Anda di halaman 1dari 256

FILSAFAT PENDIDIKAN

ISLAM
Oleh:

Dr. Samsul Bahri, MA


UU No. 19/2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan
atau memperbanyak, ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukkan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat
1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00- (lima milyar
rupiah)
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum
suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Penulis : Dr. Samsul Bahri, MA

Cetakan Pertama, September 2020


No ISBN : 978-623-7943-35-8
Perancang & ilustrasi sampul : Nurul Musyafak
Editor : Abduloh,SKM
Layouter : Pria Sahuri

Diterbitkan oleh Penerbit Adab


(CV. Adanu Abimata)
Anggota IKAPI : 354/JBA/2020
Jln. Jambal II No 49/A Pabean Udik Indramayu Jawa Barat
Kode Pos 45219
Telp: 081221151025
Surel : Penerbitadab@gmail.com
http://www.PenerbitAdab.id

Hak Cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang mengcopy dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku ini dalam bentuk apapun tanpa seizin tertulis dari penerbit.
All right reserved
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke kahariban Ilahi rabbi, sebagai


Pencipta dan Pendidik alam semesta, berkat taufik dan hidayah-
Nya, penulis dapat mempersembahkan buku yang berjudul “Filsafat
Pendidikan Islam”, yang semula hanya merupakan goresan tangan atau
tulisan-tulisan lepas untuk bahan perkuliahan Pemikiran Pendidikan
Islam di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Kendari. Karena itu,
berkat saran, pendapat dari teman-teman, untuk dijadikan sebuah
buku, dengan menyesuaikan silabus yang sudah ditentukan, maka
penulis berusaha merangkai menjadi sebuah buku, seraya memohon
kepada Sang Maha Pemberi Ilmu, agar diberi petunjuk dan bimbingan
serta kemudahan.
Buku ini mengurai benang kusut dunia filsafat pendidikan Islam
yang masih diperdebatkan dalam wilayah studi Islam, karena itu
wacana baru yang dimunculkan adalah upaya untuk merekonstruksi
struktur fundamental keilmuan, baik secara ontoilogi, epistimologi
maupun aksiologi. Bahkan buku ini mengisi konstruksi pemahaman
mengenai filsafat dalam Islam yang selama ini filsafat yang dijarkan
di PTKIN atau PTAIS bahkan ditingkat pasca sarjana sekalipun masih
lebih banyak berkutat pada masalah sejarah dan metafisika.(Amin
Abdullah). Akhirnya filsafat menjadi hal yang tidak menarik dalam
institusi pendidikan Islam. Pada hal epitimologi Islam yakni Bayani,
Irfani, serta Burhani menjadi urgen dalam pengembangan nuansa
baru metodologi pendidikan Islam.
Buku ini juga membahas dan mengungkap diskursus filosofis
pemikiran para tokoh-tokoh Pendidikan Islam baik klasik maupun

v
Indonesia. Karena itu buku ini layak tampil dalam upaya lebih
memperkenalkan, menghargai dan memasyarakatkan bagaimana
peran tokoh-tokoh pendidikan dalam Islam. Namun disadari
bahwa betapapun kesungguhan dan upaya telah dilakukan
penulis, tapi diyakini tulisan ini masih banyak mengandung
kelemahan baik dari segi isi, analisis, bahasa serta teknik
penulisan. Untuk itu, saran dan kritik dari pembaca yang budiman
guna menyempurnakan buku ini amat penulis harapkan.
Akhirnya, mengucapkan terimah kasih pada keluarga besar
saya yang memberikan motivasi khususnya pada orang tua, isteri
Dr. Ummi Kalsum, MA, dan ketiga anak Ajwah Hikmil Bahri,
Ahmad Rafif el-Bahri serta si kecil Aflah Zakira el-Bahri sehingga
buku ini dapat disajikan kepada para mahasiswa UIN/ IAIN/STAIN
dan masyarakat pada umumnya, sembari mengharapkan saran
dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan di masa
mendatang.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Kendari, Juli, 2020

Dr, Samsul Bahri, MA


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................v
DAFTAR ISI......................................................................... vii

BAB I
FILSAFAT DALAM PERSPEKTIF ISLAM............................... 1
A. Pengantar..............................................................................1
B. Filsafat dalam padangan Islam...........................................2
C. Epistimologi Islam..............................................................9
D. Penutup...............................................................................18

BAB II
PENDIDIKAN ISLAM TELAAH EPISTIMOLOGI ILMU.........19
A. Pengantar............................................................................19
B. Ontologi Filsafat Pendidikan Islam.................................20
C. Urgensi, Tujuan dan Fungsi Mempelajarinya................22
D. Metode Filsafat Pendidikan Islam...................................24
E. Tipologi Filsafat Pendidikan Islam..................................26

BAB III
EPISITMOLOGI SISTEM PENDIDIKAN ISLAMI................. 29
A. Pengantar............................................................................29
B. Sistem Pendidikan Islami .................................................30
C. Teori tentang Tujuan Pendidikan...................................47
D. Teori Tentang Program Pendidikan................................59

vii
Dr. Samsul Bahri, MA.

E. Teori Tentang Proses Pendidikan ...................................63


F. Teori tentang Evaluasi Pendidikan.................................67

BAB IV
DISKURSUS FILOSOFIS PENDIDIKAN ISLAM
DALAM PEMIKIRAN PARA TOKOH KLASIK DAN
KONTEMPORER............................................................ 73
A. Pengantar............................................................................73
B. Modernisasi Pendidikan Perspektif Fazlur Rahman....74
C. Pendidikan Non Dikotomik Perspektif Hasan
Langgulung..........................................................................79
D. Menata Ulang Sistem Pendidikan Islam Persfektif Abu
Al-Maududi.......................................................................111
E. Pendidikan Emansipasi Perempuan persfektif Qasim
Amin...................................................................................152

BAB V
DISKURSUS FILOSOFIS PENDIDIKAN ISLAM DALAM
PEMIKIRAN PARA TOKOH DI INDONESIA.................161
A. Pengantar..........................................................................161
B. Integrasi Pendidikan perspektif Mohammad Natsir.162
C. Pemikiran Pendidikan Ahmad Dahlan........................168
D. Pemikiran Pendidikan K.H. Hasyim asy’ari.................171
E. Modernisasi Pendidikan Pesantren Perspektif KH.
Abdurrahman Wahid......................................................185
F. Gagasan Harun Nasution Di Bidang Pendidikan........221
Daftar Pustaka................................................................ 226
Profil Penulis................................................................... 247

viii
BAB I
FILSAFAT DALAM PERSPEKTIF
ISLAM

A. Pengantar
Filsafat bagi manusia adalah kegiatan olah otak yang mampu
menemukan pemahaman yang mencerahkan dalam setiap
problematika yang kita hadapi. Bahkan aktivitas pemikiran mampu
memperkuat dan memperkokoh akidah seorang, hanya saja ketika
filsafat melepaskan dari pengetahuan agama, maka alat ukur
rasional menjadi kebenaran dalam ilmu pengetahuan, dan agama
tidak menjadi alat ukur kebenaran. Dengan demikian kelompok
rasionalis seperti Descartes telah mematikan pengelaman dan agama
sebagai teori kebenaran, yang ada adalah rasio menjadi dewa yang
menghasilkan pengetahuan yang benar. Bahkan Sejak 650 SM sampai
masa Descarte dengan teorinya cagito ergo sum-nya mantiq akal sangat
mendominasi.(Tafsir:2010:82) selanjutnya pada tahun 1784 mulai
Spinoza sampai Lessing kedigdayaan akal telah Berjaya(lihat Durant,
1959, 255). Bagi David Hume (1711-1776)tidak begitu senang dengan
kondisi ini. Ia mengatakan bila akal menantang manusia, maka akan
datang waktunya manusia menantang akalnya. (Tafsir, 2010, 84).
Dengan demikian,perdebatan akal fikiran telah banyak melahirkan
beragama pendapat, hal ini tidak bisa dipungkiri bahwa bahwa akal
diperdebatkan oleh ahli akal dan orang-orang yang secara intesif
menggunakan akalnya. Kerja akal yaitu berfikir mendalam sehingga
melahirkan pengetahuan filsafat, sebagai produk akal. Demikian

1
Dr. Samsul Bahri, MA.

halnya dalam dunia Islam perdebatan akal memunculkan banyak


ragam aliran bahkan sampai pada beragama epistimologi dalam
Islam.

B. Filsafat dalam padangan Islam


Ada kekeliruan di dalam pemahaman yang selalu berfikir
bahwa filsafat adalah barang yang tidak perlu dipelajari, bahkan
menganggap filsafat berasal dari barat sehingga haram untuk
dipelajari bagi umat Islam, sehingga tradisi filsafat telah mati
dikalangan umat Islam dan dilembaga pendidikan Islam. Padahal
secara historis Islam pernah melahirkan tokoh-tokoh hebat dalam
tradisi filsafat sebelum kelahiran filsafat Yunani. Oleh karena itu,
dalam upaya pengembangan dan kajian keilmuan Islam saat
ini, kita tidak bisa berpaling dan meninggalkan filsafat. Tanpa
sentuhan filsafat, pemikiran dan kekuatan spiritual Islam akan sulit
menjelaskan jati dirinya dalam era globalisasi.
Namun, sekali lagi, apa yang dimaksud filsafat di sini bukan
sekadar uraian sejarah dan metafisikanya yang notabene merupakan
produk pemikiran, melainkan lebih pada sebuah metodologi
atau epistemologi. Karena itulah, Fazlur Rahman (1919–1988 M)
menyatakan bahwa filsafat adalah ruh atau ibu pengetahuan (mother
of science) dan metode utama dalam berpikir, bukan produk pemikiran.
Tanpa filsafat, seseorang tidak akan mampu mengembangkan
ilmunya, bahkan tanpa filsafat ia berarti telah melakukan bunuh diri
intelektual.
Beragam kritik muncul untuk mengingatkan kembali bahwa
filsafat adalah hal yang perlu untuk dipelajari agar nilai-nilai pemikiran
manusia yang bisa direkontruksi menjadi ilmu pengetahuan,
karena itu, basis epistimologi dalam filsafat menjadi urgen dalam
membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan
yang benar. Kepiawaian dalam menentukan epistimologi akan
sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang

2
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

dihasilkan. Ahmad Tafsir, membagi tiga pardigma pengetahuan,


pertama, adalah paradigma sains yang diperoleh dengan akal dan
indera atau logis-empiris. Kedua, paradigma rasional yaitu mencari
pengetahuan pada obyek-obyek abstrak tetapi rasional, logis-tetapi
tidak empiris. Ketiga, paradigma mistik yaitu cara memperoleh ilmu
pengetahuan tentang obyek-obyek yang abstrak, tidak supra rasional.1
Lebih lanjut Ahmad Tafsir mengatakan diinstitusi pendidikan Islam
yang telah mapan dipelajari adalah bidang fikih dan tasawwuf,
sementara tradisi filsafat tidak pelajari.2 Hal ini sejalan juga
denganAmin Abdullah Guru besar Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, bahwa kajian filsafat yang ada sampai saat ini, di PTAIN
atau PTAIS, bahkan ditingkat pascasarjana, masih lebih banyak
berkutat pada masalah sejarah dan metafisika.3
Menurut Soleh kajian filsafat dalam Islam tidak mengalami
kemajuan yang berarti, apalagi memberikan konstribusi yang
signifikan bagi perkembangan pemikiran Islam. Padahal kajian filsfat
sesungguhnya bukan sekedar sejarah dan metafisika melainkan juga
epistimologi, etika, dan estetika, dan epistimologi juga adalah kajian
tentang metodologi dan logika penalaran yang melahirkan nilai
kritis-analitis dan ssitematis. Artinya filsafat lebih merupakan kajian
tentang proses berfikir dan bukan sekedar kajian tentang sejarah dan
produk pemikiran.4
Dalam Islam penekanan pada ranah pemikiran menjadi penting
hal ini terlihat kata-kata kunci seperti, ya’qilun, yatafakkarun, yubshirun,
yasma’un, dan sebagainya terdapat dalam al-Qur’an, merupakan
bukti betapa pentingnya penggunaan fungsi ranah cipta dan karsa
manusia dalam belajar dan meraih ilmu pengetahuan.5 Bahkan ayat

1 Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung, Remaja rosdakarya, 2012, h. 307.
2 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, h. 307
3 Lihat A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004, h. vii
4 A. Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta, Ar-Ruzz
Media, 2016,h. 7
5 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, h. 99

3
Dr. Samsul Bahri, MA.

yang pertama turun secara sistemik, dalam konteks wahyu ini, surat
Al Alaq perintah tentang membaca justru paling pertama dan utama
diwahyukan Allah SWT. Kian menakjubkan lagi, karena surat Al Qalam
perintah menulis menjadi skala prioritas wahyu kedua yang turun
dari langit. Dengan demikian, berarti proses pembelajaran harus
dimulai dengan metode membaca dan menulis. Jika kedua program
awal ini dapat berlangsung maksimal, maka sudah pasti fakultas
otak dapat terbangun dengan produk kecerdasan intelektual yang
mampu membaca dengan kerangka “Isme Rabbika”. Allah berfirman
َ ُّ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ َٰ ْ ََ َ َ َ َ ْ َّ َ ّ َ ْ ْ َ ْ
‫ ٱقرأ وربك‬2‫ٱلنسن مِن عل ٍق‬ ِ ‫ خلق‬1 ۚ ‫ا ِقرأ بِاس ِم ربِك الِي خلق‬
َْ ْ َ ْ َ َ َ ٰ َ ْ َ َّ َ َ َ ْ َ َّ َ َّ ْ َْ
ُ ‫ك َر‬
5‫ٱلنسن ما لم يعلم‬ ِ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ع‬ 5‫م‬ِ ‫ل‬ ‫ق‬ ‫ٱل‬ِ ‫ب‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ِى‬
‫ٱل‬ 4‫م‬ ‫ٱل‬
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah..
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia
apa yang tidak diketahuinya.
Bagi Hasan Langgulung, perintah membaca melibatkan proses
mental yang tinggi, melibatkan proses pengenalan (cognition),
ingatan (memory) pengmatan (pereception), pengucapan (verbalzation),
pemikiran (reasoning), daya kerasi(creatyvity), di samping proses
psikologi.6 Lebih lanjut, mengatakan dengan membaca juga
mengandung aspek sosial, yaitu proses yang menghubungkan
perasaan, pemikiran dan tingkah laku seorang manusia dengan
manusia lain, pembecaan menghendaki adanya simbol yang dapat di
baca yaitu tulisan.7 Dengan perantaraan tulisan pembacaan manusia
tidak perlu behadapan. Dengan kata lain bacaan merupakan alat
sistem penhubung.

6 Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, Jakarta, Pustaka al-Husna, 1985, h. 9.
7 Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, h.9

4
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Sehubungan dengan itu, penggunaan filsafat dalam Islam


sangat dianjurkan dalam surat Al-Nahl: 78 Allah berfirman:
ُ َ َ َ َ َ ً ْ َ َ ُ َ ْ َ َ ْ ُ َ َّ ُ
ُ‫كم‬ ُ ُ ْ ْ ُ َ َ ْ َ ُ َّ َ
‫ون أمهات ِكم ل تعلمون شيئا وجعل ل‬ ِ ‫والل أخرجكم مِن بط‬
َ ُ ْ ْ ُ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ َّ
ُ َ َّ َ
‫السمع والبصار والفئِدة ۙ لعلكم تشكرون‬
Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
Kata “af-idah” dalam ayat ini menurut seorang pakar tafsir al-
Qur’an M. Quraish Shihab “daya fikir”.8 Yaitu potensi/kemampuan.
Dalam tafsir Ibnu Katsir Juz II “al-faid” tersebut berarti akal yang
menurut sebagian orang tempatnya di dalam jantung (qlb). Namun
kitab tafsir ini tidak menafitkan kemungkinan al-faida itu ada dalam
otak (dimagh).9 Dengan demikian, pentingnya teori filsafat dalam
perspektif ajaran Islam, ini terbukti dengan dikisahkannya penyesalan
para penghuni neraka karena keengganan dalam menggunakan akal
mereka untuk memikirkan peringantan Tuhan. Dalam surat Al-Mulk
ayat 10 dikisahkan bahwa:
َّ َ ْ َ َّ ُ َ ُ ْ َ ْ َ ُ َ ْ َ َّ ُ ْ َ ُ َ َ
ِ‫اب السعِري‬
ِ ‫وقالوا لو كنا نسمع أو نعقِل ما كنا ِف أصح‬
Artinya: Dan mereka berkata: "Sekiranya Kami mendengarkan
atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk
penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala".
Konsep di atas memberikan pemahaman bahwa teori pemikiran
ada di dalam Islam, bahkan lebih lengkap, dan Kian mencengangkan
lagi, karena ketika fakultas otak sudah dianggap mapan dan tangguh

8 Kata al-af’ida adalah bentuk jamak dari kata fuad yang artinya akal. Makna ini dapat
diterima jika yang dimaksud adanya gabungan daya fikir dan daya kalbu, yang menjadikan
seorang terikat sehingga tidak terjerumus dalam kesalahan dan kedurhakaan. Lihat
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 7, Jakarta,
Lentera Hati, 2002, h. 307.
9 Lihat tafsir Ibnu Katsir Juz II, h. 580.

5
Dr. Samsul Bahri, MA.

oleh Allah SWT, maka penguasa kerajaan langit dan bumi yang
Maha segala-Nya ini mewahyukan kerangka lanjutan metodologis,
yakni menurunkan surat Al-Muzammil sebagai resep jitu untuk
menumbuhkembangkan kecerdasan emosional dan spritual dalam
sebuah lembaga pendidikan yang disebut Fakultas Rohani.
Tentu saja dengan menyadari panorama kehidupan moderen
dengan segala dampaknya dalam konteks paradigma pendidikan
kapitalistis yang menindas. Maka, selain pentingnya keberadaan
fakultas otak dalam kerangka Isme Rabbika tersebut, juga sangat
dibutuhkan proses pengembangan fakultas rohani yang mampu
memproses kecerdasan emosional dan sekaligus peletakan
dasar kecerdasan spiritual. Atas dasar inilah, sehingga Allah SWT
menurunkan Surat ketiga Al Muzammil sebagai upaya pendakian
rohani menuju kebangkitan spiritual melalui upaya bangun malam
untuk bertahajjud ketika semua orang terlena di bantal balutan.
Potensi Rohani hanya bisa digapai dengan metode qiyamul lail, bukan
dengan cara mendatangi dukun atau paranormal yang nota-bene
sakti mandera-guna yang sekaligus mungkin palsu.
Pada gilirannya, seorang muslim sejati yang telah memperoleh
potensi fakultas otak dan rohani melalui proses pembelajaran dari
ketiga surat yang diturunkan terdahulu. Maka seterusnya, diuji-
coba pola pikir, sikap dan prilaku serta nuraninya secara lebih ulet,
tanguh dan tajam dengan amanah dakwah melalui perintah surat
keempat Al Mudatsir. Dalam tataran pergumulan dan pergulatan
inilah, seabrek simbol pejuang dan sejenisnya mungkin berguguran.
Namun bagi mereka yang telah menyatukan langkah dengan
perintah Al Mudatsir, besar peluang untuk berhasil melewati medan
jihad dan akan menelorkan life university dan kampus peradaban
Islam yang bernuansa Rahman dan Rahim sebagai refleksi dari surat
kelima Al Fatihah.
Dengan demikian, ranah penggunaan pemikiran dalam
sangat ditekankan, karena itu menurut Ibnu Ruysd filsafat tidaklah

6
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

bertentangan dengan Islam, bahkan diwajibkan atau sekurang-


kurangnya dianjurkan mempelajarinya. Karena tugas filsafat iaalah
tidak lain daripada berpikir tentang wujud untuk mengetahui
pencipta semua yang ada di alam ini. Dalam al-Qur’an terdapat 49
kali perekataan yang berakar dari kata’aqal dan semuanya dalam
bentuk aktif seperti, ta’qiluna, naqilu, ya ’qiluha. Buka hanya akal yang
menunjukkan pekerjaan berpikir tapi juga istilah-sitilah lain seperti
nazrah( melihat dengan abstrak dalam arti merenung), tadabbara
(merenung), taffakkara, faqiha, tadhakkara (mengintat atau mendapat
pelajaran). Di samping itu, di dalam Al-qur’an juga banyak sebutan-
sebutan yang memberi sifat berfikir seperti, ulul al-bab, ulul ilmi, ulul
absar, ulul al-nuha. Kesemua ini mengandung anjuran dan dorongan
agar manusia banyak berfikir dan menggunakan akalnya.10 Dengan
kata lain, Allah melalui firman-firman-Nya di dalam Al-Qur’an
mendorong bahkan memerintahkan manusia agar berfilsafat.11
Bahkan Muhammad Iqbal mengatakan bahwa agama tidak akan
dapat dipahami umat jika umat Islam meninggalkan tradisi filsafat,
karena hidup manusia terikat oleh ruang dan waktu, maka aktivitas
berpikir media penting dalam mendinamisasi manusia dalam
kehidupannya.12
Secara historis para ahli mengakui bahwa filsafat di dunia Islam
pada abad 8- 12 tampil ke dapan (maju) menurut Zarkowi Soejoeti
bahwa ketika abad ke 3 H, pendidikan Islam tidak lagi meyentuh ilmu
keislaman saja, akan tetapi ilmu-ilmu diluar keislaman. Ini dibuktikan
dengan dibangunnya Bait al-Hikmah,13 sebagai pusat penterjemahan
karya-karya warisan ilmu dari Persia dan Yunani. Sehingga revolusi
pendidikan abad itu, menghasilkan banyak aktivitas intelektual yang

10 Lihat Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta, Kencana, 2005, h. 303
11 Lihat Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang,1999, h. 43.
12 Lias Hasibuan, Berfikir Reflekti Qur’ani, Jambi, SAPA Project, 2004, h. 92.
13 Bayt al-Hikmah Baghdad merupakan salah satu pusat kegiatan penterjemahan ilmu-ilmu
dari Yunani ke dalam Bahasa Arab. Pimpinannya adalah Hunayn Ibn Ishaq. Philip K. Hitti,
History of Arabs, London, The Macmillan Press, 1974, h. 312.

7
Dr. Samsul Bahri, MA.

melahirkan banyak aliran pemikir dan mazhab yang terlibat dalam


argumentasi dialektika mengenai dasar-dasar agama (kalam) dan
hukum Islam (fikh). Etos kerja ilmiah dan kerja keras tersebut, karena
menjadikan al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai motivator.
Umat Islam sekitar sekitar abad abad 8-9 M, filsafat dan Iptek
Yunani tersebut diislamkan, dengan mengganti natural law dengan
sunnatullah yakni hukum alam ciptaan Tuhan, dan kebenaran duniawi
adalah relatif yang harus terus menerus dikembangkan berdasarkan
perspektif kebenaran Tuhan. Dengan demikian, dalam pemahaman
nalar metodologi keilmuan yang secara intrinstik menjadi tuntutan
universal. Ia didasari, diarahkan, dan dijiwai oleh nilai etik moral
Islami, sehingga keduanya akan tetap berkembang dalam perspektif
Islam. Pengembangan filsafat dan Iptek di tangan orang Islam
mencapai puncak keemasan pada abad 8-12 M.
Hal di atas dapat dipahami bahwa pemikiran rasional atau
filsafat telah lebih dulu mampan dalam masyarakat muslim sebelum
kedatangan filsafat Yunani. Meski karya, karya Yunani mulai
diterjemahkan pada masa kekuasaan Bani Umaiyyahh (661 -750M),
oleh orang seperti Ja’far ibn Yahya al-Barmaki(767-803M), tetapi
buku-buku filsafatnya yang kemudian melahirkan filosof pertama
Muslim yakni Al-Kindi (801-873M), baru mulai digarap pada masa
dinasty Abbasiyyah(750-1258M), khususnya pada masa khalifa al-
Makmun 811-833M), oleh tokoh tokoh seperti Yuhana ibn Musyawaih
(777-857M), dan Hunain ibn Ishaq (809-873M). Dalam masa-masa ini,
sistem berpikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat
intelektual Arab-Islam, yakni dalam bidang fiqih (yurisprudensi)
dan kalam (teologi). Dalam teologi doktrin Mutazilah yang rasional
yang dibangun oleh Wasil ibn Atha’(699-748M) telah mendominasi
pemikiran masyarakat bahkan menjadi doktrin resmi negara.
Begitu pula dalam bidang fiqih, penggunaan nalar rasional dalam
penggalian hukum (istinbath) dengan istilah-istilah seperti istishsan,
qiyas. tokoh-tokoh mazhab fiqih yang menelorkan metode istinbath

8
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

dengan menggunakan rasio adalah Abu Hanifah (699-767M), Malik


(716-796M), Imam Syafi’i (767-820M), dan ibn Hanbal (780-855M),
hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani.14
Dari pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa filsafat Islam
tidak berasal dari filsafat Yunani, artinya pemikiran rasional dalam
dunia Islam telah lebih dulu mampan sebelum kedatangan filsafat
Yunani. Karena itu epitimologi Islam dengan epistimologi Barat alat
ukur berbedah kalau Barat resionalisme dan empirisme merupakan
pilar utama metode keilmuan. Sedangan epistimologi Islam tidak
berkubang pada rasionalisme dan empirisme saja, tetapi juga
mengakui intuisi dan wahyu inilah yang disebut mistisme Islam.15

C. Epistimologi Islam
Epistimologi adalah suatu cabang filsafat yang bersangkut paut
dengan teori pengetahuan. Istilah epistimologi berasal dari bahasa
yunani yang terdiri dari dua kata episteme (pengetahuan) dan logos
(kata, pikiran, percakapan atau ilmu). Jadi epistimologi adalah kata,
pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan
yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengandaian- pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung
jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.4
Dalam bidang ini, terdapat tiga masalah pokok, yaitu: pertama,
mengenai sumber-sumber pengetahuan, dan metode atau cara
bagaimana proses mengetahui. Kedua, tentang watak pengetahuan,
adanya dunia yang benar-benar ada di luar pikiran kita, dan
bagaimana kita mengetahuinya. Ketiga, mengenai kebenaran (Titus,
1984). Dari hal itu, terhadap sumber dan perwatakan kebenaran
pengetahuan, menegaskan sejauh mana manusia dengan segala
keterbatasan potensinya mampu mengetahuinya.

14 A. Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, h. 25


15 M. zainuddin, Filsafat Ilmu: Perspekstif Pemikiran Islam, Jakarta, Linatas Pustaka, 2006, h. 52-
54.

9
Dr. Samsul Bahri, MA.

Dalam khazanah Islam dikenal memiliki tiga metodologi


berfikir, salah satu diantaranya dalah bayani yang telah menjadi
landasan banyak disiplin ilmu pengetahuan Islam, terutama fikih dan
teologi, dalam tempo waktu yang cukup lama. Bayani adalah sebuah
model metodologi berfikir yang didasarkan teks dan otoritas Salaf.
Berdasarkan alasan itulah, maka kajian buku ini tidak hanya menyajikan
sejarah dan metafisika, tetapi juga epistemologi, etika, dan estetika.
Dalam kajian metafisika, konsep-konsep metodologi atau pemikiran
epistemologi masing- masing tokoh tetap disampaikan. Sub bagian
epistemologinya sendiri menjelaskan tiga model epistemologi yang
dikenal dalam Islam: bayânî, irfânî, dan burhânî.
1. Epistimologi Bayani
Epistimologi Bayani dalam literature keislaman paling
tidak telah dimulai dari masa Rasulullah SAW, dimana beliau
menjelaskan ayat-ayat yang sulit dipahami oleh sahabat. Kemudian
para sahabat manafsirkan Al-Qur’an dari ketetapan yang telah
diberikan Rasulullah SAW, melalui teks. Selanjutnya tabi’in
mengumpulkan teks-teks dari Rasulullah dan sahabat, kemudian
mereka manambahkan penafsirannya dengan kemampuan nalar
dan ijtihad dengan teks sebagai pedoman utama. Epitimologi bayani
dalam bahasa arab berarti penjelasan (explanation). Arti asal katanya
adalah menyingkap dan menjelaskan sesuatu, yaitu menjelaskan
maksud suatu pembicaraan dengan menggunakan lafadz yang
paling baik (komunikatif). Menurut ahli ushul fikih, bayan adalah
upaya menyingkap makna dari pembicaraan serta menjelaskan
secara terinci hal-hal yang tersembunyi dari pembicaraan tersebut
kepada mukallaf. Dengan kata lain usaha untuk mengeluarkan suatu
ungkapan dari keraguan menjadi jelas. Memaknai al-bayan secara
etimologis, merujuk dalam kamus  Ibn Mandzur
lisan al-'Arab, 
menjelaskan makna bayan memiliki empat pengertian, yakni al-
fasl wa al-infishal dan al-dzuhur wa al-idzhar. Secara hirarkis atas
dasar pemilahan antara metode (manhaj) dan visi (ru'yah) dalam

10
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

epistemologi bayani, dapat disebut bahwa al-bayan sebagai metode


berarti al-fasl wa al-infishal, sementara al-bayan sebagai visi berarti al-
dzuhur wa al-idzhar. 
Sedangkan secara terminologis kajian  bayani terbagi dua,
pertama adalah aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin al-tafsir al-
khithabi), dan yang kedua adalah syarat-syarat memproduksi wacana
(syurut intaj al-khithabi). Penetapan makna bayan secara ilmiah di
atas (pengertian bayan) menandai tahapan baru, yaitu tidak hanya
dipahami sebagai penjelas (al-wudhuh dan al-idzhar), tetapi lebih dari
itu, berkembang sebagai suatu epistemologis keilmuan yang "difinitip
". Keberadaan bayani sendiri sebenarnya sudah ada pada masa
awal Islam, namun masih dalam bentuk penyebaran bayani secara
tradisional. Dikarenakan masih belum merupakan upaya
ilmiah, dalam arti indentifikasi keilmuan dan peletakan aturan
penafsiran teks-teksnya. Perkembangan makna bayani dari makna
tradisionalnya kepada maknanya yang baru (sebagai epistemologi
keilmuan) adalah seiring dengan perkembangan tradisi Arab-Islam.
Tradisi Arab-Islam bergerak dari budaya lisan dan riwayat menuju
budaya tulis dan nalar. Atau dengan kata lain dari budaya yang masih
awan menuju budaya akademisi (ilmiah). Sehingga saat ini secara
terminologi, bayani memiliki arti, pertama, adalah sebuah metode
mentafsirkan wacana, dan yang kedua, adalah syarat memprodusi
wacana.
Karakter aktivitas nalar produksi pengetahuan dalam
epistimologi bayani paling tidak didasarkan pada satu nalar
(mekanisme kognitif) yang pilar-pilarnya adalah menghubungankan
furu’ dengan ushul karena adanya penyesuaian antara keduanya,
dengan berpangkal dari bahasa Arab (yaitu nahwu, fiqih, dan
ushul fiqih, kalam dan balaghah) dengan memakai pendekatan
lughawiyah. Adapun tokoh-tokohnya adalah Imam Syafi’i, Ibn
Wahb dan Imam Syatibi. Imam Syafi'i (w. 204 H.) dianggap sebagai
peletak pertama dasar aturan-aturan penafsiran wacana bayani, yang

11
Dr. Samsul Bahri, MA.

melandasi nalar tradisi Arab-Islam. Karena di tangannyalah hukum-


hukum bahasa Arab dijadikan acuan untuk menafsirkan teks-teks
suci, terutama hukum qiyas, dan dijadikan sebagai salah satu sumber
penalaran yang absah untuk memaknai persoalan-persoalan agama
dan kemasyarakatan. Maka dalam konteks inilah bahwa yang
dijadikan acuan utama adalah nash atau teks suci. Syafi'i meletakkan
aturan dasar al-ushul al-bayaniyyah sebagai faktor yang paling penting
dalam aturan penafsiran wacana. Maka konsekwensi logisnya adalah
berfikir atau bernalar, menurutnya, berfikir dalam kerangka nash.
Berdasarkan sosio historis yang ada, imam Syafi’i
menjadikan bayan tampil lebih ilmiah dan kemudian di ikuti oleh
orang-orang setelahnya. Imam Syafi’i merumuskan bayan khusus
terkait dengan al-Qur’an dalam lima tingkatan: 1) bayan yang
tidak memerlukan penjelasan; 2) bayan yang beberapa bagiannya
membutuhkan penjelasan al-Sunnah; 3) bayan yang keseluruhannya
bersifat umum dan membutuhkan penjelasan; 4) bayan yang tidak
terdapat dalam al-Quran namun terdapat dalam al-Sunnah, dan
5) bayan yang tidak terdapat dalam al-Quran dan al-Sunnah, yang dari
sinilah kemudian muncul qiyas sebagai ‘metode’ ijtihad. Dari lima
derajat bayan tersebut kemudian Syafi’i merumuskan empat dasar
pokok agama, yaitu al-Quran, al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Terjadi
gayung bersambut, al-Jahidz (225 H.) menanggapibayan Syafi’i
yang menurutnya hanya baru pada tingkat memahami teks, belum
berorientasi pada bagaimana cara membuat orang paham. Al-
bayan  menurutnya adalah sebuah usaha membuat pendengar
paham akan wacana atau bahkan sebagai usaha memenangkan
sebuah perdebatan. Ia melihat  al-bayan dari sisi pedagogik,
sehingga unsur pendengaran mau tidak mau harus dilibatkan,
bahkan sebagai tujuan. Maka harus ada kesesuaian antara lafadz
dan makna dalam bayan. Untuk mendapatkan makna yang tepat
harus memenuhi persyaratan-persyaratan dalam mengambil
kesimpulan, yaitu: 1) bayan dengan mensyaratkan kefasihan

12
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

ucapan sebagai penentu makna; 2) bayan dengan seleksi huruf dan


lafadz; 3) bayan dengan makna terbuka. Dengan demikian makna
bisa diungkapkan dengan salah satu dari lima bentuk penjelas,
yaitu lafadz, isyarat, tulisan, keyakinan, dan keadaan/nisbah; dan
4) bayan dengan syarat keindahan.16
2. Epistimologi Irfani
Secara etimologi irfani dari kata dasar bahasa ‘arafa semakna
dengan makrifah berarti pengetahuan yang diperoleh secara
langsung lewat pengalaman (experience). Sendangkan secara
terminologi irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang
diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya
(kasyaf) setelah adanay oleh ruhani (riyaydah) yang dilakukan atas
dasar cintah.
Epistimologi irfani secara metodologis pengetahuan ruhani
diperoleh melalui tiga tahapan yaitu:17 pertama, persiapan untuk
bisa menerimah limpahan pengetahua ( kasyf), seseorang harus
menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada
tujuh tahapan yang harus dijalani mulai dari bawah menuju puncak
(1) Taubah, (2) Wara menjauhkan diri dari sesuatu yang subhat, (3)
Zuhud, tidak tamak tidak mengutamakan kehidupan dunia, (4) faqir
mengosonkan seluruh pikiran dan harapan masa depan dan tidak
mnenghendaki apapun kecuali Allah SWT. (5) Sabar menerimah
segala bencana dan rela. (6) Tawakkal, percaya atas segala apa yang
ditentukan-Nya (7) Ridla, hilangnya rasa ketidak senangan dalam
hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita.
Kedua, tahap penerimaan, jika telah mencapai tingkat tertentu
dalam sufisme, seorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan
langsung dari Tuhan secara iluminatif. Pada tahap ini seseorang
16 https://www.kompasiana.com/jemilfirdaus/54f4a62b7455137f2b6c8d88/mengenal-
epistemologi-islam-bayani
17 Muchamad Hasyim, Epistimologi Islam; Bayani Burhani, Irfani, dalam Jurnal Al-Murabbi ,
jurnal Pendidikan Agama Islam Universitas Yudharta Pasuruan, Vol. 3. Nomor , 2, Juni 2018,
h. 224-225.

13
Dr. Samsul Bahri, MA.

akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak


(kasyf) sehingga dengan kesadaran itu mampu melihat realitas
dirinya sendiri(musyahadah) sebagai obyek yang diketahui yang
tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui diri sendiri begitu pula
sebaliknya (al—ittihad). Atau disebut dengan ilmu huduri. Ketiga,
pengungkapan yakni pengalaman mistik yang diinterprestasikan
dan diungkapan pada orang lain, lewat ucapan atau tulisan, namun
karena pengetahuan irfani bukan masuk pada tatanan konsepsi
tetapi terkait dengan kesatuan dengan Tuhan , sehingga tidak bisa
dikomnunikasikan, maka tidak semua pengalaman bisa diungkapkan.
Dengan demikian, epistimologi irfani sangat subyektif hanya
meresakan akan kebenaran itu, inilah yang disebut intuisi, sehingga
Henry Bergson menggap ilmu ini adalah ilmu yang merupakan hasil
dari evolusi pemikiran yang tertinggi tatapi bersifat prosonal.18 Karena
itu menurut Hasyim, implikasi pengetahuan irfani dalam pentas
pemikiran keislaman adalah menghampiri agama dalam tataran
substantif dan esensi spritualitas, yang berdasar pada pengalaman
spiritual.19 Epitimologi inilah yang kemudian disebut oleh Harun
Nasution mistisme dalam Islam. Adapun tokoh-tokohnya terkenal
dalam dunia Islam yaitu: 20 Hasan Al-Basri (Wafat 110 H) dengan
Teori Zuhudnya. Rabiah al-adawiah (713-801) dari Basrah di Irak
dengan fahamnya Al-Mahabbah. Kemudian Al-Ghazali yang dikenal
dengan teori Ma’rifah. Abu Yazil al-Busthami, dengan teori al-Ittihad,
dan al-Hallaj dengan pahamnya alHulul. Demikian diantara tokoh-
tokoh epistimologi irfani.
3. Epistimologi Burhani
Dalam Khazanah kosa kata Arab, Menurut Ibn Mansyur kata al-
Burhan secara epistimologis berarti argumen yang jelas dan tegas.

18 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistimologi Islam, Bandung,


Mizan, 2003, h. 60-61.
19 Muchamad Hasyim, Epistimologi Islam; Bayani Burhani, Irfani, h. 225.
20 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, 62-92

14
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Selanjutnya, kata ini disadur dalam terminology ilmu mantiq untuk


menunjukkan arti proses penalaran yang menetapkan benar tidaknya
antarproposisi melalui cara deduksi, yaitu melalui cara pengaitan
antarproposisi yang kebenarannya bersifat postulatif (kesimpulan
yang pasti). Bagi al-Jabiri Metode burhani bertumpuh sepenuhnya
pada seperangkat kemampuan intelektual manusia, baik melalui
panca indera, pengalaman, maupun daya rasional, dalam upaya
memperoleh Pengetahuan tentang semesta, bahkan juga sampai
menghasilkan kebenaran yang bersifat pospulatif. Epistemologi
Burhani, berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani, yang masih
berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan
diri pada teks, juga tidak pada pengalaman. Burhani menyadarkan
diri kepada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil- dalil
logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia
sesuai dengan logika rasional. Perbandingan ketiga epistemologi ini,
seperti dijelaskan al-Jabiri, bayani menghasilkan pengetahuan lewat
analogis non fisik atau furu’ kepada yang asal, irfani menghasilkan
pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani kepada Tuhan dengan
penyatuan universal, burhani menghasilkan pengetahuan melalui
prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah
diyakini kebenarannya.
Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio,
bukan teks atau intitusi. Rasio inilah yang dengan dalil-dalil logika,
memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi
yang masuk lewat panca indera, yang dikenal dengan istilah
tasawwur dan tasdiq. Tasawwur adalah proses pembentukan konsep
berdasarkan data-data dari indera, sedang tasdiq adalah proses
pembuktian terhadap kebenaran konsep tersebut.53
Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan,
epistemologi burhani menggunakan silogisme. Dalam bahasa
Arab, silogisme diterjemahkan dengan qiyas atau al-Qiyas al-Jami’
yang mengacu kepada makna asal. Secara istilah, silogisme adalah

15
Dr. Samsul Bahri, MA.

suatu bentuk argumen dimana dua proposisi yang disebut premis,


dirujukan bersama sedemikian rupa. Sehingga sebuah keputusan
pasti menyertai. Namun karena pengetahuan burhani tidak murni
bersumber kepada rasio objek- objek eksternal, maka ia harus melalui
tahapan-tahapan sebelum dilakukan silogisme yaitu: Pertama, tahap
pengertian (ma`qulat). Tahap ini adalah tahap proses abstraksi atas
objek-objek eksternal yang masuk ke dalam pikiran, dengan merujuk
pada sepuluh kategori yang diberikan Aristoteles. Kedua, tahap
pernyataan (ibarat). Adalah tahap proses pembentukan kalimat atau
proposisi atas pengertian- pengertian yang ada. Propossisi ini harus
memuat subjek (maudu`) dan predikat (mahmul) serta adanya relasi
keduanya. Untuk memperolah pengertian yang tidak diragukan,
sebuah proposisi harus mempertimbangkan al-lafz al- khamsah (lima
kriteria), yakni spesies (nau`), genus (jins), diferensia (al- fashl), dan
aksidentia (arad).
Ketiga, tahap penalaran (tahlilat). Pada tahap ini proses
pengambilan keputusan berdasakan hubungan di antara premis-
premis yang ada, disinilah terjadi silogisme. Menurut Al-Jabiri,
dalam penarikan kesimpulan dengan silogisme harus memenuhi
beberapa syarat: (1) mengetahuai latar belakang dari penyusunan
premis; (2) adanya konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan; (3)
kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar.21
Dengan demikian, epistimologi Burhani menekankan visinya
pada potensi bawaan manusia secara naluria, indrawi, eksprimentasi
dan konseptualitas (al-hiss, al tajribah wa muhakamah ‘aqliya). Fungsi
dan peran akal dalam epistimologi burhani sebagai alat analitik-
kritis. Jadi epistimologi mempunyai kemampuan untuk menemukan
berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama epistimologi
tersebut dipakai oleh aliran Muta’zilah yang berpikir rasional,
karena itu kemajuan epistimologi burhani itu benar-benar pada

21 Lihat Wira Hadi Kusuma, “ Epistimologi Bayani, Irfani, dan Burhani”, dalam Jurnal Syi’ar Vol.
18 No. 1 Januari-Juni 2018, IAIN Bengkulu, h. 7-8.

16
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

masa pemerintahan Bani Abbasiyah (750-1258) khusus pada masa


kekuasaan khalifah Al-Makmun (811-833) suatu program yang oleh
al-Jabiri (1936-2010) dinggap sebagai tonggak sejarah pertemuan
epistimologi burhani Yunani dengan epistimologi burhani Islam,
yang menurut Hasyim sampai dibentuk tim khusus yang bertugas
melawat ke negeri-negeri sekitar untuk mencari buku pengetahuan
apa saja yang pantas diterjemahkan dan dikembangkan.22
Menurut Sholeh program penertjemahan atas buku-buku
filsafat Yunani tersebut dilakukan secara missal dan gnecar karena
ada kebutuhan hal itu yakni banyaknya doktrin yang heterodoks yang
datang dari Iran, India, Persia, sehingga ulama atau sarjana muslim
mencari system berpikir rasional dan argument-argumen yang
lebih kuat , karena metode bayani tidak kuat lagi untuk menjawab
persoalan-persoalan yang baru yagn sangat beragam yang tidak
dikenal sebelumnya. Karena itu, Ira M, Lapidus menyatakan bahwa
filsafat bukan sekedar bentuk analisis secara murni melainkan bagian
dari misi agama Islam.23
Ketiga model tersebut, dalam sejarahnya, telah menunjukkan
keberhasilannya masing-masing. Nalar bayânî telah membesarkan
disiplin fiqh (yurisprudensi) dan teologi (‘ilm al-kalâm), irfânî telah
menghasilkan teori-teori besar dalam sufisme di samping kelebihannya
dalam wilayah praktis kehidupan, dan burhânî telah mengantarkan
filsafat Islam dalam puncak pencapaiannya. Namun, hal itu bukan
berarti tanpa kelemahan. Mengikuti analisis Amin Abdullah,
kelemahan mencolok pada bayani adalah ketika ia harus berhadapan
dengan teks-teks “suci” yang berbeda milik komunitas, masyarakat,
atau bangsa lain. Karena otoritas ada pada teks sedangkan rasio
hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks
tertentu belum tentu diterima oleh golongan pemilik teks yang
lain, maka pada saat berhadapan tersebut, nalar bayânî biasanya
22 Hasyim, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, h. 227-228.
23 . Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, h. 31-32

17
Dr. Samsul Bahri, MA.

lantas mengambil sikap mental yang bersifat dogmatik, defensif, dan


apologetik, dengan semboyan yang kurang lebih semakna dengan
right or wrong is my country. Nalar bayânî menjadi tertutup sehingga
sulit diharapkan munculnya dialog yang sehat demi tercapainya
sikap saling memahami seperti yang dituntut dalam kehidupan
modern. Kelemahan irfânî adalah adanya kenyataan bahwa term-
term intelektualnya, seperti ilhâm dan kasyf telah telanjur “baku”
dalam organisasi tarekat-tarekat dengan wirid- wirid tertentu yang
menyertainya.

D. Penutup
Ketiga epistimologi Islam tersebut adalah pergolakan
dipentas pemikiran keilmuan Islam yang memberikan konstribusi
perkembangan pemikiran Islam, karena itu, nalar-nalar tersebut
menjadi bukti bahwa filsafat dalam Islam bukan berasal dari Yunani,
bahkan epistimologi dalam Islam lebih dulu mapan dari filsafat
Yunani. Karena itu, menurut Soleh ada tiga hal:pertama, pemikiran
rasional Islam tidak merupakan jiplakan atau plagiasi dari filsafat
Yunani sebagaimana dituduhkan sebagian kalangan, meski diakui
bahwa filsafat Yunani telah memberikan konstribusi sangat besar
bagi perkembangan pemikiran filsafat dalam Islam. Kedua, system
pemikiran rasional Islam tersebut lahir atau muncul analisis dan
perkembangan bahasa (nahw), lewat berbagai mazhab bahasa yang
ada. Berawal dari analisis dan rasionalisasi bahasa ini kemudian
berkembang menjadi rasionalisasi dalam bidang hokum (fiqh) dan
teologi Islam, karena adanya kebutuhan untuk menjelaskan secara
rasional-filosofis atas makna dan maksud teks suci dan menjawab
problem-problem yang muncul saat itu secara rasional. Ketiga, filsafat
Yunani masuk ke dalam khazanah pemikiran Islam kali pada masa
Khalifah al-Makmun (811-833M) dari Dinasti Bani Abbas (750-1258 M),
lewat proses terjemahan. Proses penterjemahan dilakukan karena
telah berkembang dan mapanya tradisi berpikir rasional-filosofis di
kalangan masyarakat Islam.
18
BAB II
PENDIDIKAN ISLAM TELAAH
EPISTIMOLOGI ILMU

A. Pengantar
Dunia pendidikan Islam secara sosial dan historis pada 8-12
M merupakan puncak keemasan pendidikan Islam yang banyak
melahirkan pemikir-pemikir pendidikan dan epitimologi. Salah
satu rahasia kesuksesan puncak keemasan pendidikan Islam
pada saat itu terletak kepada kebebasan mimbar akademik,
demokratisasi serta berpengang teguh pada etika akademik atau
akhlak sangat dijujung tinggi, dengan menjadikan Al-qur’an
dan hadis sebagai motivator pengembangan ilmu, akan tetapi
pasca abad ke-12 dunia pendidikan Islam mengalami kemunduran
yang nyaris memasuki periode kejumudan dimana ijtihad telah
tertutup, atau menurut istilah Harun Nasution, bukan ijithad
telah tertutup, tetapi karena tidak ada yang berani berijtihad.
Sehingga kemuduran terjadi dalam berbagai bidang termasuk
bidang pendidikan.
Usaha-usaha para pemikir untuk membenahi atau
mengadakan pembaharuan system pendidikan Islam terus
dilakukan, karena salah satu esensi dari pembaharuan adalah
upaya terus menerus menganalisis keadaan dan mencermati
peluang-peluang perbaikan yang mesti dilakukan. Hal ini diakui
Fazlur Rahman bahwa usaha pembaharuan pendidikan adalah

19
Dr. Samsul Bahri, MA.

mesin rekayasa peradaban dan budaya yang akan menjamin


kesiapan masyarakat tertentu menghadapi masa depannya. Oleh
karena itu, kehadiran mata kuliah filsafat pendidikan Islam harus
dilihat sebagai upaya pembaharuan pendidikan.

B. Ontologi Filsafat Pendidikan Islam


Pembahasan konsep apa pun selalu diawali dengan
memperkenalkan pengertian (defenisi) secara teknis, guna
menangkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep
tersebut. Hal ini berfungsi mempermudah dan memperjelas
pembahasan selanjutnya. Misalnya, seorang tidak akan
mampu menjelaskan persoalan-persoalan belajar secara detail,
jika dia belum bisa memahami substansi belajar itu sendiri.
Demikian pula, defenisi pemikiran pendidikan Islam diharapkan
memberikan kepastian pemahaman terhadap substansinya,
sehingga memperlancar pembahasan seluk beluk yang terkait
dengan pemikiran pendidikan. dan sebagai upaya untuk
memotret dinamika dunia pendidikan Islam.
secara etimologi filsafat adalah berarti proses , cara, atau
perbuatan memikir; yaitu menggunakan budi untuk memutuskan
suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu
dengan bijaksana.24 Secara terminologis bahwa pemikiran
pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berfikir
tentang kependidikan yang bersumber atau belandaskan pada
ajaran Islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat
dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi muslim yang
seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam.
Berpijak dari definisi di atas maka yang dimaksud dengan
filsafat pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan
24 Anton M. Moeliono, et, al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka, 1988, h. 682-683.

20
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

kalbu yang dilakukan secara bersungguh-sungguh dalam melihat


berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan Islam dan berupaya
untuk membangun sebuah paradigma pendidikan yang mampu
menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan peserta didik
secara paripurna. Melalui upaya ini diharapkan agar pendidikan
yang ditawarkan mampu berapresiasi terhadap dinamika peradaban
modern secara adaptik dan proporsional, tanpa harus melepaskan
nilai-nilai Ilahiyah sebagai nilai warna dan nilai control.
Muzayyin Arifin menyatakan bahwa filsafat pendidikan Islam
adalah konsep yang berfikir tentang pendidikan yang bersumber atau
belandaskan pada ajaran agama Islam tentang hakikat kemampuan
manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing
menjadi manusia Muslim yang seluruh kepribadiaannya dijiwai oleh
ajaran Islam.25 Sedangkan Munir Mulkhan menjelaskan bahwa filsafat
pendidikan Islam adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang
dilakukan secara kritis, redikal, sistematis dan metodologis untuk
memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pendidikan Islam.26
Senada dengfan itu menurut Toto Suharto filsafat pendidikan Islam
adalah kajian filosofis mengenai berbagai masalah pendidikan yang
berlandaskan ajaran Islam, baik secara sistematis, tematik, redikal,
dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti atau hakikat
pendidikan Islam.27
Dari teori di atas dapat dipahami bahwa filsafat pendidikan
Islam adalah sebauh upaya merekontruksi pemikiran rasional,
dalam praktik pendidikan Islam baik secara inidividu maupun pada
institusinya secara sistematis yang dijiwai ajaran Islam, dengan
mencari aspek ontologis, epistimologi serta aksiologi pendidikan
Islam.

25 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1987, h. ix


26 Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim; Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan
Dakwah, Yogyakarta, SIPRES, 1993, h. 74.
27 Toto Suharto, Filsdafat Pendidikan Islam, Yogyakarta, Media Ar-Ruzz, 2006, h. 50

21
Dr. Samsul Bahri, MA.

C. Urgensi, Tujuan dan Fungsi Mempelajarinya


Secara umum ada empat urgensi mempelajari filsafat
pendidikan yaitu: (1) membantu para pendidik menjadi paham
akan persoalan-persoalan pendidikan. (2) Memungkinkan para
pendidik untuk dapat mengevaluasi secara lebih baik mengenai
berbagai tawaran yang merupakan solusi bagi persoalan-
persoalan tersebut. (3) membekali para pendidik berfikir
klarifikatif tentang tujuan-tujuan hidup dan pendidikan. (4)
memberi bimbingan dalam mengembankan suatu sudut pandang
yang konsisten secara internal dan dalam mengembangka suatu
program pendidikan yang berhubungan secara realistic dengan
konteks global yang lebih luas.28
Dalam mempelajari filsafat pendidikan Islam diharapkan
mempunyai tujuan yang akan dicapai setelah mempelajarinya.
Tujuan filsafat pendidikan Islam antara lain:29
• Untuk membangun kebiasaan berfikir ilmiah, dinamis, dan
kreatif serta kritis terhadap persoalan-persoalan seputar
pendidikan Islam.
• Untuk Memberikan dasar berfikir inklusif terhadap ajaran
Islam dan akomodatif terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan yang dikembangkan oleh intelektual di luar
Islam.
• Untuk menumbuhkan semangat berijtihad, sebagaimana
yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para kaum intelektual
muslim abad pertama sampai abad pertengahan, terutama
dalam merekontruksi system pendidikan Islam yang lebih
baik.
• Untuk memberikan konstibusi pemikiran bagi pengembangan
system pendidikan di Indonesia.
28 Toto Suharto, Filsdafat Pendidikan Islam, h. 50.
29 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Gaya Media
Pratama, 2001, h 7.

22
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

• Dengan mempelajarinya Pemikiran pendidikan Islam


diharapkan berguna sebagai bahan masukan bagi
merekonstruksi pola atau model pendidikan yang lebih
adaptik dan integral dengan nuansa Islam terutama bagi
pengembangan system pendidikan nasional, serta ikut
memperkaya khazanah perkembangan ilmu pengetahuan.
Al-Syaibany menjelaskan bahwa tujuan mempelajari
pemikiran pendidikan Islam adalah:30
• Dapat membantu para perencana dan pelaksana pendidikan
untuk membetuk suatu pemikiran yang sehat tentang
pendidikan.
• Pemikiran pendidikan Islam merupakan asas bagi upaya
menentukan berbagai kebijakan pendidikan.
• Dapat dijadikan asas bagi upaya menilai keberhasilan
pendidikan.
• Dapat dijadikan sandaran intelektual bagi mereka yang
berkecimpung dalam dunia praksis pendidikan.
• Dapat dijadikan dasar bagi upaya pemberian pemikiran
pendidikan dalam hubungannya dengan masalah spiritual,
kebudayaan, sosial, ekonomi dan politik.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa inti dari pemikiran
pendidikan Islam merupakan pedoman dan pegangan yang dapat
dijadikan landasan filosofis bagi pelaksanaan pendidikan Islam
dalam rangka menghasilkan generasi baru yang berkpribadian
muslim.31 Yang mampu mereformulasikan system pendidikan
Islam, sehingga membawa hasil yang lebih baik,dan merumuskan
paradigma baru, pendidikan yang sesuai dengan arus globalisasi
dan tuntutan zaman.

30 Omar Mohammad Al-Toumy al-Syabany, Falsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan


Bintang , 1979,h. 33-36.
31 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,Bandung, al-Ma-arif, 1989, h. 30

23
Dr. Samsul Bahri, MA.

Adapun fungsi mempelajari filsafat pendidikan Islam


adalah mengarahkan dan memberikan landasan pemikiran yang
sistematik, mendalam, logis, universal, dan redikal terhadap
berbagai persoalan yang dialami pendidikan Islam. Karena itu,
persoalan-persoalan itu diselesaikan secara filosofis, maka solusi
itu bersifat komprehensif, tidak parsial.32 Untuk melakukan
fungsi tersebut, maka harus menentukan sebuah tujuan
pendidika, melakukan studi kritis terhadap teori-teori pendidikan
dan teori-teori lainnya yang memiliki signifikansi pengaruh
terhadap pemikiran pendidikan, melakukan studi
kritis terhadap berbagai persoalan pendidikan khususnya
pendidikan Islam.

