Anda di halaman 1dari 148

MAQASHID SYARIAH

Dalam Ekonomi Islam


Penulis: Nurizal Ismail

Pengantar: Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec

Maqashid Syariah
Nurizal Ismail
Depok: Syamil Institute Publishing
xiv + 132 hlm.; 13 x 20 cm
ISBN:
I. Judul II. Ismail, Nurizal

Cetakan I, 2014
Penerbit Syamil Institute Publishing
Depok

Penata letak isi dan desain sampul :


Tim Kreatif SPI
TERIMA KASIH

Buku ini tidak akan terbit dan sampai ke tangan


bapak/ibu sekalian tanpa adanya nikmat yang diberikan
oleh Allah Ta’ala dan bantuan dari beberapa pihak
yang telah memberikan dorongan penulis dalam
mewujudkan buku yang sangat sederhana ini. Ucapan
terima kasih yang paling utama buat keluarga tercinta.
Pertama adalah untuk ibunda Nurhayati dan ayahanda
Ismail yang telah membesarkan penulis sehingga dapat
memberikan sedikit kontribusi terhadap pengembangan
ilmu ekonomi Islam di Indonesia. Kedua, Istriku tercinta
Siti Aisyah Darussalam, M.Ec yang selalu menemani
hari-hari panjang selama mengenyam pendidikan di
International Islamic University Malaysia (IIUM) dan juga
memberikan dukungan yang kuat untuk berkonstribusi
dalam jihad ekonomi Islam. Ketiga, anak-anakku Umar
Rasyad Ramadhan, Juhdi Rasyad Kamali dan Shafiyyah
Rasyad Al-’Izzah yang selalu tersenyum memberikan
kebahagian kehidupan dan sumber inspirasi untuk

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam iii


kedua orang tuanya. Kelima, kepada keluarga besarku,
adik (Herlinawati), ayah mertua (Darussalam), ibu
mertua (Nurhasni Hamid), Ahmad dan Ibrahim (Ipar),
yang selalu menghibur dan memberikan dukungan
untuk terus berkreasi.
Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec, yang
selalu menjadi inspirator dan motivator buat anak-anak
didiknya Mahasiswa STEI Tazkia untuk terus berkarya
memberikan kontribusi untuk umat khususnya dalam
pengembangan ilmu ekonomi Islam. Buku ini juga
tidak akan terwujud tanpa bantuan dan kontribusi
tim Progress dan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Islam STEI
Tazkia angkatan 8 dan 9, yang selalu mendorong penulis
untuk segera merealisasikan buku yang ada ditangan
bapak-ibu saat ini. Para dosen dan ustadz di STEI Tazkia
yang tidak disebutkan satu persatu terima kasih atas
dukungannya. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih
kepada kedua pembimbing disertasi di Universitas Sains
Islam Malaysia (USIM), yaitu Prof. Dato. Dr. Muhammad
bin Muda dan Dr. Amir Shaharuddin, yang telah banyak
memberikan ilmu dan pengalamannya kepada saya.
Terakhir penulis ucapkan kepada rekan-rekan ustmaner
yang menjadi teman diskusi selama belajar di IIUM.
Atas semuanya penulis ucapkan terima kasih, hanya
doa kepada Allah lah semoga orang-orang yang telah
berjasa hingga terbitnya buku ini dibalas dengan pahala
yang berlipat ganda di sisi-Nya.

iv Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


KATA

PENGANTAR

Suatu kebahagian bagi saya untuk menulis kata


pengantar yang ditulis oleh anak kandung saya, yang
lahir dari Rahim STEI Tazkia. STEI Tazkia merupakan
perguruan tinggi Islam yang bercita-cita untuk
melahirkan ekonom-ekonom Muslim yang menguasai
ilmu fardu ‘ain (agama) dan fadhu kifayah yang utamanya
adalah bidang ekonomi. Nurizal Ismail adalah alumni dan
juga saat ini menjadi dosen di STEI Tazkia telah mampu
menghadirkan integrasi keilmuwan antara ilmu agama
dan umum dalam lingkup sebuah kajian ilmu ekonomi
yang dibingkai dalam pendekatan Maqashid Syari’ah.
Buku yang ditulis ini masih sangat langka
dibahas oleh para penulis-penulis yang fokus terhadap
pengembangan ekonomi Islam. Kajian Maqashid
Syari’ah dalam ekonomi Islam merupakan topik yang
sangat menarik dan sedang menjadi trend dalam
pengembangan ekonomi dan keuangan Islam seperti
realisasi Maqashid index dalam menguji performa bank-
Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam v
bank Islam. Selain itu maqashid Syari’ah juga merupakan
sebuah disiplin ilmu yang telah lama dikembangkan oleh
ulama-ulama Muslim dahulu seperti Imam Juwaeni,
Imam Ghazali, Imam Syatibi dan Ibnu ‘Ashur. Namun
kebanyakan kajian-kajian tersebut hanya difokuskan
pada permasalahan ibadah saja seperti karya al-
Tirmidzi al-Hakim (Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Ali)
“Al-Shalatu wa Maqashiduha” atau karya Al-’Iz bin
Abdussalam “Maqashidu al-’Ibadah”. Seharusnya ada
kajian maqashid Syari’ah yang berhubungan dengan
aspek-aspek muamalah. Isi buku ini ternyata sangat
berhubungan dengan aspek-aspek muamalah terutama
dalam kajian ekonomi Islam.
Secara garis besar, pembahasan-pembahasan
dalam buku ini terbagi menjadi 3 bagian. Pertama,
bersifat konseptual yang membahas teori maqashid
Syari’ah itu sendiri. Kedua, bersifat kajian kritis
terhadap sistem ekonomi yang ada. Ketiga, bersifat
pengembangan ekonomi Islam yang konstruktif
berbasis pada pendekatan maqashid Syari’ah. Hasilnya
dari pembahasan ini memberikan gambaran yang
komprehensif mengenai ilmu ekonomi Islam itu
sendiri. Karena realisasi falah dalam ekonomi Islam
sangat berhubungan dengan Syari’ah dan tujuannya
(maqashiduha).
Alhamdulillah saya sangat menyambut kehadiran
buku ”Maqashid Syariah dalam Ekonomi Islam”, yang
bertujuan membangun ilmu ekonomi Islam berbasis
pendekatan maqashid Syari’ah. Semoga buku ini dapat
menambah khazanah keilmuwan ekonomi Islam dari
sisi yang berbeda yaitu pendekatan maqashid Syari’ah.
Disamping itu kehadiran buku ini diharapkan dapat

vi Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


memberikan suatu semangat dan wacana baru tentang
ekonomi Islam yang melihat dari sisi pencapaian falah
(kesejahteran dunia dan akhirat). Ilmu ekonomi Islam
masih harus dikembangkan menuju kepada konsep
yang nyata diaplikasikan di setiap aspek kehidupan.
Selamat membaca.

Makkah al Mukarramah, 29 Juni 2012

Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam vii


DAFTAR ISI

Terima Kasih ............................................................... iii


Kata Pengantar........................................................... iv
Daftar Isi .....................................................................viii
Daftar Tabel ................................................................ xiii
Daftar Gambar ............................................................xiv
Bab I Konsep Maqashid Syariah ............................. 1
1.1 Pendahuluan ........................................... 1
1.2 Pengertian Maqashid Syariah ................. 3
1.3 Landasan Maqashid Syariah .................... 6
1.4 Pembagian Maqashid Syariah ................. 8
1.5 Urgensi Mempelajari Maqashid Syariah . 13
1.6 Kesimpulan ........................................... 15

viii Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


Bab II Sejarah Pemikiran Maqashid Syariah ........... 16
2.1 Pendahuluan ........................................... 16
2.2 Pemikiran Maqashid Syariah Sebelum
Imam Syatibi ........................................... 17
2.2.1 Al-Tirmidzi al-Hakim (Abu ‘Abdullah
Muhammad ibn ‘Ali) ....................... 17
2.2.2 Al-Baqilani ....................................... 19
2.2.3 Imam al-Harmayn (Imam
Juwaeni) .......................................... 21
2.2.4 Abu Hamid Ghazali ......................... 23
2.2.5 ‘Izzudin bin ‘Abdissalam ................ 25
2.2.6 Ibnu Taimiyah ................................. 27
2.3. Pemikiran Maqashid Syariah Imam Syatibi
dan Sesudahnya....................................... 28
2.3.1 Imam Syatibi ................................... 29
2.3.2 Ibnu ‘Ashur ..................................... 31
2.3.3 Abu Zahra ....................................... 33
2.3.4 Yusuf Qardhawi .............................. 34
2.4. Kesimpulan ........................................... 36
Bab III Metodologi Maqashid Syariah...................... 37
3.1 Pendahuluan ........................................... 37
3.2 Ijtihad dan Maqashid Syariah .................. 38
3.3 Metode Ijtihad Maqashid Syariah ........... 41

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam ix


3.4 Kesimpulan ........................................... 44
Bab IV Maqashid Syariah dalam Ekonomi Islam ..... 46
4.1 Pendahuluan ........................................... 46
4.2 Falsafah Ekonomi Islam: Pendekatan
Epistemologi ........................................... 47
4.2.1 Definisi Ekonomi Islam ................... 47
4.2.2 Bangunan Ekonomi Islam .............. 50
4.2.2.1 Fondasi Ekonomi Islam..... 51
4.2.2.2 Pilar-Pilar Ekonomi Islam .. 56
4.2.2.3 Tujuan Ekonomi Islam ...... 58
4.3 Metodologi Ekonomi Islam ..................... 59
4.4 Maqashid Syariah dalam
Ekonomi Islam ......................................... 64
4.5 Kesimpulan ........................................... 66
Bab V Konsumsi dalam Tinjauan
Maqashid Syari’ah ........................................ 68
5.1 Pendahuluan ........................................... 68
5.2 Harta dalam Kedudukan Islam ................ 70
5.2.1 Definisi Harta (Mal) ........................ 71
5.2.2 Hakikat Harta dalam Islam ............. 72
5.2.3 Prinsip-Prinsip dalam
Mencari Harta ................................ 76
5.3 Prinsip-Prinsip Dasar Konsumsi............... 83

x Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


5.4 Skala Prioritas Konsumsi dalam
Tinjauan Maqashid Syariah...................... 86
5.5 Kesimpulan ........................................... 89
Bab VI Distribusi dalam Tinjauan
Maqashid Syari’ah ........................................ 90
6.1 Pendahuluan ........................................... 90
6.2 Wasilah (sarana) Distribusi Kekayaan
dalam Islam ........................................... 92
6.2.1 Profit dan Loss Sharing (PLS) ........ 92
6.2.2 Faraid (warisan) dan Wasiat .......... 93
6.2.3 Hibah ........................................... 93
6.2.4 ZISWAF ........................................... 94
6.3 Maqashid Syari’ah dalam
Distribusi Kekayaan ................................. 95
6.4 Kesimpulan ........................................... 95
Bab VII Merealisasikan Maqashid Syariah dalam
Manajemen Kekayaan ................................... 97
7.1 Pendahuluan ........................................... 98
7.2 Konsep Wealth Management ..................
7.3 Aplikasi Maqashid Syariah dalam
Analisa Kebutuhan Keuangan ................. 103
7.3.1. Dharuriyat ....................................... 104
7.4.2. Hajiyat ........................................... 107

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam xi


7.3.3 Tahsiniyat ........................................ 107
7.4 Kesimpulan ........................................... 107
Bab VIII Implementasi Corporate Social Responsibility
(CSR) dalam Tinjauan Maqashid Syariah ..... 109
8.1 Pendahuluan ........................................... 109
8.2 Corporate Social Responsibility: Definisi,
Konsep dan Bank Syari’ah ....................... 111
8.2.1 Definisi dan Konsep CSR ................ 111
8.2.2 CSR dan Bank Syari’ah ................... 115
8.3 Corporate Social Responsibility:
Bank Syari’ah Berbasis pada
Maqashid Syari’ah ................................... 117
8.4 Kesimpulan ........................................... 123
Daftar Pustaka ............................................................126
Biodata Penulis ...........................................................132

xii Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


DAFTAR TABEL

Tabel 1.3 Pembagian Maqashid Syariah ................. 12

Tabel 8.1 Transaksi-Transaksi Bisnis Islam .............. 114

Tabel 8.2 Corporate Social Responsibility

Bank Syariah ........................................... 118

Tabel 8.4 Program-Program CSR yang Esensi

dalam Perbankan Syariah ...................... 121

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam xiii


DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Bangunan Ekonomi Islam ................ 59


Gambar 7.1 Proses Manajemen Harta ................ 103
Gambar 8.3 Panduan Keseimbangan Hidup........ 119

xiv Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


BAB I

KONSEP

MAQASHID SYARIAH

1.1 Pendahuluan

Berbicara mengenai kehidupan manusia kita


tidak bisa lepas dari aturan-aturan yang menuntun
manusia untuk dapat hidup bahagia dan sejahtera.
Sebaliknya saat ini aturan-aturan yang dibuat oleh
manusia hanya sebatas untuk memberikan keuntungan
semata bagi manusia dengan menafikan adanya
aturan-aturan atau nilai-nilai agama. Doktrin ini dikenal
dengan Sekulerisme. Paham ini sudah lama mendarah
daging oleh kebanyakan orang baik Muslim atau non-
Muslim yang tujuannya memisahkan antara hubungan
dunia dengan agama. Dalam Islam memandang aspek
kehidupan tidak hanya pada materi saja melainkan
juga pada aspek spiritual. Sebab dunia adalah ladang
amal bagi manusia untuk mencapai kehidupan yang
kekal abadi di akhirat nanti. Dalam Surah Al-Qasas, 77
dijelaskan: ”Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 1


apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi
janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu…”
Islam adalah agama yang komprehensif dan
universal, yang menuntun manusia di segala aspek
kehidupannya dalam mencapai kehidupan yang utama
yaitu di akhirat kelak. Karena itu dalam Islam manusia
mempunyai 2 tanggung jawab utama yang harus
diembannya sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi
ini, yaitu sebagai penyembah Allah (Adh-Dhariyat: 56)
dan pemakmur bumi (Hud: 61). Keduanya mempunyai
hubungan yang erat antara akhirat dan dunia, sehingga
manusia tidak lepas dari nilai-nilai Islam (syariat) dalam
aktivitasnya di muka bumi untuk mencapai tujuan
akhirnya yaitu akhirat (maqsud al-syari’ah).
Dalam mencapai kesempurnaan hidup, syariat
dan maqashid syariah harus berjalan beriringan. Karena
cara tanpa tujuan hasilnya nihil, sebaliknya tujuan
tanpa cara akan berdampak kepada kesesatan. Adapun
tujuan umum dari Maqashid syariah adalah kebahagian,
keadilan, kesejahteraan dan kepentingan umat manusia.
Oleh karena itu pentingnya bagi umat Muslim untuk
memahami maqashid syariah secara utuh dan juga harus
memahami syariah sebagai aturan-aturan hidupnya.
Dalam bab pertama ini akan dibahas pengertian,
landasan, sejarah dan pembagian maqashid syariah
yang merupakan fondasi dasar sebelum melangkah
kepembahasan ekonomi Islam yang berhubungan
dengan maqashid syariah.

2 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


1.2 Pengertian Maqashid syariah

Arti Maqashid syaari’ atau maqashid al-syariah atau


al-maqashid al-syariyyah adalah sama yang masih dalam
satu pengertian, yaitu tujuan-tujuan syari’at. Pengertian
maqashid syariah dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu
dari sisi kata majemuk (Murakkab al-Idhafi) dan dari sisi
keilmuwan (‘ilm). Dari Murakkab al-Idhafi terdiri dari
kata maqsod dan syariah. Secara etimologi, al-maqsad
berasal dari kata qasada-yaqsidu-maqsidan yang berarti
jalan yang lurus (thariqul mustaqim), tengah-tengah
(wasth) dan keadilan (‘adl). Beberapa ayat al-Qur’an
yang menunjukan dalil tentang makna ini yaitu:

2
ΪμΘϘϣ ϢϬϨϣϭ 1Ϛϴθϣ ϲϓ Ϊμϗ΍ϭ
3
ϞϴΒδϟ΍ Ϊμϗ Ϳ΍ ϲϠϋϭ

Sedangkan dalam hadits dijelaskan seperti:

ϝϮϘϟ΍ ϲϓ έϮϣϷ΍ ϲϓ ςγϮΘϟΎΑ ϢϜϴϠϋ : 4΍ϮϐϠΒΗ ΪμϘϟ΍ ΪμϘϟ΍


5
ρ΍ήϓϻ΍ ϑϼΧ :Ίθϟ΍ ϲϓ ΪμϘϟ΍ϭ Ϟόϔϟ΍ϭ

Adapun secara terminologi, al-maqsad adalah


tujuan yang diinginkan untuk mencapai keadilan.
Selanjutnya syariah secara etimologi yang berarti jalan

1 Al-Qur’an, Surah Lukman: 19.


2 Al Qur’an, Surah Fathir: 23.
3 Al Qur’an, Surah al-Nahl: 9.
4 Riwayat Bukhari, Fahtul Baru li Ibn Hajar al-asyqalani, Riyadh:
Darussalam, 1997, hal 182.
5 Ibn al-Atsir, al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wal Atsar, Beirut:
Darul Ma’rifah, 2001, hal. 458.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 3


yang terang (al-thariqoh)6atau berasal dari kata syir’ah
dan syari’ah yang berarti suatu tempat yang dijadikan
sarana untuk mengambil air secara langsung sehingga
orang yang mengambilnya tidak memerlukan bantuan
alat lain.7 Secara Terminologi, hukum atau undang-
undang yang ditentukan Allah SWT untuk hamba-
Nya sebagaimana terkandung dalam Kitab Suci Al-
Qur’an dan diterangkan oleh Rasulullah dalam bentuk
sunnahnya.8 Dari kedua pengertian tersebut maka
dapat didefinisikan makna dari maqashid syariah yaitu
tujuan-tujuan atau hikmah-hikmah yang ditetapkan
oleh Syari’ pada setiap hukum dari hukum-hukum-Nya
untuk kemaslahatan manusia.9 Menurut Raysuni (1995),
maqashid syariah yaitu tujuan-tujuan yang ditetapkan
syari’ (Allah) untuk memastikan kemaslahatan hamba-
hamba Nya.10
Selanjutnya pengertian dari sisi keilmuwan dapat
ditelusuri dari beberapa pemikiran ulama-ulama usul fiqh
seperti Imam al-Harmayn, Imam Ghazali, Imam Syatibi
dan Ibnu ‘Ashur. Imam al-Harmayn sampai kepada
Imam Ghazali belum memberikan definisi maqashid
syariah secara terperinci karena pada masanya kajian
tentang maqashid syariah masuk dalam pembahasan
ilmu usul fiqh, baru pada masa Ibnu ‘Ashur pemberian
definisi itu ada. Ibnu ‘Asyur mendefinisikan maqashid
al’amm li al-syari’ah adalah tujuan-tujuan (al-ma’ani) dan
6 1 Al-Qur’an, Surah Lukman: 19.
7 Lihat Mu’jam Alfazh al-Qur’an al-Karim, Kairo: majma’ al-Lughah
al-‘Arabiyyah, juz 2, hal 13
8 Nasaruddin Razak, Dienul Islam, Bandung: PT. Al-Ma’arif,
1989, hal. 59.
9 Zaharuddin Abdul Rahman, Maqashid al-Buyu’ wa Thuruqu
Itsbatiha fil Fiqh al-Islami, Amman: Darul al-Nafais, 2011, Hal. 29.
10 Ahmad Raysuni, Nadhoriyyat al-Maqashid ‘inda Imam al-Syatibi,
Beyrut: IIIT, 1995, hal. 19.

4 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


hikmah-hikmah (al-hikam) yang diinginkan oleh Allah
(sya’ri) dalam seluruh hukum (tasyri’) atau sebagian
besarnya, yang tidak dikhususkan perhatiannya kepada
hukum-hukum syariah yang khusus saja.11 Penjelasan
ini sebenarnya secara tidak langsung mempunyai
kesamaan arti maqashid syariah oleh Imam Syatibi.
Persamaan tersebut sebagaimana yang tertulis dalam
bukunya al-muwafaqat: “perbuatan-perbuatan syariah
bukanlah sebuah tujuan dalam dirinya, melainkan
ada permasalah-permasalahan (umurun) lain yang
bermaksud atasnya (syariah) yaitu tujuan-tujuannya
(ma’aniha).12 Dari sini terjawab walaupun Imam Syatibi
tidak menjelaskan maqashid syariah dalam bentuk
definisi namun pada inti mempunyai esensi yang sama
dengan definisi Ibn ‘Ashur.
Langsung kepada tujuan umumnya, Al-Fasi
(2001) mendefinisikan maqashid al’amm li al-syari’ah
al-Islamiyyah dengan pemakmuran, pemeliharaan
aturan kehidupan dan keberlangsungan perbaikan
yang lebih baik di muka bumi dengan memperbaiki
keadaan pemakmur dan pelaksanaannya di dalamnya
sebagaimana yang dibebankan kepadanya untuk
berbuat adil dan istiqomah serta dari perbaikan dalam
akal dan dalam pekerjaan dan perbaikan di muka bumi
yang tujuannya untuk kebaikannya dan pengelolaan
untuk kemanfaatan semua.13 Kebanyakan ulama
mendefinisikannya dengan mendatangkan manfaat-
manfaat (jalb al-mashalih) dan meninggalkan kerusakan-
11 Ahmad Raysuni, Nadhoriyyat al-Maqashid ‘inda Imam al-Syatibi,
hal. 18.
12 Ibid, hal. 62.
13 Muhammad Thahir al-Masawi, Maqashid al-Syariah al-
Islamiyyah: al-Syeck Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur, Amman:
Darul al-Nafais, 2001, hal. 148.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 5


kerusakan (al-mafasid). Maslahat diibaratkan dengan
manfaat, kebenaran dan kebaikan. Sedangkan mafsadah
diibaratkan dengan mudharat (bahaya), kejahatan dan
kesalahan.14 Kemudian diperjelas oleh Imam Ghazali
bahwa al-maqashid al-khamsah bagi manusia adalah
menjaga agamanya, dirinya, akalnya, keturunannya
dan hartanya. Segala sesuatu yang berkenaan dengan
penjagaan yang lima adalah maslahat, sedangkan segala
yang berkenaan dengan meninggalkan yang lima adalah
mafasadah.15 Selanjutnya menurut para ahli usul bahwa
al-maqashid al-asliyyah adalah dharuriyyah, hajjiyat dan
tahsiniyyah.
Dapat disimpulkan bahwa maqashid syariah
berhubungan dengan tujuan dan hikmah yang ditentukan
oleh Syari’ untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya
di muka bumi. Tujuannya adalah mendatangkan
kemaslahatan dengan memenuhi al-maqashid al-
khamsah dan meninggalkan sesuatu yang bisa merusak
al-maqashid al-khamsah, yang pada akhirnya akan
memberikan kebahagian manusia di dunia dan akhirat
kelak.

1.3 Landasan Maqashid syariah

Syariat yang ditujukan kepada manusia


mempunyai tujuan-tujuan yang telah ditentukan
atau ditetapkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu
Allah SWT telah mengutus para rasul melalui wahyu
yang disyariatkan kepada manusia untuk mencapai

14 Rafiq Yunus Misri, Fiqh al-Muamalah al-Maliyah, Dimaskus:


Darul Qalam, 2005, hal. 11.
15 Al-Ghazali, Al-Musthafa, Beirut: Darul al-Shadir, 1993, hal. 248.

6 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


keadilan. Allah SWT berfirman dalam Surah al-Hadid
ayat 25:

ϥ΍ΰϴϤϟ΍ϭ ΏΎΘϜϟ΍ ϢϬόϣ ΎϨϟΰϧ΃ϭ ΖϨϴΒϟΎΑ ΎϨϠγέ ΎϨϠγέ΃ ΪϘϟ


.ςδϘϟΎΑ αΎϨϟ΍ ϡϮϘϴϟ
“Sungguh, kami telah mengutus rasul-
rasul kami dengan bukti-bukti yang nyata
dan kami turunkan bersama mereka kitab
dan neraca (keadilan) agar manusia dapat
berlaku adil.

Di Surat yang lain Allah SWT memerintahkan


manusia sebagai khalifatullah untuk berlaku adil dan
baik yang merupakan manifestasi dari maslahat, dan
memerintahkan untuk menjauhi perbuatan keji dan
munkar yang merupakan manifestasi dari mafsadah.
Dalam maqashid syariah maslahat harus dicapai dan
mafsadah harus ditinggalkan.

Ϧϋ ϲϬϨϳϭ ϲΑήϘϟ΍ Ϋ ΉΎΘϳ΍ϭ ϥΎδΣ ϻ΍ϭ ϝΪόϟΎΑ ήϣ΄ϳ Ϳ΍ ϥ·


.ϥϭήϛάΗ ϢϜϠόϟ ϢϜψόϳ ϲϐΒϟ΍ϭ ήϜϨϤϟ΍ϭ ˯ΎθΤϔϟ΍

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)


berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi bantuan kepada kerabat, dan
Dia melarang (melakukan) perbuatan
keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran (An-Nahl: 90).

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 7


Konsep maqashid syariah yang lain memberikan
kemudahan kepada manusia dalam melaksanakan
syariat sebagaimana penjelasan mengenai proses
berwudhu yang kesimpulannya adalah:

Ϊϳήϳ ϦϜϟϭ ΝήΣ Ϧϣ ϢϜϴϠϋ ϞόΠϴϟ Ϳ΍ Ϊϳήϳ Ύϣ……….


.ϥϭήϜθΗ ϢϜϠόϟ ϢϜϴϠϋ ϪΘϤόϧ ϢΘϴϟϭ ϢϛήϬτϴϟ

“….Allah tidak ingin menyulitkan kamu,


tetapi Dia hendak membersihkan kamu
dan menyempurkan nikmat-Nya bagimu,
agar kamu bersyukur (Al-Maidah: 6).

Dalam beberapa hadits juga dijelaskan


tentang perlunya maqashid syariah atau memberikan
kemaslahatan kepada manusia.

ϚόϔϨϳ Ύϣ ϲϠϋ ιήΣ΍ ϢϠγ ϭ ϪϴϠϋ Ϳ΍ ϲϠλ Ϳ΍ ϝϮγέ ϝΎϗ


(ϢϠδϣ ΢ϴΤλ)

“Rasulullah SAW bersabda, carilah apa


yang bermanfaat bagi kamu (HR. Muslim)16

1.4 Pembagian Maqashid Syariah

Beberapa ulama usul fikih telah memfokuskan


pembahasan maqashid syariah menjadi beberapa
kategori atau pembagian. Pembagian yang paling
16 Imam Muslim, Shahih Muslim (2287), terjemah oleh Makmur
Daud, Malaysia: Klang Book Center, 1982, hal. 244.

