan firman Allah Al-Maaida (5): 90
berikut ini:

ُ‫اب َو ْالَ ْز َلم‬ َ َ‫س َو ْال‬


ُ ‫نص‬ َ ْ ‫آم ُنوا إ َّن َما‬
ُ ِ ْ‫ال ْم ُر َوال ْ َمي‬ َ ‫يَا َأ ُّي َها َّال‬
َ ‫ِين‬
ِ
BAB II | Periodisasi Ushul Fiqh dan Sumber Hukum Islam yang Disepakati Jumhur Ulama 27
َ ُ ْ ُ ْ ُ َّ َ َ ُ ُ َ ْ َ َ ْ َّ َ ‫ج ٌس ّم ِْن َع‬
ْ ‫ر‬
90‫ان فاجتنِبوه لعلكم تفلِحون‬ ِ ‫ط‬ ‫ي‬ ‫الش‬ ‫ل‬
ِ ‫م‬ ِ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggu-
nakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan apakah mereka akan
melakukan suatu perbuatan atau tidak. Caranya Ialah: mereka ambil tiga buah
anak panah yang belum pakai bulu. Setelah ditulis masing-masing yaitu dengan:
lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan
dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka’bah. Bila mereka hendak melakukan
sesuatu maka mereka meminta supaya juru kunci Ka’bah mengambil sebuah anak
panah itu. Terserahlah nanti apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan
sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. Kalau yang terambil
anak panah yang tidak ada tulisannya, maka undian diulang sekali lagi.

Antara minum khamar dengan minum narkotika dan miras yang sejenis ada
persamaan ilatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya,
sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan ilat itu ditetapkanlah hukum
minum narkotika yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamar.

Contoh lain adalah perbuatan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap
yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta warisan. Sehubungan
dengan ini Rasul SAW bersabda:

ُ َ ُ َْ
(‫القات ِل اليَ ِرث (رواه الرتمذي‬
” (HR Tirmidzi).

Antara kedua peristiwa itu ada persamaan ilatnya, yaitu ingin segera memperoleh
sesuatu sebelum sampai waktu yang ditentukan. Contoh lain: seseorang bekerja
terus menerus tanpa ada manajemen waktu hukumnya makruh, berdasar firman
Allah SWT. QS: Al-Jumu’a (62) ayat 9:

ٰ‫اس َع ْوا إ ِ َل‬ ُ ْ ‫ِلص َلة ِ مِن يَ ْو ِم‬


ْ َ‫ال ُم َعةِ ف‬ َّ ‫آم ُنوا إ َذا نُود َِي ل‬ َ ‫يَا َأ ُّي َها َّال‬
َ ‫ِين‬
ِ
28 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”
َ ََُْ ُْ ُ ْ ُ َّ ٌ ْ َ ْ ُ ٰ َ َ ْ َ ْ ُ َ َ َّ ْ
9‫ذِك ِر اللِ وذروا اليع ۚ ذل ِكم خي لكم إِن كنتم تعلمون‬
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat Jumat, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian
itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazin telah azan di hari Jumat,
maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazin itu dan mening-
galakan semua pekerjaannya. Antara kedua pekerjaan itu ada persamaan ilatnya,
karena itu dapat pula ditetapkan hukum mengerjakan suatu pekerjaan setelah
mendengar azan Jumat, yaitu makruh seperti hukum terus melakukan jual beli
setelah mendengar azan Jumat.

Kesimpulan yang dapat dirumuskan kaitannya dengan qiyas sebagai dalil hukum
syara’ adalah tidak petunjuk yang membolehkan mujtahid menetapkan hukum
syara’ di luar apa yang ditetapkan oleh nas, karena terdapat perbedaan kedudukan
qiyas sebagai dalil hukum syara’. Di samping itu harus memperhatikan tingkatan
qiyas tersebut dari pendapat para mujtahid, di antaranya dalah apakah qiyas sebagai
dalil syara’ atau qiyas digunakan sebagai dalil mutlak serta kelompok yang menggu-
nakan qiyas secara luas dan mudah.

b) Perbuatan sahabat

َ َ ْ ُْ
َّ‫ال ُسنة‬ َ ْ َ َ ّ َ ْ َ َ َ َ َ َ ّ َ ْ َ َ ْ َ َ ْ ْ َ ْ َّ ُ
ٍ ‫ثم افهم فِيماادل ا ِلك مِماوردعليك مِماليس ف القرآن و‬
َ َ َ َ ِ ْ ْ ْ ِ َّ ُ َ َ ْ َ ْ ْ َ َ َ َْ ْ ُُْ َ َّ ُ
‫َثم قاي ِ ِس المو َرِعِندذل ِك واع ِر ِف المثال ثم اع ِمدفِيماترى إِل‬
َ ْ ‫ح ّبهاَإ ِ َل اهلل َوأ ْشبَبهاَب‬
ّ‫الق‬
ِ ِ ِ ِِ ‫أ‬
… “Kemudian pahamilah benar-benar yang dikemukakan kepadamu tentang perkara
yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan sunah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam
keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya,
kemudian berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan
yang paling sesuai dengan kebenaran..."

BAB II | Periodisasi Ushul Fiqh dan Sumber Hukum Islam yang Disepakati Jumhur Ulama 29
H. Metode formulasi hukum Islam

Sebagaimana disebutkan pada sub bab sebelumnya yaitu tentang pengertian


istinbat hukum yaitu usaha dan cara mengeluarkan hukum dari sumbernya. Oleh
karena itu, berikut metode dan cara memahami, menetapkan, dan mengeluarkan
hukum dari sumbernya terdiri dari dua cara sebagai berikut:
1. Memahami hukum dari nas atau teks syara’ secara langsung (tertulis atau
terbaca) atau tidak secara langsung (tersirat dibalik apa yang tertulis atau
terbaca). Pemahaman nas secara tekstual ini disebut menggunakan kaidah
kebahasaan (al-qawaid al-llughowiyyah) atau mengetahui arti teks. Inilah cara
atau metode yang digunakan ulama ushul fiqh sejak awal.
2. Memahami hukum tidak dari nas syara’, baik yang tertulis secara langsung
maupun tidak, tetapi dari jiwa nas syara’ dapat diketahui maksud Allah dalam
menetapkan hukum yang terkandung dalam teks hukum tersebut. Metode atau
cara memahami dan menetapkan hukum menurut cara ini disebut mengikuti
kaidah makna nas (al-qowaid ma’nawiyyah). Cara ini banyak digunakan ulama
ushul fiqh kontemporer.
Dalam hal ini para ahli ushul fiqh menetapkan bahwa pemahaman teks dan
penggalian hukum harus berdasarkan kaidah tersebut. Dalam hal ini mereka
berpegang pada dua hal sebagai berikut:6
a) Pada petunjuk kebahasaan dan pemahaman kaidah bahasa Arab dari teks
tersebut dalam hubungannya dengan Al-Qur’an dan sunah.
b) Pada petunjuk Nabi dalam mengekplorasi sumber hukum syariat dan
penjelasan hadis atas hukum-hukum qurani itu. Dalam hal ini lafaz ‘abai dipahami
dalam ruang lingkup hukum syara’. Sebelum memasuki bahasan tentang “lafaz”
selanjutnya perlu dijelaskan lebih dahulu arti “lafaz” itu sendiri. Kata lafaz berasal dari
bahasa Arab yang secara sederhana diartikan ungkapan atau sebutan atau ucapan
yang tersusun dari huruf-huruf. Bila susunan huruf-huruf itu mengandung arti dan
maksud tertentu dalam satu komunitas, disebut lafaz mustamal (terpakai), seperti
kursi dan makan. Bila susunan huruf tidak mengandung arti dan tidak dipahami oleh
komunitas yang menggunakan bahasa itu, susunan huruf itu disebut “lafaz yang
tidak terpakai” atau lafaz muhmal. Dengan penjelasan tersebut di atas kalimat yang
tersusun dari beberapa kata yang setiap kata itu mengandung arti dan juga tersusun
dari beberapa huruf itu dapat disebut lafaz atau satu lafaz. Satu ayat Al-Qur’an yang
hanya menjelaskan satu maksud tertentu dapat disebut satu lafaz.
Kaidah pemahaman lafaz Arabi mencakup empat segi pokok pembahasan: (a)

6 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2014) hal 2.

30 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


pemahaman lafaz dari segi arti dan kekuatan penggunaannya terhadap maksud
kehendak Allah yang terdapat dalam lafaz itu, (b) pemahaman lafaz dari segi
penunjukannya terhadap hukum, (c) pemahaman lafaz dari segi kandungannya
terhadap satuan pengertian (afrad) dalam lafaz itu, (d) pemahaman lafaz dari segi
gaya bahasa yang digunakan dalam menyampaikan tuntutan hukum (taklifi).

BAB II | Periodisasi Ushul Fiqh dan Sumber Hukum Islam yang Disepakati Jumhur Ulama 31
Bab III

Ijtihad dan Metode Ijtihad

Capaian pembelajaran
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian ijtihad dengan benar.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan dengan benar hukum berijitihad.
3. Mahasiswa mampu menguraikan unsur-unsur pokok dalam berijtihad
(syarat-syarat mujtahid).
4. Mahasiswa mampu menjelaskan dengan benar beberapa metode ijtihad:
(Istihsan, mashlahah mursalah, dan sad-dzari’ah)

A. Pengertian ijtihad

Kata ijtihad diambil dari akar kata dalam bahasa Arab “jahada” bentuk kata
masdarnya ada dua bentuk yang berbeda artinya, yaitu “jahdun” ) dengan arti
kesanggupan atau kemampuan yang di dalamnya terkandung arti sulit, berat, dan
susah. Misalnya firman Allah QS. Al-An’aam (6): 109 berikut:

َّ ُ ‫اءتْ ُه ْم آيَ ٌة َّلُ ْؤم‬ َ ََْ


َ‫ِن ب َها ۚ قُ ْل إ َّنما‬ َ ‫اللِ َج ْه َد أ ْي َمانِه ْم لَئن َج‬
َّ ُ َ
ِ ِ َ َ ِ ِ ِ ‫و ْأقسموا ب‬
َ ْ ْ َ َ َ َّ ُ ْ َّ َ ُ َ‫الي‬
109‫اءت ل يُؤم ُِنون‬ ‫ِند اللِ ۖ َو َما يُشعِ ُرك ْم أن َها إِذا ج‬ ‫ات ع‬
Artinya: “Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa
sungguh jika datang kepada mereka sesuatu mukjizat, pastilah mereka beriman
kepada-Nya. Katakanlah: “Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu hanya berada di sisi
Allah”. Dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mukjizat datang
mereka tidak akan beriman.”

Maksudnya: orang-orang musyrikin bersumpah bahwa kalau datang mukjizat,


mereka akan beriman, karena itu orang-orang muslimin berharap kepada Nabi agar
Allah menurunkan mukjizat yang dimaksud. Allah menolak pengharapan kaum
mukminin dengan ayat ini. Dan firman Allah QS. At-Tawba (9): 79 berikut:

َ َ َّ َ َ َ َّ َ ْ ُ ْ َ َ ّ َّ ُ ْ َ ُ ْ َ َ َّ
ِ ‫عني مِن المؤ ِمنِني ِف الصدق‬
‫ات والِين ل‬ ِ ِ‫الِين يل ِمزون المطو‬
BAB III | Ijtihad dan Metode Ijtihad 33
ْ‫الل مِنْ ُه ْم َول َ ُهم‬
ُ َّ ‫خ َر‬ َ ْ ُ ْ َ ُ َ ْ َ َ ْ ُ َ ْ ُ َّ َ ُ َ
ِ ‫يدون َإِل جهدهم فيسخرون مِنهم ۙ س‬ ِ
َ
ٌ ‫َعذ‬
79‫اب أ ِل ٌم‬
Artinya: “(orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang
mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang
tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka
orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka
itu, dan untuk mereka azab yang pedih.”

Pengubahan kata dari “jahada” atau “jahida” menjadi “ijtahada” dengan cara
menambahkan dua huruf, yaitu “alif” di awalnya dan “ta” antara huruf “jim” dan “ha”,
mengandung enam maksud, satu di antara maksudnya yang tepat adalah untuk
“mubalaghah”, yaitu dalam pengertian “sangat.”

Bila kata “jahada” dihubungan dengan dua bentuk mashdarnya tersebut, pengerti-
annya berarti “kesanggupan yang sangat” atau “kesungguhan yang sangat.” Bila arti
kata (etimologis) ini dihubungkan dengan arti istilah (definitif ) tentang ijtihad, akan
terlihat keserasian artinya karena pada kata ijtihad memang terkandung arti kesang-
gupan dan kemampuan yang maksimal dan harus dilakukan dengan kesungguhan
serta sepenuh hati. Ijtihad menurut istilah teknis hukum terdapat beberapa definisi.
Misalnya Imam al-Syaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fuhuli memberikan definisi
”mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali
melalui cara istinbat." Dalam hal ini ijtihad merupakan usaha besar yang memerlukan
pengerahan kemampuan. Oleh karena itu, berarti bila usaha itu ditempuh dengan
baik tidak sepenuh hati dan tidak bersungguh-sungguh maka tidak dinamakan
ijtihad.

Penggunaan kata syar’i mengandung arti bahwa yang dihasilkan dalam usaha
ijtihad adalah hukum syar’i atau ketentuan yang menyangkut tingkah laku manusia.
Cara menemukan hukum syar’i adalah melalui istinbat yang pengertiannya adalah
mengeluarkan sesuatu dari dalam kandungan lafaz dan mengeluarkan hukum dari
lafaz tersebut. Sementara Ibnu Subki memberikan definisi ijtihad adalah pengerahan
kemampuan seorang fakih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang hukum syar’i.
Penambahan kata fakih di sini dimaksudkan bahwa yang mengerahkan kemampuan
dalam ijtihad adalah seseorang yang telah mencapai derajat tertentu sebagai ahli
fikih (fakih). Sedangkan Saefuddin Al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam, menyem-

34 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


purnakan dua definisi sebelumnya. Maka ijtihad di sini dimaksudkan pengerahan
kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang suatu dari hukum syara’
dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu.

Berangkat dari ketiga definisi tersebut di atas, maka hakikat ijtihad adalah: (a)
pengerahan daya nalar secara maksimal, (b) usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang
telah mencapai derajat tertentu di bidang keilmuan yang disebut fakih, (c) produk
atau yang diperoleh dari usaha ijtihad adalah dugaan yang kuat tentang hukum
syara’ yang bersifat amaliah, (d) usaha ijtihad ditempuh melalui cara-cara istinbat.

Kesimpulannya adalah bahwa ijtihad adalah berasal dari fi’il madhi ijtahada, yang
artinya bersungguh-sungguh menggali hukum Islam yang belum jelas dasar
hukumnya dalam Al-Qur’an dan hadis. Dari sisi metode formasi kaidah-kaidah
hukum, Imam Syafi’i sebagai arsitek ilmu ushul fiqh membatasi ijtihad dengan cara
menggunakan qiyas. Menurutnya, qiyas dan ijtihad adalah dua istilah yang identik.
Menurut doktrin ini, Syafi’i yakin bahwa hukum-hukum syariat semuanya dapat
dicapai melalui medium qiyas.1
B. Hukum berijtihad
Yang dimaksud dengan hukum berijtihad di sini adalah hukum dari orang yang
melakukan ijtihad, baik dari tujuan hukum taklifi maupun wadhi. Karena yang
berwenang melakukan ijtihad adalah orang yang telah mencapai tingkat fakih,
maka mahkum alaihnya (subjek orang yang dikenai hukum di sini adalah orang
yang fakih). Penyimpulan hukum melalui (ijtihad bayani) legal linguistik terutama
dipahami dari pernyataan Al-Qur’an dan hadis. Kajian semantik ini terutama untuk
masalah-masalah yang rinci dalam sumber-sumber material dan berbagai peristiwa
khusus bisa dikategorikan ke dalamnya dipandang semata-mata bersifat linguistik
dan sudah barang tentu berada di luar wilayah penalaran qiyas. Oleh karena ijtihad
bayani (semantik) ditujukan kepada teks-teks syariat untuk memahami kandungan
hukum dimaksud, maka pola ini bertolak dari kaidah-kaidah kebahasaan Arab. Dasar
analisis pola penalaran ini lafaz-lafaz yang digunakan oleh Al-Qur’an dan hadis yang
bertitik tolak dari kaidah kebahasaan.

Secara umum, hukum berijtihad adalah wajib, artinya seorang mujtahid melakukan
ijtihad untuk menggali dan dirumuskan hukum syara’ dalam hal-hal syara’ sendiri
tidak menetapkan.

1. Ibid, Modul Kuliah Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Prodi PAI Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam
Indonesia, pertemuan 4, 2015).

BAB III | Ijtihad dan Metode Ijtihad 35


َ ْ َْ ُ َ ُ َْ َ
ِ‫ول البصار‬ِ ‫فاعت ِبوا يا أ‬
‘‘Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang
mempunyai wawasan.”

Demikian juga disebutkan dalam QS. Ash-Shura (42): 38:

ْ‫ى بَيْ َن ُهم‬ ُ ُ ْ َ َ َ َ َّ ُ َ ََ ْ ّ َ ‫اس َت‬ َ ‫َو َّال‬


ْ ‫ِين‬
ٰ ‫جابُوا ل َِرب ِهم وأقاموا الصلة وأمرهم شور‬
َ ْ ُ
ِ
َ ُ ُ ْ ُ َ ْ َ َ َّ َ
38‫ومِما رزقناهم ينفِقون‬
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka.”

Oleh karena itu, dalam menyikapi kiat berijtihad sekaligus untuk memotivasi
generasi mujtahid berikutnya ada sebuah hadis yang bisa dipakai suatu rujukan,
seperti berikut ini:

ُ‫خ َطأَ فَلَه‬


ْ ََ َ ََْ َ َ َ ْ َ ََُ َ َ ََ ُ
‫كم فأصاب فله أجرا ِن وا ِذا اجتهد فأ‬ َ َ َ َ ْ َ
ِ ‫ا َِذاجتهداحلا‬
ْ ‫أ‬
‫ج ٌر‬
"…apabila seorang hakim berijtihad dan benar hasil ijtihadnya, maka baginya dua
pahala, tetapi kalau salah hasil ijtihadnya maka baginya satu pahala..."

C. Unsur pokok dalam berijtihad dan syarat menjadi mujtahid

Dari gambaran umum tentang ijtihad yang diuraikan di atas bahwa ijtihad merupakan
kegiatan orang yang memenuhi syarat tertentu dalam melakukan penggalian
terhadap hukum Allah dari petunjuk atau dalil tertentu dan merumuskannya dalam

36 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


bentuk hukum tertentu.2 Oleh karena itu, unsur pokok dalam berijtihad adalah: (1)
orang yang melakukan ijtihad dinamakan mujtahid, (2) dugaan kuat tentang hukum
Allah yang terdapat dalam penunjuk yang menjadi sasaran ijtihad, yang disebut
mujtahad. Pembicaraan tentang syarat-syarat berijtihad meliputi kedua unsur pokok
tersebut.

Adapun syarat menjadi mujtahid sebagaimana dikemukakan para ahli ushul fiqh,
mereka memberikan yang berbeda tentang syarat mujtahid. Perbedaan rumusan
itu banyak ditentukan titik pandang yang berbeda tentang mujtahid. Dari rumusan
yang berbeda nampak ada kesamaan di antara mereka dalam memandang dua titik
pada seseorang mujtahid itu, yaitu tentang kepribadiannya dan tentang kemam-
puannya. Untuk kedua hal tersebut para ahli menetapkan syarat atau kriteria tertentu
yang tanpa syarat dan kriteria itu seseorang tidak akan dapat melakukan ijtihad dan
kalaupun ia melakukan ijtihad, maka hasilnya diragukan kebenarannya.