D. Metode Filsafat Pendidikan Islam


Metode filsafat pendidikan Islam merupakan bagian dari
epistimologi pendidikan Islam yang menurut Mujamil Qomar ada
empat metode epistimologi pendidikan Islam yang diterapkan
yaitu:33
1. Metode Rasional (Manhaj ‘Aqli)
Metode rasional adalah metode yang dipakai untuk
memperoleh pengetahuan dengan menggunakan pertimbangan-
pertimbangan atau kriteria-kriteria kebenaran yang bisa diterima
rasio. Menurut metode ini sesuatu yang dianggap benar apabila
diterima oleh akal, seperti sepuluh lebih banyak dari lima.
Metode ini secara empiris dalam melihat pendidikan Islam
di klaim adalah mengadopsi system pendidikan Barat yang
diperkuat dengan ayat-ayat al- Qur’an dan hadis Nabi. bahkan
seluruh komponen pendidikannya memakai acuan ilmuwan Barat
yang tidak berangkat dari wahyu. Sedangkan teori-teori yang

32 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta, Ar-Ruzz, 2006, h. 53.


33 Mujami Qomar, Epistimologi Pendidikan Islam; dari Metode Rasional hingga Metode Kritis,
Jakarta, Erlangga, 2005, h. 271-350.

24
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

diformulasikan oleh ilmuwan-ilmuwan Islam justru tidak banyak


dipakai sebagai landasan dalam membahas masing-masing
disiplin ilmu. Bahkan yang paling berbahaya secara intelektual
adalah bahwa teori-teori dari Barat telah dianggap baku dan
sakral karena tidak pernah digugat.
Melalui metode rasional teori-teori pendidikan yang
dianggap telah baku pun harus dicermati kembali, apakah masih
layak dipertahankan atau ditentang dengan argumentasi yang
lebih mapan, logis, dan lebih diterima akal sehat. Teori-teori
pendidikan Islam yang dirumuskan para intelektual muslim
zaman dahulu juga menjadi sasaran pencermatan kembali dengan
menggunakan metode rasional. Oleh karena itu mestinya metode
rasional ini telah lama menjadi pengangan filosof pendidikan
Islam dalam merumuskan teori-teori tentang pendidikan Islam.
Namun, dalam kenyataannya belum banyak ahli pendidikan
Islam yang memanfaatkan metode rasional tersebut secara
optimal dalam mambangun ilmu pendidikan Islam.
2. Metode Komparatif (manhaj muqaran)
Metode komparatif adalah metode memperoleh
pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan pendidikan Islam)
dengan cara membandingkan teori maupun praktek pendidikan,
baik sesama pendidikan Islam maupun pendidikan lainnya.
Metode ini ditempuh untuk mencari keunggulan-keunggulan
maupun memadukan pengertian atau pemahaman, supaya
didapatkan ketegasan maksud dari permasalahan pendidikan.
3. Metode dilogis (manhaj jadali)
Metode dialogis adalah metode yang disajikan dalam
bentuk dialog atau percakapan antara dua orang ahli atau lebih
berdasarkan argumentasi- argumentasi yang bisa dipertanggung
jawabkan secara ilmiah.

25
Dr. Samsul Bahri, MA.

4. Metode kritis (manhaj naqli)


Metode kritik di sini yang dimaksudkan sebgai usaha
menggali pengetahuan tentang pendidikan Islam dengan cara
mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep atau aplikasi
pendidikan, kemudian menawarkan solusi sebagai altrenatif
pemecahannya. Dengan demikian dasar atau motif timbulmnya
kritik bukan karena adanya kebencian, melainkan kelemahan
yang harus diluruskan.

E. Tipologi Filsafat Pendidikan Islam


Dalam dunia pemikiran atau filsafat pendidikan Islam ada
lima tipologi filsafat pendidikan Islam, yang bisa dijadikan sebagai
epistimologi yaitu34 :
1. Perenial-esensialis salafi versi yang berupaya menonjolkan
wawasan kependidikan Islam era salaf, sehingga
pendidikan Islam berfungsi sabagai upaya melestarikan
dan mempertahankan nilai-nilai (Ilahiyah dan insaniyah),
kebiasaan dan tradisi masyarakat salaf (era kenabian dan
sahabat), karena mereka dipandang sebagai masyarakat
yang ideal. Model ini menyajikan secara manqul, yakni
memahami atau menafsirkan nash-nash tentang pendidikan
dengan nash yang lain atau dengan pendapat sahabat, serta
dengan tekstual yang berdasarkan kaidah-kaidah bahasa
Arab. Untuk selanjutnya berusaha mempertahankan dan
melestarikan nilai-nilai dan praktik pendidikan tersebut
hingga sekarang. Parameternya ingin kembali ke masyarakat
salaf yang dianggap ideal, yang dipahami secara tekstual.
2. Perenialis-esensialis mazhabi lebih menonjolkan wawasan
kependidikan Islam yang tradisional dan berkecenderungan
untuk mengikuti aliran, pemahaman, atau doktrin, serta

34 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, h.


61-62.

26
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relatif


mapan. Pendidikan Islam berfungsi untuk melestarikan dan
mempertahankan serta mengembangkan melalui upaya-
upaya pemberian syarh dan hasyiyah, serta kurang keberanian
untuk mengubah substansi materi pemikiran pendahulunya.
Dengan kata lain, pendidikan Islam lebih berfungsi sebagai
upaya mempertahankan dan mewariskan nilai, tradisi dan
budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa
mempertimbangkan relevansinya dengan konteks sekarang.
3. Modernis versi yang menonjolkan wawasan pendidikan
Islam yang bebas modifikasi, progresif dan dinamis dalam
menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan dari
lingkungannya, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai
upaya melakukan rekonstruksi pengalaman yang terus
menerus, agar dapat berbuat sesuai dengan tuntutan zaman.
4. Perenialis-esensialis kontekstual-falsifikatif mengambil jalan
tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan
kontekstualisasi serta uji falsifikatif dan mengembangkan
wawasan kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan
tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta perubahan sosial yang ada. Fungsi pendidikan Islam
adalah sebagai upaya mempertahankan dan melestarikan
nilai-nilai (Ilahiyah dan insaniyah), dan sekaligus
menumbuhkembangkan dalam konteks ilmu pengetahuan
dan teknologi serta perubahan sosial yang ada.
5. Rekonstruksional Sosial lebih menonjolkan sikap pro aktif
dan antisipatinya, sehingga tugas pendidikan adalah
membantu agar peserta didik menjadi cakap dan kreatif serta
bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya.
Maka fungsi pendidikan dalam tipologi ini adalah sebagai
upaya menumbuhkan kreativitas peserta didik, memperkaya

27
Dr. Samsul Bahri, MA.

khazanah budaya manusia, dan isi nilai-nilai insani dan Ilahi,


serta menyiapkan tenaga kerja produktif.
Dari kelima tipologi tersebut di atas, dapat ditegaskan
bahwa pada masing- masing tipologi terdapat titik temu dalam
aspek rujukan utama mereka kepada fakta-fakta informasi,
pengetahuan, serta ide-ide dan nilai-nilai esensial yang tertuang
dan terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Perbedaan dari
masing- masing tipologi tersebut terletak pada tekanan dalam
pengembangan wawasan kependidikan Islam dari rujukan utama
tersebut.
Kelima tipologi di atas, dapat dipakai sebagai alat untuk
memahami model- model pengembangan fiklsafat penedidikan
Islam mereka melalui telaah terhadap karya-karya ilmiah atau
buku-buku mereka tersebut, sehingga dapat dijelaskan tipologi
manakah yang lebih menonjol dalam pengembangan pemikiran
pendidikan Islam, untuk selanjutnya dicarikan solusi alternatif
mengenai tipologi yang ideal untuk dikembangkan di Indonesia.
Keterangan: Tipologi tersebut dikonseptualisasikan oleh
Muhaimin dari hasil kajian terhadap aliran-aliran filsafat pendidikan
pada umumnya, serta mencermati pola- pola pemikiran Islam yang
berkembang dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman
serta era modernis, dan kajian kritis terhadap corak pemikiran
pendidikan Islam yang berkembang pada umumnya sebagaimana
terkandung dalam karya para ulama dan cendikiawan muslim
dalam bidang pendidikan Islam.

28
BAB III
EPISITMOLOGI SISTEM
PENDIDIKAN ISLAMI

A. Pengantar
Pada bab ini, dikemukakan konsep sejumlah kata kunci yang
tertera dalam kajian ini yaitu sistem dan pendidikan Islami. Menurut
Irwan Abdullah pendefinisian kata kunci sangat urgen dilakukan,
karena dapat memberikan makna dalam memahami, menafsirkan,
menganalisis dan menjelaskan fakta yang sedang diteliti.35
Pendefinisian kata kunci juga mempunyai fungsi menghindari
terjadinya perbedaan pengertian terhadap kata kunci antara peneliti
dan pembaca.36
Dalam bab ini menjelaskan tentang kerangka teori yang
digunakan dalam penelitian ini, untuk menganalisis data dan
temuan penelitian, sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam
menjabarkan masalah penelitian dari berbagai unsur yang perlu
digali datanya. Untuk itu, yang menjadi fokus pembahasan yakni
teori sistem pendidikan Islami, yang terdiri dari tujuan, program
pendidikan, proses pendidikan, serta evaluasi.

35 Irwan Abdullah, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana


Universitas Gadjah Mada Media, 2007), hlm. 2-3. Lihat Ali Anwar, Pembaharuan Pendidikan
di Pesantren Lirboyo Kediri, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 15.
36 Suharismi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 20030, hlm. 15.

29
Dr. Samsul Bahri, MA.

B. Sistem Pendidikan Islami


1. Sistem
Sistem dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perangkat
unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu
totalitas: (1) pencernaan makanan, pernapasan, dan peredaran darah,
tubuh; telekomunikasi; (2) susunan yang teratur dari pandangan,
teori, asas, pemerintahan negara (demokrasi, totaliter, parlementer),
(3) metode pendidikan (klasikal, individual, dan sebagainya); bekerja
dangan yang baik, dan pola permainan kesebelasan itu banyak
mengalami perubahan.37
Pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa sistem adalah
merupakan himpunan komponen atau bagian yang saling berkaitan
yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.
2. Pendidikan Islami
Diskursus pengertian pendidikan Islam oleh para ahli sangat
bervariasi, namun secara umum konsep pendidikan Islam mengacu
kepada makna dan asal kata yang membentuknya yakni pendidikan
dan hubungannya dengan Islam.
Secara leksikal, kata pendidikan berasal dari kata “didik” yang
diberi prefiks “pen” dan sufiks “an”, yang dimaknai sebagai proses,
perbuatan, dan cara mendidik.38 Dalam konteks ini, akan dijelaskan
secara umum sejumlah istilah yang umum dikenal dan digunakan
para pakar dalam dunia pendidikan Islam. Ada tiga istilah yang
umum digunakan dalam pendidikan Islam yakni, ta’lim, tarbiyah

37 Menurut istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “sistema” yang artinya suatu keseluruhan
yang tersusun dari banyak bagian (whole compounded of several parts). Di antara bagian-
bagian itu terdapat hubungan yang berlangsung secara teratur. Lihat Tatang Amirin,
Pengantar Sistem (Jakarta: Rajawali Press, 1999), hlm. 11. Definisi sistem yang lain
dikemukakan Anas Sudjana adalah sistem adalah suatu kebulatan/keseluruhan yang
kompleks atau terorganisir; suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian
yang membentuk suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks. Anas Sudjana, Pengantar
Administrasi Pendidikan Sebagai suatu Sistem (Bandung: Rosda Karya, 1997), hlm. 21-26
38 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1997), hlm. 232

30
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

dan ta’dib. Ketiga istilah tersebut, mempunyai pengertian tersendiri


dalam pendidikan Islam.
a. Konsep Tarbiyah
Penggunaan konsep tarbiyah berasal dari kata rabb, yang
menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat,
mengatur, dan menjaga kelestarian atau ekstensinya.39 Dalam
penjelasan lain, kata tarbiyah berasal dari tiga kata yaitu: Pertama,
rabba-yarbu yang berarti bertambah, tumbuh, dan berkembang.
Kedua, rabiyah berarti menjadi besar. Ketiga, rabba yarubbu, berarti
memperbaiki, menguasai urusan, menuntun dan memelihara.40 Hal
ini dirujuk firman Allah:

‫ان‬ َ َّ َ َ َ َ ُ ْ َ ْ ّ ‫حةِ َوقُ ْل َر‬ َّ ‫اذل ّل م َِن‬


َ ْ ‫الر‬ ُّ َ َ َ َ ُ َ ْ ْ َ
ِ ‫ب ارحهما كما ربي‬ ِ ِ ‫واخ ِفض لهما جناح‬
ً ِ‫َصغ‬
‫ريا‬
Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah
mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku
waktu kecil" (QS. Al-Isra: 24).41
Kata rabb yang terdapat dalam ayat di atas, telah disempitkan
maknanya pada pengertian masa kanak-kanak dan kewajiban
orang-orang dewasa kepada anak-anak saja. Pendapat ini, tentu
saja dianut oleh mereka yang tidak setuju menyepadankan istilah
tarbiyah dengan pendidikan. Tetapi di sisi lain, ayat ini dijadikan
legitimasi bagi Atiyah al-Abrasyi dalam penyepadan istilah tarbiyah

39 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta:
Ciputat Press, 2002), hlm. 26
40 Abddurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: CV.
Diponegoro, 1992), hlm. 31
41 Ayat di atas, menjelaskan kewajiban seorang anak untuk mendoakan orang tua, sambil
mengingat jasa-jasa mereka, lebih-lebih waktu sang anak masih kecil dan tidak berdaya.
Kini kalau orang tua pun telah mencapai usia lanjut dan tidak berdaya, maka sang anak pun
berkewajiban untuk memperhatikannya. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mis{bah, Pesan, Kesan,
dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 453-457.

31
Dr. Samsul Bahri, MA.

dengan pendidikan Islam.42 Pada mulanya tarbiyah digunakan dalam


arti mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu setahap demi
setahap sampai pada batas yang sempurna.43
Sehubungan dengan itu, Al-Maududi juga menggunakan
istilah tarbiyah yang berarti pengasuhan, kekuasaan, perlengkap-
an, pertanggungjawaban, perbaikan, penyempurnaan, kebesaran,
keagungan dan kepemimpinan.44 Sejalan dengan itu, Najib Khalid al-
Amir memberikan pengertian bahwa tarbiyah adalah memperbaiki
sesuatu dan meluruskan atau menyampaikan sesuatu sampai menuju
titik kesempurnaan sedikit demi sedikit.45 Untuk itu, M. Quraish
Shihab mengatakan bahwa kata tarbiyah memiliki arti yang berbeda-
beda, namun pada akhirnya mengacu pada arti pengembangan,
peningkatan, ketinggian, kelebihan serta perbaikan.46
Menurut Najib Khalid al-Amir ada lima sisi dari pengertian
tarbiyah47 yang secara berkesinambungan satu sama lainnya berbeda
sesuai dengan pembentukannya. Hanya saja menurut beliau asas

42 Atiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha, cet. III, (Mesir, Isa al-Baby al-halaby
tt), hlm. 22.
43 Dengan menyetir pendapat pakar, yang antara lain mengungkapkan pendapat Fuad ‘Abd
al-Baqy dalam bukunya, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh al-Qur’anul Karim, bahwa di dalam
al-Qur’an kata tarbiyah dengan berbagai kata yang serumpun dengannya dan diulang
sebanyak lebih dari 872 kali. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), Cet III, hlm. 6.
44 Al-Maududi memberikan penjelasan bahwa tarbiyah tidak hanya dibatasi dalam makna
memelihara dan membimbing, tetapi lebih luas terutama yakni: (1) memelihara dan
menjamin atau memenuhi kebutuhan yang terpelihara, (2) membimbing dan mengawasi
serta memperbaikinya dalam segala hal, (3) pemimpin yang menjadi penggerak utamanya
secara keseluruhan, (4) pemimpin yang diakui kekuasaanya. Abu al-A’la al-Maududi,
Manhaj al-Islamiah al-Jadid li al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, (Damsyik: al-Maktabah al-Islami, 1985),
hlm. 26-27.
45 Najib Khalid al-Amir, Tarbiyah Rasulullah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992), hlm. 82.
46 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Quranul Karim, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 21-22.
47 (1) Tarbiyah adalah menyampaikan sesuatu untuk mencapai kesempurnaan bentuk
penyampaian satu dengan yang lain berbeda, sesuai cara pembentukannya. (2) Tarbiyah
adalah menentukan tujuan melalui persiapan sesuai dengan batas kemampuan untuk
mencapai kesempurnaan. (3) Tarbiyah adalah sesuatu yang dilakukan secara bertahap
dan sedikit demi sedikit oleh seorang pendidik (murabbi). (4) Tarbiyah dilakukan secara
berkesinambungan. Artinya bertahap sejalan dengan kehidupan. (5)Tarbiyah adalah
tujuan terpenting dalam kehidupan baik secara individu maupun secara keseluruhan.

32
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

yang paling hakiki dari sebuah tarbiyah adalah mencapai keridhaan


Allah,48 sebagaimana firman Allah:
َ ُ َ َّ ُ َ َّ ُ ُّ َ َ ْ ُ ْ َ َ َ ْ ُ َّ ُ َ ْ ُ ْ َ َ َ َ َ َ
‫ش أن يؤتِيه الل الكِتاب والكم وانلبوة ثم يقول‬ ٍ ‫ما كن ل ِب‬
ْ ُ ُ َ
َ ‫اللِ َولٰك ْن كونُوا َر َّبان ِّي‬
َّ ُ ْ ً َ ُ ُ
‫ني ب ِ َما كن ُت ْم‬ِ ِ ‫ون‬
ِ ‫د‬ ‫ِن‬
‫م‬ ‫ل‬ ِ ‫ا‬ ‫اد‬ ‫اس كونوا عِب‬ ِ ‫ل َِّلن‬
َ َ ُْ
‫اب َوب ِ َما كن ُت ْم ت ْد ُر ُسون‬َ ‫ون الْك َِت‬
َ َُُّ
‫تعل ِم‬
Artinya: Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan
kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada
manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku
bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah
kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan
Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (Q.S. Ali Imran:
79).
Pengertian tarbiyah dapat mencakup istilah yang sering
disepadankan dengan kata-kata pendidikan, seperti: tahzib, ta’dib
ta’lim, siyasa, mawa’iz, ta’awwud, dan tadrib.49 Untuk itu, Maksum
menjelaskan bahwa dalam khazana pendidikan Islam terdapat
sejumlah istilah yang merujuk langsung pada pengertian pendidikan
dan pengajaran seperti tarbiyah, ta’dib, ta’lim, tabyin’, dan tadris.50
Walaupun begitu, istilah yang paling populer dipakai untuk
pendidikan adalah tarbiyah.
Dalam konteks pendidikan Islam, para penulis kontemporer
dari kalangan muslim Arab kebanyakan memakai istilah tarbiyah
untuk pengertian pendidikan. Bahkan tidak sedikit buku yang
dikarang untuk menjelaskan teori-teori pendidikan Islam dengan
menggunakan istilah al-Tarbiyah al-Islamiyah. Penggunaan tarbiyah
untuk kegiatan pendidikan telah begitu luas gaungnya dan ini
48 Najib Khalid al-Amir, Tarbiyah Rasulullah, hlm. 22-23.
49 Abuddin Nata, Konsep Pendidikan Ibnu Sina, Disertasi, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1997), hlm. 24.
50 Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembanganya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm.
11.

33
Dr. Samsul Bahri, MA.

menunjukkan pengaruh kata tersebut sangat dominan bila dibanding


dengan berbagai istilah lainnya. Seperti kementerian di beberapa
negara Arab, yang mengurusi bidang pendidikan disebut Wizarat al-
Tarbiyah.
Dalam konteks Indonesia, salah satu fakultas di IAIN yang
menyiapkan guru-guru agama Islam juga dinamakan Fakultas
Tarbiyah.51 Begitu juga halnya dengan STAIN yang menggunakan
istilah tarbiyah tetap untuk nama salah satu jurusannya, bahkan, di
UIN, istilah tarbiyah tetap dipakai dengan penambahan keguruan
untuk menamai salah satu fakultasnya.
Pendapat lain, juga dijelaskan Sayyid Quthub, bahwa
tarbiyah adalah upaya pemeliharaan jasmaniah peserta didik dan
membantunya menumbuhkan kematangan sikap mental sebagai
pancaran akhlaq al-karimah pada diri peserta didik.52 Sehubungan
dengan itu, Ahmad Tafsir juga memberikan pengertian bahwa
tarbiyah mengandung arti memelihara, membesarkan dan mendidik
yang di dalamnya sudah termasuk makna mengajar allama.53 Yusuf
Amir Faisal menyatakan, pendidikan Islam secara etimologi, dengan
menggunakan kata tarbiyah yang masing-masing berasal dari kata
rabba, yang berarti memelihara, membesarkan, dan mendidik serta
sekaligus mengandung makna mengajar.54
Pendapat di atas dapat dipahami bahwa makna tarbiyah,
sangat luas cakupannya meliputi semua aspek pendidikan, yaitu
aspek kognitif, afektif, dan psikomotori, baik dari aspek jasmani
maupun aspek rohani, secara harmonis dan integral. Sehingga
secara esensial tarbiyah mengandung makna yaitu proses aktualisasi
sesuatu yang dilakukan secara bertahap dan terencana, sampai

51 Maksum, Madrasah:Sejarah dan Perkembanganya, hlm. 12.


52 Sayyid Quthub, Tafsir Dhilal al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ahya, tt, Juz XV), hlm. 15.
53 Ahmad Tafsir, Metodik Khusus Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hlm.
109.
54 Yusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995, Cet I), hlm.
94.

34
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

pada batas kesempurnaan (kedewasaan). Tarbiyah mempunyai


arti bermacam-macam dalam penggunaannya dan dapat menjadi
makna pendidikan, pemeliharaan, perbaikan, peningkatan dan
pengembangan, serta perciptaan keagungan yang kesemuanya ini
menuju pada kesempurnaan sesuai dengan kedudukannya.
Nuansa penekanan istilah tarbiyah dalam pendidikan Islam
merupakan upaya aktualisasi. Hal ini disebabkan, bahwa manusia
lahir telah membawa seperangkat potensi yang hanif. Potensi yang
meliputi potensi beragama, intelektual, sosial dan lain sebagainya.55
Karena itu, kata tarbiyah mengandung cukup banyak makna yang
berorientasi kepada peningkatan, perbaikan dan penyempurnaan
serta mempunyai sasaran pada perbaikan kemaslahatan ummat.
b. Konsep Ta’lim
Konsep ta’lim secara etimologi berkonotasi pengajaran yaitu
semacam proses transfer ilmu pengetahuan.56 Proses ta’lim cenderung
dipahami sebagai proses bimbingan yang menitikberatkan pada
aspek peningkatan intelektual, dan telah digunakan sejak periode
awal pelaksanaan pendidikan Islam.57
Menurut para ahli, kata ta’lim lebih bersifat universal
dibanding dengan tarbiyah maupun ta’dib. Rasyid Ridha, misalnya
mengartikan ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu
pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan
tertentu.58 Argumentasinya didasarkan dengan merujuk pada ayat
ini:

55 Q.S. ar-Ruum: 30.


َّ ْ َ ِ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َّ َ َ َ َّ َّ َ َ ْ ً َ َ ْ َ ْ ََ
ۚ ِ‫لل ِق الل‬ ‫ِين حن ِيفا ۚ ف ِطرت اللِ ال ِت فطر انلاس عليها ۚ ل تبدِيل‬
ِ ‫ج َهك ل ِّدل‬‫فأق ِم و‬
َ َُْ َ َ َّ َ َ ْ َ َّ ٰ َ َ ُ ّ َ ْ ُ ّ َ ٰ َ
‫اس ل يعلمون‬ ِ ‫ذل ِك ادلِين القيِم ولكِن أكث انل‬

56 Jalaluddin, Teologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hlm.121.


57 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, hlm. 27
58 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur’an al-Hikam; Tafsir al-Manar, Juz VII, (Beirut: Dar al-
Fikr, tt), hlm. 262.

35
Dr. Samsul Bahri, MA.

ُ ّ ُ َ ُْ ُ ْ ً ُ ْ َ َ
‫ك َما أ ْر َسل َنا فِيك ْم َر ُسول مِنك ْم َيتلو َعليْك ْم آيَات َِنا َو ُي َزك ِيك ْم‬
َ َ َ ُ ُ َ َ ُ ّ َ ْ ْ َ ‫ك ُم الْك َِت‬ُ ََُُّ
‫اب َوال ِك َمة َو ُي َعل ُِمك ْم َما ل ْم تكونوا ت ْعل ُمون‬ ‫ويعل ِم‬
Artinya: Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami
kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu
yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan
kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. ( QS.Al-
Baqarah: 2:151)

ِْ ‫ ويع ِّلمكُم ا ْلكِتَاب و‬dalam ayat ini, menjelaskan


Kalimat ‫الك َْم َة‬ َ َ ُ ُ ََُ
tentang aktivitas Rasulullah mengajarkan tilawa al-Qur’an kepada
kaum muslimin. Menurut Abdul Fattah Jalal yang menjelaskan
bahwa ta’lim secara implisit juga menanamkan aspek afektif, karena
pengertian ta’lim sangat ditekankan pada prilaku yang baik (akhlaq
al-karimah).59 Rujukan yang dijadikan landasan adalah firman Allah
SWT:
َ َ َ ً ُ َ َ َْ َ ً َ َّ َ َ َ َّ ُ
‫ورا َوق َّد َرهُ َم َنازِل لِ َ ْعل ُموا‬ ‫ضياء والقمر ن‬ ِ ‫ه َو الِي جعل الش ْم َس‬
ْ ُ ّ َ ّ َْ َّ َ َ ُ َّ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ ّ َ َ َ
ِ َ‫ال ِق ۚ ُيف ِصل الي‬
‫ات‬ ِ ‫السنِني وال ِساب ۚ ما خلق الل ذٰل ِك إِل ب‬
ِ ‫عدد‬
َ َ َ
‫ل ِق ْو ٍم َي ْعل ُمون‬
Artinya: Dia lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya. Dan ditetapkannya manzilah-manzilah (tempat-tempat)
bagi perjalanan bulan itu, supaya kalian mengetahui bilangan tahun
dan perhitungan waktu. Allah tidak menciptakan yang sedemikian
itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-
Nya) kepada orang-orang yang mengetahuinya. (Q.S.Yunus:5)
Menurut ayat di atas, bahwa berpancaran ilmu-ilmu lain bagi
keselamatan manusia sendiri, tanpa terlepas pada nilai Ilahiah.
59 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), hlm. 86.

36
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Semua itu, dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Untuk


sampai pada tujuan ini, ­ta’lim merupakan suatu proses yang terus
menerus, yang diusahakannya semenjak manusia lahir (QS. 16:78)
sampai manusia tua renta atau bahkan meninggal dunia (QS.22:5).
Abdul Fatta Jalal menempatkan istilah ta’lim kepada pengertian
pendidikan, karena cakupannya yang luas, dibanding dengan
istilah lain yang sering dipergunakannya. Karena itu, ta’lim tidak
hanya terbatas pada pengetahuan teoritis, mengulang secara lisan,
pengatahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan,
perintah untuk melaksanakan pengetahuan dan pedoman untuk
berprilaku.60 Senada dengan itu, Ibnu Mansur dalam bukunya,
Lisan al-‘Arab Juz 9, bahwa ta’lim itu adalah pengajaran yang bersifat
pemberian atau penyampaian, pengertian, pengetahuan, serta
keterampilan.61 Penunjukkan kata ta’lim sesuai dengan firman Allah:

‫ون‬ ُ ‫كةِ َف َق َال َأنْب‬


‫ئ‬
َ َ َ ْ َ َ ْ ُ َ َ َ َّ ُ َ َّ ُ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َّ َ َ
ِ ِ ِ ‫وعلم آدم السماء كها ثم عرضهم ع الملئ‬
َ‫بأَ ْس َماءِ َهٰ ُؤ َلءِ إ ْن ُكنْ ُت ْم َصادِقِني‬
ِ ِ
Artinya: Dan Allah mengajarkan kepada Adam segala nama,
kemudian Allah berkata kepada malaikat: beritahukanlah kepada-
Ku nama-nama semua itu, jika kamu benar. (QS. al-Baqarah :31).
Bila dilihat dari batasan pengertian yang ditawarkan dari ayat
di atas, maka terlihat kata ta’lim mengandung makna terlalu sempit.
Pengertian ta’lim hanya sebatas proses pentransferan seperangkat
nilai antar manusia. Penekanannya hanya untuk menguasai nilai
transfer secara kognitif dan psikomotori, tanpa menuntut pada aspek
afektif. Hal ini diakui Mustafa Rahman bahwa ta’lim lebih condong
pada aspek pemberian informasi, dan menempatkan posisi peserta
didik secara pasif. Namun demikian, yang menjadi catatan dari hasil

60 Abdul Fattah Jalal, Azaz-Azaz Pendidikan Islam, Terj. Harry Noer Ali, (Bandung: CV.
Diponegoro, 1988), hlm. 29-30.
61 Ismail dkk, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 60.

37
Dr. Samsul Bahri, MA.

ta’lim tersebut adalah masih adanya batas-batas tertentu dalam usaha


manusia mengoptimalisasikan kemampuan akalnya. Singkatnya,
optimalisasi hasil ta’lim tidak boleh bertentangan dengan tatanan
moral kemanusiaan, maka disinilah ta’lim dihiasi dengan akhlak atau
adab.
c. Konsep Ta’dib
Muhammad Naquib al-Attas menilai bahwa penggunaan istilah
tarbiyah untuk menggambarkan pendidikan Islami agaknya terlalu
dipaksakan. Menurutnya, pengertian yang terkandung dalam istilah
tarbiyah tidaklah mewakili hakekat dan proses pendidikan Islam
secara penuh. Konsekuensinya, ia meyakini bahwa istilah itu tidak
tepat digunakan untuk menggambarkan pendidikan Islam.62 Karena
itu, konsep ta’dib menurut al-Attas, lebih mampu mewakili pengertian
pendidikan Islam dalam keseluruhan esensinya yang fundamental.
Hal ini diakui Maksum, istilah ta’dib ini, sudah mengandung arti ilmu
(pengetahuan), pengajaran (ta’lim), dan pengasuhan (tarbiyah).63
Muhammad Naquib al-Attas memberikan rujukan bahwa istilah
ta’dib secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kata addaba yang
berarti memberi adab, mendidik.64 Berangkat dari pemikiran tersebut,
al-Attas merumuskan definisi pendidikan adalah membentuk
manusia dalam menempatkan posisinya yang sesuai dengan
susunan masyarakat, bertingkah laku secara proporsional dan cocok
dengan ilmu serta teknologi yang dikuasainya.65 Sedangkan secara
terminologi al-Attas memberikan makna ta’dib dengan pendidikan
adalah meresapkan dan menanamkan adab pada diri manusia
(peserta didik).66 Dari sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud
62 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, terj. (Bandung: Mizan, 1990),
hlm. 65-74
63 Maksum, Madrasah:Sejarah dan Perkembanganya, hlm. 12.
64 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Peyelenggara, Penterjemah/
Pentapsir, Al-Qur’an, 1972), hlm. 37.
65 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, hlm. 110.
66 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. (Jakarta: Pustaka, 1981, Cet I),
hlm. 222.

38
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

dengan ta’dib adalah suatu upaya peresapan dan penanaman adab


pada diri manusia (peserta didik) dalam proses pendidikan.
Konsep di atas, menjelaskan bahwa pendidikan Islam lebih tepat
berorientasi pada ta’dib, yang menekankan pada penanaman adab
(ta’dib) pada diri manusia dan di dalam proses pendidikan terjadi
pengenalan atau penyadaran terhadap manusia akan posisinya
dalam tatanan kosmik. Sedangkan penekanan dari segi adab
dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh diamalkan secara baik dan
tidak disalah gunakan menurut kehendak bebas pemilik ilmu, sebab
ilmu tidak bebas nilai tetapi sarat nilai, yakni nilai-nilai Islami yang
mengharuskan pemiliknya untuk mengamalkan demi kepentingan
dan kemaslahatan umat manusia.67
Selanjutnya Adian Husaini dalam jurnal Ta’dibuna menjelaskan
bahwa istilah yang paling pas dalam pendidikan Islam adalah konsep
adab yakni orang yang dapat memahami dan meletakkan sesuatu
pada tempatnya, sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan
Allah SWT. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan Islam yaitu
ta’dib yakni membentuk manusia yang beradab (insan adaby),68 fakta
historisnya, menurut Adian Husaini kosa kata adab berasal dari
Islam, karena itu seyogiyanya istilah adab dipahami dalam world view
pendidikan Islam.69
Sejalan dengan itu, menurut KH. Didin Hafidhuddin bahwa
proses pendidikan harus mampu mengharmoniskan kedudukan
iman, ilmu, amal (saleh dan taqwa), yang terintegrasi pada meterinya
dengan berbasis jiwa agama.70 Sebagai bingkai dan landasannya
merujuk pada firman Allah:
67 Ruswan dan Darmuin (ed), Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer,
(Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Kerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1999),
hlm. 281.
68 Adian Husaini, “Makna Adab Dalam Perspektif Pendidikan Islam”, dalam Jurnal Pendidikan
Islam, Ta’dibuna, (Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor,:Vol 1/No.
1/ Juni 2011), hlm. 15-17
69 Adian Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkatakter dan Beradab, hlm. 62-63
70 Didin Hafidhuddin, “Konsep Pendidikan Karakter Berbasis Agama”, dalam Jurnal Pendidikan
Islam, Ta’dibuna, (Vol 1/No. 1/ Juni 2011), hlm. 21-24

39
Dr. Samsul Bahri, MA.

ْ ُ َ ْ ّ َّ ْ ْ ُ َ َّ َ ُ َ ُ ُ َ َ ُ َ ْ ُ َ ْ ُ َ َ ْ
‫الش َك لظل ٌم‬ ِ ‫شك بِاهللِ إِن‬ ِ ‫ِإَوذ قال لقمان الِبنِهِ وهو يعِظه يابن ال ت‬
ُ ُ ‫حلَتْ ُه أُ ُّم ُه َو ْه ًنا َع َو ْهن َوف َِص‬
‫ال‬
َ َ َ ِ‫اليْه‬ َ ِ ‫ان ب َو‬ َ َ ْ َ ْ َّ َ َ
‫س‬ ‫ن‬‫ااإل‬ ‫ن‬‫ي‬ ‫ص‬ ‫و‬ ‫و‬ 13 ٌ ‫َع ِظ‬
‫يم‬
ٍ ِ ِ
ۡ َ ٰٓ َ َ ٰ َ َ ۡ َ ْ‫المصي‬
ُ َ َّ َ َ َْ َ َ ْ ُ ْ َ َْ َ
‫ وا ِن جاهدك ع ان‬14 ِ ‫ي أ ِن اشكر ِل ول ِو ِاليك إِل‬ ِ ‫ِف عم‬
ۡ ُّ ُ َ َ ۡ َ َ َ ۡ ‫ت ُ ۡش َك‬
‫ادلن َيا‬ ‫ب َما ل ۡي َس لك بِهٖ عِل ٌم ۙ  فل ت ِط ۡع ُه َما‌ َو َصاح ِۡب ُه َما ِف‬ ِ ِ
ۡ ُ ُ ّ َ ُ َ ۡ ُ ُ َ َ ُ َ َ َ َ ۡ َ َ ۡ َ ۡ َّ َّ ًَُۡۡ
‫جعكم فانبِئكم ب ِ َما‬ ۡ َّ
ِ ‫معروف ۖا‌ واتبِع سبِيل من اناب ا َِّل ‌ۚ ثم ا َِّل مر‬
ُ َ َ َ َ َ ۡ ُ َ ۡ َّ َّ َ ُ ٰ َ ُ َ ُ
‫ن ا ِن َهاۤ ا ِن تك مِثقال َح َّب ٍة ّم ِۡن خ ۡرد ٍل ف َتك ۡن‬ ‫ يب‬15 ‫ك ۡن ُت ۡم ت ۡع َمل ۡون‬
ٌ َ َ ّٰ َّ ُ ۡ َۡ َ ٰ ٰ َّ َ ۡ َ ۡ
‫الل ل ِط ۡيف‬ ‫ت ب ِ َها اهلل ا ِن‬ ِ ‫ۡرض يَا‬ ِ ‫ت ا ۡو ِف ال‬ ِ ‫ف صخ َر ٍة ا ۡو ِف السمو‬ ِ
ۡ ‫اص‬ ۡ َ َ ُۡ ۡ َ َ ۡ َ ۡ ُ ۡ َ ۡ ُ َ َ َّ ۡ ۡ ٰ َ َّ َ ُ‫ يٰب‬16 ‫ي‬ ٌ ۡ ‫َخب‬
‫ب‬ ِ ‫ن اق ِ ِم الصلوة وامر بِالمعرو ِف وانه ع ِن المنك ِر و‬ ِ
َ ُ َ ُ ۡ َ ٰ َّ َ َ َٰ
‫اس‬ ِ ‫ َول ت َص ّ ِع ۡر خ َّد َك ل َِّلن‬17 ِۚ‫ع َما ا َصابَك ا ِن ذل ِك م ِۡن َع ۡز ِم ال ُم ۡو ‌ر‬
ُ َ َ ۡ ُ َّ ُ ُّ ُ َ َ ّٰ َّ ً َ َ َۡ َ َ
18 ۚ ‫ال فخ ۡو ٍر‬ ٍ ‫ت‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ِب‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫الل‬ ‫ِن‬ ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ح‬ ‫ر‬ ‫م‬ ‫ۡرض‬ ِ ‫ال‬ ‫َول ت ۡم ِش ِف‬
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya,
di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".14. dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-
bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah
yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.15. dan jika keduanya memaksamu
untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah
jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah
kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.16. (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada
(sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau
di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya

40
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

(membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha


mengetahui.17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan
yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah). 18. dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari
manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka
bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang sombong lagi membanggakan diri.19. dan sederhanalah
kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS. Luqman: 13-19).
Sebagai salah satu perwujudan konsep adab di atas, adalah
beradab terhadap Ilmu dan ulama. Hal ini Menurut Wan Mohd Nor
Wan Daud, dalam bukunya yang berjudul budaya Ilmu, menjelaskan
bahwa salah satu konsep pendidikan dalam Islam adalah bersifat
integral (kully), dan bukan parsial (juz’iy). Islam menolak spesialisasi
sempit yang membutakan ilmuwan dari khazana keilmuan bidang-
bidang lain, khususnya bidang-bidang ilmu fardu‘ain, sehingga
melahirkan manusia biadab baru.71
Terlepas dari batasan makna yang tepat, dari ketiga istilah di
atas, untuk mencerminkan pendidikan Islam yang hakiki, maka
ketiga istilah tersebut, dapat ditarik benang merah, bahwa tarbiyah,
merupakan upaya sadar akan pemeliharaan, pengembangan
seluruh potensi diri manusia, sesuai fitrahnya dan perlindungan
menyeluruh terhadap hak-hak kemanusiaannya. Muatan maknanya
lebih luas yang meliputi aspek jasmani, akal, daya kreasi dan sosial
kemasyarakatan manusia adalah aspek yang tak bisa dipisahkan
dalam proses pendidikan Islam.72 Sementara kata ta’lim mengesankan
proses pemberian ilmu pengetahuan dan penyadaran fitrah dan
tugas-tugas kemanusiaan yang harus diwujudkan seseorang dalam
71 Adian Husaini, et. al, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2013), hlm.
33.
72 Shalih Abd’Aziz dan Abd Majid, al-Tarbiyah wa Thuruq al-Tadris, (Mesir: Dar al-Ma’arif, tt),
hlm. 59.

41
Dr. Samsul Bahri, MA.

kehidupan nyata. Sedangkan ta’dib mengesankan proses pembinaan


kepribadian dan sikap moral (afektif) dan etika dalam kehidupan.
Ketiga kata tersebut pada dasarnya, mengacu kepada
pemeliharaan, perlindungan, dan pengembangan keseluruhan
potansi manusia. Namun demikian, penggunaan istilah tarbiyah
terlalu luas untuk mengungkap hakikat dan oprasionalisasi
pendidikan Islam.73 Sebab kata tarbiyah memiliki arti pengasuhan,
pemeliharaan, dan kasih sayang tidak hanya digunakan untuk
manusia. Tetapi digunakan untuk melatih dan memelihara binatang
atau makhluk Allah lainya. Karena itu, penggunaan istilah tarbiyah
tidak memiliki akar yang kuat dalam khazanah bahasa Arab.
Timbulnya istilah ini dalam dunia Islam merupakan terjemahan
dari bahasa Latin, educatio atau bahasa Inggris education. Kedua kata
tersebut dalam batasan pendidikan Barat lebih banyak menekankan
pada aspek fisik dan material. Sementara itu, pendidikan Islam
penekanannya tidak hanya aspek tersebut, tetapi juga pada psikis
dan immaterial.
Dengan demikian, istilah ta’dib merupakan istilah yang paling
tepat dalam khazanah bahasa Arab karena mengadung arti ilmu,
kearifan, keadilan, kebijaksanaan, pengajaran, dan pengasuhan
yang baik sehingga makna tarbiyah dan ta’lim sudah tercakum dalam
ta’dib. Tetapi, jika dikembalikan kepada asalnya baik tarbiyah, ta’lim,
maupun ta’dib merujuk kepada Allah.74 Meskipun demikian, terlepas
dari seberapa jauh probalistik argumen-argumen di atas, perbedaan
istilah tersebut tidaklah perlu diperdebatkan. Sebab sesungguhnya
ketiga istilah yang dikemukakan saling berkaitan satu dengan yang
lain, yang semuanya mengarah pada pencapaian tujuan pendidikan.
Istilah-istilah di atas, menyebabkan penggunaan arti dalam
pendidikan Islam yang digunakan para ahli sangat bervariasi, tetapi

73 H.M. Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (Jakarta: Yayasan Karsa Utama
Mandiri, 1998, Cet I), hlm. 4.
74 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.71.

42
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

semuanya mempunyai korelasi yang sama, yakni pendidikan adalah


proses mempersiapkan masa depan anak didik dalam mencapai
tujuan hidup secara efektif dan efesien.75 Atau meminjam istilah
Mocthar Buchori Pendidikan antisipatoris.76
Hasan Langgulung menilai bahwa pendidikan sebagai proses
merubah dan memindahkan nilai kebudayaan kepada setiap
individu dalam masyarakat, yang dilakukan melalui proses tertentu.77
Undang-undang No. 20 tahun 2003 merumuskan Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
A.M. Saefuddin menilai pendidikan adalah sebuah proses
perkembangan potensi peserta didik yang dimiliki secara maksimal
dan diwujudkan atau berguna untuk kehidupan manusia masa
mendatang.78 Suhubungan dengan itu, Suwito juga memberikan arti
bahwa pendidikan merupakan sarana pemberdayaan secara sadar
untuk menyiapkan peserta didik dalam kehidupan masyarakat baik
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.79 Dengan
kata lain, pendidikan sebagai sarana pemberdayaan individu dan
masyarakat guna menghadapi masa depan. Lain halnya dengan
Hasbullah yang menjelaskan bahwa pengertian pendidikan adalah
75 Dengan kata lain, bahwa pendidikan Islam harus berorientasi ke masa yang akan datang,
karena sesungguhnya anak didik masa kini adalah bangsa yang akan datang. Karena itu
tepatlah apa yang diaktakan Nabi yang artinya: “Didiklah anak-anak kamu. Sesungguhnya
mereka diciptakan untuk zaman mereka sendiri” Mucthar Buchori, Pendidikan Antisipatoris,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 25-45.
76 Mucthar Buchori, Pendidikan Antisipatoris, hlm. 25-45.
77 Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, Suatu Analisa Sosia-Psikologi, (Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1985, Cet III), hlm. 3.
78 A.M. Saefuddin, et al, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, (Bandung: Mizan, 1998,
Cet IV), hlm. 125.
79 Suwito, Pendidikan Yang Memberdayakan, hlm. 28.

43
Dr. Samsul Bahri, MA.

bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh


orang dewasa agar ia menjadi dewasa.80
Beberapa batasan yang ditawarkan di atas mengenai pendidikan,
dapatlah dikonklusikan bahwa pendidikan adalah suatu proses
belajar secara terus menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita
masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan suatu proses memberikan
sejumlah nilai untuk dapat mengembangkan potensi peserta didik
seoptimal mungkin agar dapat mengatasi segala tantangan masa
depan. Hanya saja cerminan di atas, terkesan dimensi terlalu umum.
Secara terminologi beberapa ahli telah mengajukan rumusan
konsep pendidikan Islam. Misalnya, Yusuf al-Qardhawi memberi
pengertian pendidikan Islam sebagai berikut pendidikan Islam
adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya, rohani dan
jasmaninya, dan akhlaknya serta keterampilan.81 Penjelasan tersebut,
memberikan pemahaman bahwa pendidikan Islam seharusnya
menyiapkan peserta didik untuk hidup, baik dalam menghadapi
masa depan.
Menurut Fadhil al-Jamaly pendidikan Islam, adalah upaya
mengembangkan dan mendorong serta mengajak manusia lebih
maju dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang
mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang
berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan.82 Lebih lanjut,
H.M. Chabib Thoha, menjelaskan pendidikan Islam sebagai proses
pemeliharaan dan penguatan sifat dan potensi insaniyah sehingga
dapat menumbuhkan kesadaran ilmiah atau kreatif dalam rangka
menegakkan kebenaran di muka bumi.83 Bahkan Ali al-Jumbulati
80 Dewasa di sini dimaksudkan adalah dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri secara
biologis, psikologis, paedagogis dan sosiologis. Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 1.
81 Yusuf al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj. (Jakarta: Bulan
Bintang, 1980), hlm. 39
82 Muhammad Fadhil al-Jamaly, Filsafat Pendidikan dalam al-Qur’an, terj. (Jakarta: Pepara, 1986),
hlm. 3.
83 Ismail SM, Abdul Mukti,(ed), Pendidikan Islam Demokratisasi dan Masyarakat Madani,

44
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

dan Abdul Futuh at-Tuwanisi mengatakan bahwa pendidikan


Islam merupakan upaya membimbing peserta didik menjadi orang
dewasa yang berkepribadian cemerlang dan bijaksana, dapat berfikir
kreatif, serta sanggup berdiri sendiri dengan dihiasi ajaran Islam.84
Zarkowi Soejoeti juga memberikan pengertian bahwa pendidikan
Islam adalah pendirian dan penyelenggaraan yang didorong oleh
hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejewantahkan nilai-nilai
Islam yang tercermin dalam lembaganya maupun dalam kegiatan-
kegiatan yang diselenggarakan.85 Dalam konteks ini, kata Islam
ditempatkan sebagai sumber nilai yang diwujudkan dalam seluruh
kegiatan pendidikan.
Pengertian pendidikan Islam yang dikemukakan Zarkowi
tersebut, dapat dipahami bahwa keberadaan pendidikan Islam tidak
sekedar menyangkut persoalan ciri khas, melainkan lebih mendasar
lagi, yaitu tujuan yang diidamkan dan diyakini sebagai yang paling
ideal. Moh. Athiya al-Abrasyi menegaskan bahwa pendidikan Islam
adalah mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadilah
(keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi,
serta mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci
seluruhnya ikhlas dan jujur.86 Hal yang sama dijelaskan Abuddin
Nata bahwa paradigma pendidikan Islam dapat diartikan sebagai
suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan peserta didik
memahami realitas pendidikan Islam sebagaimana tertuang dalam
al-Qur’an dan hadits.87
Pendapat serupa dikemukakan M. Arifin pendidikan Islam
adalah proses membina dan mengembangkan pendidikan agama di

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 69


84 Ali Jumbulati dan Abdul Futuh At- Tuwaanisi, Dirasatun Muqaraanatun fit-Tarbiyyatil
Islamiyyah, terj. (Jakarta: Rineka Cipta, 2002 Cet II), hlm. 13
85 H.A. Malik Fajar, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, hlm. 3.
86 Moh. Athiya Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. (Jakarta: Bulan Bintang,
1980), hlm. 15.
87 Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, hlm. 3.

45
Dr. Samsul Bahri, MA.

mana titik beratnya terletak pada internaliasi nilai iman, lisan dalam
pribadi peserta didik yang berilmu pengetahuan luas.88 Mastuhu
mengartikan pendidikan Islam adalah mengembangkan kemampuan
belajar peserta didik sehingga mempunyai pemikiran kreatif agar
mampu membuat pilihan dan keputusan yang benar, tepat dan akurat
dalam bingkai ajaran Islam.89 Selanjutnya Abdul Munir Mulkhan
mengartikan pendidikan Islam sebagai suatu kegiatan insaniyah,
memberi atau menciptakan peluang untuk teraktualkannya akal
potensial menjadi akal aktual, atau diperolehnya pengetahuan baru.90
Seirama dengan pemahaman tersebut, Azyumardi Azra
mengartikan pendidikan Islam adalah suatu proses pembentukan
individu berdasarkan ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Allah
SWT. Kepada Muhammad Saw, agar dapat mencapai derajat yang
tinggi, dan supaya mampu menunaikan fungsinya sebagai khalifah
di muka bumi, serta berhasil mewujudkan kebahagiaan di dunia dan
akhirat.91
Batasan pengertian yang dikemukakan oleh para ilmuan
pendidikan di atas, memberikan pengertian bahwa pendidikan
Islam adalah suatu proses yang sangat komprehensif, disusun secara
sistematis, terencana, dalam upaya mengembangkan potensi yang
ada pada diri anak didik secara optimal, untuk menjalankan tugas
di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan nilai-nilai
Ilahiyah yang didasarkan dengan bingkai ajaran Islam pada semua
aspek kehidupan. Dengan kata lain proses penyiapan generasi
muda atau peserta didik untuk mengisi peranan, memindahkan
pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi
manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.92

88 H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 4
89 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, hlm. 16-17.
90 Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta: Sipress, 1993), hlm. 136.
91 Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, hlm. 5-6.
92 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1980),
hlm. 94.

46
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Definisi tersebut, berimplikasi pada pendidikan Islam itu


sendiri, antara lain: (a) Pendidikan dilakukan oleh pendidik yang
benar-benar kompeten di bidangnya, tanpa terlupakan nilai-nilai
agama pada dirinya. (b). Pendidikan harus dengan berdasarkan
normatif Ilahiyah. (c) Pendidikan dilakukan sesuai dengan potensi
anak didik. (d) Pendidikan tidak hanya sekedar berorientasi pada
kehidupan kekinian, tetapi juga berorientasi pada kehidupan
ukhrawi. (e) Pendidikan harus bertanggung jawab penuh pada
perkembangan anak didik, baik masyarakat, maupun kepada
Allah SWT. (f) Pendidikan harus merencanakan dan melaksanakan
kegiatan pendidikan sesuai dengan sunnatullah. (g) Pendidikan
harus melibatkan semua pihak, baik formal maupun non formal,
dalam upaya mengembangkan pribadi anak didik, sehingga mampu
menangkal nilai-nilai amoral. Implikasinya, terciptalah suatu interaksi
yang komunikatif antara pendidik dan anak didik serta masyarakat
secara integral dalam upaya menyiapkan generasi yang berkualitas,
beriman, dan bertaqwa kepada Allah SWT. Karena itu, pendidikan
Islam dalam proses pembelajaran hendaknya berorientasi kepada
anak didik dan dilatih untuk bersikap kreatif, mandiri, dan produktif
untuk menghadapi tantangan zaman.93

C. Teori tentang Tujuan Pendidikan


Salah satu aspek penting dan mendasar dalam komponen
pendidikan adalah aspek tujuan. Merumuskan tujuan pendidikan
merupakan masalah inti dalam pendidikan, dan saripati dari seluruh
renungan pedagogik.94 Tujuan pendidikan adalah hal pertama
dan terpenting dalam merancang program serta mengevaluasi
pendidikan,95 dan merupakan faktor yang sangat menentukan
jalannya pendidikan sehingga perlu dirumuskan sebaik-baiknya
sebelum semua kegiatan pendidikan dilaksanakan. Suatu rumusan
93 Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, hlm. 89.
94 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 90.
95 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 75.

47
Dr. Samsul Bahri, MA.

tujuan pendidikan akan tepat apabilah sesuai dengan fungsinya yang


memuat tiga hal:
Pertama, memberikan arah bagi proses pendidikan. Sebelum
menyusun kurikulum, perencanaan pendidikan, langkah yang
harus dilakukan yakni merumuskan tujuan pendidikan. Kedua,
memberikan motivasi dalam aktivitas pendidikan karena pada
dasarnya tujuan pendidikan merupakan nilai-nilai yang ingin
dicapai dan diinternalisasikan pada anak dan subyek didik. Ketiga,
tujuan pendidikan merupakan kriteria atau ukuran dalam evaluasi
pendidikan.96
Untuk mencapai fungsi pertama dan kedua, tujuan pendidikan
harus merumuskan dasar nilai-nilai ideal yang diyakini dapat
mengankat harkat dan martabat kemanusiaan, yang menjadi
kerangka pikir dan bertindak sekaligus pandangan hidup manusia.97
Karena itu, tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan-
rumusan dari berbagai harapan dan keinginan manusia.98 Bahkan
Al-Naquib Al-Attas menyatakan pendidikan itu khusus hanya untuk
manusia,99 hal tersebut disebabkan, karena pendidikan adalah upaya
paling utama, dan bahkan satu-satunya untuk membentuk manusia
menurut apa yang dikehendakinya.
Pernyataan di atas, mengindikasikan bahwa tujuan pendidikan
secara filosofis seyogianya memiliki konsepsi yang jelas dan tegas
mengenai manusia, karena tujuan pendidikan sama dengan tujuan
manusia. Karena itu, menurut Ahmad Tafsir, manusia sempurna
haruslah memiliki tiga hal yakni jasmani yang kuat, akal cerdas dan

96 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, hlm. 92.


97 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 75.
98 Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 32.
99 Syed Muhammad Al-Naqiub Al-Alattas, Konsep Pendidikan Islam dalam Islam; Suatu Rangka
Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, Terj. Haidar Baqir (Bandung: Mizan, 1992), hlm 67.