8 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


mendasar adalah pembagian yang diperkenalkan
Imam Ghazali. Menurut Imam Ghazali maqsud al-syar’I
dari manusia ada 5, yaitu memelihara agama, diri, akal,
keturunan dan hartanya, yang merupakan maslahat bagi
manusia.17 Sedangkan al-‘Iz ibn Abdul Salam membagi
maslahat dunia menjadi 3 kategori, yaitu dharuriyat,
hajiyat dan takmiliyat.18 Pertama, dharuriyat adalah
tingkatan dimana berbagai maslahat tidak akan tercapai
tanpa terpenuhinya maqashid al-khamsah, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Imam Ghazali.
Kedua, hajiyat adalah segala sesuatu yang
tidak dimaksudkan oleh syariat untuk memelihara
maqashid al-khamsah melainkan maksudnya adalah
menghilangkan kesulitan, kesempitan atau kesusahan
dalam pelaksanaan maqashid al-khamsah. Ketiga,
tahsiniyat atau kamaliyat adalah segala sesuatu yang
tujuan tidak untuk merealisasikan maqashid al-khamsah
dan tahsiniyat melainkan untuk menjaga kehormatan
dari maqashid al-khamsah itu sendiri. Selanjutnya,
pembagian maqashid berdasarkan ketetapan hukumnya
dibagi menjadi dua yaitu maqashid al-qat’iyyah dan al-
zanniyyah. Kategori pertama berdasarkan dalil Qur’an
dan Hadits seperti memelihara harta, kehormatan dan
keadilan. maqashid ini berhubungan dengan sesuatu
yang dharuriyat. Sedang kategori kedua merupakan
tujuan bersifat tidak pasti (spekulasi) bisa berhubungan
dengan dalil-dalil syariah atau dengan ijma dan ijtihad.19
Imam Syatibi membagi maqashid dari sisi sifatnya
menjadi dua bagian yaitu maqashid al-ashli dan thabii’
17 Al-Ghazali, Al-Musthafa, hal. 248.
18 Rafiq Yunus Misri, Fiqh al-Muamalah al-Maliyah, hal.15.
19 Mohammad Hashim Kamali, Shariah Law an Introductory,
England: Oneworld Publication, 2008, hal. 133.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 9


atau sinonim dengan maqashid yang pertama dan
kedua. Menurutnya bahwa sesungguhnya hukum-
hukum syariah mempunyai tujuan yang mendasar yang
dijelaskan tujuan yang pertama dan tertinggi terhadap
sebuah hukum, yang mempunyai tujuan yang kedua
mengikuti yang pertama. Contohnya, nikah disyariatkan
untuk tujuan mengembangkan keturunan (sebagai
tujuan awal) yang selanjutnya memerlukan tempat
tinggal, tolong menolong untuk kemaslahatan dunia
dan akhirat.20
Contoh lainnya adalah tujuan utama menghadiri
perkuliahan adalah untuk meningkatkan ilmu
pengetahuan, dan tujuan keduanya adalah untuk
mendapatkan informasi dari teman-teman mahasiswa
atau untuk diskusi mengenai mata kuliah yang belum
begitu dipahami. Selanjutnya beliau juga membaginya
kedalam maqashid al-Syari’ dan al-mukallaf. Maqashid
al-Syari’ (tujuan Syari’) untuk menetapkan syariat untuk
kemaslahatan hambanya saat ini dan kemudian hari
secara bersamaan dengan memelihara kemaslhatan
dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat. Adapun maqashid al-
mukallaf (tujuan manusia) diwujudkan dalam bentuk
perilaku atau pelaksanaan yang dibatasi oleh syariat.21
Kemudian secara umum maqashid syariah dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu: al-maqashid al-‘amm, al-khas
dan al-Juz’i. Pertama, al-maqashid al-‘amm adalah tujuan-
tujuan yang tetapkan oleh syara’ pada setiap hukum-
hukum syariat. Tujuan ini lebih ditekankan kepada
kemaslahtan manusia secara umum seperti keadilan
dan kesejahteraan. Kedua, al-maqashid al-khas yaitu
20 Ahmad Raysuni, Nadhoriyyat al-Maqashid ‘inda Imam al-Syatibi,
300
21 Ibid, hal. 344—347 .

10 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


hukum-hukum yang dikhususkan pada pembahasan
tertentu dari syariat. Contohnya, maqashid syariah
dalam keuangan, hukum-hukum keluarga dan hukum
jinayat.22 Ketiga, al-maqashid al-juz’i yaitu apa yang
dimaksudkan Syari’ dari setiap hukum syariat dalam
bentuk wajib, haram, sunnah dan lainnya. Contohnya,
kewajiban shalat untuk menjaga atau memelihara agama
atau keharaman zina untuk menjaga dan memelihara
keturunan yang baik.
Maqashid syariah juga sering disinonimkan
dengan kata maslahat oleh para ulama baik dahulu atau
sekarang, karena tujuan dari Maqashid syariah itu sendiri
adalah untuk mencapai kemaslahatan (kemanfaatan)
manusia dan meniggalkan kerugian-kerugian bagi
manusia. Oleh karena itu maslahat pun dibagi menjadi 3
kategori, yaitu maslahat al-mu’tabarah, al-mulghah dan
al-mursalah. Mashalih Mu’tabara adalah maslahat yang
telah diatur oleh Syari’ dalam hukum-hukum syari’at
sebagai dalil untuk diwujudkannya seperti pemeliharaan
harta melalui hukum-hukum muamalat maliyah
dan pengharaman mencuri. sesuatu yang dianggap
maslahat oleh sebagian manusia namun syariat dengan
tegas menolaknya melalui penetapan hukum yang tidak
menganggapnya sebagai maslahat seperti transaksi riba
yang hanya menguntungkan sebagian yang lain, tetapi
dilarang dalam syariat. Mashlahah Mursalah adalah
maslahat yang tidak dinafikan oleh syariat dan tidak pula
diakui secara tegas (didiamkan) seperti dikenakannya
zakat kepada kuda oleh Umar bin Khattab.

22 Zaharuddin Abdul Rahman, Maqashid al-Buyu’ wa Thuruqu


Itsbatiha fil Fiqh al-Islami, hal. 29.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 11


Dari penjelasan-penjelasan diatas maka maqashid
syariah dapat di kategorikan menjadi beberapa aspek
penting yang terlihat pada tabel 1.3 berikut ini:

Tabel 1.3 Pembagian Maqashid syariah

Kategori
Maqashid Pembagian Penjelasan
Syariah

Jenis maqashid ini


Dari tujuan Maslahat dan menjelaskan tentang
dasarnya mafsadah tingkatan kemaslaha-
tan yaitu dharuriyat,
hajiyat dan tahsiniyat.

Jenis maqashid ini


menjelaskan tentang
tujuan utama sebuah
hukum dan tujuan
pendukungnya. Con-
toh nikah disyariatkan
untuk tujuan mengem-
Dari sisi sifat- Maqashid al-ashli bangkan keturunan
nya dan thabii’ (sebagai tujuan awal)
yang selanjutnya me-
merlukan tempat ting-
gal, tolong menolong
untuk kemaslahatan
dunia dan akhirat.

Maqashid al-qat’iyyah
berdasarkan Qur’an
Dari sisi Maqashid al- dan Hadits. Sedangkan
ketetapan qat’iyyah dan maqashid al-zanniyyah
hukumnya al-zanniyyah bisa berdasarkan
sumber-sumber utama
atau ijma atau ijtihad.

12 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


Maqashid al-Syari’
(tujuan Syari’) untuk
menetapkan syariat
untuk kemaslahatan
hambanya saat ini dan
kemudian hari secara
Maqashid al- bersamaan dengan
Dari sisi ke- Syari’ dan al- memelihara kemaslha-
wajiban mukallaf. tan dharuriyat, hajiyat
dan tahsiniyat. Adapun
maqashid al-mukallaf
(tujuan manusia) diwu-
judkan dalam bentuk
perilaku atau pelaksan-
aan yang dibatasi oleh
syariat

al-maqashid al-‘amm
adalah tujuan-tujuan
umum yang ditetap-
kan oleh Syara’ untuk
Dari sisi kemaslahatan ham-
ruang ling- al-maqashid al- banya, sedangkan al-
kup pemba- ‘amm, al-khas khas lebih dikhususkan
hasannya dan al-Juz’i tujuan pembahasan-
nya seperti maqashid
keuangan. Adapun
al-juzi’ dihubungkan
dengan hukum-hukum
taklifi.

1.5 Urgensi Mempelajari Maqashid syariah

Mempelajari maqashid syariah adalah fardhu


kifayah, sehingga apabila beberapa orang Muslim
telah mempelajarinya maka yang lainnya terbebas dari
kewajiban tersebut. Namun perlu diketahui bahwa
mempelajari ilmu ini sangat lah penting untuk memahami
maksud-maksud ditetapkannya sebuah syariat.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 13


Beberapa poin penting dalam mempelajari
maqashid syariah menurut Qardhawi adalah untuk23:
1. Untuk memahami al-Qur’an dengan cara yang
benar
Dalam mempelajari Qur’an ayat yang satu dengan
yang lainnya saling berhubungan sehingga
dalam pemahamannya pun menjadi jelas dan
akan mencapai suatu kebenaran. Contohnya
dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan riba
menjelaskan urutan proses pengharamannya
dapat memberikan pengertian yang jelas mengenai
maksud dan tujuan pengharamannya.
2. Untuk memahami syariat Islam secara umum
Mempelajari maqashid syariah sangat lah penting
bagi mereka yang ingin mempelajari syariah dan
rahasia-rahasianya. Dengan mempelajarinya
dapat memberikan gambaran umum dari maksud
atau tujuan pelaksanaan suatu hukum syariat.
Contohnya, adanya pengharaman zina adalah
untuk menjaga atau memelihara manusia dari
keturunan dan kehormatannya.
3. Untuk melanjutkan ijtihad
Ijtihad yang benar yaitu dapat memahami
pesan-pesan syariah dari aspek-aspek eksternal
dan tujuannya yang terkandung di dalamnya.
maqashid syariah merupakan ilmu yang penting
23 Basri bin Ibrahim al-Hasani al-Azhari&Wan Mohd Yusuf
bin Wan Chik, Maqasdi Shariyyah according to al-
Qardhawi in the Book al-Halal wa al-Haram fi al-Islam,
Vol. 2 No. 1; January 2011, hal. 240—241.

14 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


dalam memahami maksud dan tujuan dari sebuah
syariah dengan melihat dari sisi maslahat yang
tidak bertentangan dengan syariah.
4. Untuk memastikan ijtihad
Untuk dapat mencapai tingkatan ijtihad ada salah
satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh seseorang
yaitu memahami maqashid syariah secara
komprehensif, karena merujuk kepada maqashid
al-khamsah: dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat.
maqashid syariah digunakan untuk memastikan
hasil ijtihad syariyyah telah memperhatikan
kemaslahatan umat.

1.6 Kesimpulan

Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan


yang ditetapkan oleh syariah untuk memastikan
kemaslahatan manusia. Beberapa ulama dahulu telah
banyak mendefinisikan makna dari Maqashid syariah
yang terhimpun dalam beberapa kategori yaitu dilihat
dari sisi tujuan dasarnya, sifatnya, ketetapan hukum,
kewajiban dan ruang lingkup pembahasannya. Kata
Maqashid syariah juga sering disinonimkan dengan
konsep maslahat yang terdiri dari dharuriyat, hajiyat
dan tahsiniyat. Tingkatan maslahat tersebut merupakan
suatu standard dalam menentukan urutan prioritas
yang harus dipenuhi dalam mengambil suatu keputusan
hukum syariat. Oleh karena itu mempelajari ilmu ini
sangat lah penting bagi seorang Muslim yang ingin
benar-benar memahami syariat Islam secara mendalam
dan komprehensif.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 15


BAB II

SEJARAH PEMIKIRAN

MAQASHID SYARIAH

2.1 Pendahuluan

Maqashid syariah pada awalnya merupakan salah


satu sub topik pembahasan dalam ilmu ushul fikih
yang kemudian dikembangkan menjadi kajian yang
tersendiri oleh beberapa ulama fikih. Ulama-ulama
seperti Tirmidzi al-Hakim, Imam Juwaeni dan Imam
Ghazali secara eksplisit telah mengawali pembahasan
tentang maqashid syariah dalam ruang lingkup ilmu
ushul fikih. Pemikiran-pemikiran mereka akhirnya
dikembangkan oleh para ulama sesudahnya yang fokus
pembahasannya lebih khusus pada pengembangan
ilmu maqashid syariah seperti Imam Syatibi dan Ibn
Asyur. Seharusnya pemikiran-pemikiran maqashid
syariah yang telah diasaskan oleh para ulama terdahulu
perlu diperkenalkan dan ketahui oleh orang-orang
Muslim agar dapat memahami syariah secara benar
dan komprehensif. Disamping itu juga dapat menjadi
landasan yang kuat dalam mengembangkan konsep

16 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


ekonomi, sosial dan politik yang berbasis kepada
ilmu maqashid syariah. Oleh karena itu di bab ini akan
membahas pemikiran-pemikiran ilmu maqashid syariah
dari perspektif ulama-ulama dahulu sebelum dan
sesudah Imam Syatibi. Tetapi pembahasannya akan
dibatasi kepada pemikiran-pemikiran ulama yang sangat
menonjol dalam maqashid syariah.

2.2 Pemikiran Maqashid Syariah Sebelum Imam


Syatibi

Pada tahapan ini pemikiran tentang ilmu


maqashid syariah hanya menjadi bagian dari sub judul
pembahasan ilmu ushul fikih yang telah dikaji oleh para
ulama dahulu. Ada beberapa ulama dahulu yang telah
memasukan pembahasan maqashid syariah di dalam
karya-karyanya, diantaranya adalah:

2.2.1 Al-Tirmidzi al-Hakim (Abu ‘Abdullah Muhammad


ibn ‘Ali)

Beliau seorang ulama yang hidup di abad ke-3


hijriyah. Para ulama telah berbeda pendapat mengenai
wafatnya. Beliau bukan seorang ahli fikih atau ahli
usul melainkan seorang sufi dan filusuf. Pemikirannya
mengenai maqashid syari’ah difokuskan pada maqashid
al-khassah karena bukunya yang berjudul al-Shalat wa
Maqashiduha. Karyanya adalah yang pertama secara
spesifik menggunakan kata maqashid.24
Inti dari pembahasan al-shalat wa Maqashiduha
berisi tentang maksud dan tujuan shalat bagi umat
24 Ahmad Raysuni, Nadhoriyyat al-Maqashid ‘inda Imam al-
Syatibi, Beyrut: IIIT, 1995, hal. 40
Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 17
Islam. Maksud dan hikmah dari shalat dapat dilihat
dari sisi falsafah dan gerakan shalat itu sendiri. Dalam
falsafah shalat beliau memberikan penjelasan tentang
maksud zikir kepada Allah di dalam shalat. Menurutnya
dengan mengingat Allah maka akan menyejukkan dan
melembutkan hati, dengan syahawat (hawa nafsu)
makan akan mengeraskan dan mengeringkan hati.
Analoginya kepada sebuah pohon yang tidak pernah
disiram maka akan mengering dan batang-batangnya
akan layu.25 Sama halnya dengan hati manusia harus
lah sering mengingat Allah SWT untuk mendapatkan
ketenangan hati, sehingga kebahagian yang dalam
ibadah dapat tercapai. Sebagaimana firman Allah SWT
yang berbunyi:

ϦΌϤτΗ Ϳ΍ ήϛάΑ ϵ΍ ,Ϳ΍ ήϛάΑ ϢϬΑϮϠϗ ϦΌϤτΗϭ ΍ϮϨϣ ΃ Ϧϳ άϟ΍


26
{Ϊϋήϟ΍} ΏϮϠϘϟ΍

“(Yaitu) orang –orang yang beriman dan


hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah, ingatlah, hanya dengan
mengingat Allah menjadi tentram
(Al-Ra’d:28)

Gerakan shalat satu dengan yang lainnya


berbeda dan mempunyai maksud dan hikmah dalam
pelaksanaannya. Sepatutnya hal ini diketahui oleh
seorang Muslim agar dalam pelaksanaan shalat
25 Ahmad Raysuni, Nadhoriyyat al-Maqashid ‘inda Imam al-Syatibi,
hal. 41.
26 Al-Qur’an. Al-Ra’d:28.

18 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


benar-benar memahami maksud dan tujuannya.
Beliau menjelaskan bahwa maksud dari menghadap
kiblat dari shalat adalah untuk menjauhi kita dari sifat
keberpalingan. Dengan takbir menjauhkan kita dari
sifat sombong, dengan pujian menjauhkan kita dari
kelalaian, dengan rukuk menjauhi kita dari kebengisan,
dengan sujud menjauhi kita dari dosa, dengan tasahud
menjauhi kita dari kerugian dan dengan salam menjauhi
kita dari bahaya yang besar.27 Penjelasannya ini sangat
berhubungan dengan maqashid al-khassah, karena benar-
benar menjelaskan dengan rinci falsafah dan maksud
dari tujuan kita melakukan ibadah shalat. Oleh karena
itu di dalam beberapa literatur menyatakan bahwa
beliau adalah ulama pertama yang menggunakan kata
maqashid dalam hubungannya dengan permasalahan
shalat.

2.2.2 Al-Baqilani

Nama sebenarnya adalah Abu Bakr Muhammad


bin al-tayyib bin Muhammad bin Dha’far bin al-qasim.
Beliau dilahirkan di Basrah (tanggal kelahirannya
tidak diketahui) dan masa hidupnya banyak dilalui di
Baghdad, dan wafat tanggal 23 Zul Qa’dah 403
H/ 1013 M di Baghdad. 28 Latar pendidikannya telah
banyak dipengaruhi oleh kalam al-’Asy’ari dan mazhab
fikih maliki.29 Beliau mempelajari usul dari Abu Bakar
ibn Mujahid dan fikih dari Abu Bakar al-Abhuri.30 Banyak
27 Ibid, 41.
28 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta:UI-Press, 1986, cet. V, hlm. 71.
29 http://www.muslimphilosophy.com. Abu Bakar al-Baqilani,
diakses tanggal 8 mei 2012.
30 http://bewley.virtualave.net/,al-Baqilani, diakses tanggal 8 mei
2012

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 19


ulama yang menyanjung kehebatannya di bidang ilmu
fikih sehingga beliau dijuluki dengan panggilan Syekh al-
sunnah dan lisan al-ummat.31
Dalam karirnya, beliau pernah menjabat sebagai
hakim agung dan menonjol dalam pertemuan ilmiah
terutama dalam pembahasan ilmu usul fikih dan kalam.
Selanjutnya jika Imam Syafii telah memasukan ilmu
usul fikih pada tahapan penulisan dan pencatatan,
sedangkan al-Baqilani telah melakukan lompatan yang
signifikan dengan melakukan penulisan ilmu usul fikih
menuju tahapan yang ruang lingkupnya lebih luas dan
komprehensif, yaitu pada tahapan pencampuran dan
perkawinan dengan ilmu kalam.32
Karyanya yang berhubungan dengan maqashid
syari’ah yaitu Al-Taqarrub wal irsyad fi tartibi turuqil
ijtihad dan al-muqni fi usul fiqh. Karangan-karangan ilmu
usul fikihnya banyak mengundang perhatian ulama
usul pada masa itu, bahkan Imam al-Harmayn telah
meringkas al-Taqrib nya di dalam bukunya yang berjudul
al-Talkhis.33 Diskusi-diskusi dalam kitab al-Burhan imam
al-Harmayn (Imam Juwaeni) selalu menampilkan
pendapat al-Baqilani. Ada pendapatnya yang diterima
dan diperkuat dan sebagiannya ditentang dengan
argumen yang santun oleh Imam Juwaeni.34 Dapat
diambil kesimpulan bahwa al-Baqilani merupakan ulama
yang banyak mempengaruhi ulama-ulama sesudahnya
dalam pengembangan ilmu usul fikih terutama dalam
pengembangan maqashid syariah.
31 Ahmad Raysuni, Nadhoriyyat al-Maqashid ‘inda Imam al-Syatibi,
hal. 45.
32 Ibid, 45.
33 Ibid, 46.
34 Asmuni, Studi Pemikiran al-Maqashid, Al-Mawarid Edisi XIV,
2005, hal. 157.

20 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


2.2.3 Imam al-Harmayn (Imam Juwaeni)

Nama sebenarnya adalah Abu al-Ma’ali ‘Abdul


Malik bin ‘Abdulllah al-Juwaeni. Beliau di lahirkan di Parsi
(Nisaburi) pada 419 H/999 M. Gelar Imam al-Harmayn
melekat pada dirinya karena beliau pernah tinggal di
Mekkah al-Mukarrah selama empat tahun lamanya,
dan kemudian dipanggil pulang oleh Khalifah untuk
mengajar di madrasah nizam al-mulk. Karya nya yang
terkenal dan berhubungan dengan maqashid syariah
adalah al-Burhan. Diskusi-diskusi mengenai maqashid
syariah dapat ditemui di dalam kitab al-Burhan, sehingga
menjadi titik tolak penulisan dan penerbitan ilmu usul
fikih setelahnya.35
Bahkan al-Burhan mempunyai posisi yang sama
dengan al-al-Risalah karangan Imam Syafii dalam kajian
ilmu usul fikih. Hal ini mungkin dikarenakan orang
tuanya merupakan salah seorang penjelas dari kitab al-
Risalah, sehingga beliau lebih benar-benar mengetahui
dan memahami isi Risalah Imam Syafii.36
Adapun sumbangannya terhadap perkembangan
ilmu maqashid syariah telah menjadi pengakuan dari
kalangan ulama usul fikih. Al-Juwaeni menggunakan kata
al-maqashid, al-maqsad dan al-qasdu sebanyak sepuluh
kali dalam al-Burhan, dan kebanyakan penggunaan
kata maqashid diungkapkan dalam kata al-ghard dan
al-aghrad.37 Adapun arahannya yang jelas mengenai
pentingnya maqashid syariah dapat ditemukan dalam
perkataannya: “barang siapa yang belum mengetahui
hakikat maqashid dalam bentuk perintah-perintah
35 Ahmad Raysuni, Nadhoriyyat al-Maqashid ‘inda Imam al-Syatibi,
hal. 47.
36 Ibid, hal. 47.
37 Ibid, hal. 48.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 21


dan larangan-larangan, maka dia tidak pantas dalam
meletakan syariah.38
Dalam kitab al-Burhan dijelaskan dalam bab ‘illah
dan usul. Menurutnya pembagian illah atau ta’lillah al-
syar’iyyah ke dalam lima kategori, yaitu39:
1. Segala sesuatu yang berhubungan dengan
dharuriyat seperti qisas yang alasannya adalah
untuk menjaga darah yang suci dan menahan dari
pertumpahan darah.
2. Segala sesuatu yang berhubungan dengan hajat
(kebutuhan) publik seperti melakukan ijarah
(dalam bentuk manfaat dan barang) antara
sesame manusia.
3. Segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan
dharuriyat dan hajat (kebutuhan) publik melainkan
dalam bentuk tahalli (hiasan) seperti al-mukarrimah
yaitu perbuatan yang baik tergolong sebagai
penghias seperti thaharah.
4. Segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan
dharuriyat dan hajat (kebutuhan) publik, namun
masuk dalam tingkatan yang lebih rendah dari
tingkatan tiga, seperti perbuatan-perbuatan yang
dianjurkan (mandubat).
5. Segala sesuatu yang tidak keliahatan proses ta’lil
yang jelas dan tujuan yang tertentu yang tidak
masuk dalam pembahasan dharuriyat, hajiyat dan
mukarramat. Pada bagian ini sangat jarang sekali
dalam syariat, karena setiap hukum-hukumnya
mungkin mempunyai tujuan yang jelas dan
manfaat-manfaat yang nyata.

38 Ibid.
39 Ibid, hal. 50.

22 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


Dari lima pembagian ini dikerucutkan menjadi
tiga pembagian. Menurutnya, bagian tiga dan empat
digabungkan menjadi satu bagian. Sedangkan bagian
lima tidak dimasukkan karena tidak masuk dalam
kategori dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat. Dapat
simpulkan bahwa sebenarnya pembagian maqashid
syariah menurut Imam Juwaeni ada tiga, yaitu dharuriyat,
hajiyat dan tahsiniyat.40 Selain itu mungkin beliau lah
ulama pertama yang melakukan klasifikasi maqashid
menjadi tiga tingkatan sekaligus yang merumuskan
dharuriyat al-kubra dalam syariat41, yang lebih popular
dengan nama maqashid al-khomsah.

2.2.4 Abu Hamid Ghazali

Abu Hamid Ghazali atau lebih dikenal dengan


Imam Ghazali merupakan murid dari Imam Juwaeni. Abu
Hamid al-Ghazali (450-505 AH/1058-1111 AD) adalah salah
satu pakar hukum, pakar doktrin-Islam (akidah) dan Sufi
dari abad 12M. Karangan-karangannya berhubungan
dengan bidang yang luas meliputi hukum (fikih),
doktrin-Islam (akidah), spiritualitas-Islam (tasawuf) dan
filsafat.42 Beliau lah yang meneruskan kajian maqashid
syariah menjadi lebih sempurna dengan merevisi dan
sekaligus mengembangkan ide-ide sang guru, namun
dengan metodologi yang khas dan karakter akademis
yang independen.43 Menurut Raysuni (1995), meskipun
Imam Ghazali belum memberikan kontribusi yang baru
40 Ahmad Raysuni, Nadhoriyyat al-Maqashid ‘inda Imam al-Syatibi,
hal. 51.
41 Ibid.
42 Biografi Abu Hamid Ghazali, www. ghazali.org, diakses 16 Mei
2012.
43 Asmuni, Studi Pemikiran al-Maqashid, Al-Mawarid Edisi XIV,
2005, hal. 160.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 23


di dalam karangannya yang pertama “al-Mankhul min
Ta’liqat al-Usul”. Tetapi revisi dan pengembagannnya
banyak dilakukan pada karangannya yang berjudul
“Syifa al-Ghalil”. Kemudian menjadi lebih jelas dan
matang dalam bukunya “al-Musthafa min ‘Ilm al-Usul”.44
Dalam syifa al-ghalil telah terlihat diskusi tentang
maqashid syariah atas metode yang tepat dan benar
dari metode ta’lil. Metode ini terdiri dari pembahasan
maslahat dan mafsadah. 45 Menurut Imam Ghazali
maslahat yang tepat mempunyai ta’lil yang benar yaitu
yang terkandung di dalamnya tujuan dari tujuan-tujuan
Syari’.46 Selanjutnya Imam Ghazali juga mengangkat
isu tentang maqashid al-syari’. Menurutnya, maqashid
al-syari’ dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: 1) dini (agama)
dan 2) dunyawi (dunia).47 Adapun dalam al-Musthafa,
pembagiannya menjadi 2 kategori, karena keduanya
merupakan satu kesatuan dalam maqashid al-syariah.
Tetapi secara jelas dapat disimpulkan bahwa dalam syifa
al-ghalil dalam penjelasan awalnya. Karena itu beliau
memfokuskan kepada empat tingkatan maqashid, yaitu
memelihara diri, akal, keturunan dan harta.48 Kemudian
beliau mengingatkan tentang maslahat agama
berdasarkan firman Allah SWT:

.ήϜϨϤϟ΍ ϭ ˯ΎθΤϔϟ΍ Ϧϋ ϲϬϨΗ Γϼμϟ΍ ϥ·

44 Ibid, hal. 52.


45 Ahmad Raysuni, Nadhoriyyat al-Maqashid ‘inda Imam al-Syatibi,
hal. 52.
46 Ibid, hal. 52.
47 Ibid.
48 Ibid, hal. 54.

24 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


Artinya: ”Sesungghnya Shalat itu mencegah
dari (perbuatan) keji dan munkar.

Dari penjelasan surah ini beliau menekankan


bahwa segala sesuatu yang menahan dari perbuatan
keji maka termasuk dalam kemaslahatan agama.49
Berkenaan dengan tingkatan kekuatan dan kejelasan
maslahat beliau membaginya menjadi 3 kategori
sebagaimana yang dijelaskan oleh gurunya Imam
Juwaeni. Dalam menjelaskan tingkat maslahat dengan
jelas dan tepat dengan penjelasan yang berbeda dan
lengkap. Uraian-uraian yang diberikannya dalam masing-
masing tingkatan dan pelengkapnya sangat terperinci.

2.2.5 ‘Izuddin bin ‘Abdissalam

Nama lengkapnya adalah Izzuddin Abdul Aziz bin


Abdul Salam, berasal dari Maghribi, kelahiran Damsyik,
menetap dan meninggal di Mesir, digelar Sultan al-
Ulama oleh Ibn Daqiq al-Eid Dilahirkan pada tahun 578
H. Beliau mempelajari ilmu Usul Fiqh melalui al-Aamidi.
Beliau mashur dalam bidang Fiqh, Tafsir dan Bahasa
Arab. Beliau menjadi seorang tokoh hebat di zamannya,
terutama berkenaan Syariah. Tidak ada tandingan dari
segi warak dan keberanian berhujjah menegakkan
kebenaran. Di hari kematiannya di Kaherah, jenazahnya
dihadiri oleh banyak manusia. Di antara tulisannya ialah
al-Tafsir al-Kabir dan Qawaid al-Syariah. Pemikirannya
yang berhubungan dengan maqashid syariah terdapat
dalam bukunya yang berjudul “Qowaid al-Ahkam fi

49 Ibid, hal. 54.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 25


Masalih al-Anam” dan “Kitab al-Masalih wal Mafasid”.50
Beberapa pemikirannya dalam maqashid syariah dapat
ditelusuri dalam kitabnya qowaid al-Ahkam. Contohnya,
tujuan utama al-Qur’an adalah perintah dalam perintah
dalam mencari kemaslahatan (masalih) dan sebab-
sebabnya dan menjauhi kerugian (mafasid) dan
sebab-sebabnya.51 Selain itu beliau juga salah seorang
yang memandang alasan seluruh syariat Islam adalah
mendatangkan maslahat (manfaat) dan meninggalkan
fasad (kerugian) baik ada nash dalam illahnya atau
tidak.52 Menurutnya, semua syariah adalah maslahat
baik dilakukan dengan cara meninggalkan kerugian
atau mendatangkan maslahat.53 Adapun ta’lil hukum-
hukum syariat semuanya ditujukan kepada kemaslhatan
manusia baik di dunia dan akhirat.
Dari pemikirannya dapat diambil kesimpulan
bahwa konsep maqashid syariah yang dikembangkannya
merupakan kelanjutan pemikiran yang dikembangkan
oleh Imam Juwaeni, Imam Ghalali dan ulama-ulama
lainnya. Hal tersebut dapat terlihat ketika dalam
pembahasannya mengangkat dua isu penting dalam
maqashid syariah yaitu mendangkan maslahat dan
meninggalah mafsadah. Pembagian maslahat menjadi
dua kategori: dunia dan akhirat, merupakan konsep
yang sama yang dikembangkan oleh Imam Ghazali.