Syarat yang berhubungan dengan kepribadian3 meliputi:


1. Seorang mujtahid harus telah dewasa, karena hanya pada orang yang telah
dewasa dapat ditemukan kemampuan. Berakal atau sempurna akalnya, karena
adanya kemampuan ilmu dan ijtihad itu sendiri berupa karya ilmiah.
2. Syarat kepribadian khusus. Ijtihad merupakan karya ilmiah secara umum.
Namun yang dilakukan dan dihasilkan dalamnya adalah hukum yang
dinisbahkan kepada Allah. Oleh karena itu, diperlukan pada seorang mujtahid
dengan persyaratan khusus yaitu keimanan.

Syarat yang berhubungan dengan kemampuan4 mujtahid. Seseorang harus memiliki


kemampuan akademis untuk meneliti dan menggali hukum syara’ dari dalil-dalilnya
serta merumuskannya dalam formulasi hukum. Untuk dapat mencapai kemampuan
seperti ini diperlukan beberapa syarat yang secara kumulatif harus terdapat pada diri
seorang mujtahid. Syarat-syarat tersebut meliputi:
A. Mengetahui ilmu alat yaitu bahasa Arab, karena sumber pokok hukum syara’
yaitu Al-Qur’an dan sunah berbahasa Arab. Pengetahuan bahasa Arab ini
meliputi ilmu nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, dan badi’. Dengan kemampuan
ini seorang mujtahid akan dapat memahami kehendak Allah dalam Al-Qur’an
secara tepat.
B. Pengetahuan tentang Al-Qur’an dengan baik, karena Al-Qur’an mempunyai

2. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), hal 291.
3. Ibid, hal 292.
4. Ibid, hal 293.

BAB III | Ijtihad dan Metode Ijtihad 37


cakupan yang luas sekali.
C. Memahami hadis Nabi. Di antara fungsi hadis adalah sebagai penjelas Al-Qur’an.
Seorang mujtahid harus mengetahui mana hadis yang berdaya hukum (sunah
tasyri’iyyah) dan yang tidak. Dari sinilah dapat diketahui kandungan hadis yang
wajib diikuti dan mana yang tidak wajib diikuti serta mengetahui hadis yang
tidak boleh diikuti karena merupakan hak khusus bagi Nabi. Ruang lingkup
hadis Nabi luas sekali, meliputi keseluruhan bidang kehidupan. Dalam hal ini
tidak mungkin ilmu seorang mujtahid menjangkau keseluruhannya, sehingga
dibatasi pada hadis-hadis taklifiyyah yang memungkinkannya untuk tidak
menemukan hukum dalam hadis tersebut.
D. Pengetahuan tentang ijmak ulama. Setiap mujtahid harus mempunyai
pengetahuan tentang ijmak ulama. Dengan demikian akan mengetahui kasus
atau peristiwa hukum apa saja yang ketentuan hukumnya telah disepakati
ulama.
E. Pengetahuan tentang qiyas. Setiap yang akan menggali dan menemukan
hukum Allah (berijtihad) harus mempunyai pengetahuan tentang qiyas serta
mengetahui pokok-pokok istinbat yang memungkinkannya membedakan dan
memilih hukum yang paling dekat kepada tujuan syara’.
F. Pengetahuan tentang ushul fiqh. Seorang mujtahid harus mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang ushul fiqh karena ilmu ini mempelajari apa
saja yang diperlukan untuk berijtihad. Dalam ilmu ushul fiqh terdapat petunjuk
melakukan ijtihad.

D. Beberapa metode ijtihad

Telah diterangkan bahwa untuk menemukan dan menetapkan hukum fikih di luar
apa yang dijelaskan dalam nas Al-Quran metode ijtihad yang dimaksud dalam sub
bab ini adalah thariqah, yaitu jalan atau cara yang harus dilakukan oleh seorang
mujtahid dalam memahami, menemukan, dan merumuskan hukum syara’. Langkah-
langkah yang harus ditempuh mujtahid dalam perumusan hukum islam meliputi:5
1. Merujuk pada Al-Qur’an. Bila menemukan dalil atau petunjuk yang umum
dan lahir, maka harus mencari penjelasannya, baik dalam bentuk lafaz khas
yang akan mentakhsiskan, lafaz muqoyyad yang menjelaskan kemutlakannya,
qarinah (petunjuk) yang akan menjelaskan maksudnya. Dalam meneliti ayat
Al-Qur’an yang mengandung hukum perlu dikelompokkan dan dipilah-pilah
antara lafaznya yang dzahir, nas, mufassar, dan muhkam. Perlu dipilah pula
antara penunjukannya secara hakikat atau majaz, antara yang sharih dan

5 Ibid, hal 324.

38 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


kinayah. Kemudian diteliti penunjukannya secara ibarah, isyarah, iqtidhah, dan
dilalah, diperiksa pula mantuq mafhum yang terdapat dibalik mantuq tersebut.
2. Kalau tidak menemukan hukumnya dalam Al-Qur’an, mujtahid melangkah
ketahap berikutnya, yaitu merujuk pada sunah Nabi.
3. Langkah selanjutnya, mujtahid mencari jawabannya dari kesepakatan ulama
sahabat. Bila tidak menemukan hukum, maka menetapkan hukum menurut
apa yang telah disepakati ulama sahabat tersebut.
4. Bila tidak ada kesepakatan ulama sahabat tentang hukum yang dicarinya,
maka mujtahid menggunakan segenap kemampuan daya dan ilmunya untuk
menggali dan menemukan hukum Allah yang ia yakini pasti ada, kemudian
merumuskannya dalam formulasi hukum yang kemudian disebut fikih. Dalam
penulisan buku ini akan diuraikan beberapa metode ijtihad, yaitu istihsan,
mashalih mursalah, istishab, urf, dan sad-dzara’i.

1) Istihsan

Istihsan termasuk salah satu metode ijtihad yang diperselisihkan para ulama,
meskipun dalam kenyataannya, semuanya menggunakan secara praktis. Pada
dasarnya istihsan adalah berbuat sesuatu yang lebih baik. Atau mengikuti sesuatu
yang lebih baik. Bisa juga dikatakan mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena
memang sangat dianjurkan untuk melaksanakannya. Kekuatan istihsan dalam berij-
tihad yaitu istihsan yang diartikan dengan mengamalkan yang terkuat di antara
dua dalil dan lebih berorientasi pada kepentingan umat manusia secara luas. Hal ini
sesuai dengan QS. Az-Zumar (39): 18.

ُ َ َ َ َّ َ ٰ َ ُ ُ َ َ ْ َ َ ُ َّ َ َ َ ْ َ ْ َ ُ َ ْ َ َ َّ
ُ‫اهم‬ ‫الِين ي ُست ِمعون ال ُقول ف َيتبِعون أحسنه ۚ أولئِك الِين هد‬
َ ْ ْ ُ ْ ُ َ َ َ ُ َّ
ِ ‫الل ۖ وأولٰئِك هم أولو الل‬
18‫اب‬
“Bagi orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
di antaranya, mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka
itulah orang-orang yang mempunyai akal.”

BAB III | Ijtihad dan Metode Ijtihad 39


Maksudnya ialah mereka yang mendengarkan ajaran-ajaran Al-Qur’an dan ajaran-
ajaran yang lain, tetapi yang diikutinya ialah ajaran-ajaran Al-Qur’an karena ia adalah
yang paling baik. Demikian juga QS. Az-Zumar (39): 55.

ُ َ ْ َ َ ْ َ ّ ُ ّ َّ ّ ُ ْ َ َ ُ َ َ َ ْ َ ُ َّ َ
ُ‫كم‬ ‫نزل إِلكم مِن ربِكم مِن قب ِل أن يأتِي‬
ِ ‫واتبِعوا أحسن َما أ‬
َ
َ ُُ َْ ْ ُ َ ًََْ ُ َ َْ
55‫العذاب بغتة وأنتم ل تشعرون‬
“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu
(Al-Qur’an) sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak
menyadarinya.”

Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan beralihnya pembuat hukum dari


ketentuan umum kepada ketentuan khusus dalam rangka mewujudkan maslahat
dan menghindarkan kerusakan atau mudarat. Misalnya, larangan Allah yang secara
umum melarang kepada seluruh umat Islam untuk tidak makan bangkai, daging babi.
Karena suatu kondisi yang emergency maka ditetapkan hukum bolehnya memakan
bangkai dan daging babi khusus hanya dalam keadaan terpaksa yang berakibat fatal,
misalnya meninggal. Demikian contoh lain yang setara dengan contoh larangan
tersebut, misalnya wanita melahirkan dengan dokter laki-laki, lebih utamanya
muslimah yang melahirkan atau sakit yang terkait dengan menjaga aurat maka yang
menolong adalah sama-sama perempuan. Apabila menjadikan mudarat maka diper-
bolehkan ditolong atau berobat kepada dokter laki-laki, dan lain sebagainya.

Dalil umum melarang melihat aurat seseorang, akan tetapi bila dalil umum ini tetap
diperlakukan sampai melarang melihat aurat seseorang dalam pengobatan, maka
hal itu akan mengakibatkan hilangnya maslahat yang ingin diwujudkan oleh dalil
itu, karena dalil umum itu ingin memelihara kemaslahatan tahshiniyyat (pelengkap)
yakni kemaslahatan-kemaslahatan manusia dalam hidup yang terdiri atas dloruriyyat
(pokok), hajjiyyat (kebutuhan) dan tahshiniyyat (pelengkap). Larangan melihat dalam
pengobatan menghilangkan kemaslahatan yang pokok (dloruriyyat), karena dengan
tidak mengadakan pengobatan akan mengakibatkan kematian atau hilangnya salah
satu anggota badan atau hilang manfaatnya. Dasar memelihara jiwa adalah pokok,
sedangkan memelihara pandangan adalah pelengkap bagi yang pokok. Oleh karena
itu, pelengkap itu tidak perlu dipertahankan.

40 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


Dalil yang memerintahkan menegakkan salat dengan keumumannya menunjukkan
wajib disempurnakan rukun-rukun dan syarat-syaratnya dalam setiap keadaan.
Apabila dalil umum itu tetap dipertahankan tanpa memperhatikan tujuan
pelaksanaan salat pada keadaan orang sakit yang tidak mampu melaksanakan rukun-
rukun dan syarat-syaratnya secara sempurna maka akan mengakibatkan lepasnya
maslahat yang ingin diwujudkan dengan dalil umum itu. Salat adalah pokok,
sedangkan menyempurnakan rukun-rukun adalah pelengkap bagi yang pokok itu.
Apabila perintah menyempurnakan rukun-rukun itu dapat mengakibatkan tidak
terlaksananya salat atau terlaksananya salat dalam keadaan yang sangat sukar, maka
pelengkap itu tidak perlu diperhatikan. Dan orang “lemah” boleh salat dengan cara
yang mudah dilakukannya sejauh dibolehkan oleh rukhsah (keringanan) dalam
rangka memelihara dasar maslahat yang pokok.

Relevansi istihsan di masa kini dan mendatang adalah seperti beberapa contoh yang
paling dekat dan mendesak untuk dicarikan solusinya dari persoalan kehidupan saat
ini di antaranya:
a. Masalah zakat. Dalil syara’ yang dikemukakan dalam kitab-kitab fikih yang ada
pada umumnya berbicara kaitannya dengan sektor pertanian dan sedikit sekali
yang menyinggung dengan jasa dan produksi. Padahal keduanya akhir-akhir
ini telah berkembang dengan pesat.
b. Pelaksanaan ibadah haji dari tahun ke tahun semakin dirasakan jemaah haji
maupun calon jemaah haji, mengingat antrian pemberangkatan yang cukup
lama. Sehingga sangat fenomenal performa antusias seluruh umat Islam di
dunia melaksanakan ibadah umrah. Bahkan akhir-akhir ini menjadi “tren” bagi
kalangan umat Islam hampir di semua lapisan.
c. Transplantasi organ tubuh untuk kepentingan pengobatan.
d. Bunga deposito bank. Sebagian besar ulama bersikukuh mengharamkan bunga
deposito di bank meskipun memahami kegunaannya untuk investasi. Di antara
upaya meng-qiyaskan bunga bank di sini adalah sepakat dengan mudlarabah.

Kehujahan istihsan

Sebagaimana dijelaskan yang berkaitan dengan dasar-dasar yang universal adalah


dalil-dalil syara’ yang secara kolektif memberi faidah qath’i yang dijadikan sebagai
kaidah istihsan yang dibenarkan oleh syar’i. Contoh-contoh serupa itu menurut
Al-Syatibi, banyak terdapat di dalam Islam. Seperti berhutang (meminjam uang),
pada dasarnya adalah riba, karena hutang itu adalah menukar uang dengan uang
sampai ajal (tempo) yang disepakati bersama. Tetapi pinjaman itu dibolehkan
karena bermanfaat dan dapat membantu orang yang membutuhkan. Kalau pinjam-

BAB III | Ijtihad dan Metode Ijtihad 41


meminjam itu tetap dilarang sesuai dengan hukum dasarnya, hal itu menyusahkan
umat manusia dan dengan hukum dasarnya, hal itu menyusahkan umat manusia
dan menghalangi asas tolong menolong dengan cara ini. Demikian juga jamak salat
magrib dengan isya karena ada masyaqqat (kesukaran) dalam perjalanan musafir.

2) Maslahah mursalah

Seluruh hukum yang ditetapkan Allah SWT atas hambaNya dalam bentuk suruhan
atau larangan adalah mengandung maslahat (kebaikan). Tidak ada satupun hukum
syara’ yang tidak ada maslahatnya. Semua suruhan Allah bagi manusia baik langsung
atau tidak ada manfaatnya, sebagai contoh adalah perintah salat, salah satu
manfaatnya adalah ketenangan rohani dan kebersihan jasmani.

Pengertian maslahat dalam bahasa Arab berarti ”perbuatan-perbuatan yang


mendorong kepada kebaikan manusia.” Artinya setiap segala sesuatu yang
bermanfaat bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan keuntungan
atau kesenangan, atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak
mudarat atau kerusakan. Jadi setiap yang mengandung dua sisi, yaitu menarik atau
mendatangkan kemaslahatan dan menolak menghindarkan kemudaratan. Kesimpu-
lannya adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat, karena mendatangkan
kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan
tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.

Adapun jenis-jenis maslahat, di antaranya adalah:


1. Maslahat “dlaruriah”, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya sangat
dibutuhkan oleh kehidupan manusia. Segala sesuatu yang secara langsung
menjamin keperluan pokok hidup manusia. Dalam hal ini disebut dengan
maslahat tingkat dlaruri (primer). Misalnya Allah melarang murtad untuk
memelihara agama, melarang membunuh untuk memelihara jiwa, melarang
meminum keras/khamar untuk memelihara akal, melarang berzina untuk
memelihara keturunan dan melarang mencuri untuk memelihara harta.
2. Maslahat “hajiyah”, yaitu kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia
tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok, tetapi secara tidak
langsung menopang ke arah maslahat dlaruri. Contoh, menuntut ilmu agama
untuk tegaknya agama, makan untuk kelangsungan hidup, mengasah otak
untuk sempurnanya akal, melakukan jual beli untuk mendapatkan harta.
3. Maslahat“tahsiniyah,” yaitu maslahat yang kebutuhan hidup manusia kepadanya
tidak sampai ke tingkat dlaruri, juga tidak sampai ke tingkat haji, namun
kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan

42 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


dan keindahan bagi hidup manusia. Hal ini juga ada kaitannya dengan lima
kebutuhan pokok manusia (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta).

Implementasi dari ketiga tingkatan maslahat tersebut di atas harus mempertim-


bangkan skala prioritas manfaat dan mudarat serta melihat kondisi riil masing-masing
umat manusia yang melaksanakannya. Oleh karena itu, maslahat mursalah sebagai
metode ijtihad, jumhur ulama sepakat menggunakan maslahat al-mu’tabarah, yaitu
maslahat yang diperhitungkan oleh syar’i, artinya baik langsung maupun tidak
langsung, yang memberikan petunjuk pada adanya maslahat yang menjadi alasan
dalam menetapkan hukum. Namun dalam hal ini tidak menempatkannya sebagai
dalil dan metode yang berdiri sendiri. Ia digunakan karena adanya petunjuk syara’
yang mengakuinya, baik secara langsung atau tidak langsung.
3) Adat atau “urf”

Penyerapan adat dalam hukum Islam pada waktu Islam masuk dan berkembang di
Arab di sana berlaku norma yang mengatur kehidupan bermuamalah yang telah
berlangsung lama yang disebut dengan adat. Adat tersebut diterima dari generasi
sebelumnya dan diyakini serta dijalankan oleh umat manusia dengan anggapan
bahwa perbuatan tersebut adalah baik untuk mereka. Islam datang dengan
seperangkat norma syara’ yang mengatur kehidupan muamalah yang harus dipatuhi
umat Islam sebagai konsekuensi dari keimannya kepada Allah dan RasulNya.
Sebagian adat lama itu ada yang selaras dengan syariat dan ada yang tidak. Oleh
karena itu, harus dipilah/dipetakan mana yang sesuai dengan syara’ dan mana yang
harus ditinggalkan.

“Urf” ialah “sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan
di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan.” Oleh sebagian
ulama ushul fiqh, urf disebut “adat” (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian
istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara urf dan adat, namun dalam
pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian urf lebih umum dibanding dengan
pengertian adat, karena adat di samping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah
biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis,
sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya. Seperti dalam salam
(jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual
beli ialah pada saat jual-beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang
yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang
pada salam, barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual
beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja, tetapi karena telah menjadi

BAB III | Ijtihad dan Metode Ijtihad 43


adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka
salam itu dibolehkan.

Dilihat sekilas seakan ada persamaan antara “ijmak’” dengan “urf”, karena keduanya
sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbe-
daannnya adalah pada ijmak ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan
hukumnya, karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan pendapatnya,
kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada “urf” bahwa telah terjadi
suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seorang atau beberapa orang anggota
masyarakat menetapkan pendapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik
pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakannya pula. Lama-ke-
lamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis
yang telah berlaku di antara mereka. Pada ijmak, masyarakat melaksanakan suatu
pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada urf, masyarakat
mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya
baik.

Macam-macam “urf”6

“Urf” dapat dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari segi sifatnya “urf” terbagi
kepada:
1. “Urf kauli,” ialah “urf” yang berupa perkataan, seperti perkataan “walad,” menurut
bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan anak perempuan.
Tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja.
“Lahmun” (daging), menurut bahasa berarti daging, termasuk di dalamnya
segala segala macam daging, seperti daging binatang darat dan daging ikan,
tetapi dalam percakapan sehari-hari hanya berarti daging bianatang darat saja,
tidak termasuk di dalamnya daging binatang air (ikan).
2. “Urf amali”, ialah “urf” berupa perbuatan. Seperti kebiasaan jual beli dalam
masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad jual beli. Padahal menurut
syara’ sighat jual beli merupakan salah satu rukun jual beli, tetapi karena telah
menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jual beli tanpa sighat jual beli
dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka syara’ membolehkannya.

Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya urf, sekaligus dari segi penilaian ada adat
yang sahih (urf sahih), yaitu yang berulang-ulang dilakukan banyak orang dan tidak

6 Ibid, Modul Kuliah.

44 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


bertentangan dengan agama. Contoh: memberi hadiah kepada orang tua, guru, kiai,
acara halal bi halal, silaturahmi, dan memberikan hadiah/penghargaan atas suatu
prestasi. Dan adat yang fasid (urf fasid). Uraian singkat adalah sebagai berikut:
1. “Urf sahih,” ialah urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan
dengan syara’. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan
akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan
tidak bertentangan dengan syara’.
2. “Urf fasid,”ialah urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan
dengan syara’. Seperti kebiasaan mengadakan sesajen untuk sebuah patung
atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima karena
berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.