48
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

pandai, dan hatinya penuh iman kepada Allah.100 Dari konsep ciri- ciri
manusia inilah menjadi basis tujuan pendidikan Islami.
Menurut Naquib Al-Attas tujuan pendidikan Islami yakni
menghasilkan manusia yang baik dan beradab yang meliputi
kehidupan material dan spritual.101 maka konsep pendidikan akhlak
menjadi tujuan pendidikan Islami. Bahkan tujuan pendidikan Islam
tidak lepas kaitannya dengan ekstensi hidup manusia sebagai
wakil-Nya (khalifah Allah) di muka bumi ini. Sejalan dengan itu,
Abu Ahmadi berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah
terbentuknya anak didik menjadi hamba Allah yang bertaqwa dan
bertanggung jawab melaksanakan pekerjaan duniawi dan ukhrowi.102
Hery Noer Aly dan H. Munzier, menilai tujuan pendidikan Islami
bagaimana mendidik individu yang soleh dengan memperhatikan
segenap dimensi perkembangan potensi anak didik agar berjiwa
suci dan bersih, sehingga dengan jiwa yang demikian, individu akan
hidup dalam ketenangan bersama Allah, serta umat manusia di
seruluh dunia.103
100 Pertama, jasmani yang sehat dan kuat artinya muslim perlu memiliki jasmani yang kuat
dan sehat, terutama berhubungan dengan keperluan penyiaran dan pembelaan serta
penegakan ajaran Islam. Pentingnya kekuatan jasmani dan kesehatan ini terlihat dalam
firman Allah Q.S. al-Anfal ayat 60:
َ َ ْ ُ َّ ُ َ َ َّ َّ ُ َ َ ُ ْ ُ ْ َْ ُ ْ ْ ‫َوأَع ُِّدوا ل َ ُه ْم َما‬
‫ين م ِْن‬
َ ‫آخر‬
َِ ‫اط الي ِل ترهِبون بِهِ عدو اللِ وعدوكم َو‬ ِ ‫اس َت َطع ُت ْم م ِْن ق َّو ٍة َوم ِْن رِ َب‬
َ َ ُْ ْ ُ َ َّ َّ ْ َ ْ ُ ْ ُ َ َ ْ ُ ُ َ ْ َ ُ َّ ُ ُ َ ُ َ ْ َ َ ْ ُ
‫يل اللِ يُ َوف إِلْك ْم َوأن ُت ْم ل تظل ُمون‬ َ
ِ ِ ‫دون ِ ِهم ل تعلمونهم الل يعلمهم ۚ وما تنفِقوا مِن ش ٍء ِف سب‬
Artinya: Dan siapkanlah untuk (menghadapi) mereka apa yang kamu mampu dari kekuatan
dan dari kuda-kuda yang ditambat. (dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah,
musuh kamu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidan mengetahui siapa mereka;Allah
mengetahui mereka. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya Allah akan dibalas
dengan sempurna kepada kamu dan kamu tidak akan dianiaya.
Kedua, cerdas serta pandai, Islam menginginkan pemeluknya cerdas dan pandai sebagai
ciri akal yang berkembang dan adanya kemampuan menyelesaikan masalah dengan cepat
dan tepat serta banyak memiliki pengetahuan. Ketiga, ruhani yang berkualitas tinggi
adalah kalbu yang penuh berisi iman kepada Allah atau dengan ungkapan lain kalbu yang
bertaqwa. Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 57- 63.
101 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam, A. Framework forAn
Philosophy of Education, (Kuala Lumpur: Muslim Youth Movement of Malaysia, ABIM, 1980),
hlm. 54.
102 H. Abu Ahmadi, Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), Cet II, hlm. 115.
103 Hery Noer Aly, H. Munzier S., Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000),

49
Dr. Samsul Bahri, MA.

Sedangkan Zuhairini, mengakui bahwa tujuan pendidikan


Islami sebagai upaya pembentukan kepribadian muslim, di mana
bersandingnya iman dan amal shaleh, dengan keyakinan adanya
kebenaran mutlak yang menjadi satu-satunya tujuan hidup dan
sentral pengabdian diri dan perbuatan yang sejalan dengan harkat
kemanusiaan.104 Sedangkan Widodo Supriyono sebagaimana dikutip
Ismail SM, mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah demi
terwujudnya pribadi yang shaleh sempurna yang beriman, bertaqwa,
berilmu, bekerja, dan berakhlak mulia sehingga dapat mengakhiri
hidupnya dengan khusnul khatimah, di akhirat, hayat yang baik, mati
dalam keadaan Islam.105
Selain itu, Muhammd Fadhli Al-Jamali seorang ilmuan muslim
berkebangsaan Irak yang hijrah ke Tunisia kemudian menjadi Guru
Besar Ilmu Pendidikan di Universitas Tunisia juga memberikan
komentar mengenai tujuan pendidikan Islami. Ia mengatakan,
yang paling penting dalam tujuan pendidikan Islam adalah
menumbuhkannya akhlak ilmiah dalam diri manusia. Dengan
kata lain mengarahkan ilmu pengetahuan kepada kebaikan, dan
mejadikannya bermanfaat bagi manusia, yang dapat menumbuhkan
iman serta menyuburkannya,106 sehingga bersandinglah ilmu dan
iman.107

hlm. 144.
104 Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet II, hlm. 166.
105 Ismail (ed), Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 44.
106 Fadhil al-Djamali, Menerebas Krisis Pendidikan Dunia Islam, (Jakarta: Golden Terayon Press,
1988), hlm. 133.
107 Hunbungan antara Iman dan ilmu pengatahuan Ibnu Sina pernah menggambarkan dengan
sebuah syairnya yang artinya: Sesungguhnya jiwa itu bagaikan kaca, dan akal bagaikan
lampunya dan hikma Allah bagaikan minyaknya. Maka ketika ia bersinar, sesungguhnya
engkau hidup, dan ketika ia padam maka engkau menjadi Mati. Bait-bait syair tersebut
di atas, hendaknya menjadi syairnya para murid dan guru dalam pendidikan Islam secara
menyeluruh. Namun demikian bait tersebut menginformasikan bagaimana sesungguhnya
ilmu pengetahuan yang benar pada saat diterima oleh akal fikiran yang sehat, bersinar
terang, yang menunjukkan kepada kita secara menyeluruh dan menperkuat iman kepada
Yang Maha Pencipta keseluruhannya.

50
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Sejalan dengan itu, Ibnu Jama’ah memberikan pendapat


bahwa tujuan pendidikan Islami adalah tercapainya kehalusan budi
pekerti anak didik yang akan mencerminkan sikap akhlak (adab)
yang terpuji.108 Lain halnya, dengan al-Qabisi,109 sebagaimana yang
dikutip Ali Al-Jumbulati, menyebutnya bahwa tujuan pendidikan
Islam adalah mengetahui ajaran agama baik secara ilmiah maupun
amaliah.110
Sehubungan dengan itu, hasil kongres pendidikan Islami
sedunia tahun 1980 di Islamabad, menyatakan bahwa tujuan
pendidikan Islami yakni upaya untuk menumbuhkan kepribadian
manusia yang menyeluruh, secara seimbang, melalui latihan jiwa,
intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan indera. Karena itu,
pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala
aspeknya; spritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah dan bahasa
secara individual maupun kolektif. Mendorong semua aspek ke arah
kebaikan dan mencapai kesempurnaan, tujuan akhirnya adalah
dengan perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik
secara pribadi, komunitas maupun seluruh umat manusia.111
Hasan langgulung, menjelaskan bahwa tujuan pendidikan
Islam adalah terbentuknya insan yang shaleh dan beriman kepada
Allah dan agama-Nya, serta pembentukan masyarakat yang shaleh
yang mengikuti petunjuk agama Islam dalam segala urusannya.112

108 Hasan Ibrahim Abdu Al’, Min Alami Tarbiyyah Arabiya Islamiyah, (Maktab: Tarbiyah al-Arabi
Lidduali khalic, 1988), hlm. 290.
109 Al-Qabisi memiliki nama lengkap Abu al-Hasan ibn Muhammad Khallaf al-Ma’rifi al-
Qabisi, lahir di Kairawan, Tunisia pada Bulan Rajab tahun 224 H, bertepatan dengan tanggal
13 Mei 936 M dan meninggal dunia tanggal 3 Rabiul awal 403 H (23 Oktober 1012 M). Ia salah
seorang ulama fiqhi, corak pemikirannya normatif dengan mengacuh kepada al-Qur’an
dan Hadis, sehingga dalam konsep tujuan pendidikan Islam bercorak fiqih. Secara jelas
lihat Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000), Cet I, hlm. 25-26.
110 Untuk lebih jelasnya juga baca Herwina Bahar, Dalam Jurnal Pemikiran Islam Kontemporer,
Miskatul Anwar, Tujuan Pendidikan Dalam Persfektif Al-Qabisi, Volume 7, 1 Juni 2001, hlm. 111-
121.
111 H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, hlm. 4
112 Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma Dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial, (Jakarta:

51
Dr. Samsul Bahri, MA.

Selanjutnya Quraish Shihab mengatakan, bahwa tujuan pendidikan


Islam adalah pencapaian tujuan yang diisyaratkan dalam al-Qur’an
yaitu serangkaian upaya yang dilakukan oleh seorang pendidik dalam
membantu anak didik menjalankan fungsinya di muka bumi, baik
pembinaan pada aspek matrial maupun spritual.113 Dengan demikian,
terciptalah manusia yang berakhlak Islam, beriman, bertaqwa, dan
meyakini sebagai sesuatu kebenaran dan berusaha serta mampu
membuktikan kebenaran itu, melalui akal, rasa, di dalam seluruh
perbuatan dan tingkah laku sehari-hari sesuai dengan al-Qur’an dan
Hadits.114 Untuk itu, pendidikan harus di rencanakan sedemikian
rupa untuk menimbulkan pertumbuhan kepribadian anak didik
yang seimbang dari totalitas kepribadiannya melalui latihan spritual,
intelektual, rasional dan lainnya yang mengacuh kepada trilogi
hubungan secara harmonis.
Tujuan pendidikan Islami lebih berorientasi kepada nilai-nilai
luhur dari Allah yang harus diinternalisasikan ke dalam individu
atau anak didik lewat proses pendidikan. Oleh sebab itu, penanaman
nilai tersebut, pendidikan Islam harus mampu mengantarkan,
membimbing, dan mengarahkan anak didik (manusia) untuk
melaksanakan fungsinya sebagai ‘abd dan khalifah,115 guna
membangun dan memakmurkan alam ini sesuai dengan konsep-
konsep yang telah ditetapkan Allah.116
Tujuan pendidikan Islam dapat diringkas pada dua tujuan
pokok yaitu pembentukan insan yang saleh dan dan pembentukan
masyarakat yang saleh mengikuti petunjuk agama Islam dalam
segala urusan. Yang dimaksud dengan pembentukan insan saleh ialah
Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 25.
113 M. Quraish Shihab Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 173
114 Depertemen Agama RI, Ilmu untuk Disiplin Pendidikan, Buku Daras Pendidikan Islam Pada
Perguruan tinggi Umum, (Jakarta: Depag, 2000), hlm. 133.
115 Mengenai khalifah Ahmad Hasan Firhat dalam bukunya, Khalifah fi al-Ardh; Pembahasan
Kotekstual, (Jakarta: Cakrawala Persada, 1992), hlm. 56..
116 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Nizar, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), hlm. 106.

52
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

manusia yang mendekati kesempurnaan, yang penuh keimanan,


taqwa kepada Allah serta memelihara dan menghadap kepada-Nya
dalam segala perbuatan yang dikerjakan dan segala tingka laku yang
dilakukannya, segala pikiran yang tergores di hatinya dan segala
perasaan yang berdetak di jantungnya. Sebagaiman dengan firman
Allah:
َّ ۡ ۡ ۡ ُ َۡ َ ََ
‫ال َّن َوالِن َس ا ِل ِلَ ۡع ُب ُد ۡو ِن‬
ِ ‫وما خلقت‬
Artinya:Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka
menyembah kepada-Ku”. (QS.51.56)
Sedangkan masyarakat saleh adalah masyarakat yang percaya
bahwa mempunyai risalah untuk umat manusia mengenai keadilan,
kebenaran, dan kebaikan. Suatu risalah yang akan kekal selama-
lamanya tidak terpengaruh oleh faktor waktu dan tempat firman
Allah:
َ َْ ْ ْ َ َْ ْ ُ َّ ُ َ ْ َ ْ ُ ْ ُ
‫وف َوتن َه ْون َع ِن‬ ِ ‫اس تأ ُم ُرون بِال َمع ُر‬ِ ‫ت ل َِّلن‬
ْ ‫خر َج‬
ِ ‫كنتم خي أم ٍة أ‬
ْ َ
َ ً ْ َ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ َ ْ َ َ َّ َ ُ ْ ُ َ َ ْ ُ ْ
‫يا ل ُه ْم ۚ مِن ُه ُم‬ ‫اب لكن خ‬ ِ ‫المنك ِر وتؤمِنون بِاللِ ۗ ولو آمن أهل الكِت‬
َ ُ َْ ُ ُ َُ ْ ََ َ ُ ْ ُْ
‫المؤمِنون وأكثهم الفاسِقون‬
Artinya: “Kamu adalah ummah terbaik yang pernah diutus bagi umat
manusia, karena kamu mengajar kepada kebaikan melarang dari
kejahatan”.(QS. 3:110).
Dengan demikian, tugas pendidikan Islam menolong peserta
didik dan masyarakat mencapai maksud tersebut. Jadi dapat
dipahami bahwa yang diinginkan adalah bagaimana membentuk
insan kamil yang mutaqqin, dan teraktualisasi dalam tiga prilaku
yaitu hubungan baik antara manusia dengan Allah, hubungan
dengan sesama manusia serta hubungan baik dengan alam
sekitarnya. Bila dimensi ini dikembangkan dalam kajian Islam, maka
dalam proses mempersiapkan generasi penerus estafet kekhalifahan

53
Dr. Samsul Bahri, MA.

yang sesuai dengan nilai-nilai Ilahiah, pendidikan yang ditawarkan


harus mampu memberikan dan membentuk pribadi peserta
didiknya dengan acauan nilai-nilai Ilahiah. Dengan penanaman
ini, akan menjadi panduan baginya dalam melaksanakan amanat
Allah di muka bumi ini. Kekosongan akan nilai-nilai religius, akan
mengakibatkan manusia bebas kendali dan berbuat sekehendaknya.
Sikap yang demikian, berimplikasi timbulnya nilai-nilai egois yang
bermuara kepada tumbuhnya sikap angkuh dan sombong pada diri
manusia. Sikap ini akan berbias pada penisndasan terhadap nilai-nilai
kemanusiaan yang sekaligus menumbuhkan cikal bakal kerusakan di
muka bumi ini. Firman Allah SWT :

‫ِب‬ َ َّ ‫اس َو َل َت ْم ِش ف ْالَ ْر ِض َم َر ًحا ۖ إ َّن‬


ُّ ‫الل َل ُي‬ َ ُ َ
ِ ‫َول ت َص ّ ِع ْر خ َّد َك ل َِّلن‬
ِ ِ
ُ َ َ ْ ُ َّ ُ
‫ور‬
ٍ ‫ال ف‬
‫خ‬ ٍ ‫ك مت‬
Artinya: Dan jangalah kamu memalingkan mukamu dari diri manusia
(dengan sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong lagi membanggakan diri.) QS. Lukman: 18(.
Melihat pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa tujuan
pendidikan Islam mempunyai cakupan yang sangat luas, baik
secara material maupun secara spritual. Dengan bahasa lain, bahwa
semua aspek kehidupan manusia di muka bumi ini. Baik sistem
sosial, ekonomi, dan politik yang komprehensif dan menyeluruh.117
Sejalan dengan itu, An Nahlawi, mengatakan bahwa aspek yang
menjadi tujuan pendidikan Islam meliputi aspek matrial, ruhaniyah,
intelektual, prilaku sosial, apresiasi, atau pengalaman, menuju
terwujudnya aspek ideal yakni penghambaan dan ketaatan kepada
Allah serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.118 Memimjam

117 Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi,
(Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 3.
118 Abdurrahman, An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), hlm. 123.

54
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

acuan yang diajukan oleh Bloom dan kawan-kawan, dengan


membagi kepada tiga kawasan yakni: (1). Kawasan kognitif, yang
meliputi pengetahuan, pemahaman, penggunaan, analisis, sintesis
dan penilaian. (2). Kawasan afektif, yang mencakup perubahan
minat, sikap, nilai, dan berkembangnya penghayatan serta karakter.
(3). Kawasan psikomotorik, yang memuat keterampilan melakukan.119
Hanya saja menurut Ahmad Tafsir teori akhlak tidak dapat dilakukan
dengan memakai paradigma dari Bloom, karena itu paradigma
yang harus dipakai adalah dari Nabi Muhammad SAW melalui tiga
metode yakni internalisasi dengan teknik peneladanan, pembiasaan
dan pemotivasian.120
Sehubungan dengan itu, Didin Hafidhuddin menjelaskan dalam
pendidikan akhlak dilakukan dengan beberapa hal:121 (1) Memadukan
nila-nilai agama pada semua mata pelajaran. Diharapkan para
pendidik banyak berdialog secara intensif dengan pendidik dalam
bidang yang lain. (2) Mendesain kurikulum pendidikan agama
diperguruan tinggi yang memadukan aspek kognitif, afektif dan
psikomorik, sehingga proses pembelajaran dan evaluasinya tidak
hanya pada aspek pengetahuan keagamaan, tetapi juga sikap dan
prilaku. (3) Para pendidik agama mengusahakan dirinya menjadi
contoh teladan bagi para anak didiknya. (4) Selalu berusaha
memperbaharui materi dan metode mengajar dengan menggunakan
perangkat teknologi modern. Tujuan pendidikan Islam tujuan
utamanya adalah membentuk karakter yang mulia, membentuk
peserta didik yang memiliki keseimbangan hidup dunia dan akhirat,
mengarahkan peserta didik untuk memiliki keterampilan kerja
dan kemampuan profesional, menumbuhkan semangat ilmiah.

119 Bejamin S. Bloom, (ed), Taxnomy of Education Obfectives Handbook 1, Cognitive Domain, (New
York: Longman Inc, 1956), hlm. 7.
120 Ahamd Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam; Integrasi Jasmani, Rohani, Kalbu Memanusiakan
Manusia, hlm. 127.
121 Hafidhuddin, Didin, Konsep Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan Agama, dalam jurnal
Pendidikan Islam, Ta’dibuna, Vol 1/No. 1/ Juni 2011, hlm. 28.

55
Dr. Samsul Bahri, MA.

membentuk peserta didik untuk memiliki dan memelihara aspek


kerohanian dan keagamaan.122
Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus diimbangi
dengan pemahaman keagamaan yang mendalam serta pengamalan
agama yang tinggi, sehingga memungkinkan peserta didik selalu
mengembangkan pengetahuan dalam koridor ajaran agama.
Menurut Azra bila ini tidak terjadi maka pendidikan Islam hanya
akan menciptakan peserta didik yang marginal men, dan bahkan
melahirkan individu-individu yang memiliki kepribadian dengan
unsur yang terpisah satu sama lain (spelit personalities).123
Gagasan di atas, mengenai tujuan pendidikan Islami, dapat
dipahami sebagai konsepsi tujuan pendidikan Islam sangat
komprehensif. Karena itu, pendidikan Islam tidak hanya melihat
bahwa pendidikan sebagai upaya mencerdaskan semata (pendidikan
intelek, kecerdasan) melainkan sejalan dengan konsep Islam tentang
manusia dan hakikat eksistensinya. Bahkan tujuan pendidikan
Islam berupaya menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bahwa
manusia itu sama di depan Allah, perbedaanya adalah kadar
ketaqwaannya sebagai bentuk perbedaan secara kualitatif.124 Dengan
ungkapan lain, yang sering dikemukakan Munir Mulkhan yakni
nalar spritual pendidikan, artinya pendidikan Islam tidak hanya
melahirkan seorang anak didik mempunyai ketajaman rasional (IQ),
tatapi sekaligus juga kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan
spritual (SQ).125 Dengan demikian, dapat diharapkan tumbuhnya
manusia dan generasi bangsa yang semakin manusiawi, cerdas, arif
122 Muhammad ‘Atiyah al-Abr.sy., al-Tarbiyyah al-Islamiyah Wa Falsifatuh. (Kairo: Is. al-B.b. al-.
alab., 1969), hlm. 71.
123 Marginal Men, adalah orang-orang yang menciptakan kedewasaan tanpa menemukan
peranannya dalam masyarakat karena ia terpencil dan terasing dari nilai-nilai masyarakat
sendiri. Lihat Azyumardi Azra, Esai-Esai IntlektualMuslim dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1998), hlm. 11.
124 M. Rusli Karim, Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, (Yogyakata: Tiara Wacana,
Cet I 1991), hlm. 32.
125 Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam,
(Yogyakarta:Tiara Wacana, 2002), hlm. 78-79.

56
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

yang dalam tradisi jawa disebut waskhita, dan dalam tradisi sufi
dikenal sebagai kemampuan makrifat.
Kutipan di atas, nampak teori pendidikan Islami memiliki dua
tujuan, yaitu bahwa pendidikan Islami yaitu tujuan antara dan tujuan
akhir. Kedua tujuan ini disebut oleh Abdurrahman Shalih Abdullah
dengan istilah dengan objectives dan aims atau dalam istilah Arabnya
abdaf dan ghayab.126 Objectives merupakan tujuan antara yang dapat
mengantarkan kepada tujuan akhir, dalam pandangan Azra tujuan
antara adalah tujuan yang pertama-tama hendak dicapai dalam
proses pendidikan Islami. Tujuan ini menyangkut perubahan-
perubahan yang dikehendaki dalam proses pendidikan Islami,
baik berkenaan dengan pribadi anak didik, masyarakat, maupun
lingkungan. Tujuan antara itu perlu jelas kebeadaanya sehingga
pendidikan Islam dapat diukur keberhasilannya tahap demi tahap127
Sejalan dengan itu, Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany
memperjelas tujuan “antara” dalam pendidikan Islam ini dengan
membagi dalam tiga jenis yaitu:
1. Tujuan individual, yaitu tujuan yang berkaitan dengan
kepribadian individu dan pelajaran-pelajaran yang dipelajarinya.
Tujuan ini menyangkut perubahan-perubahan yang diinginkan
pada tingkahlaku mereka, aktivitas dan pencapaiannya,
pertumbuhan ke pribadiaanya dan persiapan mereka di dalam
menjalani kehidupannya di dunia dan akhirat.
2. Tujuan sosial yaitu tujuan yang berkaitan dengan kehidupan
sosial anak didik secara keseluruhan. Tujuan ini menyangkut
perubahan-perubahan yang dikehendaki bagi pertumbuhan
serta memperkaya pengalaman dan kemajuan mereka di dalam
menjalani kehidupan bermasyarakat.
3. Tujuan profesional yaitu tujuan yang berkaitan dengan
126 Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2007), hlm. 130-132.
127 Azyumardi Azra, Esai-esai Intelektual, hlm. 6-7.

57
Dr. Samsul Bahri, MA.

pendidikan sebagai ilmu, seni, profesi, dan sebagai aktivitas di


antara aktivitas-aktivitas yang ada di dalam masyarakat.128
Proses pendidikan Islam berusaha mencapai ketiga tujuan
“antara” di atas, yaitu tujuan individual, sosial, dan profesional.
Ketiga tujuan antara ini secara terpadu dan terarah diusahakan agar
mencapai tujuan akhir pendidikan Islami yaitu penyerahan secara
mutlak kepada Allah.
Menurut Arifin tujuan akhir pendidikan Islami seyogianya
mengadung nilai-nilai Islami, yang dapat diwujudkan baik dalam
bentuk normatif, fungsional maupun oprasional.129 Sehubungan
dengan itu, Abu Al-‘Aini menjelaskan tujuan akhir pendidikan Islami
sebagai tujuan asasi (primer) harus mengandung dua nilai yaitu nilai
spiritual (ruhiyyah) yang berkaitan dengan Allah dan nilai ibadah
(‘ubudiyyah) berkaitan dengan kemaslahatan manusia. Sedangkan
tujuan antara pendidikan Islami sebagai tujuan far’i (sekunder) harus
mengandung enam nilai, seperti nilai rasional, moral, psikologi,
material, estetika, dan sosial.130
Dari hal di atas, dapat dinyatakan bahwa pendidikan Islam
sebagai sebuah proses memiliki dua tujuan, yaitu tujuan akhir (tujuan
umum) yang disebut dengan tujuan primer dan tujuan antara (tujuan
khusus) yang disebut dengan tujuan sekunder. Dengan demikian,
tujuan akhir pendidikan Islami adalah penyerahan dan penghambaan
diri secara total kepada Allah (insan kamil). Hal ini bersifat tetap dan
berlaku umum, tanpa memperhatikan tempat, waktu, dan keadaan.
Sedangkan tujuan antara pendidikan Islami merupakan penjabaran
tujuan akhir yang diperoleh melalui usaha ijtihad para pemikir
pendidikan Islami, yang karenanya terikat oleh kondisi locus dan
tempus. Tujuan antara pendidikan Islami mengandung perubahan-

128 Omar Mohammad Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, (Jakarta:
Bulang Bintang, 1979), hlm. 399.
129 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1998), hlm. 126-128.
130 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm. 116.

58
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

perubahan yang diharapkan subjek didik setelah melakukan proses


pendidikan, baik bersifat individual, sosial, maupun profesional, dan
tujuan antara ini perlu jelas keberadaannya, sehingga pendidikan
Islam dapat diukur keberhasilannya tahap demi tahap serta tujuan
antara inilah yang biasa dijabarkan dalam bentuk kurikulum atau
program pendidikan.

D. Teori Tentang Program Pendidikan


Teori tentang program pendidikan berarti kurikulum dalam
arti produk hanya seperti blueprint bagi suatu program pendidikan,
yang harus didukung oleh tenaga pengajar yang kompeten dalam
bidangnya.131 Karena itu, teori kurikulum atau program132 merupakan
landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta
didiknya ke arah tujuan pendidikan yang melalui akumulasi sejumlah
pengetahuan, sikap mental dan tindakan.133 Hal ini berarti bahwa
proses pendidikan Islami bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan
secara serampangan, tetapi hendaknya mengacu pada koseptualisasi
manusia paripurna (baik sebagai khalifah maupun ‘abd) melalui
transformasi sejumlah pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang
tersusun dalam program pendidikan Islami.
131 Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2003), hlm.
163.
132 Kurikulum berasal dari bahasa Latin curriculum, semula berarti a running course, specialy a
chariot race course mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai gelar atau ijazah.
Namun secara tradisional kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan
disekolah. Lihat S Nasution, Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993),
cet ke-5, hlm. 9. Sedangkang kurikulum dalam pendidikan Islam dikenal dengan kata
manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh pendidikan bersama anak didiknya
untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mereka. Bahkan selain
itu, kurikulum juga dipandang sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan
dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Lihat Pula Omar Mohammad Al-Toumy Al-
Syaibani, Fasalfah Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung, Jakarta, Bulan Bintang, 1984,
hlm. 478. Dan Zakiah Darajat dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), cet
ke-3, hlm. 122. Definisi kurikulum menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 11, yang berbunyi: Kurikulum adalah seperangkap rencana
dan peraturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.
133 Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2002), hlm. 241.

59
Dr. Samsul Bahri, MA.

Kurikulum secara luas menurut Hasan Langgulung adalah


sejumlah pengalaman, pendidikan, kebudayaan, sosial, keolahragaan
dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid di dalam dan
di luar sekolah dengan maksud menolong mereka untuk berkembang
dan mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan
pendidikan.134 Hanya saja menurut Ahmad Tafsir suatu kurikulum
hendaknya mengandung beberapa unsur utama yaitu tujuan, isi atau
program, proses belajar-mengajar, serta evaluasi yang merupakan
satu kesatuan yang integral.135
Kesemua unsur kurikukulum harus tersusun dan mengacu
pada suatu sumber kekuatan yang menjadi landasan dalam
pembentukannya. Sumber kekuatan tersebut diistilahkan oleh Al-
Syaibany asas-asas pengembangan kurikulum pendidikan Islami
yaitu: Pertama, asas agama, falsafah, psikologi, dan sosial.136 Keempat
asas ini, dijadikan sebagai landasan dalam pembentukan kurikulum
pendidikan Islami, maka menurut An-Nahlawi kurikulum pendidikan
Islami harus memenuhi kriteria sebagai berikaut:
1. Sistem dan perkembangan kurikulum hendaknya selaras dengan
fitrah insani, sehingga memiliki peluang untuk mensucikannya
dan menjaganya serta menyelamatkan.
134 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 56.
135 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 83.
136 Asas agama yakni seluruh sistem yang ada dalam masyarakat Islam, termasuk sistem
pendidikannya harus meletakkan dasar falsafah, tujuan, dan kurikulumnya pada ajaran
Islam yang meliputi aqidah, ibadah, muamalat dan hubungan-hubungan yang berlaku
di masyarakat. Hal ini bermakna bahwa semua itu pada akhirnya mengacu pada dua
sumber utama syari’at Islam, yakni Al-qur’an dan Sunnah. Asas falsafah adalah dasar yang
memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Islam dengan dasar filosofis, sehingga
susunan kurikulum pendidikan Islami mengandung suatu kebenaran, terutama yang
diyakini kebenarannya. Secara umum, dasar falsafah ini membawah konsekuensi bahwa
rumusan kurikulum pendidikan Islami harus beranjak pada konsep ontology, epistimologi,
dan aksiologi. Asas psikologi adalah asas yang member arti bahwa kurikulum pendidikan
Islami hendaknya disusun dengan mempertimbangkan tahapan-tahapan pertumbuhan
dan perkembangan yang dilalui anak didik. Asas sosial adalah asas yang mengarah pada
pembentukan kurikulum pendidikan Islami yang mengarah kepada realisasi individu
dalam masyarakat. Pola yang demikian ini, berarti bahwa semua kecenderungan dan
perubahan yang telah dan bakal terjadi dalam perkembangan masyarakat. Omar
Mohammad Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 32. 523.

60
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

2. Kurikulum hendaknya diarahkan untuk mencapai tujuan akhir


pendidikan Islami, yaitu ikhlas, taat beribadah kepada Allah.
3. Pentahapan serta pengkhususan kurikulum hendaknya
memperhatikan periodesasi perkembangan peserta didik.
4. Dalam berbagai pelaksanaan, aktivitas, contoh, dalam kurikulum
harus memelihara kebutuhan nyata kehidupan masyarakat
dengan tetap berpengang pada cita ideal Islami.
5. Hendaknya kurikulum itu efektif dalam arti berisikan nilai
edukatif yang dapat membentuk afektif (sikap) Islami dalam
kepribadian anak didik.
6. Kurikulum harus memperhatikan aspek-aspek tingkah laku
amaliah Islami.
Paparan di atas, terlihat bahwa eksistensi kurikulum idealnya
di samping sebagai parameter oprasionalisasi proses belajar
mengajar, sekaligus sebagai alat mendeteksi dinamika kebudayaan
dan peradaban umat manusia masa depan. Dalam hal ini, eksistensi
kurikulum memainkan peranan cukup strategis dalam menganalisa
persoalan yang akan terjadi, sehingga pola pendidikan akan lebih
mengarah pada usaha preventif, bukan curatif sebagaimana yang
terjadi saat ini. Indikasi terhadap kurikulum saat ini yang terkesan
labih pada nilai curatif adalah dengan menempatkan kurikulum
sebagai pola parameter untuk menjawab dinamika yang telah atau
sedang terjadi. Akibatnya, pendidikan senantiasa berada pada
posisi tertinggal terhadap akselerasi zaman yang jauh lebih dinamis,
sementara peserta didik berada pada posisinya yang pasif sebagai
kelinci percobaan. Kondisi ini sekaligus menempatkan institusi
pendidikan tak mampu memprediksi dinamika tersebut.
Secara umum karakteristik kurikulum dalam pandangan Al-
Syaibany adalah pencermian nilai-nilai Islami yang teraplikasi
dalam proses pendidikan, karena itu kurikulum pendidikan Islami
mempunyai ciri:137
137 Abdurrahman Al-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga,

61
Dr. Samsul Bahri, MA.

1. Mementingkan tujuan agama dan akhlak dalam berbagai hal


seperti tujuan dan kandungan, kaedah, alat dan tekniknya.
2. Meluaskan perhatian dan kandungan hingga mencakup
perhatian, pengembangan serta bimbingan terhadap segala
aspek pribadi peserta didik, baik kongnitif, afaktif maupun
psikomotorik.
3. Adanya prinsip keseimbangan antara kandungan kurikulum
tentang ilmu dan seni, pengalaman dan kegiatan pengajaran.
4. Menekankan konsep menyeluruh dan keseimbangan pada
kandungannya yang tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu
teoritis, baik yang bersifat aqli maupun naqli, tetapi juga
meliputi seni, aktivitas pendidikan jasmani, latihan militer,
teknik pertukangan, bahasa asing dan lain-lain.
5. Keterkaitan antara kurikulum pendidikan Islam dengan minat,
keperluan, kemampuan dan perbedaan individu antar siswa.
Teori karakteristik kurikulum sebagai program pendidikan Islam
sebagaimana dikemukakan di atas, tidak hanya menempatkan anak
didik sebagai objek didik, melainkan juga sebagai subjek didik yang
sedang mengembangkan diri menuju kedewasaan sesuai dengan
konsepesi Islami. Karena itu, kurikulum tersebut tidak bermakna
apapun, apabila tidak dilaksanakan dalam suatu situasi dan kondisi
di mana tercipta intraksi edukatif yang timbal balik antara pendidik
di satu sisi dengan peserta didik di sisi lain.
Menurut Hasyim, kurikulum pendidikan Islami lebih banyak
menekankan dan mementingkan aspek kognitif pada peta taksonomi
pendidikan yang telah lama di teorikan B.S. Bloom dan pada aspek
inipun hanya tersentuh pada tingkat rendah yaitu hanya sampai pada
tingkat knowledge. Selebihnya, yaitu analisis, sintesis, dan evaluasi
jarang disentuh.138 Padahal ciri khas kurikulum pendidikan Islami
Sekolah, dan Masyarakat, terj. Herry Noer Aly, (Bandung: Diponegoro, 1989), hlm. 77-273.
138 Suayanto dan Djihad Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki
Milenium III, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), hlm. 63.

62
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

memandang peserta didik sebagai makhluk yang potensial untuk


mengembankan dirinya sendiri melalui aktivitas kependidikan,
menuju kesempurnaan secara optimal.

E. Teori Tentang Proses Pendidikan


Proses pendidikan adalah semua upaya yang digunakan dalam
mendidik. Bagian ini dalam paedagogik sering disebut metode139
dalam arti luas.140 Metode merupakan komponen pendidikan Islami
yang dapat menciptakan aktivitas pendidikan menjadi lebih efektif
dan efesien, untuk mengembangkan sikap mental dan kepribadian
agar peserta didik menerima pelajaran dengan muda dan baik.141
Dalam pandangan filosofis pendidikan, metode merupakan
alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat
itu mempunyai dua fungsi ganda yang menurut Ahmad Tafsir yakni
metode mendidik dan metode mengajar, dimana metode mengajar
lebih jelas dan terarah sedangkan metode mendidik sifatnya
subjektif, kurang tegas, lebih bersifat seni.142 Namun demikian, secara
umum dapat disimpulkan metode adalah seperangkat cara, jalan,
dan teknik yang harus dimiliki dan digunakan oleh pendidik dalam
upaya menyampaikan dan memberikan pendidikan dan pengajaran
kepada peserta didik agar dapat mencapai tujuan pendidikan yang
termuat dalam kurikulum yang telah ditetapkan.
Sehubungan dengan itu, Hasan Langgulung berpendapat
bahwa teori penggunaan metode didasarkan atas tiga aspek pokok
yaitu: Pertama, sifat-sifat dan kepentingan yang berkenaan dengan
139 Metode secara etimologi berasal dari dua perkataan yaitu meta dan hodos. Meta berarti
melalui dan hodos jalan atau cara. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah thariqah
yang berarti langkah-langkah strategis yang harus dipersiapkan untuk melakukan suatu
pekerjaan. Dengan demikian dapat dipahami metode merupakan cara atau jalan yang
harus dilalui untuk mencapai tujuan. Lihat H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan
Teoritis dan praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm.
61.
140 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 195.
141 Ramayulis, Ilmu Pendididikan Islam, hlm. 155
142 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 195

63
Dr. Samsul Bahri, MA.

tujuan utama pendidikan Islam, yaitu pembinaan manusia mukmin


yang mengaku sebagai hamba Allah. Kedua, berkenaan dengan
metode-metode yang betul-betul berlaku yang disebutkan dalam
Al-Qur’an. Ketiga, membicarakan tentang pergerakan (motivasi) dan
disiplin dalam istilah Al-Qur’an disebut ganjaran dan hukuman.143 Hal
ini dipertegas oleh Syaibany sebagai berikut:144
1. Metode pendidikan Islami harus bersumber dan diambil dari
jiwa ajaran dan akhlak Islam yang mulia, dan merupakan hal
yang integral dengan materi dan tujuan pendidikan Islam.
2. Metode pendidikan Islami bersifat luwes, dan dapat menerima
perubahan dan penyesuaian dengan keadaan dan suasana
proses pendidikan.
3. Metode pendidikan Islami senantiasa berusaha menghubungkan
antara teori dan praktik, karena antara proses belajar dan amal,
antara hafalan dan pemahaman secara terpadu.
4. Metode pendidikan Islami menghindari cara-cara mengajar
yang bersifat ringkas, karena ringkasnya itu merupakan sebab
rusaknya kemampuan-kemampuan ilmiah yang berguna.
5. Metode pendidikan Islami menekankan kebebasan peserta didik
untuk berdiskusi, berdebat, dan berdialog dengan cara yang
sopan dan saling menghormati.
6. Metode pendidikan Islami menghormati hak dan kebebasan
pendidik untuk memilih metode yang dipandang sesuai dengan
watak peserta didik itu sendiri.
Dalam literatur kependidikan, menurut Abuddin Nata, paling
tidak ditemukan tiga bentuk metode pembelajaran, yaitu metode
pembelajaran yang berpusat pada pendidik (teacher centered), metode
pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student centered),

143 Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husana, 1985), hlm.
79.
144 Omar Mohammad Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 583-584.

64
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

dan metode pembelajaran yang berpusat pada pendidik dan peserta


didik sekaligus (teacher and student centered).145
Dari ketiga model pembelajaran di atas, teori pendidikan
Islam menghendaki model ketiga, dimana pendidik dan peserta
didik mendapat kedudukan yang terhormat. Di satu sisi, metode
pendidikan Islam menekankan kebebasan peserta didik untuk
berdiskusi, berdebat, dan berdialog dengan cara yang sopan dan
saling menghormati, tapi pada sisi yang lain, metode pendidikan
Islami juga menghormati hak dan kebebasan pendidik untuk
memilih metode yang dipandangnya sesuai dengan watak pelajaran
dan peserta didik sendiri.
Dalam kaitan itu, Abdurrahman Al-Nahlawi menyebutkan
sejumlah metode pendidikan yang dapat diterapkan dalam
pelaksanaan pendidikan Islam yaitu:
1. Metode pendidikan dengan hiwar (percakapan) qur’ani dan
nabawi
2. Metode pendidikan dengan kisah qur’ani dan nabawi.
3. Metode pendidikan melalui perumpamaan (amtsal).
4. Metode pendidikan dengan keteladanan yang baik (uswah
hasanah).
5. Metode pendidikan dengan latihan dan pengalaman.
6. Metode pendidikan dengan ibrah (pelajaran) dan mau’zilah
(peringatan).
145 Model pertama adalah cara pembelajaran yang menempatkan pendidik sebagai pemberi
informasi, Pembina, dan pengarah, satu-satunya dalam aktivitas proses pendidikan.
Konsekuensi model ini adalah seorang pendidik mengcukupkan dirinya pada penguasaan
bahan pelajaran semata, tanpa harus mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam
bahan pelajaran yang dapat disampaikan kepada peserta didik. Model kedua adalah
pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, merupakan metode yang berupaya
memberikan rangsangan, bimbingan dan pengarahan, serta dorongan kepada peserta
didik agar terjadi proses belajar mengajar. Model ketiga, model pembelajaran yang
memadukan dua model di atas. Di dalam model ini, yang terjadi adalah intraksi antara
pendidik dan peserta didik dalam proses pendidikan, di mana keduanya memiliki peran
dan andil yang sama-sama dalam proses pembelajaran. Lihat Abuddin Nata, Paradigma
Pendidikan Islam, hlm. 202

65
Dr. Samsul Bahri, MA.

7. Metode pendidikan dengan targhib (membuat senang) dan


tarhib (membuat takut).146 Ahmad Tafsir menambahkan dua
metode pendidikan.
8. Metode pendidikan pepujian
9. Metode pendidikan wirid.147
Sementara itu, Al-Syaibany menyebutkan beberapa metode
umum pendidikan Islam yang secara historis telah dipraktikkan kaum
muslimin, yaitu metode deduktif, metode perbandingan, metode
kuliah, metode dialog, dan perbincangan, serta beberapa metode
khusus, seperti metode lingkarang (halaqah), metode imla, hafalan,
pemahaman, dan metode lawatan (rihlah ilmiyyah).148
Beberapa metode yang dikemukakan oleh para pakar pendidikan
Islam, yang perlu diperhatikan adalah tidak ada satu metode pun yang
dipandang ideal untuk semua tujuan pendidikan, mata pelajaran,
serta semua suasana dan aktivitas pendidikan. Karena itu, tak dapat
dihindari untuk melakukan penggabungan berbagai metode dalam
praktiknya di lapangan. Bahkan hal penting yang perlu diperhatikan
adalah Pertama, metode itu dapat membentuk manusia terdidik
menjadi hamba Allah yang mengabdi kepada-Nya. Kedua, metode
itu mengandung nilai edukatif yang mengacu kepada petunjuk Al-
Qur’an dan Al-Sunnah. Ketiga, metode itu berkatian dengan motivasi
dan kedisiplinan sesuai dengan ajaran Islam.149 Inilah beberapa
pemikiran filosofis pendidikan Islam mengenai metode yang dapat
digunakan dalam proses pendidikan.
Dari kerangka pemikiran di atas, dapat dijelaskan bahwa
menempatkan metode mengajar sebagai asimilasi pembelajaran
dengan mengaktifkan peserta didik untuk mencari dan menemukan

146 Abdurrahman Al-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam dalam Keluarga,
Sekolah, dan Masyarakat, terj. Herry Noer Aly, ( Bandung: Diponegoro, 1989), hlm.283-284
147 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 219-226.
148 Omar Mohammad Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 560-581.
149 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 143.

66
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

serta melakukan akativitas belajar sendiri sehingga konsep metode


belajar yang terbagun adalah pembelajaran (learning) bukan
pengajaran (teaching). Jika konsep pembelajaran berjalan dengan baik
menurut Abdurrahman Shalih Abdullah, para pendidik seharusnya
menggunakan variasi metode dalam proses belajar mengajar dalam
rangka mencapai tujuan pendidikan Islami.150 Akhirnya, dapat
dikatakan bahwa proses belajar-mengajar pendidikan Islami tidak
berhasil tanpa metode pendidikan tepat dan benar.

F. Teori tentang Evaluasi Pendidikan


Salah satu bagian penting dari pelaksanaan pembelajaran
yang tidak dapat diabaikan adalah pelaksanaan evaluasi.151 Menurut
Hamzah B. Uno bahwa teori evaluasi adalah proses pemberian
makna atau ketetapan kualitas hasil pengukuran dengan cara
membandingkan angka hasil pengukuran dengan kriteria tertentu.152
Karena itu, dalam proses pendidikan kegiatan pengukuran dan
penilaian kemampuan peserta didik tidak bisa dilepaskan seperti
halnya pedagang, guru seharusnya sudah selayaknya menyimak
peringatan Allah dalam Al-Qur’an QS. Al-Isra ayat 35 berikut ini:
ٌ ْ ‫اس ال ْ ُم ْس َت ِقي ِم ۚ َذٰل َِك َخ‬ ْ ُ ْ َ َ َ ْ ُ َ
‫ي‬ ِ ‫َوأ ْوفوا الكيْل إِذا كِ ُت ْم َوزِنوا بِال ِق ْس َط‬
ً َْ ُ َ ْ ََ
‫وأحسن تأوِيل‬
Artinya: Dan sempurnakalah takaran apabila kamu menakar, dan
timbanglah dengan neraca yang benar, itulah yang lebih utama
bagimu dan lebih baik akibatnya.
Mengingat betapa pentingnya kegiatan mengukur dan menilai
kompetensi peserta didik, maka setiap guru harusnya memiliki
pengetahuan tentang konsep dasar penilaian, sehingga evaluasi

150 Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, hlm. 205.
151 Kata evaluasi berasal dari bahasa Inggirs (to evaluate-value-evaluaation), secara harfiah
dapat diartikan sebagai penilaian.
152 Hamsah B. Uno, Assessment Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hlm. 3.

67
Dr. Samsul Bahri, MA.

menjadi suatu proses sistematik untuk mengetahui tingkat


keberhasilan sesuatu, dengan berbasis pada data kuantitatif hasil
pengukuran untuk mengambil keputusan.153 Dengan kata lain, penilain
dalam pendidikan dimaksudkan untuk menetapkan keputusan-
keputusan kependidikan, baik yang menyangkut perencanaan,
pengelolaan, proses dan tindak lanjut kependidikan baik yang
menyangkut perorangan, kelompok maupun kelembagaan.154
Konsep di atas, memberikan penjelasan bahwa evaluasi menjadi
penting agar tujuan yang dicanangkan dapat tercapai. Dengan
demikian, teori evaluasi dalam pendidikan Islami merupakan teknik
penilaian terhadap tingkah laku peserta didik berdasarkan standar
perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh aspek-aspek
kehidupan mental-psikologi dan spiritual peserta didik sebagai sosok
pribadi yang inginkan tujuan pendidikan Islam.155
Teori evaluasi dalam pendidikan Islami adalah pengambilan
sejumlah keputusan yang berkaitan dengan pendidikan Islami guna
melihat sejauh mana keberhasilan pendidikan yang selaras dengan
nilai-nilai Islam sebagai tujuan dari pendidikan Islami itu sendiri.
Dasar teori evaluasi dalam pendidikan Islami adalah Al-qur’an, hal
ini dapat ditemukan dari berbagai sistem evaluasi yang diterapkan
Allah di antaranya: Pertama, evaluasi untuk mengoreksi balasan
amal perbuatan manusia. Sebagaimana firman Allah SWT QS: Al-
Zalzalah: 7-8.
ًّ َ ‫ َو َمن َي ْع َم ْل مِثْ َق َال َذ َّر ٍة‬7 ‫يا يَ َرهُۥ‬
‫شا يَ َرهُۥ‬ ً ْ ‫َف َمن َي ْع َم ْل مِثْ َق َال َذ َّر ٍة َخ‬
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat
dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa
yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya pula.
153 Ahmad Sopyan dkk, Evaluasi Pembelajaran IPA Berbasis Kompetensi, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2006), hlm. 3.
154 Ramayulis, Ilmu Pendididikan Islam, hlm. 200.
155 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002),
hlm. 53.

68
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Kedua, ketika Nabi Sulaiman As. Perna mengevalusi kejujuran


seekor burung Hud-hud yang memberitahukan tentang adanya
kerajaan diperintah oleh seorang wanita cantik, yang dikisahkan
dalam QS. Al-Naml: 27.
َ ْ‫ت أَ ْم ُكن‬
َ ‫ت م َِن الْ َكذِب‬
‫ني‬ َ ْ‫قَ َال َسنَنْ ُظ ُر أَ َص َدق‬
ِ
Artinya: Berkata Sulaiman: Akan kami lihat, apa kamu benar,
ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta.
Dari dua pernyataan ayat Al-Qur’an di atas, dapat dipahami
bahwa teori evaluasi dalam pendidikan Islami mempunyai landasan
yang kuat untuk mencapai tujuan pendidikan Islami. Karena itu,
evaluasi seharusnya dapat memberikan umpan balik yang sangat
berguna pendidikan Islami untuk perbaikan empat hal: Pertama
ishlah yaitu perbaikan terhadap semua komponen-komponen
pendidikan, termasuk perbaikan prilaku siswa. Kedua, tazkiyah
yaitu penyucian terhadap semua komponen-komponen pendidikan.
Artinya melihat kembali program-program pendidikan yang
dilakukan, apakah program itu penting atau tidak dalam kehidupan
peserta didik. Ketiga, tajdid, yaitu memordenisasikan semua kegiatan
pendidikan. Keempat, al-dakhil yaitu masukan sebagai laporan bagi
orang tua berupa rapor, ijazah, piagam dan sebagainya.156 Hanya saja,
prinsip evaluasi berupa keadilan, keobjektifan dan keikhklasan serta
keberlajutan menjadi pondasi dasar untuk mencapai tujuan evaluasi
pendidikan Islami:157
1. Untuk mengatahui atau mengumpulkan informasi tentang
taraf perkembangan dan kemajuan yang diperoleh murid
dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam
kurikulum.

156 Ramayulis, Ilmu Pendididikan Islam, hlm. 205.


157 Ramayulis, Ilmu Pendididikan Islam, hlm. 204. Lihat juga Armai Arief, Pengantar Ilmu dan
Metodologi Pendidikan Islam, hlm. 66.

69
Dr. Samsul Bahri, MA.

2. Mengetahui prestasi hasil belajar guna menetapkan keputusan


apakah bahan pelajaran perlu diulang atau dapat dilanjutkan.
3. Mengatahui efektifitas belajar dan mengajar apakah yang telah
dilakukan guru benar-benar tepat atau tidak yang berkenaan
dengan sikap guru maupun sikap murid.
4. Mengetahui kelembagaan guna menetapkan keputusan yang
tepat dan mewujudkanpersaingan sehat.
5. Mengatahui sejauhmana kurikulum telah dipenuhi dalam
proses kegiatan belajar mengajar.
Bila tujuan dan fungsi evaluasi pendidikan Islami di atas,
dengan merujuk teori taksonomi B.S Bloom yang mengetengahkan
ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik, maka paradigma evaluasi
pendidikan Islami secara integral antara satu dan yang lain tidak bisa
dipisahkan. Hilangnya satu ranah dalam evaluasi pendidikan Islam
menyebabkan gagalnya upaya mengevaluasi.158
Konsep di atas, memberikan pemahaman bahwa evaluasi
dalam pendidikan Islami bersifat menyeluruh, baik dalam hubungan
manusia dengan Allah SWT sebagai pencipta, hubungan sebagai
manusia dengan manusia lain dengan dirinya sendiri. Artinya kajian
evaluasi dalam pendidikan Islam, tidak hanya terkonsentrasi pada
aspek kognitif, tetapi justru dibutuhkan keseimbangan yang terpadu
antara penilaian iman, ilmu dan amal sebagaimana firman Allah:
َّ ْ ‫ك َّن ال‬ ٰ ََ ْ َْ َ ْ َ ْ َ َ ْ ُ َ ُ ُ ُّ َ ُ ْ َ َّ ْ َ ْ َ
‫ب‬ ِ ِ ‫ل‬ ‫و‬ ‫ب‬ ِ ِ ‫ر‬ ‫غ‬ ‫م‬ ‫ال‬ ‫و‬ ‫ق‬ِ ِ ‫ليس ال ِب أن تولوا وجوهكم ق ِبل الم‬
‫ش‬
َ ْ َ َ ّ َّ َ َ َ َْ َ
َ ‫كةِ َوالْك‬ ْ ْ َ ْ َ َّ َ َ ْ َ
‫ني َوآت ال َمال‬ ‫اب وانلب ِ ِي‬ ِ ‫ِت‬ ِ ‫ئ‬ ‫ل‬ ‫م‬ ‫ال‬ ‫و‬ ‫ِر‬
ِ ‫خ‬ ‫ال‬ ‫من آمن بِاللِ والو ِم‬
‫ِني‬َ ‫السائل‬ َّ َ ‫السب‬ َّ ‫ِني َوابْ َن‬ َ ‫ام َوال ْ َم َساك‬ٰ َ ‫ب َو ْالَ َت‬ ٰ َ ْ ُْ َ ّ ُ َٰ َ
ِ ‫يل و‬ ِ ِ ‫ر‬ ‫ق‬ ‫ال‬ ‫ي‬ ِ ِ‫ع حبِه‬
‫و‬ ‫ذ‬
َ َ َ ُ ْ َ َ َ َ
َ َ‫الرقَاب َوأق‬
ۖ ‫الزكةَ َوال ُموفون ب ِ َع ْه ِده ِْم إِذا َعه ُدوا‬ َّ ‫الصلةَ َوآت‬ َّ ‫ام‬ ّ
ِ ِ ‫و ِف‬
َ

158 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 83.

70
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

َ َٰ ُ ْ ْ َ ْ
ُ َ ‫ك َّال‬
ۖ ‫ِين َص َدقوا‬ َّ َّ ‫ين ف ْالَأ َساءِ َو‬
‫الضاءِ َوح‬
‫ِني الَأ ِس ۗ أول ِئ‬ َ َّ َ
ِ ‫والصاب ِ ِر‬
َ ُ ْ ُ َ َ ُ
‫َوأولٰئِك ه ُم ال ُم َّتقون‬
Artinya: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat
itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah
beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-
kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan
zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan
orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan
mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 177)
Ayat di atas, menjelaskan konsep kepribadian seorang muslim
sebagai manusia paripurna adalah aktualisasi dari kualitas keimanan,
keilmuan, dan amal shalihnya. Karena itu, sistem evaluasi dalam
pendidikan Islami sangat komprehensif yang tidak memisahkan ilmu
pengetahuan, prilaku serta tindakan.
Adapun tujuan evaluasi menurut Anas Sudijono, adalah, pertama,
untuk mencari informasi atau bukti-bukti tentang sejauhmana
kegiatan-kegiatan yang dilakukan telah mencapai tujuan, atau
sejauhmana batas kemampuan yang telah dicapai oleh seseorang
atau sebuah lembaga.  Kedua, untuk mengetahui sejauhmana
efektifitas cara dan proses yang ditempuh untuk mencapai tujuan
tersebut.159 Menurut Abudin Nata tujuan evaluasi adalah: (1)
Mengetahui tercapai tidaknya tujuan. (2) Memberi umpan balik bagi
guru dalam melakukan proses pembelajaran. (3) Untuk menentukan
kemajuan belajar. (4) Untuk mengenal peserta didik yang mengalami
kesulitan. (5) Untuk menempatkan murid dalam situasi belajar yang
tepat. (6) Bagi pendidik, untuk mengatur proses pembelajaran. Bagi

159 Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Raja Grafindo: Jakarta,  2006), hlm. 18.

71
Dr. Samsul Bahri, MA.

peserta didik untuk mengetahui kemampuan yang telah dicapai,


bagi masyarakat untuk mengetahui berhasil tidaknya pelaksanaan
program.160
Pemikiran di atas, jelas bahwa evaluasi pada hakikatnya adalah
upaya untuk mencari informasi apakah proses, tujuan, kebijakan,
atau kondisi yang diinginkan telah dicapai. Untuk mengetahui ini
perlu ditentukan apa sesungguhnya sasaran yang dievaluasi, beserta
domain, dimensi serta indikator-indikatornya. Lalu bagaimana teknik
yang valid dan reliable untuk bisa digunakan menggali informasi.
Pendidikan Islam merupakan sistem yang memiliki beberapa
karakteristik berbeda dengan pendidikan pada umumnya, terutama
karena agama (Islam) tidak sekedar menjadi mata pelajaran, tetapi
paradigma yang melandasi dasar dan tujuannya. Model, teknik dan
instrumen evaluasi yang tidak tepat akan melahirkan informasi dan
keputusan yang tidak tepat juga, sehingga tidak akan memberikan
informasi yang tepat terhadap pencapaian tujuan pendidikan Islam
yang sesungguhnya.

160 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:Logos, 2005) hlm. 188.

72
BAB IV
DISKURSUS FILOSOFIS
PENDIDIKAN ISLAM DALAM
PEMIKIRAN PARA TOKOH KLASIK
DAN KONTEMPORER

A. Pengantar
Dunia pendidikan Islam mempunyai banyak tokoh-tokoh
pendidikan yang mempunyai banyak konsep mengenai pendidikan,
hanya saja para praktisi pendidikan Islam masih sedikit yang mau
menggali teori-teori pendidikan yang digagas para ahli pendidikan
Islam baik klasik maupun kontemporer. Dalam rangka mencari
konsep yang sesuai dengan perkembangan zaman untuk dijadikan
bahan pembelajaran dalam merekontruksi system pendidikan
Islam. melihat kenyataan ini, tampaknya menjadi sangat urgen
untuk dilakukan kajian mengenai pendidikan Islam. terutama yang
berkaitan dengan khazana pemikiran pendidikan Islam. Melalui
pengkajian konsep yang dihasilkan tokoh-tokoh pendidikan akan
menghasilkan tawaran-tawaran konsep pendidikan alternatif untuk
pengembangan pendidikan dewasa ini. atau paling tidak, khazana
pendidikan itu dapat diapresiasikan dengan baik.

73
Dr. Samsul Bahri, MA.

B. Modernisasi Pendidikan Perspektif Fazlur


Rahman
1. Potret Biografi Singkat Fazlur Rahman
Fazlur Rahman di lahirkan pada tanggal 21 September 1919 di
Distrik yang terletak di Hazara, Punyab suatu daerarah di anak
benua India (sebelum India terpecah) yang kini merupakan bagian
161
dari Pakistan. Ia dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan
keluarga yang amat religius. Ayahnya tidak seperti kebanyakan
pendapat pada masanya, karena ia berpendapat bahwa pendidikan
modern bukan sebagai racun bagi keimanan maupun moralitas dan
berkeyakinan bahwa Islam harus memandang modernitas sebagai
tantangan-tantangan dan kesempatan yang harus dihadapinnya.
Dan inilah diwarisi oleh Fazlur Rahman.162
Ketika berumur 14 tahun ia masuk sekolah modern dan
di rumah ia tetap menerima pelajaran dari ayahnya berupa
mata pelajaran tentang kajian keislaman seperti fikih, ilmu
163
kalam, tafsir, mantiq, dan filsafat Setelah Fazlur Rahman
menamatkan pendidikan dan menguasai ilmu-ilmu dasar
tersebut, ia melanjutkan pendidikannya jurusan Ketimuran
Punjab University dan berhasil mendapatkan BA, dan bahkan
dua kemudian ia meraih gelas MA dalam sastra Arab. Kemudian
pada tahun 1946, ia melanjutkan pendidikannya ke Inggris, Oxford
dengan mempersiapkan disertasinya tentang psikologi Ibnu Sina
di bawah bimbingan Profesor Simon Van Den Bergh. Disertasi ini
adalah terjemahan, kritikan dan komenter terhadap bagian kitab

161 Anak benua ini memang terkenal dengan deretan pemikir liberalnya seperti Syah Waliullah
Sir Sayyid, Amir Ali dan Muhammad Iqbal. Dengan latar belakang semacam inilah tidak
mengherankan jika Fazrur Rahman banyak yang kemudian mengklaim sebagai seorang
pemikir liberar dan redikal. Baca Abu A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, Jakarta,
Paramadina, 2003, h. 39.
162 Fazlur Rahman, An Autobiographical Note, dalam Journal Of Islamic Reseach Vol. 4, No. 4,
Oktober 1990, h. 227.
163 Fazlur Rahman, Cita-Cita Islam, Terj, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, h. 6.