50 Ahmad Raysuni, Nadhoriyyat al-Maqashid ‘inda Imam al-Syatibi,


hal. 65.
51 Ibid, hal. 66.
52 Ibid, hal. 67.
53 Ibid.

26 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


2.2.6 Ibnu Taimiyah

Nama lengkapnya adalah Taqiyuddin Abu Abbas


Ahmad bin Abd. Halim Ibn Abd. Salam bin Muhammad
Ibn Taymiyyah. Beliau dilahirkan di Harran dekat
Damaskus, Suria, pada tahun 611 H/1263 M, lima tahun
setelah jatuhnya Baqdad ketangan bangsa Tartar yang
berarti berakhirnya dinasti Abbasiah.54 Selanjutnya,
beliau wafat di Damaskus pada malam Senin 20
Zulqaidah 728 H./26 September 1328 M.55
Di dalam bukunya majmu fatawa kata maqashid
sangat jelas disebutkan terutama dalam pembahasa
wilayat (kekuasaan). Menurutnya apabila penguasa
telah mengetahui maqashid (tujuan) dan wasail (sarana)
nya maka sempurna lah urusannya.56Beliau mengkritisi
kebanyakan penguasa hanya mementingkan maqashid
al-dunya (tujuan dunia) saja tanpa maqashid al-din
(tujuan agama).57Selanjutnya dalam penjelasan yang
lain beliau menekankan kepada maslahat dan mafsadah,
yaitu diwajibkan kepada setiap insan untuk memberikan
maslahat dan menyempurnakannya, dan meninggalkan
mafsadah serta menguranginya.58 Adapun contoh
aplikatif dari maqashid syariah menurut Ibnu Taimiyah
terdapat dalam penjelasan tentang wilayat al-syariyyah,
khilafah (pemerintahan), qada’

54 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan


Pemikiran, (Cet. II; Jakarta: Universitas Indonesia, 1990), hal.
79.
55 Muhammad b Ismâ’îl b Kathîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Jilid 9,
(Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), hal. 135
56 Majmu Fatawa, hal. 620.
57 Majmu Fatawa, jilid 28, hal. 620.
58 Majmu Fatawa, jilid 20, hal. 48.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 27


(peradilan) dan hisbah (pengawasan).59 Menurutnya,
seluruh kekuasaan dalam Islam tujuannya adalah
menjadikan agama untuk Allah SWT, memposisikan
perkataan Allah SWT setinggi-tingginya, karena tujuan
Allah SWT menciptakan hamba-hamba Nya untuk
urusan tersebut. Dengan itu pula diturunkan al-Qur’an,
diutusnya para Rasul. Selanjutnya hanya kepada Nya
lah Rasul dan pengikutnya berjihad.60Disamping itu
beliau juga menyentuh pembahasan maslahat, yaitu
titik puncak yang dapat diraih oleh maslahat mursalah,
yang bermuara kepada mewujudkan maslahat dan
menghilangkan kemafsadatan.61Dari penjelasannya
dapat dimengerti bahwa agama merupakan tujuan
utama yang harus diperhatikan sebelum melangkah
pada pelaksanaan tujuan duniawi. Manusia diwajibkan
memberikan kemaslahatan dan meninggalkan
kemafsadatan.

2.3 Pemikiran Maqashid Syariah Imam Syatibi dan


sesudahnya

Pada bagian ini akan dibahas pemikiran ilmu


maqashid syariah sesudah Imam Syatibi, yang mana ilmu
maqashid syariah telah berkembang dan menjadi satu
disiplin tersendiri dalam pembahasannya namun dalam
kerangka epistemologi ilmu syariah, yang merupakan
satu kesatuan ilmu. Ulama-ulama yang fokus terhadap
kajian maqashid syariah ini, diantaranya adalah:

59 Ahmad Raysuni, Nadhoriyyat al-Maqashid ‘inda Imam al-Syatibi,


hal. 69.
60 Majmu Fatawa, jilid 21, hal. 68.
61 Ibnu Tamiyah, Risalah fi al-Mu’jizat wa al-Karamah, Kairo:
Math’abah al-Saadah, 1995, hal. 22.

28 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


2.3.1 Imam Syatibi

Ulama satu ini dikenal sebagai Syaikhul Maqashid.


Gelar ini tidak lepas dari perannya yang berhasil
menggabungkan teori ushul fiqh dengan maqashid
syariah.62Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Musa
bin Muhammad al-Lakhami al-Gharnati Abu Ishaq.
Latar belakang pemikirannya banyak dipengaruhi
oleh pemikiran mazhab maliki terutama dalam
pengembangan ilmu maqashid syariah, karena mazhab
malik termasuk mazhab yang paling concern terhadap
kajian maqashid syariah.63 Karyanya yang sangat
berhubungan dengan ilmu maqashid syariah yaitu al-
Muwafaqat.
Dalam pembahasan maqashid syariah, Imam
Syatibi membaginya kedalam dua bagian penting yaitu
qasdu al-syari’ dan qasdu al-mukallaf. Kemudian qasdu
al-syari’ diturunkan lagi menjadi empat bagian: 1) qasdu
al-syari’ fi wadhi’ al-syariah (maksud Syari menetapkan
syariat); 2) qasdu al-syari’ fi wadhi’ al-syariah lil
ifham (maksud Syari menetapkan syariat sebagai
pemahaman); 3) qasdu al-syari’ fi wadhi’ al-syariah li
taklif wa muqtadhaha (maksud Syari menetapkan syariat
untuk perintah hukum (taklifi) dan kewajibannya) dan
4) qasdu al-syari’ fi dukhuli al-mukallaf tahta ahkam al-
syariyyah (maksud syari memasukan mukallaf dalam
hukum-hukum syariat).64

62 Bahrul Ulum, Imam SyatibiL Syariah, untuk Kemaslahatan


Manusia, www.inpasonline.com, diakses tanggal 17 Mei 2012.
63 Asmuni, Studi Pemikiran al-Maqashid, hal. 166.
64 Ahmad Raysuni, Nadhoriyyat al-Maqashid ‘inda Imam al-Syatibi,
hal 143-162.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 29


Berhubungan dengan maqashid al-syari’,
penjelasan tentang maksud awal dari hukum-
hukum syariat merujuk kepada pemeliharaan tujuan-
tujuannya pada manusia yang terdiri dari tiga bagian,
yaitu dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat.65Pembagian
maqashid dharuriyat nya sama dengan apa yang telah
dikonsepsikan oleh ulama-ulama sebelumnya. Namun
yang perlu diperhatikan adalah proses pemeliharaan
atau penjagaan dari maslahat itu sendiri. Menurutnya,
pemeliharaan maslahat akan sempurna dalam dua sisi
saling menyempurnakan satu sama lain, yaitu:66
1. Menjaganya agar tetap ada yaitu dengan syariat
yang merealisasikan dan menetapkan kehadirannya
serta mengawasinya.
2. Menjaganya agar tidak hilang, yaitu dengan
menjauhkan dari apa-apa yang menyebabkan
kehilangan.
Beliau mencontohkan penjagaan agama
yang harus diperhatikan yaitu dengan memastikan
keberadaan fondasi akidah dan ibadah-ibadah yang
utama seperti shalat dan zakat. Sedangkan untuk
menjaganya dari kehilangan dengan cara berjihad.67
Adapun maqashid al-mukallaf (tujuan mukallaf)
diwujudkan dalam bentuk perilaku atau pelaksanaan
yang dibatasi oleh syariat.68 Dengan kata lain perbuatan
hukum manusia harus sejalan dengan syariat Islam.
Di dalam muwafaqat nya ada 12 permalasahan yang
berkenaan dengan maqashid al-mukallaf, baik dari

65 Ibid, hal 145.


66 Ibid, hal 146.
67 Ahmad Raysuni, Nadhoriyyat al-Maqashid ‘inda Imam al-Syatibi,
hal 146.
68 Ibid, hal. 344-347 .

30 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


yang paling mendasar yaitu tujuan mukallaf dalam
perbuatannya yang harus didahului dengan niat sampai
kepada kejelasan pekerjaan yang dilakukan oleh manusia
mukallaf.69 Dapat diambil kesimpulan dari pemikirannya
tentang maqashid syariah lebih komprehensif ketimbang
ulama-ulama sebelumnya, karena topik yang diangkat
dikategorikan menjadi 2 bagian penting yaitu qasdu al-
syari’ dan qasdu al-mukallaf.

2.3.2 Ibn ‘Ashur

Muhammad al-Tahir bin Ashur dilahirkan di Tunisia


1879 dan wafat pada 1973. Beliau berasal dari keluarga
ulama. Pada tahun 1892, beliau masuk ke universitas
zaytona dan kemudian menjadi pengajar disana
sepanjang hidupnya. Karyanya yang mashur dalam
ilmu maqashid syariah berjudul maqashid al-Syar’iyyah
al-Islamiyyah. Dalam buku inilah banyak dijelaskan
pemikiran-pemikirannya tentang maqashid syariah.
Pada bab pertamanya, beliau memaparkan tentang
bagaimana membangun konsep maqashid syariah.
Konsep ini sangat penting oleh karena itu para mujtahid
perlu mengetahui maqashid syariah. Menurutnya, ada
lima tahapan agar para mujatahid dapat memahami
syariat secara komprehensif, yaitu70:
1. Memahami perkataan (aqwal) dan menangkap arti
(madlulah) dari perkataan tersebut, berhubungan
dengan penggunaan bahasa yang berkesesuaian
dengan dalil naqli dengan menerapkan kaidah-

69 Ibid, hal. 168.


70 Muhammad Thahir ibn Ashur, Maqashid al-Syariah al-
Islamiyyah, edit. Muhammad Thahir al-Masawi, Ardan: Darul
al-Nafais, hal, 183—184.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 31


kaidah lafdhiyyah yang digunakan dalam penetapan
dalil fikih, yang masuk dalam kajian ilmu usul fikih.
2. Mencari sesuatu yang bertentangan dengan
petunjuk-petunjuk (adillah) yang ditemukan oleh
mujtahid.
3. Qiyas, yaitu analogi hukum-hukum yang belum
ditetapkan atau dikeluarkan oleh perkataan-
perkataan (aqwal) Syari’ terhadap hukum-hukum
yang telah ditetapkannya.
4. Memberikan spesifik hukum terhadap suatu
perbuatan atau kejadian yang dilalui oleh manusia
yang belum diketahui hukumnya oleh para
mujtahid.
5. Menerima sebagian hukum-hukum syariat tekstual
dan hanya sebagian yang tidak tahu ‘illah (alasan)
hukum-hukumnya maupun hikmah syariat itu
sendiri.
Selanjutnya beliau menjelaskan perlunya metode
dalam menetapkan maqashid syariah. Menurutnya,
perlunya menguraikan metode-metode maqashid
syariah berdasarkan apa yang telah dicapai dengan
melakukan refleksi (pemikiran panjang) yang merujuk
kepada perkataan ulama-ulama yang otoritatif.71 Jadi di
pembahasan bab pertama beliau menjelaskan tentang
pentingnya menetapkan maqashid syariah karena
berhubungan dengan penatapan sebuah hukum, yang
sangat berhubungan dengan kajian ilmu usul fikih yang
telah di kenalkan oleh para ulama usul. Kemudian pada
bab yang lainnya beliau membahas secara rinci mengenai
maqashid al-syariah al-amm dan al-khassah. Pertama, al-
maqashid al-‘amm adalah tujuan-tujuan yang tetapkan
71 Muhammad Thahir ibn Ashur, Maqashid al-Syariah al-
Islamiyyah, hal 190.

32 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


oleh syara’ pada setiap hukum-hukum syariat. Tujuan
ini lebih ditekankan kepada kemaslahtan manusia
secara umum seperti keadilan dan kesejahteraan.
Kedua, al-maqashid al-khassah yaitu hukum-hukum yang
dikhususkan pada pembahasan tertentu dari syariat.
Contohnya, maqashid syariah dalam keuangan, hukum-
hukum keluarga dan hukum jinayat.72Adapun secara
rinci al-maqashid al-khassah yang dijelaskan olehnya
mencangkup maqashid hukum-hukum keluarga, nikah,
jinayat dan keuangan.

2.3.3 Abu Zahra

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ahmad


bin Mustafa bin Ahmad Abu Zahra, dilahirkan pada tahun
1315 H/1898 M di Mahallah al-Kubra, Mesir dan wafat
pada tahun 1994. Beliau memulainya pendidikannya di
sekolah Qur’an di Tanta dan kemudian melanjutkannya
di madrasah Muhammad ‘Atif Barakat yang lulus pada
tahun 1924. Adapun karir pertamanya adaah sebagai
seorang guru bahasa arab di level sekolah menengah
pertama dan terakhir bekerja sebagai dosen di fakultas
hukum universitas kairo.73 Beliau merupakan ulama
Mesir dan merupakan ulama terkenal di abad 20 ini.
Adapun karangannya yang berhubungan dengan kajian
maqashid syariah terdapat dalam bukunya yang berjudul
Ushul al-Fiqh.
Menurutnya, ada tiga sasaran maqashid syariah,
yaitu: 1) penyucian jiwa atau pendidikan; 2) keadilan dan

72 Zaharuddin Abdul Rahman, Maqashid al-Buyu’ wa Thuruqu


Itsbatiha fil Fiqh al-Islami, hal. 29.
73 ___Biografi Abu Zahra, www.iais.org, diakses tangal 21 Mei
2012.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 33


3) kemaslahatan. Pertama, tujuan disyariatkan ibadah
adalah untuk membersihkan jiwa dari keburukan-
keburukan yang melekat hati manusia. Kedua, tujuan
keadilan dimaksudkan adalah menyangkut beberapa
aspek kehidupan. Dalam Islam, setiap orang mempunyai
kedudukan yang sama tidak dibeda-bedakan antara
si kaya dan miskin. Ketiga, ini merupakan tujuan
puncak dari hukum syariat, karena hukum-hukum yang
disyariatkan menurut Qur’an dan Sunnah di dalamnya
terkandung maslahat yang hakiki.74
Kemudian beliau memberikan penjelasan yang
rinci tentang maslahat. Maslahat yang dimaksudkan
di dalam bukunya adalah maslahat mu’tabarah, yaitu
maslahat Islamiyah yang diwujudkan melalui hukum-
hukum Islam yang ditetapkan berdasarkan nash-nash
agama.75Maslalahat ini mengacu kepada pemeliharaan
atau penjagaan maqashid al-khomsah: memelihara
agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Maslahat ini
tidak berada dalam satu martabat melainkan ada 2
martabat (tingkatan) yang harus dipenuhi yaitu hajiyat
dan tahsiniyat.

2.3.4 Yusuf Qardawi

Al-Qaradawi dilahirkan pada tahun 1926 di Mesir.


Beliau memulai pelajarannya dari sekolah dasar dan
tahap menengah di kolej al-Azhar. Beliau merupakan
ulama dunia yang sangat disegani. Karya-karyanya tidak
hanya berhubungan dengan permasalahan agama

74 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, pen. Saefullah


Mas’um&Slamet Basyir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005, hal
542—548.
75 Ibid, hal. 548

34 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


saja, tetapi dalam ruang lingkup yang lebih luas seperti
ekonomi, sosial dan politik. Selain itu karya-karyanya
telah banyak diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa
di dunia.
Menurut al-Qaradawi, maqashid syariah adalah
kesimpulan akhir yang ditetapkan oleh teks-teks
syariat dalam bentuk perintah baik yang di larang dan
dibolehkan, dan hukum-hukum juz’I mencoba untuk
merealisasikannya dalam kehidupan mukallaf baik
individu, keluarga dan komunitas.76Diskusi tentang
maslahat menurutnya tidak hanya mencangkup
permasalahan dunia, materi, individu, etnik, dan
generasi sekarang, tetapi juga mencangkup keperluan
dunia dan akhirat, materi dan spiritual, individu dan
kelompok.77Jadi merupakan kombinasi dua kepentingan
yang direalisasikan oleh Syari’ dalam bentuk hukum-
hukum syariat.
Agama merupakan tingkatan maslahat yang
pertama kali harus diprioritaskan dari 4 maslahat
dharuriyat yang lainnya.78Dalam pembagian maqashid
syariah beliau membaginya menjadi dua, yaitu: al-amm
dan juz’i. Maqashid yang pertama meliputi keadilan,
stabilitas dalam Negara. Adapun yang kedua meliputi
tujuan-tujuan zakat. Selanjutnya, ada lima poin penting
maqashid syariah yang berasal dari pemikirannya, yaitu79:
1) untuk memprioritaskan kemudahan; 2) menegakkan
keadilan; 3) ibadah (ta’abud); 4) dakwah dan 5) untuk
76 Basri bin Ibrahim al-Hasani al-Azhari & Wan Mohd Yusuf bin
Wan Cilik, Maqashid al-Syariyyah according to Al-Qardawi in the
Book Halal wal Haram fil Islam, International Journal of Business
and Social Science, 2 (1), Januari 2011, hal. 241.
77 Ibid.
78 Ibid.
79 Ibid, hal 243.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 35


mencari fitrah. Dari pemikirannya dapat disimpulkan
bahwa pemikirannya tentang maqashid syariah telah
maju ke depan dalam kontek kekinian dengan basis
dalil-dalil Islam.

2.4 Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa ilmu maqashid syariah


berawal dari kajian-kajian yang terdapat dalam ilmu
ushul fikih yang dikembangkan oleh beberapa tokoh
antara lain adalah Imam Juwaeni, Imam Ghazali dan
In Taimiyah. Walaupun sebenarnya masih banyak lagi
ulama-ulama yang mengembangkannya namun tidak
disebutkan dalam bab ini. Tahapan perkembangannya
dapat dibagi menjadi 2, yaitu masa sebelum dan
sesudah Imam Syatibi. Imam Juwaeni dan beberapa
ulama lainnya lebih memfokuskan kepada pembahasa
maqashid al-khomsah yaitu penjagaan agama, jiwa,
keturunan, akal dan harta. Selain itu konsep maqashid
syariah dihubungkan dengan ‘illah sebuah hukum syariat.
Sedangkan ulama-ulama setelah Imam Syatibi telah
menjelaskannya lebih rinci dan komprehensif, karena
memang pembahasannya lebih difokuskan kepada
maqashid syariah yang merupakan satu pembahasan
tersendiri tidak menjadi sub judul dalam ilmu ushul fikih.
Wallahu’alam.

36 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


BAB III

METODOLOGI

MAQASHID SYARIAH

3.1 Pendahuluan

Al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber atau


rujukan utama atas sebuah syariat. Namun demikian
kedua sumber tersebut masih bersifat global dan belum
mencangkup permasalahan-permasalahan hidup yang
berkembang seiring dengan perubahan waktu dan
zaman. Maka perlunya suatu ijtihad yang dilakukan para
ulama selama permasalahan-permasalahan hukum tidak
dijelaskan secara rinci dalam Qur’an dan Sunnah. Ijtihad
dilakukan oleh para ulama dengan mempertimbangkan
berbagai hal guna mencapai ketetapan hukum yang
dapat dipertangung jawabkan. Salah satu pertimbangan
penting yang digunakan dalam penetapan hukum adalah
memperhatikan maqashid syariah sebagai dasarnya
walaupun menggunakan metode istinbat al-hukm yang
berbeda-beda.80
80 Fatimah Halim, Hubungan antara Maqashid Syariah dengan
Beberapa Penetapan Hukum Syariah, Jurnal Hunafa, Vol. 7, No.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 37


Maqashid syariah sangat penting untuk dijadikan
dasar penetapan hukum dengan mempertimbangkan
unsur-unsur maslahat nya (manfaat), sehingga antara
wasilah dan maqashid dari sebuah hukum akan menjadi
sebuah integrasi ketetapan hukum yang shahih
dan bermanfaat untuk umat. Karena manfaatnya
dapat dirasakan dalam penetapan sebuah hukum,
pengembangan ilmu maqashid syariah ini sangat
menjadi concern ulama usul fikih pada masanya.
Metodologi ilmu ini pun dikembangkan sedemikian rupa
untuk mempermudah para ulama setelahnya dalam
menetapkan sebuah hukum yang tidak dijelaskan secara
rinci dalam Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu pada
bab ini akan dibahas dengan rinci tentang metodelogi
maqashid syariah.

3.2 Ijtihad dan Maqashid Syariah

Perkembangan kehidupan manusia selalu


mengalami perubahan sesuai dengan zamannya.
Kehidupan manusia memerlukan hukum-hukum yang
mengaturnya agar mendapatkan kebahagian dan
kesejahteraan dunia dan akhirat. Adapun kehidupan
manusia yang berhubungan dengan tauhid bersifat
mutlak dan jelas tidak boleh ada yang mengubah-
ngubahnya, sedangkan dalam syariat terutama yang
berhubungan dengan muamalah terbuka pintu ijtihad
yang tujuannya memberikan kemaslahatan dan bukan
kerugian bagi umat. Hal ini berhubungan dengan upaya
pembentukan atau pengembangan hukum yang dalam
istilah ushul fiqh disebut dengan ijtihad. Selain itu juga
sangat berhubungan dengan maqashid syariah sebagai
2 Desember 2010, hal. 122.

38 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


alasan (‘illah) atau hikmah dalam melakukan itjihad.
Para ulama mempunyai pandekatan yang berbeda
dalam identifikasi maqashid. Menurut Kamali (2008),
pendekatan pertama yaitu pendekatan tekstual yang
membatasi identifikasi maqashid melalui teks-teks yang
jelas, perintah dan larangan.81 Ketiganya mempunyai
mengandung maqashid syariah dengan jelas seperti
perintah merupakan tujuan Syari’ (Allah) dalam bentuk
perintah yang positif dan larangan yang merupakan
maqashid syariah dalam bentuk negatif yang bertujuan
menjauhkan manusia dari sesuatu yang merugikannya.
Pendekatan ini lebih difokuskan kepada pendekatan
teks. Kedua, pendekatan ‘illah yaitu proses ijtihad
menggunakan metode qiyas yaitu menganalogikan
sebuah kasus hukum (furu’) yang baru dengan yang lama
(usul) dengan menghadirkan alasan atau sebab (‘illah)
hukumnya. Pendekatan ini tidak fokus secara langsung
kepada maqsad al-Syari’ dan maslahat manusia.82
Ketiga, pendekatan maqashid yaitu pendekatan
ijtihad dengan premis untuk merealisasikan manfaat
(maslahat) dan mencegah kerusakan (mafsadah).83 ‘Illah
dalam pendekatan ini dinamakan hikmah pada setiap
kasus hukum yang baru.84 Beberapa ulama ushul juga
mengunakan lafaz hikmah. Hikmah merupakan arti dari
tujuan syariat hukum dan maslahat dan mafsadah yang
ditetapkan Syari’.85 Contohnya, hikmah pelarangan
narkoba adalah menjaga manusia dari kerusakan
81 Mohammad Hashim Kamali, Shariah Law an Introductory
England: Oneworld Publication, 2008, hal, 127.
82 Ibid, hal 129.
83 Ibid.
84 Ibid.
85 Ahmad Raysuni, Nadhoriyyat al-Maqashid ‘inda Imam al-Syatibi,
Beyrut: IIIT, 1995, hal. 22.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 39


akalnya yang merujuk pada dalil keharaman khamar.
Maka semua minuman memabukan yang dapat merusak
akal manusia diharamkan. Oleh karena itu mencegah
suatu kerusakan merupakan manfaat (maslahat), yang
berarti hikmah merefleksikan maslahat dan alasan
utama sebuah hukum. Selanjutnya Imam Syatibi
menegaskan bahwa syarat-syarat untuk mencapai
derajat ijtihad harus memahami maqashid syariah dengan
sempurna dan mampu beristinbat yang dibangun dari
pemahamannya mengenai maqashid syariah.86Dasar
pertama menjelaskan bahwa dalam Islam merupakan
hakikat yang inti yang dilihat dari segi manfaat atau
bahaya dalam suatu hal.87Dasar yang kedua adalah
dengan menguasai alat istinbath, yaitu mengetahui
bahasa Arab, hukum-hukum yang ada dalam Qur’an,
Sunnah, Ijma, perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih
dan macam-macam qiyas.88
Seharusnya ketiga pendekatan ini dapat menjadi
landasan dalam berijtihad, karena sebenarnya ketiga
elemen tersebut merupakan faktor-faktor penentu
dalam menentukan sebuah hukum yang baru yang
tidak ada dalam nash-nash al-Qur’an dan Sunnah.
Pendekatan penetapan sebuah hukum (istinbath
al-hukum) dengan menggunakan qiyas (analogi),
istihsan, dan maslahah al-mursalah adalah metode-
metode yang dapat dipakai dalam pengembangan
hukum Islam dengan mengunakan maqashid al-syari’ah
sebagai dasarnya.89Hal ini didukung oleh pertanyaan
86 Ibid, hal 353.
87 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, pen. Saefullah
Mas’um&Slamet Basyir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005, hal
576.
88 Ibid, hal 577.
89 Isa Anshori, Maqashid Syari’ah sebagai Landasan Etika Global,

40 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


Abu Zahra bahwa seorang mujtahid haruslah mengetahui
kemaslahatan manusia agar mampu menerapkan qiyas
dan bentuk hukum yang sesuai dengan kebutuhan
manusia.90

3.3 Metode Ijtihad Maqashid Syariah

Ada beberapa metode pengambilan hukum


dengan menggunakan pendekatan maqashid syariah,
yaitu dengan cara melihat nash-nash, hukum-hukum
dan tujuan-tujuannya, menggabungkan nash-nash yang
umum dengan dalil-dalil yang khusus, jalb al-masalih wa
dar’u al –mafsadah (mendatangkan kemaslahatan dan
meninggalkan kerugian) dan I’tibar al-maalat91. Metode
ini diperkenalkan oleh Imam Syatibi dalam menghasilkan
suatu hukum yang berbasis maqashid syariah sebagai
rujukan dasarnya.
Pertama, nash-nash dan hukum-hukum
perlu dilihat dari segi tujuan-tujuannya tanpa harus
berhenti pada kejelasan, lafaz dan bentuknya
dalam menentukan ‘illah suatu hukum.92Jadi dalam
pengambilan suatu hukum syariat mu’allal (tujuan ‘illah)
nya adalah maslahat dan maqashid yang ditetapkan.
Imam Syatibi menegaskan dalam penentuan hukum
tidak boleh mengabaikan atau melalaikan maqashid
syariah dengan merujuk pada nash-nash yang benar.93
01 (01), Maret 2009, hal 16—17.
90 Ibid, hal 575.
91 I’tibar al-ma’al adalah teori yang dikemukakan para ahli usul
fikih ketika akan menerapkan suatu hukum hasil ijtihad ke
obyek hukum itu sendiri (manusia). Konsep ini pertama kalinya
diperkenalkan oleh Imam Syatibi.
92 Ahmad Raysuni, Nadhoriyyat al-Maqashid ‘inda Imam al-Syatibi,
Beyrut: IIIT, 1995, hal. 363.
93 Ahmad Raysuni, Nadhoriyyat al-Maqashid ‘inda Imam al-Syatibi,
Beyrut: IIIT, 1995, hal. 363.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 41


Karena itu dalam penetapan hukum menggunakan
pendekatan teks-teks ini (nash-nash Qur’an dan Sunnah)
perlu ditinjau maksud atau tujuannya dari nash-nash itu
sendiri. Contoh dari pendekatan ini sebagaimana yang
dijelaskan dalam kitab Muwatta tentang hukum zakat
terhadap non-Muslim:

ϻϭ ϢϬϠϴΨϧ ϲϓ ,αϮΠϤϟ΍ ϲϠϋ ϻϭ ,Δϣάϟ΍ Ϟϫ΃ ϲϠϋ βϴϟϭ


Δϗ Ϊμϟ΍ ϥϷ .Δϗ Ϊλ ,ϢϬϴη΍Ϯϣ ϻϭ ϢϬϋϭέί ϻϭ ϢϬϣϭήϛ
ϲϠϋ ΍Ωέ ϭ ,ϢϬϟ ΍ήϴϬτΗ ϦϴϤϠδϣ ϲϠϋ Ζόοϭ ΎϤϧ·
94
.ϢϬ΋΍ήϘϓ

Dalam penjelasan diatas, ada dua tujuan dari zakat


yaitu: untuk mensucikan para muzakki dan solidaritas
kepada saudara-saudaranya yang membutuhkan.95
Sebaliknya selain non-Muslim tidak dikenakan dua
tujuan zakat namun diwajibkan untuk membayar jisyah
sebagai kompensasi mereka tinggal di Negara Islam.
Kedua, pendekatan ini menggunakan nash-nash
yang umum dengan dalil-dalil yang khusus. Adapun
yang dimaksudkan dengan kulliyah al-ammah, yaitu: al-
kulliyah al-nashiyyah (teks-teks yang menyeluruh) dan
al-kulliyah al-istiqrai’ (induksi yang menyeluruh).96 al-
kulliyah al-nashiyyah berasal dari nash-nash Qur’an dan
Sunnah yang benar (shahih), sedangkan al-kulliyah al-
istiqrai’ yang menghubungkan metode induksi dengan

94 Imam Malik bin Anas, Muwatta, jilid 1, Jakarta: Rajawali Press,


1992, hal 280.
95 Ahmad Raysuni, Nadhoriyyat al-Maqashid ‘inda Imam al-Syatibi,
hal. 367.
96 Ibid, hal 370.