Ditinjau dari segi ruang lingkup berlakunya urf, terbagi atas:

1. “Urf ‘am”, ialah urf yang berlaku pada semua tempat, masa dan keadaan, seperti
memberi hadiah (tape recorder) kepada orang yang telah memberikan jasanya
kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu
kita, dan sebagainya. Pengertian memberi hadiah di sini dikecualikan bagi
orang-orang yang memang menjadi tugas kewajibannya memberikan jasa itu
dan untuk pemberian jasa itu, ia telah memperoleh imbalan jasa berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang ada, seperti hubungan penguasa
atau pejabat dan karyawan pemerintah dalam urusan yang menjadi tugas
kewajibannya dengan rakyat/anggota masyarakat yang dilayani, sebagaimana
ditegaskan oleh hadis Nabi Muhammad SAW berikut ini:

ً‫اع ًة فَأَ ْه َدى َ ُل َه ِديَّ ًة َف َقبلَ َها َف َق ْد َأ َب بَابا‬َ ‫َم ْن َش َف َع ألَخيْه َش َف‬
ِ َِ
ِ
ّ ‫َع ِظيْ ًما م ِْن أب ْ َواب‬
‫الر َبا‬
ِ ِ
“Barang siapa telah memberi syafaat (“misalnya jasa” ) kepada saudaranya berupa
satu syafaat (jasa), maka orang itu memberinya satu hadiah lantas hadiah itu dia
terima, maka perbuatannya itu berarti ia telah mendatangi/memasuki satu pintu
yang besar dari pintu-pintu yang besar dari pintu-pintu riba.”

Hadis ini menjelaskan hubungan penguasa/sultan dengan rakyatnya.


2. “Urf khas”, ialah urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan
tertentu saja. Seperti mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh

BAB III | Ijtihad dan Metode Ijtihad 45


bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah
puasa bulan Ramadan, sedang pada negara-negara Islam lain tidak dibiasakan.

Dasar hukum urf

Para ulama sepakat bahwa urf sahih dapat dijadikan dasar hujah selama tidak
bertentangan dengan syara’. Ulama Malikiyyah terkenal dengan pernyataan mereka
bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujah, demikian pula ulama Hanafiyyah
menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujah. Imam Syafi’i
terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau
menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Makkah
(qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan
bahwa ketiga mazhab itu berhujah dengan urf, tentu saja urf fasid tidak mereka
jadikan sebagai dasar hujah.

Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan urf

Di antara kaidah-kaidah fiqhiyyah yang berhubungan dengan urf ialah:

ٌ َ َّ َ ُ ُ َّ َ
‫العادة مكمة‬
“Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum.”

َ ُ َ َ ْ ُ َ ٌ َّ ُ َّ َُ ْ ْ
‫يب العمل بِها‬ ِ ‫اس حجة‬ ِ ‫إِستِعمال انل‬
“Perbuatan manusia yang telah tetap dikerjakannya wajib beramal dengannya.”

َ ْ َ ُّ َ َ َ ْ َ ُ ُّ َ َ ُ َ ْ ُ َ
ِ ‫الينكرتغياألحاك ِم بِتغ‬
‫ياألزما ِن‬
“Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhubungan) dengan perubahan
masa.”

46 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


  Bab IV

Hukum Melakukan Sesuatu yang Belum Diketahui Hukumnya

Capaian pembelajaran
1. Mahasiswa mampu menjelaskan dengan benar, sebab-sebab diwajibkannya
seseorang mengikuti hukum
2. Mahasiswa mampu menunjukkan sebab-sebab diwajibkannya seseorang
mengikuti hukum syar’i
3. Mahasiswa mampu menjelaskan dengan benar bagaimana cara mengetahui
hukum dari suatu perbuatan
4. Mahasiswa mampu menerapkan cara bagaimana adab murid kepada guru atau
adab penanya kepada yang ditanya
5. Mahasiswa mampu menjelaskan kepada siapa harusnya orang awam bertanya
6. Mahasiswa mampu memberikan solusi sikap orang awam ketika terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama
7. Mahasiswa mampu memberikan solusi terkait bagaimana sikap orang awam
ketika seorang mufti atau ulama merubah pendapatnya
8. Mahasiswa mampu mengarahkan sikap orang awam jika tidak ada mujtahid
atau mufti
9. Mahasiswa mampu menjelaskan hukum orang awam bertaklid kepada ulama
yang “serampangan”
10. Mahasiswa mampu menjelaskan hukum orang awam mengambil yang
mudah-mudah ketika terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama
11. Mahasiswa mampu menjelaskan hukum orang awam bermazhab

A. Sebab-sebab diwajibkannya seseorang mengikuti hukum

Para ulama telah menetapkan bahwa sesungguhnya wajib atas seseorang itu untuk
mengetahui hukum tentang apa yang akan dikerjakan atau yang akan diucap-
kannya. Agar perbuatan dan ucapannya ini tidak melanggar aturan agama hingga
terjatuh kepada yang haram. Hal ini telah menjadi ijmak atau konsensus para ulama.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Israa (17): 36 berikut:

ُّ ُ َ َ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ َ ْ َّ َّ ٌ ْ َ َ َ َْ َ َُْ ََ
‫ول تقف ما ليس لك بِهِ عِلم ۚ إِن السمع والص والفؤاد ك‬

BAB IV | Hukum Melakukan Sesuatu yang Belum Diketahui Hukumnya 47


ً ُ ْ َ َُْ َ َ َ َ ُ
36‫أولٰئِك كن عنه مسئول‬
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan
diminta pertanggungjawabannya.”

Potongan ayat ini mengandung suatu larangan mengikuti apa-apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya.

Memahami ayat ini sahabat Nabi, Abdullah bin Abbas berpendapat, “Jangan kamu
katakan (apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya).” Al Aufi
berkata tentang ayat ini, “Jangan kamu sampaikan (kepada orang lain) tentang
apa-apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya.” Mengomentari ayat ini
Qatadah berkata, “Jangan kamu katakan, aku melihat namun kamu tidak melihat, aku
mendengar sedangkan kamu tidak mendengar, aku tahu, sedangkan kamu tidak tahu.
Karena kamu akan diminta pertanggung jawaban atas semuanya itu nanti.”1 As-Sa’di
juga berkomentar, “Jangan kamu ikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengeta-
huannya. Akan tetapi, teguhkanlah (dengan ilmu) setiap apa yang kamu katakan dan
yang kamu kerjakan.”2 Al-Qasimi di dalam tafsirnya menegaskan bahwa yang dilarang
di dalam ayat (QS. Al-Israa (17): 36) itu tidak hanya perkataan saja, tetapi perbuatan
juga termasuk ke dalam kategori yang dilarang.3 Jika ingin amal ibadah yang
dilakukan itu diterima, maka mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengannya
adalah syarat yang tidak boleh ditinggalkan.

Hal ini dipertegas pula oleh sahabat Nabi, Umar bin Khattab ra. Telah diriwayatkan
bahwa sesungguhnya Umar bin Khattab ra. dahulu (ketika menjadi seorang khalifah)
melarang siapa saja yang belum memahami perkara jual beli dalam tinjauan hukum
Islam untuk berjualan di pasar yang ada di wilayah Islam. Beliau (Umar bin Khattab)
berkata, “Jangan berjualan di pasar kami (pasar-pasar masyarakat Islam) kecuali orang
yang telah memahami urusan agama (Islam).” 4 Jika jual beli yang sifatnya hubungan

1 Shafiyurahman Al Mubarakfuri, Al Mishbahul Munir fii Tahdzib Tafsir Ibnu Katsir, (India: al Majlisun,
2008), hal 678.
2 Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Taisirul Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Manan, (Dammam:
Maktabah Faidhil Ilmi, 2013), hal 476.
3 Muhammad Majaluddin Al Qasimi, Tafsir al Qasimi al Musamma Mahasinut Ta’wil, (Kairo: Daarul
Hadits, 2003), hal 479-480.
4 HR.

48 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


antar manusia saja dilarang bila tanpa ilmu, apalagi ibadah yang merupakan
hubungan antara hamba dengan Allah sang pencipta.

B. Sebab diwajibkannya seseorang mengikuti hukum syar’i 5

Salah satu tolak ukur seseorang itu mendapatkan rahmat Allah bukan dari banyaknya
harta yang dimiliki, sehatnya badan yang dirasai, dan tingginya pangkat yang diraih.
Tetapi, tolak ukur seseorang itu mendapatkan rahmat Allah adalah mampunya diri
untuk ikhlas dalam beramal, istikamahnya amal di jalan yang terjal, dan mantapnya
hati serta amal di penghujung ajal.

Hikmah yang terkandung dalam penerapan hukum syar’i ini kadang tampak,
namun kadang tidak tampak. Hal ini tentu ada maksud dan tujuan yang harusnya
tidak membuat “menurun” ibadah yang dilakukan. Karena, bila semua hikmah
dari penerapan hukum itu ditampakkan, maka bisa jadi amal ibadah seseorang itu
hanya tertuju kepada manfaat duniawi saja dan melupakan tujuan utama dari amal
ibadah, yaitu kesuksesan dunia akhirat dengan rida Allah. Bila manusia terjebak
dalam keadaan beramal ibadah untuk mencari keuntungan duniawi saja, maka dia
tidak akan mendapatkan balasan di akhirat dari amal ibadah yang dilakukannya itu
kecuali neraka, walaupun di dunia dia mendapatkan apa yang diinginkannya. Hal ini
sebagaimana firman Allah QS. Hud (11): 15-16 berikut:

َ‫ادلنْ َيا َوزينَ َت َها نُ َو ّ ِف إ َلْه ْم أَ ْع َمال َ ُه ْم فِيها‬


ُّ َ‫ال َياة‬
َ ْ ُ ُ َ َ َ
‫من كن ي ِريد‬
َّ َ ْ َِ ِ َ َّ ِ َ ُ
ْ ُ َ ْ َ َ ٰ َ ُ َ ُْ َ َ ْ َُ
‫خرة ِ إِل‬ِ ‫ أولئِك الِين ليس لهم ِف ال‬15‫وهم فِيها ل يبخسون‬
َ ُ ْ ُ َ ٌ
16‫ِيها َو َبا ِطل َّما كنوا َيع َملون‬ َ ‫ار ۖ َو َحب َط َما َص َن ُعوا ف‬
ِ
ُ َّ‫انل‬
“Siapapun di antara kita yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya (kenik-
matannya), niscaya Kami berikan kepada mereka balasan dari amalan mereka di dunia
dengan sempurna, dan mereka di dunia ini tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang
yang tidak akan memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa
yang telah mereka usahakan (dari amal saleh) di dunia dan akan menjadi merugi apa
yang dilakukan.” 6

5 Hukum syar’i adalah hukum Allah. Hukum yang ditetapkan Allah melalui firman-Nya yang tertuang
di dalam Al-Qur’an dan yang disampaikan oleh Nabi-Nya.
6 QS. Hud (11): 15-16.

BAB IV | Hukum Melakukan Sesuatu yang Belum Diketahui Hukumnya 49


Di antara perhiasan atau kenikmatan dunia adalah wanita, anak keturunan,
kekayaan dari emas, perak, kuda perang, binatang ternak, kebun, dan lainnya.”7
Jika dunia adalah tujuan dari beramal ibadah, maka hal ini tidak akan keluar dari
dua kemungkinan berikut. Pertama, bila amal ibadah yang dilakukan adalah murni
dalam hal ibadah saja seperti salat, puasa, dan yang lainnya. Maka amalnya ini
akan menjadi fasid atau rusak dan tidak dianggap menurut pandangan syariat
agama Islam. Kedua, bila amal ibadah yang dilakukan mengandung nilai ibadah
dan yang lainnya seperti manfaat untuk orang lain, silaturahmi, dan meninggalkan
keharaman. Seperti infak, zakat, silaturahmi atau berkunjung di kediaman saudara
sesama muslim, memberikan salam, dan lainnya, maka amalannya ini dianggap dan
bisa menggugurkan kewajiban, menghapus dosa dan kesalahan, namun dia tidak
berhak mendapatkan balasan pahala di akhirat.

Dengan uraian di atas harusnya kita paham bahwa di antara sebab diwajibkannya
seorang hamba atau manusia mengikuti dan menerapkan hukum syar’i adalah untuk
mendapatkan kemaslahatan, keuntungan, kesuksesan, kemenangan, dan kedamaian
di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, orang yang enggan mengikuti dan mener-
apkan hukum syar’i dalam kehidupan sehari-harinya akan merasakan kemudaratan,
kerugian, kekalahan, kegelapan, dan kekacauan di dunia maupun di akhirat. Tidak
ada pilihan lain kecuali mengikuti dan menerapkan setiap hukum syar’i yang telah
ditentukan syariat agama Islam.

C. Cara mengetahui hukum dari suatu perbuatan

Bagaimana cara mengetahui hukum dari suatu perbuatan? Setiap aktivitas manusia
tidak mungkin berdiri sendiri tanpa ada hukum yang mengatur tata cara penera-
pannya. Bila tidak ada hukum yang mengaturnya, maka setiap orang akan berbuat
seenaknya sesuai dengan kehendak dan pola pikirnya. Ya, karena setiap orang
memiliki pemikiran dan pemahaman yang berbeda-beda. Apapun agama, keper-
cayaan, budaya hingga adat istiadat di suatu tempat tentu berbeda dengan yang
lainnya.

Islam adalah agama sempurna dan penyempurna. Sempurna, karena setiap


kehidupan manusia diatur dan ditata dengan cara yang sesuai dengan situasi dan
kondisi yang ada. Penyempurna, karena Islam datang sebagai penyempurna bagi
beraneka ragamnya aliran kepercayaan terdahulu. Dengan kesempurnaan ini, Islam

7 Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Taisirul Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Manan, (Damam: Maktabah
Faidhul Ilmi, 2013), hal 385.

50 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


memberikan solusi bagi banyak permasalahan yang akan dihadapi manusia. Di
antara solusi yang diberikan Islam untuk mengatasi beberapa permasalah dalam
kehidupan sehari-hari adalah cara yang bijak untuk mengetahui hukum dari suatu
perbuatan yang akan dilakukan.

Di antara usaha yang bisa dilakukan untuk mengetahui hukum dari suatu perbuatan
adalah sebagai berikut;
1. Kondisi ketika seseorang itu mampu berijtihad atau mampu merumuskan suatu
keputusan hukum dari dalil Al-Qur’an atau sunah, biasanya disebut dengan
mujtahid atau mufti. Tentu tidak setiap orang adalah mujtahid atau mufti yang
mampu mengeluarkan hukum dari suatu dalil, mengingat syarat yang tidak
sedikit yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid. Di antara syarat yang harus
dipenuhi untuk menjadi seorang mujtahid adalah;
a. Menguasai ilmu bahasa Arab secara mendalam hingga cabang-cabang
dari pembahasan ilmu bahasa Arab.
b. Memahami ilmu ushul fiqh dengan baik. Karena ilmu ushul fiqh adalah
pondasi sekaligus tiang dari sebuah ijtihad.
c. Mengetahui dan memahami ayat-ayat ahkam yang terdapat di dalam
Al-Qur’an. Salah satu ulama yang menyusun kitab tafsir tentang ayat-ayat
ahkam adalah Muhammad Ali as-Shabuni.
d. Mengetahui dan memahami hadis ahkam secara bahasa maupun secara
syariat atau istilah.
e. Mengetahui permasalahan-permasalahan yang telah menjadi ijmak
ulama, hingga dia tidak mengeluarkan sebuah fatwa yang akhirnya
bertentangan dengan fatwa ualma terdahulu.
f. Mengetahui dan memahami qiyas atau analogi serta syarat-syarat seorang
mujtahid lainnya yang tentunya bukan ruang kita untuk membahasnya di
sini.8
g. Kondisi ketika seseorang itu tidak mampu mengeluarkan ijtihad, atau
bahasa lainnya adalah bukan seorang mujtahid atau mufti (awam).
Maka yang harus dilakukannya adalah bertanya kepada ulama yang
ada di sekitar tempatnya tinggal atau ulama yang bisa dihubunginya.
Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. An-Nahl (16): 43,

َْ َ َُ ْ َ ْ َْ ُّ ً َ َّ َ ْ َ َ ْ ََْ ََ
ِ ‫وما أرسلنا مِن قبلِك إِل رِجال ن‬
‫وح إِل ِهم ۚ فاسألوا أهل‬

8 Wahbah Az Zuhaili, Al Wajiz fii Ushulil Fiqh, (Suriah: Daarul Fikr, Tanpa tahun) hal 234-235.

BAB IV | Hukum Melakukan Sesuatu yang Belum Diketahui Hukumnya 51


َ ََُْ َ ُْ ُ ْ ّ
43‫اذلِك ِر إِن كنتم ل تعلمون‬
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu kecuali orang-orang lelaki
yang Kami beri wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah kamu kepada ahli
zikir (ulama) jika kamu tidak mengetahui.”9

Sahabat Nabi, Ibnu Abbas berpendapat bahwa ahli zikir adalah orang
yang memiliki ilmu syar’i dan orang yang memahami Al-Qur’an.10 Ahli zikir
juga dipahami sebagai ulama menurut ulama tafsir yang lain.11

Di dalam ayat lain Allah berfirman, “Mengapa sebagian dari setiap


golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan
agama mereka dan untuk memberi peringatan kaumnya apabila mereka
telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya,”12 hal ini dipertegas oleh
sabda Nabi Muhammad SAW berikut:

ُ َ ُّ ّ ُ َ َ َّ َ ْ ُ َ ْ َ ْ َ ْ ْ ُ َ َ َ َ
‫الع السؤال‬
ِ ِ ‫أالسألواإِذلم يعلموافإنما ِشفاء‬
Artinya: “Mengapa kalian tidak bertanya jika kalian tidak tahu, karena
sesungguhnya obat dari ketidak tahuan adalah bertanya (kepada para
ulama).”13

D. Adab murid kepada guru atau adab penanya kepada yang ditanya

Bertanya kepada para ulama adalah pilihan utama bagi orang awam untuk
medapatkan hukum dari suatu perbuatan yang akan dilakukan, tidak hanya pilihan
utama, tetapi kewajiban. Hal ini bisa diketahui dengan membaca uraian pada materi
di pertemuan kedua. Bertanya kepada seorang ulama tidak sama dengan kita
bertanya kepada orang biasa, tentu ada adab-adab yang harusnya dipenuhi agar

9 QS. An Nahl (16): 43 dan QS. Al-Anbiyaa (21): 7.


10 Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, Al Jaami’ Liahkamil Qur’an, (Kairo: Darul Hadits, 2010), hal
14/460.
11 Abu Bakr Jabir Al Jazairi, Aisaarut Tafasir, (Madinah Munawarah: Maktabah al Ulum wal Hikam, 2002),
hal 1/762.
12 QS. At-Tawba (9): 122.
13 HR. Bukhari: 6827 dan Muslim: 1697

52 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


proses bertanya berjalan dengan baik dan mendapatkan hasil berupa jawaban yang
baik.

Hal ini biasanya sering terjadi di tengah kehidupan kita sehari-hari. Mungkin ketika
kita mengikuti sebuah kajian dan mengajukan pertanyaan, bisa juga ketika bertanya
langsung bertatap muka kepada ulama yang bersangkutan atau ketika berdiskusi
dan tanya jawab di kelas dalam suatu sesi pelajaran sekalipun. Seorang awam yang
minim ilmu syar’i biasanya mengedepankan akal dan persangkaannya ketika mengh-
adapi situasi-situasi tertentu. Tentu hal ini berbeda dengan para ulama yang akan
menggunakan ilmu yang diketahui dan dipahaminya ketika menghadapi situasi dan
kondisi tertentu itu. Hingga tutur kata dan gerak tubuh pun kadang tidak terkontrol
ketika orang awam berhadapan dengan para ulama.