74
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

An-Najt karya Ibnu Sina, seorang filosof ternama pada abad ke-7.4
164

Karena itu, pada tahun 1952 Fazlur Rahman berhasil meraih gelar
Doktoral, namun ia tidak langsung pulang ke Pakistan, yang baru
merdeka beberapa tahun dan tentunya amat membutuhkan
tenaga. Kecemasanya karena latar belakang pendidikan berasal
dari Barat , masih menghantui alam pemikirannya, sehingga ia
memilih untuk menetap di Barat. Akhirnya ia mengajar beberapa
tahun di Durham University, Inggris dari tahun 1950-1958. Kemudian
ia meninggalkan Inggris untuk menjadi Associate Profesor pada kajian
keislaman di Institut of Islamic Studi. Mc.Gill University Kanada di
Montreal. Setelah tiga tahun di Kanada, persisnya awal tahun 1960,
Fazlur Rahman meningalkan Kanada karena di minta kembali ke
Pakistan oleh Ayyub Khan sebagai presiden ketika itu, agar ia ikut
serta berpartisipasi dalam membangun masyarakat dan negara
Pakistan.
2. Gagasan Modernisasi Fazlur Rahman di Bidang
Pendidikan
Ketika pendidikan di dunia Islam mengalami kemunduran dan
menjangkiti virus-virus dikotomi pengetahuan, bahkan pandangan
terhadap ilmu sekuler adalah ilmu yang membawah umat Islam
kepada kekafiran. Membuat pendidikan di dunia
Islam dalam realitas lebih mengedepankan supermasi pada
ilmu-ilmu agama sebagai jalan tol menuju Tuhan. Sementara ilmu-
ilmu umum atau ilmu duniawi tidak menjadikan umat Islam tertarik.
Fenomena tersebut mengakibatkan seluruh komponen
pendidikan di dunia Islam berorientasi kepada kehidupan akhirat
saja dan bersifat depensif. Dalam kondisi seperti inilah sosok Fazlur
Rahman telah memberikan gagasan-gagasan pembaharuan pada
seluruh komponen pendidikan. Gagasan-gagasan pembaharuan
antara lain:
164 Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, Studi Tentang Fundamentalisme Islam,
Jakarta, Rajawali Press, 2000, h. 2.

75
Dr. Samsul Bahri, MA.

a. Tujuan Pendidikan
Menurut Fazlur Rahman strategi pendidikan di dunia Islam
yang ada sekarang ini tidaklah benar-benar di arahkan kepada
tujuan positif, tetapi lebih cenderung bersifat depensif. Yaitu untuk
menyelamatkan pikiran kaum muslimin dari pencemaran atau
kerusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasa-gagasan Barat
yang datang melalui berbagai disiplin ilmu, terutama gagasan-
gagasan yang akan meledakkan standar moralitas Islam.165
Dalam kondisi demikian, tujuan pendidikan yang dikembangkan
di seluruh dunia secara universal bersifat mekanis.166 Akibatnya
muncullah golongan yang menolak segala apa yang berbauh Barat,
bahkan ada pula yang mengharamkan pengambil alihan ilmu dan
teknologinya.167 Sehingga apabila kondisi ini terus berlanjut akan
dapat menyebabkan umat Islam tidak akan bangkit dari kemunduran
dalam bidang kependidikan.
Oleh karena itu, kekeliruan pembaharuan pendidikan Islam
tersebut menurut Fazlur Rahman adanya ketidak singkronan dalam
menghubungkan antara tujuan- tujuan yaitu antara orientasi
ideologi, ilmu pengetahuan dan agama itu sendiri. Seolah- olah
peserta didik dikejar dengan salah satu tujuan saja atau tanpa
tujuan, sehingga tidak terinspirasi untuk belajar secara aktif.
Karena itu, secepat mungkin perlu dibangun hubungan signifikansi
antara tujuan pengetahuan, ideologi dan etika moral dalam sebuah
rumusan tujuan pendidikan Islam termasuk rill negara.168
Bagi Fazlur Rahman kemunduran yang dialami umat Islam
adalah lemahnya dan rendahnya intelektualisme Islam,169 untuk
165 5 Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of Intellectual Tradition, h. 86.
166 6 Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of Intellectual Tradition, h. 86.
167 7 A. Syafi’I Ma’arif, Peta Bumi Intelektual Islam di Indonesia, Bandung, Mizan, 1993, h. 145.
168 8 Fazlur Rahman, “The Qur’anic Solution of Pakistan’s Education Problem”, dalam Islamic
Studies, Vol, IV, No. 4. 1967, h. 320-321.
169 9 Inteletualisme Islam adalah pertumbuhan suatu pemikiran yang asli dan memadai,
yang harus memberikan kriteria untuk menilai keberhasilan dan kegagalan sebuah sistem
pendidikan Islam.

76
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

itu dunia pendidikan Islam harus melakukan beberapa hal untuk


memajukan dunia pendidikannya antara lain:
1. Tujuan pendidikan yang bersifat defensif dan cenderung
berorientasi hanya kepada kehidupan akhirat tersebut harus
segera dirubah, menjadi tujuan pendidikan yang berorientasi
kepada dunia dan akhirat, sekaligus bersumber kepada al-
170
Qur’an. Menurutnya bahwa tujuan pendidikan dalam
pandangan al- Qur’an adalah mengembangkan kemampuan inti
manusia dengan cara sedemikian rupa sehingga seluruh ilmu
pengetahuan yang diperoleh akan menyatu dengan kepribadian
kratif.
2. Beban psikologi umat Islam dalam menghadapi Barat harus
segera dihilangkan. Karena itu, menurut beliau bahw peradaban
Barat masih ada hal yang bersifat positif dan dapat diIslamkan.171
3. Melakukan kajian keislaman yang menyeluruh secara historis
dan sistematis mengenai perkembangan disiplin-disiplin ilmu
Islam seperti teologi, hukum etika, hadis, ilmu sosial, dan filsafat
dengan berpegang kepada al-Qur’an sebagai penilai.172
b. Pendidik dan Peserta didik
Menurut Fazlur Rahman bahwa dunia pendidikan Islam belum
mampu melahirkan pendidik-pendidik yang profesional dan kreatif,
oleh karena itu mengenai pendidik, Fazrul Rahman menawarkan
beberapa gagasan antara lain:
1. Menggiatkan para pendidik untuk melahirkan karya-karya
keislaman secara kreatif dan memiliki tujuan. Di samping
menulis karya-karya tentang sejarah, filsafat, seni, juga harus

170 10 Fazlur Rahman, “The Qur’anic Solution of Pakistan’s Education Problem”, dalam Islamic
Studies, h. 315.
171 11 A. Syafi’I Ma’arif, Islam Kekuasaan Doktrin dan Keagamaan Umat, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
1991, h. 50.
172 12 Kajian Islam secara menyeluruh secara historis dan sistematis tentang perkembangan
disiplin ilmu- ilmu Islam, di samping dapat menghilangkan beban psikologi umat Islam
menghadapi Barat, juga berfungsi

77
Dr. Samsul Bahri, MA.

mengkonsentrasikannya kembali kepada pemikiran Islam.


Karena itu pendidika harus bersungguh-sungguh dalam
mengadakan penelitian dan berusaha untuk menerbitkan
karya-karya tersebut. Bagi mereka yang memiliki karya yang
bagus harus diberi penghargaan antara lain meningkatkan
gajinya.173
2. Mengangkat beberapa lulusan madrasah yang memiliki
pengetahuan bahasa Inggris dan mencoba melatih mereka
dalam teknik riset modern dan sebaliknya menarik para lulusan
universitas bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial dan memberi
mereka pelajaran bahasa arab dan disiplin ilmu-ilmu klasik
seperti hadis, dan yurisprudensi Islam.174 Tampak jelas Fazlur
Rahman menginginkan pendidik-pendidik yang kreatif dan
mempunyai komitmen kuat terhadap Islam.
3. Mempersiapkan peserta didik yang memiliki bakat-bakat terbaik
dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap lapangan
agama. Peserta didik seperti ini harus dibina dan diberikan
insentif yang memadai untuk membantu memenuhi keperluan
dalam peningkatan karir intelektual mereka.175
4. Mengangkat lulusan madrasah yang relatif cerdas atau
menunjuk sarjana-sarjana modern yang telah memperoleh
gelar doktor di universitas-universitas Barat dan telah berada di
lembaga-lembaga keilmuan tinggi guru besar pada bidang studi
bahasa Arab, persi dan sejarah Islam.176

173 13 Fazlur Rahman, “ Recommendation for Improvenment of IAIN, h. 522.


174 14 Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of Intellectual Tradition, h. 123.
175 15 Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of Intellectual Tradition, h. 139.
176 16 Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of Intellectual Tradition, h. 119.
17 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, h. 400.

78
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

C. Pendidikan Non Dikotomik Perspektif Hasan


Langgulung
1. Riwayat Hidup
Beliau dilahirkan di Rappang, sebuah bandar kecil di Sulawesi
Selatan tanggal 16 Oktober 1934. Hasan Langgulung mengawali
pendidikan formalnya di Sekolah Dasar persisnya di Rappang,
tanah kelahirannya di Ujung Pandang.17 Setelah tamat Sekolah
Dasar ia melanjutkan studinya di Sekolah Menegah Pertama dan
Sekolah Menengah Islam di Ujung Pandang, pada tahun 1949-1952.
Dan pada tahun 1952-1955, beliau belajar di Sekolah Guru Islam di
Ujung Pandang.
Di samping belajar di bangku sekolah formal, beliau juga belajar
bahasa Inggris di Ujung Pandang. Kemudian Hasan Langgulung
melanjutkan studinya ke Mesir, yaitu di Islamic Studies pada
Fakultas Dar al-Ulum, Cairo University, tamat tahun 1962 dengan
meraih gelar BA.177
Pada tahun 1963-1964 ia berhasil merampungkan pendidikannya
dalam program Diploma of Education (General), Eins Shams University,
Cairo dalam tahun yang sama ia juga mengikuti pendidikan Special
Diploma of Education (Mental Hygiene), Eins Shams, University Cairo.
Dan beliau juga pada tahun 1964 memperoleh Diploma dalam bidang
Sastra Arab Modern dari Institut of Higher Arab Studies, Arab
Languange, Kairo.19
Pada tahun 1967 ia berhasil meraih gelar MA dalam bidang
Psikologi dan Mental Hyegine, Eins Shams University dengan judul
tesis ”Al-Murahiq al-Indonesia: Ittijatuh wa Darjat Tawafuq’Indahu”.
Tetapi gelar Ph.D-nya, ia peroleh di University of Georgia, Amerika
Serikat tahun 1971 dalam bidang Psikologi dengan judul disertasi “A
Cross Cultural Study of the Child Conception of Situtional Causality in
India, Western Samoa, Mexico and the United State”.20

177 Langgulung, Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial h. 299. 19Hasan
Langgulung, Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial, h. 299. 20 Hasan
Langgulung, Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial, h. 299.

79
Dr. Samsul Bahri, MA.

2. Karya-Karya Hasan Langgulung


Hasan Langgulung adalah seorang pakar dan ilmuwan yang
memiliki latar belakang yang luas dalam bidang pendidikan dan
psikologi. Sebab beliau termasuk salah seorang tokoh dan pemikir
yang produktif, hal ini bisa dilihat dari karya-karya beliau berupa
puluhan buku yang berkisar dalam bidang psikologi pendidikan,
filsafat Islam dan ini membuktikan bahwa beliau seorang yang
kompeten dan profesional dalam bidangnya.
Untuk pola kajian pendidikan Islam di Indonesia karya beliau
tergolong karya- karya pemikiran dan teori pendidikan, yaitu; ia
berusaha mengembangkan konsepsi kependidikan Islam secara
menyeluruh dengan bertitik tolak dari sejumlah pandangan dasar
Islam mengenai pendidikan dan mengkombinasikannya dengan
kependidikan modern Barat.178
Adapun karya-karya Hasan Langgulung dalam bidang psikologi
berupa buku antara lain; Teori-teori Kesehatan Mental (1986), Psikologi
dan Kesehatan Mental di Sekolah-sekolah (1979), Ilm al-Nafs al-Ijtima’
(dalam proses percetakan) dan Isu-isu Semasa dalam Psikologi
(dalam percetakan).
Dalam bidang pendidikan, pendidikan Islam: Suatu Analisis Sosio-
Psikological (1979), Beberapa Tinjauan dalam pendidikan Islam, 1985,
Pengenalan Tamadun Islam dalam Pendidikan, tahun 1986, Daya Cipta
dalam Kurikulum Penidikan, 1986, Manusia dan Pendidikan: Suatu
Analisis psikologi dan Pendidikan, (1986). Pendidikan Islam menjelang
Abad ke –21 (1988), al-Taqwin wa al-Ihsa fi al-Tarbiyah wa Ilm al-nafs
(dalam percetakan).179
178 21 Azyumardi Azra, membagi tipologi pola kajian kependidikan Islam ini menjadi tiga;
kajian historis, yaitu pola pemikiran dan teori kependidikan dan pola kajian metodologis.
Dalam pola kajian pemikiran dan teori kependidikan ini karya Hasan Langgulung
disejajarkan dengan karya-karya Musain Arifin, Zakiah Daradjat, Daen Marimba, termasuk
karya Sahminan Saini dan Abdul Munir Mulkhan. Azyumardi Azra, Pola Kajian Pendidikan
Islam di Indonesia dalam Jurnal Ilmiah Pendidikan Islam, seri II , Cirebon, IAIN Sunan Gunung
Djati, 1995, h. 24.
179 22 Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma Dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial, h. 299.

80
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Dalam bidang filsafat ada beberapa buku, yaitu; Filsafat


Pendidikan Islam (terjemahan, 1979), Asas-asas Pendidikan Islam
(1987), Kreativitas dan Pendidikan Islam: Analisis Psikologi dan Falsafah
(1991), Falsafah Sekolah Rendah (dalam percetakan).
Dalam bidang keislaman; Fenomena al-Qur’an (dalam proses).
Selain karya-karyanya di atas ia juga menulis lebih dari
60 artikel di berbagai majalah luar negeri dan dalam negeri.
Diantaranya Journal of Social Psychology, Journal of Croos Cultural
Psychology, Islamic Quarterly, Muslim Education Quarterly, Dewan
Masyarakat dan masih banyak lagi. Ia juga telah menulis beberapa
buku bahasa Arab dan telah diterbitkan.180
3. Pendidikan Non dikotomik Perspektif Hasan
Langgulung
a. Hakikat Pendidikan Islam
Pendidikan dalam pemahaman Hasan Langgulung, mencakup
kehidupan manusia seutuhnya, tidak hanya memperhatikan segi
akidah, tetapi juga ibadah, serta akhlak. Bahkan menurutnya
pendidikan itu dapat bermakna merubah dan memindahkan nilai
kebudayaan kepada masyarakat dan individu.181 Dari pernyataan
tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan dapat melalui
bermacam-macam proses pemindahan nilai pada suatu masyarakat
kepada setiap individu yang ada di dalamnya. Oleh karena itu,
menurut Hasan Langgulung konsep pendidikan Islam adalah sebagai
berikut:
Pertama, pendidikan Islam harus mampu meransang
tumbuhnya potensi yang pada diri setiap anak didik, hal ini
dari segi individu. Kedua, pendidikan Islam menekankan pada
kemampuan manusia memperoleh pengetahuan dengan mencarinya

180 23Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam,h.400, Lihat juga dalam Peralihan Paradigma
Dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial, h. 299.
181 24 Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam; Suatu Analisa Sosio-Psikologi, Jakarta,
Pustaka Al-Husna, 1985, h. 3.

81
Dr. Samsul Bahri, MA.

pada alam di luar manusia. Di sini mencari lebih merupakan proses


memasukkan wujud luar dari diri seorang pelajar, dari segi
pandangan masyarakat. Ketiga, memandang pendidikan sebagai
suatu transaksi, yaitu proses memberi dan mengambil, antara
182
manusia dan lingkungannya. Jadi pendidikan menurut Hasan
Langgulung adalah sebagai alat pengembangan potensi, pewarisan
budaya, dan sebagai interaksi antara potensi dan budaya.
Ketiga pendekatan tersebut tidak bisa berjalan sendiri-sendiri,
yang mungkin adalah salah satunya mendapat penekanan lebih
banyak, sedangkan yang lain tidak sebanyak itu, namun ia juga
memegang peranan dalam aspek-aspek tertentu.183
Pengembangan potensi yang dimaksud adalah fitrah
manusia itu sendiri sebagaimana yang terkandung dalam al-
Asma’ al-Husna, yang pengembangannya merupakan ibadah.
Pewarisan budaya dimaksudkan adalah al-Din yang menjadi tapak
tegaknya peradaban Islam, yang diwariskan dari satu generasi
ke generasi berikutnya sebagai perwujudan dari ibadah kepada-
Nya. Interaksi antara potensi dan budaya menggambarkan potensi
(fitrah) berkembang dari dalam tiap individu, sedangkan al- Din
bersifat dari luar ke dalam.184
Secara jelas Hasan Langgulung mendefinisikan, bahwa
pendidikan Islam suatu proses spritual, akhlak, intelektual, dan
sosial yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-
nilai prinsip-prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan yang
bertujuan mempersiapkan kehidupan dunia akhirat.185
Pendapat serupa juga dikemukakan Zakiah Daradjat bahwa
pendidikan menurut Islam adalah: pertama, mencakup semua
dimensi manusia sebagaimana ditentukan oleh Islam. Kedua,

182 25 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam dalam Abad 21, Jakarta, Al-Husna Zikra, 2001, h. 51.
183 26 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam dalam Abad 21, h. 51.
184 27 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam dalam Abad 21, h. 52-58.
185 28 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, h. 3

82
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

menjangkau kehidupan di dunia dan akhirat secara seimbang.


Ketiga, memperhatikan manusia dalam semua gerak
kegiatannya, serta mengembangkan daya hubungan dengan
orang lain. Keempat, berlanjut sepanjang hayat, mulai dari manusia
sebagai janin dalam kandungan ibunya, sampai berakhirnya hidup
di dunia. Kelima, dengan melihat ungkapan tersebut, maka
kurikulum pendidikan Islam akan menghasilkan manusia yang
memperoleh hak di dunia dan di akhirat.29186
Ungkapan di atas, dapat dipahami bahwa konsep yang diinginkan
Zakiah yakni berupaya mencakup seluruh dimensi, eksitensi,
substansi, dan relasi manusia. Konsep pendidikan yang demikian
hanya akan terwujud bila proses dan pelaksanaan pendidikan berjalan
secara terus menerus dan pemahaman pendidikan bukan hanya
proses belajar dan mengajar di sekolah belaka. Pemahaman tentang
pendidikan yang demikian ini pada gilirannya akan menimbulkan
kesadaran umat Islam bahwa pendidikan bukan hanya di sekolah
atau di madrasah.
Dalam konsep pendidikan Islam memang telah diakui dan
dikenal bahwa pendidikan bukanlah dilaksanakan di sekolah
melainkan juga dalam keluarga dan masyarakat. Pendidikan keluarga
merupakan pendidikan yang sangat penting dan menentukan.
Demikian pula pendidikan di sekolah dan di masyarakat. Ketiga
komponen pendidikan tersebut memiliki tanggung jawab dan
peranan yang sama besar dan sama menentukannya.30187
Pendidikan Islam harus mencakup seluruh dimensi
manusia artinya pendidikan yang dilaksanakan harus mampu
mengembangkan seluruh dimensi yang ada dalam diri manusia,
yaitu fisik, akal, akhlak, iman, kejiwaan, estetika, dan sosial

186 29 Lihat Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta, YPI Ruhama,
1996, h. 35.
187 30 Lihat, Muhammad Abd al-Qadir Ahmad, Thuruq Ta’lim al-Tarbiyah al-Islamiyah, Kairo,
Maktabah al-Nahdlah, 1981, h. 35-40.

83
Dr. Samsul Bahri, MA.

kemasyarakatan. Kesemua dimensi manusia tersebut pada intinya


adalah potensi dasar yang dimiliki oleh setiap individu.
Karena itu menurut Hasan langgulung, bahwa potensi
individu merupakan karunia Tuhan yang harus dikembangkan dalam
pendidikan rohani dan keimanan serta menempatkan pendidikan
al-insaniyah sebagai upaya mebangkitkan kembali nilai-nilai fitrah
peserta didik yang potensial pada posisi ideal.31 Lebih lanjut Hasan
188

Langgulung menjelaskan bahwa pengembangan potensi dapat


diumpamakan seperti pertumbuhan dan perkembangan bunga-
bunga, di mana potensi-potensi tersembunyi yang ada pada benih,
berkembang menjadi bunga ang mekar.32 Sebagai bandingannya
189

anak-anak itu adalah benih yang mengandung potensi-potensi dasar


tersembunyi dan tidak kelihatan. Guru diibaratkan sebagai tukang
kebun, melalui kemesraan dan pemeliharaan yang cermat dapat
dibuka rahasia potensi-potensi yang tersembunyi ini. Pendidikan
adalah proses mengajar berkebun, dengan kemampuan-
kemampuan yang tidak tampak dan menjadi jelas melalui
pemilihan dan penggunaan yang bijak terhadap pupuk yang sesuai.
Demikian pula Al-Jamaly, mengatakan bahwa pendidikan
Islam adalah upaya mengembangkan, mendorong dan mengajak
peserta didik lebih maju dan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi
dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih
sempurna baik yang berkaitan dengan akal, perasaan maupun
perbuatan.33
190
Hal juga dikemukakan Al-Attas sebagaimana
dikutip Muhaimin bahwa pendidikan Islam adalah pengakuan
yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia,
tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam
tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah
pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan di dalam tatanan wujud
188 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, h. 200.
189 32 Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial, h. 117.
190 33 Muhammad Fadli al-Jamaly, Filsafat Pendidikan dalam al-Qur’an, Surabaya, Bina Ilmu,
1986,

84
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

dan kepribadian.34191
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa manusia yang
dinginkan oleh pendidikan Islam adalah manusia yang mengenal
dirinya (kemampuan, bakat, minat dan sebagainya) dan tempat-
tempat segala sesuatu dalam tatanan wujud, serta mengadakan
pengakuan atau mewujudkan kemampuan, bakat, dan minatnya
dalam kehidupannya. Dengan kata lain bahwa pendidikan Islam
bagaimana mengembankan potensi anak didik seoptimal mungkin
untuk mewujudkan dalam memecahkan problema kehidupan
dan sekaligus pengembangan pemahaman akan kekuasaan dan
keangungan-Nya dalam tatanan wujud.
Dari beberapa definisi pendidikan Islam tersebut dapat dipahami
bahwa proses pendidikan merupakan rangkaian usaha membimbing,
mengarahkan potensi hidup manusia, berupa kemampuan dasar
(fitrah) dan kemampuan belajar, sehingga terjadilah perubahan
di dalam kehidupan pribadinya sebagai makhluk individual, sosial
serta dalam hubungannya dengan alam sekitarnya di mana ia hidup.
Proses tersebut senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai ideal Islam yang
melahirkan norma-norma syariah dan akhlakul karimah untuk
mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat yang hasanah.
Namun demikian, dilihat dari konsep dasar dan operasionalnya
serta praktek penyelenggaraannya, maka pendidikan Islam pada
dasarnya mengandung tiga pengertian, yaitu:
1. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang dipahami dan
kembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang
terkandung dalam sumber dasar, yaitu al-Qur’an dan as-
Sunnah. Dalam pengertian pertama ini, pendidikan Islam dapat
berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan
diri atau dibangun dan dikembangkan dari sumber-sumber
dasar tersebut atau bertolak dari spirit Islam.
191 34 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003,
h. 3.

85
Dr. Samsul Bahri, MA.

2. Pendidikan Islam adalah pendidikan ke-Islaman atau


pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidikan agama
Islam atau ajaran dan nilai-nilainya, agar menjadi pandangan
hidup dan sikap hidup seorang. Dalam pengertian yang kedua
pendidikan Islam dapat berwujud: (1) segenap kegiatan yang
dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk membantu
seorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan
atau menumbuhkembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya; (2)
segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang
atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya ajaran Islam dan
nilainya pada salah satu atau beberapa pihak.
3. Pendidikan Islam adalah proses dan praktek penyelengaraan
pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam realitas
sejarah umat Islam. Dalam pengertian ini, pendidikan Islam
dalam realitas sejarahnya mengandung dua kemungkinan, yaitu
pendidikan Islam tersebut benar-benar dekat dengan identitas
Islam atau mungkin mempunyai jarak dan kesenjangan dengan
idealitas Islam.35192
Dengan demikian, konsep dasar hakikat pendidikan Islam dapat
dipahami dan dianalisis serta dikembangkan dari al-Qur’an dan
as-Sunnah atau bertolak dari sprit Islam. Konsep operasionalnya,
dapat dimengerti, dianalisis dan dikembangkan melalui proses
pembudayaan, pewarisan dan pengembangan ajaran Islam dan nilai-
nilainya, budaya serta peradaban Islam dari generasi ke generasi.
Sedangkan secara praktis dapat pahami, dianalisis dan dikembangkan
dari proses pembinaan dan pengembangan (pendidikan) pribadi
muslim pada setiap generasi dalam sejarah umat IslamDari pendapat
Hasan Langgulung dan tokoh pendidikan Islam lainnya jelaslah,
bahwa pendidikan Islam adalah sistem kependidikan yang mencakup
seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba Allah yang
berkepribadian muslim. Di samping itu, menjadi pedoman seluruh
192 35 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, h. 23-24.

86
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

aspek kehidupan muslim baik duniawi maupun ukhrawi. Oleh karena


itu pendidikan merupakan salah satu syarat utama dalam upaya
meneruskan dan mengekalkan nilai-nilai kebudayaan dari sebuah
masyarakat.36 Dengan demikian, pendidikan merupakan alat
193

untuk mencapai suatu tujuan bagi sebuah masyarakat.37194


b. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan dalam menjalankan fungsinya sebagai agen of culture
dan bermanfaat bagi manusia itu sendiri, maka dibutuhkan acuan
pokok yang mendasarinya. Karena pendidikan merupakan bagian
yang terpenting dari kehidupan manusia, yang secara kodrati adalah
insan pedagogik, maka acuan yang menjadi dasar bagi pendidikan
adalah nilai yang tertinggi dari pandangan hidup masyarakat di
mana pendidikan itu dilaksanakan. Untuk itu, karena yang akan
dibicarakan di sini adalah pendidikan Islam, maka yang menjadi
pandangan hidup yang mendasarinya adalah pandangan yang
Islami, yaitu terhadap nilai yang transenden, universal, dan internal.
Dalam menetapkan sumber pendidikan Islam, para pemikir berbeda
pendapat.
Menurut Hasan Langgulung ada lima sumber nilai yang diakui
dalam Islam yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber yang
asal. Kemudian qiyas yang artinya menbandingkan masalah yang
disebutkan oleh al-Qur’an atau Sunnah dengan masalah yang
dihadapi umat Islam tetapi nash yang tegas dalam al-Qur’an tidak
ada. Kemudian kemaslahatan umum yang tidak bertentangan
dengan nash. Sedangkan sumber kelima adalah ijma’ ulama dan ahli
pikir Islam yang sesuai dengan sumber al-Qur’an dan as- Sunnah.38
195

Menurut Hasan langgulung, dapat dipahami bahwa sumber


pendidikan Islam menurut ia ada tiga yakni al-Qur’an, as-Sunnah
193 36 Lihat, Sayyed Hossein Nasr, Menjelajah Dunia Modern, Tej, Bandung, Mizan, 1994, h. 219.
194 37 Hazil Abdul Hamid, Sosiologi Pendidikan dalam Perspektif Pembangunan Negara, Kuala
Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990, h. 80.
195 38 Baca Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung, al-Ma’arif, 1980,
Cet I, h. 94.

87
Dr. Samsul Bahri, MA.

serta ijtihad. Hal ini berbedah dengan Abdul Fattah Jalal yang
membagi sumber pendidikan Islam ke dalam dua yaitu: pertama,
sumber Ilahi yang meliputi al-Qur’an, Hadits dan alam semesta
sebagai ayat kauniyah yang perlu ditafsirkan kembali. Kedua, sumber
insaniyah, yaitu lewat proses ijtihad manusia dari fenomena yang
muncul dan dari kajian lebih lanjut terhadap sumber Ilahi yang masih
bersifat global.39 Secara ekspilisit, ketiga sumber tersebut dapat
196

dijabarkan sebagai berikut:


1. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang telah diwahyukan-
Nya kepada nabi Muhammad bagi seluruh umat manusia. Al-Qur’an
merupakan petunjuk yang lengkap, pedoman bagi manusia yang
meliputi seluruhaspekkehidupanmanusiayangbersifatuniversal.40
197

Keuniversalan ajarannya mencakup ilmu pengetahuan yang tinggi


sekaligus merupakan mulia yang esensinya tidak dapat dimengerti,
kecuali bagi orang yang berjiwa suci dan berakal cerdas.41198
Al-Qur’an merupakan kitab Allah SWT yang memiliki
perbendaharaan yang luas dan besar bagi pengembangan
kebudayaan umat manusia. Al-Qur’an merupakan sumber
pendidikan yang terlengkap, baik itu pendidikan kemasyarakatan
(sosial), moral (akhlak), maupun spiritual (kerohanian), serta
material(kejasmanian) dan alam semesta. Al-Qur’an merupakan
sumber nilai yang absolut dan utuh. Eksistensinya yang tidak pernah
mengalami perubahan. Kemungkinan terjadi perubahan hanya
sebatas interpretasi manusia terhadap teks ayat yang menghendaki
kedinamisan pemaknaannya, sesuia dengan konteks zaman, situasi,
kondisi, dan kemampuan manusia dalam melakukan interpretasi. Ia
merupakan pedoman normatif teoritis bagi pelaksanaan pendidikan

196 39 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Gaya Media
Pratama, 2000, h. 95.
197 40 Lihat Ramayulis, Ilmu pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 1994, h. 13-14.
198 41 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Mesir, Dar al-Manar, IV/1373, Juz I, h. 262.

88
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Islam yang memerlukan penafsiran lebih lanjut bagi operasional


pendidikan Islam yang lebih lanjut.
Isinya mencakup seluruh dimensi manusia dan mampu
menyentuh seluruh potensi manusia, baik itu motivasi untuk
mempergunakan pancaindra dalam menafsirkan alam semesta
bagi kepentingan formulasi lanjut pendidikan manusia (pendidikan
Islam), motivasi agar manusia mempergunakan akalnya, lewat
tamsilan- tamsilan Allah SWT. dalam al-Qur’an, maupun motivasi
agar manusia mempergunakan hatinya untuk mentransfer nilai-
nilai pendidikan Ilahiah, dan lain sebagainya. Semua proses ini
merupakan sistem umum pendidikan yang ditawarkan Allah SWT.
dalam al- Qur’an, agar manusia dapat mencari kesimpulan dan
melaksanakan kesemua petunjuk tesebut dalam kehidupannya
sebaik-baik mungkin.
Bila melihat begitu luas dan persuasifnya al-Qur’an dalam
menuntun manusia, yang kesemuanya merupakan proses
pendidikan kepada manusia, menjadikan al- Qur’an sebagi kitab
dasar utama bagi pengembangan ilmu pengatahuan manusia.
Mourice Bucaille42 kagum akan isi kandungan al-Qur’an dan
199

mengatakan bahwa al- Qur’an merupakan kitab suci yang obyektif


dan memuat petunjuk bagi pengembangan ilmu pengetahuan
modern. Dari penafsiran terhadap ide-ide yang termuat dalam
al- Qur’an, sains modern dapat berkembang dengan pesat dan
memainkan peranannya dalam membagun dunia ini.
Rujukan di atas memberikan kesimpulan yang jelas akan
orientasi yang dimuat dan dikembangkan al-Qur’an bagi kepentingan
manusia dalam melaksanakan amanat yang diberikan Allah SWT.
Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan Islam harus mengacu pada
al-Qur’an, dengan berpegang pada nilai-nilai yang terkandung dalam
al- Qur’an terutama dalam pelaksanaan pendidikan Islam akan
199 42 Maurice Bucaille, Bibel, al-Qur’an, dan Sains, Terj. H.M. Rasyidi, Jakarta, Bulan Bintang,
1979, h. 375.

89
Dr. Samsul Bahri, MA.

mampu mengantar dan mengarahkan manusia bersifat dinamis


dan kreatif, serta mampu mencapai esensi nilai- nilai ‘ubudiyah pada
Khaliqnya.
Dengan sikap ini, maka proses pendidikan Islam akan senantiasa
terarah dan mampu menciptakan serta mengantarkan out putnya
sebagai manusia berkualitas. Dan bertanggung jawab terhadap
semua aktivitas yang dilakukannya. Hal ini dapat dilihat bahwa
hampir dua pertiga dari ayat al-Qur’an mengandung nilai-
nilai yang membudayakan manusia dan memotivasi manusia untuk
mengembangkannya lewat proses pendidikan.43 Bila ditinjau dari
200

proses turunnya yang berangsur-angsur dan sesuai dengan berbagai


peristiwa yang melatarbelakangi peristiwa turunnya, merupakan
proses pendidikan yang ditujukan Allah kepada manusia. Dengan
proses tersebut memberikan nuansa baru bagi manusia untuk
dilaksanakan pendidikan secara terencana dan berkesinambungan,
layaknya proses turunnya al-Qur’an dan disesuaikan denagn
perkembangan zaman dan tingkat kemampuan peserta didiknya.
Disisi lain, proses pendidikan yang ditunjukan al-Qur’an bersifat
merangsang emosi dan kesan insani manusia, baik secara induktif
maupun deduktif. Dengan sentuhan emosinal tersebut secara
psikologis mampu untuk lebih mengkristal dalam diri peserta didik,
yang akan terimplikasi lewat amal perbuatannya sehari-hari yang
bernuansa Islami.
Dari rujukan ini, terlihat bahwa seluruh dimensi yang terkandung
dalam al-Qur’an memiliki misi dan implikasi kependidikan yang
bergaya imperstif, motivatif, dan persuasif, dinamis, sebagai suatu
sistem pendidikan yang utuh dan demokratis lewat proses manusiawi.
Proses kependidikan tersebut bertumpu pada kemampuan rohaniah
dan jasmaniah masing-masing peserta didik, secara bertahap dan
berkesinambungan, tanpa melupakan perkembangan zaman

200 43 Lihat H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Interdisipliner, Jakarta, Bumi Aksara, 1993, h. 48.

90
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

dan nilai-nilai Ilahiah. Semua proses pendidikan Islam tersebut


merupakan proses konservasi dan transformasi, serta internalisasi
nilai-nilai dalam kehidupan manusia sebagaimana yang diinginkan
oleh ajaran Islam. Dengan upaya ini, diharapkan peserta didik
mampu hidup secara serasi dan seimbang, baik dalam kehidupan di
dunia maupun di akhirat.
2. Hadits (as-Sunnah)
Secara sederhana, hadits atau as-sunnah merupakan jalan atau
cara yang pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam
perjalanan kehidupannya menjalankan dakwah Islam. Contoh yang
diberikan beliau dapat dibagi kepada tiga bagian pertama, hadits
qauliyat yaitu yang berisikan pernyataan, dan persetujuan Nabi
Muhammad SAW. Kedua, hadits fi’liyyat yaitu yang berisi tindakan dan
perbuatan yang pernah dilakukan Nabi. Ketiga hadits taqririyat yaitu
yang merupakan persetujuan Nabi atas tindakan dan peristiwa yang
terjadi.44201
Semua contoh yang ditunjukkan Nabi, merupakan sumber dan
acuan yang dapat digunakan umat Islam dalam seluruh aktivitas
kehidupannya. Hal ini disebabkan, meskipun secara umum sebagian
besar dari syariah Islam terkandung dalam al-Qur’an, namun muatan
hukum yang terkandung, tidak mengatur berbagai dimensi aktivitas
kehidupan umat secara mendetail terperinci. Penjelasan syariah
terkandung dalam al- Qur’an, masih bersifat umum dan global. Untuk
itu, diperlukan hadits Nabi sebagai penjelas dan penguat hukum-
hukum al-Qur’an yang ada sekaligus sebagai petunjuk (pedoman)
bagi kemashlatan hidup manusia dalam semua aspeknya45202.
Dari sini dapat dilihat bagaimana posisi dan fungsi hadits Nabi
sebagai sumber pendidikan Islam yang utama setelah al-Qur’an,
eksistensinya merupakan sumber inspirasi ilmu pengatahuan yang
201 44 Baca Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Gaya
Media Pratama, 2001, h. 97.
202 45 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1996, h. 21.

91
Dr. Samsul Bahri, MA.

berisikan keputusan-keputusan dan penjelasan nabi dari pesan-


pesan Ilahiah yang tidak terdapat dalam al-Qur’an, maupun yang
terdapat dalam al-Qur’an tetapi masih memerlukan penjelasan
lebih lanjut secara terperinci. Untuk memperkuat kedudukan hadits
sebagai sumber inspirasi ilmu pengetahuan, dapat dilihat dari firman
Allah :
َ ‫الل ۖ َو َم ْن تَ َو َّ ٰل َف َما أَ ْر َسلْ َن‬
ْ‫اك َعلَيْهم‬ َ َ َ ْ َ َ َ ُ َّ
َ َّ ‫اع‬‫َم ْن يُ ِطعِ الرسول فقد أط‬
ِ
ً
‫َحفِيظا‬
ِrtinya: “Barang siapa yang taat kepada rasul, sesungguhnya ia pun
A
taat kepada Allah”. (QS. an-Nisa’ 80)
Dari ayat di atas dapat dilihat dengan jelas, bahwa kedudukan
hadits Nabi merupakan dasar utama yang dapat digunakan sebagai
acuan bagi pelaksanaan pendidikan Islam. Lewat contoh dan
peraturan- peraturan yang diberikan Nabi, merupakan suatu bentuk
pelaksanaan pendidikan Islam yang dapat ditiru dan dijadikan
referensi teotiritis maupun praktis46203
Seirama dengan batasan di atas, Robert L.Guillick sebagaimana
distir oleh Jalaluddin Rahmat47 mengakui akan keberadaan Nabi
204

sebagai seorang pendidik yang paling berhasil dalam membimbing


manusia kearah kebahagiaan kehidupan, baik di dunia maupun di
akhirat dan dapat dijadikan sebagai acuan dan dasar pendidikan
Islam.
Dalam dataran pendidikan Islam acuan tersebut dapat
dilihat dari dua bentuk yaitu: pertama, sebagai acuan syariah; yang
meliputi muatan-muatan pokok ajaran Islam secara teoritis, kedua
acuan operasional-aplikatif yang meliputi cara Nabi memainkan
peranannya sebagai pendidik dan sekaligus sebagai evalutor yang

203 46 Lihat Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam; Konsep dan Perkembangan
Pemikirannya, Jakarta, Raja Grafindo, 1994, h. 37.
204 47 Robert L. Gullick, dalam Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, Bandung, Mizan, 1991, h. 115.

92
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

profesional, adil dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam.


Semua ini dapat dilihat dari bagaimana cara nabi melaksanakan
proses belajar mengajar, metode yang digunakan sehingga dalam
waktu singkat diserap oleh para sahabat, evaluasi yang dilaksanakan
sehingga bernilai efektif dan efisien, kharisma dan sifat pribadi
seorang pendidik yang harus ada pada diri seorang pendidik yang
telah ditunjukkan Nabi, cara Nabi memilih materi, alat peraga dan
kondisi yang sebegitu adaptik, maupun cara Nabi menempatkan
posisi peserta didiknya dan lain sebagainya. Semua itu, merupakan
figur yang ada pada diri Rasulullah SAW dan menjadi model bagi
seluruh aktifitas manusia sebagai uswat al-hasanah4 8 yang telah
205

dibimbing langsung Allah SWT49206, sehingga hampir tidak mungkin


melakukan kesalahan dalam proses pendidikan.
Proses pendidikan Islam yang ditunjukan Nabi Muhammad
SAW. merupakan bentuk pelaksanaan pendidikan yang bersifat
fleksibel dan universal, sesuai dengan potensi yang dimiliki peserta
didik, kebiasaan (adat istiadat) masyarakat, serta kondisi alam di
mana proses pendidikan tersebut berlangsung dengan dibalut pilar-
pilar aqidah Islamiah.
Dalam konteks ini, pendidikan Islam yang dilakukan Nabi dapat
dibagi kepada bentuk yaitu : pertama, pola pendidikan saat Nabi
di Mekkah yang terkenal cerdas, dengan mengajaknya membaca,
memperhatikan dan memikirkan kekuasaan allahSWT, baik yang
ada di alam semesta maupun yang ada di dalam dirinya. Melanjutkan
pembuatan syair-syair yang indah dengan nuansa Islami, serta
pembacaan ayat-ayat al- Qur’an merubah kebiasaan masyarakat
Mekkah yang selama ini memulai suatu pekerjaan menyebut nama-
nama berhala, dengan nama Allah (Basmalah), dan sebagainya. Secara
kongkrit, pemetaan pendidikan Islam pada periode ini dapat dibagi
pada empat aspek utama yaitu: pendidikan akhlak budi pekerti,
205 48 Lihat, QS. 33: 21
206 49 Lihat, QS. 53 : 3-4

93
Dr. Samsul Bahri, MA.

dan pendidikan jasmani (kesehatan), seperti menunggang kuda,


memanah dan menjaga kebersihan50 . Kedua, pola pendidikan
207

pada saat Nabi di Madinah secara geografis Madinah merupakan


daerah agraris. Sedangkan Mekkah merupakan daerah pusat
perdagangan. Ini membedakan sikap dan kebiasaan masyarakat di
kedua daerah tersebut. Masyarakat Madinah merupakan masyarakat
petani yang saling membantu antara satu dengan yang lain. Mereka
hidup rukun dan jarang sekali terjadi persengketaan, melihat kondisi
ini, pola pendidikan yang diterapkan Nabi SAW lebih berorientasi
pada pemantapan nilai- nilai persaudaraan antara kaum mujahirin
dan anshor pada satu ikatan. Untuk mewujudkan ini, pertama-
tama Nabi lakukan dengan mendirikan Masjid sebagai sarana yang
pendidikan yang efektif. Materi pendidikannya lebih ditekankan
pada penanaman ketauhidan, pendidikan keluarga, pendidikan
masyarakat, dan sopan santun (adab) kesemua ini berjalan efektif
karena di samping motivasi internal umat waktu itu, kharisma
dan metode yang digunakan Nabi mampu mengayomi seluruh
kepentingan seluruh masyarakat secara adil dan demokratis.51
208

Dengan mengacu pada pola ini, menjadikan pendidikan Islam


sebagai piranti yang tangguh dan adaptik dalam mengantarkan
peserta didiknya membangun peradaban yang bernuansa Islami
(rahmat lil al amin).
3. Ijtihad
Dalam meletakkan itjihad sebagai sumber dasar pendidikan
Islam, ada dua pendapat pertama, tidak menjadikannya sebagai
sumber dasar pendidikan Islam. Kelompok ini, hanya menempatkan
al-Qur’an dan hadits sebagai bahan rujukan. Sementara ijtihad hanya
sebagai upaya memahami makna ayat al-Qur’an dan hadits sesuai
dengan konteksnya. Kedua, meletakkan ijtihad sebagai sumber

207 50 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1992, h. 26-27.
208 51 Nouzzaman Shiddiq, Jeram-Jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996,
h. 102-105.

94
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

dasar pendidikan Islam. Menurut kelompok ini, meskipun ijtihad


merupakan salah satu metode istinbath hukum, akan tetapi pendapat
para ulama akan hal ini, perlu dijadikan sumber rujukan bagi
membangun paradigma pendidikan Islam. Dalam hal ini, penulis
cenderung pada pandangan kelompok kedua, tanpa bermaksud
menyalahkan atau mengingkari pendapat pertama.
Secara emitologi, ijtihad berarti usaha keras dan sungguh-
sungguh (gigih)52 . Yang dilakukan oleh para ulama untuk
209

menetapkan hukum suatu perkara atau suatu ketetapan atas


persoalan tertentu.53 Sementara menurut Abu Zahrah.54
210 211

Ijtihad merupakan produk ijma (kesepakatan) para mujtahid


muslim pada suatu periode tertentu terhadap berbagai persoalan
yang terjadi setelah (wafatnya) Nabi Muhammad SAW, untuk
menetapkan hukum syara’ atas berbagai persoalan umat yang
bersifat ‘amaliy.
Dari batasan di atas, dapat diketahui bahwa ijtihad, pada
dasarnya adalah proses penggalian dan penetapan hukum syar’iah
yang dilakukan oleh para mujtahid muslim dengan menggunakan
pendekatan nalar dan pendekatan lainnya: qiyas, mursalih al-
mursalah, urf, dan sebagainya secara independen, guna memberikan
jawaban hukum atas berbagai persoalan umat yang ketentuan
hukumnya secara syar’iah tidak terdapat dalam al-Qur’an dan
Hadits Rasulullah.55 Oleh karena itu, lahan kajian analitis ijtihad,
212

merupakan lahan kajian yang cukup luas keluasan tersebut meliputi


seluruh aspek kehidupan manusia yang begitu bervariasi dan dinamis,
seirama dengan perkembangan tuntutan akselerasi zaman,56
213

termasuklah aspek pendidikan di dalamnya, sebagai salah satu aspek


yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan dinamis manusia.
209 52 Abdullah Ahmad an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, Terj. Yogyakarta, LKIS, 1994, h.53.
210 53 Louis Ma’luf, Qamus al-Munjid, Beirut, Maktabah Katolikiah,tt, h. 101.
211 54 Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikra al-Arabi, tt, h. 156.
212 55 Abdullah Ahmad an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, h. 53.
213 56 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, h. 21.

95
Dr. Samsul Bahri, MA.

Eksistensi ijtihad sebagai salah satu sumber ajaran Islam


setelah al-Qur’an dan Hadits, merupakan dasar hukum yang sangat
dibutuhkan terutama pasca Nabi Muhammad SAW setiap waktu
guna, mengantarkan manusia dalam menjawab berbagai tantangan
zaman yang semakin menglobal dan mendunia. Oleh karena,
perkembangan zaman yang bersifat dinamis dan senantiasa berubah
maka eksistensi ijtihad harus senantiasa diperbaharui,57 seirama
214

dengan tuntutan perkembangan zaman, selama tidak bertentangan


denagn prinsip al-Qur’an dan hadits. Dengan proses ini diharapkan
akan diperoleh suatu dimensi kehidupan umat yang ummatik,
dinamis dan dialektis, perlunya melakukan melakukan ijtihad secara
dinamis dan senantiasa diperbaharui serta ditindaklanjuti oleh para
mujtahid muslim sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan
manusia, merupakan hal yang mutlak harus dilakukan. Proses
pemikiran ini berupaya menetapkan hukum Islami yang masih
global. Hal ini disebabkan karena tidak semua dimensi kehidupan
manusia ini normatif hukumnya secara terpernci dalam al-Qur’an dan
Hadits. Sebagian besar hanya bersifat normatif hukum yang bersifat
mutsyabihat. Untuk proses tersebut, menurut al-Sayuthi, diperlukan
setiap periode (‘ashr) diperlukan seorang atau sekelompok orang
yang mampu berperan sebagai mujtahid.58215
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin
mengglobal dan mendesak, menjadikan eksistensi ijtihad, terutama
di bidang pendidikan, tidak hanya saja sebatas bidang materi atau isi,
kurikulum metode, evaluasi, atau bahkan sarana dan prasarana akan
tetapi mencakup seluruh sistem pendidikan dalam arti yang luas.59216
214 Secara umum, kajian analitis ijtihad dapat dibagi pada dua bagian. Pertama, ijtihad
muthlaq, yaitu upaya ijtihad yang dilakukan buka saja untuk menggali hukum-hukum
baru, tapi juga berupaya mencari metode baru yang lebih adaptik. Kedua, ijtihad
muqayyad yaitu upaya ijtihad secara an sich yang dilakukan dengan menggunakan
piranti (metode) yang dipergunakan sebelumnya. Lihat Sahal Mahrudh, Nuansa Fiqh
Sosial, Yogyakarta, LkiS, 1994, h. 40-42.
215 58 Sahal Mahrudh, Nuansa Fiqh Sosial, h. 40. Lebih Lanjut bandingkan dengan Ahmad
Hasan, Pintu Ijtihad sebelum Tertutup, Terj, Bandung, Pustaka, 1984, h. 103-104.
216 59 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, h. 21.

96
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Perlunya melakukan itjihad di bidang pendidikan, karena media


pendidikan merupakan saran utama dalam membangun pranata
kehidupan sosial dan kebudayaan manusia, indikasi ini memberikan
arti, bahwa maju mundurnya atau sanggup tidaknya kebudayaan
manusia berkembang secara dinamis sangat ditentukan dari
dinamika sistem pendidikan yang dilaksanakan. Dinamika itjihad
dalam mengantarkan manusia pada kehidupan yang dinamis, harus
senantiasa merupakan pencerminan dan penjelmaan dari nilai-nilai
serta prinsip pokok al-Qur’an dan Hadits. Proses ini akan mampu
mengontrol seluruh aktivitas manusia, sekaligus sebagai sarana
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya.60217
Di dunia pendidikan, itjihad dibutuhkan secara aktif untuk
menata sistem pendidikan yang dialogis, peranan dan pengaruhnya
sangat besar, upamanya dalam menetapkan tujuan pendidikan
yang ingin dicapai meskipun secara umum rumusan tersebut telah
disebutkan dalam al-Qur’an.61 Akan tetapi secara khusus, tujuan-
218

tujuan tersebut memiliki dimensi yang harus dikembangkan sesuai


dengan tuntutan kebutuhan manusia pada suatu priodesasi tertentu,
yang berbeda dengan masa-masa sebelumnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan perumusan sistem
pendidikan yang kondusif dan dialektis, yang sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai. Sistem pendidikan yang dimaksud meliputi
rumusan kurikulum yang digunakan, metode pendekatan
operasionalisasi dalam interaksi proses belajar mengajar, sarana
dan prasarana yang digunakan untuk pencapaian tujuan yang telah
dirumuskan.62 Diantaranya melakukan ijtihad tentang kebolehan
219

217 60Setidaknya ada empat prinsip pokok yang perlu dipertimbangkan, yaitu pertama,
mencegah dari segala yang melaratkan umat manusia. Kedua, mempergunakan semua
yang bermanfaat. Ketiga, mewajibkan segala yang diharamkan nash, bila keadaan
memaksa. Keempat, melaksanakan seluruh aktivitas bagi kemaslahatan umat manusia.
Lihat T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Jilid II, Jakarta, Bulan Bintang,
1981, h. 282.
218 61 Lihat, QS. 52:56.
219 62 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Jilid II, h. 283.

97
Dr. Samsul Bahri, MA.

membuat duplikat makhluk Allah (patung), yang sebelumnya


diharamkan oleh para ulama, dengan pertimbangan untuk
kemaslahatan, yaitu sebagai media pendidikan yang efektif (seperti
pelajaran biologi, geografi, dan sebagainya). Sebab, tidak semua
media pendidikan dapat dihadirkan dalam kelas ketika proses
belajar mengajar berlangsung. Namun demikian, nilai-nilai ijtihad
tersebut semaksimal mungkin harus senantiasa tidak bertentangan
dengan prinsip pokok ajaran Islam, serta dibungkus rapih dengan
ruh Ilahiah. Proses yang demikian akan membimbing peserta didik
semakin meyakini Islam, sehinggga seluruh aktivitas kehidupannya
merupakan rangkaian ibadah kepada Khaliqnya.
Untuk perumusan sistem pendidikan yang dialogis dan
adaptik, baik karena pertimbangan perkembangan zaman maupun
perkembangan kebutuhan manusia dengan berbagai potensi dan
dimensinya yang dinamis, diperlukan upaya yang maksimal dan
sistematis. Proses ijtihad harus merupakan kerja sama yang padu dan
utuh, diantara para mujtahid.
Dalam konteks ini, sosok mujtahid harus merupakan para ahli
pada berbagai disiplin ilmu. Dengan perpaduan tersebut, diharapkan
akan lahir suatu sistem pendidikan yang utuh dan integral dan
dibungkus rapih dalam bingkai religius keagamaan. Dengan
sistematika yang demikian, akan diperoleh sistem pendidikan yang
cukup kondusif, baik bagi pengembangan kebudayaan manusia
dengan berbagai fenomena yang muncul maupun sebagai piranti
dalam mengantarkan peserta didik untuk dapat melaksanakan
amanat-Nya di muka bumi. Lewat proses ini, peserta didik akan
mampu mengembangkan potensi yang dimiliki secara optimal, yang
pada gilirannya mampu menghasilkan berbagai macam bentuk
teknologi yang bermanfaat bagi kesejahteraan seluruh ummat
manusia dan segala isinya.
Bila penjelasan di atas dicermati lebih lanjut maka akan dapat
terlihat dengan jelas, bahwa eksistensi sumber atau dasar pendidikan

98
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Islam, baik al-Qur’an, Hadits Rasulullah, maupun ijtihad para ulama


merupakan suatu mata rantai yang saling berkaitan antara satu
dengan yang lainnya secara integral63 dan mewarnai seluruh
220

sistem pendidikan yang dilaksanakan. Proses ini merupakan tindak


lanjut untuk mendapatkan suatu bentuk sistem pendidikan yang
ummatik, sebagai langkah lanjut proses mempersiapkan sumber
daya manusia yang berkuwalitas, baik kuwalitas intelektual maupun
kuwalitas moral.
Optimalisasi upaya tersebut merupakan tanggung jawab yang
cukup berat dan harus dipikul baik oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Departemen Agama, maupun lembaga pendidikan
sosial dan kemasyarakatan. Kesatuan langkah dan misi ini, akan
mampu menempatkan posisi pendidikan, sebagai sarana yang
ampuh bagi proses pemberdayaan manusia.Apabila dari masing-
masing komponen di atas, tidak berjalan secara bersamaan, maka
akan mustahil proses pendidikan yang dilaksanakan akan mampu
tugas dan fungsinya secara optimal.
c. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang berbentuk tetap
dan statis tetapi merupakan keseluruhan dari kepribadian seseorang
yang berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya. Karena itu,
menurut Hasan Langgulung bahwa tujuan pendidikan Islam tidak
terlepas dari pembahasan tentang tujuan hidup manusia. Sebab
pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk
memelihara kelanjutan hidupnya baik sebagai individu maupun
221
sebagai anggota masyarakat. Sebab, bagi Hasan Langgulung tugas
222
pendidikan adalah memelihara kehidupan manusia, oleh karenanya
diskursus pendidikan Islam harus melibatkan perbincangan tentang
sifat-sifat asal manusia dalam pandangan Islam.

220 63 Abdullah Ahmad an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, h. 54.


221 64 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, h. 305
222 65 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, h. 33.