42 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


sejumlah teks-teks dan hukum-hukum yang tertentu
seperti memelihara dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat,
seluruh maqashid al-syariah al-ammah dan kaidah-kaidah
fikih secara umum. Ini menjadi suatu kewajiban dalam
pengambilan suatu hukum yaitu dengan menimbang
yang hal-hal khusus menuju sesuatu yang umum.
Selanjutnya dalil-dalil yang khusus (adillah al-khassah)
yaitu dalil-dalil yang khusus berhubungan dengan
permasalahan tertentu.97
Ketiga adalah jalb al-masalih wa dar’u al
–mafsadah. Sesungguhnya maqashid yang utama
bagi syariat adalah adalah jalb al-masalih wa dar’u al
–mafsadah. Pada bagian ini merupakan penjelasan
dari konsep maslahah mursalah, yang mana terdapat
perbedaan pendapat dalam penggunaan pendekatan
ijtihad ini. Tetapi menurut Syatibi ketika suatu
maslahat benar-benar sesuai dengan maqashid
syariah, maka diharuskan ditetapkan hukumnya dan
pelaksanaannya.98Keempat adalah I’tibar al-maalat,
yaitu suatu ijtihad yang berupaya menerapkan suatu
hukum berdasarkan kondisi atau situasi yang mengitari
objek hukum. Ketika berijtihad, menetapkan hukum
dan berfatwa dianjurkan kepada seseorang untuk
menetapkan tempat kembalinya perbuatan-perbuatan
(maalat al-af’al) yang merupakan tempat suatu hukum
dan fatwa.99 Selanjutnya melihat kepada maalat al-af’al
merupakan gambaran dari tujuan-tujuan syariaht baik
perbuatan tersebut berkesesuain atau bertentangan.

97 Ibid.
98 Ahmad Raysuni, Nadhoriyyat al-Maqashid ‘inda Imam al-Syatibi,
hal. 376.
99 Ibid, hal 3781.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 43


Menurut Imam Syatibi, seorang mujtahid tidak boleh
menetapkan suatu hukum dengan langsung atau
menahan diri tanpa harus melihat atau mengambil
pertimbangan dari apa-apa yang ditafsirkan oleh suatu
perbuatan.100Dalam penerapannya dapat dimasukan
kepada kaidah-kaidah az-zariah, istihsan dan lainnya.
Pendekatan ijitihad berbasis yang ditawarkan oleh
Imam Syatibi lebih komprehensif karena menyentuh
aspek-aspek metode yang dikembangkan oleh para
ahli ushul dan juga sangat erat berhubungan dengan
tinjauan maqashid syariah. Karena itu pendekatan
ijtihad berbasis maqashid syariah perlu diketahui dan
dipahami benar-benar oleh para mujtahid atau mufti
yang mengeluarkan suatu ketetapan hukum yang baru
berlandaskan sumber-sumber Islam.

3.4 Kesimpulan

Metodologi maqashid syariah yang dikembangkan


oleh sebagian ahli ushul memberikan sarana yang baru
bagi para mujtahid dalam menetapkan suatu hukum yang
baru yang tidak ada dalam nash-nash Qur’an dan Sunnah
yang ditinjau dari pendekatan maslahat. Salah satu poin
yang menjadikan Maqashid syariah sangat penting untuk
dijadikan dasar penetapan hukum adalah keberadaan
unsur-unsur maslahatnya (manfaat), sehingga antara
wasilah dan maqashid dari sebuah hukum akan menjadi
suatu integrasi. Ada 4 metode yang perlu dipahami
dalam menetapkan hukum berdasarkan pendekatan
maqashid syariah, yaitu dengan cara melihat nash-nash,
hukum-hukum dan tujuan-tujuannya, menggabungkan

100 Ibid.

44 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


nash-nash yang umum dengan dalil-dalil yang khusus,
jalb al-masalih wa dar’u al –mafsadah (mendatangkan
kemaslahatan dan meninggalkan kerugian) dan I’tibar
al-maalat. Dari empat tahapan ini diharapkan penetapan
hukum dapat lebih komprehensif.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 45


BAB IV

MAQASHID SYARIAH

DALAM EKONOMI

ISLAM

4.1 Pendahuluan

Manusia sebagai khalifah Allah merupakan


mukallaf di muka bumi ini baik dalam aktivitas ibadah
maupun muamalah. Syariah yang ditetapkan oleh
Allah SWT bertujuan untuk memberikan kebahagian
manusia di dunia dan akhirat, sehingga semua hukum-
hukum syariat mempunyai maslahat (manfaat) bagi
manusia. Berbicara maslahat selalu disinonimkan
dengan kata maqashid syariah (tujuan-tujuan syariah)
yang pembahasannya menyentuh seluruh aspek
kehidupan manusia. Ekonomi merupakan salah satu
aktivitas manusia yang paling utama di muka bumi ini.
Manusia yang satu dengan lainnya saling berinteraksi
dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Interaksi-
interaksi ekonomi tersebut memerlukan aturan-aturan
yang jelas sehingga diharapkan memberikan keadilan
dan kesejahteraan bagi manusia. Dalam Islam, aspek
ekonomi pun diatur dengan rinci dalam pembahasan

46 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


muamalah yang tujuannya memberikan aturan-aturan
yang jelas bagi manusia dalam melaksanakan aktivitas-
aktivitas ekonominya sehingga tercipta keadilan
dan kesejahteraan di muka bumi ini. Keadilan dan
kesejahteraan merupakan tujuan-tujuan syariah yang
umum (maqashid al-syariah al-ammah) yang harus
dicapai oleh setiap manusia.
Saat ini pembahasan ekonomi Islam banyak yang
menghubungkannya dengan konsep maqashid syariah
sebagai landasan dasarnya seperti perbankan Islam,
zakat, wakaf, warisan sangat berkaitan dengan hukum-
hukum syariat Islam yang di dalamnya mengandung
maslahat (manfaat) bagi manusia. Dalam hubungannya
dengan maqashid syariah, inti pembahasan dalam
ekonomi Islam adalah menyelesaikan permasalahan-
permasalahan manusia dalam mencapai tujuan
kehidupannya (maqashid) yang bersumber dari nash-
nash Qur’an dan Sunnah. Dalam beberapa kajian
ekonomi Islam disebutkan bahwa tujuannya adalah
mencapai falah (kesejahteraan dunia dan akhirat). Hal
ini sangat berhubungan dengan maqashid syariah yang
memberikan kemaslahatan bagi manusia di dunia dan
akhirta. Oleh karena itu, pada bab ini akan dibahas
tentang ekonomi Islam dan hubungannnya dengan
maqashid syariah.

4.2 Falsafah Ekonomi Islam: Pendekatan


Epistemologi

4.2.1 Definisi Ekonomi Islam

Beberapa ekonom Muslim telah menawarkan


definisi yang berbeda tentang ekonomi Islam. Menurut

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 47


Chapra (1996), ekonomi Islam dapat didefinisikan
sebagai cabang ilmu yang membantu merealisasikan
kesejahteraan manusia (falah) melalui alokasi dan
distribusi sumberdaya yang langka, yang sejalan dengan
ajaran Islam, tanpa membatasi kebebasan individu
ataupun menciptakan ketidakseimbangan makro dan
ekologis.101 Definisi yang sama juga disebutkan oleh Khan
(1984) bahwa ekonomi Islam memusatkan perhatian
pada studi tentang kesejahteraan manusia (falah) yang
dicapai dengan mengorganisasikan sumber daya di bumi
atas dasar kerjasama dan partisipasi.102 Naqvi (1981)
dengan tegas menyatakan bahwa perbedaan antara
ekonomi Islam dan konvensional adalah internalisasi
nilai-nilai etika (agama) dalam ekonomi Islam.103Dari
definisi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari
ekonomi Islam adalah merealisasikan falah kepada umat
manusia di muka bumi melalui pendayagunaan sumber-
sumber daya yang dianugerahkan oleh Allah kepada
manusia dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan
oleh-Nya.
Batasan-batasan tersebut menegaskan bahwa
adanya perbedaan sudut pandang (worldview) antara
ekonomi Islam dan konvensional. Karena dengan
berbedanya worldview maka akan menghasilkan
kesimpulan yang berbeda dari makna dan tujuan hidup
manusia dalam berekonomi. Islamic worldview adalah
sebuah pandangan konprehensif dan terpadu di sekitar
kita dan tempat manusia di dalamnya. Menurut al-Attas
101 M. Umer Chapra, What is Islamic Economics?, Saudi Arabia:
Islamic Research and Training Institute, 1996, hal. 33.
102 M. Akram Khan, Islamic Economics: Nature and Needs, J. Res.
Islamic Econ., Vol. 1, No. 2, (1404/1984), hal 51.
103 Syed Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics: An Islamic
Synthesis, UK: The Islamic Foundation, 1981, hal . 18.

48 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


(1995) dikenal dengan ru’yatul Islam lil wujud. Definisi
al-Attas adalah “a metaphysical survey of the visible as
well as the invisible worlds including perspective of life
as whole.”104Karena itu worldview dalam ekonomi Islam
tidak hanya terbatas pada dunia saja, tetapi akhirat
lah yang menjadi tujuan akhirnya, sehingga dalam
pembahasannya hubungan ekonomi dengan nilai-nilai
agama merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Hasilnya sumber-sumber rujukan ekonomi Islam tidak
hanya sebatas pada akal manusia saja melainkan pada
pada wahyu (revelation). Sebaliknya konvensional yang
merujuk pada sekulerisme memandang bahwa ekonomi
merupakan hasil dari pemikiran manusia melalui
pengalaman dari sesuatu yang nyata. Hal ini didukung
oleh pernyataan Chapra bahwa worldview dari Sekuler
dan Materialis mementingkan kepada aspek material
dari kesejahteraan manusia dan cenderung mengabaikan
pentingnya aspek-aspek spritual.105 Sumber-sumber
rujukan ekonomi konvensional hanya sebatas pada akal
(reason) manusia saja dan mengambaikan aspek-aspek
spritual. Dapat disimpulkan bahwa definisi ekonomi
Islam pastinya sangat berbeda dengan ekonomi
konvensional. Ekonomi Islam merupakan ilmu yang
memberikan cara kepada manusia untuk mendapatkan
kesejahteraannya (falah) yang berdasarkan pada
sumber-sumber Islam.

104 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to The


Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental
Elements of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur:
International Institute of Islamic Thought and Civilization,
reprint. 2001, 1995),hal. 2.
105 M.U. Chapra, It is Necesarry to have Islamic Economics Journal
of Socio-Economics 29 (2000), hal. 27

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 49


4.2.2 Bangunan Ekonomi Islam

Ekonomi Islam sebenarnya telah lahir sekitar


1400 tahun yang lalu, dimana perkembangannya yang
cukup pesat telah terlihat di masa Dinasti Abbasiyyah,
yang terkenal dengan sebutan Golden Age (masa
keemasan Islam). Para ulama telah memberikan
fondasi yang kuat terhadap bangunan ilmu ekonomi
Islam pada masa itu yang terintegrasi dari beragam
disiplin keilmuwan. Namun semenjak runtuhnya
masa keemasan Islam, muncullah ide-ide sekulerisme
pada abad ke -17, dikenal dengan masa pencerahan
(enlightment age). Pada masa tersebut ilmu ekonomi
Islam mengalami kemunduran dan digantikan oleh
ilmu ekonomi modern yang berlandaskan kepada ide-
ide Sekuler. Kemudian pemikiran-pemikiran ekonomi
Islam kembali bangkit pada abad ke-19 yang diprakarsai
oleh para tokoh-tokoh Islam yang tujuannya keluar dari
dominasi pemikiran-pemikiran Barat di segala kebijakan
pemerintahan dalam negara-negara Islam. Salah satu
bentuk paham ekonomi (isme) yang menguasai dunia
adalah Kapitalisme, yang berbasis kepada kebebasan
(freedom) dan kepentingan pribada (self interest).
Dengan berkembangnya ekonomi Islam saat
ini, perlunya pemahaman yang mendalam mengenai
bangunan ekonomi Islam agar dapat terimplementasikan
dengan baik dan benar. Islam adalah din yang menuntun
manusia untuk mencapai kebahagian. Dalam mencapai
kebahagiannya ada tiga komponen utama yang harus
dipenuhi yaitu aqidah, syariah dan akhlak. Tiga asas
inilah yang menjadi dasar utama bangunan ilmu ekonomi
Islam.

50 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


4.2.2.1 Fondasi Ekonomi Islam

A. Aqidah
Akidah merupakan keyakinan yang harus
dimiliki oleh setiap manusia. Secara etimologi,
aqidah berasal dari kata al-aqdu yang berarti al-
rabth (ikatan). Maka dapat disimpulkan bahwa
aqidah adalah ketetapan hati yang tidak ada
keraguan di dalamnya. Dalam hubungannya
dengan aqidah Islamiyah diwujudkan dalam rukun
iman yang enam, yaitu percaya kepada Allah SWT,
Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-
rasul-Nya, hari akhir dan qadha dan qadar. Aqidah
adalah fungsi utama dalam ekonomi Islam. Contoh
dalam bentuk keyakinan akan Allah bahwa harta
dalam Islam adalah amanah yang diberikan oleh
Allah, sebagai pemilik mutlak kekayaan seluruh
alam kepada manusia sebagai khalifatullah fil
ard. Contoh lainnya, ketika berbicara tentang
konsep harga, para ulama Muslim dahulu telah
membahasnya dalam bab takdir dalam karya-
karyanya seperti Qadi Abdul Jabar dalam kitabnya
al-Mughni dan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu
Fatawa. Hal ini mengisyaratkan untuk semuanya
bahwa yang Maha Memiliki dan Maha Menentukan
hanya Allah SWT. Inilah adalah keyakinan yang
harus dimiliki oleh setiap mukmin.
B. Syariah
Syariah adalah aturan-aturan yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT kepada hamba-
hambanya yang bersumber dari Qur’an dan Sunnah.
Syariah mencangkup seluruh aspek kehidupan

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 51


baik ritual (ibadah) dan sosial (muamalah).106
Ibadah berfungsi sebagai pengikat ketaatan dan
keharmonisan hubungan antara manusia dengan
Allah SWT, sedangkan muamalah berfungsi sebagai
aturan hukum manusia yang ditetapkan oleh Allah
untuk kemaslhatannya di muka bumi ini.
C. Akhlak
Akhlak merupakan komponen yang melekat
selalu dalam diri manusia. Manusia ketika dilahirkan
dalam keadaan suci (fitrah), namun manusia
juga lah yang menentukan apakah ingin selalu
berada pada sisi kebaikan atau keburukan melalui
akhlaknya tersebut. Manusia diperintahkan oleh
Allah SWT untuk melakukan kebaikan di muka
bumi ini. Ini membuktikan pentingnya peran
akhlak dalam kehidupan manusia. Rasulullah
SAW telah memberikan contoh perilaku yang
baik kepada umatnya melalui sifat-sifatnya siddiq,
tabligh, amanah dan fathanah. Dalam ekonomi,
sifat-sifatnya yang baik telah mengantarkannya
sebagai seorang pedagang yang sukses. Disamping
itu juga pentingnya akhlak dapat dilihat dari sisi
pembagian ilmu filsafat yang bersifat praktek
(hikmah ’amali) dalam Islam yang terdiri dari tadbir
al-manzil (ekonomi), tadbir al-madinah (politik)
dan akhlak (etika). Karena itu ekonomi, politik dan
etika merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan dalam kehidupan manusia.

106 M. Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta:


Gema Insani Press, 2001, hal.4.

52 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


Dari penjelasan tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa aqidah, syariah dan akhlak
merupakan elemen atau komponen utama dalam
bangunan ekonomi Islam. Ketiganya harus menjadi
satu keutuhan dalam implementasinya di kehidupan
manusia yang direalisasikan ke dalam fondasi ekonomi
Islam yang terdiri dari tauhid, khalifah, alam, ukhuwwah
dan tazkiyyah.
Tauhid, merupakan asas utama dari segala
aktivitas manusia. Sistem ekonomi yang telah dibangun
Rasululllah SAW adalah sistem yang menggabungkan
harmonisasi dan persaudaraan (ukhuwwah dan tazkiyah)
diantara umat manusia, disatukan oleh nilai-nilai tauhid
yang berasal dari kata wahada yang berarti satu.
Mereka adalah satu kesatuan umat yang berikrar tiada
Tuhan selain Allah, tiada yang Maha Kaya selain Allah,
tiada yang Maha Berkuasa selain Allah dan tiada yang
Maha Adil selain Allah. Saat hati mereka telah disatukan
oleh nilai-nilai tauhid apapun yang mereka lakukan
adalah berdasarkan karena Allah Subhanahu wa ta’aala.
Keadaan seperti telah terbukti ketika Muhajirin berhijrah
tanpa harta ke Madina dan Anshar menerimanya dengan
senang hari sebagai saudara seiman dan seperjuangan
bahkan mereka rela memberikan sebagian hartanya
kepada Muhajirin.
Konsep khalifah berarti perwakilan, yang
memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.
dalam tata kehidupan bermasyarakat. Manusia sebagai
khalifah Allah mempunyai dua tugas utama yaitu sebagai
hamba Allah (kewajiban agama) (Adh-Dhariyat: 56)
dan sebagai pemakmur bumi (muamalah) (al-Hud:61).
Pada kewajiban kedua itu direalisasikan menjadi empat,

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 53


yaitu kewajiban sosial, ekonomi, politik. Karena itu
manusia diberikan kepercayaan yang penuh untuk
mengelola bumi ini, dengan diberikan kebebasan dalam
bertindak untuk memilih yang benar dan meninggalkan
yang salah karena mereka dibekali pengetahuan dari
asalnya untuk tujuan menegakkan keadilan di muka
bumi ini. Berbicara khalifah akan selalu berhubungan
dengan konsep amanah yang berarti suatu tanggung
jawab yang harus dipenuhi oleh manusia itu sendiri.
Hal ini diperjelas oleh firman Allah SWT:”Sesungguhnya
Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi
dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk
memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan
melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sungguh manusia itu sangat zalim dan sangat
bodoh.” (Al-Ahzab:72).
Alam tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan
manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Dalam
Qur’an telah dijelaskan bagaimana hubungan manusia
dengan alam ini yang meliputi alam kandungan, alam
dunia, alam barzah dan alam akhirat. Keempatnya
saling berhubungan satu sama lain menuju kebahagian
di alam yang abadi yaitu akhirat. Namun, alam dunia
lah yang sangat menentukan posisi manusia yang
dimanifestasikan dalam perbuatan untuk mencapai
kebahagian akhirat. Orang yang mengenal dirinya
sendiri akan mengenal wujud dari alam ini sebagaimana
yang dijelaskan dalam Surah al-Zariyat, 19-20:”Dan
di bumi terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri.
Kenapa kah kamu tidak memperhatikan?” Maka berbuat
yang terbaik dalam segala hal merujuk pada nilai-nilai

54 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


Islam akan berdampak kepada tujuan akhir manusia
yaitu kesuksesan akhirat, karena alam dunia dan akhirat
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Ini
lah kuncinya agar kita terhindar dari paham sekulerisme
yang memisahkan antara amal dunia dan akhirat.
Ukhuwwah, adalah konsep yang berasal dari
Islam, yang bermula ketika umat muslim (muhajir)
berhijrah dari Mekkah ke Madinah, yang disambut
oleh kaum Anshar. Konsep ini dibangun dari dasar satu
keyakinan (aqidah) yaitu Islam. Ada tiga urgensi dari
konsep ini yaitu terwujudnya satu kesamaan keyakinan,
tujuan dan perilaku. Ketika ukhuwwah Islamiyyah sangat
kuat, maka akan menghasilkan peradaban yang kuat
terutama dalam bidang ekonomi. Inilah yang seharusnya
dibangun saat ini di Negara-negara yang mayoritas
Muslim agar perekonomiannya tumbuh. Karena turunan
dari konsep ini dapat direalisasikan dalam bentuk
kerjasama (cooperation), tolong menolong (ta’awun)
dan kebersamaan untuk maju.
Tazkiyah merupakan komponen akhir yang
menghubungkan antara hubungan manusia dengan
Allah, manusia lainnya, alam dan masyarakat. Tazkiyah
merujuk kepada penyucian dan tumbuh. Menurut
Ahmad (1980), konsep pembangunan dalam Islam
mengikuti konsep tazkiyah, yang berhubungan
dengan permasalahan pembangunan manusia dari
berbagai dimensi. Pembangunan mengarah kepada
kesempurnaan melalui penyucian perilaku-perilaku dan
hubungan-hubungan, sehingga hasilnya adalah falah.107
107 Khursid Ahmad, “Economic Development in Islamic
Framework”, dalam Khursid Ahmad, ed, Studies in Islamic
Economics, Leicester: The Islamic Foundation and Jeddah:
International Center for Research in Islamic Economics, King
Abdul Azis University, 1980, hal 179.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 55


4.2.2.2 Pilar-Pilar Ekonomi Islam

Fondasi adalah inti dari sebuah bangunan, dan


selanjutnya bangunan ekonomi Islam juga harusnya
mempunyai pilar yang kokoh yang merupakan turunan
dari fondasinya. Pilar-pilar tersebut diantaranya adalah:
1. Konsep Kebebasan, Tanggung jawab dan Amanah
Konsep ini merupakan turunan dari fondasi tauhid,
alam dan khalifah. Manusia sebagai khalifah Allah
mengemban tugas dan amanah penting di muka
bumi baik dalam bentuk ibadah maupun muamalah.
Manusia diberikan kebebasan dalam pengelolaan
sumber daya alam sesuai dengan aturan-aturan
syariah yang telah ditetapkan di dalam Qur’an dan
Sunnah. Hal ini berhubungan perilaku manusia
(human behaviour) dalam ekonomi Islam. Perilaku
ekonomi manusia dalam ekonomi Islam diatur oleh
aturan-aturan syariah.
2. Konsep Kepemilikan
Konsep ini berhubungan dengan kepemilikan
harta. Harta yang dimiliki oleh manusia adalah
mutlak milik, sedangkan manusia hanya
diberikan amanah untuk mengelolahnya. Dalam
hubungannya dengan kepemilikan disebut
dengan kepemilikan dengan amanah (ownership
by trusteeship).108 Kepemilikan ini dibagi menjadi
dua bagian: 1) Pemilikan pribadi dan 2) kepemilikan
publik. Kepemilikan pribadi bagi individu-individu
dibolehkan dalam Islam baik dengan cara
bekerja, warisan atau perdagangan. Firman Allah
SWT:”Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah
108 Rodney Wilson and Ahmad el-Ashker,.Islamic Economics: A
Short History, Leiden: Brill, 2006, hal. 56.

56 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan
yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan
berlaku atas dasar suka sama suka di antara kami”
(An-nissa:29). Sedang dalam kepemilikan publik
berhubungan harta-harta yang menjadi milik
bersama masyarakat dalam penggunaanya. Secara
umum, konsep ini berhubungan dengan aktivitas
konsumsi dan produksi manusia.
3. Konsep Keadilan Sosial
Konsep ini menjelaskan tentang peranan
distribusi dan transfer pendapatan yang berasal
dari kekayaan yang dihasilkan oleh manusia.
Tujuan dari distribusi dalam Islam adalah agar
tidak terakumulasi harta pada sebagian orang
saja, melainkan terdistribusikan kepada mereka
yang membutuhkan, sehingga keadilan sosial
dapat tercapai. Firman Allah SWT:”...agar harta
itu jangan beredar diantara orang-orang kaya
saja diantara kamu...” (Al-Hasyr:7). Ada tiga alat
kebijakan distribusi pendapatan yang pernah
diimplementasikan dalam Islam, yaitu melalui
penghimpunan dana wajib, dana sukarela dan
dana lainnya. Instrumen dana wajib berupa zakat
dan kharaj. Adapun dana sukarela berupa infak,
sedekah, hibah, wakaf dan warisan, sedangkan
dana-dana lainnya berupa pajak-pajak yang dibuat
sesuai kebutuhan suatu pemerintah. Setelah dana-
dana tersebut dihimpun kemudian didistribusikan
untuk kepentingan masyarakat.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 57


4.2.2.3 Tujuan Ekonomi Islam

Sebagaimana yang telah dijelaskan diawal


pembahasan, tujuan ekonomi Islam adalah untuk
mencapai falah atau kesejahteraan di dunia dan akhirat.
Allah SWT berfirman:”Dan diantara mereka ada yang
berdoa, ”Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat, dan lindungi kami dari azab
neraka.” (Al-Baqarah: 201). Konsep falah ini sangat
komprehensif, yang mencangkup pada aspek spiritual,
moral dan kesejahteraan di dunia dan kesuksesan
di akhirat. Pada level mikro, falah mengacu kepada
pemenuhan kebutuhan dasar, kebebasan dalam bekerja
untuk mendapatkan kesenangan spiritual dan materi;
sedangkan di level makro, terbentuknya stabilitas dan
kesejahteraan ekonomi dengan standard kehidupan
masyarakat dapat tercapai di dunia dan akhirat. Dalam
tujuan ekonomi Islam, falah merupakan tujuan umum
dari segala aktivitas ekonomi (maqashid al-syariah al-
ammah). Sedang turunan dari konsep falah ini adalah
distribusi pendapatan yang merata, keadilan ekonomi,
berkurangnya kemiskinan dan terbukanya kesempatan
kerja. Semua indikator-indikator tersebut merupakan
tujuan syariah secara khusus (maqashid al-syariah al-
khassah). Karena itu maqashid syariah dalam bangunan
ekonomi Islam merupakan bagian akhir yang harus
dipenuhi.

58 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


MAQASHID SYARIAH

KEBEBASAN, KEPEMILIKAN KEADILAN


TANGGUNG SOSIAL
JAWAB DAN
AMANAH

TAUHID KHALIFAH ALAM UKHUWWAH TAZKIYYAH

AQIDAH SYARIAH AKHLAK

Gambar 4.1 Bangunan Ekonomi Islam

Dari uraian diatas dapat digambarkan (Gambar


4.1) dengan jelas bahwa bangunan ekonomi Islam
terdiri fondasi utama, falsafah dasar, pilar-pilar
dan tujuan. Komponen-komponen tersebut harus
diimplementasikan secara kaffah, sehingga ekonomi
Islam secara komprehensif dapat dirasakan oleh
masyarakat.

4.3 Metodologi Ekonomi Islam

Menurut Chapra (2001), metode ilmu ekonomi


juga dipengaruhi oleh pandangan dunia (worldview).109
Karena itu ekonomi Islam pun mempunyai pandangan
dunia (worldview) yang berbeda dengan ekonomi
konvensional. Haneef (1997) menambahkan bahwa
ekonomi Islam adalah sistem dari sebuah pemikiran
dan kebijakan memerlukan interpretasi dari sumber-
109 M. Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic
Perspective, terjemah SEBI, Jakarta: Asy-Syamil Press & Grafika,
2001, hal. 13.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 59


sumber pengatahuan Islam. Pengembangan pemikiran
dan kebijakan ekonomi Islam memerlukan metodologi
yang memberikan sebuah formula yang menetapkan
aturan-aturan interpretasi dan pengembangan
sebuah disiplin.110Pentingnya metodologi terhadap
pengembangan pengetahuan dalam hal ini ekonomi
Islam, beberapa ekonom Muslim menawarkan
metodologi yang tepat dalam ekonomi Islam. Menurut
Haneef dan Furqani ada tiga pendekatan metodologi
ekonomi Islam, yaitu: 1) metodologi ushul fikih; 2)
metodologi pluralitas yang menggunakan beberapa
metodologi yang telah dikembangkan oleh Barat dan
Islam: dan 3) metodologi Islamisasi ilmu.111
Metode pertama menjelaskan akan pentingnya
ilmu ushul fikih dalam pengembangan ekonomi Islam.
Ushul fikih merupakan metodologi pengambilan sebuah
hukum, yang mana ekonomi Islam pastinya selalu
berkaitan dengannya, karena ekonomi Islam adalah
sebuah sistem ekonomi yang berbasis kepada nilai-
nilai Islam. Pendapat ini selaras dengan pendapat Khaf
bahwa metodologi pengembangan sistem ekonomi
Islam yang bersumber dari sumber-sumber Islam adalah
mirip dengan pengembangan hukum-hukum fikih.112
Metodologi ini menggunakan sumber-sumber yang
berasal dari Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas.