Untuk mencapai tujuan yang maksimal, yaitu ilmu yang bermanfaat ketika orang
awam bertanya kepada para ulama, maka hendaknya orang awam memenuhi
adab-adab bertanya kepada seorang ulama. Berikut ini adalah beberapa adab yang
harus dipenuhi seorang awam ketika hendak bertanya kepada ulama.
1. Orang awam hendaknya menjaga berbagai macam aspek adab ketika bertanya
kepada seorang ulama. Di antara adab-adab itu adalah; memberikan salam
penghormatan kepadanya, duduk di depannya, tidak menunjuk dengan
tangan ke arah mukanya, jangan mengisyaratkan sesuatu dengan mata
(tidak suka atau keheranan yang ditandai dengan pandangan mata yang
tiba-tiba berbeda), tidak bertanya terlalu banyak, jangan membantunya ketika
menjawab kecuali diminta atau dibutuhkan, jangan mendesaknya ketika dia
sedang malas, jangan mengoreksinya ketika dia enggan, jangan bergibah di
dekatnya, jangan mencari-cari kesalahannya, jika ia keliru maka terimalah
alasannya, dan jangan membandingkannya dengan ulama yang lain.14 Ini
beberapa di antara banyak adab yang harusnya dipenuhi seorang awam ketika
bertanya kepada seorang ulama.
2. Menghormatinya dengan cara mengangkat kedudukannya. Seperti
menyampaikan pujian yang pantas kepadanya sebelum melontarkan
pertanyaan, atau menyampaikan kekurangan diri sebagai seorang awam
di hadapannya. Maka seyogyanya orang awam tidak melakukan dan
mengucapkan apa-apa yang biasa di kesehariannya. Misalnya bertanya kepada
seorang ulama namun menyampaikan hal-hal yang tidak bermanfaat, atau
memanggil dengan panggilan keseharian, dan hal lain yang semisal dengan

14 Ransi Mardi Indragiri, Belajar di Majelis Ilmu, (Yogyakarta: Grafika Indah, 2016), hal 80 hal ini
sebagaimana perkataan Ali bin Abi Thalib ra.

BAB IV | Hukum Melakukan Sesuatu yang Belum Diketahui Hukumnya 53


itu. Jika Allah saja memuliakan dan mengangkat derajat para ulama, lalu
mengapa seorang awam tidak mengetahui hal ini hingga tidak memberikan
penghormatan kepada ulama.15
3. Orang awam hendaknya tidak bertanya kepada seorang ulama ketika ia sedang
gundah, sedih, marah, dan sibuk. Karena hal ini akan menyebabkan ulama
tersebut tidak fokus dalam memberikan jawaban, dan bila diberikan jawaban
cenderung jawaban yang diberikan tidak tersampaikan dengan maksimal. Maka
bertanyalah ketika kondisi yang memungkinkan untuk bertanya, biasanya jika
di sebuah kajian atau di dalam proses pengajaran disediakan waktu khusus
untuk bertanya.
4. Sebagian ulama berpendapat bahwa orang awam hendaknya tidak menanyakan
tentang dalil dari jawaban yang disampaikan oleh ulama tesebut. Karena bisa
saja ulama tersebut lupa dalilnya atau pertanyaan seperti ini terkesan ada
rasa tidak percaya dari seorang awam kepada ulama. Selain itu, orang awam
juga tidak mengerti bagaimana aspek pendalilan terhadap suatu hukum.
Namun sebagian ulama yang lain berpendapat bolehnya menanyakan dalil
dari jawaban yang diberikan jika dimaksudkan meminta petunjuk bukan
memaksa.16

Adab-adab ini penting untuk diketahui dan diamalkan agar keberkahan majelis yang
dilangsungkan bersama para ulama dapat diraih. Keberkahan ini pulalah yang akan
menentukan kelangsungkan kita dalam beragama Islam.

E. Kepada siapa harusnya orang awam bertanya

Tidak semua orang layak untuk dijadikan tempat bertanya ketika mendapatkan
sesuatu yang belum diketahui hukumnya. Karena setiap orang atau dalam hal ini
adalah ulama memiliki pengetahuan dan keahlian yang berbeda-beda. Dalam
masalah duniawi saja kita tidak boleh bertanya kepada orang yang bukan ahlinya.
Seperti bertanya kedokteran kepada ahli perikanan, bertanya dagang kepada
penjaga gunung merapi, dan lain sebagainya. Tentu jawaban yang diberikan akan
sangat relatif dan tidak memiliki standar kebenaran yang baku. Jika dalam masalah
duniawi yang dampaknya di dunia saja kita tidak boleh bertanya kepada yang bukan
ahlinya, apalagi dalam masalah akhirat yang dampaknya di dunia dan di akhirat.

15 QS. Al-Mujaadila (58): 11 “Sesungguhnya Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan
orang- orang yang diberikan ilmu kepada mereka beberapa derajat.”
16 Said bin Nashir bin Abdul Aziz As Syasyri, Al Qowaidul Ushuliyah wal Fiqhiyah al Muta’alliqah bil Muslim
Ghairul Mujtahid, (Riyadh: Darul Isyiliya, 2003), hal 21.

54 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


Tidak semua orang awam tahu kepada siapa harusnya bertanya. Mungkin kurangnya
buku-buku Islam yang membahas masalah ini adalah salah satu penyebab yang
tidak bisa kita remehkan. Selain itu, kurangnya perhatian para dai panggung untuk
menyampaikan hal ini kepada umat juga menjadi penyebab mengapa umat atau
orang awam tidak tahu harus bertanya kepada siapa dalam masalah agama Islam.
Sebagai solusinya adalah beberapa syarat yang harus dimiliki ulama untuk dijadikan
tempat bertanya. Di antara syarat-syarat itu adalah sebagai berikut;
1. Hendaknya orang awam bertanya kepada seorang ulama yang mengetahui ilmu
secara luas dan mendalam dalam masalah agama dan telah mengamalkannya,
walau tidak secara sempurna. Seperti permasalah ibadah dan muamalah
(interaksi) sehari-hari, maka harusnya hal seperti ini ditanyakan kepada ahli fikih
yang memiliki ilmu yang sangat luas tentang itu. Permasalahan-permasalahan
hadis Nabi hendaknya ditanyakan kepada ulama hadis yang mengetahui
permasalahan ini secara mendalam. Permasalahan tafsir Al-Qur’an hendaknya
ditanyakan kepada ulama tafsir yang memang fokus mendalami tafsir Al-Qur’an.
Dan permasalahan-permasalahan lain semisalnya.
2. Hendaknya orang awam bertanya kepada seorang ulama yang telah
ditetapkan atau diangkat untuk menjadi mufti atau tempat bertanya dalam
masalah agama Islam di suatu negara atau kota. Seperti Abu Yusuf (seorang
ulama mazhab Hanafiyah dan sahabatnya Imam Abu Hanifah) yang diangkat
khalifah ketika itu untuk menjadi mufti atau hakim agung. Hal ini juga terjadi
pada masa dinasti Abasiyah, Turki Utsmaniyah hingga hari ini. Di Arab Saudi
ada al-lajnah daimah lil ifta’ atau di Indoneisa dikenal dengan MUI. Lembaga
ini adalah wadah berkumpulnya ulama Arab Saudi untuk membahas hukum
Islam untuk warga Arab Saudi dan sekitarnya. Di Indonesia kita kenal MUI
atau Majelis Ulama Indonesia yang di dalamnya berkumpul para ulama untuk
membahas hukum-hukum yang berkaitan dengan permasalahan keseharian
yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Turki, Mesir, Malaysia hingga Amerika
memiliki lembaga semacam MUI.
3. Hendaknya orang awam bertanya kepada ulama yang dijadikan rujukan oleh
ulama lainnya, apakah perkataan maupun fatwa-fatwanya. Jika para ulama
telah mempercayai seorang ulama untuk dijadikan rujukan atau tempat
bertanya, maka orang awam seyogyanya bisa menjadikan ulama tersebut
(yang dijadikan rujukan oleh ulama lain) sebagai tempat bertanya dalam
masalah-masalah keseharian yang belum diketahui hukumnya. Karena ulama
seperti ini tidak akan memberikan jawaban asal-asalan yang bisa menjadikan
penanya bertambah bingung. Dia akan sangat hati-hati dan tidak sungkan
untuk menjawab tidak tahu jika memang tidak tahu. Kita bisa melihat Imam
As-Syafi’i yang telah menjadi mufti atau tempat bertanya masyarakat pada

BAB IV | Hukum Melakukan Sesuatu yang Belum Diketahui Hukumnya 55


masa itu pada usia beliau, yaitu 19 tahun (ada yang mengatakan 12 tahun). Hal
ini dikarenakan banyaknya ulama yang bertanya kepadanya dan menjadikan
Imam Syafi’i sebagai rujukan dalam berbagai masalah.
4. Hendaknya orang awam bertanya kepada ulama yang telah tersebar luas di
masyarakat sebagai seorang ulama yang dijadikan tempat bertanya oleh orang
banyak. Ulama seperti ini setidaknya lebih menyelamatkan dari pada bertanya
kepada seorang ulama yang tidak jelas keilmuannya, tidak jelas pendapat ulama
lain terhadapnya, tidak jelas siapa yang mengangkatnya menjadi mufti, dan
sebagainya. Jika orang banyak mempercayainya dan menjadikannya tempat
bertanya, tentu ulama ini bukanlah ulama sembarangan yang mendapat
pengakuan begitu saja dari masyarakat luas. Pada masa tabiin atau generasi
setelah generasinya para sahabat Nabi, seorang ulama menjadi rujukan dan
tempat bertanya karena banyaknya orang yang bertanya kepadanya. Kejadian
seperti ini berkelanjutan bahkan mengakar di beberapa wilayah yang mayoritas
penduduknya muslim hal ini masih terjadi hingga hari ini.
5. Hendaknya orang awam bertanya kepada seorang ulama yang karakter dan
kepribadiannya menunjukan bahwa dirinya adalah tempat yang baik untuk
bertanya. Hal ini bisa kita lihat dari praktik ibadah sehari-hari yang dilakukannya
apakah istikamah atau tidak, cara berinteraksi dengan orang lain, cara bergaul
dengan orang-orang di sekitarnya, cara berpakaian dan perhatiannya yang
besar kepada ilmu (mempelajarinya dan menyebarkannya). Jika begitu,
tahanlah dirimu untuk bertanya kepada seorang yang katanya ulama namun
biasa meninggalkan salat, biasa tidak puasa wajib di bulan Ramadan, biasa
membuka aurat di tengah masyakat umum, biasa berkata-kata kasar dalam
pergaulannya, biasa melakukan dosa walaupun dosa itu adalah dosa kecil dan
ulama yang tidak terlalu peduli kepada ilmu (memberi kajian rajin, namun
mempelajari ilmu jarang bahkan tidak sempat sama sekali).

Jika salah satu dari lima syarat di atas dipenuhi oleh seorang ulama, maka hendaknya
orang awam bertanya kepada ulama tersebut. Imam Ibnu Hajar dan al-Baghawiy
berpendapat bahwa pahala yang diberikan kepada hakim (mufti) yang keliru dalam
fatwanya lantaran karena usahanya dalam menemukan hukum yang ditanyakan. Jika
hakim atau ulama tersebut menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya tanpa
berusaha mencari jawaban dan salah, maka ulama tersebut tetap berhak baginya
dosa.17 Jika ulama salah dalam memberikan jawaban, lalu bagaimana dengan orang

17 Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari fii Syarhi Shahih Bukhari, 13/318-319 dan al Baghawiy, Syarhus
Sunnah, 10/117-118.

56 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


awam yang mengamalkan jawaban yang salah itu? Ya, dia tidak akan mendapatkan
dosa selagi belum ada fatwa yang benar datang kepadanya.

F. Sikap orang awam ketika terjadi perbedaan pendapat di kalangan


ulama

Jika terjadi perbedaan pada masa sahabat Nabi, masa tabiin, masa tabi’ut tabi’in,
empat imam mazhab dan masa ulama-ulama setelah mereka itu, tentu perbedaan
pendapat itu akan bertambah banyak pada saat ini yang informasi tersebar begitu
luas dan cepat. Di satu sisi hal ini mengandung banyak manfaat, namun di sisi
lain tentu saja hal ini mengakibatkan tidak sedikit orang awam menjadi bingung
bagaimana harusnya bersikap. Hingga tidak sedikit pula orang awam yang menjadi
malas dan terkesan tidak ingin tahu akan Islam karena banyaknya perbedaan
pendapat di kalangan ulama.

Bagaimana harusnya orang awam menyikapi perbedaan pendapat di kalangan


ulama. Ya, mengikuti tuntunan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat serta para
ulama setelah mereka adalah jalan yang paling menyelamatkan. Karena perbedaan
pendapat ini telah ada di zaman Nabi dan para sahabat hingga masa ulama-ulama
terdahulu, dan mereka telah memberikan contoh bagaimana harusnya bersikap
terhadap perbedaan pendapat.

Di antara tahapan yang bisa dilakukan oleh orang awam saat mendapatkan
perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah:
1. Hendaknya orang awam mengikuti pendapat ulama yang didukung oleh
ulama-ulama lainnya. Artinya, pendapat dalam suatu hukum tidak berasal
dari seorang ulama saja, melainkan dari banyak ulama, bahkan pendapat
ulama terbanyak bila dibandingkan dengan pendapat lainnya yang berbeda.
Contohnya adalah perbedaan pendapat ulama tentang bersentuhannya lawan
jenis yang bukan mahram tanpa perantara (kulit bertemu kulit). Mayoritas
ulama (Mazhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabalah) berpendapat bahwa hal
itu tidak membatalkan wudu bila tidak dengan syahwat, alias bersentuhan tidak
sengaja. Sedangkan pendapat Mazhab Syafi’iyah cenderung kepada batalnya
wudu bila bersentuhan lawan jenis yang bukan mahram tanpa perantara.
Dalam konteks ini pendapat mayoritas ulama sebaiknya menjadi pilihan bagi
orang awam. Dalam konteks lain tentu hal ini berbeda.
2. Hendaknya orang awam mengikuti pendapat ulama yang lebih kuat bila
ditopang petunjuk (Al-Qur’an, hadis, pendapat para sahabat) yang valid.
Disebabkan berpegang dengan pendapat yang berdasar kepada dalil kuat

BAB IV | Hukum Melakukan Sesuatu yang Belum Diketahui Hukumnya 57


akan lebih mendekatkan kepada kebenaran. Namun hal ini tidak bisa dilakukan
orang awam sendirian tanpa bantuan ulama yang mengurai permasalahan
ini. Contoh, dalam permasalahan di atas (di poin nomor satu), jika melihat
dalil yang digunakan, pendapat mazhab Syafi’iyah lebih kuat karena berdalil
dengan QS. Al-Maaida (5) ayat ke-6. Sedangkan pendapat mayoritas ulama
berdalil kepada hadis sahih dari istri Nabi, Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim. Namun setelah melakukan investigasi yang mendalam
dengan membaca penjelasan-penjelasan para ulama dalam karya-karya
mereka, didapatkan bahwa pendalilan mazhab Syafi’iyah lemah dibandingkan
pendapat mayoritas ulama. Mazhab Syafi’iyah berdalil dengan surat Al-Maaida
(5) ayat ke-6, mereka memahami kata laamastumun nisa’ maksudnya adalah
laki-laki bila menyentuh wanita. Namun sahabat Nabi, Ibnu Abbas memiliki
pandangan lain dalam masalah ini, Ibnu Abbas memahami kata laamastumun
nisa’ sebagai jimak atau senggama (hubungan suami istri).18 Dalam konteks
ini, lagi-lagi pendapat mayoritas ulama lebih kuat bila dilihat dari pembahasan
para ulama di dalamnya.
3. Hendaknya orang awam mengikuti pendapat yang lebih afdal di antara
pendapat-pendapat ulama yang berbeda. Pendapat yang lebih afdal di sini
maksudnya adalah pendapat yang lebih sesuai dengan situasi kondisi yang ada
di masyarakat tertentu, selagi pendapat itu sesuai dengan tuntunan syariat.
Mengapa lebih afdal, karena dapat menjaga kemaslahatan umat dan mencegah
umat dari fitnah serta perpecahan. Hal ini telah diindikasikan oleh Nabi
Muhammad SAW sebagaimana beliau bersabda, “Wahai Aisyah, kalau bukan
karena kaummu baru lepas dari kekufuran, sungguh aku akan menghancurkan
Ka’bah dan menjadikannya dua pintu, satu pintu untuk masuk dan pintu lain untuk
keluar.”19 Sebenarnya ada dua pendapat yang sama-sama baik di mata Nabi
Muhammad SAW, namun beliau memilih mengalah dan mengurungkan niatnya
yang mulia demi kemaslahatan umat ketika itu. Di dalam hadis lain istri Nabi,
Aisyah juga pernah berkata, “Dulu kami diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW
untuk mendudukan manusia sesuai dengan kedudukannya (masing-masing).”20
Sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib juga pernah berkata, “Berbuatlah dan bertutur
katalah di tengah manusia sesuai dengan tingkat pemahaman mereka, apakah
kamu suka mereka mendustakan Allah dan RasulNya (bila kamu berbuat dan
bertutur kata tidak sesuai dengan tingkat pemahaman mereka).”21 Pernyataan

18 Wahbah Az Zuhaili, Al Wajiz fii Fiqhil Islami, (Damaskus: Daarul Fikr, 2005), hal 1/88.
19 HR. Bukhari: 1/224.
20 HR. Muslim: 13/191.
21 HR. Bukhari: 1/225.

58 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


ini dipertegas oleh perkataan Abdullah bin Mas’ud, “Tidaklah kamu melakukan
suatu perbuatan atau mengatakan suatu perkataan kepada suatu masyarakat,
sementara akal (pemahaman) mereka tidak sampai (kepada apa yang kamu
sampaikan), kecuali itu akan menjadi fitnah di tengah mereka.”22 Pada poin
yang ketiga ini, orang awam dituntut untuk mengambil pendapat yang sesuai
dengan kondisi masyarakat setempat di mana dia tinggal dan berinteraksi di
sana.

Di antara langkah-langkah di atas, kami (penulis) lebih menganjurkan orang


awam untuk memakai langkah yang ketiga. Mengapa, karena Nabi Muhammad
SAW bersabda, “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan,
maka apabila kalian mendapatkan perbedaan (di kalangan ulama) hendaklah
kalian mengikuti sawaadul a’zhom (mayoritas ulama umat Islam). Barang siapa yang
menyelisihinya (sawaadhul a’zhom), maka akan terasing ke neraka.”23 Hadis tentang
sawaadhul a’zhom juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan
versi yang berbeda.24

Kata sawaadul a’zhom dipahami oleh para ulama seperti Imam at-Thabari dan yang
lainnya dengan mayorits ulama atau mayoritas umat Islam. Mayoritas ulama atau
mayoritas umat Islam yang mana? Mayoritas ulama atau mayoritas umat Islam yang
tunduk, patuh, dan taat kepada Allah.

G. Sikap orang awam ketika seorang mufti atau ulama merubah


pendapatnya

Zaman yang serba canggih seperti saat ini informasi tersebar begitu luas dan cepat.
Tentu banyak orang Islam dengan mudah mengakses materi-materi tentang Islam
yang dibutuhkan dalah kehidupan keseharian. Namun, seringkali orang awam
menemukan ulama yang berganti-ganti pendapatnya dalam suatu permasalahan.
Apa yang seharusnya dilakukan oleh orang awam? Apakah dia tetap mengamalkan
pendapat yang pertama dari ulama tersebut, atau dia amalkan pendapat yang baru.