99
Dr. Samsul Bahri, MA.

Jadi menurut Hasan Langgulung, tujuan yang hendak dicapai


pendidikan pada hakekatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-
nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia. Pendidikan Islam
adalah pendidikan yang dinamis dan sistematis, mempunyai tujuan
yang luhur dan lengkap. Arah yang dinamis ini nampak pada diri
manusia itu sendiri baik secara individual maupun kolektif, karena
manusia mempunyai fitrah ingin mengetahui sesuatu yang belum
pernah diketahui dan dialami.
Pendapat yang serupa, dikemukakan Zakiah Daradjat bahwa
tujuan pendidikan Islam adalah membina manusia agar menjadi
hamba Allah yang saleh dengan seluruh aspek kehidupannya,
perbuatan, pikiran, dan perasaannya.66
223

Dengan kata lain, kedua pendapat di atas dapat dipahami,


bahwa secara umum tujuan pendidikan Islam adalah membimbing
dan membentuk manusia menjadi hamba Allah yang saleh,
teguh imannya, taat beribadah, dan berakhlak terpuji. Dalam
implementasinya kehidupan, keseluruhan gerak dan tindakan
apapun yang dilakukannya dengan niat mencapai ridha Allah.
Dalam al-Qur’an bahwa manusia menduduki posisi khalifah,67
224

di muka bumi tercermin pada Q.S. al-Baqarah (2):31:

‫ون‬ ُ ‫كةِ َف َق َال َأنْب‬


‫ئ‬
َ َ َ ْ َ َ ْ ُ َ َ َ َّ ُ َ َّ ُ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َّ َ َ
ِ ِ ِ ‫وعلم آدم السماء كها ثم عرضهم ع الملئ‬
َ ‫بأَ ْس َماءِ َهٰ ُؤ َلءِ إ ْن ُكنْ ُت ْم َصادِق‬
‫ِني‬ ِ ِ
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat Aku akan
menciptakan khalifah di atas muka bumi”. (Q.S. al-Baqarah/2:31)

223 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, h. 35.
224 ecara etimologi, kata khalifah ini berasal dari kata khalafa yang berarti mengganti atau
mengikuti. Dari segi ini tampaknya tidak ada perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat
yang terjadi tentang permasalahan siapa menggantikan siapa. Menurut Hasan Langgulung,
dalam hal ini ada tiga pendapat. Pertama, manusia sebagai makhluk menggantikan makhluk
lain yang pernah wujud di bumi, seperti jin. Kedua, manusia menggantikan manusia lain,
bukan makhluk lain. Ketiga, term khalifah dipahami sebagai proses penggantian peranan
yang lebih penting. Khalifah bukan hanya seseorang mengikuti yang lain, tetapi ia adalah
khalifah Allah. Baca Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, h. 48.

100
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Manusia akan mampu mempertahankan kekhalifahannya jika


dibekali dengan potensi-potensi yang membolehkan berbuat
demikian. Lalu al-Qur’an menegaskan ciri- ciri manusia dengan
empat potensi: fitrah, ruh, kemauan, dan akal.68
225

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, bagi Hasan


Langgulung tujuan pendidikan Islam itu adalah membentuk pribadi
khalifah bagi peserta didik yang memiliki fitrah, ruh, kemauan, dan
akal, sehingga pendidikan Islam bertugas untuk mengembangkan
keempat potensi tersebut agar ia eksis dalam khalifahannya itu
sebagai wujud pengabdian terhadap Tuhan.
Sejalan dengan pendapat di atas, Abdul Munir Mulkhan
menyebutkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah proses
pengaktualan akal peserta didik yang secara teknis dengan
kecerdasan terampil, dewasa, dan berkepribadian muslim
paripurna. Memiliki kebebasan berkreasi dengan tetap menjaga nilai
kemanusiaan yang ada pada diri manusia untuk dikembangkan secara
226
proporsional. Sementara itu, menurut hasil kongres pendidikan
Islam sedunia Tahun 1980 di Islambad, menyebutkan bahwa
pendidikan Islam bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian
manusia yang menyeluruh, secara seimbang, melalui latihan jiwa,
intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan indera. Karena itu,
pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala
aspeknya; spritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, dan bahasa
secara individual maupun koletif. Mendorong semua aspek ke arah
kebaikan dan mencapai kesempurnaan, tujuan akhirnya adalah
dengan perwujudan ketundukan yang sempurnah kepada Allah,
227
baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.

225 68 Keempat potensi itu misalnya dapat dilihat masing-masing pada Q.S. al-Rum (30):30,
al-Hijr (15):29, al-kahfi (18):29 dan al-Baqarah (2): 73.
226 69 Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, Yogyakarta, Sip Press, 1993, h. 137.
227 70 M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan; Islam dan Umum, Jakarta, Bina Aksara, 1991, h. 44.

101
Dr. Samsul Bahri, MA.

Dari beberapa definisi di atas, terlihat bahwa tujuan


pendidikan Islam lebih berorientasi pada nilai-nilai luhur dari
Tuhan yang harus diinternalisasikan ke dalam diri peserta didik
lewat proses pendidikan. Dengan penanaman nilai ini, diharapkan
pendidikan Islam mampu mengantarkan, membimbing, dan
mengarahkan anak didik untuk melaksanakan fungsinya sebagai
‘abd dan khalifah, guna membangun dan memakmurkan alam
ini sesuai dengan konsep-konsep yang telah ditetapkan Allah.
Perwujudan ini tidak lepas dari pribadi insan kamil yang bertaqwa
dan berkualitas intelektual.71228
Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam mempunyai
cakupan yang luas meliputi pencapaian tujuan jasmani, ruhani,
mental, sosial, dan bersifat universal. Untuk itu, Hasan langgulung
memberikan penjelasan bahwa pendidikan Islam harus mampu
mengembangkan fitrah insaniyah tesebut sesuai dengan
kapasitas yang dimilikinya,72
229
sehingga terwujudlah apa yang
diistilahkan Hasan Langgulung insan saleh dan masyarakat saleh
yang merupakan strategi pengembangan pendidikan Islam.73
230

Hal ini dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan dalam versi


Hasan Langgulung yakni melahirkan peserta didik yang beriman dan
beramal saleh.74231
Maksud dan tujuan istilah di atas, adalah penyembahan dalam
arti ibadah pengertian luas. Menurut Hasan Langgulung, ibadah
dalam arti luas bermakna sebagai pengembangan sifat-sifat Tuhan,
yaitu sifat dua puluh yang dijabarkan menjadi 99 nama yang disebut

228 71 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, h. 106.


229 72 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, h. 39
230 73 di antara akhlak insan saleh adalah harga diri, pri kemanusiaan, kesucian, kasih
sayang, kecintaan, kekuatan jasmani dan rohani, menguasai diri, dinamis, dan
tanggungjawab. Sedangkan masyarakat saleh adalah masyarakat yang percaya bahwa ia
mempunyai risalah untuk umat manusia yaitu, risalah keadilan, kebenaran dan kebaikan,
dan suatu risalah yang akan kekal selama-lamanya, tidak terpengaruh oleh faktor-faktor
waktu dan tempat.Baca Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Abad 21, h. 124-126.
231 74 Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, h. 137.

102
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Asma’ al-Husna. 5 Misalnya mengembangkan sifat-sifat al-Qudus,


232

di mana sifat ini dimanifestasikan dalam bentuk pelaksanaan salat


(ibadah formal), sehingga kegiatan ini menghasilkan peringkat
kesalehan formalistik. Dampak dari kesalehan tersebut adalah
manusia menjadi suci fikiran, spritual dan tindakan.233
Selanjutnya iman diperlakukan sebagai sesuatu yang hadir
dalam kesadaran manusia, yang berfungsi sebagai motivasi untuk
234
segala prilaku manusia. Dan amal saleh artinya perbuatan, prilaku,
pekerjaan yang berguna bagi kepentingan masyarakat.
Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam memang tidak akan
terlepas dari kosep manusia menurut Islam. Karena pada potret
manusia itulah dicita-citakan yang akan ditanamkan oleh pendidikan
Islam. Dengan kata lain, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah
bagaimana melahirkan peserta didik yang hanya kecerdasan secara
intelektual, spritual, tetapi juga memiliki kecerdasan emosional
dalam lingkungan masyarakat.

Kurikulum
Kurikulum menurut Hasan Langgulung adalah sejumlah
pengalaman, pendidikan, kebudayaan, sosial, keolahragaan dan
kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid di dalam dan di luar
sekolah dengan maksud menolong mereka untuk berkembang dan
235
mengubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan pendidikan.
Dari definsi di atas, dapat disimpulkan bahwa kurikulum itu
mempunyai empat unsur atau aspek utama:
• Tujuan dan obyektif yang ingin dicapai oleh pendidikan.
• Pengetahuan dan informasi, data, aktivitas, dan pengalaman
yang membentuk kurikulum itu.

232 75 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, h. 5.


233 76 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, h. 39.
234 77 Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, h. 137-138.
235 78 Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial, h. 241.

103
Dr. Samsul Bahri, MA.

• Metode atau cara mengajar yang digunakan oleh guru untuk


mengajarkan dan mendorong murid belajar dan membawa
mereka ke arah yang dikehendaki oleh kurikulum.
• Metode dan cara penilaian yang digunakan dalam mengukur
dan menilai kurikulun serta hasil pembelajaran pendidikan yang
dirancang dalam kurikulum, seperti ujian catur wulan.236
Untuk itu, pengislaman kurikulum atau dalam istilah lain
penerapan nilai Islam dalam kurikulum harus mencakup empat
unsur di atas, dalam rangka konsepsi (tasawwur) Islam.
Lebih lanjut menurut Hasan Langgulung kurikulum adalah
serangkaian kegiatan belajar mengajar yang direncanakan dan
diprogram secara terperinci bagi peserta didik di bawah bimbingan
sekolah, baik di luar maupun di dalam sekolah demi mencapai tujuan
237
yang diinginkan.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Muhaimin, bahwa
kurikulum adalah merupakan seperangkat rencana dan pengaturan
tentang isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah,
guna mencapai tujuan pendidikan (institusional, kurikuler,
dan instruksional).238
Dari definisi tersebut, kurikulum berfungsi sebagai alat untuk
mencapai pendidikan, dalam kaitannya sebagai alat untuk mencapai
tujuan, Maka kurikulum harus memiliki dua sifat, yaitu anticipatory
dan reportorial hal ini berarti kurikulum harus dapat meramalkan
kejadian dimasa mendatang. Tidak hanya melaporkan keberhasilan
belajar peserta didik oleh karena itu, kurikulum harus selalu
dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa fungsi kurikulum
menurut Hasan Langgulung adalah sebagai alat untuk mencapai

236 79 Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial, h. 241.
237 80 Hasan Langgulung, Asas-Asas pendidikan Islam, h. 303.
238 81 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, h. 182-183.

104
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

tujuan pendidikan. Kurikulum juga mampu meramalkan kejadian


di masa mendatang, sehingga harus selalu dikembangkan sesuai
dengan tuntutan zaman.
1. Strategi Pengembangan Kurikulum
Adapun term strategi bermakna sejumlah prinsip dan pikiran
yang mengarahkan tindakan sistem pendidikan Islam. Karena
menyangkut kata Islam dengan pengertian memiliki ciri khusus
yang tergambarkan dalam aqidah Islamiyah, maka strategi tersebut
patut bercorak Islam, sehingga tempat bertolak pada ajaran Islam.239
Strategi pengembangan pendidikan Islam tersebut, menurut
Hasan Langgulung terdiri atas tiga komponen utama, yaitu tujuan,
dasar dan prioritas dalam tindakan. Dalam konstalasi strategi
pengembangan, kurikulum menempati tempat prioritas dan tindakan
yaitu: upaya meninjau kembali materi dan metode pendidikan
supaya sesuai dengan semangat Islam baik pelajarannya maupun
sebagai kepentingan ekonomi dan sosial, seperti diungkapkan oleh
Langgulung bahwa: “tidaklah patut ilmu dari barat diambil begitu
saja, tetapi yang diambil ialah yang sesuai dengan keperluan manusia
Islam dan ditundukkan di bawah sistem nilai-nilai Islam”.83240
Adapun dasar pengembangan kurikulum ini adalah keaslian
yaitu pendidikan Islam itu harus mengambil komponen-komponen,
tujuan-tujuan, materi dan metode dalam kurikulumnya dari
peninggalan Islam sendiri, sebelum ia menyempurnakannya dengan
unsur-unsur dari peradaban lain di dunia ini. Berikut bagan strategi
pengembangan pendidikan Islam:
Dengan demikian pengembangan kurikulum merupakan upaya
kontruksi kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan.
Di samping memiliki posisi strategis dalam pengembangan
pendidikan Islam, adalah aspek metodologinya, bukan hasilnya, demi

239 82 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Abad 21, h. 138.


240 83 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Abad 21, h. 147.

105
Dr. Samsul Bahri, MA.

mencapai ke arah pembaharuan dan kemajuan tanpa meninggalkan


jati diri keaslian kebudayaan Islam atau peradaban Islam. Hal ini
diakui Subandijah bahwa pengembangan kurikulum merupakan
suatu upaya rekonstruksi (pemikiran pembaharuan), yaitu suatu
upaya yang bersifat tidak tetap keberadaannya. Akan tetapi selalu
berkembang mengikuti ilmu pengetahuan.84241
Pengembangan kurikulum dapat juga digunakan sebagai
bahan dalam pengambilan keputusan praktek atau pelaksanaan
sistem pendidikan yang pada umumnya bersifat efektif.85 Dengan
242

demikian, strategi pengembangan kurikulum adalah teori kurikulum


yang memiliki fungsi sangat penting dalam kaitannya dengan usaha
perbaikan kurikulum dalam praktek pendidikan di suatu lembaga
pendidikan Islam di sekolah.
Pengembangan kurikulum merupakan bagian dari strategi
pengembangan kebudayaan dan peradaban Islam. Sehingga untuk
menata dunia pendidikan yang sesuai dengan garis-garis Islam
diperlukan perencanaan kurikulum yang komprehensif. Hal ini
diungkapkan Manzoor Alam, bahwa:
Bila kita merinci sebab-sebab kemunduran umat Islam, maka
kita akan sampai pada kesimpulan bahwa kurangnya pengetahuan
merupakan penyebab utama dari masalah kemunduran.86243
Berdasarkan pada argumentasi tersebut maka upaya
pengembangan kurikulum merupakan langkah awal yang strategis
dan menjadi syarat mutlak untuk mencapai tujuan peradaban Islam
dalam menata dunia, khusus dunia pendidikan.

241 84 Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993,
h. 7.
242 85 Efektif maksudnya adalah dalam mengambil keputusan praktis kurikulum maupun
pendidikan harus didasarkan pada penggabungan beberapa teori kurikulum dari berbagai
aliran (misalnya humanisme, subyek akademik, rekonstruksi sosial, teknologi dan lain
sebagainya) untuk mewujudkan suatu keputusan yang sesuai dengan di mana kurikulum
itu akan diberlakukan. Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, h. 7.
243 86 Baca Manzoor Alam, Peranan Pemuda Muslim Menata Dunia Masa Kini, Terj, Bandung,
Gema Risalah Press, 1989, h. 60-61.

106
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Karena itu, menurut Hasan Langgulung bahwa dalam


pengembangan kurikulum yang perlu diperhatikan adalah
materi kurikulum yang di dasarkan pada dua prinsip utama, yaitu
mencerminkan pengetahuan yang bersifat universal, terorientasi
pada potensi dan kebutuhan siswa agar efesien dan relevan.87
244

Kedua prinsip ini, memastikan bahwa kandungan kurikulum itu


harus dipadukan.
Bahkan Hasan Langgulung menggambarkan pada tiga
materi yang harus ada dalam kurikulum yaitu, pertama, ilmu yang
diwahyukan yang meliputi al-Qur’an dan Hadits serta bahasa Arab.
Kedua, ilmu-ilmu yang mengkaji tentang manusia. Ketiga, adalah sains
tabi’i yang meliputi fisika, biologi, astronomi dan lain sebagainya.
Hanya saja menurut Hasan Langgulung, esensial ilmu itu hanya satu
yang membedakannya yaitu analisa.88245…….
Untuk menegaskan wujud kurikulum pendidikan Islam ini,
Hasan Langulung menjelaskan bahwa tradisi Islam tentang ilmu
asalnya dari Ilahi, yakni wahyu subyektif (akal) wahyu kosmik (alam
jagad) dan wahyu dalam kitab suci, ketiganya menggambarkan
realitas yang sama.89 Oleh sebab itu, harus turut serta membentuk
246

klasifikasi ilmu yang selanjutnya harus menjadi teras kurikulum


pendidikan dalam segala tahap rendah, menengah, tinggi, serta
formal dan non formal.90247
Menurut Hasan Langgulung, rancangan kandungan kurikulum
tersebut harus didasarkan pada kriteria-kriteria sebagai berikut:
• pertama, ketiga kategori ilmu tersebut harus ada dalam
kurikulum.
• Kedua, setiap kategori ilmu tersebut harus diberi waktu dan
penekanan yang sesuai.
244 87 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, h. 194-196.
245 88 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, h. 36. 89
246 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, h. 355. 90
247 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, h. 355.

107
Dr. Samsul Bahri, MA.

• Ketiga, semua kategori ilmu pengetahuan harus membawa


pada tujuan yang sama yaitu membentuk manusia yang
beriman dan beramal saleh. Seperti diungkapkan bahwa:“Setiap
pelajaran harus memberi sumbangan ke arah pertumbuhan dan
perkembangan muslim yang baik yang menjadi anggota dari
suatu ummat yang terbaik (khairu ummah). Setiap mata pelajaran
yang tidak membawa ke arah tujuan-tujuan pendidikan Islam
akan kehilangan alasan untuk wujud dalam kurikulum”.91
248

d. Pendidik
Menurut Hasan Langgulung guru bukan hanya sebagai pengajar,
tetapi sebagai motivator dan fasilitator proses belajar.92 Yang
249

dimaksud dengan proses belajar mengajar yakni realisasi dan


aktualisasi sifat-sifat Ilahi pada manusia. Artinya pengembangan
potensi-potensi anak didik adalah tugas dan tanggung jawab
guru, sehingga jelas bahwa pengajaran bagi Hasan Langgulung
adalah psikologi terapan yang meliputi keseluruhan tingkah laku
guru yang berintraksi dengan muridnya secara kognitif, efektif, dan
spritual.93250
Jadi menurut Hasan Langgulung bahwa mengajar dalam
pendidikan Islam harus didasarkan pada psikologi Islam,94 yang
251

didasarkan atas konsepsi Islam terhadap fitrah manusia seperti


dinyatakan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan lebih lanjut ia
menjelaskan bahwa guru bukan hanya mengajar mata pelajaran
tetapi telah mengajarkan mata pelajaran psikologi Islam. Ia harus
mengembangkan peserta didik yang memiliki kepercayaan secara
248 91 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, h. 38-39.
249 92 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Abad 21, h. 76.
250 93 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Abad 21, h.77.
251 94 Konsep psikologi dalam Islam adalah sama tuanya dengan Islam sendiri, sebab
disebutkan dalam al Qur’an :
ْ َ ‫ك‬
ٌ ‫شء َشه‬ ّ ُ َ َ ُ َّ َ َ ّ َ ْ َ ْ َ َ َ ُّ َ ْ ُ َّ َ ْ ُ َ َ َّ َ َ َ َّ َ ْ ُ َ َ َ َ َ ْ ُ ‫َس‬
‫يد‬ ِ ٍ ِ ‫س ِهم حت يتبي لهم أنه الق أولم يك ِف بِربِك أنه ع‬ ِ ‫اق و ِف أنف‬
ِ ‫ني ِهم آيات ِنا ِف اآلف‬
ِ
bahwa tanda- tanda (ayat) Tuhan wujud dari manusia. oleh sebab itu kajian tentang
manusia sebenarnya adalah kajian tentang tanda-tanda Tuhan yang dikategorikan dalam
ilmu-ilmu kemanusiaan.

108
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Islam tentang manusia dan sikapnya, serta mampu mengembangkan


potensi-potensi peserta didik menjadi Insan Kamil.95
252

e. Tipologi Pemikiran Pendidikan Hasan Langgulung


Menurut teori analisa sejarah,96 seorang tokoh dalam berbuat
253

atau berfikir sesungguhnya dipengaruhi oleh keinginan-keinginan


atau tekanan-tekanan yang bukan muncul dari dirinya sendiri. Hal
tersebut dapat dilihat bagaimana tindakan- tindakannya secara
mendalam dipengaruhi oleh dorongan internal yang berupa ide,
keyakinan, konsepsi-konsepsi awal yang tertanam dalam dirinya,
tetapi juga keadaan eksternal. Dengan demikian seorang tokoh tidak
dapat membebaskan diri dari pengaruh lingkungan.
Karena itu, sumber pengaruh pemikiran pendidikan Hasan
Langgulung ada tiga aspek yang harus dilihat yaitu:

Bidang Psikologi
Pemikiran Hasan Langgulung dalam bidang psikologi
dipengaruhi oleh kedua kutub. Kutub pertama adalah pemikir
Islam dan kutub kedua pemikiran Barat. Kutub pertama adalah
pemikiran-pemikiran para filosof klasik seperti al-Farabi, Ibnu
Sina, al- Ghazali, al-Mawardi, Ibnu Tufail, Ibnu Khaldun, dan Ibnu
Rushd. Argumen Hasan Langgulung tentang alasan mereka tertarik
terhadap pemikiran psikologi adalah karena persoalan jiwa (nafs)
yang berkaitan erat dengan akidah seorang muslim.97 Pengaruh
254

pertama nampak pada upaya reintepretasi (penggunaan metode

252 95 Yang dimaksud dengan Insan Kamil di sini bukanlah seperti pengertian golongan
sufi, akan tetapi dalam pengertian bahwa potensi manusia diaktualisasikan sepenuhnya
di mana peranan guru-guru sangat urgen. Peranan guru dalam pengertian tradisional,
sebagai pengajar dan pembimbing sudah tentu tidak akan diabaikan. Hasan Langgulung,
Pendidikan Islam Abad 21, h. 78.
253 96Analisa sejarah adalah kajian tentang individualitas manusia dan perkembangannya
untuk menemukan faktor-faktor dominan baik internal atau eksternal yang menjadi kuasa
prima proses terssebut. Analisa ini memiliki dua unsur, pertama konsep periodesasi atau
derivasi dan kedua rekosntruksi proses genesis. Kedua perubahan dan perkembangan,
sehingga dengan cara ini manusia dapat dipahami secara kesejarahan.
254 97 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pandidikan, h. 19.

109
Dr. Samsul Bahri, MA.

ta’wil) Hasan Langgulung dalam konsep fitrah yang diartikan sebagai


potensi dan wahyu.98 Kebebasan manusia (kesehatan mental)
255

yang diartikan sebagai ibadah dalam arti luas dan harus disertai
amanah, begitu pula ibadah dalam arti sebagai pengembangan
potensi. Sedangkan amanah merupakan bimbingan perkembangan
tersebut sesuai dengan perintah dan petunjuk Allah.99256
Demikian halnya pada kutub kedua adalah pemikiran Barat.
Nama yang sering disebut adalah Torrance, terutama dalam
pembahasan kreatifitas (daya cipta), yang hasil penelitiannya
sering dijadikan rujukan dan argumentasi bagi pentingnya
penerapan kreatifitas ini. Bahkan Hasan Langgulung sendiri
dua kali melakukan penelitian dalam subyek yang sama dengan
Torannce, yaitu di Mexico, India, dan West Samoa.100
257

Dari identitas di atas, nampaknya kecenderungan pemikiran


Hasan Langgulung di bidang psikologi ini berusaha melakukan
sintesa baru antara kedua kubu tersebut, dengan manjadikan
warisan kebudayaan Islam sebagai titik tolak dalam menanggapi
fenomena sosial yang menghendaki penyelesaian dari segi
psikologi.101
258

Bidang keislaman dalam bidang keislaman banyak dipengaruhi


oleh ide-ide al- Faruqi, misalnya tentang tauhid dan pembangunan
masyarakat saleh.102 Di samping itu pemikiran Garaudy juga
259

membekas pada pemikiran Hasan Langgulung dalam bidang


peradaban Islam, terutama tentang penyakit peradaban dan
solusi spritualnya.103 Demikian halnya dalam bidang pendidikan
260

dan pembaharuan Hasan Langgulung lebih banyak dipengaruhi oleh


pemikiran para filosof Islam klasik, para pembaharu dan para pemikir
255 98 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pandidikan, h. 22-39.
256 99 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pandidikan, h. 29-147.
257 100 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, h. 248.
258 101 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pandidikan, h. 128.
259 102 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Abad 21, h. 139-156.
260 103 Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Abad 21, h. 153-156.

110
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

kontemporer. Pengaruh ide dan gagasan para pemikir klasik tersebut


nampak pada pemikiran Hasan Langgulung tentang manusia:
kejadian, tujuan, sifat, fungsi sebagai khalifah,104 dan tentang
261

ilmu.105
262
Sedangkan pengaruh pemikiran Barat (John Dewey)
nampak pada pemikiran Hasan Langgulung dalam hal sekolah
kerja dan tuntutan perkembangan IPTEK.106 Sedangkan dalam
263

bidang filsafat pendidikan ia dipengaruhi para pemikir pendidikan


Islam klasik, seperti Ibnu Tufail, Ibnu Sina, Al- Ghazali, serta Oemar
El-Taoumy el-Shaibany sebagai gurunya. Ini terlihat ketika Hasan
Langgulung berkepentingan menerjemahkan buku gurunya
dengan judul filsafat Pendidikan Islam. Demikian hal dalam
bidang sains Hasan Langgulung juga dipengaruhi oleh pemikiran
klasik dan Barat.
Demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pisau analisa
Muhaimin, maka tipologi pemikiran pendidikan Hasan Langgulung
dapat diduga bercorak perenial- esensialis kontekstual-falsifikatif
karena Hasan Langgulung dalam mengembangkan pemikiran
pendidikannya selalu disesuaikan dengan perkembangan zaman
dan perubahan sosial dan tetap berpedoman kepada al-Qur’an
dan Hadits. Hal ini beliau maksudkan adalah sebagai upaya untuk
melestarikan nilai-nilai Ilahiah dan insaniah.

D. Menata Ulang Sistem Pendidikan Islam Persfektif


Abu Al-Maududi
1. Profil Hidup Abu Al-Maududi
Nama lengkap pemikir besar Islam kontemporer ini adalah
Abu al-A’la al- Maududi.107
264
Beliau lahir di Aurangabad,
261 104 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pandidikan, h. 3-9, 55-59.
262 105 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, h. 112.
263 106 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, h. 149, 180.
264 107 Secara historis pemberian nama tersebut kepada beliau, bahwa tiga tahun sebelum
al-Maududi lahir, ayahnya pernah berkunjung kepada salah seorang pemuka tasawuf.
Ketika itu ia diberitahukan oleh sufi tersebut bahwa ia akan dikarunia Allah SWT seorang
anak laki-laki yang terhormat. Sufi tersebut meminta agar anaknya, kelak diberi nama

111
Dr. Samsul Bahri, MA.

(sekarang termasuk dalam bagian Andhra Pradesh), Hiedrabad,


Deccan, India Selatan pada tanggal 3 Rajab 1321 H bertepatan
dengan tanggal 25 September 1903 M dan wafat di salah satu rumah
sakit di New York pada tanggal 23 September 1979.108 Ia lahir dari
265

keluarga terhormat -keluarga syarif (keluarga tokoh muslim India


Utara- dari Delhi yang bermukim di Deccan. Keluarganya kebanyakan
terdiri dari pemimpin agama, dengan sebutan syaikh-syaikh
tarekat terkenal, salah satunya wali sufi besar Tarekat Chisti yang
menanamkan benih Islam di India, yaitu keturunan langsung dari
Qutbud Din Maudud (meninggal tahun 527 M), seorang pemimpin
terkenal Tarekat Chisti yang berkembang di India.109
266
Dan jika
ditelusuri silsilah keturunan dari pihak ayahnya, ia adalah keturunan
Nabi Muhammad Saw, karena inilah ia memakai nama Sayyid.
Al-Maududi adalah anak bungsu dari tiga orang saudara
laki-lakinya dari pasangan Ahmad Hasan (lahir tahun 1855
M dan wafat 1919 M) dan Sayyidah Ruqayyah, puteri bungsu
Mirza Qurban Ali Bik, seorang tentara sekaligus sastrawan dan
pujangga keturunan Turki. Ayahnya adalah seorang ahli fiqih
yang berprofesi sebagai pengacara yang mempunyai regiulitas
Abu al-A’la al-Maududi. Mendengar ramalan itu, ayah al- Maududi sangat gembira
dan berjanji akan memberikan nama tersebut kepada anaknya kelak sesuai dengan
permintaan tokoh Tasawuf itu. Nama Abu al-A’la juga pernah menimbulkan masalah,
sebab Abu al-A’la mempunyai arti ayah (dari) Yang Maha Tinggi, sedangkan Yang Maha
Tinggi itu adalah salah satu atribut Tuhan dan memang dapat ditemukan dalam sejumlah
ayat al-Qur’an, surah al-A’la ayat 1 dan surah al-Lail ayat 20. Tetapi kemudian al-Maududi
mengomentarinya dengan mengutip dua ayat al- Qur’an dalam surah Thaha ayat 68, surah
Ali Imran ayat 139, surah ash-Shaffat ayat 8 dan surah an- Najm ayat 7, di mana atribut al-
A’la dan al-A’launa kata jamak dari al-A’la yang diberikan kepada manunsia yaitu kepada
Nabi Musa A.S. dan kepada orang-orang yang beriman. Ahmad Idris, Abu al-A’la al-Maududi:
Sahafatun min Hayatihi wa Jihadih, al-Kahirah: al-Mukhtar al-Islami, 1979, Cet. I, h. 19 dan
Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikirannya, Jakarta, UI Press,
1993, Edisi 5, h. 158.
265 108 Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, h. 158. Dan Khurshid Ahmad & Zafar
Ishaq Ansari, Maulana Sayyid Abu al-A’la Maududi: an Introduction to His Vision of Islam an
Islamic Revival, dalam Khurshid Ahmad & Zafar Ishaq Ansari (Ed), Islamic Perpectives: Studies
in Honour of Maulana Sayyid Abu al-A’la Maududi, Leicester: Islamic Foundation, 1980, Cet. 2, h.
360.
266 109 Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, Jakarta, Departemen Agama RI, 1992/1993,
Jilid 2, h. 732.

112
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

yang tinggi dan ayahnya pernah mengecap pendidikan di Aligarh


University yang didirikan oleh Ahmad Khan (1817 M- 1898 M) seorang
pembaharu Islam di India yang terkenal pada abad ke-19. Ahmad
Hasan adalah seorang yang berjiwa patriot yang selalu mengancam
kedudukan Inggris di India karena pendukungnya yang semakin
meluas di kalangan rakyat India.
Ayahnya juga seorang sufi pengikut setia tradisionalis, sehingga
ia menerapkan pendidikan pada anak-anaknya termasuk pada
al-Maududi semenjak pada usia dini dengan sistem tradisional.
Guru pertama al-Maududi adalah ayahnya sendiri, atas didikan
ayahnya (Ahmad Hasan), ia dan saudara-saudaranya mempunyai
tingkat religius yang sangat tinggi. Ayahnya menerapkan sistem
pendidikan pada mereka cenderung klasik, tidak ada pelajaran
bahasa Inggris dan pelajaran modern lainnya, yang diajarkan
ayahnya hanya bahasa Arab, Persia dan Urdu. Pengajaran dengan
materi demikianlah yang kemudian akhirnya mengantarkannya
menjadi ahli bahasa Arab dalam usia muda.110267
Pada usia sebelas tahun al-Maududi masuk sekolah
formal, Madrasah Faqaniyat sebuah sekolah menengah yang
menggabungkan sistem pendidikan Barat modern dengan
pendidikan Islam tradisional.111
268
Di sinilah ia memperoleh
pendidikan dengan mata pelajaran modern seperti pelajaran
ilmu kimia, ilmu alam, matematika dan sebagainya. Beliau
menyelesaikan studinya tepat pada waktunya dengan memperoleh
ijazah Maulawi.112
269
Kemudian ia melanjutkan pendidikannya
ke Dar al-Ulum, yang terletak di Hiedrabad, salah satu lembaga
pendidikan tinggi, tempat mencetak ulama di India ketika itu. Tetapi
267 110 Modal dasarnya adalah pendidikan yang diperoleh dari orang tuanya sendiri di
rumah, terutama ilmu-ilmu Islam dan sejarah Islam, dengan tujuan agar anaknya kelak
menjadi seorang ulama yang mampu menyambungkan masa lalu dengan masa kini. Dari
sinilah ia menemukan kebesaran Islam dan mempatkan beliau sebagai tokoh pergerakan
Islam modern.
268 111 Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, h. 732.
269 112 Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, h. 158.

113
Dr. Samsul Bahri, MA.

hanya berlangsung selama enam bulan, ia tidak sampai tamat


karena adanya faktor dalam kesulitan biaya dan karena sakit
ayahnya yang semakin parah sampai kemudian ayahnya meninggal
dunia. Semenjak ayahnya wafat, ia terpaksa meninggalkan sekolah
formalnya dan pindah ke Delhi. Namun hal itu, tidak membuat
semangat belajarnya surut, ia tetap belajar walaupun hanya secara
otodidak.
Dengan berbekalkan beberapa bahasa yang ia kuasai, al-
Maududi mampu mempelajari beberapa disiplin ilmu yang
diminatinya. Sebagian besar diperolehnya dengan cara belajar
sendiri. Dalam waktu singkat beliau juga memperoleh bimbingan
dan pendidikan yang sistematis dari guru-gurunya yang profesional.
Jadi pertumbuhan intelektualnya sebagian besar adalah hasil dari
usahanya sendiri dan berkat bimbingan para gurunya. Moralnya
yang kuat dan penghargaannya kepada kebenaran yang sangat
tinggi adalah berkat adanya perhatian dan didikan orang tuanya
yang diterapkan pada anak-anaknya.
Semenjak ia berhenti dari sekolah formalnya, karena tuntutan
270
ekonomi, ia mulai meniti karir yang berawal sebagai wartawan.
Al-Maududi merintis karirnya dalam bidang jurnalistik semenjak ia
berusaha 15 tahun. Pada tahun 1918 ia telah aktif menulis beberapa
artikel untuk surat kabar Urdu yang terkemuka dan pada tahun
1920, ketika berusia 17 tahun ia diangkat menjadi editor surat kabar
Taj yang diterbitkan di Jabalpore, nama suatu kota yang terdapat
di Propinsi Madhya Pradesh, India. Semenjak itu, karirnya terus
menanjak sehingga pada tahun 1921 sampai tahun 1923 ia diangkat

270 113 Beliau melukiskan masa ini dengan ungkapan, ‘Hari-hari berlalu dengan pelan,
dengan membawa secercah cahaya lilin harapan, melangkah setapak demi setapak.
Mulailah realita kehidupan yang pahit membuka selubung kepahitannya. Pengalaman
satu tahun setengah katanya memberikan pelajaran berharga bahwa tidak aaada jalan bagi
manusia selain bekerja keras, berjuang demi sesuai nasi. Allah Swt telah mengaruniakan
kepandaian menulis padaku melalui bacaan dan telaah. Dan berbekalkan inilah aku
memutuskan untuk mencari rezki melalui pena”, katanya. Muhammad Mustafa Thahhan,
Model Kepemimpinan dalam Amal Islam; Studi Tokoh Pergerakan Islam Kontemporer, h. 171.

114
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

menjadi pemimpin surat kabar Muslim dan al-Jami’yyati Ulama


Hind, sebuah organisasi Islam di India pada tahun 1925 sampai 1928.
Ia diangkat karena para ulama Jami’at sangat terkesan dan karena
al-Maududi sangat berpotensi. Mulai dari sinilah, ia mengamati
dan menyadari bahwa kesadaran politik kaum muslimin sangat
rendah.114 Untuk itu ia aktif menulis dan terjun dalam urusan
271

agama walaupun ketika itu tulisan- tulisannya belum mengarah


pada kebangkitan Islam. Dan di bawah pimpinannya al- Jam’iyyat
menjadi sebuah surat kabar Islam yang sangat berpengaruh di
India pada tahun 1920-an.115272
Pada tahun 1920-an al-Maududi juga mulai terjun dalam bidang
politik. Ia ikut serta dalam Gerakan Khilafat (Khilafat Movement),
yang dipimpin oleh Muhammad Ali (1878-1931) dan Abul Kalam
Azad (1888-1958) dan terlibat dalam suatu gerakan rahasia tetapi
kemudian ia meninggalkan organisasi tersebut sebab ia tidak
seide dengan organisasi tersebut. Dengan runtuhnya Gerakan
Khilafat pada tahun 1924, kehidupannya mengalami perubahan
besar. Ia menjadi sinis terhadap nasionalisme yang diyakininya
telah menyesatkan orang-orang Turki dan Mesir, sehingga
menyebabkan mereka merongrong kesatuan Muslim dengan cara
menolak imperium Utsmaniah dan kekhalifahan Islam. Al-
Maududi juga tidak percaya terhadap nasionalisme India sebab
Partai Kongres hanya akan mengutamakan kepentingan Hindu
dengan kedok sentimen nasionalisme. Ketidaksukaannya

271 114 Ia juga kemudian ikut terlibat dalam kegiatan penyadaran hak-hak umat Islam,
sebab ketika itu kondisi politik negara sangat tidak stabil sehingga umat Islam sangat
terbelakang dan sengsara. Negara Turki Usmani yang mewakili kepemimpinan kaum
Muslimin di seluruh dunia telah bergesar setelah jatuhnya kepemimpinan Sultan Abdul
Hamid tahun 1909, gelar Sultan hanya sekedar gelar atau simbolis saja tanpa makna.
Tetapi lebih ironisnya lagi tahun 1924 gelar itupun dihapus oleh Musthafa Kamal Attaturk.
Sementara India telah jatuh ke tangan Inggris sehingga kekayaan negeri itu habis dikuras
dan kaum muslimin dan orang-orang Hindu diperangi dan diadu domba dengan
memecah belah dan menjadikan mereka seperti boneka mainan.
272 115 Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, h. 732 dan H.A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam
Modern di India dan Pakistan, Bandung, Mizan, 1998, Cet. IV, 239.

115
Dr. Samsul Bahri, MA.

tersebut disampaikannya kepada gerakan nasionalis dan sekutu


Muslimnya. Ketika itulah, ia merasa bahwa ia tidak sependapat
dengan ulama Jami’at yang mendukung adanya Kongres untuk
mengakhiri pemerintahan Inggris. Inilah alasan beliau yang
kemudian akhirnya meninggalkan Jami’at. Walaupun ia keluar
dari Jami’at dan oposisi terhadap Kongres bukan berarti ia setuju
dan rujuk dengan pemerintahan Inggris. Ia tetap konsisten
mengadakan perlawanan terhadap imperialisme termasuk Inggris
dengan menganjurkan aksi secara Islami bukan nalisonalis, sebab
dengan gerakan ini akan melindungi kepentingan umat Islam.
Kemudian al-Maududi berkumpul dengan orang-orang yang
sepaham dengannya dalam menentang Resolusi Lahore setahun
sebelumnya, yang menyerukan pembentukan negara muslim
terpisah, kira-kira 75 orang dan ini adalah awal pembentukan
Jama’at Islami yang didirikannya pada tahun 1941.116273
Ada dua peristiwa penting yang menjadi kalisator yang
mendorong al-Maududi untuk mengambil peran sebagai
pemimpin dan pemikir Islam yang berkaliber internasional serta
sebagai juru bicara gagasan Islam sebagai konsepsi alternatif
bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.117 Dua peristiwa
274

tersebut adalah faktor politik yang terjadi ketika itu sebagaimana,


disebutkan pada alinea sebelumnya dan peristiwa yang kedua,
terjadi pada tahun 1925 ketika seorang tokoh gerakan kebangunan
Hindu Swami Shadhanand –yang menganjurkan pemurtadan kasta
rendah yang masuk Islam agar kembali ke Hindu- dibunuh oleh
seorang ekstremis Islam yang berkeyakinan bahwa salah satu
tugas yang disuruh agama ialah membunuh orang kafir. Kejadian ini
menimbulkan reaksi dan perdebatan yang sengit dan Islam dituduh
sebagai agama yang disiarkan dengan kekerasan (pedang). Melihat
kondisi seperti ini, tokoh Islam India Mohammad Ali Jauhar
273 116 L. Carl Brown, Wajah Islam Politik, Jakarta, Serambi, 2003, h. 218 dan Ali Rahmena,
(ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung, Mizan, 1995, Cet. I, h. 105.
274 117 Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara, h. 159-160.

116
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

mengajak agar tokoh-tokoh Islam menanggapi dan menjawab


tudingan tersebut. Maka al-Maududi pun terpanggil untuk
menjawab persoalan tersebut dengan cara menulis sejumlah artikel
dan pada tahun 1927 diterbitkan dalam sebuah sebuah buku yang
berjudul Al-Jihad fi al-Islam.
Al-Maududi juga bergabung dengan gerakan Tarikh-i-Hijrat,
sebuah organisasi oposisi terhadap pemerintahan Inggris, yang
mengajak umat Islam yang ada di India untuk hijrah massal
ke Afganistan. Dalam hal ini pun, ia tidak sependapat dengan
organisasi tersebut sebab ia menekankan bahwa tujuan dan strategi
dari suatu gerakan harus realistis dan terencana.118
275
Dan
selanjutnya ia memfokuskan perhatiannya pada kegiatan akademik
dan jurnalistik.
Ketika di Delhi, al-Maududi punya waktu dan peluang untuk
belajar dan meneruskan kegiatan intelektualnya, ia belajar bahasa
Inggris dan membaca buku-buku Barat. Kemudian ia melanjutkan
pendidikannya ke sekolah pendidikan agama formal di Asia Selatan,
Dars-i Nizami, -silabus pendidikan agama yang populer di sekolah
agama di Asia Selatan sejak abad ke-18- atas dorongan dan motivasi
Jami’at. Di sini, ia berguru pada Abdussalam Niyazi dan selanjutnya
menjadi murid ulama Deobandi di sekolah agama Mesjid Fatihpuri,
Delhi. Berkat kerja keras dan kemauannya, al-Maududi pada tahun
1926 akhirnya menerima sertifikat pendidikan agama dan jadi
ulama. Walaupun demikian al-Maududi dengan sikap rendah
hati, ia tidak pernah menyebut dirinya sebagai alim sehingga
hubungannya dengan tradisi Deobandi tidak diketahui orang
sampai akhir hayatnya. Maka tidak mengherankan jika kebanyakan
dalam biografinya, ia hanya disebut sebagai jurnalis yang belajar
agama secara otodidak.119276
275 118 Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, h. 732 dan H.A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam
Modern di India dan Pakistan, h. 239.
276 119 Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam, Bandung, Mizan, 2003, h. 227 dan Ali Rahmena,
(Ed), Para Perintis Zaman Bara Islam, h. 104-105.

117
Dr. Samsul Bahri, MA.

Setelah meninggalkan Jami’at pada tahun 1928, ia pindah


ke Hiedrabad (Deccan) dan ia memusatkan perhatiannya kepada
riset dan menulis. Ia menyelesaikan beberapa terjemahan buku
tafsir dan filsafat dari bahasa Arab, menulis sejarah Hiedrabad
dan menyiapkan teks tentang studi Islam atas perintah Nizam. Buku
penting yang diselesaikannya adalah muqaddimah Islam, Risalah-i
Diniyat yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
dengan judul Towards Understanding Islam.120 Dan pada tahun
277

1932, ia memimpin penerbitan majalah bulanan Tarjuman al-Qur’an, sebuah


jurnal yang selama empat puluh tahun berikutnya jadi forum
terpenting dalam menyampaikan pokok-pokok pikirannya, yang
bertemakan tentang kebangkitan Islam. Jurnal ini didirikan oleh
Maulana Abu Muhammad Muslih pada tahun 1930 yang kemudian
kepemimpinannya diambil alih oleh al-Maududi. Lewat media
penerbitan inilah kemudian al-Maududi menyampaikan ide-ide
dan gagasan-gagasannya kepada umat Islam secara meluas. Al-
Maududi dalam tulisan-tulisannya memfokuskan pada beberapa
hal, di antaranya ia menerangkan ide, nilai dan prinsip-prinsip
dasar Islam dan masalah-masalah yang berhubungan dengan
konflik antara pandangan Islam dan pandangan dunia Barat. Ia
juga membahas tentang masalah-masalah kontemporer yang
terjadi dan memberikan solusi dalam menghadapinya. Sedangkan
dalam metodologi, ia mengembangkan metodologi baru dalam
mempelajari beberapa masalah kontemporer dalam konteks Barat
dan dunia Islam, dengan menilainya melalui kriterium teoritis dari
kebaikan dan keunggulan yang sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan
Sunnah. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan dan keilmiahan
suatu persepsi yang mendalam dari pentingnya ajaran-ajaran al-
Qur’an dan Sunnah dan kesadaran kritis dari jalur pikiran Barat dan
sejarahnya. 121278

277 120 Ali Rahmena, (Ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, h. 107.
278 121 H.A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, h. 240.

118
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Namun ia menyadari dengan tulisan saja tidak mungkin


berpengaruh pada peristiwa politik yang memperlihatkan serap
yang cepat dalam sejarah India pada periode tersebut, tetapi harus
disertai dengan upaya berupa langkah nyata, dalam suatu organisasi
yang mewadahi untuk menindaklanjuti gagasan-gagasannya.
Akhirnya pada tahun 1938, ia pindah ke Punjab untuk memimpin
Dar al-Islam (Negeri Islam), sebuah proyek pendidikan yang
pada awalnya dipelopori Muhammad Iqbal (w. 1938) persisnya di
Pathankot, sebuah dusun kecil di Punjab. Al-Maududi bekerja
sama dengan Muhammad Iqbal membangun komunitas Islam
dengan melatih sarjana-sarjana yang kompeten tentang Islam
untuk melahirkan pembaruan Islam secara besar-besaran di India
dan membuat tulisan-tulisan yang berkualitas dalam upaya untuk
menyusun kembali hukum Islam. Di samping itu, ia juga tetap
memperhatikan perkembangan politik dan ikut terlibat dalam debat
tentang Gerakan Pakistan antara Liga Muslim dan orang Muslim
pendukung Partai Kongres. Tetapi kemudian karena kesibukannya
dalam bidang politik, ia tidak lagi memperhatikan proyek Dar al-
Islam. Dan pada tahun 1939 ia terjun langsung dalam aktifitas politik
di Lahore. Ketika di Lahore, ia mengajar mata kuliah studi Islam
di Sekolah Tinggi Islamiyyah dan hampir 20 tahun ia menjabat
sebagai Dekan fakultas Theologi pada Islamic College. 122279
2. Karya-karya Tulis Al-Maududi
Adapun karya tulisnya yang lain, yang membahas tentang
pokok-pokok ajaran Islam, adalah:
a. Risala-i Diniyah, yang diterbitkan pada tahun 1940 dan kemudian
diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul To Wards
Understanding Islam dan diterjemahkan juga ke dalam 13 bahasa
dunia pada tahun 1979, termasuk di antaranya dalam bahasa
Arab, Perancis, Jerman, Jepang, Italia dan bahasa Indonesia.
279 122 Ali Rahmena, (Ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, h. 107 dan Departemen Agama RI,
Ensiklopedi Islam,Jilid 2, h. 733.

119
Dr. Samsul Bahri, MA.

b. Islamic Law of Life diterbitkan oleh Islamic Research Academy. Buku


ini merupakan kumpulan lima buah ceramah atau pidato al-
Maududi yang disampaikannya lewat radio pada tahun 1948,
yang berisikan mencakup lima bidang pokok dalam kehidupan
umat Islam, yaitu bidang moral, politik, sosial ekonomi dan
spritual.123280
c. Islamic Law and Constitution. Buku ini merupakan kumpulan
berbagai bahan kuliah dan tulisannya antara tahun 1939 sampai
1958, yang diedit oleh Khurshid Ahmad dari 10 buah karyanya.
Dalam buku ini ia merumuskan konsep politik Islam sesuai
dengan tuntutan zaman.
d. Tafhim al-Qur’an, sebuah terjemahan dan tafsir al-Qur’an dalam
bahasa Urdu yang diselesaikannya pada bulan Juni 1972 dan
mendapat sambutan yang luar biasa dari berbagai kalangan
karena tafsir ini menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dalam konteks
pesan yang komprehensif dan ini menjadi daya tarik tersendiri
bagi para pembacanya. Al-Maududi menyelesaikannya dalam
waktu 30 tahun.
e. Tarjuman al-Qur’an yang kemudian dicetak dalam bentuk
buku yang terdiri dari tiga jilid yang berjudul Musulmanon awr
Maujudah Siyasi Kashmakash dan Masalah-i Qaumiyat. Buku ini
adalah kumpulan dari tulisan-tulisannya tentang masalah
politik, maka dalam buku ini al-Maududi memperingatkan agar
kaum muslimin menjaga identitas, kebudayaan dan agama
Islam supaya tidak tenggelam dalam peradaban mayoritas
Hindu.
f. The Qadiani Problems, tulisan ini dibuatnya dalam misi mendukung
tuntutan rakyat yang menginginkan agar orang-orang Qadiani
harus diperlakukan sebagai kelompok minoritas, non muslim
dalam Konstitusi Pakistan tetapi pemerintah tidak menerima

280 123 Maryam Jamilah, Biografi Abu al-A’la al-Maududi, h. 16.

120
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

tuntutan tersebut dan akibat hal ini al-Maududi ditangkap dan


dipenjarakan pada tanggal 28 Maret 1953.
g. Ususu al-Iqtishadi Baina al-Islam wa al-Nizami al-Mu’sirat, berupa
terjemahan dalam bahasa Arab yang diterbitkan di Lahore
tahun 1971. Al-Maududi dalam buku ini menjabarkan kelemahan
dan keburukan sistem ekonomi modern yaitu kafitalisme dan
komunisme yang menguasai dunia perekonomian sekarang ini.
Maka kita harus mengacu kepada sistem ekonomi Islam, sebab
Islam memberikan hak kepada setiap individu seperti adanya
pemilikan kekayaan dengan tetap menjaga keseimbangan
dan pendistribusian kekayaan dalam masyarakat. Dari satu sisi
setiap individu diakui adanya hak milik pribadi dan hak untuk
mempergunakannya tetapi kedua hak tersebut dibatasi dengan
ikatan dan pembatasan secara internal dan eksternal yaitu
ikatan moral dan hukum agar kekayaan tidak menumpuk pada
sekelompok individu tetapi seimbang dan merata.
h. Tazkiratu Du’atil Islam, terjemahan bahasa Arab yang diterbitkan
di Beirut pada tahun 1966, yang menjabarkan tentang metode
dakwah yang efisien dan tepat untuk diterapkan dalam gerakan
dakwah Islam.
i. Mabadi’ul Islam, terbit tahun 1975 di Beirut.
j. Political Through in Early Islam, yang diedit oleh M.M. Syarif.
k. Al-Khilafat wa al-Mulk.
l. The Relegion of Truth, terbit tahun 1962 di Delhi.
m. Firs Principles of The Islamic State, tahun 1967 di Lahore.
n. Unity of The Muslim World, Lahore tahun 1967.
o. Islam Today, Kuwait tahun 1968.
p. A Short History of The Revivalist Movement in Islam, di Lahore tahun
1972.
q. Syahadah al-Haq, Beirut tahun 1979.
r. Ethical Viewpoint of Islam, Delhi, tahun 1979.

121
Dr. Samsul Bahri, MA.

s. Our Massage, Lahore tahun 1979.


t. Islamic Economic System Principles and Objektives, Delhi tahun 1980.
u. The Role of Muslim Students in the Reconstruction of the Islamic
World.
v. Fundamentalism of Islam.
w. Syari’at al-Islam fi al-Jihad wa al-Alaqah al-Dauliyah.
x. Mafahim Islamiyah Hawl al-Din wa al-Dauliyah.
y. Nahnu wa al-Hadharah al-Gharbiyyah.
z. Dan ada beberapa buku yang diterjemahkan al-Maududi,
di antaranya; What Happened at Samarkand, The Condition of
Christians in Turkey dan Greek Atrocities in Smyrna dari bahasa
Inggris ke bahasa Urdu. Buku-buku ini mengandung semangat
nasionalisme untuk mendukung gerakan Khilafah.
aa. Mujaz Tarikh Tajdid al-Din wa Ihya’ih.
bb. Human Rights in Islam.
cc. Waqi’ul Muslimin Sabil al-Nuhudh Bihim.
3. Dasar-Dasar Pendidikan Al-Mududi Konsep Manusia
Menurut al-Maududi manusia124 adalah hamba Allah yang
281

281 124 Al-Qur’an memakai tiga kata untuk menunjukkan makna manusia , yaitu al-basyar,
al-insan dan al-nas. Al-basyar digunakan untuk seluruh manusia tanpa kecuali. Seperti
al-basyar digunakan untuk menjelaskan eksistensi Nabi dan Rasul. Q.S. 11:27, 17:93,
18:110 daan 23:33-34. Al-basyar digunakan juga untuk menjawab anggapan orang Yahudi
dan Nasrani yang mengkalim diri mereka adalah kekasih Tuhan, QS. al-Maidah 18 dan
al-Qur’an juga menggunakannya untuk menjelaskan proses kejadian nabi Adam A.S. Kata
al-insan digunakan untuk menunjukkan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan
rohani, untuk menjelaskan sifat umum serta sisi-sisi kelebihan dan kelemahan manusia
dan untuk menjelaskan proses kejadian manusia sesudah Nabi Adam A.S. Konkritnya al-
insan mengandung makna kesempurnaan sesuai dengan tujuan diciptakannya manusia
dan keunikannya sebagai makhluk Allah yang telah ditinggikan Allah derajatnya, QS. 17:11,
21:37, 33:72, 18:54 daaan 36:77. Sedangkan al- nas digunakan untuk manusia secara umum
tanpa dibedakan statusnya keimanan atau kekafirannya, QS. 2:24 dan 10:11.
Menurut Harun Nasution ada tiga unsur: tubuh, hayat, dan jiwa. Tubuh yang bersifat
materi, tidak kekal dan akan hancur. Hayat berarti hidup dan jika tubuh mati maka
kehidupan pun berakhir. Sedangkan jiwa bersifat kekal. Menurut filosof Islam, pada
binatang dan tumbuh-tumbuhan juga ada jiwa, tetapi eksistensi jiwa di sini terikat dengan
tubuh yang bersifat materi. Oleh karena itu, jika makhluk yang bersangkutan mati, jiwa
pun ikut hancur. Harun Nasution, “Manusia Menurut Konsep Islam”, dalam Islam dan

122
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

diciptakan dengan dibekali berbagai potensi (kemampuan atau


sifat dasar) yaitu al-Sam’ (pendengaran), al-Bashar (penglihatan),
dan al-Fuad (akal pikiran).125282 Ketiga kata atau istilah tersebut
tidaklah berarti sekedar bisa melihat, mendengar dan berpikir,
secara jelas al-Maududi, memberi penjelasan, al-Sam’u di sini
berarti memelihara pengetahuan yang telah diperoleh dari orang
lain. al-Bashar berarti mengembangkan ilmu pengetahuan yang
dikait-kaitkan dengan hasil-hasil penelitian dan pengkajian.
Dan al-Fuad bermakna membersihkan dari segala keraguan dan
memurnikannya.126
283
Lebih lanjut al-Maududi menjelaskan,
bahwa ketiga potensi manusia yang telah dikaruniakan Allah
tersebut diaktualisasikan dan difungsikan secara maksimal,
maka manusia akan mencapai derajat yang tinggi, mampu
menciptakan bermacam-macam ilmu pengetahuan, sehingga
layak untuk menjadi pemimpin, sebagai khalifah di muka bumi
ini.127
284
Karena itu, baik buruknya kehidupan di dunia ini
tergantung pada manusia sendiri; Tuhan telah menyediakan segala
sesuatu, kemampuan dan peluang yang diperlukan oleh manusia
untuk memilih dan mengembangkan model kehidupannya. Firman
Allah Swt :
َُْ ُ ّ ‫الل َل ُي َغ‬
ُ ّ ‫ي َما ب َق ْوم َح َّت ُي َغ‬ َ َّ ‫إ َّن‬
ِ ‫يوا َما بِأنف‬
‫س ِه ْم‬ ِ ٍ ِ ِ ِ
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri.

Pendidikan Nasional, Jakarata, Lembaga Penelitian IAIN, 1983, h. 59-79.


282 125Abu al-A’la al-Maududi, Manhaj al-Islamiah al-Jadid li al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, h. 8.
283 126 Abu al-A’la al-Maududi, Manhaj al-Islamiah al-Jadid li al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, h. 8.
ً ُ ْ َ َُْ ََ َ َ ُ ُُّ َ َ ُ ْ َ َ َ َ َ ْ َّ َّ ْ َ َ َ َْ َ
َ ْ‫ول تقف ما ليس لك بهِۦ عِل ٌم ۚ إن ٱلسمع وٱل‬ َُْ َ َ
a284 ‫ص وٱلفؤاد ك أولٰئِك كن عنه مسـٔول‬ ِ ِ
Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggung- jawabannya.