110 M. Aslam Haneef, Islam, The Islamic Worldview, and Islamic


Economics, IIUM Journal of Economics & Management 5 (1),
1997, hal. 50.
111 Hafas Furqani&Mohamed Aslam Haneef, Methodology of
Islamic Economics: Typologi of Current Practices, Evaluation
and Way Forward, dipresentasikan di 8th International
Conference in Islamic Economics and Finance, 2011, hal. 2.
112 Monzer kahf, Islamic Economics: Note on Defintion and
Methodology, www.http://monzer.kahf.com, hal. 28, diakses
tanggal 30 Mei 2012.

60 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


Metode kedua menyatakan bahwa pluralisme
epistemologi, dan bukan pluralisme ontologi.113 Para
ekonom Islam epistemologi Islam mengakui multiple
sumber-sumber pengetahuan dari teori-teori manapun
yang bisa dinilai.114
Menurut Haneef dan Furqani, pendekatan ini
terhadap ilmu ekonomi Islam berasal dari praktek yang
umum dari interaksi dan integrasi ekonomi konvensional
dan warisan Islam.115Adapun yang menjadi pertanyaan
dalam metode ini adalah apakah epistemologi Islam
dengan epistemologi lainnya mempunyai kesamaan
sehingga hal tersebut bisa diterima. Karena pandangan
dunia (worldview) nya antara Sekuler dan Islam
pastinya berbeda. Perbedaan selanjutnya juga terlihat
antara metodologi Islam dan Barat. Metodologi Islam
diadopsi dari pendekatan Qur’an melalui refleksi dan
kontemplasi. Sedang metodologi Barat berdasarkan
pada akal (reason) dan pengalaman (experience).116Jadi
metodologi Islam tidak bisa menerima mentah-mentah
metodologi ini, tetapi menerima keragaman metodologi
karena dalam Islam seluruh metodolgi bisa digunakan
selama tidak bertentangan dengan Islam.
Metode ketiga adalah metodologi Islamisasi
ilmu. Metodologi ini mencoba untuk menginteraksikan
dan mengintegrasikan ekonomi mainstream dengan

113 John B. Davis, Samuels on methodological pluralism in


economics, http://papers.ssrn.com, diakses tanggal 30 Mei
2012, hal. 12.
114 Hafas Furqani&Mohamed Aslam Haneef, Methodology of
Islamic Economics: Typologi of Current Practices, Evaluation
and Way Forward, hal. 4.
115 Ibid, hal. 4
116 Mahmoud Abu Saud, The Methodology of the Islamic Sciences,
the American Journal of Islamic Social Sciences, 10 (3), 1993, hal.
382—385.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 61


prinsip-prinsip atau tradisi Islam dalam ilmu ekonomi
atau sebaliknya.117 Ilmu ekonomi merupakan salah
satu disiplin keilmuwan yang paling berhasil dilakukan
islamisasinya.
Menurut Thoyyar, ada 10 model Islamisasi yaitu:
1) Model IFIAS (International Federation of Institutes
of Advance Study); 2) Model Akademi Sains Islam
Malaysia (ASASI); 3) Model Islamic Worldview; 4) Model
Struktur Pengetahuan Islam; 5) Model Bucaillisme; 6)
Model Integrasi Keilmuan Berbasis Filsafat Klasik; 7)
Model Integrasi Keilmuan Berbasis Tasawuf; 8) Model
Integrasi Keilmuan Berbasis Fiqh; 9) Model Kelompok
Ijmali (Ijmali Group); 10) Model Kelompok Aligargh
(Aligargh Group).118 Masing-masing model mempunyai
pendekatan yang berbeda dalam proses Islamisasi.
Adapun pemikiran Islami yang paling dijadikan tolak
ukur adalah pemikiran al-Attas dan Faruqi. Menurut
al-Attas, Islamisasi pengetahuan harus menjalani dua
metodologi, yaitu;119Pertama, de-westernisasi, yaitu,
isolasi elemen kunci dan konsep yang membentuk
budaya dan peradaban Barat dari setiap cabang
pengetahuan masa kini. Kedua, Islamisasi: memasukkan
elemen Islam dan konsep-konsep kunci dalam setiap
cabang pengetahuan yang relevan hari ini.

117 Hafas Furqani&Mohamed Aslam Haneef, Methodology of


Islamic Economics: Typologi of Current Practices, Evaluation
and Way Forward, hal. 6.
118 Huzni Thoyyar, Model-Model Integrasi Ilmu dan Upaya
Membangun Landasan Keilmuwan Islam (Studi Literatur
terhadap Pemikiran Kontemporer Islam), www.ditpertais.net,
diakses 20 Mei 2012, hal. 14—30.
119 Mohamed Aslam Haneef, A Critical Survey of Islamization of
Knowledge, Research Center of IIUM: Kuala Lumpur, 2005, hal.
36.

62 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


Menurut Zarqa (2003), perkembangan ekonomi
Islam selama empat puluh tahun terakhir ini praktis lebih
dekat kepada pendekatan Faruqi dengan rencana kerja
yang tidak komprehensif (work plan). Setiap rencana
memiliki kelebihan dan kekurangan. Kekurangan dari
rencana komprehensif membutuhkan waktu yang
lama dan sumber daya manusia yang besar, sedangkan
keuntungan adalah bahwa hal itu adalah rencana yang
terorganisir dengan baik yang menghasilkan konsep
yang pas dan komprehensif. Selain itu, kekurangan
rencana kerja (work plan) yang tidak komprehensif
yaitu pandangan akan sebuah konsep yang kurang
komprehensif.120 Metodologi ini bisa dijadikan alat dalam
mengembangan ilmu ekonomi Islam, karena sumber-
sumber nya tidak hanya berasal dari Qur’an dan Sunnah
saja melainkan juga dari literature-literatur Islam yang
lainnya seperti kalam, filsafat, sejarah dan lainnya.
Selain dari ketiga metodologi diatas, ada satu
metodologi yang bisa dipertimbangkan sebagai sarana
pengembangan ilmu ekonomi Islam yaitu dengan
pendekatan maqashid syariah. pendekatan maqashid
yaitu pendekatan ijtihad dengan premis untuk
merealisasikan manfaat (maslahat) dan mencegah
kerusakan (mafsadah).121 Selanjutnya pendekatan
penetapan sebuah hukum (istinbath al-hukum) dengan
menggunakan qiyas (analogi), istihsan, dan maslahah
al-mursalah adalah metode-metode yang dapat dipakai
dalam pengembangan hukum Islam dengan mengunakan

120 Muhammad Anas Zarqa, Islamization of Economics: The


Concept and Methodology, J.KAU: Islamic economics, 16 (1).
2003. 33—35.
121 Mohammad Hashim Kamali, Shariah Law an Introductory.
England: Oneworld Publication, 2008, hal. 129..

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 63


maqashid al-syari’ah sebagai dasarnya.122Metodologi
ini pada prinsipnya sama dengan metodologi ushul
fikih, tetapi dalam proses penetapan sebuah hukum
berbasiskan pada pertimbangan manfaat (maslahat)
dan mencegah kerusakan (mafsadah).

4.4 Maqashid Syariah dalam Ekonomi Islam

Tujuan-tujuan syariah (maqashid syariah/Islamic


paradigm) berbasis kepada konsep kesejahteraan
(falah) dan kehidupan yang baik (thayyibah).123Hal ini
berkenaan dengan definisi ekonomi Islam di penjelasan
sebelumnya bahwa tujuan dari ekonomi Islam adalah
merealisasikan falah melalui proses ekonomi. Falah
merupakan tujuan umum dari syariah (maqashid al-
syariah al-ammah) dari ekonomi Islam. Adapun tujuan
yang khususnya (maqashid al-syariah al-khassah)
berasal dari instrumen-instrumen ekonomi Islam itu
sendiri. Contohnya, zakat merupakan alat dari keadilan
sosial yang tujuannya adalah untuk mensucikan para
muzakki dan solidaritas kepada saudara-saudaranya
yang membutuhkan.124Dengan begitu aktivitas ekonomi
Islam dapat diwujudkan dengan maqashid.125
Peran maqashid syariah dalam pengembangan
ilmu ekonomi Islam dapat memberikan makna yang
komprehensif dalam pembahasannya. Peranan

122 Isa Anshori, Maqashid Syari’ah sebagai Landasan Etika Global,


01 (01), Maret 2009, hal 16—17.
123 M.Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge, UK: The
Islamic Foundation, 1992, hal. 7.
124 Ahmad Raysuni, Nadhoriyyat al-Maqashid ‘inda Imam al-Syatibi,
Beyrut: IIIT., 1995, hal. 367.
125 M. Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic
Perspective, hal. 131.

64 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


tersebut bisa diwujudkan ke dalam maqashid al-
khamsah, yaitu menjaga agama, jiwa, keturunan, akal
dan harta. Peranan agama menempati posisi pertama,
yang diwujudkan dalam bentuk keimanan. Keimanan
memberikan cara pandang yang komprehensif pada
kepribadian manusia yang menyeimbangkan dorongan
material dan spritual.126 Keimanan bagi seorang Muslim
bagaikan mesin sebuah mobil, yang merupakan sumber
kekuatan yang mekanistik menggerakan seluruh organ
dengan tugas-tugasnya. Jika keimanan dirawat dan
dipelihara akan memberikan dampak yang signifikan
bagi manusia seperti membangun kesadaran yang
tinggi dan loyal terhadap tugas dan tanggun jawab,
mencegah kemungkaran dan memberantas kebatilan
dan menyeimbangkan antara kepentingan pribadi
dan sosial. Realisasi bentuk keimanan ini diwujudkan
dalam bentuk ketaatan pada perintah dan larangan
Allah SWT (nilai-nilai Islam). Ketika nilai-nilai Islam
diimplementasikan dengan baik akan menciptakan
sistem ekonomi yang adil dan sejahtera.
Tiga tujuan yang ditengah (jiwa, akal dan
keturunan) berhubungan dengan manusia sendiri, yang
kesejahteraannya merupakan tujuan utama dari syariah.
Ketiganya berhubungan dengan kebutuhan hidup
manusia seperti kebutuhan fisik, psikologi, pendidikan,
kesehatan dan keberlangsungan hidup. Menurut
Chapra (2001), tiga variabel ini dapat membantu di
dalam analisis variabel-variabel ekonomi pentingnya,
misalnya konsumsi, tabungan, investasi, sedemikian
rupa sehingga membantu mewujudkan kesejahteraan

126 M. Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic


Perspective, hal. 125.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 65


bagi manusia.127Selanjutnya harta juga merupakan
variabel penting dalam mewujudkan kesejahteraan bagi
manusia. Segala aktivitas ekonomi akan berhubungan
dengan harta sebagai variabel inputnya.
Pengelolaan harta atau kekayaan yang baik akan
menghasilkan keadilan dan kesejahteraan, yang
didukung oleh nilai-nilai keimanan. Elemen-elemen
pengelolaan menurut Islam terdiri dari peraturan
internal terhadap diri sendiri, tanggung jawab pada
keluarga, perintah kewajiban sosial, peran produktivitas,
sukarela dalam tanggung jawab sosial dan peran
kepemimpinan.128Oleh karena itu pada tingkatan akhir
ini akan selalu berhubungan dengan tingkatan pertama
sebagai pengatur tindakan manusia dalam mengelola
hartanya.
Kelima aspek dasar maqashid syariah ini dalam
ekonomi Islam sangat penting karena berhubungan
dengan nilai-nilai agama, kebutuhan manusia dan
sumber-sumber kekayaan. Dapat disimpulkan bahwa
nilai-nilai agama berfungsi sebagai filter moral
manusia yang membantu manusia dalam memenuhi
kebutuhannya yang berasal dari sumber-sumber
kekayaan yang dianugerahkan kepadanya, dengan
tujuan mencapai kesejahteran di dunia dan akhirat.

127 M. Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic


Perspective, hal. 129.
128 Ruqayyah Waris Masqood, Harta dalam Islam: Panduan al-
Qur’an dan Hadits dalam Mencari dan Membelanjakan Harta dan
Kekayaan, penerjemah Mutini, Jakarta: Lintas Pustaka, 2002,
hal. 74—75.

66 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


4.5 Kesimpulan

Pembahasan ekonomi Islam akan selalu


berhubungan dengan maqashid syariah, karena kedua
objek pembahasannya adalah sama yaitu perilaku
manusia untuk mencapai kesejahteraan (falah). Dalam
mencapai kebahagiannya ada tiga komponen utama
yang harus dipenuhi yaitu aqidah, syariah dan akhlak.
Tiga asas inilah yang menjadi dasar utama bangunan
ilmu ekonomi Islam. Ketiga aspek ini diturunkan menjadi
lima fondasi utama dalam bangunan ekonomi Islam yaitu
tauhid, khalifah, alam, ukhuwwah dan tazkiyyah. Dalam
tujuan ekonomi Islam, falah merupakan tujuan umum
dari segala aktivitas ekonomi (maqashid al-syariah al-
ammah), sedang tujuan syariah secara khusus (maqashid
al-syariah al-khassah) seperti stabilitas, distribusi
pendapatan yang merata, pengurangan kemiskinan
dan penyediaan kesempatan kerja. Dari sisi maqashid
al-khamsah juga sangat berpengaruh terhadap aktivitas
ekonomi yang berhubungan kebutuhan manusia
dalam mengalokasikan sumber-sumber daya yang ada,
yang mana nilai-nilai Islam berfungsi sebagai filter atas
perilaku ekonomi manusia. Dapat disimpulkan bahwa
ekonomi Islam harus memperhatikan aspek-aspek
maqashid syariahnya, sehingga dapat memberikan
dampak yang komprehensif bagi umat.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 67


BAB V

KONSUMSI

DALAM TINJAUAN

MAQASHID SYARIAH

5.1 Pendahuluan

Allah SWT telah menganugerahkan karunia-Nya


yang melimpah di muka bumi ini kepada manusia. Manusia
diamanahkan oleh Allah SWT untuk mengelolahnya dan
kemudian dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Pemenuhan kebutuhan inilah yang melahirkan
perilaku-perilaku konsumsi oleh manusia. Saat ini
perilaku konsumsi yang berkembang bersumber dari
konsep Kapilisme yang dikenal dengan dualitas perilaku
konsumsi yaitu economic rationalism dan utilitarianism.
Economic rationalism menggambarkan perilaku manusia
yang didasarkan pada perhitungan yang ketat dan
diarahkan kepada tinjauan kedepan dan kehati-hatian
dalam mencapai kesuksesan ekonomi.129Sedangkan
utilitarianism berhubungan dengan sumber-sumber

129 Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism,
New York: Charles Scribners’ Sons, 1958, hal. 76.

68 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


dari nilai-nilai moral dan perilaku.130 Kedua konsep
ini hanya berdasarkan pada hitungan-hitungan akal
saja bagaimana bisa mencapai level konsumsi yang
maksimal dari kepuasaan yang diterima berbanding
dengan pendapatan yang dimiliki. Hal ini berkaitan
dengan konsep
Dalam Islam, manusia selain sebagai khalifah
Allah juga sebagai mukallaf (yang dibebankan hukum),
sehingga segala perilakunya dimuka bumi ini diatur
oleh syariat yang ditetapkan oleh Allah SWT. Konsumsi
merupakan komponen terpenting yang menjadi
pembahasan dalam syariat Islam, sehingga dalam
Qur’an dan Sunnah banyak dijelaskan bagaimana
maksimalisasi nilai guna (maximization of utility).
Hasil yang diterima dan dirasakan dari konsumsi
adalah manfaat atau kegunaan dari barang dan jasa,
yang dalam Islam dikenal dengan konsep maslahat
(manfaat). Konsep ini berhubungan dengan konsep
dasar maqashid syariah yang diperkenalkan oleh
Imam Juwaeni dan Imam Ghazali yaitu mendatangkan
manfaat-manfaat (jalb al-mashalih) dan meninggalkan
kerusakan-kerusakan (al-mafasid). Kemudian Imam
Ghazali menjelaskan maslahat dasar yaitu al-maqashid
al-khamsah (dharuriyat) bagi manusia adalah menjaga
agamanya, dirinya, akalnya, keturunannya dan hartanya.
Segala sesuatu yang berkenaan dengan penjagaan yang
lima adalah maslahat, sedangkan segala yang berkenaan
dengan meninggalkan yang lima adalah mafasadah.131
Tingkatan yang lainnya adalah hajiyat dan tahsiniyat.
Ketiga tingkatan prioritas maqashid syariah ini sangat

130 Ibid, hal. 52.


131 Al-Ghazali, Al-Musthafa, Beirut: Darul al-Shadir, 1993, hal. 248.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 69


berhubungan dengan konsep konsumsi yang tujuannya
akhirnya adalah kepuasaan material dan spiritual. Oleh
karena itu pada bab ini akan dibahas konsep konsumsi
dari tinjauan maqashid syariah.

5.2 Harta dalam Kedudukan Islam

Manusia mempunyai 2 kewajiban utama yang


harus diemban di muka bumi ini, yaitu sebagai hamba
Allah SWT dan pemakmur bumi (agent of economic).
Kewajiban pertama dijelaskan pada Surah ad-dhariyat,
56:”Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan
untuk menyembah-Ku.” Sedangkan kewajiban yang
kedua telah dijelaskan pada Surah al-‘araf, 10:”Dan
sungguh, kami telah menempatkan kami di muka bumi dan
disana Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu.
(Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.” Selanjutnya
posisinya sebagai pemakmur bumi dengan segala
sumber-sumber penghidupan untuknya dijelaskan pada
Surah al-‘Araf 61:”…Dia telah menciptakan kamu dari
bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya….”
Kedua kewajiban itu harus diwujudkan oleh
manusia itu sendiri secara bersamaan dalam menjalani
hidupnya di bumi ini, dengan merujuk pada firman
Allah SWT dalam Surah al-Jumuah, 10:“Apabila shalat
telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-
banyak agar kamu beruntung.” Dari ayat ini jelas bahwa
ibadah dan mencari karunia Allah SWT merupakan satu
kesatuan utuh yang harus dijalankan manusia di dunia
untuk mencapai akhirat. Dalam hal ini manusia untuk
dapat bertahan hidup di muka bumi memerlukan

70 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


adanya harta sebagai sarana memenuhi kebutuhan
dasarnya baik sandang maupun pangan. Islam sebagai
panduan hidup (way of life) mengatur manusia dalam
pemenuhan kebutuhannya yang bersumber dari al-
Qur’an dan Hadits.

5.2.1 Definisi Harta (mal)

Secara etimologi, harta dalam Islam dikenal


dengan kata mal yang berasal dari kata ϼϴϣ-ϞϴϤϳ-ϝΎϣ, yang
berarti condong, kecendrungan dan kemiringan.
Kecendrungan manusia untuk mencintai harta
merupakan tabiatnya seperti yang dijelaskan dalam
Surah al-‘Adiyat, 8:”Sesungguhnya manusia sangat cinta
kepada harta”. Adapun secara terminologi beberapa
ulama telah mendefinisikannya secara jelas dan
lugas.132
1. Menurut ulama Hanafiyyah, harta adalah sesuatu
yang kecendrungan kepadanya tabiat manusia
yang memungkinkan penyimpanannya untuk
dipergunakan pada masa dibutuhkan.
2. Menurut ulama Malikiyyah, harta adalah sesuatu
yang mengakibatkan atasnya kepemilikan, yang
pemilik memisahkannya dari yang lainnya apabila
mengambilnya dari tempatnya.
3. Menurut ulama Hanabilah, harta adalah sesuatu
yang dibolehkan pemanfaatannya secara bebas
atau di setiap keadaan apapun.
4. Menurut Jumhur ulama, harta adalah sesuatu
yang mempunyai nilai materi diantara manusia,
yang dibolehkan pemanfaatannya secara syari’ah
132 Rafiq Yunus al-Mishri, Fiqh al-Muamalat al-Maliyah, Darul Qalam:
Damaskus, 2005, 39.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 71


dalam keadaan lapang dan ada pilihan, bukan
dalam keadaan sempit dan bahaya.
Dari beberapa definisi dapat diambil kesimpulan
bahwa harta adalah sesuatu yang mempunyai nilai
materi yang dapat dimiliki, dimanfaatkan dan disimpan
menurut ketentuan-ketentuan syari’ah Islam. Harta
yang dimaksudkan dengan dapat dimiliki adalah bahwa
harta itu harus dicari oleh manusia dengan bekerja,
berdagang atau memberikan jasa kepada orang lain.
Sedang yang dimaksud dengan sesuatu yang dapat
dimanfaatkan adalah harta yang dapat digunakan
manusia untuk kehidupannya seperti untuk memenuhi
kebutuhan primer dan sekundernya. Adapun yang
dimaksudkan dengan dapat disimpan adalah harta yang
dapat digunakan untuk kebutuhan akan datang dengan
cara menyimpannya baik dalam bentuk tabungan atau
investasi.

5.2.2 Hakikat Harta dalam Islam

Dari definisi diatas menjelaskan bahwa harta


mempunyai posisi penting dalam kehidupan manusia.
Untuk mendapatkannya manusia perlu bekerja dan
yang selanjutkan dimanfaatkan untuk saat ini maupun
untuk masa depannya. Tahapan seperti ini sudah banyak
diketahui oleh kita sebagai manusia, tetapi terkadang
kita terlupa apa sebenarnya hakikat harta dalam
kehidupan manusia. Dalam Islam, ada beberapa poin-
poin penting tentang harta yang harus benar-benar
dapat dipahami maknanya secara mendalam.

72 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


1. Harta mutlak milik Allah SWT
Di dalam al-Qur’an telah banyak dijelaskan bahwa
Allah SWT adalah pemilik mutlak seluruh kekayaan
yang ada di langit maupun di bumi. Dijelaskan
dalam Surah al-Maidah, 120 :”Kepunyaan Allah-
lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada
didalamnya, dan Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu.” Selanjutnya, manusia sebagai khalifah
Allah SWT diberikan hak untuk memanfaatkannya
dengan penuh amanah. Menurut Rodney Wilson,
basis kepemilikan harta dalam Islam adalah
kepemilikan dengan amanah (ownership by
trusteeship), dengan Allah SWT sebagai Pemilik
mutlak kekayaan dan Manusia Sebagai wakil-Nya
di bumi ini.133 Karena harta sebagai amanah, maka
manusia sebagai pemegang amanah tersebut akan
mempertanggung jawabkan di akhirat nanti. Dalam
sebuah riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda:
“Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya
tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan,
jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya
darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan,
serta ilmunya untuk apa dipergunakan.”
2. Harta sebagai nikmat Allah SWT
Harta yang diberikan sebagai amanah adalah
sebuah nikmat yang patut disyukuri oleh manusia.
Para ulama dahulu telah banyak berbicara tentang
nikmat. Nikmat menurut Imam Ghazali terbagi
menjadi 2, yaitu nikmat yang mutlak dalam
segala keadaan dan nikmat yang muqayyad

133 Ahmed El-Ashker & Rodney Wilson. Islamic Economics: A Short


History, Brill: Leiden, 2006, 56.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 73


dalam segala keadaan. Kategori pertama seperti
kebahagian akhirat dan keimanan. Sedangkan
yang kedua kebanyakan berhubungan dengan
kebahagian harta benda.134 Ibnu Qayim al-Jauziyah
membaginya menjadi 3 macam, yaitu:135 1) nikmat
yang sedang di tangan; 2) nikmat yang diharapkan
datangnya; dan 3) nikmat yang tidak disadari.
Nikmat yang pertama adalah nikmat yang sedang
dinikmati semasa hidup seperti harta, kesehatan,
kedudukan dan sebagainya. Bentuk yang kedua
seperti kenaikan pangkat dan gaji, sukses dalam
ilmu, pergangan dan usaha. Yang terakhir adalah
nikmat tubuh yang diberikan kepada kita yang
sampai pada saat ini masih dapat digerakan.
Nikmat adalah sesuatu yang halal dan baik yang
diberikan oleh Allah SWT, sebagaimana yang
dijelaskan dalam Surah al-Baqarah, 168:”Wahai
manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan
baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu
musuh yang nyata bagimu.” Namun ketika nikmat
harta yang dianugrahkan-Nya tidak disyukuri oleh
hambanya bahkan malah mengingkarinya, maka
azab Allah sangat pedih, sebagaimana di dalam
firman-Nya dalam Surah Ibrahim, 14:
”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti
Kami akan menambah (nikmat) kepadamu,
dan jika kamu kufur (mengingkari nikmat-
Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat
pedih.”
134 Nawawi Duski, Nikmat dan Bala, Bunga Rampai Ajaran Islam,
DDII: Jakarta, 1986, 33.
135 Ibid, 35.

74 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


3. Harta sebagai pilar utama dakwah
Harta atau kekayaan yang dimiliki oleh manusia
diharapkan dapat digunakan untuk jalan dakwah,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah
SAW, sahabat-sahabat, dan tabi’In. Di masa
Rasulullah SAW, Sahabatnya Abu Bakar as-Siddiq
rela mengorbankan hampir semua kekayaannya
untuk mempertahankan Islam dan orang-orang
miskin yang pada masa itu Islam masih mendapat
ancaman dari pihak-pihak yang tidak menginginkan
kedatangan Islam.
4. Harta sebagai ladang amal di akhirat nanti
Dalam Islam, manusia tidak hanya hidup di dunia
saja, melainkan akan menghadapi kehidupan
yang kekal di akhirat nanti. Namun, hal tersebut
banyak dilupakan oleh sebagian manusia. Padahal
kita telah diperintahkan untuk mencapai pahala
akhirat dari apa yang telah dianugerahkan Allah
sebagaimana firman-Nya dalam Surah al-Qhasas,
77;

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat


dengan apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan
bagianmu di dunia dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik padamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di muka bumi.
Sungguh Allah tidak menyukai orang yang
berbuat kerusakan.”

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 75


Dari ayat ini sangat jelas bahwa segala kekayaan
yang telah dianugerahkan kepada kita adalah ladang
untuk mendapatkan pahala di akhirat nanti. Kekayaan
atau harta yang kita dapat dan kemudian kita gunakan
adalah untuk mencapai falah (kesuksesan dunia dan
akhirat). Kompensasi pahala tersebut dijelaskan
dalam hadist Nabi Muhammad SAW:” Apabila anak
Adam telah meninggal dunia, maka terputuslah semua
amalnya, kecuali tiga perkara yakni: shadaqah jariyah,
ilmu yang diambil manfaatnya dan anak yang shaleh
yang mendo’akan kedua orang tuanya (HR. Muslim, no.
1631 dari Hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu). Ketiga
perkara ini memerlukan harta untuk mendukungnya.
Untuk memberikan shadaqah jariyah maka diperlukan
kekayaan dengan cara bekerja. Begitu juga dengan ilmu
yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang masuk
dalam kategori pengeluaran pendidikan yang berasal
dari kekayaan yang diterima oleh kita. Sungguh indah
Islam menjelaskan hakikat harta yang digunakan manusia
dalam rangka pemenuhan kebutuhannya dunia maupun
akhirat. Jika semua mengerti secara mendalam arti dari
harta tersebut niscaya keadilan di dunia dapat tercapai
karena salah satu sumber permasalahan di dunia ini
adalah ketimpangan kepemilikan harta yang beredar di
antara manusia.