Pembahasan ini tidak terlepas dari dua topik pembahasan:


1. Orang awam telah mengamalkan pendapat dari seorang ulama, kemudian
ulama tersebut merubah fatwanya. Dalam kondisi seperti ini, orang awam

22 HR. Bukhari: 3/322 dan Muslim: 1/50.


23 HR. Ibnu Majah: 3950.
24 HR. Bukhari: 5705, 5752 dan Muslim: 220.

BAB IV | Hukum Melakukan Sesuatu yang Belum Diketahui Hukumnya 59


tetap boleh mengamalkan fatwa yang pertama dari ulama tersebut, dan tidak
ada kewajiban baginya untuk mengikuti fatwa yang baru. Karena dalam sebuah
kaidah yang umum, “Suatu ijtihad atau fatwa (pendapat) tidak bisa dihapus
dengan ijtihad (yang baru).”25
2. Orang awam belum mengamalkan fatwa yang pertama dari seorang ulama,
kemudian ulama tersebut merubah fatwanya. Maka dalam kondisi seperti ini
orang awam hendaknya mengamalkan fatwa yang baru dari ulama tersebut,
tanpa mengamalkan fatwa yang pertama.26

Dengan mengetahui pembahasan ini diharapkan orang awam tidak bingung


terhadap perubahan fatwa dari seorang ulama. Orang awam juga sebaiknya tidak
mencela ulama yang merubah fatwanya, karena tidak manusia yang sempurna,
maka wajar bila seorang ulama merubah fatwanya. Hal ini dikarenakan ilmu yang
berkembang setiap saatnya.

H. Sikap orang awam jika tidak ada mujtahid atau mufti


Walaupun arus informasi tersebar begitu luas dan cepat, tetap saja ada orang-orang
yang tidak mendapatkan pemahaman tentang Islam dengan benar. Contohnya
saudara kami (penulis) yang tinggal di Cina, muslim adalah minoritas disana, tapi
semangat ibadahnya sangat kuat dan membara. Namun anehnya saudara kami ini
hanya salat dua kali dalam sehari semalam. Ketika mengetahui salat wajib itu lima
kali sehari semalam saudara kami ini kaget dan merasa baru tahu. Di tahun 2016,
adik kami mengajar baca Al-Qur’an dan fikih ibadah harian seorang ibu-ibu tua. Yang
membuat kami terkejut adalah ibu ini selama hidupnya ketika salat selalu membaca:

َ ْ ْ ْ َ ْ َْ َ ُْْ َ َْْ َ ْ ْ ّ َ
‫ار ُزق ِن َواه ِد ِن َواعف ِِن‬‫ب اغ ِفر ِل وارح ِن واجب ِن وارفع ِن و‬
ِ ‫ر‬
َ ُْ
‫َواعف ع ِّن‬
“Rabbighfirlii wajburnii warfa’ni warzuqni wahdinii wa’aafinii wa’fu’annii.”

Ketika tahiyat awal. Ya, ini sedikit contoh derasnya arus informasi tidak berpengaruh

25 Muhammad Shidqi bin Ahmad Al Burnu, Al Wajiz fii Idhohi Qawaidhul Fiqhiyah al Kulliyah, (Riyadh:
Muassasah ar Risalah, 1403 H), hal 259.
26 Said bin Nashir As Syasyri, Al Qowa’idul Ushuliyah wal Fiqhiyah al Muta’alliqoh bil Muslim Ghairul
Mujtahid, (Riyadh: Darul Isybiliyah, 2003), hal 25.

60 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


kepada beberapa orang tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari sudah barang tentu
orang awam akan menghadapi perma­salahan-permasalahan yang tidak mungkin
ulama selalu ada di sisinya. Ada kalanya orang awam akan menghadapi suatu perma-
salahan sementara ulama tidak ada. Lalu, apa yang harusnya dilakukan oleh orang
awam?

Berikut adalah beberapa usaha yang bisa dilakukan oleh orang awam untuk
mengatasi situasi kondisi seperti ini. di antaranya adalah:
1. Hendaknya orang awam menganalogikan atau memisalkan permasalahan yang
dihadapinya dengan permasalahan yang hukumnya berlaku (di masyarakat
itu) sebelum adanya syariat Islam. Misalnya adalah hukum memakan bekicot,
bila orang awam tidak mengetahui hukum memakannya, maka hendaknya
dia bertanya kepada masyarakat setempat tentang hukum memakan bekicot.
Bila dalam masyarakat itu dibolehkan memakan bekicot, maka tidak apa-apa
baginya untuk makan bekicot tersebut. Namun, bila nantinya diketahui akan
larangan memakan bekicot, dia harus menahan diri untuk tidak memakan
bekicot.
2. Hendaknya orang awam menganalogikan atau memisalkan permasalahan
yang dihadapinya dengan permasalahan yang hukumnya pernah dikeluarkan
oleh ulama sebelumnya. Contohnya adalah narkoba, bila orang awam tidak
mengetahui tentang hukum menggunakan narkoba yang memabukkan,
hendaknya dia bertanya kepada para ulama tentang menggunakan segala
sesuatu yang memabukkan. Bila dilarang maka tinggalkan, namun bila
diperbolehkan maka silahkan pergunakan.
3. Hendaknya orang awam bertakwa semaksimal kemampuannya ketika tidak
mendapatkan ulama dalam permasalahan yang dihadapinya. Hendaknya
orang awam meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat bahkan
mendatangkan bahaya bila tidak diketahui hukumnya. Usaha yang dilakukan
hanya semaksimal kemampuan saja, karena Allah tidak pernah membebani
seorang hamba (manusia) di luar kemampuannya. Sebagaimana Allah
berfirman, QS. Al-Baqara (2): 286:

ْ ‫الل َن ْف ًسا إ َّل ُو ْس َع َها ۚ ل َ َها َما َك َس َب‬


َ‫ت َو َعلَيْ َها ما‬ َ ُ َ
ُ َّ ‫ك ّل ِ ُف‬ ‫لي‬
َ َ َ َّ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ َ َّ ِ َ
َْ َُ َ َّ َ ْ َ َ َْ
‫سينا أو أخطأنا ۚ ربنا ول‬ ِ ‫خذنا إِن ن‬ ِ ‫اكتسبت ۗ ربنا ل تؤا‬
َ َ َ َّ َ َ ْ َ َ َّ َ َ َُ ََ َ َ ً ْ ََْ َ ْ َْ
ْ
‫ت ِمل علينا إِصا كما حلته ع الِين مِن قبلِنا ۚ ربنا ول‬
BAB IV | Hukum Melakukan Sesuatu yang Belum Diketahui Hukumnya 61
َ ْ َ ْ َ َ َ ْ ْ َ َّ َ ُ ْ َ َ َ ََ َ َ َ َْ ّ َُ
ۚ ‫َت ِملنا ما ل طاقة لا بِهِ ۖ واعف عنا واغفِر لا وارحنا‬
َ َ ْ ْ َْ ََ َْ ُ َ َ َْ َ َ
286‫أنت مولنا فانصنا ع القو ِم الكف ِِرين‬
Artinya:“Allah tidak akan memberikan tanggung jawab beban seorang hamba
kecuali sesuai dengan kemampuannya. Ia mendapat dari apa yang diusahakannya
dan ia peroleh pula dari hasil kejahatannya. Wahai Tuhan kami! Janganlah kami
dihukum jika kami lupa atau tersalah. Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau
bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan
kepada orang-orang yang sebelum kami. Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau
pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah
kami ampunilah kami dan beri rahmatilah kami. Engkaulah pembela kami maka
tolonglah kami terhadap orang-orang yang kafir.”27

Namun permasalahan ini sebenarnya tidak berlaku di zaman ini bila ada kepedulian
yang baik antara yang membutuhkan (orang awam) dan orang yang dibutuhkan
(para ulama). Apakah orang awam yang peduli akan ketidak tahuannya hingga ia
bertanya kepada ahlinya. Atau para ulama yang peduli dengan tegar menyebarkan
ilmu semaksimal kemampuannya.

I. Hukum orang awam bertaqlid kepada ulama yang serampangan

Ulama yang serampangan di sini maksudnya adalah para ulama yang terlalu
memudah-mudahkan permasalahan. Misalnya, ada ulama yang ditanya tentang
suatu hukum, dia langsung menjawab sesuai dengan pendapatnya (akalnya) tanpa
melihat kepada dalil nas dan pendapat para sahabat dan pembahasan ulama
terdahulu tentang permasalahan yang ada. Tentu ulama seperti ini adalah ulama
yang dipertanyakan keilmuan dan kehati-hatiannya. Padahal Imam Malik bin Anas
(94-179 H) guru dari Imam Syafi’i yang terkenal itu pernah ditanya 40 pertanyaan,
beliau hanya menjawab 4 dari total pertanyaan yang dijawab, sedangkan selebihnya
(36 pertanyaan) beliau jawab “tidak tahu.”

Bila orang awam mengetahui karakter dan kepribadian ulama tersebut (yaitu terlalu
memudah-mudahkan permasalahan), maka dia dilarang untuk bertanya kepada
ulama tersebut. Lebih baik dia mencari ulama yang lebih hati-hati dalam memberikan
jawaban atas pertanyaan yang diarahkan kepadanya. Namun bila orang awam tidak

27 QS. Al-Baqarah (2): 286.

62 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


mengetahui karakter ulama tersebut begitu, sebaiknya orang awam bertanya kepada
masyarakat setempat. Karena masyarakat Islam setempat yang tinggal berdekatan
dengan ulama tersebut mengetahui bagaimana karakternya. Jika tidak ada tempat
untuk bertanya, maka memohonlah kepada Allah agar ditunjukkan yang benar itu
benar dan mampu untuk mengikutinya, mohon pula agar ditunjukkan yang salah itu
salah dan mampu untuk meninggalkannya.

Bila bertanya saja dilarang, tentu mengamalkan fatwa atau pendapatnya dalam
praktik ibadah sehari-hari lebih terlarang.28 Karena orang yang tergesa-gesa alias
tidak hati-hati akan lebih dekat dengan kesalahan dan tipu daya setan. Sebagaimana
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tenang (kehati-hatian) itu datang dari Allah dan
tergesa-gesa itu adalah bagian dari setan.”29 Maka segera tinggalkan pendapat
ulama yang seperti itu, dan berusahalah mencari ulama yang diakui dan terpercaya
keilmuannya. Walaupun membutuhkan biaya dan tenaga serta waktu yang tidak
sedikit, tapi percayalah itu semua akan dihitung oleh Allah sebagai amal jariah yang
akan menyelamatkan dunia dan akhirat kita.

J. Hukum orang awam mengambil yang mudah-mudah ketika terjadi


“ikhtilaf” atau perselisihan pendapat di kalangan ulama

Menyikapi ‘‘ikhtilaf “ di kalangan ahli hukum Islam tidak bisa dipungkiri dan
dihindarkan. Mau tidak mau, suka tidak suka umat Islam akan merasakan dan
mengalaminya. Kesiapan ilmu pengetahuan dan mental sangat diperlukan agar bisa
bersikap bijak ketika hidup di dalam lingkaran perbedaan pendapat yang semakin
hari semakin bertambah. Ketidaksiapan diri dalam menghadapi perbedaan pendapat
para ulama akan membuat orang awam bersikap sesukanya.

Di antara bentuk ketidaksiapan orang awam ketika menghadapi perbedaan


pendapat ulama adalah gampangnya mengambil atau mengikuti pendapat yang
mudah dan ringan menurut syahwatnya. Memilih pendapat bukan karena ilmu, tapi
lebih karena tuntutan syahwat yang bergolak di dalam dirinya. Contoh, ketika terjadi
perbedaan pendapat ulama tentang batasan jarak safar yang membolehkan jamak
qasar dalam salat. Orang awam cenderung mengambil dan mengamalkan pendapat
yang paling mudah, yaitu mereka akan melakukan jamak qasar ketika mengadakan

28 Said bin Nashir As Syasyri, Al Qowa’idul Ushuliyah wal Fiqhiyah al Muta’alliqoh bil Muslim Ghairul
Mujtahid, (Riyadh: Darul Isybiliyah, 2003), hal 29.
29 HR. Abu Ya’la: 4/206 dan al Baihaqi: 10/104 dengan sanad Hasan. Imam Tirmidzi juga meriwayatkan
hadis ini dengan versi sedikit berbeda.

BAB IV | Hukum Melakukan Sesuatu yang Belum Diketahui Hukumnya 63


perjalan yang lebih dari 6 km. inilah fakta yang terpampang di masyarakat kita hari
ini. Lalu bagaimana seharusnya orang awam menyikapi hal ini?

Para ulama menyebutkan adanya ijmak yang melarang orang awam untuk mengambil
dan mengamalkan pendapat yang mudah-mudah ketika terjadi perbedaan pendapat
di kalangan ulama.30 Artinya, orang awam tidak boleh mengambil dan mengamalkan
pendapat yang mudah dan ringan menurutnya. Para ulama menghukumi orang
awam yang seperti ini (suka mengambil dan mengamalkan pendapat yang mudah
dan ringan) sebagai fasik. Hal ini dikarenakan tidak semua pendapat ketika ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama itu benar. Sebagaimana Nabi Muhammad
SAW pernah mengabarkan akan adanya ulama yang akan tergelincir dan salah.
Beliau bersabda, “Jika seorang hakim (mufti) menghukumi satu perkara lalu berij-
tihad dan benar maka baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara,
lalu berijtihad dan keliru, maka baginya satu pahala.31 Sebaiknya orang awam berha-
ti-hati ketika mendapati ada beberapa pendapat ulama yang berbeda. Sebagaimana
sahabat Nabi, Umar bin Khattab pernah berkata, “Tiga perkara yang merusak agama
adalah tergelincirnya ulama, bantahan orang munafik dengan Al-Qur’an dan pemimpin
(imam) yang menyesatkan.” Abu Darda’ juga pernah mengatakan hal yang senada.32
Berhati-hati bukan meninggalkan semua pendapat, tetapi tidak sembarangan
mengambil pendapat berdasarkan syahwatnya. Untuk mendapatkan kebenaran,
maka bertanya kepada ulama tentang perbedaan itu akan lebih selamat dan menye-
lamatkan.

Bila keraguan masih melanda, maka meninggalkan keraguan itu adalah lebih utama
bagi seorang muslim. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda, Tinggalkanlah
apa-apa yang meragukanmu kepada apa-apa yang tidak meragukanmu.33 Di dalam
hadis lain Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya sesuatu yang halal itu
telah jelas kehalalannya dan yang haram itu telah jelas pula keharamannya, dan di
antara kedua itu (antara halal dan haram) ada syubhat yang kebanyakan orang tidak
mengetahuinya. Barang siapa yang meninggalkan perkara syubhat, sungguh dia telah

30 Said bin Nashir As Syasyri, Al Qowa’idul Ushuliyah wal Fiqhiyah al Muta’alliqoh bil Muslim Ghairul Mujtahid, (Riyadh:
Darul Isybiliyah, 2003), hal 30.
31 HR. Bukhari: 13/268 dan Muslim: 1716.
32 Taimiyah, majmu’ Fatawa: 9/108.
33 HR. Trimidzi: 4/576, an Nasa’i: 8/327, Ahmad: 1/200, Thayalisi: 1178, al Bihaqi: 5/335, dan al Hakim:
2/13.

64 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


menjaga kehormatan agama dan dirinya. Dan barang siapa yang mengambil perkara
syubhat, maka sungguh dia telah terjerat kepada yang haram.34

K. Hukum orang awam bermazhab

Ada banyak mazhab fikih dalam percaturan umat Islam dari zaman dahulu hingga
hari ini. Yang terkenal tentu empat mazhab, Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hambali. Padahal di luar empat mazhab itu masih banyak mazhab yang lain dalam
masalah fikih yang mungkin belum kita ketahui, seperti mazhab Sufyan Attsauri,
an-Nakha’i, Assya’bi, dan lainnya. Yang ke semua mazhab ini harus diakui sebagai
perwujudan luasnya wacana keilmuan umat Islam. Namun disisi lain, banyaknya
mazhab ini kadang menimbulkan pikiran yang bermacam-macam di kalangan umat
Islam itu sendiri. Hingga tidak sedikit yang mengharuskan seorang muslim itu harus
bermazhab, satu mazhab saja. Apakah perkara ini benar dan seharusnya orang awam
begitu, atau bagaimana?

Bermazhab di sini maksudnya adalah orang awam yang hanya melazimi atau terus-
terusan menggunakan satu mazhab saja dalam setiap praktik ibadah dan aktivitas
hariannya. Mungkin hanya mengikuti mazhab Syafi’iyah saja, karena mayoritas
muslim di Indonesia bermazhab Syafi’iyah. Atau mungkin mazhab yang lain seperti
Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambali yang sesuai menurut pengamatan dan pengeta-
huannya. Apakah hal ini dibenarakan atau bagaimana?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak ada keharusan bagi orang awam untuk
melazimi satu mazhab saja.35 Karena orang awam tidak memiliki kemampuan untuk
memahami istilah-istilah yang digunakan oleh mazhab tersebut. Maka seyog-
yanya orang awam bukan mengikuti satu mazhab saja, tapi bertanya kepada ulama
(mufti) yang ada pada masa itu. Selain karena alasan itu, para imam mazhab tersebut
tidak pernah memerintahkan kaum muslimin dan muslimat untuk hanya melazimi
mazhabnya saja. Hal ini sabagaimana pernyataan empat imam mazhab tersebut
untuk kembali kepada Al-Qur’an, as-sunah, dan pendapat para sahabat bila pendapat
mereka bertentangan dengan ketiga sumber itu.

Imam Abu Hanifah (80-150 H pendiri mazhab Hanafiyah) pernah mengatakan, “Jika
saya menyampaikan pendapat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis Nabi,

34 HR. Bukhari: 2051 dan Muslim: 1559.


35 Said bin Nashir As Syasyri, Al Qowa’idul ushuliyah wal fiqhiyah al Muta’alliqoh bil Muslim ghairul
Mujtahid, (Riyadh: Darul Isybiliyah, 2003), hal 31.

BAB IV | Hukum Melakukan Sesuatu yang Belum Diketahui Hukumnya 65


maka tinggalkan pendapatku (kembali kepada Al-Qur’an dan hadis Nabi).’’36 Imam Malik
bin Anas (93-179 H pendiri mazhab Malikiyah dan gurunya Imam Syafi’i) juga pernah
berpesan, “Siapapun setelah Nabi Muhammad SAW, pendapatnya layak diambil dan
ditolak. Kecuali keterangan (hadis) dari Nabi Muhammad SAW.”37 Imam Syafi’i (150-204
H pendiri mazhab Syafi’iyah dan guru bagi Imam Ahmad bin Hanbal) mengatakan,
“Setiap apa yang aku katakan (pendapatku), lalu (pendapatku) bertentangan dengan
Nabi muhammad SAW, maka Nabi Muhammad SAW lebih layak untuk diikuti dan
janganlah taklid kepadaku.”38 Terakhir, Imam Ahmad bin Hanbal (164-241H, pendiri
mazhab Hanbal dan murid dari Imam Syafi’i serta guru bagi imam Bukahri, Muslim,
dan Abu Daud) juga pernah berpesan, “Janganlah kalian taklid kepadaku, jangan pula
taklid kepada Malik, Syafii, Alauza’i, dan Tsausri. Ambillah dari mana mereka mengambil
(Al Qur’an, as sunah, dan pendapat para sahabat Nabi).”39

Jika ada pertanyaan, para ulama masih saja menulis berdasarkan mazhab-mazhab
tertentu, seperti kitab mazhab Hanafiyah, kitab mazhab Malikiyah, kitab mazhab
Safi’iyah, dan kitab mazhab Hanabalah. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya
adalah, tulisan-tulisan para ulama ini hanya untuk kepentingan ilmiah dan
kemudahan belajar saja, bukan untuk beramal dengannya. Karena belajar dengan
seperti itu akan memudahkan seorang penuntut ilmu menguasai suatu ilmu dengan
maksimal.40

Jika pertanyaannya, belajar di beberapa tempat di timur tengah mensyaratkan para


penuntut ilmu untuk memakai satu mazhab jika ingin mengikuti pembelajran, itu
bagaimana? Jawabannya, hal ini dilakukan bertujuan untuk memudahkan para
penuntut ilmu dalam proses menuntut ilmu. Jika tidak jelas menggunkan mazhab
apa, tentu memulai pembelajaran akan lebih sulit. Hal ini dikarekan luasnya pendapat
para ulama dalam satu mazhab, tentu akan lebih luas bila seluruh mazhab dibahas
dalam satu wadah secara menyeluruh.