123
Dr. Samsul Bahri, MA.

Untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya,


manusia membutuhkan bimbingan dan bantuan dari orang lain yang
lebih mampu, atau bahkan bimbingan dari Tuhannya. Bimbingan
dan bantuan semacam inilah yang disebut dengan pendidikan.128285
Oleh karena itu, pendidikan sebagai suatu proses interaksi sosial
yang melibatkan pengaruh pendidik terhadap peserta didik dalam
rangka perubahan perilaku yang diinginkan, sesungguhnya dapat
dianggap sebagai inti dari misi dakwah Islamiah sendiri. Islam datang
dalam kehidupan manusia di dunia sebagai ajaran tentang hakikat,
asal, tujuan, cara dan pedoman-pedoman lain mengenai kehidupan
dan keberadaan segala sesuatu. Islam berkembang melalui usaha-
usaha dakwah yang secara esensial menjadi tugas setiap muslim.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada hakekatnya
pendidikan adalah proses sekaligus upaya membimbing, membantu
dan mengarahkan peserta didik agar mampu mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimilikinya sehingga mampu menjalankan
fungsinya sebagai hamba Allah dan sekaligus sebagai khalifah fi al-
ardl. Sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya: Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-
benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-
benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar! (QS: 2:31).
286
Untuk itu, al-Maududi menjelaskan mengenai fungsi manusia
sebagai berikut: Pertama, melakukan ibadah kepada Allah sebagai
wujud penghambaan diri kepada khaliq-Nya, baik ibadah dalam

285 128 Artinya bahwa pendidikan merupakan sistem dan cara meningkatkan kualitas hidup
manusia dalam segala aspek kehidupan manusia. Dalam sejarah manusia, hampir
tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat
pemberdayaan dan peningkatan kualitas. Karena itu, pendidikan sebagai usaha sadar
yang dibutuhkan untuk menyiapkan anak manusia demi menunjang perannya di masa
mendatang. Ahmad Syafi’i Maarif, “Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat”,
dalam Jurnal Pendidikan Islam, No.2, Fakultas Tarbiyah UII, 1 Oktober 1973, h. 6.
286 129 Abu al-A’la al-Maududi, Prinsip-prinsip dalam Islam, Terj., Bandung, al-Ma’arif, 1988, h.
105-107.

124
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

pengertian segala tindakan yang luas dan umum cakupannya


maupun ibadah khusus yang berupa pengalaman rukun Islam.
Kedua, bertindak sebagai khalifah fil al-ardl.130 Berdasarkan
287

bukti Qur’ani, manusia ditetapkan sebagai khalifah di bawah


kondisi tertentu. Pemegang jabatan khalifah ini praktis fungsinya
bukan untuk melepaskan dirinya dari pengawasan Allah.131
288

Ketiga, sebagai khalifah, manusia bertugas membentuk sistem


masyarakat semua aspek kehidupan untuk menjembatani segala
kebutuhan antar sesamanya, sekaligus sebagai manifestasi
kesadaran manusia yang berada di bawah bimbingan Tuhan.132
289

Tegasnya, menurut al-Maududi, Islam mensyariatkan bahwa alam


semesta ini, termasuk di dalamnya manusia, pada hakekatnya
adalah milik Sang Maha Kuasa. Apabila manusia dengan segala
bentuk dan fitrahnya mau menyadari bahwa kelahiran dirinya
sebagai hamba milik Allah dan berada di bawah kekuasaan-Nya,
niscaya ia taat kepada-Nya. Oleh karena itu, manusia tidak memiliki
hak untuk menentukan sendiri cara hidup dan kewajibannya
melainkan harus mengikuti petunjuk-Nya yang berupa wahyu
yang dibawa para Rasul-Nya. Figur manusia memenuhi kriteria
tersebut hanya mampu dihasilkan melalui sistem pendidikan yang
berdasarkan al-Qur’an dan Hadits. Dengan melihat konsep tentang
manusia133
290
di atas, maka sistem pendidikan menurut al-
287 130Hakikat khalifah yang disebutkan dalam al-Qur’an ialah bahwa segala sesuatu di atas
bumi ini, berupa daya dan kemampuan yang diperoleh seorang manusia hanyalah karunia
Allah SWT. Dan Allah telah menjadikan dalam kedudukan sedemikian sehingga ia dapat
menggunakan pemberian-pemberian dan karunia-karunia yang dilimpahkan kepadanya
di dunia ini sesuai dengan kerindhan-Nya. Oleh karena itu, al-Madudi juga mengatakan
tentang khalifah kolektif bukanlah perorangan, keluarga atau kelas tertentu, tapi
komunitas secara keseluruhan yang meyakini dan menerima prinsip-prinsipnya. Artinya
tidak seorang pun bisa mengklaim bahwa khalifah Allah hanya dikhususkan baginya
dan bukan bagi kaum muslimin lainnya. Abu A’la al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan,Terj.
Bandung, Mizan, 1988, h. 64-67.
288 131 Abdurrahman, Teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an, Jakarta, Rineka Cipta, 1990, h. 50.
289 132 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, Bandung, Pustaka,
1985, h. 16
290 133Pendapat konsep tentang manusia bermacam-maca Mukti Ali merumuskan manusia
menurut Islam adalah sebagai satu keluarga, semua dilahirkan dari Adam dan Hawa.
Islam tidak mengajarkan bahwa manusia itu satu dan seragam dalam segala aspek

125
Dr. Samsul Bahri, MA.

Konsep manusia yang dikemukakan oleh Mukti Ali tersebut


menitikberatkan pada prinsip kesatuan dan persamaan. Konsep dasar
tentang manusia seperti diisyaratkan oleh ayat-ayat al-Qur’an dan
Hadis di atas menggambarkan hakikat manusia yang mempunyai
beberapa aspek, yaitu: Pertama, mempunyai asal-usul yang baik;
kedua, mempunyai asal usul yang satu sehingga melahirkan konsep
persamaan; ketiga, merupakan makhluk fisik dan ruh; keempat,
sebagai makhluk yang mulia; kelima, mempunyai sifat dasar baik
dengan potensi keyakinan tauhid; keenam, membawa amanat Tuhan
dan mempertanggung jawabkannya; ketujuh, bertujuan sebagai
pengabdi kepada Tuhan yang Maha Pencipta; kedelapan, mempunyai
keterbatasan-keterbatasan; dan terakhir, memerlukan pendidikan.
Dan jika disederhanakan lagi manusia merupakan satu hakikat
yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi material (jasad) dan
dimensi immaterial (ruh, jiwa, akal). Dalam hal ini Allah Swt yang
berfirman:
dan seginya. Akan tetapi, Islam menekankan bahwa perbedaan-perbedaan warna kulit
dan bahasa dan bangsa, cara kehidupan dan adat kebiasaan dalam pelbagai kelompok
umat manusia dan bangsa, merupakan tanda-tanda bukti kekuasaan Tuhan. Karena
itu, kesatuan manusia mempunyai kode moral. Hanya dalam ajaran-ajaran moral, bukan
esensi, terdapat perbedaan kodrat antara perempuan dan laki-laki dan ajaran-
ajaran yang khusus untuk perempuan. Manusia di hadapan Tuhan yang Maha Esa
adalah sama tingkatannya. Islam tidak mengenal perbedaan tingkat kelahiran, warna
kulit dan kedudukan sosial. Perbedaan tingkatan manusia diukur dengan perbedaan
amal perbuatan saleh, yang paling saleh itulah yang paling tinggi tingkatannya di sisi Allah
sesuai dengan firman Allah yang berbunyi;
Artinya: Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
(QS. al-Hujurat 13) Tetapi Ikhwan al-Shafa mempunyai pandangan dualistik tentang
konsep manusia, yaitu merupakan formulasi konsetual atas pandangan moral-
etik tentang manusia. Menurut mereka seandainya manusia tersusun dari unsur fisik
biologis dan unsur jiwa-rohaniah maka sejatinya kedua unsur ini memiliki perbedaan
sifat dan berlawanan kondisinya namun memiliki kesamaan dalam tindakan dan sifat
aksidentalnya. Karena unsur fisik-biologisnya manusia cenderung untuk kekal di dunia
dan hidup selama-lamanya. Sedangkan karena unsur jiwa-rohaniahnya, manusia
berkecenderungan untuk meraih keselamatan akhirat. Dengan kondisi kehidupan
manusia yang diwarnai oleh dualitas berlawanan seperti hidup dan mati, tidur dan jaga,
pengetahuan dan kebodohan, ingat dan lupa dan lain- lain. Baca Samsul Nizar, Pengantar
Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001, Cet. I, h. 53-
57, 56-65, 140-141, Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam, Pekan Baru, Infnite
Press, 2004, Cet I, h. 10-11. Untuk lebih lengkap Muhammad Jawwad Ridha, Tiga Aliran
Utama Teori Pendidikan Islam, 154-155. Al-Qur’an Surat Annisa: 28

126
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Artinya: Yang demikian itulah Tuhan yang mengetahui yang ghaib


dan yang nyata, Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Yang
membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik- baiknya dan Yang
memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan
keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia
menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)-
Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur). (QS. as-Sajdah 6-9)
Aspek material adalah jasmaniah atau jasad yaitu, jisim manusia
yang terdiri dari tubuh dan badan. Beberapa pemikir memberikan
komentarnya tentang sesuatu yang berkaitan dengan jasmaniah,
di antaranya Abu Ishak menyatakan bahwa yang dinamakan jasad
(jasmaniah) adalah sesuatu yang tidak bisa berpikir dan tidak dapat
dilepaskan dari pengertian bangkai. Sedangkan menurut al-Ghazali
jasmaniah adalah merupakan bagian yang paling tidak sempurna
dari manusia karena jasmaniah manusia tersebut terdiri dari unsur-
unsur materi yang komposisinya akan bisa rusak. Jasmaniah manusia
tidak bersifat kekal dan tidak mempunyai daya sama sekali jika
tanpa adanya roh. Ia hanya mempunyai mabda’ thabi’i (prinsip alami)
yang memperlihatkan bahwa ia tunduk kepada kekuatan-kekuatan
di luar dirinya dan jasmaniah manusia mengalami perubahan dan
pertumbuhan.
Maududi berlandaskan al-Qur’an dan hadis. Sedangkan
nilai-nilai fundamental dijadikan acuan dasar sistem pendidikan
Islam meliputi; tauhid dan amar ma’ruf nahi munkar. Esensi tauhid
terkandung dalam kalimat la ilaha illah Allah. Di sini, kata ilah,
Jadi jasmaniah atau jasad manusia tidak menentukan baik atau
buruknya manusia. Aspek jasmani hanya merupakan sandaran roh
dalam rangka melaksanakan aktivitas kehidupannya. Dengan jasad,
jiwa bisa berbuat ketaatan atau kemaksiatan. Realitas jasmaniah
hanya menandakan eksistensi manusia. Aspek jasmaniah bukan
menjadi faktor penentu dalam setiap aktivitasnya sebab ia masih

127
Dr. Samsul Bahri, MA.

memerlukan adanya aspek lain yang memfungsikan aspek jasmaniah


tersebut. Dan ciri khasnya di samping menempati ruang dan waktu
ia juga memerlukan aspek yang menopang keberadaannya seperti
makan dan minum. Unsur jasad berbeda dengan rohaniah sebab
jasad akan akan hancur dengan kematian sedangkan unsur jiwa akan
kekal dan akan bangkit kembali pada hari kiamat.
Dimensi immaterial adalah rohaniah. Rohaniah bersifat abstrak
dan tidak dapat direalitaskan . Ia hanya terlihat dari adanya aktivitas
jasmaniah. Sebab ia memberikan nilai kepada jasmani manusia
dalam setiap aktivitasnya dan dengan adanya aktivitas jasmaniah,
esensi rohaniah terpancar sebagai tanda adanya kehidupan manusia.
Abstraknya aspek rohaniah tersebut membuktikan adanya
Zat Yang Maha Kuasa yang telah menciptakannya sehingga
manusia tidak mampu merealitaskannya dan ini merupakan
betapa lemahnya manusia. Manusia diciptakan di samping
mempunyai kelebihan dibanding dari makhluk lain tapi di sisi ini
manusia sangat lemah, dengan keterbatasan-keterbatasannya agar
manusia tidak menjadi angkuh dan sombong. Keterbatasan yang
ada pada manusia berasal dari dalam dirinya sendiri dan ada yang
berasal dari luar dirinya. Keterbatasan manusia dari dalam dirinya
adalah keterbatasan kemampuan organisme badan, akal dan
jiwa. Sedangkan keterbatasan dari luar diri manusia terdapat dari
faktor-faktor lingkungan material dan sosial. Maka dalam hal ini
manusia sangat membutuhkan pendidikan yang berperan sebagai
penguat dalam membentuk kepribadiannya yang berkualitas
sesuai dengan fitrah manusia yang telah dibekali dengan berbagai
potensi. Namun menurut al-Farabi yang menganalisis manusia
dari segi fungsional organik memilah-milah potensi (sumber daya
insani) tersebut. Menurutnya potensi organik yang berfungsi secara
berurutan sebagai berikut; yang pertama berfungsi ketika dilahirkan
adalah potensi al-ghadziyyah, organ-organ tubuh yang berguna
untuk mencerna makanan. Kemudian indra perasa dan bersamaan

128
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

dengan berfungsinya indra perasa ini maka timbul kecenderungan-


kecenderungan pada diri si anak untuk merespons dan bereaksi.
Potensi tersebut kemudian mempersepsi dan menghafal stimuli-
stimuli indrawiyah yang telah diterimanya yang dinamakan
dengan potensi imajinasi(mutakhayyilah).Selanjutnya tumbuh
potensi mengabstraksi (al- muthlaqah), potensi yang mengasosiasi
dan memilah-milah unsur-unsur stimuli dengan beberapa model
ada yang realistik dan sebagian yang lain ilusif dengan potensi ini
memungkinkan berkreasi dan berinovasi.
Sejalan dengan analisa konsepnya tentang fase-fase
perkembangan manusia, al-Farabi menginginkan agar
operasionalisasi pendidikan juga sesuai dengan tahap-tahap
perkembangan fungsi organ tubuh dan kecerdasan manusia sehingga
tidak ada pemaksaan sebelum masa tahap perkembangannya
tiba. Jika tidak terjadi demikian akan mengakibatkan kacaunya
perkembangannya secara alamiah.
Artinya: Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan
manusia dijadikan bersifat lemah.
dapat diartikan menyerahkan atau menitipkan diri supaya
selamat dan terjamin. Sedangkan untuk mendapat keselamatan
dan jaminan itu ada imbalannya.134
291
Hal ini diakui Suwito
bahwa Islam dengan pilar la ilaha illah Allah, adalah agama
pemberdayaan dan pembebasan karena Islam memberikan
penghargaan terhadap manusia secara sejajar, mengutamakan
kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan
keadilan, mengajarkan berkata yang hak dan benar, mengasihi
yang lemah dan tertindas. Ayat al-Qur’an diantaranya mengajarkan:
ً َّ َ ْ ُ َ َ ْ َ َ ْ َْ ُ ْ ُ ْ َ َّ َ َ َّ ُ َ ْ َ ُ ُ َ
‫ون ِريد أن نمن ع الِين استضعِفوا ِف الر ِض ونعلهم أئِمة‬
َ ‫َو َنْ َعلَ ُه ُم ال ْ َوارث‬
‫ِني‬ ِ
291 134 Abu al-‘Ala al-Maududi, Bagaimana Memahami al-Qur’an, Terj. Surabaya, Ikhlas, 1981, h. 2.

129
Dr. Samsul Bahri, MA.

Artinya: Dan Kami hendak memberi karunia kepad orang orang


yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan
mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang
pewaris bumi. (QS. 28: 5).
Dengan mengutip pendapat al-Maududi dalam bukunya al-
Hadlarah al- Islamiyah, Abdurrahman al-Nahlawy menjelaskan bahwa
pentingnya iman sebagai salah satu dasar pendidikan antara lain:
Pertama, karena beriman menurut bahasa berarti
mengedepankannya sesuatu dalam benak seseorang lalu
membenarkan dan meyakininya, maka jika terjadi pengedepan
tidak dikhawatirkan oleh hal yang bertentangan dengan
keyakinannya. Kedua, jika iman sudah kuat maka perilaku manusia
akan berdasarkan pikiran yang telah dibenarkan dan diyakininya
maka pendidikan berbasis tauhid,135 sehingga menjadi landasan
292

dalam menentukan tujuan pendidikan.136293


Dasar pendidikan yang kedua adalah amar ma’ruf nahi munkar.
Inti dari pendidikan adalah untuk membimbing manusia agar
mentaati syari’at Allah. Dalam hal menurut Maududi tujuan utama
dari syari’at Allah ialah membangun kehidupan manusia berdasarkan
kebajikan dan membersihkannya dari munkar.
Syari’at memberikan suatu pandangan yang jelas tentang
kebaikan dan keburukan inilah yang dinyatakan sebagai norma-
norma yang ditaati seseorang termasuk dalam penyelenggaraan
pendidikan.294

292 135 Dalam hubungan masalah Tauhid Isma’il Raji al-Faruqi menyatakan bahwa
keberadaan prinsip tauhid menjadikan esensi peradaban Islam. prinsip tauhid merupakan
pandangan umum tentang realitas. Artinya konsep ketuhanan yang merupakan sumber
nilai, motivasi dan pemikiran telah mampu membentuk suatu peradaban manusia. Baik
dalam bidang sejarah, politik, pendidikan, ekonomi, etika, metafisika, sosial, estetika dan
bahkan prinsip dunia. Dengan demikian amat penting mengembangkan sumber nilai,
motivasi dan ideologi yang bersumber dari petunjuk Allah ke dalamÿÿehidupan realitas
dewasa ini. ÿÿÿÿ’il Al-Raji Al-Faruqi, Tauhid, Bandung, Pustaka, 1995, h. 10-200.
293 136Abdurrahman al-Nahlawy, Prinsip-Prinsip Dasar Metode Pendidikan Islam, Terj. Bandung,
Ponegoro, 1989, h. 118-119
294 Abu al-A’la al-Maududi, Islam Sebagai Pandangan Hidup, Terj. Bandung, Sinar Baru, 1983, h.

130
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Dengan demikian dapat dipahami bahwa Tauhid merupakan


dasar pendidikan yang paling fundamental. Melalui dasar ini dapat
rumuskan hal-hal sebagai berikut: Pertama, kesatuan kehidupan.
Bagi manusia ini berarti bahwa kehidupan duniawi menyatu dengan
kehidupan ukhrawinya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa
pendidikan merupakan manifestasi dari tugas kekhalifahan manusia
di muka bumi yang didasarkan pada pandangan bahwa kesatuan
manusia dan alam sebagai totalitas ciptaan Allah, di mana manusia
diberi otoritas relatif untuk mendayagunakannya dan tidak terlepas
dari sifat ar-Rahman dan ar-Rahim Allah.

Pengertian Pendidikan Menurut al-Maududi


Al-Maududi dalam pengertian pendidikan menggunakan
term tarbiyah yang berarti pengasuhan, kekuasaan, perlengkapan,
pertanggung jawaban, perbaikan, penyempurnaan, kebesaran,
295
keagungan dan kepemimpinan. Sejalan dengan itu, Najib
Khalid al-Amir memberikan pengertian bahwa tarbiyah adalah
memperbaiki sesuatu dan meluruskan atau menyampaikan
sesuatu sampai menuju titik kesempurnaan sedikit demi
sedikit.140296

Lebih rinci al-Maududi memberikan penjelasan bahwa tarbiyah


tidak hanya dibatasi dalam makna memelihara dan membimbing,
tetapi lebih luas terutama yakni :
(1) memelihara dan menjamin atau memenuhi kebutuhan
yang terpelihara, (2) membimbing dan mengawasi serta
memperbaikinya dalam segala hal, (3) pemimpin yang menjadi
penggerak utamanya secara keseluruhan, (4) pemimpin yang diakui
kekuasaanya berwibawa dan semua perintahnya diindahkan dan (5)
21-22.
295 Abu al-A’la al-Maududi, Bagaimana Mehamami al-Qur’an, Terj. Surabaya, al-Ikhlas, 1985, h.26-
27.
296 140 Najib Khalid al-Amir, Tarbiyah Rasulullah, Jakarta, Gema Insani Press, 1992, h. 82.

131
Dr. Samsul Bahri, MA.

raja atau pemilik.141297 Dari penjelasan di atas, tergambar bahwa


kata tarbiyah mengandung cukup banyak makna yang berorientasi
kepada peningkatan, perbaikan dan penyempurnaan.
Dengan kata lain, tarbiyah mempunyai sasaran pada perbaikan
kemaslahatan ummat. Dengan demikian dapat simpulkan bahwa
tarbiyah mempunyai arti bermacam-macam dalam penggunaannya
dan dapat menjadi makna pendidikan, pemeliharaan, perbaikan,
peningkatan, pengembangan, perciptaan keagungan yang
kesemuanya ini menuju pada kesempurnaan sesuai dengan
kedudukannya. Akhirnya dapat dikatakan pengertian pendidikan
dalam pemikiran pendidikan al-Maududi menggunakan istilah
tarbiyah, yang berarti bukan hanya memelihara dan membimbing,
tetapi juga sampai menjadi seorang pemimpin di muka bumi ini.
Dengan demikian dapat dipahami pengertian tarbiyah
dikemukakan para tokoh di atas, pada intinya sama yakni proses
memelihara, membimbing peserta didik menjadi khalifah di
muka bumi ini, dengan mengikuti ajaran-ajaran Allah yang telah
ditetapkan. Itulah muslim sejati menurut al-Maududi.

Tujuan Pendidikan Menurut al-Maududi


Tujuan pendidikan menurut al-Maududi bahwa Allah
memuliakan manusia di dunia ini karena ilmu pengetahuan, yang
erat dengan kepemimpinan dunia.142 Dengan bahasa lain, dengan
298

ilmu pengetahuan sangat penting untuk kemajuan suatu bangsa.


Tujuan pendidikan tidak lepas kaitannya dengan eksistensi hidup
manusia sebagai khalifah fil ardh. Oleh karena itu, fungsi utamanya
adalah memelihara, mengatur dan mengembangkan potensi dasar
yang heterogen dari yang dipimpinnya itu atas dasar amanat bukan
atas dasar privatisasi.

297 141 Abu al-A’la al-Maududi, Bagaimana Mehamami al-Qur’an, h. 28.


298 142Abu al-A’la al-Maududi, Manhaj al-Islamiah al-Jadid li al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, h. 7.

132
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Secara umum, tujuan pendidikan sinkron dengan tujuan agama


Islam itu sendiri, yaitu untuk mencetak setiap individu muslim taat
dan takwa kepada Allah untuk memperoleh kebahagiaan di dunia
dan di akhirat. Senada itu Muhammad Munir Mursi, menjelaskan
bahwa tujuan pendidikan itu adalah membentuk kebahagiaan
hidup manusia di dunia dan di akhirat, menumbuhkan motivasi
untuk beribadah dan bertakwa kepada Allah serta memperkokoh
solidaritas antara umat Islam.
Jadi tujuan pendidikan berorientasi kepada nilai-nilai Ilahiah
yang diinternalisasikan ke setiap individu atau anak didik lewat
proses pendidikan. Oleh sebab itu dalam penanaman nilai tersebut,
pendidikan Islam mampu mengantarkan, membimbing dan
mengarahkan anak didik (manusia) untuk melaksanakan fungsinya
sebagai khalifah fil ardh.
Ali Khalil Abu al-Ainain dalam karyanya Falsafat al-Tarbiyah al-
Islamiyah fi al- Qur’an al-Karim, seperti dikutip oleh Abuddin Nata143
299

mengatakan “pendidikan sebagai sebuah kegiatan yang bersifat


sosial kemasyarakatan, keadaaanya selalu berbeda-beda sesuai
dengan corak, sifat dan kebudayaan yang berkembang pada
masyarakat tersebut”.144300
299 143 Abuddin Nata dilahirkan di Cibuntu, Ciampe Bogor 2 Agustus 1954. Kini menjabat
Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jabatan
ini berada di tangannya selama dua periode. Bukti-bukti ketajaman penanya telah
menghasilkan 16 judul buku yang lahir dari tangannya: (1) Sejarah Agama, Hikmah Syahid,
1990. (2) Pelajaran Ilmu Kalam, Hikmah Syahid, 1990. (3) Pelajaran Al-Qur’an Hadis Untuk
MTS, Menara Kudus, 1991. (4)Al-Qur’an Hadis (Dirasah Islamiyah), RajaGravindo Persada,
1992. (5) Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Dirasah Islamiyah IV), RajaGravindo Persada,
1992. (6) Metodologi Studi Islam, RajaGravindo Persada, 1994. (7) Akhlak Tasawuf,
RajaGravindo Persada, 1994. (8) Filsafat Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, 1994. (9) Pola
Hubungan Guru Murid, RajaGravindo, 2000. (10) Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia,
RajaGravindo Persada, 2001. (11) Paradigma Pendidikan Islam, RajaGravindo Persada,
2001. (12) Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, RajaGravindo Persada, 2001. (13) Tafsir
Ayat-Ayat Pendidikan, RajaGravindo Persada, 2002. (14) Manajemen Pendidikan, Jakarta,
Pranada Media, 2003. (15) Pemikiran Pendidikan Islam Abad Pertenganhan (terj) Islamic
Educational Thought in Middle Ages, Bandung, Angkasa, 2003. (16) Dimensi Pendidikan
Spritual dalam Tradisi Islam, Bandung, Angkasa, 2003 dan masih banyak lagi tulisan yang
belum penulis tuliskan.
300 144 Abuddin Nata,”Pendidikan Islam di Indonesia; Tantangan dan Peluang”, dalam pidato

133
Dr. Samsul Bahri, MA.

Berdasarkan hal tersebut di atas, seluruh para ahli sepakat


untuk mengatakan bahwa sistem dan tujuan pendidikan bagi suatu
masyarakat atau negara tidak dapat diimpor atau diekspor dari suatu
negara atau masyarakat. Ia timbul dalam masyarakat itu sendiri dan ia
adalah pakaian yang diukur dan dijahit sesuai dengan bentuk ukuran
pemakainya, berdasarkan identitas, pandangan hidup, serta nilai-
nilai yang terdapat dalam masyarakat atau negara tersebut.145301
Dengan demikian, mengenai tujuan pendidikan Islam,
beberapa tokoh pendidikan Islam mengungkapkan, misalnya
Muhammad Qutub menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam
ialah untuk membentuk manusia yang sejati.146
302
Pengertian
yang diberikan oleh Muhammad Qutub tentang manusia sejati,
dapat dipahami bahwa manusia yang sejati adalah manusia yang
benar-benar menghambakan diri kepada Tuhan, melaksanakan
segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Sejalan dengan hal di atas, Muhammad Fadhil Djamali,147
303

mejelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam menurutnya:


pertama, menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia di
antara makhluk Allah dan tanggung jawabnya dalam kehidupan
ini. Kedua, menjelaskan hubungan manusia sebagai makhluk sosial
dan tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.
Ketiga, menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya
untuk mengetahui hikma penciptaan dengan cara memakmurkan
alam. Keempat, menjelaskan hubungannya dengan Khaliq
sebagai pencipta alam semesta.148
304

pengukuhan Guru Besar UIN Jakarta, 20 Maret 2004, h. 1.


301 Abuddin Nata, ”Pendidikan Islam di Indonesia; Tantangan dan Peluang”, h. 2.
302 146 Muhammad Quthub, Minhaju al-Tarbiyah al-Islamiyah, Kairo, Dar al-Syruq, 1993, Cet 14,
h. 19.
303 147 Muhammad Fadhil Jamali adalah seorang ilmuwan muslim berkebangsaan Irak yang
hijrah ke Tunisia kemudian menjadi Guru Besar dalam Ilmu Pendidikan di Universitas Tunis.
Beliau juga orang yang terpanggil untuk memberikan berbagai kritik terhadap pendidikan
Islam.
304 148 Muhammad Fadhil Jamali, Nahwa Tarbiyah Mukminat, al-Syirkat al-Tunisivat li-Tauzi’,
1977, h. 17.

134
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Konsep di atas, secara global mengisyaratkan bahwa ada dua hal


yang perlu direalisasikan dalam bentuk praktek pendidikan Islam,
yaitu dimensi dialektika horizontal dan dimensi ketundukan vertikal.
Pada dimensi dialektika horizontal, pendidikan Islam hendaknya
mampu mengembangkan realitas kehidupan, baik yang menyangkut
dengan dirinya, masyarakat, maupun alam ini. Sementara dimensi
ketundukan vertikal mengisyaratkan bahwa pendidikan Islam selain
sebagai alat untuk memelihara, memanfaatkan dan melestarikan
sumber daya alami, juga menjadi jembatan untuk memahami
fenomena dan misteri kehidupan dalam upaya mencapai hubungan
yang abadi dengan Khaliqnya.
Sementara itu, Marimba menjelaskan mengenai tujuan
pendidikan yaitu terbentuknya kepribadian muslim.149 Sedangkan
305

Munir Mursid juga mengatakan bahwa tujuan akhir pendidikan


adalah terwujudnya manusia yang paripurna.150 Hal ini juga
306

diungkapkan Al-Abrasyi dan Al-Attas yakni terwujudnya manusia


yang berakhlak sempurna,151 dan menghasilkan manusia yang
307

baik.152308
Selaras dengan itu, tujuan pendidikan yang digagas pada
konferensi pendidikan Islam I di Jeddah (1977) yaitu untuk
menciptakan kepribadian manusia secara total dan memenuhi
pertumbuhan dalam segala aspeknya sesuai dengan yang idamkan
Islam.153 Hal ini sejalan tujuan pendidikan yang diinginkan
309

Ibnu Miskawaih yaitu terciptanya manusia yang berperilaku


ketuhanan.154
310
Dalam hubungan ini Sayyid dan Ali Asraf

305 149 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, al-Ma’arif, 1964, h. 39.
306 150 Muhammad Munir Mursi, al-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha wa Tatawwuruha fi al-Bilad
al- Arabiyah, Qahirah, Dar-al- Maarif, 1986, h. 53.
307 151 Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Tej., Jakarta,
Bulan Bintang, 1993, h. 10.
308 Syed Muhammad al-Naquib al-Attas (ed), Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah,
King Abdul Aziz University, 1979, h. 1.
309 Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, h. 55.
310 Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, Yogyakarta, Belukar, 2004, h. 119.

135
Dr. Samsul Bahri, MA.

merumuskan tujuan pendidikan bahwa yang paling penting dari


pendidikan ialah ”mengingatkan kembali kepada setiap manusia
akan ikrar kepada Tuhannya”.155311
Untuk itu, menurut Quraish Shihab, tujuan pendidikan mengacu
pada apa yang diisyaratkan dalam al-Qur’an yakni serangkaian
upaya yang dilakukan oleh seorang pendidik dalam membentuk
anak didik menjalankan fungsinya di muka bumi, baik pembinaan
pada aspek matrial maupun spritual.156
312
Dengan demikian
terciptalah manusia yang berakhlak Islam, beriman, bertaqwa, dan
meyakini sebagai sesuatu kebenaran dan berusaha serta mampu
membuktikan kebenaran itu, melalui akal, rasa, di dalam seluruh
perbuatan dan tingkah laku sehari-hari sesuai dengan tuntunan al-
Qur’an dan Hadis.157 tetapi pada intinya adalah untuk membentuk
313

insan yang saleh dan beriman kepada Allah dan agamanya serta
membentuk masyarakat yang saleh yang mengikuti ajaran
Islam dalam segala urusannya.158
314
Atau dengan bahasa lain
terwujudnya insan saleh dan masyarakat saleh.159315
311 Sayyid Husein dan Ali Ashraf, Horizon Pendidikan Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1989, h.
61.
312 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1994, h. 173.
313 Departemen Agama RI, Ilmu Pendidikan Islam; Buku Daras Pendidikan Islam Pada Perguruan
Tinggi Umum, Jakarta, DEPAG, 2000, h. 133
314 Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam, h. 25.
315 Yang dimaksud dengan pembentukan insan saleh ialah manusia yang mendekati
kesempurnaan, yang penuh keimanan, taqwa kepada Allah serta memelihara dan
menghadap kepada- Nya dalam segala perbuatan yang dikerjakan dan segala tingka
laku yang dilakukannya, segala pikiran yang tergores di hatinya dan segala perasaan yang
berdetak di jantungnya. Itulah manusia jejak langkah Rasulullah baik pikiran maupun
perbuatannya. Hal ini menurut beliau sangat sejalan dengan firman Allah:
Artinya: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah kepada-Ku”. (
QS.51.56)
Sedangkan insan saleh beriman dengan mendalam bahwa ia adalah khalifah di bumi
ini (QS/2.30). Ia mempunyai risalah ketuhanan yang harus mampu dilaksanakan. Oleh
sebab itu, ia selalu menuju kesempurnaan walaupun kesempurnaan hanya untuk Allah
saja.
Sedangkan masyarakat saleh adalah masyarakat yang percaya bahwa masyarakat itu
mempunyai risalah untuk umat manusia mengenai keadilan, kebenaran dan kebaikan.
Suatu risalah yang akan kekal selama-lamanya tidak terpengaruh oleh faktor waktu dan
tempat Firman Allah:

136
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Dari rumusan-rumusan yang telah dijelaskan di atas, nampaknya


tujuan pendidikan yang diajukan oleh para ahli pendidikan,
pada intinya menekankan pada aspek manusia yang beriman,
bertaqwa berakhlak dan mempunyai ilmu pengetahuan agar dapat
mengembangkan dirinya dalam menyonsong masa depan. Dengan
kata lain tujuan pendidikan harus mampu menumbuhkan kepribadian
peserta didik yang seimbang dari totalitas kepribadiannya dengan
memiliki tiga kecerdasan yakni spritual, intelektual, emosional.
Dengan demikian tujuan pendidikan lebih berorientasi pada
nilai-nilai luhur dari Ilahiyah diinternalisasikan ke dalam peserta
didik lewat proses pendidikan. Karena itu, penanaman nilai-
nilai Ilahiyah tersebut pada pendidikan maka akan mampu
mengantarkan, membimbing dan mengarahkan peserta didik
untuk melaksanakan fungsinya sebagai ‘abd dan khalifah, guna
membangun dan memakmurkan alam ini sesuai dengan konsep-
konsep yang telah ditetapkan Allah.316
Jika dimensi tersebut dikembangkan dalam kajian pendidikan,
maka dalam proses mempersiapkan generasi penerus estafet
kekhalifahan yang sesuai dengan nilai- nilai Ilahiah. Oleh sebab itu,
pendidikan yang ditawarkan memberikan dan membentuk pribadi
peserta didik dengan acuan nilai-nilai Ilahia.
Gagasan-gagasan para ahli di atas, sejalan atau memiliki
substansi yang sama tentang dengan tujuan pendidikan yang
digagas al- Maududi yakni berusaha untuk membimbing peserta
didik agar mampu memahami cahaya Allah, baik yang berupa
wahyu Ilahi (ayat Qur’aniyah) maupun sunnatullah (ayat Kauniyah),
sebagai jembatan menuju suksesnya misi khalifahan manusia di
muka bumi ini.317
Artinya: “Kamu adalah ummah terbaik yang pernah diutus bagi umat manusia, karena kamu
mengajar kepada kebaikan melarang dari kejahatan”.(QS. 3.110).
Dengan demikian, tugas pendidikan dalam Islam menolong masyarakat mencapai maksud
tersebut.
316 160 Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, h. 106.
317 161 Abu al-A’la al-Maududi, Nahnu wa al-Hadharah al-Gharbiyyah, h. 186.

137
Dr. Samsul Bahri, MA.

Dari gambaran di atas dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan


menurut al- Maududi adalah membentuk kepribadian peserta didik
yang sanggup dan mampu menjadi khalifah Allah di muka bumi.
Dengan demikian manusia (peserta didik) yang berhak menjadi
khalifah adalah manusia yang memahami hukum-hukum Allah, baik
yang tertulis dalam al-Qur’an dan Hadits maupun yang ada di dalam
alam ini. Pemahaman terhadap al-Qur’an dan Hadits melahirkan
berbagai jenis ilmu agama, sedangkan pemahaman terhadap
Sunnatullah melahirkan bermacam-macam ilmu modern atau ilmu
umum.
Hanya saja menurut al-Maududi, lembaga pendidikan
Islam162
318
belum mampu melahirkan peserta didik seperti yang
diinginkan di atas, yang lahir adalah peserta didik atau manusia-
manusia yang tidak memiliki ruh Islam, bahkan nyaris mengoyak-
ngoyak pilar-pilar yang di atasnya ditegakkan dengan bangunan
Islam.
Lebih lanjut al-Maududi menjelaskan bahwa sistem
pendidikan yang ada sekarang mengacu pada teori pendidikan Barat
dan asing padahal menurutnya Islam tidak boleh mengambilnya
secara mentah-mentah untuk menata pendidikannya, sebab di sana
terdapat perbedaan nilai-nilai dasar antara keduanya.163319
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan
yang diinginkan al- Maududi adalah membentuk sosok pribadi
muslim yang berwawasan modern, yaitu muslim yang beriman,
taqwa, dinamis dan kreatif dalam mewujudkan tata kehidupan
masyarakat serta berakhlak mulia. Sosok pribadi yang demikian
318 162 Lembaga pendidikan yang dikritik al-Maududi adalah lembaga pendidikan Alighar yang
belum mampu memenuhi harapan kaum muslimin. Karena itu, menurut ia yang paling
mendesak adalah mendirikan perguruan tinggi- khusus yang mampu memenuhi harapan
kaum muslimin, di mana putera- puteri mereka dapat memperoleh pendidikan modern
seraya tetap menjadi muslim-muslim yang baik yang berguna pada pengembangan
peradaban Islam.
319 163 Mustafa Muhammad Thahhan, Model Kepemimpinan dalam Amal Islam, Studi Tokoh
Pergerakan Islam Kontemporer, Jakarta, Rabbani Press, 1997, h. 216.

138
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

inilah yang menurut al- Maududi, dipandang mampu mempengaruhi


tata kehidupan sosial masyarakat menuju terwujudnya masyarakat
Islami. Dengan kata lain bahwa pendidikan Islam tidak hanya
menawarkan sebuah ideologi normatif, melainkan perlunya
memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spritual-material
kehidupan manusia, dengan penyusunan kembali tatanan yang telah
ada menjadi tatanan yang telah menjadi yang tidak eksploitatif,
adil dan egaliter. Dan inilah yang akan menjadi tujuan akhir dari
pendidikan Islam yakni selaras dengan tujuan ajaran Islam yakni
pembebasan dan pemberdayaan serta penghargaan terhadap
manusia secara sejajar.
Pernyataan al-Maududi tersebut di atas adalah bentuk kritis
atau ketidakpuasan terhadap dunia lembaga pendidikan.164 Hal
320

ini diakui oleh Suwito bahwa kritik sangat diperlukan, karena sikap
ini akan dapat melahirkan keputusan-keputusan atau aksi-aksi baru
yang dinilai dapat mengatasi permasalahan yang muncul.165321
Menurut al-Maududi merupakan pensucian diri dari noda-noda
jahiliyah sehingga dapat melahirkan ide baru.166322
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dipahami bahwa sikap
kritik ke arah perubahan terhadap sistem yang ada, termasuk sistem
pendidikan merupakan yang sangat penting dan perlu dikembangkan
dalam berbagai bidang.

320 164 Pada lembaga-lembaga pendidikan ini kita belajar filsafat, pengetahuan umum,
ekonomi, hukum, politik dan sejarah serra ilmu lainnya sesuai dengan kebutuhan pasar,
sementara sengaja menjauhkan studi filsafat Islam, prinsip-prinsip Islam, sejarah Islam,
dan sosiologi, maka apa yang diharapkan dari ini semua? Dalam pikiran akan tergores
peta kehidupan yang tidak Islami; berpikir dengan cara yang tidak Islami; memandang
segala permasalahan hidup dengan pandangan yang tidak Islami sebab sudut pandang
Islami tidak terlintas sama sekali di depan mata, wawasan yang didapat tidak tidak saling
terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan Islam. Pengetahuan-pengetahuan ini
tidak akan memberi manfaat yang diharapkan, melainkan sebaliknya akan menjauhkan
pikiran dari Islam. Mustafa Muhammad Thahhan, Model Kepemimpinan dalam Amal Islam, h.
217.
321 165 Suwito, Pendidikan Yang Memberdayakan, h. 24.
322 166 Abu al-A’la al-Maududi, , Mujaz Tarikh Tajdid ad-Diin wa Ihya’ih, h. 5.

139
Dr. Samsul Bahri, MA.

Oleh karena itu, al-Maududi mengemukakan dengan kritiknya


yang tajam bahwa sistem pendidikan yang dipakai adalah untuk
mendidik dan membina kader-kader umat tidak dibuat untuk
mencetak pemimpin umat ini.167
323
Bahkan hanya melahirkan
generasi-generasi yang mempunyai ilmu pengetahuan tetapi
jauh dari nilai-nilai ilahiah.168324
Melalui pendidikan peserta didik seharusnya mampu
menyumbangkan untuk masyarakat atau menjadi pemimpin dunia
dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.169
325

Hal tersebut di atas, sejalan dengan pendapat Mocthar Buchori


bahwa lembaga pendidikan memberikan pendidikan yang ditandai
oleh tiga jenis keseimbangan yaitu:
(1) keseimbangan antara pendidikan rohani dengan pendidikan
jasmani.(2)keseimbangandenganpengetahuanalamdenganpengetahuan
sosial dan budaya. (3) keseimbangan antara pengetahuan tentang
masa kini dengan pengetahuan tentang masa lampau.170326
Akhirnya dapat diberikan kesimpulan bahwa tujuan pendidikan
yang digagas al- Maududi adalah bersifat menyeluruh yang
mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi peserta didik
dengan dilandasi oleh iman dan akhlak. Dengan ungkapan lain
peserta didik yang mempunyai kualitas intelektual dan kualitas
spritual, atau bersandingnya fakultas fikir dan fakultas dzikir
dan akhlak. Hal ini diakui oleh Muhammad Abduh bahwa
sistem pendidikan harus didasari dengan moral dan agama.171327

323 167 Mustafa Muhammad Thahhan, Model Kepemimpinan dalam Amal Islam, h. 216.
324 168 Abu al-A’la al-Maududi, Manhaj al-Islamiah al-Jadid li al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, h. 16.
325 169 Abu al-A’la al-Maududi, Manhaj al-Islamiah al-Jadid li al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, h. 16.
326 170 Mucthar Buchori, Pendidikan Antisipatoris, Yogyakarta, Kanisius, 2001, h. 41.
327 171 Muhammad Abduh adalah seorang cendekiawan Ulama, Maha Guru Universitas
Al-Azhar, lebih mengedepankan kemampuan rasional dalam proses pemahaman ajaran
Islam melalui pendidikan sehingga cara-cara belajar verbalistik dipandang tak bermakna.
H.M. Arifin, Kapita SelektaPendidikan Islam dan Umum, Jakarta, Bumi Aksara, 2000, h. 29.

140
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Kurikulum Pendidikan Menurut al-Maududi


Menurut al-Maududi bahwa salah satu kelemahan dunia
pendidikan Islam adalah kurikulumnya yang tidak menjadikan
al-Qur’an dan hadis sebagai landasan ilmu.172 Dengan kata lain
328

materi yang diajarkan masih bersifat dualisme pengetahuan. Bahkan


menurut al-Maududi sistem pendidikan Islam hanya berfokus
pada pengembangan fungsi pendengaran, sehingga peserta didik
yang dihasilkan belum maksimal 173 .
329

Lebih lanjut al-Maududi memberikan penjelasan bahwa


kurikulum pendidikan mampu menggabungkan ilmu agama dan
ilmu umum sehingga menjadi satu ilmu pengetahuan, sehingga
sasaran dan tujuan merealisasikan suatu kehidupan baru yang
berdiri di atas pondasi keimanan kepada Allah atau dengan kata
lain sistem ini akan melahirkan peserta didik yang berperilaku baik
dan tindakannya adalah cerminan dari nilai-nilai ajaran Islam.174330
Al-Maududi, menjelaskan bahwa kurikulum pendidikan
modern mempunyai nuansa yang tidak dapat dipisahkan dari
sebagian peradaban masa kini yang bertentangan dengan nilai-
nilai Islam. Peserta didik belajar filsafat untuk mencari jawaban
atas masalah-masalah alam bukan Tuhan. Mempelajari ilmu-
ilmu yang memisahkan iman dengan pemikiran rasional sehingga
menjadi hamba materi. Mempelajari sejarah, politik, ekonomi dan
hukum serta ilmu lainnya dengan metodologi yang sama sekali
berbeda dengan teologi Islam. Bahkan kurikukulum pendidikannya
tidak terkait dengan pendidikan lama yang mengacu pada al-Qur’an
dan Hadis serta fiqh, sehingga tidak akan melahirkan harapan
yang dapat memberi hasil pendidikan yang diidamkan.175331

328 172Abu al-A’la al-Maududi, Nahnu wa al-Hadharah al-Gharbiyyah h. 320. Manhaj al-Islamiah
al-Jadid li al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, h. 16.
329 173Abu al-A’la al-Maududi, Manhaj al-Islamiah al-Jadid li al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, h. 10.
330 174 Abu al-A’la al-Maududi, Manhaj al-Islamiah al-Jadid li al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, h. 34.
331 175 Mustafa Muhammad Thahhan, Model Kepemimpinan dalam Amal Islam, h. 217.

141
Dr. Samsul Bahri, MA.

Untuk itu, menggabungkan ilmu-ilmu agama-dan ilmu-


ilmu umum dan keduanya merupakan satu kesatuan yang tak
bisa dipisahkan, sehingga peserta didik yang dilahirkan oleh tidak
pecah kepribadiannya.176332
Dari pendapat di atas, dapat dipahami bahwa al-Maududi
memadukan antara pendidikan modern yang memiliki nilai-
nilai positif dengan ilmu-ilmu dasar yang didasarkan pada visi
pendidikan Islam. Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan177 yang
333

dikemukakan oleh para tokoh Islam178 juga telah digagas oleh al-
334

Maududi.

332 176 Abu al-A’la al-Maududi, Manhaj al-Islamiah al- Jadid li al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, h. 22.
333 177 Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah suatu respon terhadap krisis
masyarakat modern yang disebabkan karena pendidikan Barat yang bertumpu pada suatu
pandangan dunia yang lebih bersifat materialistis dan relativis; yang menganggap bahwa
pendidikan bukan untuk membuat manusia bijak yakni mengenali dan mengakui
posisi masing-masing dalam tertib realitas tapi memandang realitas sebagai sesuatu
yang bermakna secara material bagi manusia, dan karena itu hubungan manusia
dengan tertib realitas bersifat eksploitatif bukan harmonis.
334 178 Penyebutan Islamisasi Pengetahuan langsung terkait dengan nama Ismail al-Faruqi,
seorang sarjana kelahiran Palestina yang kini bermukim di Amerika Serikat. Ia dianggap
sebagai pencetus utama gagasan ini, yang diikuti dengan pendirian sebuah lembaga
penelitian “Internasional Institute of Islamic Thought” (atau lebih dikenal dengan singkatan
III-T), yang berkantor pusat, mula- mula di Philadelphia, tapi kemudian pindah ke Herndon,
Virginia. Namun demikian orang Malaysia tidak menganggapnya demikian. Mereka
mengatakan bahwa pencetus ide Islamisasi Ilmu pengetahuan itu adalah seorang
sarjana ahli budaya Melayu berkebangsaan Malaysia, Naquib Alatas dengan dukungan
Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, membentuk lembaga sendiri dengan nama
Internasional Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), yang berbasis di Kuala
Lumpur, dengan gedung dan kompleksnya yang megah dan di atas sebuah bukit. Walaupun
gagasan Isalamisasi Pengetahuan dikaitkan dengan Ismail Faruqi dan Naquib Alatas
yang muncul pada tahun 70-an, namun substansi pemikiran di sekitar pendekatan
baru terhadap pengetahuan dan realitas kaum Muslimin itu sendiri dapat dilacak sejak
Shah Wali Allah dan Sir Sayyid Ahmad Khan pada abad 18 dan 19. Moeflich Hasbullah (ed),
Gagasan dan Perdebatan Islamisas Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Pustaka Cidessindo, 2000, h. xii-
xiii.
Ismail al-Faruqi yang dilahirkan di Jaffa, Palestina, pada tanggal 1 Januari 1921. Ayahnya,
‘Abd al-Huda al-Faruqi, adalah seorang hakim (qadi) sekaligus seorang tokoh agama yang
cukup dikenal di kalangan sarjana Islam. Keluarganya merupakan keluarga kaya dan
terkenal di Palestina. Setelah adanya kolonialisme Israel ke negaranya, ia bersama sebagian
besar kerabatnya, mencari perlindungan ke Beirut, Lebanon. Beliau meninggal pada
tanggal 27 Mei 1986, bertepatan dengan 18 Ramadhan 1406, yang dibunuh secara sadis
bersama isterinya Lois Lamya al-Faruqi di rumah di Wynocote, Pensylvania. Muhammad
Shafiq, Mendidik Generasi Baru Muslim, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, h. 13-14.

142
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Untuk itu, al-Maududi lebih lanjut mengklasifikasi ilmu


pengetahuan dalam dua istilah yaitu ilmu Diniyyah dan ilmu
Duniawiyyah. Ilmu diniyyah dipelajari berdasarkan al-Qur’an dan
Sunnah. Kandungan ilmu pengetahuan dalam al-Qur’an, menurut
al-Maududi dibagi dua bagian. Pertama, berkaitan dengan persoalan
yang berada di luar jangkauan akal, yaitu hal yang tidak mungkin
ditetapkan secara pasti, dan untuk ini al-Qur’an menyampaikan
seruan pada manusia agar beriman pada hal- hal yang baik. Kedua,
berkaitan dengan persoalan yang bisa diprediksi akal, yaitu hal- hal
seputar filsafat, tata tertib kehidupan umat manusia dalam Islam.
Sedangkan ilmu duniawiyyah dicapai berdasarkan kecerdasan akal
dengan pendekatan ekprimental, observasi dan aplikasi. Kedudukan
ilmu-ilmu duniawiyyah ini memperkokoh tugas manusia di muka
bumi menjadi rahmatan lil alamin.179
335

Kendatipun al-Maududi membagi ilmu pada dua bagian seperti


yang tergambar di atas, namun ia tidak memisahkan kedua ilmu
tersebut. Sebab semua ilmu yang diperoleh peserta didik adalah ilmu
Allah semata.180 Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa sesungguhnya
336

pembagian ilmu menjadi ilmu agama dan umum adalah didasarkan


pada pemikiran yang sengaja memisahkan agama dan dunia.181
337

Pemikiran semacam ini benar-benar sangat bertentangan dengan


ajaran Islam. Sebab, agama menurut pandangan Islam tidak dapat
dipisahkan dengan dunia. Dan alam semesta adalah milik Allah dan
manusia yang hidup di dalamnya harus sesuai dengan kehendak dan
ajaran- Nya.182338

335 179 Abu al-A’la al-Maududi, , Nahnu wa al-Hadharah al-Gharbiyyah h. 167.


336 180Abu al-A’la al-Maududi, al-Manhaj al-Islami al-Jadid al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, h. 45.
337 181 Atau istilah yang dipakai al-Ashfahani yang dikutip Said Agil al-Munawar yakni ilmu
aqly (rasional) adalah ilmu yang didapat dengan akal dan penelitian, sedangkan ilmu
sam’iy adalah merupakan ilmu didapat melalui pemberitaan wahyu. Said Agil Husin al-
Munawar, Aktualisasi Nilai- Nilai Qur’ani, dalam Sistem Pendidikan Islam, Jakarta, Ciputat Press,
2003, h. 78-79.
338 182 Abu al-A’la al-Maududi, al-Manhaj al-Islami al- Jadid al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, h. 43-44.

143
Dr. Samsul Bahri, MA.

Untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang dicita-citakannya,


yaitu membentuk pribadi muslim yang sanggup menjalankan
tugas khalifahan di dunia, al- Maududi menunjukkan kelemahan
dasar dari perpaduan sistem pendidikan adalah pendidikan yang
diajarkan baik pendidikan agama seperti al-Qur’an, tafsir, hadis,
fiqh. Maupun pendidikan umum, seperti hukum, politik ekonomi,
tidak mempunyai landasan teologis terhadap ajaran Islam, sehingga
mereka tidak memiliki pemahaman mendasar serta penghayatan
339
atas masalah-masalah yang dihadapi. Menurutnya bahwa
pelajaran agama atau teologi tidak dijadikan sebagai tali untuk
mencekik leher pendidikan sains, tetapi sistem pendidikan dan
pengajarannya dapat menjadi darah dan ruh yang mengalir
secara dinamis, ilmu-ilmu umum dibangun dan dipasangkan
dalam sistem pendidikan Islam.340
Hal ini dapat dipahami bahwa ia menawarkan format
dan struktur kurikulum yang boleh dikatakan sangat ideal, yaitu
kurikulum yang menyatukan ilmu pengetahuan agama dan ilmu
pengetahuan umum, atau ilmu diniyyah dan ilmu duniawiyyah,
dan bukan sekedar mendampingkan kedua jenis ilmu yang selama
341
ini dipisahkan.
Dengan cara seperti di atas, menurut ia peserta didik terpecah
menjadi tiga kelompok: Pertama, peserta didik yang dikuasai
oleh cara berpikir Barat. Kedua, peserta didik yang menempuh
cara berpikir Islami, baik secara jernih dan tajam maupun secara
sederhana dan terpengaruh oleh cara berpikir asing. Ketiga, peserta
didik yang bersifat dikotomis, tidak berpikir Islami dan tidak pula
342
berpikir cara Barat.

339 183 Abu A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Bandung, Mizan, Cet VI,
1998, h. 231.
340 184 Abu al-A’la al-Maududi, , Nahnu wa al-Hadharah al-Gharbiyyah, h. 308.
341 185 Abu al-A’la al-Maududi, Manhaj Jadid al-Tarbiyah wa al-Ta’alim, Terj. h. 43.
342 186 Abu al-A’la al-Maududi, , Nahnu wa al-Hadharah al-Gharbiyyah, h. 305.

144
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Karena itu, sistem pendidikan agama menjadi landasan


pendidikan, untuk ilmu- ilmu umum. Dengan demikian, sains dan
ilmu agama akan menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dari peradaban Islam. Dengan kondisi seperti ini akan melahirkan
filosof-filosof muslim, fisikawan dan kimiawan muslim, ekonom,
serta pemikir muslim. Bahkan juga, dari rahim pendidikan tersebut
akan lahir spesialis-spesialis di berbagai bidang ilmu pengetahuan
yang akan mengemukakan pemecahan berbagai persoalan hidup
melalui pandangan Islam yang mampu memanfaatkan kebudayaan
dan teknologi modern sebagai sarana mencapai kejayaan peradaban
Islam.187343
Oleh karena itu, ilmu umum yang ditawarkan al-Maududi
dalam kurikulum pendidikan, bukanlah ilmu-ilmu umum yang
diciptakan Barat, yang selama ini diadopsi begitu saja oleh para ahli
dan praktisi pendidikan Islam. Menurutnya, ilmu-ilmu umum ciptaan
Barat itu bersifat sekular, tidak didasarkan dengan nilai-nilai
ajaran Islam. sehingga ilmu-ilmu tersebut tidak dapat membekali
dan mengarahkan peserta didik untuk bertauhid.188344
Beliau juga menjelaskan bahwa ilmu-ilmu umum yang diajarkan
di lembaga- lembaga pendidikan Islam adalah ilmu umum yang
diislamisasikan, yaitu dengan mengganti atau merubah paradigma
Barat dengan model Islam, dengan cara pandang dan berpikir yang
didasarkan pada landasan tauhid. Untuk itu, ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum seperti disebutkan di atas itulah yang disusun
dan diformulasikan dalam kurikulum pendidikan Islam dan secara
gradual diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam mulai dari
lembaga pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi.

343 187 Abu al-A’la al-Maududi, Nahnu wa al-Hadharah al-Gharbiyyah, h. 309.


344 188 Abu al-A’la al-Maududi, al-Manhaj al-Islami al- Jadid al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, Terj. h. 45-
47.