5.2.3 Prinsip-Prinsip dalam Mencari Harta

Islam mengatur dengan jelas bagaimana manusia


harus bertindak dalam memperoleh harta untuk
memenuhi kebutuhan yang memberikannya kebahagian
baik di dunia dan akhirat kelak. Ada beberapa prinsip
yang harus diketahui oleh kita sebagai seorang Muslim

76 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


terhadap harta, diantaranya yaitu:
1. Anjuran untuk mencari harta
Untuk memenuhi keperluan individu, dan
masyarakat dalam rangka memakmurkan dunia,
manusia didorong untuk bekerja sebagaimana telah
dianjurkan dalam al-Qur’an dalam Surah al-Taubah,
105: Dan katakanlah:”bekerjalah kamu, maka Allah
dan Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada
(Allah) Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang
nyata lalu diberitahukannya kepada kamu yang telah
kerjakan.”Anjuran untuk mencari harta dengan bekerja
merupakan cara agar manusia dapat bersyukur kepada
Allah SWT. Karena Dia lah Yang Maha Pemberi dan
Maha Pemurah dalam memberikan rizki kepada hamba-
hambanya. Mengenai hal ini Allah SWT berfirman di
dalam Surah Saba’, 13:”…Bekerja lah wahai keluarga
Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali
dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.”
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa
hidup sendiri dalam melakukan aktivitas-aktivitasnya di
dunia. Di dalam mencari kekayaan yang dibutuhkannya
mereka memerlukan satu sama lain untuk memenuhinya,
maka timbul lah jenis-jenis pekerjaan diantara manusia.
Jenis-jenis pekerjaan tersebut telah diuraikan secara
jelas dalam al-Qur’an, diantaranya:
a. Dengan jalan pertanian
“Maka hendaklah manusia itu memperhatikan kepada
makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah
mencurahkan air (dari langit). Kemudian Kami belah
bumi dengan sebaik-baiknya. Lalu kami tumbuhkan
biji-bijian di bumi itu. Anggur dan sayur-sayuran. Zaitun

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 77


dan pohon kurma. Kebun-kebun yang lebat. Dan buah-
buahan serta rumput-rumputan. Untuk kesenanganmu
dan untuk binatang-binatang ternakmu.” (Abasa:24-32)
b. Dengan jalan perindustrian
“…Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat
kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat untuk
manusia….” (Al-Hadid:25)
c. Dengan jalan perdagangan
“Hai orang-orang yang beriman, jangan lah kamu saling
memakan harta sesame dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka
di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada
dirimu.” (An-nisa:29)
d. Dengan jalan pelayaran
“Dan Dialah yang menundukan lautan (untukmu), agar
kamu dapat memakan daging yang segar (ikan) darinya,
dan (dari lautan itu) kamu mengeluarkan perhiasan
yang kamu pakai. Kamu (juga) melihat perahu berlayar
padanya, dan agar kamu mencari sebagian karunia-Nya,
dan agar kamu bersyukur.” (Al-Nahl:14)
e. Dengan jalan peternakan
“Dan hewan ternak telah diciptakan-Nya untuk
kamu, padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan
berbagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan. Dan
kamu memperoleh keindahan padanya, ketika kamu
membawanya kembali ke kandang dan kerika kamu
melepaskannya (ke tempat pengembalaan).” (An-
Nahl:5-6)
f. Dengan jalan jasa transportasi
“Dan ia mengangkut beban-bebanmu ke suatu negeri

78 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


yang kamu tidak sanggup mencapainya, kecuali dengan
susah payah. Sungguh, Tuhan-mu Maha Pengasih, Maha
Penyayang. Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal dan
keledai, untuk kamu tunggangi dan menjadi perhiasan.
Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui.” (An-
Nahl:7-8)
“…kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang
bermanfaat bagi manusia…” (Al-Baqarah: 164)
Dari beberapa Surah yang disebutkan diatas kita
diingatkan bahwa Allah telah menciptakan segala tempat
dan sarana untuk manusia agar dapat memperoleh
kekayaan dengan beragam jenis pekerjaannya. Sekarang
tinggal manusianya apakah dia mau berusaha dengan
bersungguh atau biasa-biasa saja atau hanya berdiam
diri saja mengharapkan belas kasih orang lain. Kita lah
pengambil keputusan dari setiap apa yang akan kita
lakukan. Dan Allah akan memberikan sesuatu melainkan
karena usaha manusia itu sendiri. Dalam Surah al-an’am,
132 Allah menyatakan dengan jelas:”Dan masing-masing
orang ada tingkatannya, (sesuai) dengan apa yang mereka
kerjakan. Dan Tuhan-mu tidak lengah terhadap apa yang
mereka kerjakan”.
2. Perintah untuk menbelanjakan harta
Di samping Allah SWT menganjurkan manusia
untuk bekerja, Allah SWT juga memerintahkannya
untuk membelanjakan kekayaan yang dimilikinya pada
jalan Allah yang memberikan manfaat kepada dirinya,
keluarganya dan orang lain. Islam menjelaskan secara
terperinci langkah-langkah dalam membelanjakan
harta. Langkah pertama dalam pembelanjaan kekayaan
dengan tidak berbuat boros (mubazir) sebagaimana
yang terdapat pada Surah al-Furqan, 67:”Dan orang-

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 79


orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka
tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian”. Bahkan orang-orang yang berlaku boros
diumpamakan sebagai saudaranya syaitan sebagaimana
ditegaskan pada Surah al-Isra, 26-27:”Sesungguhnya
orang-orang yang pemboros itu adalah saudara syaitan
dan syaitan itu sangat ingkar kepada Tuhan-nya.”
Langkah kedua adalah membelanjakan
hartanya untuk membantu orang-orang yang memang
memerlukannya seperti orang-orang fakir dan miskin
dengan memberikan sedekah, infak, zakat dan wakaf.
Pada harta yang kaya itu ada hak bagi orang-orang
yang miskin. Hal ini disebut dalam Surah al-Maarij, 24-
25:”Dan orang-orang yang dalam hartanya disiapkan
bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta-
minta dan yang tidak meminta.” Kemudian dianjurkan
pemberian tersebut dilakukan kepada kerabat-kerabat
terdekat dahulu yang lebih memerlukan dan selanjutnya
kepada yang lainnya sebagaimana yang disebutkan
dalam Surah al-Isra, 26:”Dan berikanlah haknya kepada
kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang
dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-
hamburkan (hartamu) secara boros.”
Langkah ketiga adalah melakukan persiapan-
persiapan untuk masa depan karena manusia itu tidak
dapat mengetahui dengan pasti apa yang diperolehnya
esok, namun demikian mereka diwajibkan berusaha,
Allah SWT dalam Surah Lukman, 34 berfirman:
“Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang
hari kiamat; dan Dia yang menurunkan hujan, dan
Mengetahui apa yang ada di Rahim. Dan tidak ada

80 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa
yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang
pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.
Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal.”
Melakukan penyimpanan (saving) harta adalah salah
bentuk usaha pembelanjaan atau konsumsi yang akan
digunakan pada masa akan datang. Nabi Yusuf AS telah
memerintahkan raja untuk melakukan penyimpanan
(saving) untuk menghadapi masa paceklik yang sangat
sulit berdasarkan mimpi sang raja mengenai 7 ekor sapi
betina yang gemuk dimakan oleh 7 ekor sapi betina
yang kurus dan 7 tangkai gandum yang hijau dan kering.
Kisah ini berdasarkan pada Surah Yusuf, 47-48:
“Dia (yusuf) berkata, “agar kamu
bercocok tanam tujuh tahun (berturut-
turut) sebagaimana biasa, kemudian apa
yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan
ditangkainya kecuali sedikit untuk kamu
makan. Kemudian setelah itu akan datang
tujuh (tahun) yang sangat sulit, yang
menghabiskan apa yang kamu simpan
untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali
sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu
simpan.”
3. Larangan-larangan dalam mencari harta
Dalam Islam aturan-aturan dalam mencari harta
atau kekayaan pun harus diatur agar distribusi harta
yang terjadi di masyarakat tidak terlalu timpang. Proses
perolehan harta diharapkan tidak melampaui batas dan
merugikan orang lain. Beberapa proses perolehan harta
yang dilarang yaitu melalui riba, judi dan penipuan.
Pengharaman riba sangat jelas sbagaimana firman Allah

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 81


SWT dalam surah Al-Baqarah, 275:
“Orang-orang yang makan (mengambil)
riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang
kembali (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya.”
Memperoleh harta dari judi merupakan suatu
perbuatan yang dilarang Allah karena didalamnya
terdapat suatu ketidak pastian dalam memperolehnya,
cenderung lebih banyak kerugiannya dibandingkan
manfaatnya dalam kehidupan manusia. Harta yang
diperoleh dari perbuatan ini tidak akan berkah, karena
tidak mendapatkan keridhaan-NyaBahkan Allah SWT
menggambarkan perbuatan ini seperti perbuatan
syaitan, sebagaimana dalam firman-Nya: Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan
syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar

82 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


kamu mendapat keberuntungan.
Penipuan sering berkaitan dengan masalah
ekonomi. Hal ini sering terjadi dalam kehidupan manusia
seperti penipuan penjualan dalam bentuk kuantitas dan
kualitas barang. Dalam kontek ekonomi, perbuatan ini
dikategorikan sebagai perbuatan dusta dan curang,
yang menyembunyikan suatu yang benar atas sesuatu
yang dijadikan sebagai objeknya. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan
yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak
itu, sedang kamu mengetahui.”

5.3 Prinsip-Prinsip Dasar Konsumsi

Konsumsi yang sehat dan layak tidak hanya akan


menjamin kelangsungan pembangunan yang akan
menguntungkan generasi yang akan datang, tetapi juga
mencegah kecendrungan inflasi.136Islam telah mengatur
aturan-aturan yang jelas mengenai konsumsi ini, yang
bertujuan untuk mencapai manfaat (maslahat) yang
optimal dan menghindari kerugian (mafsadah) bagi
dirinya maupun orang lain. Dalam mencapai tujuan-
tujuan konsumsi tersebut, perlunya pengetahuan akan
prinsip-prinsip dasar konsumsi dalam Islam, yaitu:
1. Prinsip Halal
Seorang Muslim dianjurkan untuk makan hanya
makanan yang ‘Halal’ (halal dan diijinkan) dan tidak
mengambil apa yang ‘Haram’ (melanggar hukum
dan dilarang). Al-Qur’an mengatakan: ”Makanlah
dari apa yang Allah telah berikan pada Anda
sebagai makanan halal dan baik, dan bertakwalah
136 Ruqaiyah Waris Masqood, Harta dalam Islam, penerjemah.
Mutini. S.S, Jakarta: Lintas Pustaka, 2002, hal. 161.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 83


kepada Allah di dalam Dia kamu percaya .......” (Al-
Maidah:88). Pada ayat lain disebutkan tentang
larangan barang haram, sebagaimana firman
Allah SWT: “Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan
yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang
tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk
dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang
sempat kamu sembelih…”(Al-Maidah:3). Prinsip
Halal dan Haram juga berlaku untuk jenis-jenis
pengeluaran selain makanan. Para pengikut Islam
diharuskan untuk menghabiskan pendapatan nya
kepada sesuatu yang halal dan menjauhi sesuatu
yang haram seperti anggur, narkotika, pelacur,
perjudian, kemewahan, dll. Selain dari zatnya yang
halal, maka prosesnya pun harus dilakukan dengan
cara yang halal.
2. Prinsip Kebersihan dan Kebajikan
Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat
memerintahkan kepada manusia untuk melihat
kepada kebersihan dan kebajikan dalam konsumsi.
Firman Allah SWT: ”Wahai orang-orang yang
beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami
berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada
Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.”
(Al-Baqarah:172). Ayat ini menjelaskan dengan
melakukan konsumsi dengan cara-cara yang baik
merupakan suatu bentuk ketaatan kepada Allah
SWT yang direalisasikan dalam syariat Islam.
Sedang kata thayyibah menurut Yusuf Ali berarti
hal yang baik (good thing), hal yang baik dan murni
(good and pure thing) dan hal yang bersih dan

84 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


murni (clean and pure thing).137Karena Islam jelas
memandang bahwa konsumsi terhadap sesuatu
harus melihat aspek-aspek kebersihan, kebaikan
dan kebajikan, sehingga dapat tercapai maslahat
nya.
3. Prinsip Moderat
Prinsip moderat berarti seseorang harus mengambil
makanan dan minuman dengan menghindari
kelebihan atau kekurangan dalam konsumsi.
Dalam Surah al-’araf, 31 berbunyi:
”Wahai anak cucu Adam! Pakailah
pakaianmu yang bagus pada setiap
(memasuki) masjid, makan dan minum
lah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh
Allah tidak menyukai orang yang berlebih-
lebihan”.
Prinsip moderat ini berlaku tidak hanya pengeluaran
konsumsi barang dan jasa, melainkan pengeluaran
untuk charity, dan hubungan antara pengeluaran
dan tabungan.138Prinsip moderat ini sangat
berhubungan dengan permasalahan ekonomi
yaitu kelangkaan (scarcity) yang dihadapi oleh
manusia. Karena itu tujuan dari prinsip moderasi
adalah untuk menghindari terjadinya kelangkaan
barang yang beredar di masyarakat. Penerapannya
dapat direalisasikan dengan penghematan dalam
konsumsi, yang bertujuan keseimbangan ekonomi.
Menunaikan nafkah untuk diri sendiri dan keluarga,
137 ‘Abdullah Yusuf ‘Ali, The Translation of the Holy Qur’an,
Washington, DC: The Muslim Students’ Association of the
United State and Canada, 1975, hal. 31.
138 Ahmed El-Ashker & Rodney Wilson. Islamic Economics: A Short
History, hal. 68.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 85


sosial dan kebutuhan masa akan datang.

5.4 Skala Prioritas Konsumsi dalam Tinjauan


Maqashid Syariah

Dalam berkonsumsi seorang Muslim harus


mempertimbangkan aspek-aspek yang membawa
manfaat (maslahat) dan bukan kerugian (mafsadah).
Hal ini berhubungan dengan kajian maqashid syariah
yang terdiri dari dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat.
Dalam konsumsi, ketiga elemen ini merupakan skala
prioritas yang harus dilakukan oleh manusia dalam
konsumsi. Dharuriyat merupakan kebutuhan dasar yang
harus dipenuhi oleh manusia, yaitu kebutuhan akan
pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, akal dan harta.
Contoh-contoh kebutuhan dharuriyat dapad dijelaskan
sebagai berikut;
1. Kebutuhan dalam menjaga agama seperti
memperdalam ilmu keagamaan, melaksanakan
perintah Allah dan menjauhi larangannya.
2. Kebutuhan dalam menjaga jiwa seperti sandang,
pangan, papan, eksistensi diri dan kesehatan.
3. Kebutuhan dalam menjaga keturunan seperti
pengeluaran perkawinan dan keluarga.
4. Kebutuhan dalam menjaga akal seperti
pengeluaran pendidikan.
5. Kebutuhan dalam menjaga harta seperti
pengeluaran tabungan, investasi dan asuransi.
Sedang dalam hajiyat memberikan kemudahan-
kemudahan dalam memenuhi kebutuhan manusia.
Fungsi hajiyat adalah untuk menghilangkan kesempitan
dan kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan dasar

86 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


(dharuriyat) manusia. Contohnya, pengeluaran zakat,
infak dan sedekah merupakan kebutuhan yang dapat
merealisasikan aspek ritual (hifdz al-din). Ketiga,
tahsiniyat atau kamaliyat adalah segala sesuatu yang
tujuan tidak untuk merealisasikan maqashid al-khamsah
dan tahsiniyat melainkan untuk menjaga kehormatan
dari maqashid al-khamsah itu sendiri. Pada tingkatan
ini lebih difokuskan kepada etika manusia dalam
berkonsumsi dengan landasan nilai-nilai Islam.
Beberapa ulama Islam dahulu telah memberikan
penjelasan mengenai skala prioritas dalam konsumsi.
Omar (2009) dalam tulisannya yang berjudul “Infaq Model
based on Al-Shaybani’s Levels of al-Kasb” menjelaskan
skala prioritas pengeluaran (infaq) menurut pemikiran
al-Syaibani dari karyanya yang berjudul “Al-Kasb”.
Level pengeluaran berkesesuaian dengan konsep al-
kasb nya Syaibani, yaitu 1) Fard al-‘Ayn, 2) Mandub dan
3) Mubah. Pada tingkatan pertama, pengeluarannya
mencakup kebutuhan dasar (untuk diri sendiri,
anggota keluarganya dan orang tuanya), penyelesaian
hutang dan tabungan. Tingkatan kedua dianjurkan
untuk memenuhi kebutuhan dasar dari kerabat dekat,
tetangganya dalam bentuk bantuan. Adapun yang
terakhir adalah pengeluaran di luar kerabat dekat yang
diwujudkan dalam zakat, infaq, sedekah dan kebajikan-
kebajikan yang lainnya.139 Dari pemikirannya dihasilkan
Model Infaq teori secara umum yaitu:140
IQ = f (Ifa + Imd + Imb)
(1)
139 Mustafa Omar Mohammed, Infaq Model Based on al-Shaybani’s
Levels of al-Kasb, International Conference on Islamic
Economics and the Economies of OIC Countries, Istana Hotel,
29 April 2009. hal. 9—13.
140 Ibid, hal. 14.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 87


Maka, Ifa adalah Fard al-‘Ayn (kewajiban) Infaq,
Imd is Mandub (rekomendasi) Infaq dan Imb is Mubah
(dibolehkan).
Ismail (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Ibn
Sina’s Economic Ideas” juga menyinggung tentang
model infaq (pengeluaran) yang berasal dari pemikiran
Ibnu Sina. Menurut Ibnu pengeluaran dibagi menjadi
tiga. Pertama, Infaq (pengeluaran) untuk manusia
itu sendiri dan keluarganya dengan tidak melakukan
kekikiran, kelalaian dan pemborosan. Pengeluaran ini
disebut dengan infaq ijtimā’I atau ‘Am.
Kedua, infaq (pengeluaran) untuk pintu-pintu
kebajikan (al-ma’ruf abwāb), shodaqoh, dan zakat.
Pengeluarannya disebut dengan infaq dini atau khas.
Ketiga, al-iddikhār (tabungan) untuk kejadian-kejadian
dimasa akan datang.141 Dari pemikirannya dihasilkan
Model Infaq teori secara umum yaitu:142
IQ = f (Ii + Id + Iid)
(1)
Maka, Ii adalah infāq ijtimā’I, Id is infāq dīni dan Iid
is al-iddikhār.
Dapat disimpulkan bahwa infaq mewujudkan
individu, sosial, material, dimensi spiritual, moral dan
hukum dalam pengambilan keputusan dan perilaku
pengeluaran individu. Tingkatan pemenuhan kebutuhan
oleh Syaibani menjelaskan pentingnya skala prioritas
yang didahului oleh suatu yang wajib, mandub dan
mubah. Begitu juga dengan pengeluaran model Ibnu
Sina yang memprioritaskan pengeluaran diri sendiri dan
141 Nurizal Ismail, In Sina’s Economic Idea, (Master Thesis,
International Institute of Islamic Thought and Civilization),
2012, hal. 33-37.
142 Ibid, hal. 38.

88 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


kemudian dilanjutkan kepada pemenuhan pengeluaran
karena agama dan tabungan masa depan. Keduanya
mempunyai ide yang sama bahwa dalam melakukan
konsumsi harus memperhatikan skala prioritas. Elemen-
elemen pengeluaran ini selaras dengan elemen-elemen
maqashid syariah yang lima, yang harus dipenuhi sebagai
kebutuhan dasar dalam hidup. Kemudian juga hajiyat dan
tahsiniyat yang menjadi pemeliharan dan memperindah
kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Karena itu dalam
konsumsi Islam prioritas maslahat harus menjadi
perhatian oleh manusia Muslim, sehingga tujuan-tujuan
syariah (maqashid syariah) dapat dilaksanakan dengan
baik dan benar.

5.5 Kesimpulan

Konsumsi merupakan pengeluaran yang didapat


dari pendapatan yang diterima oleh seseorang.
Pendapatan dapat diterima melalui banyak jalur
seperti dengan pekerjaan, perdagangan atau warisan.
Islam telah mengatur bagaimana seharusnya seorang
Muslim dalam memperoleh hartanya dan bagaimana
mengeluarkannya. Hasil yang diterima dan dirasakan
dari konsumsi adalah manfaat atau kegunaan dari
barang dan jasa, yang dalam Islam dikenal dengan
konsep maslahat (manfaat). Konsep ini berhubungan
dengan konsep dasar maqashid syariah yang telah
diasaskan oleh para ulama terdahulu. Beberapa
pemikiran tentang yang dihasilkan oleh Syaibani dan
Ibnu Sina juga menjelaskan tentang skala prioritas
dalam konsumsi yang berkesesuaian dengan maqashid
syariah.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 89


BAB VI

KONSEP DISTRIBUSI

KEKAYAAN DALAM

TINJAUAN MAQASHID

SYARI’AH

6.1 Pendahuluan

Salah satu aspek dalam ekonomi yang menarik


dibicarakan adalah distribusi pendapatan dan kekayaan
dalam perekonomian. Sejarah dunia mencatat bahwa
konflik ekonomi disebabkan oleh permasalahan
distribusi kekayaan. Kapitalisme dengan kebebasan
individu (individualism) mencoba menyelesaikan
permasalahan tersebut, dan sebaliknya menyembabkan
ketimpangan dalam distribusi kekayaan di masyarakat.
Keuntungannya hanya dirasakan oleh para pemilik
modal, golongan miskin makin menjadi objek ekploitasi.
Sosialisme dengan konsep penyetaraan pendapatannya
pun tidak berhasil menyelasaikan permasalahan
distribusi kekayaan, hanyalah menguntungkan golongan
pemerintah saja. Kedua sistem ini dinyatakan gagal
karena basisnya adalah Sekularisme, dimana nilai-nilai
agama tidak lah menjadi suatu landasan dalam sistem
dan operasionalnya.

90 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


Islam telah menekankan pentingnya distribusi
kekayaan seperti yang disebutkan dalam Surah Al-Hasyr,
7: “Harta rampasan fai’ yang diberikan Allah kepada Rasul-
Nya (yang berasal dari) penduduk beberapa negeri, adalah
untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan untuk orang-orang yang sedang
dalam perjalanan agar harta itu jangan hanya beredar
diantara orang-orang kaya saja diantara kamu…”. Maka
tujuan distribusi kekayaan dalam Islam itu jelas yaitu
agar terjadi sirkulasi kekayaan diantara manusia dengan
adil. Hal ini berkenaan dengan pembahasan maqashid
Syari’ah, yang menjelaskan bahwa perintah Allah
mengenai distribusi harta fai’ agar terjadinya keadilan
dan kesejahteraan di masyarakat.
Dalam ekonomi Islam, instrument untuk
penyetaraan distribusi kekayaan dapat di bagi menjadi 2
bagian yaitu, institusi yang wajib (obligatory institution)
dan sukarela (non-obligatory institution). Zakat, khums,
usher, kharaj dan jisyah termasuk dalam kategori
pertama, sedangkan sedekah, infaq, waqf, wasiya,
qarad hasan dan hibah termasuk dalam kategori kedua.
Instrument-instrumen ini dijelaskan baik dalam Al-
Qur’an maupun Sunnah, bahkan telah diprakktekan di
masa Rasulullah SAW, Khalifahurrasyidun dan dinasti-
dinasti Islam. Karena sangat penting dalam bab ini
dibahas tentang pentingnya distribusi kekayaan dalam
tinjauan maqashid Syari’ah.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 91


6.2 Wasilah (Sarana) Distribusi Kekayaan dalam
Islam

Dalam pendahuluan telah dijelaskan mengenai


kategori dari distribusi kekayaan dalam ekonomi
Islam. Dalam hubungannya dengan maqashid Syari’ah,
distribusi kekayaan akan diarahkan kepada maksud
dan manfaatnya (maslahat). Oleh karena itu distribusi
kekayaan dalam pembahasan ini difokuskan kepada
ZISWAF (Zakat, Infaq, Sedekah dan Wakaf) dan warisan
(warasah/faraid).

6.2.1 Profit dan Loss Sharing (PLS)

Prinsip profit dan loss sharing berhubungan


dengan akad mudharabah dan musharakah. Keduanya
adalah akad kerjasama antara 2 orang atau lebih dalam
usaha untuk mencapai keuntungan. Maka keuntungan
yang diterima didistribusikan antara pihak yang
bekerjasama dengan rasio yang telah disepakati diawal,
sedang kerugian akan ditanggung oleh pemilik modal
dalam mudharabah dan ditanggung oleh keduanya jika
dalam musharakah. Dalam PLS unsur keadilan dalam
distribusi kekayaan baik ketika mendapat keuntungan
atau merugi menjadi sangat penting dalam mewujudkan
keseimbangan perekonomian. Berbeda dengan PLS,
instrumen yang berbasis bunga cenderung memihak
para pemilik modal, maka dampaknya menciptakan
ketidakadilan dan ketidakseimbangan distribusi
kekayaan dalam perekonomian.

92 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


6.2.2 Faraid (Warisan) dan Wasiat

Perintah warisan (warasah) dan pembagiannya


sangat jelas tertulis dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Hukum
warisannya adalah sistem distribusi warisan yang
komprehensif dibandingkan dengan sistem warisan
yang lainnya. Faraid adalah Pemberian dalam bentuk
kekayaan oleh seseorang kepada nasabnya, sedangkan
Selanjutnya wasiat adalah pemberian oleh seseorang
kepada pihak lain setelah dia meninggal dunia.
Tujuan utama dari faraid mungkin dapat dimengerti
melalui melalui hadist yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin
Abi Waqas, Rasulullah SAW bersabda”Sesungguhnya
jika engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya
raya adalah lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka
dalam keadaan kekuarangan meminta-minta kepada
manusia….” Dari hadist ini menjelaskan maqashid
syariah dari faraid yang telah ditetapkan oleh Allah
SWT, yaitu dalam bentuk perencanaan kekayaan yang
merujuk pada syariah untuk menjamin keadilan dan
terhadap anggota keluarga yang ditinggalkan sehingga
dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik.
Adapun wasiat bertujuan untuk membantu seseorang
dalam bentuk kekayaan, yang bukan termasuk dalam
kategori ahli waris.

6.2.3 Hibah

Hibah adalah pemberian sukarela dari seseorang


kepada orang lain tanpa imbalan (iwad) selama masa
hidupnya. Bentuk instrumen distribusi ini dapat
membantu manusia dalam meringankan kesusahan
hidupnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-
Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 93
Baqarah, 177:”…dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, musafir (yang memerluka pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta dan (memerdekakan)
hamba sahaya.” Dengan hibah ini maka nasib orang-
orang yang memerlukan bantuan atau pertolongan
akan dapat diwujudkan.

6.2.4 ZISWAF

ZISWAF merupakan instrumen utama untuk


mewujudkan pemerataan pendapatan dan kekayaan
dalam masyarakat yang bersumber dari prinsip-prinsip
Islam. Beberapa kajian telah menyatakan bahwa ZISWAF
sangat berperan dalam pengentasan kemiskinan. Zakat
merupakan salah satu dari rukun Islam, yang berfungsi
sebagai sarana distribusi kekayaan dari golongan yang
telah cukup nisab (muzakki) kepada para fakir dan
miskin. Instrumen distribusi kekayaan ini adalah wajib
bagi setiap umat Muslim. Target distribusi dari zakat ini
hanya terbatas kepada 8 asnaf sebagaimana dijelaskan
dalam Surat Al-Taubah 60, yaitu fakir, miskin, ‘amil,
muallaf, riqab, gharim, fi sabilillah dan ibnu al-sabil.
Sedangkan infaq, sedekah dan wakaf merupakan
bentuk kebajikan sukarela yang mempunyai fungsi yang
sama untuk mendistribusikan kekayaan yang beredar di
masyakat. Ketiga instrumen ini target distribusinya tidak
terbatas untuk 8 ashnaf saja, melainkan mencangkup
kesejahteraan umat secara keseluruhan. Selain itu
jumlah dana terdistribusikan tidak terbatas, diserahkan
kepada kemampuan orang yang memberikan dananya
untuk didistribusikan di jalan Allah. Secara umum

94 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


instrumen-instrumen ini bertujuan untuk mengurangi
kesenjangan kehidupan yang terjadi di masyarakat.

6.3 Maqashid Syari’ah dalam Distribusi Kekayaan

Distribusi kekayaan bisa dilakukan dalam bentuk


aktivitas komersil (tijari) dan kebajikan (tabarru).
Distribusi kekayaan yang berhubungan dengan tijari
direalisasikan dalam bentuk gaji atau intensive kepada
para pekerja, sedangkan tabarru dalam bentuk
kebutuhan dan sarana yang diperlukan masyarakat.
Tujuan khusus dari Syari’ah terdiri dari 3 bagian,
yaitu: Tujuan individu, keluarga dan masyarakat. Tujuan
pertama menjelaskan pentingnya melaksanakan
pemenuhan kebetuhan sendiri, sehingga pendapatan
yang diterimanya didistribusikan untuk alokasi
kehidupannya. Adapun tujuan yang kedua berhubungan
dengan distribusi kekayaan yang dilakukan untuk
memenuhi kelangsungan kehidupan keluarga dengan
cara pemenuhan kebutuhan, hibah, warisan dan wakaf
ahli. Tujuan masyarakat direalisasikan dengan cara
memberikan zakat, wakaf, infak, sedekah dan pajak,
sehingga kesejahteraan dan kebahagian masyarakat
akan tercapai. Adapun tujuan umum Syari’ah dalam
distribusi kekayaan adalah transfer kekayaan diantara
manusia untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan.
Tujuan umum syari’ah harus lah direalisasikan oleh
pemerintah sebagai otoritas Negara.