36 Sifat Shalat Nabi: 48.


37 Sifat Shalat Nabi: 49.
38 Sifat Shalat Nabi: 52
39 I’lam Muwaqiin: 2/201.
40 Said bin Nashir As Syasyri, Al Qowa’idul Ushuliyah wal Fiqhiyah al Muta’alliqoh bil Muslim Ghairul
Mujtahid, (Riyadh: Darul Isybiliyah, 2003), hal 31.

66 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


Bab V

Istinbat dan Kaidah-kaidahnya

Capaian pembelajaran

1. Mahasiswa mampu menjelaskan dengan benar istinbat 4 (empat) mazhab


2. Mahasiswa mampu menjelaskan dengan benar beberapa kaidah ushul fiqh
untuk orang awam
3. Mahasiswa mampu mengistinbatkan (merumuskan) hukum dengan masalah
kontemporer

A. Istinbat hukum 4 (empat) mazhab

Dalam penulisan buku ushul fiqh ini penulis menggunakan dua aliran yaitu, aliran
Mutakallimin atau aliran Madinah dan aliran Hanafiy atau aliran Kufah (Iraq). Aliran
Madinah atau Mutakallimin adalah aliran ilmu ushul fiqh yang menetapkan suatu
hukum dengan metode yang telah ada pada alasan-alasan yang kuat. Apakah alasan
ini berasal dari akli atau akal maupun naqli atau dalil yang dinukil atau diambil untuk
jadi alasan, aliran ini juga tidak tergantung kepada imam-imam yang ada dalam
mazhab mereka. Sedangkan aliran Kufah atau Hanafiy adalah aliran yang berpegang
kepada pendapat imam-imam dalam mazhab mereka.

Aliran Mutakallimin atau aliran Madinah sangat mempengaruhi kami dalam menulis
buku ini, walaupun sedikit banyak aliran Hanafiy atau aliran Kufah juga mempen-
garuhi kami. Karena buku ini kami tulis berdasarkan alasan-alasan yang kuat yang
bersumber pada Al-Qur’an, hadis, pendapat para sahabat Nabi, dan pandangan
ulama di dalamnya yang membahas dalil-dalil tersebut. Kami tidak tergantung
kepada imam tertentu dalam penulisan buku ini, tapi kepada alasan yang kuat yang
dapat diterima secara ilmiah.

Istinbat hukum 4 (empat) mazhab yang dimaksud dalam penulisan buku ini yakni:
empat mazhab sebagai panduan ulama dalam menggunakan ilmu ushul fiqh untuk
menetapkan sebuah hukum dalam kehidupan sehari-hari. Selain karena masa awal
penerapan ilmu ushul fiqh ada pada zaman mereka, alasan lainnya karena mereka
hidup tidak jauh dari zaman keemasan keilmuan Islam dan tidak jauh dari masa Nabi
Muhammad SAW dan para sahabat serta para tabiin dan tabi’uttabiin yang terjaga
keilmuan mereka. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sebaik-baik

BAB V | Istinbat dan Kaidah-Kaidahnya 67


manusia adalah generasiku (para sahabat), kemudian setelah itu (tabiin) kemudian
setelah itu (tabi’uttabiin).”1 Lebih dekat dengan sumber kebenaran yang terjamin
maka akan lebih bisa dipercaya keilmuannya.

Istinbat hukum di sini maksudnya adalah penetapan hukum berdasarkan metode


yang diterapkan oleh empat mazhab, yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabalah. Karena beberapa alasan di atas, maka mengetahui cara mereka dalam
menetapkan hukum dan mencontoh mereka untuk menetapkan suatu hukum
adalah pilihan terbaik untuk selamat dan sukses serta jauh dari kekeliruan.

Beberapa pendapat empat mazhab akan penulis paparkan sebagai berikut:

Pertama, Mazhab Hanafiyah, yang didirikan oleh Abu Hanifah2 berkembang di Kufah
sebuah daerah di Iraq. Ketika itu, wilayah ini merupakan wilayah perbatasan antara
negara Islam dengan negara lain. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi cara pandang
mazhab dalam menetapkan sebuah hukum. Selain itu, sedikitnya jumlah hadis yang
datang ke Kufah ketika itu juga menjadi alasan berbedanya Mazhab Hanafiyah
dalam menetapkan sebuah hukum. Kondisi wilayah perbatasan yang masalahnya
beraneka ragam serta kurangnya hadis yang bisa dipercaya menyebabkan mazhab
ini menetapkan sebuah hukum dengan rasional atau akal. Hal ini dilakukan setelah
pembahasan mendalam dari Al-Qur’an, hadis yang ada serta pendapat para sahabat
Nabi. Pembahasan disesuaikan dengan kondisi yang ada kemaslahatan bagi semua
umat ketika itu.

Salah satu produk Mazhab Hanafiyah adalah penggunaan akal dalam memutuskan
sebuah hukum yang hal ini bertentangan dengan Mazhab Malikiyah ketika itu. Namun
hal ini mengilhami banyak kalangan untuk menggunakan akal dalam menetapkan
sebuah hukum, di antara yang terpengaruh adalah Imam Syafi’i yang berguru kepada
murid Imam Abu Hanifah yang bermazhab Hanafiyah, yaitu Muhammad bin Hasan
as Syaibani.

Ciri lain Mazhab Hanafiyah adalah banyaknya persyaratan mereka dalam menerima
hadis. Hal ini tidak berlebihan karena ketika itu banyak tersebar hadis palsu dan
penyebar hadis palsu berkeliaran di daerah pinggiran yang berbatasan dengan

1 HR. Bukhari.
2 An Nu’man bin Tsabit bin Zuwatha at Taimi al Kufi maula bani Tamim. Lahir pada tahun 80 H
dan wafat pada tahun 150 H. Penamaan Abu Hanifah dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa beliau
terus-menerus berobat dengan obat yang bernama Hanifah dalam bahasa Iraq. (Min a’laamis Salaf, hal
194).

68 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


negara lain. Banyaknya persyaratan dalam menerima hadis juga dilatarbelakangi
oleh jauhnya jarak tempuh asal hadis dengan wilayah mereka (Kufah).

Sebagai contohnya adalah penetapan zakat fitrah atau zakat fitri. Mazhab yang
lain berpendapat bahwa zakat fitrah dikeluarkan berupa kebutuhan pokok seperti
gandum, beras, dan lainnya, tapi Mazhab Hanafiyah berbeda dengan yang lain.
Mazhab Hanafiyah memandang, di Kufah setiap rumah telah memiliki beras untuk
menyambut hari raya Idul Fitri, sementara mereka tidak memiliki hal lain untuk
merayakan hari raya. Fakta ini membuat Mazhab Hanafiyah berkesimpulan dan
menetapkan bahwa zakat fitrah boleh dengan uang bahkan lebih baik dengan uang
karena uang adalah alat tukar yang bisa memenuhi kebutuhan kaum muslim pada
momen perayaan hari raya. Dengan uang bisa beli baju, celana, sarung, lauk pauk,
dan lainnya. Ringkasan sistematika istinbat hukum Mazhab Hanafiyah:
A. Al-Qur’an
B. Hadis makbul
C. Ijmak
D. Qiyas
E. Istihsan
F. Istishhab
G. Mashlahah mursalah
Kedua, Mazhab Malikiyah, yang didirikan oleh Imam Malik3 berkembang di kota
Madinah, kotanya Nabi dan para ulama. Wilayah kota Madinah terkenal dengan
banyaknya para sahabat Nabi, para ulama dari kalangan tabiin dan dari kalangan
tabi’uttabiin yang bermukim di sana. Tentu hal ini menjadikan penyebaran hadis Nabi
dan pendapat para sahabat banyak didapati di sana. Selain itu, kondisi masyarakat
yang tidak terlalu beraneka ragam juga turut mempengaruhi cara pandang
Mazhab Malikiyah. Kondisi kota Madinah di atas menjadikan Mazhab Malikiyah
selalu berpegang kepada dalil syar’i berupa Al-Qur’an, penjelasan Nabi (hadis) dan
penjelasan para sahabat Nabi dalam menetapkan suatu hukum. Di awal perkem-
bangannya Mazhab Malikiyah menutup rapat-rapat pintu pendapat yang menggu-
nakan akal, walaupun pada perkembangannya mazhab ini tetap menggunakan akal
sebagai salah satu instrumen untuk menetapkan suatu hukum.

Kekhususan lain dari Mazhab Malikiyah adalah penegasan mereka bahwa setiap
hadis yang sahih baru diamalkan bila sesuai dengan amalan penduduk kota Madinah.
Karena menurut Mazhab Malikiyah, banyaknya orang benar yang bermukim di kota

3 Malik bin Anas bin Malik bin Amir bin Amr bin al Harits bin Ghaiman. Lahir di Madinah pada
tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H.

BAB V | Istinbat dan Kaidah-Kaidahnya 69


Madinah tidak akan mungkin bersepakat mengerjakan amalan yang keliru dalam
praktiknya.

Salah satu contoh penetapan hukum dari mazhab ini adalah dalam hal pengeluaran
zakat fitrah di atas. Mazhab Malikiyah berpegang teguh bahwa zakat fitrah hanya
dikeluarkan berupa kebutuhan pokok saja seperti gandum dan beras. Menurut
mazhab ini pula, mengeluarkan zakat fitrah dengan selain kebutuhan pokok adalah
hal mengada-ada yang tidak ada di zaman Nabi dan para sahabat Nabi. Perbuatan
tersebut tentu telah dilakukan turun temurun oleh masyarakat Madinah. Ringkasan
sistematika istinbat hukum Mazhab Malikiyah:
1. Al-Qur’an
2. Hadis makbul
3. Ijmak
4. Amal penduduk Madinah
5. Istihsan
6. Mashlahah mursalah
Ketiga, Mazhab Syafi’iyah, yang didirikan Imam as Syafi’i4 berkembang di Kufah
dan Mesir. Ada dua periode paling sedikit perkembangan Mazhab Syafi’iyah dalam
perjalanannya. Periode Kufah yang merupakan periode awal perkembangan mazhab
ini, dan yang banyak memberikan corak dalam mazhab ini adalah Mazhab Hanafiyah.
Karena sebagaimana disebutkan di muka bahwa Imam Syafi’i pernah berguru
kepada Muhammad bin Hasan as Syaibani yang merupakan murid dari Imam Abu
Hanifah. Sedikit banyak Mazhab Syafi‘iyah juga terwarnai oleh Mazhab Malikiyah di
Madinah karena Imam Syafi’i juga pernah berguru kepada Imam Malik. Kemudian
Imam Syafi’i pindah ke Mesir dan belajar kepada al Laits (salah satu mufti dan ulama
fikih terpandang di sana) hingga akhirnya Imam Syafi’i mendirikan mazhab baru
(Mazhab Syafi’iyah) di sana.

Dalam menetapkan hukum, Mazhab Syafi’iyah menggabungkan metode Mazhab


Hanafiyah dan Mazhab Malikiyah. Warna baru ini memberikan corak yang beragam
di kalangan umat Islam ketika itu dalam menetapkan suatu hukum. Tentu hal ini
sangat menggembirakan, karena penetapan suatu hukum bisa semakin terukur
dan tertib. Mazhab ini menggunakan dalil syar’i sebagai bahan merumuskan suatu
hukum, namun “pisaunya” tentu metode-metode yang digerakkan oleh akal yang
berlandaskan dalil syar’i tersebut.

4 Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ lahir pada tahun 150 H dan wafat pada
tahun 204 H. Penamaan Imam as Syafi’i disandarkan kepada kakek beliau Syafi’ menurut sebagian
ulama.

70 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


Mazhab Syafi’iyah secara konsisten menggunakan Al-Qur’an sebagai landasan untuk
menetapkan sebuah hukum. Kemudian hadis sahih atau hadis yang bisa diterima
dan diamalkan. Kemudian ijmak atau kesepakatan para ulama, kemudian baru qiyas
atau analogi dari dalil untuk masalah baru yang dihadapi dalam kehidupan. Mazhab
Syafi’iyah juga terkenal dengan qaulun qadim dan qaulun jadidnya Imam Syafi’i. Hal
ini dikarenakan Imam Syafi’i berpindah dari Kufah ke Mesir dan tentu hal ini juga
akan merubah cara pandang beliau.

Contohnya adalah pernyataan Mazhab Syafi’iyah berikut ini, “Orang yang berkhotbah
itu hendaknya bersandar dengan tongkat atau busur panah atau yang semisal dengan
keduanya, karena telah sampai kepada kami bahwa Nabi SAW bersandar dengan
tongkat (ketika khotbah).”5 Dalam hal ini Mazhab Syafi’iyah konsisten menggunakan
petunjuk Nabi sebagai landasan penetapan hukum. Namun dalam kondisi tertentu
Mazhab Syafi’iyah juga menggunakan akal untuk berpendapat. Seperti bersedekap
tangan ketika salat, duduk tahiyat akhir ketika seseorang itu masbuk, menggerak-ger-
akkan jari dalam salat, dan lain sebagainya. Contoh lain adalah zakat buah-buahan
yang tidak tahan lama, pada qaulun qadim di Kufah. Imam Syafi’i berpendapat bahwa
dikeluarkan zakat terhadap buah-buahan yang tidak tahan lama. Namun pada
qaulun jadid di Mesir Imam Syafi’i meralat dengan mengatakan bahwa buah-buahan
yang tidak tahan lama tidak ada zakatnya.

Umumnya, Mazhab Syafi’iyah konsisten menggunakan dalil syar’i ketika dalil


tersebut dengan jelas menunjukkan sebuah hukum. Kemudian Mazhab Syafi’iyah
akan berpendapat ketika dalil itu tidak tegas menunjukkan kepada sebuah hukum.

Ringkasan sistematika istinbat hukum Mazhab Syafi’iyah:


1. Al-Qur’an
2. Hadis makbul
3. Ijmak
4. Qiyas

Ke-empat, Mazhab Hanabalah, yang didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal6
berkembang di tengah derasnya arus keilmuan pada masyarakat Islam ketika itu.
Pengaruh Mazhab Hanafiyah (karena beliau Imam Ahmad bin Hanbal pernah belajar
kepada murid Imam Abu Hanifah yaitu Abu Yusuf ), Mazhab Malikiyah (karena dalam
beberapa riwayat beliau pernah belajar kepada Imam Malik) dan Mazhab Syafi’iyah

5 Khutbatul Jumuah, Ahkamuha wa Adabuha fi Fiqhil Islami, hal 91.


6 Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad.

BAB V | Istinbat dan Kaidah-Kaidahnya 71


karena Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah satu murid terbaik dari Imam Syafi’i
sangat kental terasa dalam penetapan hukumnya.

Perbedaan yang mencolok Mazhab Hanabalah dengan mazhab lainnya adalah


pendapat para sahabat menurut Mazhab Hanabalah adalah hujah atau dalil syar’i,
kemudian hadis mursal dan daif juga bisa dijadikan dalil syar’i, terakhir baru mazhab
ini mengunakan qiyas sebagai pisau untuk membedah suatu dalil untuk melahirkan
hukum.

Dari penjelasan singkat ini dapat kita ketahui bahwa Mazhab Hanabalah
mempersempit penggunaan akal, karena mereka mendahulukan fatwa sahabat dan
hadis mursal serta hadis daif bahkan pendapat para sahabat walaupun para sahabat
berbeda pendapat di dalamnya. Contohnya adalah pendapat Mazhab Hanabalah
dalam hal duduk tahiyat akhir pada salat yang satu tahiyat (dua rakaat atau satu rakaat
atau tiga rakaat namun sekali tahiyat dan salam). Mazhab Hanabalah berpendapat
bahwa duduknya tetap duduk iftirasy (pantat mendudukkan telapak kaki kiri) karena
hadis Nabi yang menyatakan bahwa duduk tahiyat akhir adalah duduk tawaruq itu
untuk salat yang dua kali tahiyat (tahiyat awal dan akhir).

Sistematika penetapan hukum Mazhab Hanabalah secara ringkas adalah sebagai


berikut:
a) Al-Qur’an
b) Hadis makbul
c) Fatwa para sahabat Nabi
d) Fatwa para sahabat Nabi yang diperselisihkan
e) Hadis mursal
f ) Hadis daif
g) Qiyas
h) Istihsan
i) Saddudz dzari’ah
j) Istishhab
k) Maslahah mursalah

Demikian beberapa istinbat versi empat mazhab.

B. Kaidah-kaidah ushuliyah

Beberapa kaidah ushul fiqh untuk orang awam

72 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


Dalam kehidupan sehari-hari ada banyak masalah yang baru yang sama sekali
belum didapati sejak zaman dahulu. Tentu hal ini akan merepotkan kita bila harus
menunggu fatwa atau harus sesuai dengan zaman dahulu. Apalagi bila hal ini harus
segera dilaksanakan mengingat waktu dan tempat serta situasi kondisi yang ada.
Contoh kecilnya adalah masalah makan, apakah boleh makan nasi panggang yang
tentu jenis makanan ini adalah baru yang tidak ada di zaman Nabi dan para ulama
kita terdahulu. Begitu pula minum, apakah boleh minum es buah, es teler yang tentu
di zaman Nabi dan para ulama kita ini juga tidak ada? Begitu pula halnya dalam
masalah pakaian, interaksi harian, pekerjaan, dan lain sebagainya.

Kaidah-kaidah ushul fiqh sangat dibutuhkan oleh orang awam untuk membantu
kelangsungan kehidupan sehari-hari agar lebih mudah. Di antara kaidah-kaidah itu
adalah sebagai berikut:

َِّ‫إ َّن َما ْالَ ْع َم ُال بانلّ ِية‬


ِ ِ
“Setiap urusan itu dilihat dari tujuannya (niat).”

Landasan dari kaidah ini adalah hadis Nabi yang berbunyi, “Setiap amalan itu hanyalah
tergantung kepada niatnya, dan setiap orang itu dinilai sesuai dengan niatnya.”7 Maksud
dari kaidah ini adalah, “Sesungguhnya setiap amalan seorang mukalaf itu dinilai
sesuai dengan tujuan apa dia melakukan amalan tersebut. Jika tujuannya melakukan
amalan karena Allah, maka amalannya itu akan bernilai ibadah dan berbuah pahala.
Sedangkan orang yang beramal dengan tujuan selain Allah seperti tujuan dunia,
wanita, harta, pujian, tahta, dan lainnya, maka amalannya tersebut tidak akan bernilai
ibadah dan tidak akan mendatangkan pahala bagi pelakunya.8

Kaidah ini menjelaskan kepada kita bahwa apapun yang dilakukan itu tergantung
pada niatnya. Namun apakah bebas untuk semua hal, tentu tidak. Tidak semua hal
yang dilakukan dengan niat atau tujuan yang baik menjadi amal di sisi Allah. Hanya
hal-hal yang baiklah yang jika dilakukan dengan niat atau tujuan mencari keridaan
Allah menjadi ibadah dan berbuah pahala. Karena dalam kaidah lain berbunyi, “Niat
yang baik tidak menghalalkan segala cara.” Tidak boleh orang mencuri walaupun
niatnya baik, tidak boleh orang berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan

7 HR. Bukhari dan Muslim dari sahabat Umar bin Khattab.


8 Muhammad Shidqi bin Ahmad Al Burnu, Al Wajiz fii Idhohi Qowaidul Fiqhiyah Al
Kulliyah, (Riyadh: Muassasah ar Risalah), hal 47.