145
Dr. Samsul Bahri, MA.

Untuk pendidikan menengah, al-Maududi menawarkan


pelajaran-pelajaran: aqidah akhlak atau moral,189 aqa’id,190
345 346

hukum-hukum fiqh,191 tarik Islam, bahasa Arab, al-Qur’an.192


347 348

Kemudian pada tingkat akademi materi pokok yang diajarkan


adalah bahasa Arab, kapita selekta Islam. Sedangkan materi
pokok pendidikan tingkat universitas meliputi: al-Qur’an, Hadis,
sejarah Islam, teologi, ekonomi, politik, perbandingan agama,
bahasa Arab, Jerman, Prancis, Inggris dan lain-lain.193349
Secara keseluruhan kurikulum yang ditawarkan al-Maududi
yakni terintegrasinya antara subyek keagamaan dan subyek ilmu
umum dalam satu paket pembelajaran. Artinya menyatukan
arti kehidupan dunia dan akhirat, maka pendidikan umum pada
hakekatnya adalah pendidikan agama juga; begitu sebaliknya,
pendidikan agama adalah juga pendidikan umum. Idealnya, tidak

345 Dalam materi ini yang dikemukakan tidak saja sekedar teori-teori etika, melainkan
peristiwa-peristiwa yang mencakup sejarah perjuangan Rasulullah Saw, sepak terjang
Nabi, sahabat dan para tabi’in yang dari situ para siswa mengerahui sejarah perjuangan-
perjuangan pribadi-pribadi tertentu, dan bagaimana pula corak kehidupan mereka yang
islamis.
346 Materi ini hendaknya tidak hanya sekedar mencakup perincian pandangan-pandangan ilmu
Kalam tentang aqidah, melainkan harus memakai teknik yang halus guna menanamkan
ajaran-ajaran akidah dalam hati nurani secara wajar dan dapat diterima akal dengan
baik. Selain itu, hendaknya diajarkan pula kepada siswa ajaran-jaran aqidah Islam yang
sesungguhnya merupakan hakikat paling mendasar dalam alam semesta ini, yang sekaligus
juga memiliki kaitan amat erat dengan kehidupan.
347 Adapun materi yang disajikan dalam hukum-hukum Islam adalah hal yang paling
mendasar dari hukum Islam yakni berkaitan dengan hak Allah, kewajiban makhluk,
tingkah laku perorangan seorang muslim. Tetapi hendaknya tidak dikemukakan hal-hal
yang bersifat juz’iyah (parsial) yang lazimnya ada dalam kitab-kitab fiqh konu yang
hanya mengakibatnya keruhnya suasana. Sebagai gantinya diajarkan kepada siswa inti
sari dan hikmah ibadah, ruh dan dan kemaslahatannya. Serta diajarkan kepada mereka
bahwa Islam telah menggariskan program hidup, baik untuk perorangan maupun
masyarakat.
348 Materi yang diajarkan adalah sejarah perjuangan Rasulullah Saw dan para sahabat. Tujuan
pembelajaran ini adalah agar para mahasiswa mengetahi asal usul agama dan
ummatnya, serta menanamkan kesadaran yang benar tentang sejarah masa lalu Islam.
Sedangkan materi bahasa Arab sebagai mata pelajaran wajib yang bisa membuat para
siswa sedikit banyak lebih akrab dengan sastra Arab. Kemudian materi al-Qur’an diajarkan
agar memiliki kemampuan membaca al-Qur’an denga benar dan menghafal serta
memahaminya. Abu al-A’la al-Maududi, Nahnu wa al-Hadharah al-Gharbiyyah,, h. 313-314.
349 193 Abu al-A’la al-Maududi, , Nahnu wa al-Hadharah al-Gharbiyyah, h. 313-315.

146
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

perlu terjadi persoalan ambivalensi dan dikotomik dalam orientasi


pendidikan Islam.
Pemikiran ini mengadaikan penemuan suatu bentuk perpaduan
materi-materi pendidikan umum dan agama yang barangkali
merupakan konsep yang Islami. Dengan adanya penyatuan ilmu/
sains dengan nilai-nilai ajaran Islam, persoalan dikotomi dapat
dicarikan jalan keluarnya. Wawasan ilmu tidak lagi dipisahkan
secara dikotomis dalam pembagian ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
umum, tetapi bedakan (bukan dipisahkan) menjadi ilmu-ilmu yang
menyangkut ayat-ayat tanziliyah (ayat-ayat yang tersurat dalam
al-Qur’an dan hadis) dan ilmu tentang ayat-ayat kauniyah (ilmu
pengetahuan tentang alam).194350
Selanjutnya gagasan lain yang dikemukakan al-Maududi
mengenai kurikulum adalah gagasan tentang spesialisasi
keilmuan.195 Dengan spesialisasi itulah manusia dapat diketahui
351

jati diri maupun potensi yang sebenarnya. Disiplin ilmu ini


mendapatkan tempat yang terhormat dalam Islam. Sebab sains
dan ilmu-ilmu Barat, seluruhnya bermanfaat, dan Islam tidak
menolaknya. Bahkan secara obyektif ilmu-ilmu umum sesuai dengan
ajaran Islam. Benturan yang terjadi hanya kulit luarnya, bukan
antara ilmu pengetahuan dengan Islam, melainkan pertarungan
antara metodologi Barat dengan metodologi Islam.196 Atau istilah
352

yang lain dikotomi ilmu.197353


350 194 A.M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran; Landasan Islamisasi, h. 116.
351 195 Abu al-A’la al-Maududi, Manhaj al-Islamiah al-Jadid al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, h. 49.
352 196 Perbedaan ini disebabkan karena pada sebagian besar sains modern termuat
konsepsi- konsepsi dasar tertentu yang berisi hipotesis-hipotesis dan titik tolak yang
pada hakikatnya tidak memiliki nilai-nilai tetap, melainkan sekedar anggapan yang
selamanya melahirkan keraguan. Islam menentang aksioma-aksioma yang muncul melalui
metodologi. Islam sama sekali tidak menetang teori- teori kebenaran, yang ditentangnya
hanyalah metodologi pengambilan kesimpulannya yang rancu. Itu disebabkan karena
sains modern memiliki konsepsi dasar teori dan titik tolak pemikiran yang bertentangan
dengan fitrah manusia.
353 197 Persoalan dikotomi ilmu adalah persoalan klasik, tetapi selalu hangat untuk
dipersoalkan dan masalahnya adalah pemisahan antara ilmu dan agama, yang kemudian
berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik yang lain, seperti dikotomi ulama,

147
Dr. Samsul Bahri, MA.

Kurikulum pendidikan yang dirancang al-Maududi tidak bisa


disebut sekular ataupun tidak religius dalam pengertian yang sempit.
Karena tujuannya tidak lain adalah untuk menghasilkan sarjana-
sarjana muslim yang berwawasan luas, mampu mendakwahkan
ajaran Islam dalam pengertian modern, mampu melaksanakan dan
mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam tata kehidupan sosial
masyarakat yang dinamis.
Dari gambaran di atas, kurikulum yang dikehendaki al-Maududi
adalah terintegrasinya ilmu umum ke dalam ilmu pendidikan Islam
atau dikotomi ilmu dengan berbasis pada landasan al-Qur’an.
Semua ilmu-ilmu umum telah diorganisasikan sesuai dengan
ajaran Islam dan semua permasalahan kehidupan dihadapi
dengan kaca mata Islam. Dengan ungkapan lain, hubungan antara
ilmu dan agama adalah hubungan yang bersifat dinamik evolutif,
yaitu suatu interprestasi manusia terhadap kebenaran hakiki Allah,
melalui fenomena Kauniah dan fenomena Naqliah, yang berkembang
secara terus menerus.198
354

Peserta Didik dan Pendidik Menurut al-Maududi


Dari cerminan tujuan dan kurikulum al-Maududi, maka
dapat dipahami bahwa peserta didik yang diinginkan beliau
adalah peserta didik yang mempunyai ruh Islam dalam jiwanya,
berwawasan luas, tidak adanya dikotomi ilmu, kreatif, berakhlak
yang mulia, dan mampu mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam
kehidupan masyarakat, sehingga bersandinglah ilmu dan iman
dalam kehidupan ini.199355
Lebih lanjut al-Maududi menjelaskan bahwa peserta didik yang
diharapkan dari rahim pendidikan yakni:
intelektual. Salah satu sebab berkembangnya kecederungan dikotomi tersebut adalah
kegagalan manusia muslim memahami secara proporsional hubungan antara ilmu dan
agama.
354 198 Ahmad Watik, “ Identifikasi Masalah Pendidikan Agama di Indonesia”, dalam Muslih
Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia; Antara Cita dan Fakta, h. 105.
355 199 Abu al-A’la al-Maududi, Manhaj al-Islamiah al-Jadid al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, h. 34-35.

148
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

1. Memiliki kekuatan dan imunitas moral yang kokoh, untuk


kemudian merubah jalannya peristiwa-peristiwa kehidupan
dalam cerminan Islam.
2. mereka mampu mereformasi ilmu-ilmu modern supaya selaras
dengan pandangan Islam terhadap realitas kehidupan.
3. mampu mengadakan penelitian-penelitian ilmiah dan
eksprimen, sehingga hasil-hasil penelitian mereka merajai dunia
penelitian.200356
Dengan cara inilah mereka memiliki kekuatan mempengaruhi
kehidupan dan mengantarkan mereka menjadi peserta didik yang
layak memegang kepemimpinan dunia.
Dengan kondisi demikian, peserta didik akan berhasil
merekonstruksi konsepsi dan teori-teori Islam, serta menyusun
undang-undang yang mampu berjalan seirama dengan
perkembangan zaman, sampai akhirnya Islam berhasil merebut
kembali kepemimpinan dalam medan keilmuan dan amaliah
praktis yang didasar dengan semangat Ilahi. Bahkan lebih lanjut
al-Maududi mengatakan bahwa sesungguhnya manusia diciptakan
Allah untuk menjadi panglima-panglima dan membuktikan dirinya
sebagai ummat yang dilahirkan untuk seluruh ummat manusia.201357
Dalam kerangka inilah, peserta didik akan tertinggal dari
kejumudan202 atau memakai istilah Harun Nasution agar
358

ilmu pengetahuan dapat berkembang, menekankan adanya


perubahan sikap mental tradisional menjadi sikap mental yang
rasional.203
359

Untuk itu, menurut al-Maududi peserta didik memiliki ruh


Islam yang dapat menampilkan pandangan Islam dan berwatak

356 200 Abu al-A’la al-Maududi, Manhaj al-Islamiah al-Jadid al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, h. 34-35.
357 201 Abu al-A’la al-Maududi, , Nahnu wa al-Hadharah al-Gharbiyyah, h. 347.
358 202 Abu al-A’la al-Maududi, , Nahnu wa al-Hadharah al-Gharbiyyah, h. 309.
359 203 Saiful Muzani (ed), Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution,
Bandung, Mizan, 1995, h. 146.

149
Dr. Samsul Bahri, MA.

Islami, yang kemudian mencurahkan tenaganya dengan pemikiran-


pemikiran segar, atau minimal berbakti untuk kepentingan
umat melalui ilmu dan karya-karyanya. Sehingga memberi manfaat
kepada Islam dan peradabannya.360
Selanjutnya untuk mencapai tujuan pendidikan dan kurikulum
serta peserta didik yang diinginkan, ada tiga langkah menurut al-
Maududi yang bisa ditempuh secara bertahap yakni:361
362
Pertama, Tenaga pendidik yang berasal dari kalangan Guru
Besar, yang mempunyai keahlian dan spesialisasi dalam berbagai
disiplin ilmu (sains modern) yang sekaligus memahami al-Qur’an
363
dan Sunnah. Pendidik memiliki kemampuan untuk membedakan
antara kebenaran-kebenaran ilmu pengetahuan Barat dari
pandangan- pandangan mereka sendiri yang secara prinsipil bercorak
Islam.
Berdasarkan hal tersebut, maka disusun teori-teori baru yang
bercorak Islam. Bahkan al-Maududi menjelaskan bahwa seorang

360 Abu A’la al-Maududi, Nahnu wa al-Hadharah al-Gharbiyyah, h. 187-188.


361 Abu al-A’la al-Maududi, Penjajahan Peradaban, h. 322-323.
362 Pendidikan dalam perpektif Islam mempunyai peranan yang sangat penting dalam
proses pendidikan. Sebab pendidikanlah yang bertanggung jawab terhadap perkembangan
peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik baik
potensi afektif, kognitif maupun psikomotoriknya. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam
Perspektif Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1992, h. 74-75.
363 Dalam pendidikan Islam peran pendidik adalah proses transformasi dan internalisasi
nilai- nilai Islam dan ilmu pengetahuan dalam rangka mengembankan fitrah dan
kemampuan dasar yang dimiliki peserta didik guna mencapai keseimbangan dan
kesetaraan dalam berbagai aspek kehidupan, maka pendidik mempunyai peran yang
sangat penting dalam pendidikan. Bahkan sesungguhnya seorang pendidik, bukanlah
betugas sebagai transfer of knowledge saja, tetapi pendidik bertanggung jawab atas
pengelolaan, pengarah, fasilitator dan perencana. Oleh karena itu, fungsi dan dan tugas
pendidik mencakup tiga hal: Pertama, sebagai pengajar yang bertugas merencanakan
program pengajaran dan melaksanakan program yang disusun serta mengakhiri dengan
pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan. Kedua, pendidik mengarahkan
peserta didik pada tignkat kedewasaan yang berkepribadian insan kamil seiring
dengan tujuan Allah menciptakannya. Ketiga, sebagai pemimpin yang mengendalikan
diri sendiri, peserta didik, masyarakat terkait yang meyangkut upaya pengerahan,
pengawasan, penorganisasian serta partisipasi atas program yang dilakukan. Muhaimin
dan Abdul Majid, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar
Operasionalisasinya, Bandung, Trigenda Karya, 1993, h. 168.

150
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

pendidik memiliki ruh Islam, sehingga mampu menanamkan nilai-


nilai Islam pada qalbu peserta didik. Dengan kata lain pendidik
bertanggung jawab terhadap penciptaan situasi kondisi yang
dialogis interdependen dan terpercaya. Oleh karena itu, pendidik
364
sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik profesional.
Dengan demikian pendidik yang dikehendaki al-Maududi
adalah pendidik yang mempunyai wawasan keislaman yang sesuai
dengan perkembangan zaman yang komprehensif dan mampu
mananamkan pada diri peserta didik pengetahuan tentang ilmu
umum dan ilmu agama serta jiwa kreatif. Atau dengan istilah
lain pendidik- pendidik yang mampu mengitegrasikan wawasan
imtaq (iman, dan taqwa serta iptek).209
365

Kedua, dilakukan penyeleksian terhadap buku-buku yang


berkenaan dengan ilmu-ilmu Islam seperti filsafat, hukum, ilmu
politik, pemerintahan, ekonomi, sejarah dan bahasa Arab, Jerman,
Inggris, Perancis. Semuanya dapat diterima sepanjang telah melalui
seleksi. Lalu buku-buku yang dianggap bermanfaat, sesudah melalui
penyesuaian dijadikan buku sumber. Untuk tujuan ini adanya satu
team ahli.
Ketiga, demikian pula halnya, dibutuhkan banyak ahli untuk
menyusun buku- buku teks baru dalam berbagai disiplin ilmu.
Kemudian untuk mengkaji satu ilmu tidak harus berasal dari satu
bahasa.
Dari pemikiran di atas, dapat dimengerti bahwa pendidikan
yang dalam pandangan al-Maududi adalah bagaimana menata ulang
364 208 Profesionalisme seorang guru ada tiga: Pertama, seorang guru yang profesional
harus menguasai bidang ilmu pengetahuan yang akan diajarkan dengan baik. Ia
benar-benar seorang ahli dalam bidang ilmu yang diajarkan. Kedua, seorang guru
yang profesional memiliki kemampuan menyampaikan atau mengajarkan ilmu yang
dimilikinya kepada peserta didiknya secara efektif dan efesien. Ketiga, seorang guru yang
profesional berpegang teguh kepada kode etik profesional . Abunddin Nata, Manajemen
Pendidikan Islam, h. 142-143. dan Nana Syoadih Sukamadinata, Pengembangan Kurikulum
Teori dan Praktek, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1997, h. 191.
365 209 Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan
Post Modern, h. 293.

151
Dr. Samsul Bahri, MA.

pemikiran sistem pendidikan Islam dengan melakukan perombakan


metodologi dan pengajaran, sebab tanpa perombakan tersebut maka
dunia pendidikan akan tetap tertinggal.
Dalam hal ini lembaga pendidikan baik sekolah, keluarga
serta masyarakat akan mampu menawarkan integrasi kurikulum
antara ilmu keagamaan dengan ilmu pengetahuan umum, tanpa
menghilangkan kesadaran peserta didik selaku hamba Allah yang
patut kepada tuntunan-Nya.

E. Pendidikan Emansipasi Perempuan persfektif


Qasim Amin
dikumandangkan oleh Qasin Amin. Ia menuangkan ide-ide
tersebut, dalam hukumnya yang berjudul ”Tahrir Al-Mar’ah” dan ”Al-
Mar’ah al-Jadidah”.210
Untuk melihat lebih jauh tentang hal hal apa saja yang
dikembangakan oleh Qasim Amin dalam ide-ide pembaharuannya
menyangkut Emansipasi Wanita, penulis akan membahas mengenai
pokok-pokok pikirannya dalam hal pendidikan, hijab dan perkawinan.
Namun terlebih dahulu dikemukakan biografi Qasin Amin, guna
memudahkan memahami inti pembahasan.
1. Sekilas Biografi Qasim Amin
Qasim Amin dilahirkan di Iskandariyah pada bulan Desember
19863, Ayahnya bernama Muhammad Bek Amin, seorang keturunan
Turki sedang ibunya seorang wanita Mesir.211 Ayahnya adalah
366

seorang komandan Militer Pasukan Mesir, karenanya keluarga ini


tergolong keluarga cukup.212
367
Meski demikian, keluarga ini
memilih hidup dalam kesederhanaan.
Masa kecil Qosim Amin dijalaninya di kota Iskandaria. Di
kota itu pula ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di Madrasah

366 1Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Cet.
IX;Jakarta:Bulan Bintang,1982)h.28.
367 2 Ibid, h.79.

152
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Ra’s al-Tin Iskandariah. Kemudian dilanjutkannya di pendidikan


menengah di Madrasah al-Tajhiziyah, Kairo selanjutnya ke
pendidikan tinggi di kota yang sama hingga memperolah gelar Lc
pada tahun 1881. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di
Universitas Montpellier, Perancis pada Fakultas Hukum. Setelah
meraih gelar sarjana, ia lalu kembali ke Mesir.213 Pada tahun 1885
368

ia berkerja pada Dewan Perwakilan Rakyat pada sebuah Lembaga


Hukum. Karena Tugas-tugasnya itulah sehingga ia harus menetap
di Kairo. Ini berlangsung sampai ia meninggal pada tanggal 23 April
1908.214369
Telah disebutkan bahwa Qasim Amin adalah salah seorang
murid Muhammad Abduh. Ia mempunyai hubungan yang erat
dan persahabatan yang akrab dengan Muhammad Abduh.215
370

Ia berkesempatan berjumpa dengan Muhammad Abduh saat


ia menjalani masa pembungannya.216
371
Kesempatan inilah
yang dimanfaatkannya untuk menimba ide-ide pembaharuan
Muhammad Abduh tentang kedudukan wanita. Kemudian ide-
ide tersebut kembangkan lebih jauh oleh Qasim Amin.
2. Pandangan Qasim Amin Tentang Emansipasi Wanita
Menurut Qasin Amin, Islam menggariskan adanya persamaan
hak antara pria dan wanita. Pernyataan ini memang ada benarnya
mengingat banyak ayat-ayat Al- Qur’an yang mendukung hal tersebut
(Persamaan antara lelaki dan perempuan dalam hal keimanan
dapat dilihat pada QS:7:158,QS:21:107, QS:4:1, persamaan dalam
kewajiban dapat dilihat pada QS:7:158,QS:21:107,QS:24:5
6,QS:9:71,QS:2:183- 184,QS:2:185,QS:3:97,QS:2:173,QS:3:85,QS:4:36,QS
:5:6,QS:5:90-91,QS:6:151-152,QS:7:204, QS: 8:27,QS : 9 : 20,QS : 14
: 31,QS :16 : 91,QS : 17 :22-24,QS :17:26-27,QS : 17 :31-34, QS : 17:37-

368 3QasimAmin, Tahriri al-Mar’ah, Kairo : Dar al-Ma’arif,tth,h.10-11.


369 4Harun Nasution. Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta : Jabatan, 1992,h.785
370 5 Ibid.
371 6Ibid

153
Dr. Samsul Bahri, MA.

38,QS : 33-36,QS : 39:53, DAN qs:49:12, persamaan dalam pendidikan


dapat dilihat pada QS :48 :8, QS : 40 : 83, QS : 39 : 9, QS : 17 : 85, QS : 17 :
36,QS : 96 : 3-5, QS : 20 : 114, QS : 35 : 19-20, QS : 33 : 34, QS : 55 : 1-4, dan
QS : 48 :23, persamaan hak memiliki dapat dilihat pada QS :4 :7,QS
: 4 : 32, Persamaan dalam ganjaran dan balasan terdapat pada QS :
76 : 3,QS : 4 : 124, QS: 57 : 18, QS : 57 : 12, dan QS : 60 : 10, persamaan
dalam hukuman terdapat pada QS : 5 : 38, QS : 9 : 67-68, QS : 33 : 73,
QS : 17 : 32, QS : 24 : 2, QS : 4 : 25, QS : 24 : 3, QS : 24 : 26, QS : 24 : 2.217
372

Bukan itu saja, malah Al-Qur’an menganjurkan untuk menjaga dan


melaksanakan hak-hak tersebut.
Pada dasarnya, ajaran Islam tidak mengacu pada hal-hal yang
mengarah pada perendahan derajat wanita. Justru ajaran Islamlah
yang memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan
yang terhormat kepada wanita, Muhammad Al-ghazali, salah
seorang ulama besar Al-Azhar kotemporer berkebangsaan Mesir
pernah menulis bahwa jika melihat kemasa sebelum seribu tahun,
kita akan menemukan wanita menikmati keistimewaan dalam hal
materi dan sosial yang tidak didapati pada wanita- wanita di kelima
benua, yakni kehidupan mereka jauh lebih baik dibanding wanita-
wanita barat dewasa ini.218373
Kondisi wanita yang cenderung tidak menyenangkan saat
ini karena ia selalu dibedakan dalam segala hal dari kaum pria.
Penyebabnya bukan pada ajaran Islam, tetapi orang Islam, adat
istiadat, dan kebiasaan mereka itulah yang menyebabkan wanita
dipandang rendah.219 Lebih dipertegas lagi oleh Muhammad
374

372 7 Harun Nasution, op. cit, h.79.


373 8Muhammad Abduh dibuang keluar negeri oleh pemerintah inggris ke Paris karena
terlibat dalam gerakan kelompok Nasionalis pimpinan Urabi Pasya yang dianggap akan
membahayakan kedudukan inggris di Mesir. Sehingga pada tahun 1882. ia ditangkap,
dipenjarakan kemudian dibuang ke Paris. Lihat Pembaharuan dalam Islam Sejarah dan
Gerakan, Ibid.h.61.

374 9Abdur Rasul Abdul Hassan Al Ghaffar, Al-Mar’ah Al- Mu’ashirah ( Wanita Islam dan gaya
Hidup Modern, (Cet. II. Bandung, Pustaka Hidayah, 1995) h. 132-158

154
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Abduh bahwa Islamlah yang memberikan kedudukan tinggi


kepada Wanita Islam, akhirnya memiliki kedudukan rendah dalam
masyarakat.220375
Untuk mengembangkan derajat kaum wanita yang dipandang
rendah itulah Qosim Amin tampil sebagai pahlawan kaum wanita
dengan berbagai pokok-pokok pikirannya sebagai berikut :
a. Pendidikan Wanita
Tidak ada perbedaan antara pria dan wanita, baik anggota
tubuh maupun fungsinya masing-masing, perasaan atau emosinya
maupun pemikirannya dan segala hal yang merupakan hakekat
masing-masing, yang beda hanyalah jenisnya saja.221
376

Statemen ini diperkuat oleh prinsip pokok dalam ajaran


Islam, bahwa antara pria dan wanita terdapat persamaan sebagai
manusia. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian
meninggikan atau merendahkan seseorang hanya nilai pengabdian
dan taqwanya, sebagaimana yang tercantum dalam Al Qur’an Surat
Al Hujurat ayat 13.
Mengenai pendidikan, terdapat banyak ayat yang
mengistruksikan hal ini. Dalam hadits pun demikian dan perintah
bukan buat laki-laki saja, tetapi juga untuk perempuan. ”
Menuntut ilmu adalah wajib adalah wajib bagi setiap muslimin
dan muslimah” kata Al-Thabarani dari Ibnu Mas’ud.222 Karenanya,
377

wanita juga dibolehkan mempelajari apa-apa yang dipelajari


oleh kaum pria. Bekal itulah yang nantinya memungkinkan
baginya untuk memilih apa yang cocok dengan perasaannya
dan memungkinkan pula untuk bekerja sesuai dengan apa yang ia
inginkan.

375 ) 10Lies M. Marcoes dan johan hendrik Meuleman, Wanita Islam Indonesia Dalam kajian
Tekstual dan Kontekstual, Jakarta : inis, 1993, h.3.
376 11Harun Nasution, op.cit., h. 786
377 12 Harun Nasution, op. cit. h.79.

155
Dr. Samsul Bahri, MA.

Adalah suatu fakta sejarah bahwa tidak sedikit wanita yang


sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan. Malah, ia dijadikan rujukan sekian banyak tokoh laki-
laki. Istri Nabi, Aisayah RA, misalnya adalah seseorang yang sangat
dalam pengetahuannya serta terkenal dengan kekristisannya.
Sampai-sampai terkenal ungkapan yang dinisbahkan oleh
ulama sebagi pernyataan Nabi SAW bahwa ambillah setengah
378
pengetahuan agama kalian dari Al-humairah (aisayah).
Apabila seorang wanita belajar menulis dan membaca, belajar
geografi, sejarah, ilmu pengetahuan alam dan pengetahuan-
pengetahuan tersebut telah dimilikinya, mengetahui pula aqidah
dan adab keagamaan, maka akalnya pun akan siap menerima
pendapat-pendapat yang benar dan menjauhkan khurafat dan
379
kebatilan yang mengungkung akalnya selamai ini. Muhammad
Abduh pernah menulis bahwa sesungguhnya wajib bagi wanita
untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga,
pendidikan anak dan sebagainya yang merupakan persoalan-
persoalan duniawi.
Lebih lanjut dipaparkan oleh Qosim Amin bahwa salah satu
penyebab mundurnya Islam di Mesir adalah karena kaum wanita
yang jumlahnya setengah dari penduduk tidak pernah merasakan
380
pendidikan sekolah. Oleh karena itu, wanita juga berhak dibukakan
peluang untuk memperolah pendidikan yang sama dengan laki-laki.
Bahkan dikatakan bahwa mengabaikan pendidikan kaum wanita
sama artinya dengan membiarkan separuh penduduk berada
dalam kegelapan. Sebaliknya peningkatan kecerdasan dan
intelektualitas wanita akan mengangkat martabat mereka.
b. Hijab Bagi Wanita
Hijab menurut Qasim Amin di sini adalah dua macam, yaitu hijab
dalam arti menutup yang menunjuk pada pakaian wanita, dan hijab
378 13 Qasim Amin, op. cit. h.31
379 14Lies M. dan johan, op. cit, h.11.
380 5Ibid, h.12.

156
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

dalam arti tabir dan keterpisahan yang menunjukan pada pemingitan


wanita. Orang Islam selama ini menurutnya menganggap bahwa
hijab pakaian) bagi wanita adalah yang menutup seluruh tubuh
wanita tanpa kecuali, dengan berdalih bahwa itu adalah ajaran dan
perintah agama Islam. Kaum wanita harus membungkus seluruh
tubuh termasuk wajah, karena dengan memperlihatkannya berarti
suatu kehinaan di mata masyarakat.
Qasim Amin berpendapat bahwa penutupan wajah wanita
adalah bukanlah ajaran Islam. Tidak ada dalam Al Qur’an dan hadits
yang mengatakan demikian. Yang ada justru sebaliknya, bahwa
wajah tidak termasuk Aurat yang harus ditutupi, berdasarkan
hadits nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah RA. Bahwasannya Asma
Binti Abi Bakra di tegur oleh nabi dan menjelaskan kepadanya
bahwa setiap wanita yang telah baliq harus menutup seluruh
bagian tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.226
381

Penutupan wajah menurutnya ialah kebiasaan arab jahiliyah yang


kemudian dianggap sebagai ajaran Islam. Namun Qasim Amin juga
memberi batasan bahwa pakaian wanita tidak harus membungkus
seluruh badannya sebagai wanita arab pada umumnya, tetapi tidak
juga menghendaki agar wanita meniru pakaian wanita barat. Artinya
muka dan telapak tangan bisa terbuka dan dilihat.
Mengenai pemingitan wanita dan dilarang keluar rumah,
Qasim Amin berpendapat bahwa wanita Islam sama sekali tidak
pernah berkehendak untuk memmingit wanita. Tidak ada dalil
dari Al-Qur’an maupun hadits yang menyebut demikian. Kebiasan
seperti ini adalah budaya dan ajaran Non-Islam, di masa sebelum
datangnya Islam.227382
Hijab yang terdapat dalam Al Qur’an surat Al-Ahzab ayat 53
menurutnya, dikhususkan buat istri-istri Nabi SAW. Dalam hal ini,

381 16Qasim Amin, op. cit. h.33


382 17Harun Nasution, op. cit h. 79

157
Dr. Samsul Bahri, MA.

tidak ada perbedaan pendapat dalam semua kitab fiqh mazhab


maupun termasuk dalam kitab-kitab Tafsir.
Dengan demikian, hijab itu tidak wajib bagi wanita
yang muslim pada umumnya.228 Wanita harus diberikan hal
383

kebebasan untuk keluar rumah tanpa penuh rasa curiga. Agama


hanya melarang wanita untuk berdua-duaan dengan laki-laki
selain mahramnya ditempat yang menimbulkan kecurigaan.229
384

Kebiasaan memingit anak perempuan adalah kebiasaan bangsa


Arab, bukan tuntutan Islam. Bagi wanita yang sudah biasa bergaul
dengan pria, pikiran akan lebih jauh dari pikiran-pikiran negatif
dibanding dengan wanita yang dikekang dibalik hijab. Karena
wanita pertama telah terbiasa melihat dan mendengar suara
pria sehingga bila ia melihatnya, pikirannya tidak akan mudah
bergerak kepada syahwat.230 Bila terjadi hal lain (maksiat)
385

dalam perbuatan wanita dan pria, salah satu penyebabnya adalah


kekangan jilbab, sehingga ia bergaul dalam kesembunyian masing-
masing rasa ketertarikan. Seperti inilah yang dilarang syariat Islam.
Namun Qasim Amin kembali memberi batasan kebebasan
keluar rumah bukan berarti bebas untuk melakukan apa saja. Artinya
bahwa selama keluarnya seorang wanita ditujukan melakukan apa
saja. Artinya bahwa selama keluarnya seorang wanita ditujukan
buat kebaikan, misalnya menuntut ilmu, maka wajib hukumnya
dibukakan peluang. Senada dengan apa yang dikemukakan oleh
Sa’id al-Hawwa’, salah seorang ulama kontemporer bahwa keluarnya
wanita dibolehkan jika bermaksud untuk mengunjungi orang tua,
belajar yang sifatnya fardhu ‘ain atau bekerja jika tidak ada yang
dapat memenuhi kebutuhnanya.231386

383 18Qasim Amin, op. cit. h. 83


384 19 Ibid., h. 79-80.
385 20Ibid,h.90
386 21Loc.Cit.

158
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

c. Perkawinan
Kenyataan yang berlaku dalam masyarakat mengenai
perkawinan pada waktu itu, oleh Qasim Amin dianggap sebagai
suatu aturan yang pincang. Pria dapat mengawini wanita dengan
pilihan sepihak, juga dapat menceraikan wanita (istrinya) tanpa
sebab yang jelas. Hal ini adalah kebebasan seorang pria dalam
berpoligami tanpa menghiraukan hukum-hukum atau ketentuan-
ketentuan yang berlaku dalam Al- Qur’an.232387
Qasim Amin sangat menentang pilihan sepihak dalam
perkawinan yaitu kebebasan memilih hanya diperuntukan bagi
pihak pria saja. Menurutnya, wanita juga harus diberi hak dalam
memilih dan menentukan jodohnya. Setiap orang yang memiliki
pikiran yang sehat pasti akan dibenarkan bagi seorang wanita untuk
memilih suaminya sendiri.233388
Poligami yang dipahami dari Al-Qur’an surah An- Nisa’a ayat 4
adalah poligami yang halal apabila itu aman untuk dilaksanakan.
Apabila yang terjadi diantara para istri adalah kejelekan yang lebih
banyak sebagai yang sering terlihat, atau timbul permusuhan
diantara anggota keluarga satu dengan keluarga lainnya sebagai
akibat dari poligami, maka seorang hakim demi kemaslahatan
umat harus melarang poligami. Jadi meski pada dasarnya poligami
diperbolehkan dalam Al-Qur’an tapi menurut Qasim Amin pada
hakekatnya Islam menganjurkan Monogami.234
389
Jadi, Poligami
tanpa alasan merupakan salah satu bentuk penghinaan terhadap
wanita dan itu hanyalah kebiasaan dari jahiliyah.
Menyangkut thalaq, ia berpendapat bahwa thalaq esensinya
adalah suatu hal yang mahzhur, tapi boleh secara darurat. Pernyataan
ini berdasarkan pada ayat Al- Qur’an seperti dalam surat An-Nisa’a
ayat 4 ayat 35 :

387 22 Ibid, h.94 -95.


388 23 Lies M. Marcos dan Johan Hendrik, op. cit., h.9.
389 24 Qasim Amin, op. cit., h.140.

159
Dr. Samsul Bahri, MA.

Dan hadits Nabi SAW berbunyi : 235390


Selain dari kedua dalil diatas, ia juga merujuk pada pendapat
Ibnu “Abidin yang mengatakan : : Anna al-Ashl Fi al-thalaq al-
Mahzhur”. Artinya bahwa hukum dasar thalaq tidak boleh terjadi
karena hal itu adalah suatu kebodohan dan menyakiti wanita,
keluarganya dan anak-anaknya. 236391
Hal ini dikecualikan kalau ada alasan yang membolehkan.
Jika tidak ada sebab yang membolehkan maka thalaq tidak boleh
terjadi karena hal itu adalah suatu kebodohan dan menyakiti wanita,
keluarganya dan anak-anaknya.237 Allah SWT berfirman :
392

Artinya : maka jika (istri-istri) telah memenuhi semua


kewajibannya dengan penuh ketaatan, maka janganlah sang
suami berusaha untuk mencari alasan untuk berpisah (cerai).
Menurut Qasim Amin, hendaknya menjatuhkan thalaq
memperhatikan masalah niat yang menjadi dasar agama Islam dan
juga memperhatikan petunjuk syara’ bahwa sesungguhnya thalaq itu
adalah mahzur, halal yang paling dibenci oleh Allah SWT. ENDNOTES

390 25 Ibid, h.145.


391 26Harun Nasution, op. cit., h. 79.
392 27 Loc. Cit.

160
BAB V
DISKURSUS FILOSOFIS
PENDIDIKAN ISLAM DALAM
PEMIKIRAN PARA TOKOH DI
INDONESIA

A. Pengantar
Sejarah pemikiran pendidikan Islam di Indonesia banyak
melahirkan putra- putra terbaik dalam berbagai bidang, khususnya
dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, adanya penulisan tokoh-
tokoh pendidikan Islam di Indonesia dimaksudkan: pertama, untuk
mendokumentasikan pemikiran para tokoh-tokoh pendidikan Islam
di Indonesia secara utuh, lengkap, komprehensif dan sistematis,
untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan masukan, pembanding
dan perenungan bagi penyusunan konsep pendidikan Islam di masa
depan.
Kedua, menunjukkan adanya konsep-konsep dari para tokoh
pendidikan Islam Indonesia di masa lalu yang perlu diteladani
karena keberhasilan. Ketiga, memberikan aspirasi (penghargaan)
intelektual kepada para tokoh pendidikan Islam masa lalu dalam
rangka memberikan kesadaran bagi para tokoh pendidikan Islam,
selanjutnya mengupayakan karya konstruktif dalam bidang
pendidikan sesuai dengan zamannya.

161
Dr. Samsul Bahri, MA.

Keempat, menyediakan bahan kajian awal bagi para mahasiswa


yang ingin melakukan pendalaman tentang keahlian dalam bidang
pendidikan Islam. Kelima, membantu para mahasiswa dalam
menyediakan bahan yang dibutuhkan untuk perkuliahan dalam
bidang sejarah dan filsafat pendidikan Islam.

B. Integrasi Pendidikan perspektif Mohammad


Natsir
1. Riwayat Hidup
Wacana sejarah Islam kontemporer sosok Natsir patut dicatat
sebagai tinta emas, tokoh yang mendapat gelar datok sinaro
panjang yang dilahirkan Djambatan Berukir Alahan Panjang,
Kabupaten Solok Sumatra Barat akhir 1326 H. Dari seorang wanita
bernama Khadijah. Ayahnya Mohammad Idris Sutan Saripado
seorang pegawai rendahan yang pernah menjadi juru tulis pada
kantor di Maninjau. Natsir mempunyai tiga saudara kandung yaitu
Yukina, Rubi'ah, Yohanusun.1393
Natsir mengukir sejarah hidupnya yang dinamis, dengan
memulai pada pendidikan sekolah Belanda. Di samping itu,
Natsir mempelajari ilmu agama dengan tekun kepada beberapa
orang tokoh ulama pembaharu. Umur 8 tahun Natsir masuk ke
sekolah Partikelir His Adabiyah di Padang, sekolah swasta yang
menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak negeri ini. Selama
lima bulan Natsir belajar di His Adabiah Padang, dan tinggal bersama
maciknya Ibrahim.2394
Masa sulit dan berat dialami Natsir tidak membuat putus asa,
bahkan mambuat ia berani mengatasi kesulitas-kesulitan hidup,
sehingga percaya pada kekuatan yang ada pada dirinya sendiri.
Pada tahun 1923 Natsir menamatkan pendidikan His. Antara tahun

393 1 Solichin Salam, Wajah-Wajah Nasional, Pusat studi Islam dan Penelitian Islam, Jakarta,
1990, h. 131.
394 2 Lihat Ajip Rosyidi, M. Natsir Sebuah Biografi, Jakarta, Giri Mukti Pasaka, 1990, h. 146.

162
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

1916-1925 ia belajar di His dan Madrasah Diniyah di Solok dan


Padang. Selanjutnya Natsir melanjutkan pendidikan Mulo di
Padang dan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler
dan menjadi pemadu nationale Islamic tische padvinderij sejenis
pramuka sekarang. Natsir berhasil menyelesaikan pendidikan di
Mulo dengan mendapat nilai bagus.
Natsir melanjutkan pendidikannya di Bandung, di Sekolah
Algemene Middelbare School (AMS). Sejak belajar di lembaga ini
Natsir mulai tertarik kepada pergerakan Islam dan mulai belajar
politik di perkumpulan JIB (Jong Islamieten Bond) yang diketuai
Sanusi Pane. Organisasi ini banyak beranggotakan pelajar-pelajar
Bumi Putera dan di sinilah Natsir bergaul dengan tokoh-tokoh
nasional seperti Hatta, Prawoto, Mangunsasmito, Yusuf Wibisono,
Tjoromonoto dan Moh. Roem dan karena kepintarannya Natsir
diangkat sebagai ketua JIB 1928-1932.
Setelah Natsir belajar di AMS, ia tidak melanjutkan kuliah,
melainkan mengajar di salah satu Mulo di Bandung. Ini merupakan
panggilan jiwanya untuk mengajarkan agama yang pada masa itu
dirasakan belum memadai. Dan ia terdorong untuk mendirikan
lembaga pendidikan Islam (pendis), suatu bentuk pendidikan yang
mengkombinasikan kurikulum pendidikan umum dengan dunia
pendidikan pesantren sebab sekolah umum yang tidak mengajarkan
agama. Natsir sendiri menjabat direktur pendis selama 10 tahun
sejak tahun 1932. Natsir pada tahun 1940-1942 menjabat sebagai
anggota dewan kabupaten Bandung, dan bekerja di pemerintahan
sebagai kepala biro pendidikan kodya Bandung sampai tahun
1945, serta merangkap sebagai sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI)
di Jakarta.3395
Sejarah mencatat bahwa Indonesia abad-20 pernah
melahirkan tokoh yang intelek, dan pemikir muslim yang
395 3 Yuzril Ihza Mahendra, "Modernisasi Islam dan Demokrasi Pandangan politik
Muhammad Natsir", dalam Islamika, No. 3 Januari-Maret, 1994, h. 65.

163
Dr. Samsul Bahri, MA.

berkaliber internasional, yang dikenal baik dalam bidang politik,


dakwah maupun dalam bidang pendidikan. Sosok Natsir tidak
hanya dikenal pada pentas politik, dakwah akan tetapi juga dalam
bidang pendidikan. Ini terlihat ketika Natsir mendapat gelar doktor
honori causa dari universitas kebangsaan Malaysia pada tahun 1991
dalam bidang pemikiran Islam dan dari Universitas Lebanon dalam
396
bidang sastra.4 Di samping itu, Natsir juga aktif dalam pendirian
lembaga- lembaga pendidikan mulai dari sekolah sampai perguruan
tinggi.
Natsir mengakhiri masa lajangnya tanggal 20 maret 1934
di Bandung, dengan menikahi seorang perempuan bernama
Nurhanar. Dari pernikahan ini Natsir memperoleh enam orang
anak yaitu: Sitti Muchlisah (20-Maret 1936), Abu Hanifa (29- April 1937),
Asma Farida (17-Maret 1939), Haznah Faizah (5 Mei 1941), Aisyatul
Asriya (20 Mei 1942), Ahmad Fauzi (26 April 1944). Namun demikian,
sangat disayangkan dari ke enam anaknya tidak ada seorangpun yang
mengikuti jejak sang ayah.
Akhirnya Natsir berpulang kerahmatullah pada tanggal
6 Februari 1993 M. bertepatan dengan 14 Sya'ban1413 H. di Cipto
Mangunkusumo Jakarta dalam usia 85 tahun. Berita kematian
Natsir menjadi berita utama dalam berbagai media cetak dan
elektronik. Berbagai ungkapan belasungkawa muncul baik dari
kawan seperjuangan maupun lawan politiknya. Bahkan mantan
Pendana Menteri Jepang Nakatima mengatakan bahwa berita
kematian Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di
Herosima.
2. Karya-Karya Muhammad Natsir
Natsir adalah sosok pemikir yang sangat produktif, hal
dibuktikan dengan goresan-goresan tangannya atau karya-karya
yang dihasilkan antara lain: Islam Sebagai Ideologi, Kapita Selekta, Islam

396 4Solichin Salam, Wajah-Wajah Nasional, h. 131.

164
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

dan Kristen di Indonesia, Pangkal Kemakmuran kita adalah Pertanian,


Islam dan Akal Merdeka, Asas Keyakinan Agama Kami, Mempersatukan
Umat Islam, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, Di Bawah
Naungan Risalah, Tauhid untuk Persaudaraan Islam Universal, Fighul
Dakwah, Islam sebagai Dasar Negara. Dan masih banyak karya-karya
beliau baik makalah- makalah maupun buku.
3. Pemikiran dalam Bidang Pendidikan
Pemikiran Natsir dalam bidang pendidikan secara komprensif
dapat dilihat dari pembahasan tentang komponen-komponen
pendidikan, baik pengertian pendidikan, tujuan, fungsi, landasan,
serta kurikulumnya.
Pertama, pergertian pendidikan adalah satu pimpinan jasmani
dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan
sifat-sifat kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya.5397 Oleh
karena itu, pendidikan jasmani untuk pertumbuhan dan
kesempurnaan jasmani, kekuatan jiwa, serta akal, sedang
pendidikan rohani untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu
pengetahuan dan pengalaman, yang didasarkan pada agama.
Kedua, fungsi pendidikan menurut Natsir ada 6 yaitu: (1)
pendidikan berperan sebagai sarana untuk memimpin dan
membimbing, agar manusia dapat mencapai pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna. (2) Pendidikan
diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki sifat-sifat
kemanusiaan dengan mencapai akhlakul al-karimah yang sempurna.
(3) Pendidikan berperan sebagai sarana untuk menghasilkan manusia
yang jujur dan benar (bukan pribadi yang hipokrit). (4) Pendidikan
dapat berperan membawa manusia agar dapat mencapai tujuan
hidupnya yakni menjadi hamba Allah Swt. (5) Pendidikan
menjadikan manusia dan segala perilakunya baik interaksi
vertikal maupun horizontal, selalu menjadi rahmat bagi alam. (6)

397 5 Mohammad Natsir, Kapita Selekta, Jakarta, Bulan Bintang, 1923, h. 48.

165
Dr. Samsul Bahri, MA.

Pendidikan benar-benar mendorong sifat-sifat kesempurnaannya


dan bukan sebaliknya yaitu menghilangkan dan menyesatkan sifat-
sifat kemanusiaan.6398
Ketiga, tujuan pendidikan menurut Natsir adalah lahirnya
manusia yang seimbang antara kecerdasan otak dan keimanan
kepada Allah dan Rasulullah Saw, seimbang antara ketajaman akal
dan kemahiran tangannya untuk bekerja, manusia yang percaya
diri dan tidak bergantung pada ijazah. Manusia seimbang dalam
istilah Natsir ummatan wasthan, artinya keseimbangan antara dunia
dan akhirat, umat menjadi pelopor, perintis jalan bagi manusia
lainnya dengan mengikuti langkah- langkah Rasulullah Saw sebagai
pelopor.7399 Di samping itu, peserta didik mempunyai jiwa mandiri,
mempunyai inisiatif yang menumbuhkan daya cipta, mencoba
sesuatu yang belum pernah dilaksanakan orang lain.
Menurut Natsir, tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup
manusia yakni manusia menghambakan diri kepada Allah dengan
mengutip surat az-Zari'yat ayat 56 artinya, "tidaklah aku jadikan jin
dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku", dan inilah tujuan
pendidikan.8400 Memperhatikan tujuan pendidikan dalam perspektif
Natsir, maka dapat dipahami bahwa ia menginginkan lahirnya
manusia yang mempunyai kecerdasan intelektual, emosional dan
spritual.
Keempat, kurikulum pendidikan dalam sekolah Belanda, Natsir
mengemukakan bahwa pendidikan yang diselenggarakannya
hanya menjadikan orang-orang pribumi hidup dengan kebudayaan
Belanda dan mengajarkan ilmu-ilmu umum, serta mengirim anak–
401
anak pandai ke Belanda.9 Sementara itu, madrasah sebagai

398 6 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Grafindo
Persada, 2005, h. 81.
399 7 Lihat Yusuf A. Puar, Mohammat Natsir 70 Tahun;Kenang-kenangan Kehidupan dan
Perjuangan, Pustaka Antara, Jakarta, 1978, h. 34.
400 8 Mohammad Natsir, Kapita Selekta, h. 82.
401 9 Mohammad Natsir, Pendidikan dan Pengorbanan, h. 4.

166
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

lembaga pendidikan Islam hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama


Islam dan sebagai produk tenaga logistik bagi perlawanan terhadap
Belanda. 10 1
402

Kedua model kurikulum pendidikan di atas tidak dapat mencapai


tujuan pendidikan Islam, sehingga memerlukan pembaharuan. Model
pembaharuan kurikulum yang digagas Natsir adalah terintegrasinya
ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, baik lembaga pendidikan
Belanda maupun lembaga pendidikan Islam. Islam tidak mengenal
dikotomi ilmu pengetahuan, tetapi satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Oleh karena itu, ciri khas pembaharuan kurikulum yang
dilakukan Natsir adalah bagaimana memasukkan ilmu-ilmu umum
ke dalam lembaga pendidikan Islam.
Keseluruhan gagasan pendidikan Natsir, baik tujuan, pengertian
pendidikan, fungsi, maupun kurikulum pendidikannya, dapat
dipahami bahwa Natsir menginginkan lahirnya manusia-manusia
dari rahim lembaga pendidikan Islam yang produktif menghasilkan
karya-karya nyata bagi kemajuan dirinya, bangsa dan negara. Namun
dalam waktu yang bersamaan apa yang dilakukan manusia, harus
dilihat sebagai bagian dari penghambaan diri kepada Sang Maha
Pencipta.
Penghambaan yang dilakukan manusia bukanlah terbatas
menjalankan ibadah shalat, puasa, tetapi ibadah dalam arti luas
yang dilakukan secara profesional, sehingga diperlukan adanya
pendidikan yang berkualitas tinggi, yaitu pendidikan yang dapat
memberikan bekal ilmu pengetahuan baik agama maupun ilmu
umum yang luas serta penguasaan teknologi modern, keterampilan,
pengalaman, hubungan yang luas serta akhlak yang mulia agar
tujuan pendidikan Islam dapat tercapai menjadi ummatan wasthan,
inilah yang dimaksud Natsir pendidikan integrative yang tidak
mengenal dikotomi ilmu pengetahuan.

402 10 Mohammad Natsir, "Tugas Pesantren", dalam Abadi 7 Maret, 1972.

167
Dr. Samsul Bahri, MA.

C. Pemikiran Pendidikan Ahmad Dahlan


1. Riwayat Hidup
K.H. Ahmad Dahlan dilahirkan 1868 dan meninggal tanggal 25
Februari 1923 di Yogyakarta, dengan nama Muhammad Darwis, anak
dari seorang K H . Abu Bakar Bin Kiyai Sulaiman, salah seorang
khatib mesjid di Sultan kota. Ibunya adalah anak Haji Ibrahim
seorang penghulu di Yogyakarta. 11 403
Sewaktu kecil Ahmad Dahlan tidak sem K r a ton pat menikmati
pendidikan Barat untuk anak kaum ningrat yang lulusan biasa disebut
kapik landa, malahan Dahlan mendapat pendidikan tradisional, di
Kauman Yogyakarta, di mana ayahnya sendiri jadi guru utamanya
yang mengajarkan pelajaran agama Islam. Dahlan mendapat
pendidikan pesantren dan di lembaga inilah Dahlan
mendapatkan pengetahuan agama seperti qira'ah, tafsir, fiqh, dan
bahasa Arab. 12404 Ketajaman intelektualnya membuat Dahlan selalu
merasa tidak puas ilmu yang dipelajarinya, terus menerus belajar,
sehingga pada tahun 1890 Dahlan berangkat ke Mekk ah untuk
pertama kalinya, selama setahun belajar di sana. S alah seorang
diantara gurunya adalah Syeikh Ahmad Khatib, seorang pembaharu
dari Minangkabau, Sumatera Barat. Selanjutnya untuk kedua kalinya
Dahlan berangkat ke Mekkah dan menetap lebih lama dua tahun.405
Ketika mukim untuk kedua kalinya Dahlan banyak bertemu
dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah.406
Di antara ulama tersebut antara lain: Syeikh Muhammad Khatib al-
Minangkabawi, K H. Nawawi al- Banteni, Kiyai Mas Abdullah, Kiyai
Faqih Kembang. Di yakini selama tinggal di Mekkah Dahlan banyak
bertemu dengan ide-ide pembaharuan Islam yang dipelajari dari
Jamaluddin al-Afgani, Muhammad abduh dan Rasyid Ridha.407
403 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-11942, Jakarta, LP3S, 1985, h. 85.
404 Abuddin Nata, Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, h. 99.
405 Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta, Djambatan, 2002, h. 216.
406 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Ciputat Press, h. 101.
407 15 Dody S. Trauna dan Ismatu Ropy, Pranata Islam di Indonesia, Jakarta, Logos Wacana Ilmu,

168
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Dahlan bukanlah seorang penulis sebagaimana Natsir, oleh


karena itu, gagasan- gagasan pemikirannya ia sampaikan secara
lisan dan karya nyata. Untuk itu, Dahlan lebih dikenal sebagai pelaku
dibanding pemikir. Ini terlihat ketika Dahlan mendirikan organisasi
Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912 di Yogyakarta.
Organisasi ini mempunyai maksud menyebarkan pengajaran kajen
Nabi Muhammad kepada bumi Putera untuk memahami agama
Islam kepada angggota-anggotanya.408
Untuk mencapai tujuan yang diinginkan organisasi tersebut,
Dahlan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan
rapat-rapat, dakwah, menerbitkan buku-buku, brosur-brosur serta
majalah-majalah. Di samping itu, Dahlan memberikan bantuan
kepada fakir miski, mengumpulkan dana dan pakaian untuk mereka.
Semangat dan cita-cita Dahlan kendaki menghadapi tantangan,
namun berhasil dihadapinya dengan arif dan bijaksana, melalui
kharismanya, akhirnya Muhammadiyah menjadi sebuah organisasi
Islam terbesar di Indonesia dan telah memberikan konstribusi yang
cukup signifikan bagi peradaban umat di Indonesia.
Akhirnya Muhammad Dahlan meninggal setelah sebelas tahun
Muhammadiyah didirikan, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923.
2. Pemikiran di Bidang Pendidikan
Pemikiran pendidikan Dahlan dapat dilihat dari beberapa
komponen pendidikan yakni tujuan pendidikan, peserta didik,
metode, serta kurikulum.
Dikotomi kedua lembaga pendidikan antara sekolah dan
pesantren, tidak menyatukan ilmu pengetahuan. Di satu sisi
pesantren hanya mengajarkan pendidikan agama, sementara
sekolah hanya mengajarkan ilmu-ilmu umum.

2002, h. 253.
408 16 Deliar Noer, Gerakan Modern dalam Islam di Indonesia, h. 86.

169
Dr. Samsul Bahri, MA.

Melihat ketimpangan kedua lembaga tersebut Dahlan


merumuskan tujuan pendidikan yakni melahirkan pribadi yang
409
utuh, menguasai ilmu agama dan ilmu umum. Dengan kata
lain menurut Dahlan adalah terbentuknya pribadi yang baik yang
410
mengamalkan ajaran al-Qur'an dan Hadis, artinya lembaga
pendidikan Islam mampu mengembangkan peserta didik yang
mempunyai ilmu pengetahuan yang sesuai dengan al-Qur'an dan
Hadis, yang bukan semata-mata dari kitab tertentu.411
Materi yang diajarkan meliputi: (a) menanamkan karakter
manusia yang baik berdasarkan al-Qur'an dan hadis, (b) pendidikan
individu, yaitu sebagai ulama untuk menimbulkan kesadaran
individu yang utuh berkesinambungan antara perkembangan mental
dan jasmani, akal dan hati-hati di dunia dan akhirat, (c) pendidikan
kemasyarakatan sebagai untuk menumbuhkan kesediaan dan
keinginan hidup bermasyarakat.20 Hal ini terangkum dengan
412

kemauan, akhlak dan semangat untuk berjuang membela agama


dan masyarakat.
Pendidikan membekali siswa dengan pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kemajuan material,
oleh karena itu pendidikan yang baik pendidikan yang sesuai
413
dengan tuntunan masyarakat di mana siswa hidup. Bahkan
beliau berpendapat bahwa kemajuan materil merupakan prioritas
karena dengan cara itu kesejahteraan mereka akan bisa sejajar
dengan kaum kolonial. Kesemuanya menuntut pendidikan Islam
harus mampu menghasilkan peserta didik yang berbudi pekerti,
luhur, alim dan luas pandangan dan paham masalah ilmu-ilmu
keduniaan serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat.

409 17 Ruslan Thiyib dkk, Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999, h. 203.
410 18 Suja'i, Muhammadiyah dan Pendidikannya, Yogyakarta, Pustaka, 1989, h.17.
411 19 Bahtiar Effedy dan Fahri Ali, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung , Mizan, 1986, h. 76.
412 20 Bahtiar Effedy dan Fahri Ali, Merambah Jalan Baru Islam, h.76 .
413 21 Abuddin Nata, h. 102.

170
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Semua pemikiran pendidikan Dahlan baik dalam aspek tujuan


pendidikan,kurikulum, peserta didik adalah sebagai kritikan
terhadap sistem pendidikan Islam tradisonal, yang menjalankan
pendidikan yang diwarisi secara turun temurun tanpa mencoba
melihat relevansi dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu
integrasi keilmuan merupakan anti dari gagasan pendidikan Islam
Muhammad Dahlan. Upaya untuk mewujudkan gagasannya dengan
mendirikan Muhammadiyah.