6.4 Kesimpulan

Distribusi kekayaan dalam Islam memegang

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 95


peranan yang sangat penting dalam pembangunan
ekonomi. Karena itu sarana (wasilah) yang telah jelaskan
dalam al-Qur’an dan Sunnah memberikan bukti nyata
bahwa Islam pro terhadap keseimbangan ekonomi
menuju keadilan dan kesejahteraan. Wasilah tersebut
diantaranya adalah Profit dan Loss Sharing (PLS),
wasiat, hibah warisan dan ZISWAF.
Dalam hubungannya dengan maqashid syari’ah,
tujuan utama dari distribusi kekayaan adalah untuk
menciptakan keadilan dan kesejahteraan dalam
masyarakat, sedangkan tujuan khususnya terdiri dari
tujuan pribadi, keluarga dan masyarakat. Dari sini
terciptanya kelangsungan kehidupan manusia di muka
bumi ini.

96 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


BAB VII

MEREALISASIKAN

MAQASHID SYARIAH

DALAM MANAJEMEN

KEKAYAAN

7.1 Pendahuluan

Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan yang


ditetapkan untuk merealisasikan maslahat (manfaat)
dan menjegah mafsadah (kerugian). Tujuan syariah ini
ditetapkan untuk dapat diterapkan di seluruh aspek
kehidupan manusia. Harta merupakan salah satu unsur
terpenting bagi kehidupan manusia yang diperoleh
dari beragam aktivitas ekonomi untuk memenuhi
kebutuhannya. Harta atau kekayaan juga merupakan
unsur dasar yang harus dipenuhi penjagaannya dalam
maqashid syariah. Secara rasional manusia harus
mempertimbangkan apa yang akan dilakukan untuk
kekayaannya untuk hari ini dan pada masa mendatang.
Namun dalam pelaksanaannya sering kali mengalami
kegagalan dalam pengelolaan kekayaan. Permasalahan
ekonomi makro salah satunya adalah pengelolaan
ekonomi rumah tangga (household), yang kurangnya

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 97


memahami tentang pengelolaan kekayaan. Dengan kata
lain, pengelolaan kekayaan harus menjadi perhatian
oleh manusia sebagai unsur pendukung kehidupannya
di dunia.
Namun demikian saat ini orang-orang Muslim
masih percaya pada konsep manajemen kekayaan
yang bersumber dari sistem kapitalis yang salah satu
instrumen terpentingnya adalah suku bunga (interest).
Mereka seharusnya menyadari bahwa sistem ekonomi
Islam adalah pilihan utama dalam pengelolaan kekayaan.
Karena saat ini telah banyak instrumen-instrumen
manajemen harta berbasis Islam ditawarkan oleh
lembaga-lembaga keuangan Islam. Dalam Islam, tujuan
pengelolaan kekayaan yang baik adalah untuk mencapai
kesejahteraan dunia dan akhirat (falah). Oleh karena
itu dalam bab ini akan membahas maqashid syariah
dalam merealisasikan aspek-aspek manajemen harta
seperti penciptaan harta (wealth creation), akumulasi
harta (wealth accumulation), proteksi harta (wealth
protection), distribusi harta (wealth distribution) dan
penyucian harta (wealth purification).

7.2 Konsep Wealth Management

Istilah wealth management berasal dari bahasa


inggris yang terdiri dari 2 suku kata, yaitu wealth dan
management yang berarti mengelola kekayaan yang
dimiliki agar berguna di masa sekarang dan akan
datang. Menurut Aldren Hayman, wealth managemet
adalah proses pengelolaan aset yang dimiliki oleh
perorangan ataupun keluarga yang berguna atau

98 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


bertambah/berkurang nilainya di masa akan datang.143
Proses wealth management terdiri dari penciptaan
(creation), akumulasi (accumulation), proteksi
(protection) dan distribusi (distribution) harta.
Dalam konsep konvensional, salah satu elemen
penting dalam manajemen harta adalah suku bunga yang
di gunakan untuk proses akumulasi dan proteksi harta.
Selanjutnya tujuan dari wealth management yaitu untuk
memaksimalkan harta dan keuntungan dari harta yang
dimiliki berdasarkan konsep time value of money. Jadi
kekayaan dapat tumbuh dikarenakan adanya nilai waktu
dengan menggunakan suku bunga sebagai variabelnya.
Selain dari itu tidak ada aturan-aturan yang mengatur
manusianya dalam melakukan proses-proses wealth
management seperti baik dilakukan di pasar modal
atau di pasar keuangan. Namun dalam perjalananannya
konsep ini banyak mengalami kegagalan seperti
terjadinya krisis keuangan di Asia tahun 1997-98 dan
krisis global tahun 2008. Akar permasalahannya adalah
naiknya tingkat suku bunga, banyak spekulasi keuangan
dan nilai-nilai moral yang tidak menjadi rujukan dalam
melakukan aktivitas keuangan. Dalam kasus Indonesia
kita bisa melihat contoh kasus seperti korupsi dan
money laundring yang menyebabkan pengelolaan
keuangan negara menjadi tidak maksimal dan pada
akhirnya menyebabkan ketimpangan ekonomi dalam
masyarakat.
Dalam Islam, integrasi nilai-nilai ilahi dan
manajemen harta (wealth management) merupakan
satu keutuhan yang tidak terpisahkan. Inilah yang

143 Adler Haymans Manurung, Wealth Management: Menuju Kebe-


basan Finansial, Jakarta: Kompas Penerbit Buku, 2008, hal. 1.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 99


membedakan konstruksi fondasi konsep manajemen
harta antara konvensional dan Islam. Konsep harta
secara jelas dapat dipelajari melalui Qur’an dan hadist
yang merupakan rujukan utama umat Islam seperti
dalam Surah al-Maidah 120, yang menjelaskan bahwa
harta adalah mutlak milik Allah dan manusia adalah
pemegang amanah tersebut:”Kepunyaan Allah-lah
kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada didalamnya,
dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Dan amanah
tersebut akan menjadi pertanggung jawaban di akhirat
nanti, sebagaimana dalam sebuah riwayat Abu Daud,
Rasulullah bersabda: “Pada Hari Kiamat nanti kedua kaki
seorang hamba tidak akan bergeser (dari hadapan Allah)
sehingga ia dimintai pertanggung-jawaban tentang
empat perkara: Usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya
untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan
dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa
dipergunakan.”144
Proses wealth management dalam Islam pun
sama dengan proses yang ada, tetapi ditambahkan
dengan proses pensucian harta dimana zakat sebagai
variabelnya. Dalam proses penciptaan harta (wealth
creation) pun diatur oleh syariah yaitu mendapatkannya
dengan cara-cara yang halal bukan dengan cara
yang haram. Beberapa cara mendapatkan harta bisa
melalui proses bekerja (An-Najm: 39-40), berdagang
(An-Nissa:29), warisan (An-Nissa:7-10), hibah (Al-
Baqarah:177) dan jual beli (Al-Baqarah;275).
Wealth accumulation (akumulasi) juga bukan lah
sesuatu yang asing dalam perekonomian Islam, dalam
144 Shahih Sunan Tirmidzi, IV/612 no.2417, Syaikh Muhammad
Nashiruddin al Albani, Maktabah al Ma’arif, Riyadh, Cet. I dari
cetakan terbaru, 1420H/2000M.

100 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


Surah al-Zukhruf, 32 yang menjelaskan bahwa rahmat
Tuhanmu adalah lebih baik daripada harta yang mereka
kumpulkan, maka akan lebih baik baik jika akumulasi
harta berkah dan dirahmati oleh Allah SWT. Bentuk
aktivitas dari proses kedua ini melalui saving, bekerja,
bisnis dan investasi yang diikat melalui aturan-aturan
syariah. Dalam Islam harta tidak bisa dibiarkan diam,
tetapi harus segera diinvestasikan dengan etika yang
baik. Pendapatan yang diterima dari investasi harus
berasal dari hubungan kerjasama antara pemodal
dan pemilik usaha, larangan spekulasi, maysir (judi)
dan gharar (ketidakpastian). Untuk produk-produk ini
terlihat di sektor perbankan Islam atau pasal modal
Islam.
Adapun untuk wealth protection berhubungan
dengan produk-produk asuransi yang bertujuan untuk
mengurangi resiko-resiko dalam bentuk kerugian atau
bencana. Dalam keuangan Islam prakteknya dikenal
dengan takaful. Takaful secara harfiah berarti jaminan,
sedangkan secara istilah modern diasosiakan dengan
jaminan seseorang terhadap kelompoknya dengan
tujuan kebajikan yang menjaga maslahat anggota dan
menanggung resiko yang ditanggung anggota.145
Pada proses yang keempat, wealth distribution
(distribusi harta) sangat memegang peranan penting
sebagai fungsi jaminan sosial untuk mengurangi
ketimpangan ekonomi antara masyarakat kaya
dan miskin sebagaimana dijelaskan dalam Surah al-
Hasyr, 7:”…agar harta itu jangan beredar diantara
orang-orang kaya saja diantara kamu…” variabel-

145 Nazih Hammad, Mu’jam al-Musalahat al-Maliyah wa al-


Iqtishadiyyah, Damaskus: Darul Qalam, 2008, hal. 148.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 101


variabel yang digunakan seperti hibah, sedekah,
wakaf, nazar, faraid (warisan), dan wasiyat.
Dari variabel-variabel ini dibagi menjadi 2 bagian
yaitu distribusi harta ketika masih hidup dan sesudah
meninggal dunia.
Proses terakhir adalah wealth purification
(penyucian harta). Selain sebagai rukun Islam yang tiga,
zakat merupakan variabel inti dari proses penyucian
harta manusia karena pada harta-harta mereka ada
hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapatkan bagian. Selain sebagai
berfungsi sebagai penyuci harta, zakat juga sebagai
variabel keadilan ekonomi yang pembagian distribusi
asnaf sudah jelas. Karena itu tujuan untuk mensucikan
zakat ada dua, yaitu: untuk membersihkan pendapatan
dan memberikan sebagian dari hartanya kepada yang
berhak.
Dari sini jelas dapat disimpulkan bahwa Islam
mempunyai konstruksi fondasi manajemen harta yang
berbeda dengan sistem konvensional. Dalam Islam
manajemen harta harus mengikuti aturan-aturan yang
ditetapkan oleh syariat yang mempunyai tujuan-tujuan
untuk kemaslahatan hidup manusia. Mencari harta
merupakan ibadah baik dilakukan dengan menjadi
seorang profesional atau wiraswasta, sehingga hasil
yang diharapkannya menjadi berkah.

102 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


Sumber: cashflow4muslim.blogspot.com (gambar dimodifikasi)

Gambar 7.1. Proses Manajemen Harta

7.3 Aplikasi Maqashid Syariah dalam Analisa


Kebutuhan Keuangan

Salah satu bentuk aspek penting dalam


mengembangangan rencana keuangan secara Islami
adalah dengan dengan analisa kebutuhan keuangan
(Financial Needs Analysis). Maqashid syariah sangat
dibutuhkan dalam mengklasifikasi dan memprioritaskan
kebutuhan-kebutuhan rencana keuangan seorang
Muslim. Kebutuhan dalam Islam harus lah
mencerminkan keseimbangan dalam pemenuhannnya
antara kebutuhan material dan spritual, sehingga dapat
tercapai kebaikan dunia dan akhirat. Hal ini ditegaskan
dalam firman-Nya: Artinya: “Dan di antara mereka
ada orang yang bendo’a: “Ya Tuhan kami, berilah kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah
kami dari siksa neraka” (Al-Baqarah:201).

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 103


Dalam ayat ini menjelaskan tentang penghidupan
yang baik di dunia dan akhirat. Salah bentuk kehidupan
yang baik adalah pengelolaan keuangan yang baik yang
dapat memberikan kebahagian dan kesejahteraan di
dunia dan akhirat kelak. Pengelolaan yang baik perlu
memprioritaskan kebutuhan-kebutuhan yang akan
digunakannya, dalam maqashid syariah dibagi menjadi
3 bagian, yaitu: dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat.

7.3.1 Dharuriyat

Kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi oleh


seorang individu dan keluarganya adalah kebutuhan
fisik dan spritualnya yang direalisasikan dalam bentuk
kebutuhan akan makanan, pakaian, perlindungan
dan pendidikan. Dalam Islam pemenuhan kebutuhan
dasar ini direalisasikan dalam pemenuhan maqashid al-
khamsah untuk menjamin keseimbangan kebututuhan
hidup (aspek material dan spirtual) di masyarakat.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut diantaranya adalah:
1) Agama (Al-Din)
Seorang Muslim harus menguatkan keimanannya
kepada Allah SWT dengan mencari beragam bentuk
kebutuhan-kebutuhan dalam Ibadah. Contohnya,
membayar zakat lebih dianjurkan dibandingkan
sedekah jika masuk dalam kategori muzakki, naik
haji lebih diutamakan dibandingkan umrah jika
mampu, dan melunasi hutang diwajibkan jika
mampu, karena hutang orang bisa tidak masuk
surga-Nya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut
diperlukan untuk meningkatkan keimanan dan
memelihara agama seorang Muslim.

104 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


2) Jiwa (Al-Nafs)
Jiwa direfleksikan dalam bentuk menjaga
kesehatan, yang menjauhkan manusia dari penyakit
yang berdampak kesejahteraannya. Kebutuhan
akan makanan-makanan yang menyehatkan sangat
diperlukan untuk memelihara jiwa agar tetap
sehat. Selain itu dalam dunia keuangan diperlukan
takaful sebagai kemudahan dalam mendapatkan
fasilitas kesehatan.
3) Keturunan (Al-Nasl)
Pernikahan adalah bentuk kebutuhan dasar dari
manusia yang juga merupakan fitrah manusia.
Kebutuhan ini menjadi wajib untuk didahulukan jika
dalam keadaan mampu karena untuk membentengi
akhlak yang luhur dan menjaga pandangan.
Rasulullah SAW bersabda: “Wahai para pemuda!
Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk
menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih
menundukkan pandangan, dan lebih membentengi
farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu,
maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum
itu dapat membentengi dirinya.”146 Maka sebagai
seorang Muslim diwajibkan mengalokasikan
kekayaannya untuk memenuhi kebutuhan akan
pernikahan.
4) Akal (Al-’Aql)
Ilmu adalah sangat penting dalam Islam. Oleh
karena itu Islam memandang perlu diprioritaskan
ilmu ini dalam kehidupan manusia. Dalam firman-
146 Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/424, 425, 432), al-
Bukhari (no. 1905, 5065, 5066), Muslim (no. 1400), at-Tirmidzi
(no. 1081), an-Nasa-i (VI/56, 57), ad-Darimi (II/132) dan al-Baihaqi
(VII/ 77), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu
‘anhu.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 105


Nya dijelaskan: “Niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antara kalian dan
orang-orang yang diberi ilmu (agama) beberapa
derajat.” (Al-Mujaadilah:11). Rasulullah SAW
bersabda: “Barang siapa yang menempuh suatu
jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan
baginya jalan ke surga” (Riwayat Muslim). Dari
penjelasan ini dapat diketahui bahwa ilmu adalah
penting bagi manusia yang direalisasikan dalam
pendidikan. Jika harus memilih kebutuhan untuk
masa pensiun dengan pendidikan anak, maka
pendidikan anak lah yang harus diutamakan.
Karena itu kebutuhan akan pendidikan harus
diutamakan karena merupakan faktor kesuksesan
dunia dan akhirat.
5) Harta (Al-Mal)
Memperoleh harta merupakan salah satu bentuk
kebutuhan manusia. Itu bisa diperoleh melalui
pekerjaan, perdagangan atau warisan. Dalam
Islam kita diperintahkan untuk memperoleh harta
dengan cara-cara yang halal dan bersih dari unsur-
unsur gharar, maysir, tadlis, ikhtikar dan riba. Pada
masa ini, akumulasi harta (wealth accumulation)
dapat juga melalui jalur investasi di pasar keuangan
dan pasar modal Islam. Selain itu untuk menjaga
harta (wealth protection) agar tetap aman
diperlukan skema takaful yang menjaga harta dari
akibat kehilangan atau bencana.
Dapat disimpulkan bahwa walaupun kebutuhan
manusia itu beraneka ragam, tetapi harus lah mengikuti
tujuan-tujuan syariah (maqashid syariah), yang
memberikan maslahat (manfaat) di dunia dan akhirat.

106 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


Ke lima aspek diatas harus menjadi perhatian dalam
rencana pengelolaan kebutuhan manusia, karena
meliputi kebutuhan material dan spritual. Ini lah yang
membedakan pengelolaan kekayaan Islam dengan
Konvensional. Selanjutnya tidak hanya pemenuhan
pada aspek dharuriyat saja, seorang Muslim pun harus
memerhatikan aspek hajiyat dan tahsiniyat dalam
pengelolaan kekayaannya.

7.3.2 Hajiyat

Fungsi hajiyat adalah untuk menghilangkan


kesempitan dan kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan
dasar (dharuriyat) manusia. Dalam pengelolaan
kekayaan atau harta dapat direalisasikan dengan bentuk
alokasi kebutuhan yang dapat mempermudah aktivitas-
aktivitas ekonomi seperti pembelian kendaraan dan
rumah.

7.3.3 Tahsiniyat

Ketiga, tahsiniyat atau kamaliyat adalah segala


sesuatu yang tujuan tidak untuk merealisasikan
maqashid al-khamsah dan tahsiniyat melainkan untuk
menjaga kehormatan dari maqashid al-khamsah itu
sendiri. Pada tingkatan ini lebih difokuskan kepada cara
atau etika manusia dalam melaksanakan pengelolaan
hartanya.

7.4 Kesimpulan

Maqashid syariah adalah komitmen yang


direalisasikan individu dalam mencapai falah (kesuksesan

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 107


dunia dan akhirat). Konsep ini berhubungan dengan
pemenuhan tingkat kebutuhan, yaitu dharuriyat, hajiyat
dan tahsiniyat. Dalam pengelolaan kekayaan secara
Islam perlu dianalisa dalam menentukan skala prioritas
manajemen harta yang berkesesuain dengan tujuan-
tujuan syariah (maqashid syariah). Dengan terpenuhinya
kebutuhan maqashid al-khamsah ini memberikan
maslahat (manfaat) di dunia dan akhirat.

108 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


BAB VIII
IMPELEMENTASI
CORPORATE SOCIAL
RESPONSIBLE (CSR)
DALAM TINJAUAN

MAQASHID SYARIAH

8.1 Pendahuluan

Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR)


adalah komitmen dari perusahaan untuk berpartisipasi
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang
akan menguntungkan bagi para stakeholder. Adapun
CSR saat ini menjadi populer di dunia sebagai salah alat
ukur yang penting untuk menilai sebuah kesuksesan
perusahaan dalam pengoperasiannya. Oleh karena
itu, isu-isu CSR bukanlah topik baru dalam bidang
ekonomi dan bisnis. Friedman (1970) menyatakan
bahwa tanggung jawab utama bisnis adalah untuk
memaksimalkan keuntungan, sedangkan barang atau
pengurangan eksternalitas yang buruk berdasarkan
preferensi umum atau tujuan sosial harus disediakan
oleh pemerintah.147
147 Milton Friedman, The Social Responsibility of Business is to
Increase Its Profit, The New York Times September 13, 1970,
32—33.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 109


Pemikirannya tersebut memberikan ide baru mengenai
CSR sebagai sebuah strategi untuk memaksimalkan
keuntungan perusahan. Ide ini telah dibenarkan oleh
perusahaan atau perusahaan yang berpartisipasi
dalam CSR yang mana tujuan sosial juga dimaksudkan
untuk meningkat keuntungan. Argumen ini merupakan
cerminan dari pandangan ekonomi neoklasik, yang
berfokus pada self-interest dan pada intinya berasal dari
pemikiran yang Sekuler.
Perbankan syariah sebagai entitas perusahaan
juga dikenakan tanggung jawab CSR. Selain itu
secara worldview, prinsip dan operasional, Bank
Syari’ah berbeda dari Bank konvensional, sehingga
akan berdampak dalam implementasi CSR di bank-
bank Syari’ah. Tujuan CSR dalam perbankan Syari’ah
adalah untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan
dalam pembangunan ummat. Hal ini menjadi sebuah
kewajiban agama kolektif (fardhu kifayah) pada
komunitas yang lebih besar (umat) sebagai lembaga
intermediasi keuangan bagi individu-individu dalam
masyarakat yang berdasarkan hukum-hukum Islam
(Syari’at).148 Selain itu, penerapan CSR di Perbankan
Syariah juga harus mengikuti peraturan pemerintah di
setiap negara. Misalnya, pemerintah Indonesia telah
diterbitkan, UU No 40 tahun 2007 pasal 74 mengacu
pada kewajiban perusahaan pada tanggung jawab
sosial perusahaan dan masyarakat. Implikasinya adalah
informasi dan wacana CSR telah tumbuh signifikan di
Indonesia. Kemudian, penerapan CSR dalam Perbankan
Islam harus dipahami sebagai lembaga intermediasi
148 Sayd Farook, On Corporate Social Responsibility of Islamic
Financial Institution, Islamic Economic Studies, Vol. 15, No. 1,
2007, 34.

110 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


yang tidak hanya memaksimalkan keuntungan, tetapi
juga mewujudkan CSR dengan kesesuaian dengan nilai-
nilai Islam.
Dalam bab ini bertujuan untuk membahas peran
maqashid syariah, dan mengusulkan implementasinya
dalam CSR pada perbankan syariah. Maqashid Syariah
merupakan tujuan yang harus dicapai oleh manusia
di muka bumi untuk memenuhi aspek kehidupannya
berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Hal ini terkait dengan
CSR yang memiliki tujuan untuk memberikan manfaat
bagi seluruh masyarakat, yang sesuai dengan syariah.

8.2 Corporate Social Responsibility: Definisi, Konsep


dan Bank Syari’ah

8.2.1 Definisi dan Konsep CSR

CSR adalah sesuatu yang menunjukkan kegiatan


perusahaan selain meningkatkan keuntungan, seperti
melindungi lingkungan, memerhatikan kebutuhan
karyawan, melakukan bisnis yang beretika, dan terlibat
dalam masyarakat setempat. Beberapa isu utama
dalam CSR yaitu mempromosikan hak asasi manusia,
keterlibatan masyarakat, manajemen sumber daya
manusia, tanggung jawab sosial dalam investasi, dan
pelaporan sosial.149 Komisi Eropa (2002), mendefinisikan
CSR dengan “a concept whereby companies integrate
social and environmental concerns in their business
operation and in their interaction with their stakeholder
on voluntary basis”.150 Dengan penjelasan ini dapat
149 CSR Europe, European Postal Services and Social Responsibilities
(Brussels: Corporate Citizenship Company and CSR Europe,
n.d.), 48.
150 Commission of the European Communities, Communication

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 111


dimengerti bahwa CSR berfokus tanggung jawab
sosial perusahaan kepada stakeholder dalam bentuk
perlindungan lingkungan dan pendidikan masyarakat.
Selain itu, CSR membangun bisnis dan masyarakat
menjadi mitra yang sejajar, masing-masing menikmati
seperangkat timbal balik hak dan tanggung jawab.151
Carrol lebih jelas mendefinisikan makna dari CSR, yaitu
“is embodied responsible of economic, legal, ethic and
philanthropy.”152 Jadi CSR merupakan tanggung jawab
ekonomi, hukum, etika dan philanthrophy.
Aspek-aspek CSR difokuskan kepada entitas
bisnis, legal, sosial and etika. Oleh karena itu, menurut
Mohammed (2007), ada 6 model etika yang utama yang
mendominasi pemikiran etika yang berhubungan dengan
CSR, yaitu Relativism, Utilitarianism, Universalism, Right,
Distributive Justice and Eternal law.153 Keputusan etika
Relativism yang berbasis pada self-interest, Utilitarianism
berbasis kepada biaya dan benefit, Universalism Berbasis
kepada aksi, Right (hak) berbasis kepada hak individu,
Distributive Justice (keadilan distribusi) yang berbasis
kepada keadilan and hukum yang abadi yang bersumber
dari teks-teks agama.154
Selanjutnya, CSR dalam Islam mempunyai makna
yang lebih luas dibandingkan dengan konvensional,
from the Commission Concerning Corporate Social Responsibility:
A Business Contribuo Sustainable Development, I July 2002, 347,
5.
151 Asyraf Wajdi Dusuki & Nurdianawati Irwani Abdullah,
Maqasid al-Shari’ah, Maslahah and Social Corporate Social
Responsibility, The American Journal of Islamic Social Sciences
24:1, 28.
152 A. Carrol, Corporate Social Responsibility: Evolution of
Definition Construct, Business and Society, 38 (3), 1999, 268.
153 Jawad Akhtar Mohammed, Corporate Social Responsibility in
Islam, 31.
154 Ibid.

112 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


yang konsepnya dimulai dengan tanggung jawab
manusia dalam kehidupannya. (Human’s responsible
in life). Manusia sebagai hamba dan khalifah Allah
memiliki dua tanggung jawab: Penyembah Allah dan
Pembangun kesejahteraan di bumi. Tugas pertama
berhubungan dengan iman bahwa semua individu
harus mengikuti perintah dan larangan Allah. Tugas
kedua lebih berkaitan dengan kegiatan sosial kehidupan
manusia. Hal ini didukung oleh Farook (2007) bahwa
ada tiga prinsip dasar utama dalam Islamic Corporate
Social Responsibility (ICSR), yaitu konsep kekhalifahan
umat manusia di bumi, akuntabilitas ilahi dan tanggung
jawab manusia untuk melaksanakan kebaikan dan
mencegah kejahatan.155 Oleh karena itu, semua tugas
harus dilakukan secara simultan untuk mendapatkan
falah (keseimbangan keberhasilan; dunya dan akhīrat).
Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menyebutkan tentang
pentingnya falah seperti dalam Surah al-Qashash 77:
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang
telah di anugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah
kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baik lah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu, dan janganlah berbuat kerusakan di
bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat
kerusakan.”
Dalam etika bisnis Islam, inti bisnisnya tidak hanya
untuk keuntungan atau meningkatkan pendapatan
melainkan juga untuk tanggung jawab sosial yang
berdasarkan pada prinsip-prinsip Syari’ah. Adapun
prinsip-prinsip Syari’ah harus diikuti oleh entitas

155 Sayd Farook, On Corporate Social Responsibility of Islamic


Financial Institution, 33.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 113


bisnis yang merefleksikan kewajiban sosial yang
dijelaskan dalam tabel 8.1 di bawah ini:

Tabel 8.1 Transaksi-Transaksi Bisnis Islam

Bisnis Halal Bisnis Haram

Bekerja dengan cara Suku Bunga (Riba)


yang halal
Perdagangan dengan Berkaitan dengan unsur-unsur
suka sama suka haram
Jual beli dengan Al-Gharar
Kejujuran (ketidak pastian, resiko dan
spekulasi)
kedermawanan dan Kesewenang-wenangan dalam
kemurahan hati menentukan harga
Terpercaya dan ber- Menimbun
tanggung jawab
Menghormati dan
memenuhi kewajiban Eksploitasi
akad
Perlakuan yang adil Penipuan dan kecurangan
atas pekerja

Source: Jawad Akhtar Mohammed, Corporate Social


Responsibility in Islam (2007)

Menariknya, para pemikir Islam dahulu telah


meletakkan dasar pentingnya kewajiban sosial dalam
kehidupan manusia. Contohnya, pemikiran Ibn
Sina tentang pengelolaan kekayaan yang meliputi
tanggung jawab sosial. Dalam konsep pengelolaan
kekayaannya juga mendiskusikan kewajiban individu
dan sosial ekonomi dalam kehidupan manusia. The kasb

114 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


(pendapatan) yang diterima oleh seseorang merupakan
tanggung jawab sosial untuk keberlangsungan
hidupnya di dunia, sedangkan infāq (pengeluaran)
adalah tanggung jawab sosial baik untuk keluarga dan
masyarakat.156
Adapun, Al-Shaybani membagi al-Kasb menjadi
tiga tingkatan: 1) Fard al-‘Ayn, 2) Mandub and 3)
Mubah.157 Pada tingkatan kasb yang pertama, perlunya
pemenuhan kebutuhan (diri sendiri, orang tua dan
kerabat dekat), penyelesaian hutang and tabungan
(saving). Pada tingkatan kedua diarahkan kepada
pemberian bantuan kepada saudara dan teman-teman
yang memerlukan. Pada tingkaran ketiga difokuskan
kepada kewajiban agama seperti zakat dan haji.158
Secara menyeluruh ini sangat jelas bahwa konsep CSR
dalam Islam berbeda dengan pandangan Sekular.