BAB V | Istinbat dan Kaidah-Kaidahnya 73


mahramnya walaupun niatnya baik, tidak boleh orang meminum minuman keras
tanpa alasan syar’i walaupun dengan tujuan yang baik dan lain-lainnya.

َ ْ َ َ ََ ْ َ
‫ل إنكار ِف مسائ ِ ِل اإلجتِهاد‬
“Tidak ada pengingkaran dalam masalah khilafiyah.”

“Sebuah ijtihad atau pendapat ulama tidak akan gugur atau tertolak dengan yang
sejenisnya atau dengan ijtihad lain.” Begitulah bunyi kaidah di atas yang memberikan
penjelasan bahwa ijtihad atau pendapat seorang ulama yang pantas dan memenuhi
syarat untuk berpendapat dalam urusan agama tidak akan gugur atau tertolak
dengan adanya ijtihad atau pendapat ulama lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam hal pendapat ulama, tidak boleh seseorang menyalahkan, membidahkan
apalagi sampai mengkafirkan orang lain (muslim) yang berbeda dengannya, selagi
hal itu memang boleh berbeda. Selagi sesuatu itu dilakukan berdasarkan pendapat
seorang ulama mujtahid, maka hal itu masih dibolehkan. Yang tidak boleh adalah
memudah-mudahkan urusan agama sesuai dengan kehendak hati sebagai pemba-
hasan di awal.

Contohnya adalah masalah zakat fitrah yang telah kita singgung di atas. Mayoritas
ulama seperti Mazhab Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabalah berpendapat bahwa zakat
fitrah hanya dikeluarkan berbentuk makanan pokok seperti gandum atau beras.
Namun Mazhab Hanafiyah membolehkan zakat fitrah dikeluarkan dalam bentuk
uang bahkan menurut Mazhab Hanafiyah hal itu lebih baik, karena lebih menyam-
paikan kepada maksud zakat fitrah. Dalam menyikapi perbedaan ini hendaknya
seorang muslim bijak dan tidak gampang menyalahkan orang lain yang berbeda
dengannya.

Mungkin sebagian dari kita akan berkata, “Kan di zaman Nabi itu tidak ada” atau
“Apakah itu ada di zaman Nabi?” Jika hal ini yang menjadi landasan kita berpikir,
tentulah kehidupan akan sempit dan agama akan semakin kaku dan menyebabkan
banyak orang lari dari kebenaran agama Islam. Jika boleh kita ulang pembahasan,
kita mau menolak pendapat Imam Abu Hanafiyah, padahal Muhammad bin Hasan
as Syaibani yang bermazhab Hanafiyah adalah guru dari Imam Syafi’i. Bahkan Imam
Malik dari Mazhab Malikiyah pernah seperguruan dengan Imam Abu Hanifah kepada
seorang Tabiin, yaitu Nafi’ Maula Ibnu Umar. Muridnya Imam Abu Hanifah, yaitu Abu
Yusuf juga merupakan guru dari Imam Ahmad bin Hanbal. Mau menolak pendapat
Imam Malik juga tidak mungkin mengingat beliau pernah seperguran dengan

74 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


Imam Abu Hanifah, bilau juga guru dari Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Mau menolak Imam Syafi’i tentu juga tidak mungkin, karena beliau adalah murid
dari Imam Malik dan Muhammad bin Hasan as Syaibani yang merupakan murid
dari Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i juga merupakan guru dari Imam Ahmad bin
Hanbal. Begitu pula dengan Imam Ahmad bin Hanbal, tidak mungkin untuk ditolak
mengingat beliau adalah murid dari Abu Yusuf (murid Imam Abu Hanifah), murid
dari Imam Malik dan murid kesayangannya Imam Syafi’i, beliau juga guru dari Imam
Bukhari dan Imam Muslim dua ulama hadis nan terkenal itu. Tentu menolak satu
akan mengakibatkan semuanya juga tertolak.

Mari kita lihat lebih dekat, Mazhab Syafi’i dalam hal adab khatib di mimbar
menyunahkan untuk bersandar ke tongkat dan sejenisnya ketika khotbah, hal ini
dikarenakan dalam hadis yang sahih Nabi Muhammad SAW bersandar ke tongkat,
pedang, busur panah atau tombak ketika khotbah.9 Namun Mazhab Malikiyah
berpendapat bahwa itu hanya perbuatan orang dahulu saja agar berdiri lebih kokoh.
Dalam masalah duduk tahiyat akhirnya orang yang masbuk, Imam Malik dan Mazhab
Malikiyah manut hadis bahwa makmum mengikuti imam, duduk tahiyat akhirnya
makmum yang masbuk adalah tawaruq sebagai imam salat. Namun Mazhab
Syafi’iyah berpendapat bahwa makmum yang masbuk boleh menyelisihi imam
dalam hal duduk, yaitu makmum yang masbuk boleh tetap duduk iftirasy walaupun
imam duduk tawaruq guna memudahkan berdiri untuk menyempurnakan salat.

Hal seperti ini juga pernah terjadi antara Imam Malik dengan Imam Abu Hanifah,
antara Imam Abu Hanifah dengan Imam Syafi’i, antara Imam Syafi’i dengan Imam
Ahmad bin Hanbal dan antara Imam Ahmad bin Hanbal dengan Imam Malik atau
Imam Abu Hanifah. Apakah perbedaan ini membuat mereka saling mencela dan
menyalahkan? Tentu jawabannya tidak, mereka tetap saling menghormati karena
mereka tahu jikalau umat Islam itu boleh berbeda selagi perbedaan itu dalam hal
yang boleh berbeda.

َّ َ ُ َّ َ
‫العادة مك َمة‬
“Sebuah adat atau kebiasaan bisa menjadi hukum.”

Dasar dari kaidah ini adalah perkataan sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud, “Apa-apa

9 Hal ini telah kita singgung di awal.

BAB V | Istinbat dan Kaidah-Kaidahnya 75


yang dilihat baik oleh manusia maka di sisi Allah hal itu adalah baik.”10 Apa-apa di sini
maksudnya setiap kebiasaan atau adat istiadat di suatu negeri yang lazim atau biasa
dilakukan oleh orang-orang disitu. Maka bila kebiasaan ini baik, syariat Islam (Allah)
akan memandangnya baik dan tentu menjadi boleh untuk dilakukan oleh umat
manusia.

Contohnya, bila seorang laki-laki bersumpah tidak akan memakan daging, maka
laki-laki ini tidak dianggap melanggar sumpah atau berdosa bila dia memakan
daging ikan. Hal ini berlaku jika di negeri tempatnya tinggal yang dimaksud dengan
daging hanyalah daging hewan ternak atau sejenis yang hidup di darat. Contoh
lain adalah bila seorang laki-laki bersumpah tidak akan menunggangi hewan
(tunggangan) kemudian dia menunggangi orang kafir (non muslim), maka laki-laki ini
tidak dianggap melanggar sumpah walaupun Allah dalam beberapa ayat menyebut
mereka (non muslim) dengan sebutan hewan atau binatang. Namun, apakah semua
adat atau kebiasaan yang dipandang atau dinilai baik di suatu negeri bisa menjadi
hukum atau dibolehkan? Jawabannya tidak. Suatu adat atau kebiasaan menjadi
hukum atau dibolehkan untuk dilakukan dengan syarat tidak menyelisihi syariat
Islam.11 Contoh, tidak dibolehkan bila di suatu negeri sudah menjadi kebiasaan atau
adat menyembelih hewan sembelihan seperti sapi dan sejenisnya dengan niat untuk
sesuatu selain Allah, karena semua sembelihan itu harusnya diniatkan untuk mencari
keridaan Allah. Sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya yang diharamkan atas
kalian hanyalah bangkai, darah, daging babi, dan apa-apa (hewan) yang disembelih
dengan niat selain untuk Allah.”12

َ َ ْ ْ َ ٰ َ َ ٌ َّ َ ُ َ َْ ُ ْ َ
ِ‫ب المصال ِح‬ِ ‫درء المفا ِس ِد مقدم ع جل‬
“Mencegah kemungkaran lebih utama dari mendatangkan suatu maslahat.”

Maksud dari kaidah ini adalah, bila ada suatu kemungkaran (keburukan, kehan-
curan atau kerusakan) bertentangan untuk dilakukan dengan maslahat (kebaikan
atau manfaat) maka mencegah kemungkaran terjadi lebih diutamakan daripada
melakukan atau menunjukkan suatu maslahat. Kecuali kemungkaran itu sangat
sedikit atau sangat kecil, maka melakukan atau menunjukkan suatu maslahat lebih
diutamakan. Dasar dari kaidah ini adalah sabda Nabi Muhammad SAW, “Apa-apa

10. Ada yang mengatakan perkataan ini adalah sabda Nabi Muhammad SAW, namun pendapat
ini tidak benar. Karena ini adalah perkataan Sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud.
11 Ibid, hal 157-158.
12 QS. Al Baqarah: 173.

76 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


yang aku perintahkan kepada kalian maka ambillah, dan apa-apa yang aku larang dari
kalian maka tinggalkanlah semampu kalian.”13

Contoh dari kaidah ini adalah bila seorang wanita wajib mandi (karena suci dari
haid atau nifas) namun tidak mendapatkan sesuatu apapun untuk menutup dirinya
dari pandangan orang lain (ketika mandi), maka hendaknya wanita itu mengakh-
irkan mandinya sampai dia menemukan penutup diri dari pandangan orang lain.
Karena kemungkaran mandi tanpa menutup diri dari pandangan orang lain akan
mendatangkan kemungkaran lainnya, sehingga mencegah suatu kemungkaran
lebih diutamakan untuk ditiadakan daripada melakukan sebuah maslahat berupa
mandi wajib. Kaidah ini sangat baik dan berguna untuk menjaga kelangsungan
hubungan sosial di masyarakat yang lebih baik. Karena hubungan yang baik
akan menciptakan lingkungan yang baik dan nyaman. Kaidah ini seharusnya juga
diketahui dan diamalkan oleh para dai dan penuntut ilmu, karena kadang bekal
pengetahuan dan semangat saja dalam menyampaikan dakwah tidak cukup, butuh
strategi. Hal ini sebagaimana hadis Nabi yang disampaikan oleh istri Nabi, Aisyah,
“Dahulu Rasulullah memerintahkan kami untuk mendudukkan seseorang itu sesuai
dengan kedudukannya.”14 Sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib juga pernah berkata,
“Berbuat dan bercakaplah kepada orang-orang di sekitarmu sesuai dengan kepahaman
mereka, (karena bila tidak demikian) apakah kamu suka mereka mendustakan Allah
dan Rasul-Nya ”15 Sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud menambahkan, “Tidaklah kamu
sampaikan atau kamu lakukan sesuatu yang orang-orang (di tempat tinggalmu) belum
mengetahuinya, melainkan itu akan menjadi fitnah di tengah mereka.”16

ْ ّ َ َ ْ ُ ْ َ
‫ت اتلح ِريم‬
ِ ‫األصل ِف العِبادا‬
“Asal mula ibadah itu adalah haram.”

Asal mula suatu ibadah itu adalah haram, atau tertolak atau tidak boleh, sampai ada
yang memerintahkan. Hal ini sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya hukum itu
hanyalah milik Allah.”17 dalam ayat lain Allah berfirman, “Bagi-Nyalah segala pujian di
bumi dan di akhirat dan bagi-Nyalah segala hukum dan hanya kepada-Nyalah kamu

13 HR. An Nasa’i dan Ibnu Majah.


14 HR. Bukhari.
15 HR. Bukhari.
16 HR. Muslim.
17 QS. Al An’am: 57.

BAB V | Istinbat dan Kaidah-Kaidahnya 77


dikembalikan.”18 Allah juga berfirman, “Hak (kepemilikan) hukum hanyalah milik Allah.
Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Itulah agama
yang lurus.”19 Hanya Allah yang boleh menetapkan hukum dan orang-orang yang
yang Allah bolehkan untuk menetapkan suatu hukum. Nabi Muhammad SAW juga
menekankan hal ini dalam sabdanya, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan
yang tidak ada contoh atau petunjuk dari kami (Allah, Rasulullah, para sahabat Nabi,
dan para ulama mujtahid) maka amalannya tertolak.”20

Contoh, mengapa salat lima waktu itu dikerjakan, karena ada perintah dari Allah.
Mengapa salat zuhur, asar, magrib, isya, dan subuh pada waktu-waktu tertentu
dilakukan, karena petunjuk Nabi. Mengapa ada yang baca Al-Qur’an di atas kuburan,
karena sahabat Nabi Abdullah bin Umar melakukan itu dan Mazhab Hanabalah
membolehkannya, dan lain sebagainya. Maka jangan mengkhususkan puasa hanya
di hari Senin, karena puasa sunah itu Senin dan Kamis menurut petunjuk Nabi.

Apakah berdosa orang yang melakukan suatu ibadah yang tidak ada petunjuk dari
syariat agama? ada dua kemungkinan. Bila seseorang itu melakukan suatu amalan
yang tidak pernah ada contoh dari syariat agama, kemudian dia hanya ikut-ikutan
dengan niat mencari rida Allah (dengan syarat dia memang tidak tahu bahwa tidak
ada petunjuk syariat di dalamnya) maka dia tidak berdosa dan bahkan berpahala
menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin.21 Namun bila dengan sadar dan
tahu bahwa yang dia lakukan itu tidak ada tuntunannya dari syariat agama, dan tahu
bahwa amalan itu harus ada tuntun syariatnya, maka dia berdosa.

Kaidah ini harusnya mempermudah seorang manusia, bukan malah menyulitkan.


Karena dengan mengetahui dan memahami kaidah dengan baik akan membuat
seseorang itu tidak repot. Bila tidak ada contoh atau petunjuk tentang suatu amalan,
maka tidak perlu dikerjakan dulu, cukup mudah, dan sederhana. Hal ini juga harusnya
membuat seorang muslim lebih suka belajar dan bertanya tentang pengetahuan
seputar amalan-amalan yang dilakukan sehari-hari dan lainnya. Ada sebuah pepatah
yang sangat umum, “malu bertanya sesat di jalan”. Ya, kalau di jalan saja bisa sesat jika
tidak bertanya, tentu di jalan menuju akhirat pun seorang manusia akan tersesat bila
malu atau tidak mau belajar atau bertanya.

18 QS. Al Qashas: 70.


19 QS. Yusuf: 40.
20 HR. Bukhari dan Muslim 93 Fatwa-fatwa terkini.
21 Fatwa-fatwa terkini.

78 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


َ‫ص ُل ف األَ ْشياَء اإلباَحة‬
ْ َ‫األ‬
ِ ِ
“Asal mula sesuatu (selain ibadah) itu adalah boleh.”

Berbeda dengan ibadah, untuk segala sesuatu selain ibadah seperti makan, minum,
pakaian, interaksi sesama manusia, dan sebagainya, maka hukum asalnya adalah
boleh. Dia menjadi tidak boleh bila ada yang melarang, apakah larangan yang
bersifat haram maupun makruh. Sebagaimana firman Allah, “Dialah Allah yang telah
menciptakan bagi kalian apa-apa yang ada di bumi semuanya”.22 Allah telah mengha-
lalkan atau membolehkan apa-apa yang ada di dunia ini untuk diambil manfaat
darinya, kecuali apa-apa yang dilarang oleh syariat agama. Nabi Muhammad SAW
menguatkan, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan kewajiban, maka jangan
dipersempit. Dan Allah menetapkan...”

Contohnya nasi, tidak ada larangan untuk memakannya, maka nasi zatnya halal
dan boleh untuk dimakan. Namun nasi menjadi haram (walaupun zatnya halal) bila
didapatkan dengan cara yang tidak benar. Contoh lain adalah air teh, jus jeruk, dan
lain sebagainya yang halal dan boleh diminum selagi tidak ada pelarangan dan
indikasi pelarangan di dalamnya. Contoh lain lagi adalah baju kaos, baju kemeja,
dan sejenisnya adalah boleh bila sesuai dengan petunjuk syariat Islam dalam
pemakaiannya dan sebagainya.

Kaidah-kaidah ushuliyah yang lain bisa disesuaikan dengan permasalahan yang akan
dirumuskan hukumnya. Di antaranya adalah sebagai berikut:23

"
‫"قو اعدا ال صو ل افقو‬

"‫"االصل ىف ا ال شياء االباحة‬

"‫"االصل ىف ا المرللو جو ب‬

22 QS. Al Baqarah: 29.


23 Sri Haningsih, Modul Kuliah Ushul Fiqh Program Studi Pendidikan Agama Islam, (Yogya: FIAI UII,
2015).

BAB V | Istinbat dan Kaidah-Kaidahnya 79


‫يم"‬ ‫"االصل ىف ا المر للتحر‬

‫"االصل ىف ا المر للنيه"‬


‫َ‬ ‫"االصل ُ‬
‫بقاءما اكن يلع ما اكن"‬

‫"ما البتم ا لواجب ا ال به فهو واجب"‬


‫شر َ‬
‫ع"‬ ‫"من ا ستحسن فقد َّ‬
‫ٌ‬
‫"العام بعد اتلخصيص حجةيف ابلايق"‬
‫ُّ‬ ‫ُ‬
‫"االصلىف ا المرللو جو ب والتدل ىلع غريه االبقرين ٍة"‬

‫"االمربعد انليه يفيد اال با حة"‬


‫َ‬
‫الفور"‬ ‫"االمرال يقتىض‬

‫جديد"‬
‫ٍ‬ ‫مر‬ ‫بأ‬ ‫ُ‬
‫"القضاء‬
‫ٍ‬
‫ْ‬
‫ِألمراألو ٍل"‬ ‫ُ‬
‫"القضاء با‬
‫مرباالمركب أ ٌ‬
‫مرباجزاءه ِ"‬ ‫"ان اال َ‬
‫ِ‬
‫َ‬ ‫ُ‬
‫اتلكرار"‬ ‫"االصل ىف االمراليقتىض‬
‫‪80‬‬ ‫”‪Ushul Fiqh untuk Orang “Awam‬‬
‫"احلكم يدور مع علته وجودأ وعدما"‬

‫"احلكم يتكرربتكررعلته"‬
‫"االمربااليشء ٌ‬
‫أمربوسا ءهلِ"‬ ‫ُ‬
‫ُ‬
‫"االصل ىف انليه للتحري ِم"‬
‫ُ‬
‫"االصل ىف انليه للكراهة"‬
‫ُ‬ ‫َّ‬ ‫ُ‬ ‫ُ‬
‫"االصل يف االشياء االباحة حىت يد ل ا دل يلل ىلع اتلحري ِم"‬
‫َ‬ ‫ُ‬
‫اتلكرارىف مجيعِ االز منةِ"‬ ‫المطلق يقتىض‬
‫ِ‬ ‫انليه‬ ‫ىف‬ ‫الصل‬ ‫"ا‬