8.2.2 CSR dan Bank Syari’ah

Menurut Mohammed (2007), tanggung jawab


sosial dalam perusahaan dan tata kelola menjadi fitur
menarik dalam Perbankan Syari’ah sejak kehadiran
partisipasi modal, risiko dan keuntungan dan kerugian
yang diatur dalam dasar pembiayaan syariah.159

156 Ibn Sina, Kitab al-Siyāsah. ed. Louis Ma’luf, in Louis Cheikho
et. al, Maqālat Falsafiyyah Qadīmah li Ba’di Masyāhīrih Fālāsifah
al-‘arab Muslimin wa Nasara, Beirut: al-Matba’ al-Kātsūlīkiyyah lil
Abāi al-yasū’iyyin, 1911, 5.
157 Mustafa Omar Mohammed, Infaq Model Based on al-Shaybani’s
Levels of al-Kasb, International Conference on Islamic
Economics and the Economies of OIC Countries, Istana Hotel,
29 April 2009, 9.
158 Mustafa Omar Mohammed, Infaq Model Based on al-Shaybani’s
Levels of al-Kasb, 9—11.
159 Jawad Akhtar Mohammed, Corporate Social Responsibility in
Islam, 156.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 115


Farook dan Lanis (2005) menyimpulkan dalam survei
mereka bahwa bank syariah tidak dapat memenuhi
peran sosial mereka sesuai dengan prinsip-prinsip Islam
karena kurangnya pengungkapan informasi (disclouse
information) CSR dari yang diharapkan.160 Misalnya
setiap bank-bank Syari’ah mempunyai kebijakan yang
berbeda dalam pengeimplementasian CSR.161 Menurut
Naila (2007), pengambilan kebijakan oleh pimpinan
mempengaruhi tipe dari implementasi CSR di bank
Syari’ah.162
Menurut Mohammed (2007), meskipun bank-
baik Syari’ah mempunyai tanggung jawab sosial
yang melekat dalam prinsip-prinsip Syari’ah, tetapi
kesadarannya tentang framework yang sistematis
dalam CSR Islam.163 Oleh karena itu, Farook (2007)
mencoba untuk memberikan prinsip-prinsip dasar CSR
dalam Islam bahwa isi dari konsep khilafah manusia di
bumi, akuntabilitas ilahi dan tugas pada manusia dalam
melaksanakan yang baik dan menjauhi kejahatan.164
Karena itu diperlukan penjelasan yang lebih
komprehensif konsep CSR dari perspektif Islam untuk
memberikan pemahaman yang lebih teoritis dan
praktis bagi perbankan Syari’ah. Bank syariah sebagai
160 Sayd Farook &Roman Lanis, Banking on Islam?Determinant
of Corporate Social Responsibility Disclosure, 6th International
Conference Islamic Economics and Finance, Vol , Jakarta, 2005.
161 Soraya Fitria & Dwi Hartanti, Islam dan Tantangan Jawab
Sosial: Studi Perbandingan Pengungkapan Berdasarkan Global
Reporting Initiative Indeks dan Islamic Social Reporting Indeks,
Simposium Nasional Akuntansi XIII Purwekorto, 2010, 15.
162 Naila Tazkiyah, Analisis Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial
Bank Umum Syariah di Indonesia, Depok: Thesis (unpublished),
Indonesia University, 2007
163 Jawad Akhtar Mohammed, Corporate Social Responsibility in
Islam, 187.
164 Sayd Farook, On Corporate Social Responsibility of Islamic
Financial Institution, 33.

116 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


lembaga intermediasi tujuannya tidak hanya pada
profit oriented tetapi juga berorientasi pada sosial yang
telah dinyatakan dan ditegaskan dalam prinsip-prinsip
Islam, yang mencakup ‘aqidah (keyakinan), syari’ah
(rule of conduct) dan akhlaq (moralitas dan etika). Hal
ini diperlukan sebagai standardisasi untuk menerapkan
CSR di bank-bank syariah yang berbasis pada prinsip-
prinsip Syari’ah.

8.3 Corporate Social Responsibility Bank Syari’ah


Berbasis pada Maqashid Shariah

Sumber utama aktivitas CSR di bank-bank Syari’ah


berasal dari dana kebajikan (Qardhul hasan), dana
zakat dan keuntungan perusahaan. Pada penjelasan
sebelumnya telah dijelaskan bahwa maqashid Shari’ah
dan Syari’ah harus selalu berintegrasi dalam operasional
bank-bank Syari’ah untuk mencapai kebahagian dan
kesejahteraan di dunia dan akhirat. Bank Syari’ah
sebagai lembaga intermediari keuangan menjembatani
arus dana dari mereka yang mempunyai surplus fund
dan minus fund. Tanggung jawab perbankan Syari’ah
ini mempunyai dua tugas utama: Orientasi keuntungan
(profit) dan sosial of Islamic bank, yang berhubungan
dengan CSR.
Dalam Maqashid Shari’ah, konsep utama of
CSR menjelaskan bahwa perusahaan mempunyai
tanggung jawab ekonomi, etika, philantrophi kepada
stakeholders untuk memberikan manfaat dan menjauhi
sesuatu yang merusak. Maqashid ‘amm (Tujuan Utama)
mempromosikan keadilan dan kesejahteraan manusia
dalam transaksi keuangan yang melalui proses skala

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 117


prioritas maslahat (dharuriyat, hajiyat and tahsiniyat).
Adapun, wasilah (sarana) diperlukan untuk mencapai
tujuan dari bank Syari’ah dalam bentuk-bentuk, kondisi-
kondisi dan batasan-batasan transaksi keuangan
berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Lihat tabel 8.2.

Tabel 8.2 Corporate Social Responsibility Bank Syariah

Dari gambar di atas menunjukkan bahwa pada


garis 1 menggambarkan fungsi bank syariah yang
menyediakan pekerjaan individu dan juga memfasilitasi
transaksi keuangan Islam dari orang-orang yang
memiliki dana lebih untuk dana yang lebih sedikit.
Manusia secara individu maupun kolektif memiliki
kecenderungan untuk bertahan hidup dan memenuhi
kebutuhan hidupnya yang mendorongnya untuk

118 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


membuat beberapa kegiatan ekonomi. Karena itu,
menurut El-Ghazali (1994): “Manusia adalah kekuatan
pendorong kegiatan ekonomi dan makhluk yang
bertanggung jawab terhadap level kinerja ekonomi”.165
Pada tahapan ini, orang-orang yang bekerja di bank-
bank Syari’ah mempunyai dua tanggung jawab utama:
Aspek agama dan sosial yang diterapkan bersamaan
dalam sistem dan operasionalnya. Oleh karena itu, CSR
merupakan inisiatif moral and agama yang berdasarkan
kepada keyakinan yang menjadi sebuah kebaikan bagi
sebuah perusahaan disamping konsekuensi keuangan.166
Dengan kata lain, poin utama falah adalah keyakinan
(iman) yang harus diikuti dengan perbuatan yang baik,
yang meliputi transaksi-transaksi dan kontrak-kontrak
komersil.167
Gambar 8.3 Panduan Keseimbangan Hidup Islam

Sumber: Mohd. Ma’sum Billah

165 Abdel Hamid El-Ghazali, Man is the Basis of the Islamic Strategy
for Economic Development, IRTI: Jeddah, 1994, 41.
166 Asyraf Wajdi Dusuki & Nurdianawati Irwani Abdullah,
Maqasid al-Shari’ah, Maslahah and Social Corporate Social
Responsibility, 34.
167 Mohd. Ma’sum Billah, Shari’ah Standard of Business Contract,
Kuala Lumpur: A.S Noordeen, 2006, 49.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 119


Pada garis 2 menjelaskan wasilah (sarana)
dari bank Syari’ah. Bagian ini sangat penting karena
merupakan bagian dari sistem dan operasional
CSR perbankan Syari’ah. Pada garis 3 menjelaskan
pentingnya maqashid al-khamsah yang harus dilakukan
dengan baik dan benar sebelum mencapai maqashid al-
amm dari bank Syari’ah. Dalam Islam konsep keadilan
sangat jelas yang menjelaskan keseimbangan antara
hak-hak individu, tugas-tugas and tanggung jawabnya
terhadap yang lain, dan antara kepentingan pribadi
(self-interest) dan pengorbanan diri (altruism).168
Ada dua fondasi dalam implementasi kebijakan-
kebijakan CSR yang berbasis pada konsep maqashid
Syari’ah. Pertama, dari sisi maslahat difokuskan pada
aktivitas yang memelihara dan menjamin kemaslahatan
umat. Kedua, dari sisi mafsadah yang menjelaskan
explains pencegahan mudharat atau bahaya yang terjadi
di bank Syari’ah. Pada maslahat akan memudahkan
manajemen bank Syari’ah untuk memilih dan
menentukan program-program CSR yang berguna untuk
kesejahteraan manusia yang lain (seperti konsumen,
karyawan, shareholders, dan masyarakat setempat).
Karena itu tingkatan maslahat (dharuriyyah, hajjiyat dan
tahsiniyyah) digunakan sebagai indikator dalam proses
pengambilan keputusan program-program CSR.
Pada tingkatan pertama (Dharuriyyah), para
manajer bank Syari’ah diharapkan dapat menjaga
kepentingan kebutuha-kebutuhan esensi dari
stakeholder berbasis kepada maqashid al-khamsah
(agama, jiwa, akal, keturunan dan harta). Kebutuhan
168 Asyraf Wajdi Dusuki & Nurdianawati Irwani Abdullah,
Maqasid al-Shari’ah, Maslahah and Social Corporate Social
Responsibility, 34.

120 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


yang esensi menjadi prioritas dan penting bagi karyawan
sebelum diberikan kepada konsumen dan masyarakat
setempat. Program-program CSR esensi oleh bank
Syari’ah dapat dilihat pada tabel 8.4 berikut ini:

Tabel 8.4 Program-Program CSR yang Esensi dalam


Perbankan Syari’ah

Dharuriyat Program

• Penyediaan fasilitas ibadah


Agama • Penyediaan waktu yang cukup untuk
ibadah
(Al-Din)
• Aturan-aturan perusahaan berbasis
nilai-nilai Islam

• Menjaga keselamatan dan kesehatan


Jiwa (Al-Nafs) pekerja di lingkungan kerja
• Asuransi kesehatan

Keturunan • Bantuan biaya pernikahan bagi para


pekerja
(Al-Nasl) • Subsidi pembelian rumah
• Bantuan biaya pendidikan untuk kelu-
arga pekerja dan masyarakat sekitar
Akal (Al-’Aql) • Pengembangan skill pekerja dan
masyarakat melalui training

• Gaji yang adil


Harta (Al-Mal) • Biaya pensiun

Pada tabel diatas dapat disimpulkan bahwa


dharuriyat menjadi prioritas utama program-program
CSR yang harus dilaksanakan sebelum ke program
yang lainnya, yang berhubungan dengan pemeliharaan

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 121


dan proteksi keyakinan (faith). Ada 5 parameter yang
sangat penting yang harus diimplementasikan oleh
bank Syari’ah untuk mempromosikan keadilan dan
kesejahteraan dan menjauhi keseluruhan gangguan
dan kekacauan yang terjadi. Program-program ini
dapat terlaksana jika semua individu di bank syariah
memberikan kinerja terbaiknya untuk meningkatkan
keuntungan berdasarkan transaksi-transaksi dan akad-
akad Islami. Jadi, kegiatan komersial, sosial dan etika
harus mencakup dalam satu kesatuan utuh dalam
mewujudkan falah. Adapun, Setelah tingkatan CSR
yang pertama dipenuhi, bank syariah dapat memenuhi
kewajiban CSR yang kedua: komplementer.
Pada tingkatan hajiyat, bank syariah dapat
membuat program CSR seperti pelatihan dan program
peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM),
program beasiswa untuk meningkatkan tingkat
pengetahuan karyawan dan memberikan pelatihan
bagi karyawan mengenai instrumen keuangan Islam
yang ditawarkan untuk melindungi kepentingan iman
(hifdz al-din).
Pada tingkatan terakhir adalah tahsiniyat,
bank syariah dibebankan tanggung jawab sosial
dengan terlibat dalam program-program yang
dapat menyebabkan peningkatan dan pencapaian
terhadap kehidupan umat. Contohnya adalah dengan
menyediakan fasilitasi ibadah di masyarakat, fasilitas
kesehatan seperti perawatan gratis bagi masyarakat
miskin dan yang membutuhkan, melindungi lingkungan
masyarakat, menawarkan beasiswa bagi siswa miskin
dan yang membutuhkan dan Meningkatkan fasilitas
pendidikan di masyarakat setempat. Beberapa contoh

122 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


yang disebutkan merupakan komitmen CSR yang
berkaitan dengan tujuan meningkatkan kehidupan
masyarakat yang lebih baik.

8.4 Kesimpulan

Implementasi Corporate Social Responsibility


(CSR) sangat penting bagi perbankan Syari’ah karena
bisa digunakan sebagai parameter ukuran dalam menilai
kesuksesan sebuah perusahaan. CSR dalam Islam
berbeda dengan Konvensional dari worldview, sistem
and standard operationalnya. Konsep CSR dalam Islam
tidak lah baru, karena banyak disebutkan dan dijelaskan
secara mendalam di dalam sumber-sumber Islam baik
Al-QUr’an dan Sunnah. Konsepnya bermula dari konsep
khalifah, yaitu berupa tanggung jawab manusia sebagai
wakil Allah di muka bumi ini. Manusia sebagai hamba
Allah dan khalifah-Nya mempunyai dua tanggung jawab
yang utama: Penyembah Allah Pemakmur bumi yang
dianugerahkan oleh Allah untuknya. Beribadah kepada
Allah sangat berhubungan dengan aspek agama, yaitu
hubungan manusia dengan Sang Pencipta secara
langsung. Sedangkan memakmurkan bumi berhubungan
degan interaksi sosial antara manusia dengan manusia
yang lainnya dalam ekonomi, politik dan philantrophi.
Dalam kegiatan ekonomi, falah dapat dicapai dengan
keimanan (faith) yang dilanjutkan dengan perbuatan
yang baik meliputi realiasi akad-akad dan transaksi-
transaksi yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Oleh karena itu bagi orang-orang yang bekerja di bank
Syari’ah mempunyai beban tanggung jawab dalam
menegakkan dan menerapkan aspek agama dan sosial

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 123


bersamaan dalam meningkatkan kinerjanya.
Dalam etika bisnis Islam, inti dari bisnisnya
tidak hanya keuntungan semata (profit oriented) tetapi
tanggung jawab sosial (social oriented) yang berbasis
pada prinsip-prinsip Syari’ah. Adapun Syari’ah merujuk
kepada bentuk perintah, larangan, petunjuk dan
prinsip-prinsip yang ditujukan kepada manusia oleh
Allah sebagai panduan hidup manusia di dunia dan di
akhirat nanti. Dalam transaksi Islam, bank-bank Syari’ah
harus mematuhi bentuk, kondisi dan batasannya sesuai
dengan prinsip-prinsip Syari’ah agar dapat mencapai
tujuan utamanya. Karena itu maqashid Shari’ah dan
Syari’ah harus selalu berintegrasi menjadi satu kesatuan
utuh dalam sistem dan operasional perbankan Syari’ah
agar mencapai kebahagian dan kesejahteraan di dunia
dan akhirat. Maqashid Shari’ah digunakan untuk
melihat maslahat (manfaat) dan untuk membuat
keputusan pada seluruh aspek kehidupan manusia.
Dalam perspektif maslahat, CSR di bank-bank Syari’ah
harus merealisasikan keadilan dan kesejahteraan serta
menjauhi kekacauan atau hambatan dalam kehidupan
manusia.
Ada tiga tingkaran maslahat dapat digunakan
untuk memilih dan menentukan program CSR di
perbankan Syari’ah, yaitu dharuriyyah, hajjiyat and
tahsiniyyah. Dharuriyah harus menjadi prioritas utama
bagi manajer bank Syari’ah yang ingin menentukan
program-program CSR nya melalui 5 parameter: agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta. Program-program CSR
dibuat untuk memberikan kemudahan pada kehidupan
pekerja yang berkaitan dengan parameter agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta.Setelah kewajiban

124 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


dharuriyat CSR dilaksanakan, pihak bank Syari’ah dapat
melanjutkan kepada tanggung jawab sosial yang hajiyat
yaitu untuk menghilangkan kesusahaan yang ada
dalam masyarakat, karena jika tidak akan menimbulkan
konflik dalam kehidupan manusia. Sedangkan yang
terakhir adalah tahsiniyat, bentuk tanggung jawab
sosialnya seperti turut aktif dalam program-program
CSR yang dapat meningkatkan kehidupan masyarakat.
Maka implementasi CSR di perbankan Syari’ah sesuai
dengan maqashid Syari’ah terlebih dahulu dilaksanakan
secara internal dan selanjutnya eksternal. Secara umum
dengan mempelajari Islam yang mendalam: ‘aqidah
(keyakinan), shari’ah (rule of conduct) and akhlaq (moral
dan etika) and maqashid Shari’ah akan memberikan
manfaat bagi bank-bank Syari’ah terutama dalam
mengimplemetasikan CSR lebih efektif dan efisien
untuk mencapai falah (kesuksesan dunia dan akhirat).

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 125


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim.
Al-Asyqalani, Ibn Hajar. (1997). Fahtul Bari. Riyadh:
Darussalam.
Al-Atsir, Ibn. (2001). Al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wal
Atsar. Beirut: Darul Ma’rifah.
Al-Ghazali. (1993). Al-Musthafa. Beirut: Darul al-Shadir.
Al-Asyqalani, Ibn Hajar. (1997). Fahtul Bari. Riyadh:
Darussalam.
Al-Atsir, Ibn. (2001). Al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wal
Atsar. Beirut: Darul Ma’rifah.
Abdul Rahman, Zaharuddin. (2011). Maqashid al-Buyu’
wa Thuruqu Itsbatiha fil Fiqh al-Islami. Amman:
Darul al-Nafais.
Abu Zahra, Muhammad . (2005). Ushul Fiqih. pen.
Saefullah Mas’um&Slamet Basyir. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Abu Saud, Mahmoud. (1993). The Methodology of
the Islamic Sciences, the American Journal of
Islamic Social Sciences, 10 (3). hal. 382—395.

126 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


Al-Hasani al-Azhari, Basri bin Ibrahim al & Wan Mohd
Yusuf bin Wan Chik, Maqasdi Shariyyah
according to al-Qardhawi in the Book al-Halal
wa al-Haram fi al-Islam, Vol. 2 No. 1; January
2011, hal 238—254.
Al-Qaradawi, Yusuf. (1985). al-Halal Wa al-Haram Fi al-
Islam. Ed. 16. al-Cairo: Maktabah Wahbah.
Ahmad, Khursid. (1980). “Economic Development in
Islamic Framework”, dalam Khursid Ahmad,
ed, Studies in Islamic Economics, Leicester: The
Islamic Foundation and Jeddah: International
Center for Research in Islamic Economics,
King Abdul Azis University.
Anshori, Isa. (2009).Maqashid Syari’ah sebagai Landasan
Etika Global, 01 (01). Hal. 14—20.
Antonio, M. Syafii. (2001). Bank Syariah dari Teori ke
Praktek, Jakarta: Gema Insani Press.
‘Ali, ‘Abdullah Yusuf. (1975).The Translation of the Holy
Qur’an, Washington, DC: The Muslim Students’
Association of the United State and Canada.
Billah, Mohd. Ma’sum. (2006). Shari’ah Standard
of Business Contract. Kuala Lumpur: A.S
Noordeen.
Chapra, M.U. It is Necesarry to have Islamic Economics.
Journal of Socio-Economics 29 (2000), hal. 21—
37.
Chapra, M.U. (1992). Islam and the Economic Challenge,
UK: The Islamic Foundation.
Chapra, M. Umer. (2001). The Future of Economics: An
Islamic Perspective. terjemah SEBI, Jakarta:
Asy-Syamil Press & Grafika.
Carrol, A. (1999). Corporate Social Responsibility:
Evolution of Definition Construct, Business
and Society, 38 (3), pp. 268—295.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 127


CSR Europe. (n.d). European Postal Services and
Social Responsibilities (Brussels: Corporate
Citizenship Company and CSR Europe.
Commission of the European Communities. (1 July
2002). Communication from the Commission
Concerning Corporate Social Responsibility:
A Business Contribution to Sustainable
Development.
Davis, John B. Samuels on methodological pluralism in
economics, http://papers.ssrn.com, diakses
tanggal 30 Mei 2012.
Duski, Nawawi. (1968). Nikmat dan Bala, dalam Bunga
Rampai Ajaran Islam, DDII: Jakarta.
Dusuki, Asyraf Wajdi & Abdullah, Nurdianawati Irwani.
Maqasid al-Shari’ah, Maslahah and Social
Corporate Social Responsibility, The American
Journal of Islamic Social Sciences 24 (1), pp.
25—45.
El-Ghazali, Abdel Hamid. (1994). Man is the Basis of the
Islamic Strategy for Economic Development.
IRTI: Jeddah.
Farook, Syad. (2007). On Corporate Social Responsibility
of Islamic Financial Institution, Islamic
Economic Studies, Vol. 15 (1), pp. 31—46.
Farook, Syad & Lanis, Sayd. (2005). Banking on
Islam?Determinant of Corporate Social
Responsibility Disclosure. 6th International
Conference Islamic Economics and Finance.
Vol, Jakarta.
Fitria, Soraya & Hartanti, Dwi, (2010). Islam dan
Tantangan Jawab Sosial: Studi Perbandingan
Pengungkapan Berdasarkan Global Reporting
Initiative Indeks dan Islamic Social Reporting
Indeks. Simposium Nasional Akuntansi XIII
Purwekorto.

128 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


Friedman, Milton. (1970). The Social Responsibility of
Business is to Increase Its Profit, The New York
Times September 13, pp. 32—33.
Furqani, Hafas & Haneef, Mohamed Aslam. (2011).
Methodology of Islamic Economics: Typologi of
Current Practices, Evaluation and Way Forward,
dipresentasikan di 8th International Conference
in Islamic Economics and Finance.
Hammad, Nazih. (2008). Mu’jam al-Musalahat al-Maliyah
wa al-Iqtishadiyyah. Damaskus: Darul Qalam.
Haneef, Mohamed Aslam. (2005). A Critical Survey of
Islamization of Knowledge. Research Center of
IIUM: Kuala Lumpur.
Haneef, M. Aslam Mohamed. (1997). Islam, The Islamic
Worldview, and Islamic Economics, IIUM
Journal of Economics & Management 5 (1). hal.
39—65.
Haider Naqvi, Syed Nawab. (1981). Ethics and Economics:
An Islamic Synthesis. UK: The Islamic
Foundation.
Ismail, Nurizal. (2012). Ibn Sina’s Economic Idea, (Master
Thesis, International Institute of Islamic
Thought and Civilization).
Khan, M. Akram. (1984). Islamic Economics: Nature
and Needs, J. Res. Islamic Econ., Vol. 1, No. 2,
(1404/1984), hal 51—55.
Kahf, Monzer. Islamic Economics: Note on Defintion and
Methodology, www. http://monzer.kahf.com,
hal. 28. Diakses tanggal 30 Mei 2012.
Hashim Kamali, Mohammad. (2008). Shariah Law an
Introductory. England: Oneworld Publication.
Manurung, Adler Haymans. (2008). Wealth Management:
Menuju Kebebasan Finansial. Jakarta: Kompas
Penerbit Buku.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 129


Mohammed, Mustafa Omar. .Infaq Model Based on al-
Shaybani’s Levels of al-Kasb, International
Conference on Islamic Economics and the
Economies of OIC Countries, Istana Hotel, 29
April 2009. hal. 9—13.
Mohammed, Jawad Akhtar. (2007). Corporate
Social Responsibility in Islam. (P.hd Thesis,
unpublished). Faculty of Business: New
Zeeland.
Naquib al-Attas, Syed Muhammad. (2001). Prolegomena
to The Metaphysics of Islam: An Exposition of
the Fundamental Elements of the Worldview of
Islam. Kuala Lumpur: International Institute of
Islamic Thought and Civilization.
Nasution, Harun. (1986). Teologi Islam Aliran-
Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta:UI-Press. cet. V.
Raysuni, Ahmad. (1995). Nadhoriyyat al-Maqashid ‘inda
Imam al-Syatibi. Beyrut: IIIT.
Razak, Nasaruddin. (1989). Dienul Islam. Bandung: PT.
Al-Ma’arif.
Sinā, Ibn. (1911). Kitab al-Siyāsah. ed. Louis Ma’luf, in Louis
Cheikho et. al, Maqālat Falsafiyyah Qadīmah li
Ba’di Masyāhīrih Fālāsifah al-‘arab Muslimin wa
Nasara, Beirut: al-Matba’ al-Kātsūlīkiyyah lil
Abāi al-yasū’iyyin.
Tazkiyah, Naila. (2007). Analisis Pengungkapan Tanggung
Jawab Sosial Bank Umum Syariah di Indonesia.
Depok: Thesis (unpublished), Indonesia
Universitas.
Thahir al-Masawi, Muhammad. (2001). Maqashid al-
Syariah al-Islamiyyah: al-Syeck Muhammad
Thahir Ibn ‘Asyur. Amman: Darul al-Nafais.

130 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


Thoyyar, Huzni. Model-Model Integrasi Ilmu dan Upaya
Membangun Landasan Keilmuwan Islam (Studi
Literatur terhadap Pemikiran Kontemporer
Islam), www.ditpertais.net, diakses 20 Mei
2012, hal. 14—30.
Ulum, Bahrul. Imam SyatibiL Syariah, untuk Kemaslahatan
Manusia. www.inpasonline.com, diakses
tanggal 17 Mei 2012.
Waris Masqood, Ruqayyah. (2002). Harta dalam Islam:
Panduan al-Qur’an dan Hadits dalam Mencari
dan Membelanjakan Harta dan Kekayaan.
penerjemah Mutini. Jakarta: Lintas Pustaka.
Weber, Max. (1958). The Protestant Ethic and the Spirit
of Capitalism, New York: Charles Scribners’
Sons.
Wilson, Rodney and el-Ashker, Ahmad. (2006). Islamic
Economics: A Short History, Leiden: Brill.
Yunus Misri, Rafiq. (2005). Fiqh al-Muamalah al-Maliyah.
Dimaskus: Darul Qalam.
Zarqa, Muhammad Anas. (2005. Islamization of
Economics: The Concept and Methodology,
J.KAU: Islamic economics. 16 (1). 2003. hal.
3—42.
___Abu Bakar al-Baqilani. http://www.
muslimphilosophy.com. diakses tanggal 8 mei
2012.
___Abu Bakar al-Baqilani. http://bewley.virtualave.net/.
diakses tanggal 8 mei 2012
___Biografi Abu Zahra, www.iais.org, diakses tangal 21
Mei 2012.

Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 131


BIODATA PENULIS

Nurizal Ismail adalah pria kelahiran Jakarta, 18 September


1979. Sebelumnya telah menamatkan pendidikannya di
Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo
(1995-2000). Setelah itu melanjutkan S1 nya di Sekolah
Tinggi Ekonomi Islam Tazkia. Tahun 2011, ia menamatkan
program masternya di bidang sejarah pemikiran ekonomi
Islam di International Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC), IIUM, dengan judul tesis “A Critical
Study of Ibn Sina’s Economic Ideas”.
Penulis saat ini aktif menjadi dosen tetap di almamaternya
STEI Tazkia. Selain itu juga sedang melanjutkan
pendidikan S3 nya di Universiti Sains Islam Malaysia di
Fakultas Ekonomi dan Muamalat Administrasi dengan
konsentrasi dalam bidang Islamic Wealth Management
(IWM) dengan judul disertasi “An Islamic Exposition on
the Ideas of Wealth Management and its Contemporary
Relevance”.. Adapun tulisan-tulisan ekonomi Islam nya
Relevance
dalam bentuk artikel, jurnal dan karangan
ilmiah lainnya lebih banyak difokuskan
kepada kajian pemikiran
ekonomi IIslam, Islamic wealth
management
managem dan maqashid
syariah.
Pembaca
Pem dapat
menghubungi
m penulis
via email: nurizal.
ismail@gmail.com
dan
rizal.tazkia@
yahoo.com atau
twitter@
iseconers23

132 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam


Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam 133
134 Maqashid Syariah Dalam Ekonomi Islam

Anda mungkin juga menyukai