‫"درءا لمفا سد مقدم ىلع جلب المصا لح"‬


‫َّ‬ ‫َّ ُ‬
‫"ما من اع ٍم االخصصَ"‬
‫ُ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬
‫جيوز"‬ ‫"العمل با العام قبل ابلحث عن المخصص ال‬
‫ُ‬
‫"العام بعد اتلخصيص حجة ىف ابلا ىق"‬
‫ُّ‬ ‫ُ‬
‫"االصل ىف ا المر للو جو ب وال تد ل ىلع غريه اال بقرين ٍة"‬
‫َ‬
‫"اال مر بعد انليه يفيد اال با حة"‬
‫‪BAB V | Istinbat dan Kaidah-Kaidahnya‬‬ ‫‪81‬‬
‫َ‬
‫الفور"‬ ‫"االمرال يقتىض‬

‫يد"‬
‫مرجد ٍ‬ ‫بأ‬ ‫ُ‬
‫"القضاء‬
‫ٍ‬
‫"القضاء باأل مرا ْ‬
‫ألو ٍل"‬ ‫ُ‬

‫مر با المركب أ ٌ‬
‫مربا جزاءه ِ"‬ ‫"ان اال َ‬
‫ِ‬
‫َ‬ ‫ُ‬
‫تلكرار"‬ ‫"اال صل ىف اال مرال يقتىض ا‬

‫"احلكم يتكرربتكررعلته"‬
‫"االمربا اليشء ٌ‬
‫أمربوساء ِهل"‬ ‫ُ‬
‫ُ‬
‫"االصل ىف انيه للتحري ِم"‬
‫ُ‬
‫"االصل ىف انليه للكرا هة"‬
‫ُ‬ ‫َّ‬ ‫ُ‬ ‫ُ‬
‫اال صل ىف اال شيا ء اال با حة حىت يد ل ادل يلل ىلع اتلحر"‬
‫"يم‬
‫َ‬ ‫ُ‬
‫مجيع االزمنةِ"‬
‫ِ‬ ‫اتلكرارىف‬ ‫المطلق يقتىض‬
‫ِ‬ ‫انليه‬ ‫ىف‬ ‫"االصل‬

‫"درء المفاسد مقدم ىلع جلب المصالح"‬

‫‪82‬‬ ‫”‪Ushul Fiqh untuk Orang “Awam‬‬


‫َ‬ ‫ّ‬ ‫َّ ُ‬
‫"ما من اع ٍم اال خصص"‬
‫ُ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬
‫الجيوز"‬ ‫"العمل با العام قبل ابلحث عن المخصص‬
‫ُ‬
‫"العام بعد اتلخصيص حجة ىف ابلا ىق"‬
‫ُّ‬ ‫ُ‬
‫"اال صل ىف اال مرللوجوب وال تد ل ىلع غريه اال بقر ين ٍة"‬
‫َ‬
‫"االمربعد انليه يفيد االبا حة"‬
‫َ‬
‫الفور"‬ ‫"اال مراليقتىض‬

‫جديد"‬
‫ٍ‬ ‫مر‬ ‫بأ‬ ‫ُ‬
‫"القضاء‬
‫ٍ‬
‫ْ‬
‫مراألو ٍل"‬ ‫ُ‬
‫"القضاء باأل‬
‫مربا المركب أ ٌ‬
‫مربا جزاءه ِ"‬ ‫"ان اال َ‬
‫ِ‬
‫َ‬ ‫ُ‬
‫اتلكرار"‬ ‫"االصل ىف اال مرال يقتىض‬

‫"احلكم يدورمع علته وجودأوعدما"‬

‫"احلكم يتكرربتكررعلته"‬
‫ُ‬ ‫َّ‬ ‫ُ‬ ‫ُ‬
‫"االصل ىف اال شياء االباحة حىت يد ل ادل يلل ىلع اتلحري ِم"‬
‫‪BAB V | Istinbat dan Kaidah-Kaidahnya‬‬ ‫‪83‬‬
َ ُ
"ِ‫اتلكرار ىف مجيعِ االزمنة‬ ‫المطلق يقتىض‬
ِ ‫انليه‬ ‫ىف‬ ‫"االصل‬

C. Mengistinbatkan hukum dalam masalah kontemporer

Pada masa kekinian, ulama mujtahid atau mufti semakin sulit ditemukan, padahal
masalah berkembang dan bertambah. Apakah masalah dalam ibadah, maupun
masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari yang makin hari makin luas
cakupannya. Perkembangan alat-alat modern dan pelanggaran adalah beberapa
hal yang menyebabkan masalah kontemporer ini muncul. Perkembangan masalah
ini tentu membuat hukum terdahulu tentang suatu permasalahan mengalami
pergeseran bahkan perubahan. Hal ini mengharuskan para ulama harus rela lebih
lama ketika menetapkan sebuah hukum. Karena lebih banyak sudut pandang
yang digunakan dalam proses istibat atau penetapannya. Kondisi ini akhirnya
mengharuskan para ulama menggunakan metode berbeda dalam istinbat atau
menetapkan sebuah hukum dengan metode yang dahulu sudah pernah digunakan.

Secara umum, untuk masalah kontemporer para ulama menggunakan cara pengga-
bungan antara fahmun nushus dengan fiqhul waqi’. Karena dengan penggabungan
dua unsur ini hukum yang didapatkan akan lebih baik dan semakin sedikit celah
salahnya.

Fahmun nushus maksudnya adalah pemahaman seorang ulama terhadap nas syar’i
atau dalil syar’i seperti Al-Qur’an, hadis, pendapat sahabat, dan ijmak ulama terdahulu.
Sedangkan fiqhul waqi’ maksudnya adalah pengetahuan dan pemahaman seorang
ulama tentang kondisi hari ini atau kekinian. Ulama yang memahami nas atau dalil
dengan baik, kemudian mampu memahami kondisi nyata hari ini atau saat ini akan
lebih berhati-hati ketika menetapkan sebuah hukum. Usaha dan kehati-hatian inilah
yang membuat seorang ulama itu berpahala walaupun ketika menetapkan hukum
ada yang keliru.

Metode yang digunakan adalah:


1. Mengetahui gambaran masalah secara jelas.
2. Mencari dalil atau kaidah yang sesuai dengan hukum masalah.
3. Memperhatikan hukum syar’i tersebut pada pemasalahan.

Sebagaimana Imam as Syaukani berkata, “Semua permasalahan yang muncul pada


setiap waktu harus diketahui gambarannya secara jelas terlebih dahulu. Apabila telah

84 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


diketahui hakikatnya (hakikat masalah tersebut), sifatnya dan gambarannya secara
gamblang maka setelah itu dikembalikan kepada nas-nas syar’i dan kaidah-kaidahnya,
karena syariat mampu memberikan solusi setiap problematik yang menimpa
masyarakat atau pribadi. Sebuah solusi yang akan diterima oleh akal yang sehat dan
fitrah yang bersih. Dan seseorang yang cerdas hendaknya mempelajari permasalahan
dari setiap sudutnya, baik dari tinjauan kenyataan di lapangan dan hukum syar’inya.”24

Di Indonesia, para ulama memiliki wadah untuk menetapkan sebuah hukum, yaitu
Majelis Ulama Indonesia atau yang disingkat dengan MUI. Selain menggunakan
metode yang umum digunakan para ulama kontemporer, MUI lebih menekankan
penggunaan sad dudz dzari’ah dan dikaitkan dengan mashlahah murshalah.
Metode ini dilakukan dengan pendekatan nas qath’i, kauli, dan manhaji. Nas qath’i
dilakukan dengan cara menggali jawaban atas setiap persoalan hukum yang muncul
berdasarkan kajian terhadap Al-Qur’an dan hadis. Sedangkan pendekatan kauli
dilakukan dengan cara merujuk kepada pendapat-pendapat para ulama terdahulu
dari kitab-kitab mereka dalam menetapkan sebuah hukum. Sementara pendekatan
manhaji adalah menggunakan metodologi Islam dalam penetapan fatwa. Ini adalah
salah satu bentuk kehati-hatian MUI dalam menetapkan sebuah hukum.25

Dalam proses penetapan hukumnya, ada lima tahapan yang dilakukan MUI. Pertama,
sebelum fatwa ditetapkan, MUI meninjau terlebih dahulu pendapat para imam
empat mazhab tentang masalah yang akan difatwakan beserta dalil-dalinya. Kedua,
untuk masalah-masalah yang telah jelas hukumnya dan telah dibahas oleh ulama
terdahulu, maka MUI hanya menyampaikan apa adanya. Ketiga, untuk permasalahan
yang diperselisihkan ulama, maka MUI mencoba untuk menggabungkan kedua
pendapat, bila ini tidak bisa maka digunakan metode tarjih atau memilih pendapat
yang lebih kuat. Keempat, bila yang dibahas itu belum ditemukan pembahasannya
dari ulama-ulama terdahulu, maka MUI menggunakan ijtihad jama’i atau pendapat
bersama atau kolektif dari dewan fatwa MUI. Kelima, penetapan fatwa dilakukan
oleh MUI selalu memperhatikan kemaslahatan umum atau kebaikan bersama dan
tujuan syariat.26

Contoh masalah kontemporer yang dibahas Ulama secara umum adalah penggunaan
Ventolin Inhaler bagi penderita asma ketika puasa, masalah Euthanasia, hukum

24. Yusuf bin Mukhtar As Sidawi, Fiqih Kontemporer Berdasarkan Dalil dan Kaidah Ilmiyah, (Jawa
Timur: Yayasan al Furqon al islami, 2014), hal 9.
26. Asrorun Ni’am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Emir,
2016), hal 129-13.
26 Ibid, hal127-129.

BAB V | Istinbat dan Kaidah-Kaidahnya 85


narkoba, korupsi, dan lain sebagainya. Sedangkan beberapa permasalahan yang
dibahas oleh MUI adalah salat Jumat di gelombang, haji bagi narapidana, perayaan
natal bersama, panti pijat, memberikan hadiah pada pejabat, mengirim TKW ke luar
negeri, pornografi dan pornoaksi, nikah di bawah tangan, SMS berhadiah, dan lain
sebagainya.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penetapan hukum masalah
kontemporer. Di antaranya adalah:
A. Mengikhlaskan niat hanya untuk mencari keridaan Allah.
B. Meninggalkan dosa dan maksiat.
C. Mengecek kebenaran adanya permasalahan kontemporer tersebut.
D. Memahaminya secara terperinci dan mengumpukan data-data, bertanya
kepada ahli di bidang masalah itu dan melihat gambaran fikih tentang
permasalahan tersebut.
E. Berusaha mengembalikan permasalahan tersebut kepada Al-Qur’an, hadis,
ijmak, qiyas, dan kaidah-kaidah fikih.
F. Memperhatikan tujuan syariat dan kemaslahatan umat.
G. Mendahulukan dalil daripada logika.
H. Mengambil manfaat dari keterangan para ulama dan penelitian-penelitian
sebelumnya.
I. Memperhatikan perbedaan-perbedaan masalah fikih.
J. Mengambil sikap bijak dan tengah-tengah dalam menyikapi permasalahan
tanpa berlebihan dan meremehkan atau mengikuti hawa nafsunya.27
Di antara kesalahan-kesalahan yang harus diwaspadai adalah sebagai berikut:
1. Memahami masalah hanya setengah matang dan tidak menyeluruh sehingga
menghasilkan kesimpulan hukum yang tidak tepat.
2. Lari dari fakta dan kenyataan.
3. Tidak memahami istilah-istilah dan lafaz-lafaz dalam berbagai permasalahan
seperti istilah di bidang ekonomi, kedokteran, olahraga, dan lainnya.
4. Tidak mengikut perkembangan masalah dan perubahannya.
5. Cenderung mencari kemudahan dan berlebihan tanpa memperhatikan kepada
dalil dan kaidah.
6. Mencukupkan diri hanya kepada fatwa lembaga atau individu tanpa
mengkajinya lebih detail.100

27 Yusuf bin Mukhtar As Sidawi, Fiqih Kontemporer Berdasarkan Dalil dan Kaidah Ilmiyah, (Jawa
Timur: Yayasan al Furqon al islami, 2014), hal 10.

86 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


Bab VI

Penutup

Di era abad milenium, abad di mana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknolgi
yang semakin canggih, tetapi bagi seorang pendidik tidak mungkin menguasai
seluruh khazanah ilmu pengetahuan meski pada rumpun bidang keilmuannya
sebagai spesifikasi kompetensi yang dimiliki, kecil kemungkinannya seseorang
menjadikan dirinya pusat gudang berbagai ilmu.

Dalam hal ini prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) membekali lulusannya menjadi
guru profesional di bidangnya dengan memperhatikan proses pembelajaran yang
telah dievaluasi perspektif kurikulum berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional (KKNI)
yaitu kurikulum yang memperhatikan proses pendidikan dan learning out come
pembelajaran yang terukur.

Penulisan buku ini dibuat khusus untuk orang awam dalam hal memahami ushul fiqh
dan para pembaca pada umumnya untuk dapat memahami sumber hukum Islam
yang belum jelas dasar hukumnya di dalam Al-Qur’an dan hadis sehingga diperlukan
ijtihad bahkan istinbat, meningkatkan kualitas pendidikan Islam, terutama para
lulusan program studi Pendidikan Agama Islam yang akan dipersiapkan menjadi
guru Pendidikan Islam yang profesional di bidangnya.

Semangat penulisan buku ushul fiqh ini juga untuk mewujudkan pemahaman
hukum Islam yang lebih komprehensif dan holistik. Semoga bermanfaat wallohu
a’lamu.

BAB VI | Penutup 87
Referensi

Al Asqalani, I. H. (t.thn.). Fathul Bari fii Syarhi Shahih Bukhari: 13/318-319 dan al
Baghawiy Syarhus Sunnah.

Al Bugha, M., & Mihyudin, M. (2007). Al Waafi Fii Syarhil Arba “In an Nawawi”. Bairut:
Daar Ibnu Katsir.

Al Burnu, M. S. (1403 H). Al Wajiz fii Idhohi Qawaidhul Fiqhiyah al Kulliyah. Riyadh:
Muassasah ar Risalah.

Al Burnu, M. S. (t.thn.). Al Wafiz Fii Idhohi Qowaidul Fiqhiyah al Kulliyah. Riyadh:


Muassasah ar Risalah.

Al Hafnawi, M. I. (t.thn.). Fathul Mubin Fii Halli Rumuzi wa Mushtholahatil Fuqoha’ wal
Ushuliyyin.

Al Indragiri, R. M. (2016). Belajar di Majelis Ilmu. Yogyakarta: Grafika Inda.

Al Jazairi, A. B. (2002). Aisaarut Tafasir. Madinah Munawarah: Maktabah al Ulumwal


Hikam.

Al Mubarakfuri, S. (2008). Al Mishbahul Munir fii Tahdzib Tafsir Ibnu Katsir. India: al
Majlisun.

Al Qasimi, M. M. (2003). Tafsir al Qasimi al Musamma Mahasinut Ta’wil. Kairo: Daarul


Hadits.

(t.thn.). Al-Qur’an dan yang Disampaikan oleh Nabi-Nya.

Al-Qurthubi, M. b. (2010). Al Jaami’ liahkamil Qur’an. Kairo: Darul Hadits.

As Sa’di, A. b. (2013). Taisirul Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Manan. Damam:
Maktabah Faidhul Ilmi.
As Sidawi, Y. b. (2014). Fiqih Kontemporer Berdasarkan Dalil dan Kaidah Ilmiah. Jawa
Timur: Yayasan al Furqon al Islami.

As Syasyri, S. b. (2003). Al Qowa’idul Ushuliyah wal Fiqhiyah al Muta’alliqoh bil Muslim

88 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


Ghairul Mujtahid. Riyadh: Darul Isybiliyah.
Az Zuhaili, W. (2005). Al Wajiz fii Fiqhil Islami. Damaskus: Daarul Fikr.

Az Zuhaili, W. (t.thn.). Al Wajiz fii Ushulil Fiqh. Suriah: Daarul Fikr.

Haningsih, S. (2015). Modul Kuliah Ushul Fiqh. Yogyakarta: Prodi PAI-FIAI-UII.

Hasaballah, A. (1964). Ususl at-Tasyri” al-Islamy. Mesir: Dar al Ma’rif.

Hasbi, A.-S. (1980). Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang.

Hasby, A.-S. (1994). Pengantar Ilmu Ushul Fiqh. Yogyakarta: LESFI.

Hasby, A.-S. (1995). Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Khallaf, A. W. (t.thn.). Ilmu Usul al Fiqh. Kuwait: Dar al Qalam.

Munawir. (1997). Kamus al Munawir. Surabaya: Pustaka Progressif.

RI, D. A. (2009). Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen.

Salam, Z. A. (1994). Pengantar Ilmu Ushul Fiqh. Yogyakarta: LESFI.

Sholeh, A. N. (2016). Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta:


Emir.

Syarifuddin, A. (2014). Ushul Fiqh II. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Syarifuddin, A. (2014). Ushul Fiqh Jilid I, dan II. Jakarta: Kharisma Putra Utama.

Syarifudin, A. (2000). Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Zein, S. E. (2005). Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.

Zuhri, S. (2011). Ushul Fiqh, Akal Sebagai Sumber Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Referensi 89
Glosari

Beberapa istilah yang penulis gunakan dalam penyusunan buku ajar ushul fiqh di
antaranya adalah sebagai berikut:
1. “Istinbat hukum” yaitu mengeluarkan beberapa makna yang terkandung dalam
nas (dalil) Al-Qur’an dengan seoptimal mungkin sampai menjadi rumusan
hukum yang pasti dan bisa dijadikan pedoman muslimin muslimat. Karena
pesan hukum di dalam Al-Qur’an belum secara detail dan jelas sehingga
diperlukan istinbat. Sebagaimana yang dikemukakan mujtahid ushul fiqh
berikut ini:

‫ استخراج المعاىن من انلصوص بفرط اذلهن وقوة‬:‫استنباط‬


‫القريحة‬

2. “Diagram ushul fiqh”, sebagaimana tertulis di halaman 12 (dua belas) adalah


sebuah kerangka berpikir untuk memahami peta alur ushul fiqh, atau
paradigma sederhana dalam upaya memahami objek pembahasan ushul fiqh
sekaligus merumuskan hukum suatu masalah yang memang belum jelas dasar
hukumnya di dalam Al-Qur’an dan hadis. Dalam proses merumuskan hukum
di sini harus merujuk pada Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber hukum Islam
yang sudah disepakati jumhur ulama, baru kemudian merujuk kepada ijmak
dan qiyas. Demikian seterusnya.
3. “Orang awam” adalah orang biasa yang tidak ahli dalam suatu hal. Dalam
kaitannya dengan agama Islam, maka orang awam adalah orang yang tidak
mengetahui ilmu Islam secara mendalam. Dari pengertian ini, dapat kita pahami
bahwa mayoritas umat Islam hari ini, dan khususnya di Indonesia adalah “orang
awam”.
Bagi orang awam, mempelajari ilmu ushul fiqh hukumnya memang tidak
wajib. Namun, mempelajari ilmu ushul fiqh akan memberikan banyak manfaat,
terutama dalam kehidupan sehari-hari.
4. “Kaidah Fiqhiyyah” adalah kumpulan hukum-hukum kesamaan yang setiap
hal dirujukkan kepada satu pola yang sama, seperti kaidah khiyar, atau
kaidah-kaidah fasakh secara umum.

Glosarium 87
5. W“Mujtahid fikih”adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menggunakan
kaidah- kaidah (fikih) sebagai jalan untuk memahami hukum-hukum.
6. “Ahkam” adalah hasil dari istinbat (pengambilan hukum) yang berkaitan dengan
aktivitas manusia dalam menjalankan aturan agama.
7. “Tafaqquh fi ad-din” adalah untuk pekerjaan mengerti, memahami, dan
mendalami seluk beluk ajaran agama Islam. Namun pada periode berikutnya,
istilah fikih digunakan untuk ilmu-ilmu syariat sebagai lawan dari ilmu tauhid
yang berkaitan dengan akidah.

88 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”


90 Ushul Fiqh untuk Orang “Awam”

Anda mungkin juga menyukai