D. Pemikiran Pendidikan K.H. Hasyim asy’ari


1. Riwayat Hidup
K.H. Hasyim Asy’ari lahir di desa Nggedang salah satu desa di
kabupaten Jombang–Jawa Timur pada hari Selasa Kliwon, tanggal
24 Dzulqa’idah 1287 H atau bertepatan dengan tanggal 25 Juli
1871 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn
Abd al-Wahid ibn Abd al-Halim yang mempunyai gelar Pangeran
Bona ibn Abd al-Rahman yang dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir
Sultan Hadiwijaya Ibn Abd Allah ibn Abd al-Aziz ibn Abd al-Fatah ibn
Maulana Ishal dari Raden Ain al- Yaqin yang disebut dengan Sunan
Giri. 414
Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri yang mendidiknya
dengan membaca al-Qur’an dan literatur-literatur Islam lainnya.
Sejak kecil ia sudah gemar membaca. Jenjang pendidikan
selanjutnya ditempuhnya di beberapa pesantren. Pada awalnya, ia
menjadi santri di pesantren Wonokojo di Probolinggo, kemudian
berpindah ke pesantren Langitan, Tuban. Dari Langitan ia pindah
lagi ke Bangkalan, di sebuah pesantren yang diasuh oleh Kyai
Kholil. Terakhir -sebelum belajar ke Mekkah- ia sempat nyantri di
pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo. Pada pesantren yang terakhir
inilah ia diambil menantu oleh Kyai Ya’qub, pengasuh pesantren
tersebut.415
414 22 Hasyim Asy’ari, Adab Ta’lim wa Muta’allim, Jombang: Turats al-Islamy, 1415, h. 3
415 23 Ensiklopedi Islam II, Jakarta, Ikhtiyar Baru Van Hoeve, Cet. II. 1994, h. 102-3

171
Dr. Samsul Bahri, MA.

Pada tahun 1892 Kyai Hasyim menikah dengan Khadijah,


putri Kyai Ya’qub. Tidak berapa lama kemudian ia beserta istri dan
mertuanya berangkat haji ke Mekkah sekaligus belajar di sana.
Akan tetapi, setelah istrinya meninggal setelah melahirkan, disusul
kemudian putranya,24 menyebabkannya kembali lagi ke tanah air.
416

Tidak berapa lama kemudian, ia berangkat lagi ke Tanah Suci, tidak


hanya untuk menunaikan ibadah haji, tetapi juga untuk belajar.
Ia menetap di sana kurang lebih tujuh tahun dan berguru pada
sejumlah ulama, di antaranya Syeikh Ahmad Amin al-Aththar, Sayyid
Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan al-Aththar, Syaikh
Sayyid Yamay, Sayyid Alawi ibn Ahmad al-Saqqaf, Sayid Abbas
Maliki, Sayid Abdullah al-Zawawy, Syaikh Shaleh Bafadhal, dan
Syaikh Sultan Hasyim Dagastani.25417
Pada tahun 1899/1900, ia kembali ke Indonesia dan mengajar
di pesantren ayahnya, baru kemudian mendirikan pesantren
sendiri di daerah sekitar Cukir, pesantren Tebu Ireng, pada
tanggal 6 Pebruari 1906. Pesantren yang baru didirikan tersebut
tidak berapa lama kemudian berkembang menjadi pesantren yang
terkenal di nusantara, dan menjadi tempat menggodok kader-kader
ulama untuk wilayah Jawa dan sekitarnya.
Sejak masih di pondok, ia telah dipercaya untuk membimbing/
mengajar santri baru. Ketika di Mekkah, ia juga sempat mengajar.
Demikian pula ketika kembali ke tanah air, ia mengabadikan seluruh
hidupnya untuk agama dan ilmu.26 Kehidupannya banyak tersita
418

untuk para santrinya. Ia terkenal dengan disiplin waktu (istiqamah).


Waktu mengajar adalah satu jam sebelum shalat, dan satu jam usai
shalat lima waktu.

416 24 Ensiklopedi Islam II, h. 102-3


417 25 Abu Bakar Aceh, Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta:
Panitia Buku Peringatan K.H.A. Wahid Hasyim, 1975), h. 35
418 26 Ensiklopedi Islam II, op.cit., h. 102-3

172
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

2. Karya-karyanya
Tidak banyak para ulama dari kalangan tradisional yang menulis
buku, akan tetapi tidak demikian dengan K.H. Hasyim Asy’ari. Tidak
kurang dari sepuluh kitab disusunnya, antara lain:
1. Adab al-Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaj Ilah al-Muta’alim fi
Ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaff al-Mu’allim fi Maqamat Ta’limih.
2. Ziyadat Ta’liqat, Radda fiha Mandhumat al-Syaikh ‘Abd Allah bin
Yasin al- Fasurani Allati Bihujubiha ‘Ala Ahl Jam’iyyah Nahdlatul
Ulama
3. Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna al-Maulid al-Munkarat
4. Al-Risalat al-Jami’at, Sharh fiha Ahwaal al-Mauta wa Asyirath al-
Sa’at ma’ Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah
5. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin, bain fihi Ma’na
al-Mahabbah Lirasul Allah wa ma Yata’allaq biha Man Ittaba’iha
wa Ihya’ al-Sunnatih
6. Hasyiyah ‘ala Fath al-Rahman bi Syarth Risalat al-Wali Ruslan li
Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari
7. Al-Dur al-Muntasirah fi Masail al-Tis’i Asyrat, Sharh fiha Masalat
al-Thariqah wa al-Wilayah wa ma Yata’allaq bihima min al-Umur
al-Muhimmah li Ahl al- Thariqah
8. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqathi’ah al-Ikhwan, bain fih
Ahammiyyat Shillat al- Rahim wa Dhurar Qath’iha
9. Al-Risalat al-Tauhidiyah, wahiya Risalah Shaghirat fi Bayan
‘Aqidah Ahl Sunnah wa al-Jamaah
10. Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min al-‘aqaid.2 7
419

Di samping bergerak dalam bidang pendidikan, Kyai Hasyim


menjadi perintis dan pendiri organisasi kemasyarakatan NU
(Nahdlatul Ulama), sekaligus sebagai Rais Akbar. Pada bagian
lain, ia juga bersikap konfrontatif terhadap penjajah Belanda. Ia,
419 27 Hasyim Asy’ari, Adab Ta’lim wa Muta’allim, h. 45.

173
Dr. Samsul Bahri, MA.

misalnya, menolak menerima penghargaan dari pemerintah Belanda.


Bahkan pada saat revolusi fisik, ia menyerukan jihad melawan
penjajah dan menolak bekerja sama dengannya. Sementara pada
masa penjajahan Jepang, ia sempat ditahan dan diasingkan
ke Mojokerto. Jabatan yang pernah diterimanya adalah menjadi
ketua Masyumi, ketika NU bergabung di dalamnya. Ia wafat di Tebu
Ireng, Jombang dalam usia 79 tahun, tepatnya tanggal 25 Juli 1947
H/7 Ramadhan 1366 H.28420
3. Pemikiran tentang Pendidikan
Salah satu karya monumental K.H. Hasyim Asy’ari yang
berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab al-Alim wa al-
Muta’allim fima Yahtaj Ilah al-Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wa ma
Yataqaff al-Mu’allim fi Maqamat Ta’limih yang dicetak pertama kali
pada tahun 1415 H. Sebagaimana pada umumnya kitab kuning,
pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan pada
masalah pendidikan etika. Meski demikian tidak menafikan
beberapa aspek pendidikan lainnya. Keahliannya dalam bidang
hadis ikut pula mewarnai isi kitab tersebut. Sebagai bukti adalah
dikemukakannya beberapa hadis sebagai dasar dari penjelasannya,
di samping beberapa ayat al-Qur’an dan pendapat para ulama.
Penyusunan karya ini dilatarbelakangi situasi pendidikan yang
pada saat itu mengalami perubahan dan perkembangan yanag
pesat, dari kebiasaan lama (tradisional) yang sudah mapan ke dalam
bentuk baru (modern) akibat dari pengaruh sistem pendidikan Barat
(Imperialis Belanda) diterapkan di Indonesia. Karyanya ini merujuk
pada kitab-kitab yang ditelaahnya dari berbagai ilmu yang langsung
diterima dari para gurunya ditambah dengan berbagai pengalaman
yang pernah dijalaninya.
Ia memulai tulisannya dengan sebuah pendahuluan yang
menjadi pengantar bagi pembahasaan selanjutnya. Kitab tersebut
420 28 Muhammad Asad Syihab, Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, Yogyakarta, Titian
Ilahi Press, 1994, h. 73.

174
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

terdiri dari delapan bab, yaitu: keutamaan ilmu dan ilmuwan serta
keutamaan belajar mengajar; etika yang harus diperhatikan dalam
belajar mengajar; etika seorang murid terhadap guru; etika murid
terhadap pelajaran dan hal-hal yang dipedomani bersama guru;
etika yang harus dipedomani seorang guru; etika guru ketika dan
akan mengajar; etika guru terhadap murid- muridnya; dan etika
terhadap buku, alat untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal
yang berkaitannya dengannya. Dari delapan bab tersebut dapat
dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu: signifikansi pendidikan,
tugas dan tanggung jawab seorang murid, dan tugas dan tanggung
jawab seorang guru.

Signifikansi Pendidikan
Tujuan utama ilmu pengetahuan adalah pada pengamalannya.
Hal yang demikian dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan
manfaat sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Syariat juga
mewajibkan untuk menuntutnya dengan memberikan pahala yang
besar.
Dalam tulisan selanjutnya ia mengemukakan bahwa bertauhid
itu mengharuskan adanya keimanan. Maka barangsiapa beriman
maka ia harus bertauhid. Dan keimanan mewajibkan adanya syariat,
sehingga orang yang tidak menjalankan syariat maka ia berarti tidak
beriman dan bertauhid. Sementara orang yang bersyariat harus
beradab. Dengan demikian, orang yang beradab berarti ia juga
bertuhid, beriman dan bersyariat.
Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut
ilmu, yaitu: pertama, bagi murid hendaknya berniat suci untuk
menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan
jangan melecehkan atau menyepelekannya. Kedua, bagi guru dalam
mengajarkan ilmu harus meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak
mengharapkan materi semata-mata. Disamping itu, yang diajarkan
disesuaikan dengan tindakan-tindakan yang diperbuat.

175
Dr. Samsul Bahri, MA.

Dan ia menegaskan bahwa belajar itu merupakan ibadah


untuk mencari ridha Allah untuk mengantarkan seseorang untuk
memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar
harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai
Islam, bukan hanya sekedar menghilangkan kebodohan.

Tugas dan Tanggung Jawab Murid


Etika yang harus diperhatikan dalam belajar ada sepuluh
etika yang ditawarkannya, yaitu; membersihkan hati dari berbagai
gangguan keimanan dan keduniawian; membersihkan niat, tidak
menunda-nunda kesempatan belajar, bersabar dan qanaah terhadap
segala macam pemberian dan cobaan; pandai mengatur waktu;
menyederhanakan makan dan minum; bersikap hati-hati (wara’);
menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan kemalasan
yang menyebabkan kemalasan dan kebodohaan,; menyedikitkan
waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan; dan meninggalkan
hal-hal yang kurang ber-faedah.29 Jadi ia lebih menekankan
421

pada pendidikan ruhani atau pendidikan jiwa, meski demikian


pendidikan jasmani tetap diperhatikan, khususnya bagaimana
mengatur waktu, mengatur makan dan minum dan sebagainya.

Etika Seorang Murid terhadap Guru


Ia menawarkan dua belas etika, yaitu: hendaknya selalu
memperhatikan dan mendengarkan apa yang dikatakan atau
dijelaskan oleh guru; memilih guru yang wara’ (berhati-hati) di
samping profesional; mengikuti jejak-jejak guru; memuliakan guru;
memperhatikan apa yang menjadi hak guru; bersabar terhadap
kekeraasan guru; berkunjung kepada guru pada tempatnya atau
mintalah izin terlebih dahulu kalau keadaan memaksa harus tidak
pada tempatnya; duduklah dengan rapi dan sopan bila berhadapan
dengan guru; berbicaralah dengan sopaan dan lemah lembut;
dengarkan segala fatwanya; jangan sekali-kali menyela ketika sedang
421 29 Hasyim Asy’ri, Adab Ta’lim wa Muta’allim, h. 24-8

176
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

menjelaskan; dan gunakan anggota yang kanan bila menyerahkan


sesuatu kepadanya.30422
Etika seperti ini masih banyak dijumpai pada pendidikan di
pesantren, akan tetapi etika seperti yang dijelaskannya sangat
langka di tengah budaya kosmopolit. Kelangkaan tersebut bukan
berarti bahwa konsep yang ditawarkannya sudah tidak relevan, akan
tetapi masalah yang melingkupinya kian komplek seiring dengan
munculnya berbagai masalah pendidikan Islam itu sendiri. Meski
demikian, bila dibandingkan dengan konsep pendidikan Islam
lainnya, maka pemikiran yang ditawarkannya terlihat lebih maju.
Hal ini, misalnya, terlihat dalam memilih guru hendaknya yang
profesional, memperhatikan hak-hak guru, dan sebagainya.

Etika Murid terhadap Pelajaran


Murid dalam menuntut ilmu hendaknya memperhatikan etika
sebagai berikut: memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain untuk
dipelajari; harus mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu
fardhu ‘ain; berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf para ulama;
mendiskusikan dan menyetorkan hasil belajar kepada orang
yang dipercayainya; senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu;
pancangkan cita-cita yang tinggi; bergaullah dengan orang yang
berilmu lebih tinggi (pintar); ucapkan salam bila sampai di tempat
majlis ta'lim (sekolah/madrasah); bila terdapat hal-hal yang belum
dipahami hendaklah ditanyakan; bila kebetulan bersamaan dengan
banyak teman maka sebaiknya jaangan mendahului antrian kalau
tidak mendapatkan izin; ke manapun kita pergi dan di manapun
kita berada jangan lupa membawa catatan; pelajari pelajaran
yang telah diajarkan dengan kontinyu (istiqamah); tanamkan rasa
antusias/semangat dalam belajar.31423
Penjelasan tersebut seakan membuka mata kita akan sistem
pendidikan di pesantren yang selama ini terlihat kolot, hanya
422 30 Hasyim Asy’ri, Adab Ta’lim wa Muta’allim h. 29-43
423 31 Hasyim Asy’ri, Adab Ta’lim wa Muta’allim, h. 43-5

177
Dr. Samsul Bahri, MA.

terjadi komunikasi satu arah, memasung kemerdekaan berpikir


dan sebagainya. Memang tidak dinafikan adanya model pendidikan
yang hanya mengandalkan pengetahuan yang disampaikan oleh
guru. Akan tetapi, sebenarnya bukanlah begitu maksudnya. Boleh
jadi karena begitu ketatnya etika yang diterapkan, sehingga dalam
beberapa kasus menutup etika yang lainnya. Sebagai satu contoh
adalah, kurang adanya budaya berdiskusi dan tanya jawab dalam
proses belajar mengajar di pesantren, bukan berarti bahwa pemikiran
tersebut akan terpasung, akan tetapi karena dalam etika sebelumnya
dijelaskan bahwa murid dilarang menyela penjelasan guru atau
murid harus selalu mendengarkan fatwa guru dan sebagainya, maka
kemudian etika tersebut disalah-pahami pengertiannya dengan
tertutupnya pintu budaya bertanya dan berdiskusi di lingkungan
pendidikan pesantren. Fenomena tersebut dilengkapi dengan adanya
ketakutan bahwa apabila tidak memperhatikan apa yang dijelaskan
guru, maka ilmunya tidak membawa berkah dan tidak manfaat, maka
semakin menambah murid untuk selalu menurut apa yang dikatakan
guru. Guru dianggap selalu benar dan tidak boleh dipertanyakan
kebenaran ilmunya, karena ilmu yang diajarkan bersumber dari
kitab, di mana kitab tersebut bersumber pada al-Qur’an dan hadis.
Dari sinilah kemudian muncul suatu pemahaman di kalangan
pendidikan tradisional untuk selalu menerima apa yang diberikan
(qanaah). Inilah alasan yang bersifat epistemologis mengapa sistem
pendidikan di pesantren terlihat kaku dan kolot. Akan tetapi bila
dilihat pemikiran yang ditawarkannya, maka pemahaman yang salah
tersebut segera berubah, menjadi terbuka, inovatif, dan progressif.
Dalam membahas tentang ilmu yang wajib dipelajari, yang
bersifat fardhu ‘ain, maka ia sepaham dengan pemikiran al-Ghazali.
Ia memberikan kesempatan secara luas kepada para santrinya
untuk mengambil dan mengikuti pendapat para ulama. Akan tetapi
terdapat catatan yang mesti diperhatikan, bahwa dalam menanggapi
ikhltilaf para ulama haruslah berhati-hati. Demikian pula dengan

178
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

budaya bertanya dan berdiskusi, sekaligus evaluasi diperkenalkan


dan disosialisasikan dengan memberikan etika tersendiri. Begitu
pula dengan etika-etika lainnya.
1. Tugas dan Tanggung Jawab Guru
a. Etika Seorang Guru
Tidak hanya murid yang dituntut untuk beretika, apalah artinya
etika diterapkan kepada murid, jika guru yang mendidiknya tidak
mempunyai etika. Oleh karena itu, ia juga menawarkan beberapa
etika yang harus dimiliki oleh seorang guru, antara lain: senantiasa
mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah); senantiasa takut
kepada Allah; senantiasa bersikap tenang; senantiasa berhati-hati
(wara’); senantiasa tawadhu’, senantiasa khusu’, mengadukan segala
persoalannya kepada Allah SWT; tidak menggunakan ilmunya untuk
meraih keduniawian semata; tidak selalu memanjakan anak didik;
berlaku zuhud dalam kehidupan dunia; menghindari berusaha dalam
hal-hal yang rendah; meng-hindari tempat-tempat yang kotor dan
tempat ma’siyat; mengamalkan sunnah Nabi; mengistiqamahkan
membaca al-Qur’an; bersikap ramah, ceria, dan suka menaburkan
salam; membersihkan diri dari perbuatan- perbuatan yang tidak
disukai Allah; menumbuhkan semangat untuk menambah
ilmu pengetahuan; tidak menyalahgunakan ilmu dengan cara
menyombongkannya; dan membiasakan diri menulis, mengarang
dan meringkas.32424
Dalam gagasannya tersebut yang jelas terlihat adalah nuansa
tasawufnya. Hal ini tidak mengherankan, sebab dalam perilaku
kehidupannya, ia lebih cenderung pada kehidupan seorang sufi.
Demikian juga dengan ilmu yang diseriusi ketika menimba ilmu,
khususnya di Mekkah, lebih mendalami bidang tasawuf dan hadis,
maka kedua ilmu itu pula yang mewarnai gagasan dan pemikirannya,
khususnya dalam bidang pendidikan. Meskipun demikian, tidaklah

424 32 Hasyim Asy’ri, Adab Ta’lim wa Muta’allim, h. 55-70

179
Dr. Samsul Bahri, MA.

hidup dalam dunia sufi yang jauh dari kehidupan pada umumnya,
akan tetapi kehidupannya justru menyatu dengan masyarakat dan
berusaha memberikan jawaban terhadap tasawuf dan hadis, maka
kedua ilmu itu pula yang mewarnai gagasan dan pemikirannya,
khususnya dalam bidang pendidikan. Meskipun demikian, ia tidak
hidup dalam dunia sufi yang jauh dari kehidupan pada umumnya,
akan tetapi kehidupannya justru menyatu dengan masyarakat
dan berusaha memberikan jawaban terhadap permasalahan yang
muncul.
Catatan menarik yang perlu dikedepankan adalah guru harus
membiasakan untuk menulis, mengarang dan meringkas, dan ini
masih jarang dijumpai. Ini pula yang dapat dijadikan sebagai salah
satu faktor mengapa sulit dijumpai tulisan-tulisan berupa karya-
karya ilmiah. Sejak awal, ia memandang perlu adanya tulisan dan
karangan, sebab lewat tulisan itulah ilmu yang dimiliki seseorang
akan terabadikan dan akan banyak memberikan manfaat bagi
generasi selanjutnya, di samping itu juga akan terkenang sepanjang
masa. Namun, tradisi menulis ini belum membudaya di pesantren.
Ia sebenarnya sudah memulai dan membuktikan dengan beberapa
karya sebagaimana tersebut di atas.
Sebenarnya menarik untuk dikupas, mengapa budaya menulis
kurang mendapatkan tempat di lingkungan pendidikan tradisonal?.
Jawaban dari permasalahan ini adalah bahwa ilmu-ilmu yang dikaji
dan dipelajari di lingkungan pesantren adalah ilmu-ilmu agama, di
mana materi dan metodenya hampir telah mencapai final, sehingga
pengembangan terhadap ilmu-ilmu tersebut bisa dikatakan
telah tertutup. Disamping itu, tuntutan masyarakat atau keadaan
masyarakat kurang memberikan motivasi, sebab budaya yang
berkembang masih pada tataran budaya mendengarkan dari pada
budaya membaca. Namun yang jelas, untuk saat sekarang, budaya
menulis telah pula merambah dunia pesantren, meskipun tulisan
yang dihasilkan bukan berupa kitab-kitab yang dikaji pada pesantren,

180
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

akan tetapi tulisan- tulisan yang membicarakan permasalahan sosial


keagamaan di sekelilingnya.
b. Etika Guru ketika Mengajar
Seorang guru ketika hendak mengajar dan ketika mengajar perlu
memperhatikan bebrapa etika. Dalam hal ini ia menawarkan gagasan
tentang etika guru ketika mengajar sebagai berikut: mensucikan diri
dari hadats dan kotoran; berpakaian yang sopan dan rapi dan usahakan
berbau wangi; berniatlah beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu
kepada anak didik; sampaikan hal-hal yang diajarkan oleh Allah;
biasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan; berilah
salam ketika masuk ke dalam kelas; sebelum mengajar mulailah
terlebih dahulu dengan berdoa untuk para ahli ilmu yang telah lama
meninggalkan kita; berpenampilan yang kalem dan jauhi hal-hal
yang tidak pantas dipandang mata; menjauhkan diri dari bergurau
dan banyak tertawa; jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi
lapar, marah, mengantuk, dan sebagainya; pada waktu mengajar
mengambil tempat duduk yang strategis; usahakan tampilannya
ramah, lemah lembut, jelas, tegas dan lugas serta tidak sombong;
dalam mengajar mendahulukan materi-materi yang penting dan
sesuaikan dengan profesional yang dimiliki; jangan sekali-kali
mengajarkan hal-hal yang bersifat syubhat yang bisa membinasakan;
perhatikan masing-masing kemampuan murid dalam mengajar dan
tidak terlalu lama; menciptakan ketenangan dalam ruangan belajar;
menasehati dan menegur dengan baik bila terdapat anak didik yang
bandel; bersikaplah terbuka terhadap berbagai macam persoalan-
persoalan yang ditemukan; berilah kesempatan kepada peserta
didik yang datangnya ketinggalan dan ulangilah penjelasannya agar
tahu apa yang dimaksud; dan bila sudah selesai berilah kesempatan
kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal yang kurang jelas atau
belum dipahami.33425

425 33 Hasyim Asy’ri, Adab Ta’lim wa Muta’allim, h. 71-80

181
Dr. Samsul Bahri, MA.

Terlihat bahwa apa yang ditawarkannya lebih bersifat pragmatis.


Artinya, apa yang ditawarkan berangkat dari praktek yang selama ini
dialaminya. Inilah yang memberikan nilai tambah dalam konsep yang
dikemukakan oleh bapak santri ini. Kehidupannya yang diabadikan
untuk ilmu dan agama telah memperkaya pengalamannya dalam
mengajar. Inilah yang menjadi kekuatan tersendiri pada gagasan-
gagasan yang ditawarkannya. Ia misalnya, memperhatikan hal-hal
sampai detail, yang kelihatannya sangat sepele, seperti cara menegur
dan mengajarkan kepada anak didik yang datang terlambat. Jelas,
hal ini kemungkinan besar akan luput dari pemikiran para penggagas
atau pengamat pendidikan, andaikan ia tidak terlibat langsung dalam
dunia pendidikan. Belum lagi pada penampilan, baik penampilan
fisik maupun materi yang akan disajikan. Inilah contoh kekayaan
pengalaman yang coba dituangkannya dalam karyanya yang kini
dikaji.
c. Etika Guru Bersama Murid
Guru dan murid tidak hanya masing-masing mempunyai
etika yang berbeda antara satu dengan lainnya. Akan tetapi antara
keduanya juga mempunyai etika yang sama. Sama-sama dimiliki
guru dan murid. Di antara etika tersebut adalah: berniat mendidik
dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syariat
Islam; menghindari ketidak-ikhlasan dan mengejar keduniawian;
selalu melakukan introspeksi diri; mempergunakan metode yang
mudah dipahami murid; membangkitkan antusias peserta didik
dengan memotivasinya; memberikan latihan-latihan yang bersifat
membantu; selalu memperhatikan kemampuan peserta didik; tidak
terlalu memunculkan salah seorang peserta didik dan menafikan
yang lainnya; mengarahkan minat peserta didik ; bersikap terbuka
dan lapang dada terhadap peserta didik; membantu memecahkan
masalah dan kesulitan peserta didik; bila terdapat peserta didik
yang berhalangan hendaknya mencari hal ihwal kepada teman-

182
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

temannya; tunjukkan sikap arif dan penyayang kepada peserta didik;


dan tawadhu’.34426
Bila sebelumnya terlihat warna tasawufnya, khususnya ketika
membahas tentang tugas dan tanggung jawab seorang pendidik,
maka dalam bagian ketujuh ini terlihat profesionalitasnya dalam
pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari rangkuman gagasan yang
dilontarkannya tentang kompetensi seorang guru; utamanya dalam
pembahasan ini adalah kompetensi profesional. Jelas pada saat ia
menyusun kitab ini, ilmu pendidikan maupun psikologi pendi-dikan
yang sekarang ini beredar dan dikaji secara luas belum tersebar,
apalagi di kalangan pesantren. Sehingga ke-genuin-an pemikirannya
patut untuk dikembangkan selaras dengan kemajuan dunia
pendidikan, khususnya psiko-logi pendidikan.
2. Etika Terhadap Buku, Alat Pelajaran dan Hal-hal yang
Berkaitan dengannya
Satu hal yang paling menarik dan terlihat beda dengan materi-
materi yang biasa disampaikan dalam ilmu pendidikan pada
umumnya adalah etika terhadap buku dan alat-alat pendidikan.
Kalaupun ada etika untuk itu, maka biasanya itu bersifat kasuistik
dan seringkali tidak tertulis. Sering pula itu dianggap sebagai aturan
yang sudah umum berlaku dan cukup diketahui oleh masing-masing
individu. Akan tetapi, ia memandang bahwa etika tersebut penting
dan perlu diperhati-kan. Di antara etika yang ditawarkannya dalam
masalah ini antara lain: menganjurkan dan meng-usahakan agar
memiliki buku pelajaran yang diajarkan; merelakan, mengizinkan
bila ada kawan meminjam buku pelajaran, sebaliknya bagi peminjam
harus menjaga barang pinjaman tersebut; letakkan buku pelajaran
pada tempat yang layak terhormat; memeriksa terlebih dahulu bila
membeli atau meminjamnya jika ada kekurangan lembarannya;
bila menyalin buku pelajaran syari’ah hendaknya bersuci dahulu dan
mengawalinya dengan Basmalah, sedangkan bila yang disalinnya
426 34Hasyim Asy’ri, Adab Ta’lim wa Muta’allim, h. 80-95.

183
Dr. Samsul Bahri, MA.

adalah ilmu retorika atau semacamnya, maka mulailah dengan


Hamdalah (puji-pujian) dan Shalawat Nabi.35427
Kembali terlihat kejelian dan ketelitiannya dalam melihat
permasalahan dan seluk-beluk proses belajar mengajar. Hal ini tidak
akan terperhatikan bila pengalaman pengenai hal ini tidak pernah
dilaluinya. Oleh sebab itu, menjadi wajar apabila hal-hal yang
kelihatannya sepele, tidak luput dari perhatiannya, k a r e n a
ia sendiri mengabdikan hidupnya untuk ilmu dan agama, serta
mempunyai kegemaran membaca.
Etika khusus yang diterapkan untuk mengawali suatu proses
belajar maupun etika yang harus diterapkan terhadap kitab atau buku
yang dijadikan sebagai sumber rujukan menjadi catatan tersendiri,
sebab hal ini tidak dijumpai pada etika-etika belajar pada umumnya.
Sangatlah beralasan mengapa kitab yang menjadi sumber rujukan
harus diperlakukan istimewa. Betapa tidak, kitab kuning biasanya
disusun oleh seorang yang mempunyai keistimewaan atau kelebihan
ganda, tidak hanya ahli dalam bidangnya, akan tetapi juga bersih
jiwanya. Alasan yang demikian menyebabkan eksistensi kitab kuning
yang menjadi rujukan bagi dunia pesantren mendapat perlakuan
“istimewa” bila dibanding dengan buku-buku rujukan lain pada
umumnya. Mengapa harus bersuci terlebih dahulu apabila hendak
mengkaji atau belajar?. Dasar epistemologis yang digunakan dalam
menjawab pertanyaan ini. Ilmu adalah Nur Allah, maka bila hendak
mencapai Nur tersebut maka harus suci terlebih dahulu. Sebenarnya
tidak hanya suci dari hadas, akan tetapi juga suci jiwa atau rohaninya.
Dengan demikian diharapkan ilmu yang bermanfaat dan membawa
berkah dapat diraihnya.

427 35 Hasyim Asy’ri, Adab Ta’lim wa Muta’allim, h. 95-101

184
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

E. Modernisasi Pendidikan Pesantren Perspektif KH.


Abdurrahman Wahid
1. Riwayat Hidup
Sosok Abdurrahman Wahid dalam babakan sejarah intelektual,
agamawan dan budayawan serta politisi di Indonesia cukup dikenal.
Bahkan sosok ulama yang pernah menjadi orang nomor satu di
Indonesia, tidak bisa dipisahkan dari sejarah kontroversi di negeri ini,
terutama sepanjang masa Orde Baru karena banyak mengundang
perdebatan baik tentang ide-ide pemikiran maupun prilakunya,
yang tak jarang menyimpang dari wacana publik terutama bagi umat
Islam. Maka tidak heran anggapan orang terhadap Abdurrahman
Wahid berbeda-beda. Ada yang memuji, simpati atau mencoba
netral dan tidak mau perduli, serta terang-terangan menyatakan
ketidaksenangan dan beroposisi terhadapnya.36428
Gus Dur37 panggilan populer K.H. Abdurrahman Wahid lahir
429

dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil38 lahir pada tanggal 4


430

428 36 Pendapat Laode Ida dan Thantowi Jauhari, mereka yang simpati atau setuju secara
tidak langsung mulai larut dalam pemikiran cucu pendiri NU ini dan bahkan ada yang
secara tidak sadar sudah terjebak dalam fanatisme buta terhadap Abdurrahman Wahid.
Mereka yang bersifat netral menyikapinya dengan sangat berhati-hati atau tidak tergesa-
gesa dalam menanggapi setiap pemikiran dan tindakan Abdurrahman Wahid, bersikap
wait and see. Sementara yang berhadapan dengan pemikiran dan tindakannya, ia lebih
cenderung menunjukkan posisi berhadapan dengannya. Gusr Dur, Diantara Keberhasilan
dan Kenestapaan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1999, h. 60-62.
429 37 “Gus” adalah sebutan bagi seorang anak kiai, di Jawa Timur dan Jawa tengah “Gus”
itu sebetulnya kependekan dari ucapan “Bagus”, sebuah harapan seorang ayah kepada
anaknya agar menjadi bagus. Panggilan ini umumnya ditujukan sebelum si anak menjadi
kiai. Tetapi, dalam kenyataannya tidak sedikit orang yang sudah layak disebut kiai atau
memang sudah menjadi kiai, masih dipanggil “Gus”, K.H. Abdurahman Wahid adalah
salah satu contoh yang paling populer. Panggilan “Gus” juga biasanya tetap dilekatkan bagi
mereka yang anak kiai yang nyeleneh dan nakal, seperti Gus Miek, Gus Mus, Gus Ma’shum
dan sebagainya. Panggilan Gus Dur memang terasa lebih dominan dan lebih menyatu
ketimbang sebutan Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau Kiai Abdurrahman. Karena itu,
tanpa pretensi apapun kecuali alasan keumuman dan merasa lebih familiar. Selain itu
sebutan Gus Dur agaknya telah menjadi sebuah fenomena tersendiri di Indonesia dan
di dunia Intenasional, terutama karena perjuangannya yang gigih dan konsisten dalam
menegakkan demokrasi, toleransi umat beragama dan penghargaan terhadap pluralisme
di negara Pancasila ini. Perjuangan ini dilakukan baik saat berada di luar maupun di dalam
pemerintahan Gus Dur seorang menjadi simbol bagi semua itu.
430 38 Abdurrahman ad-Dakhil dalam bahasa Indonesia berarti hamba Allah (Penyayang)

185
Dr. Samsul Bahri, MA.

Agustus 194039 di Denanyar Jombang, ia anak pertama dari enam


431

bersaudara.40
432
Ayahnya bernama, K.H. Abdul Wahid Hasyim,
adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri pondok pesantren
Tebuireng dan pendiri Jam’iyah Nahdatul Ulama (NU), organisasi
Islam terbesar di Indonesia. Ibunya Hj Solehah, juga putri tokoh
besar NU, K.H. Bisri Syamsuri, pendiri pondok pesantren Denanyar
Jombang dan Rois’Aam Syuriah PBNU setelah K.H. Abdul Wahab.41433
Secara genetik Abdurrahman Wahid memiliki keturunan
darah biru dan menurut Clifford Geertz, ia termasuk golongan santri
dan priyayi sekaligus.42 Baik dari garis keturunan ayah maupun
434

ibunya, ia adalah sosok yang menempati strata sosial tinggi dalam


masyarakat Indonesia. Ia adalah cucu dari dua ulama terkemuka NU
dan tokoh besar bangsa Indonesia.
Kakeknya, Kiai Bisri Syamsuri dan kiai Hasyim Asy’ari,43 sangat
435

dihormati di kalangan NU, baik karena peran mereka mendirikan NU


Sang Penakluk. Penamaan Abdurahman ad-Dakhil oleh orang tuanya tampaknya
taffa’ulan dengan Abdurrahman ad-Dakhil I yang pernah memegang kekuasaan selama
32 tahun 756-788 M di Spanyol. Abdurrahman ad-Dakhil dalam sejarah Spanyol seorang
pelarian yang menyeberangi daratan-daratan tandus dan bukit-bukit batu memasuki
negeri sebagai orang asing yang tersisih. Tetapi, ia kemudian berhasil membangun
kekuasaan, kemakmuran negeri, menyusun tentara dan mengatur pemerintahan. Tim
INCReS, Beyond the Symbols; Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Bandung,
Remaja Rosdakarya, 2000, h. 26.
431 39 Ahmad Bahar, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid; Gagasan dan Pemikiran, Jakarta,
Bina Utama, 1999, h. 2.
432 40 Lima saudara Gus Dur secara berurutan adalah ‘Aisyah (Hj. ‘Aisyah Hamid Baidlawi), Ir.
H. Sholahuddin Wahid, dr. H. Umar Wahid, Khodijah dan Mohammad Hasyim.
433 41 Forum No. 1 tahun VI 21 April 1997, Gusr Dur, Diantara Keberhasilan dan Kenestapaan, h.
63.
434 42 Greetz, antropolog Amerika yang sangat terkenal, menemukan tiga varian Islam
di Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya, yakni priyayi, santri dan abangan.
Untuk lebih jelasnya baca, Clifford Geertz, The Religion of Java, Glencoe, III Free Press, 1960.
435 43 Kakek Abdurrahman Wahid dari pihak ibunya tidak setenar K.H. Hasyim Asy’ari
dalam masyarakat kota yang sekuler. Namun ia pun bergerak aktif dalam pergerakan
nasional. Beliau dilahirkan pada bulan September 1886 di daerah pesisir sebelah utara
Jawa Tengah, sebuah daerah yang mempunyai banyak pesantren. Kakeknya dari pihak
ayah K.H. Hasyim Asy’ari, dilahirkan di Jombang pada bulan Juli 1947, ia adalah salah
seorang pendiri NU dan sangat dihormati sebagai seorang pemimpin Islam dalam
masyarakat pedesaan yang tradisional. Ia juga dikenal sebagai seorang guru yang
banyak memberi inspirasi serta seorang terpelajar. Namun ia juga seorang nasionalis yang
teguh pendirian. Greg Barton, Biografi Abdurrahman Wahid, Yogyakarta, LkiS, 2002, h. 26-29.

186
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

maupun pengaruh mereka sebagai ulama. Beliau lahir dan dibesarkan


dalam dunia pendidikan pesantren. Meskipun demikian, sejarah
kehidupannya tidak mencerminkan seorang ningrat. Ia berproses
dan hidup sebagaimana layaknya masyarakat pada umumnya.
Masa kecilnya tidak seperti kebanyakan anak-anak seusianya,
yang tidak memilih tinggal bersama ayahnya, tetapi ikut bersama
kakeknya. Ia diajari membaca al- Qur’an oleh kakeknya sendiri di
pondok pesantren Tebuireng Jombang. Saat ia tinggal bersama
kakeknya itulah, ia mulai mengenal politik dari orang-orang yang
tiap hari hilir mudik di rumah kakeknya.
Namun demikian, suatu kejadian yang menimpanya pada
umur 13 tahun, ayahnya meninggal dunia dalam suatu kecelakaan
mobil di Bandung pada April 1953. Pengaruh kematian tragis
ayahnya yang terlalu cepat -dalam usia Wahid Hasyim yang relatif
muda 38 tahun-44
436
amat berbekas dalam ingatannya. Kejadian
itu, baginya merupakan pengalaman paling traumatik, mengingat
ia sendiri ikut serta bersama ayahnya di dalam mobil tersebut. Ia
berada di depan dan ayahnya berada di belakang. Ketika mobil
terbalik, ayahnya terlempar keluar dan luka parah, sehari kemudian
beliau meninggal, kenangnya.45437
Kematian sang ayah merupakan pukulan berat bagi
Abdurrahman Wahid dan keluarganya.46 Dengan peristiwa itulah,
438

ia merasakan gejolak pada dirinya untuk ikut bertanggung jawab

436 44 Menurut sebagian kalangan, antara lain Greg Barton, beliau meninggal dalam usia yang
ke-40, tetapi bila merujuk pada buku Menteri-menteri Agama RI; Biografi Sosial Politik,
INIS, PPIM dan Litbang Depag disebutkan bahwa masa hidup K.H. Wahid Hasyim antara
1914-1953, h. 82.
437 45 Majalah Gamma No. 36 tahun pertama, 31 Oktober 1999.
438 46Menurut informasi Greg Barton dari hasil wawancaranya dengan Abdurrahman
Wahid pada bulan Desember 1999, ia menceritakan bagaimana ia sangat mencintai
almarhum ayahnya itu. Diingatnya bagaimana ia berusaha memecahkan arti semua
ini untuk berpikir “apa yang mungkin dilakukan oleh seorang manusia sehingga rakyat
sangat mencintainya?“. Apakah ada prestasi yang lebih baik daripada hal ini dalam hidup,
kenangan yang pahit namun manis ini tetap tak terlupakan oleh Abdurrahman Wahid.
Greg Barton, Biografi Abdurrahman Wahid, 43-44.

187
Dr. Samsul Bahri, MA.

dengan masa depan keluarga dan Nahdatul Ulama.47 Bahkan


439

sesuatu yang berubah secara tajam, yaitu bahwa rumahnya mulai


sepi dari orang-orang dan para tamu penting yang sering membawa
informasi berharga.
Sementara itu, pengalaman pendidikannya48 diawali dari
440

sekolah dasar (SD) di Jakarta, kemudian ia melanjutkan ke sekolah


Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Tanah Abang Jakarta. Dan
kemudian ia pindah ke Yogyakarta, selama itu ia tinggal di rumah
seorang modernis Muhammadiyah K.H. Junaid, ulama anggota
Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Di SMEP Yogyakarta, Abdurrahman Wahid bertemu dengan
seorang perempuan bernama Rufi’ah, guru bahasa Inggris yang
banyak menempanya untuk belajar bahasa asing. Dari gurunya
tersebut, ia banyak berkenalan dengan buku-buku komunis seperti
Das Kapital karya Karl Marx, filsafat Plato, Thalles, novel-novel William
Bochner dan Romantisme Revolusioner karangan Lenin Vladimir
Ilych (1870-1924), tokoh Revolusioner Rusia dan pendiri negara
Uni Soviet.49
441
Sejak saat itulah, ia selalu memberi laporan
mengenai kemajuan hasil bacaannya pada ibu Rufi’ah.50
442
Saat

439 47 Sejak masa kanak-kanak, ibu Abdurrahman Wahid telah diberi berbagai isyarat
bahwa Abdurrahman Wahid akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki
kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap organisasi NU. Menjelang remaja rasa
tanggung jawab tersebut ternyata secara dramatis meningkat terutama setelah kematian
ayahnya. Baca Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Indonesia , Jakarta, Paramadina, 1999, h.
326.
440 48 Abdurrahman Wahid bercita-cita menjadi tentara. Ia ingin sekali masuk AKABRI
(Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Namun, cita-cita kandas, ketika pada
usia 14 tahun, ia harus memakai kaca mata minus. Kandasnya cita-cita itu, membuatnya
sangat cinta terhadap buku, bola, catur, musik dan film. Akhirnya ia merumuskan kembali
cita-citanya dengan sangat sederhana ingin menjadi guru. Ahmad Bahar, Biografi Kiai Politik
Abdurrahman Wahid; Gagasan dan Pemikiran, h. 4.
441 49 Tim INCReS, Beyond The Symbols; Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, h. 9.
442 50 Selain buku-buku tersebut, ibu Rufi’ah juga banyak memperkenalkan Abdurrahman
Wahid pada pengarang besar Andre Gide yang mengarang novel La Porte Etroite. Novel
inilah yang beberapa tahun kemudian menjadi inspirasi Abdurrahman Wahid untuk
memberi nama pada anak pertamanya, Alissa. Novel yang bernapaskan keagamaan
ini, “Kristen nggak Kristen, soal keimanan, problemnya sama saja, yaitu bagaimana
menghadapi kenyataan dunia yang berbeda dengan idealismenya”. Alissa dalam novel itu

188
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

sekolah di SMEP Yogyakarta, ia pernah gagal naik kelas,51 suatu


443

pengalaman yang tentunya sangat menggores dalam kehidupannya.


Namun, setelah tamat SMEP ia banyak menghabiskan
waktunya di beberapa pesantren NU terkemuka. Mula-mula
ia mondok/nyantri Tegal Rejo Magelang (1957- 1959) dengan
merampungkan waktu belajarnya kurang separoh waktu nyantri
pada umumnya. Di pesantren inilah ia membuktikan dirinya sebagai
siswa yang berbakat dengan menyelesaikan pelajarannya di bawah
asuhan Kiai Khudori selama dua tahun di Tegal Rejo ini. Kebanyakan
siswa lain memerlukan empat tahun untuk menyelesaikan pelajaran
ini. Bahkan di pesantren inilah ia menghabiskan sebagian besar
waktunya di luar kelas dengan membaca buku-buku Barat.52444
Beliau belajar secara otodidak sejak usia dini. Kegemarannya
membaca memungkinkannya untuk mengenal karya-karya sastra
intelektual dan filsafat terkemuka seperti Marx, Lenin Gramsci, Mao
Zedong, serta mengagumi karya pemikir redikal Kiri Islam, Hasan
Hanafi.53445
Dari tahun 1959-1963 ia belajar di Muallimat Bahrul Ulum
Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur. Kemudian ia mondok di
pesantren Krapyak Yogyakarta dan tinggal di rumah seorang NU

adalah seorang gadis yang tak mampu menyelesaikan cintanya karena faktor agama. Lalu,
karena dilandasi faktor cinta inilah yang mengetuk hatinya, sehingga ia menjadi biarawati.
Kemudian karya Mikhail Sholokov yang berjudul And Quiet Flows the Don merupakan salah
satu bacaan favoritnya. Bahkan juga melahap habis karya Will Durant yang berjudul The
Story of Civilzation. Tim INCReS, Beyond the Symbols; Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan
Gusdur, h.10-11.
443 51 Ahmad Bahar, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid; Gagasan dan Pemikiran, h. 4.
444 52 Greg Fealy menceritakan bahwa ia mengunjungi pesantren Denanyar pada awal tahun
1990-an dan kepadanya diperlihatkan sebuah barang berharga oleh penduduk Denanyar
yang merasa bangga dengan barang itu, yang merupakan lemari tua Abdurrahman
Wahid yang penuh dengan buku-buku asing yang dibacanya ketika tinggal di pesantren
ini selama 20 tahun. Hal ini dikutip oleh Greg Barton, Biografi Abdurrahman Wahid, h. 50.
445 53 Implisit Abdurrahman Wahid mengakui kekagumannya pada Hasan Hanafi sejak
tahun 1960- an ketika masih belajar di Mesir ketika itu pengaruh Sosialisme-Marxisme,
Nasionalisme, Sekuler dan populisme terhadap intelektual Muslim dominan. Di antara
mereka seperti Hasan Hanafi, melakukan sintesa kreatif-inovatif antara Islam dan
Marxisme. Karena itu ideologi sekuler menpengaruhi perkembangan Gusdur ketika itu.

189
Dr. Samsul Bahri, MA.

terkemuka, K.H. Ali Maksum54


446
hingga kemudian berangkat
ke Mesir dan Eropa (1964), untuk menempuh pendidikan tinggi.
Ia kuliah di Universitas al-Azhar, Kairo (1964-1966) dan Fakultas
Seni Universitas Baghdad (1966-1970). Beliau menjadi ketua Ikatan
Mahasiswa Indonesia di Timur Tengah dari tahun 1967-1970. Karena
al-Azhar, pusat pembelajaran Islam tertua di dunia Islam, telah
lama menjadi ajang penempaan keluarga-keluarga Islam dari
Indonesia, gerakan Muhammad Abduh (1905) dari Mesir menyebar
ke Asia Tenggara di awal abad ke 20.
Ketika berada di Kairo, berumur 25 tahun dan ia merasa bebas,
hingga ia dapat menonton film-film terbaik Perancis walaupun
ia harus menunggu film-film itu diedarkan di Eropa. Selain
menikmati film Inggris dan Amerika, beliau banyak menghabiskan
waktunya di perpustakaan Universitas al-Azhar.55447
Abdurrahman Wahid sangat kecewa dengan sistem pengajaran
yang diterapkan di al-Azhar sehingga beliau banyak menghabiskan
waktunya untuk membaca buku di perpustakaan dan warung kopi
sambil mendengarkan dan berpartisipasi dalam diskusi intelektual
dan debat politik serta budaya, khususnya tentang baik buruknya
sosialisme dan nasionalisme. Kondisi saat itu lebih menonjol adalah
Nasserisme dan Baatishme di Syria dan Irak. Ia merasa tidak puas
dengan sistem pengajaran al-Azhar beliau meninggalkan Kairo
menuju di Universitas Baghdad.56448
Di Universitas inilah ia memperoleh pendidikan yang lebih
sekuler dan bergaya Barat, karena itupun beliau sangat menyukai
446 54 K.H. Ali Maksum adalah tokoh yang dikenal kutu buku dan diakui memiliki ilmu
yang luas selain ilmu keagamaan. Ketika Abdurrahman Wahid mondok di rumah kiai
Ali Maksum, dia banyak belajar darinya termasuk memperdalam bahasa Arab. Tidak
heran ia dianggap sebagai seorang pendukung Kiai Ali Maksum ketika terpilih sebagai
rois ‘aam menggantikan K.H. Bishri Syamsuri, kakeknya yang meninggal saat itu. Martin
Van Bruinessen, NU: Tradisi Relasi-Relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta,
LKiS, 1997, 120-121.
447 55 Greg Barton, Biografi Abdurrahman Wahid, h. 85.
448 56 John El-Esposito, John. O Vall, Tokoh-Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, Jakarta,
Grafindo Persada, 2002, h. 256.

190
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

dengan sistem pendidikan yang mirip dengan Eropa. Di tempat ini ia


mengenal dan membaca banyak karya-karya seperti Emil Durkheim.
Bahkan di perpustakaan Baghdad sangat lengkap sejarah tentang
sejarah Indonesia, sehingga terdorong untuk meneliti asal-usul
Indonesia.57 Bahkan juga mempelajari sastra dan budaya Arab
449

serta filsafat dan pikiran sosial Eropa.


Pada masa ini, dia menjadi yakin bahwa Islam harus
ditafsir ulang dan diperlukan pengajaran Islam agar selaras dengan
ilmu dan pengetahuan modern. Walaupun kuliah dan ujian-ujian
Strata 2 (S2) telah ditempuhnya dan karena profesor penasehatnya
meninggal dunia membuat proses penulisan tesisnya tertunda.
Karena itu ia pergi ke Eropa untuk kuliah program Doktor (S3)
tetapi karena terkendala dengan prasyaratan bahasa Eropa untuk
lanjut, dia menghabiskan waktunya mulai pertengahan 1970 hingga
1971 untuk berkeliling Eropa. Dan ia kemudian belajar sendiri
Bahasa Perancis, Jerman dan Inggris.58450
Karena itu, beliau mengakui bahwa di Baghdad ia mendapatkan
rangsangan intelektual dan berfikir secara sistematis, sehingga
gairah intelektualnya kembali.59 Hal lain yang juga dilakukannya
451

ketika di Baghdad, ia mengunjungi makam-makam keramat para


wali, termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jaelani, pendiri Thariqah
Qadariyyah. Di samping itu, ia menggeluti ajaran Imam Junaid al-
Baghdadi, seorang pendiri aliran tasawuf yang diikuti jamaah NU.
Atas pengalamannya inilah ia menemukan sumber spritualitas.60452
Setelah menyelesaikan studinya di Baghdad pada tahun 1970,
ia berharap dapat mendaftar menjadi mahasiswa di salah satu
perguruan tinggi Di Eropa. Hanya saja harapan itu gagal, sebab
kualifikasi mahasiswa dari Timur Tengah tidak diakui. Inilah yang
449 57 Ahmad Bahar, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid; Gagasan dan Pemikiran, Jakarta,
Bina Utama, 1999, h. 6.
450 58 John El-Esposito, John. O Vall, Tokoh-Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, h. 257-258.
451 59 Tim INCReS, Beyond The Symbols; Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, h.
452 60 Tim INCReS, Beyond The Symbols; Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, h.

191
Dr. Samsul Bahri, MA.

memotivasinya pergi McGill University Canada untuk mempelajari


kajian-kajian keislaman secara mendalam. Hal ini tidak tercapai
dan akhirnya ia keliling dari universitas satu ke universitas
lain, kemudian ia menetap di Belanda selama enam bulan dan
mendirikan perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia
yang tinggal di Eropa.61453
Sekembalinya di Indonesia, beliau kembali ke pesantren
kakeknya. Pada tahun 1972-1974, ia dipercaya menjadi dosen di
samping sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim
Asy’ari Jombang. Dan pada tahun 1974 sampai 1980 oleh
pamannya, K.H. Yusuf Hasyim diberi amanat untuk menjadi
sekertaris umum pesantren Tebuireng, Jombang. Pada periode ini
ia secara teratur mulai melibatkan diri dalam kepengurusan NU
dengan menjabat Katib Awal Syuriah PBNU sejak tahun 1979.62454
Sketsa Singkat Perjalanan Sosial Abdurrahman Wahid;
A. Perjalanan Pendidikannya
1. Belajar di Sekolah Dasar (SD) Jakarta, 1947-1953.
2. Belajar di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di
Jakarta dan Yogyakarta, 1953-1957.
3. Belajar di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, 1954-1957.
4. Belajar di Pondok Pesantren Tegal Rejo, Magelang, Jawa
Tengah, 1957-1959.
5. Belajar di Pondok Pesantren Tambak Beras, sambil
mengajar di Madrasah Mu’allimat Tambak Beras Jombang,
1959-1963.
6. Belajar di Ma’had al-Dirasat- al-Islamiyyah (Departemen of
Higer Islamic and Arabic Studies) al-Azhar Islamic University,
Kairo Mesir, 1964-1969.

453 61 Tim INCReS, Beyond The Symbols; Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, h.
454 62 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Indonesia , h. 328.

192
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

7. Belajar di Fakultas Sastra Universitas Baghdad di Irak, 1970-


1972.
8. Menjadi Dekan dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas
Hasyim Asy’ari (Unhas), Tebuireng, Jombang, 1972-1974.
9. Sekertaris Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa
Timur, 1974-1979.
10. Pengasuh Pondok Pesantren Cigancur, Jakarta Selatan,
1979-sekarang.
11. Pengasuh Yayasan Pondok Pesantren Denanyar, Jombang,
1996- sekarang.
12. Anggota, Dewan Kehormatan Universitas Saddam Husein
Baghdad serta Manggala BP7.
B. Perjalanan Sosial-Politik dan Keagamaannya
1. Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Mesir, 1964-1970.
2. Konsultan Departemen Koperasi, Departemen Agama dan
Departemen Hankam, sejak 1976.
3. Wakil Katib Awal Syriah PBNU tahun 1981-1984.
4. Ketua Umum PBNU 1984-1999.
5. Anggota MPR, Fraksi Karya Pembangunan, di Jakarta, 1987-
1992.
6. Anggota Dewan Internasional Perez Center for Peace (PCP)
atau Institut Shimon Perez untuk perdamaian di Tel Aviv
Israel.
7. Presiden World Conference on Religion and Peace (WCRP) sejak
1994-1999.
8. Anggota Komisi Agama-Agama Ibrahimi di Madrid Spanyol.
9. Deklarator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Ciganjur
Jakarta, 1998, bersama
K.H. Ilyas Ruhyat, K.H. Muchith Muzadi, K.H. Munasir Ali, K.H.
Musthofa Bisri.

193
Dr. Samsul Bahri, MA.

10. Anggota MPR, Utusan Golongan, 1999.


11. Presiden Republik Indonesia, 1999-2001.
C. Perjalanan Kebudayaan Abdurrahman Wahid
1. Konsultan LP3ES Jakarta, 1973.
2. Mendirikan P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren
dan Masyarakat) Jakarta, 1983.
3. Anggota Pertimbangan Agha Khan Award untuk Artisitektur
Khan di Indonesia, 1980-1983.
4. Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), di Jakarta, 1983-1985.
5. Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia (FFI) dua kali, 1986.
6. Tokoh tahun 1989 versi Surat Kabar Pikiran Rakyat.
7. Tokoh tahun 1990 versi Majalah Editor.
8. Mendirikan Forum Demokrasi (Fordem), di Jakarta, 16-
17 Maret 1991, di Desa Cibereum Bogor bersama kawan-
kawanya, ketua Fordem 1991-1999.
9. Jasa Kelas I dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan
Kebudayaan Islam dari pemerintah Mesir 1992.
10. Penerima Penghargaan Roman Magsaysay Award dari
Philipina, 31 Agustus 1993 di Manila.
11. Penasihat The Intenasional Dialogue Foundation Project on
Perspective Studies and Secular Law di Den Haag, sejak 1994.
12. Mendirikan GANDI (Gerakan Anti Diskriminasi), di Jakarta,
1998.
13. Tokoh Terpopuler 1999 versi Surat Kabar Harian Umum
Kompas.63455

455 63 Narasi-narasi kecil ini dihimpun dari berbagai sumber, di antaranya: Tempo, 16 Mei
1981; Majalah Amanah, Edisi 8 s.d. 21 Mei 1987; Majalah Aula No. 20 Oktober1987; Majalah
Editor No. 15 tahun IV/22 Desember 1990; Kompas 10 Agustus 1996; Dedy Djamaluddin
Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia; Pemikiran dan Aksi Politik
Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Zaman
Wacana Mulai, 1989; Al-Zartrouw Ng, Gus Dur Siapa Sih Sampeyan? Tafsir Politik atas Tindakan

194
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Melihat sketsa sejarah sosial intelektual pendidikannya, adalah


gabungan antara pendidikan agama tradisional dan pendidikan
modern. Hanya saja menurut John El- Esposito, bahwa Abdurrahman
Wahid benar-benar sebuah teka-teki. Dia bukan tradisioanalis
konservatif, bukan pula modernis Islam. Dia seorang tokoh liberal,
seorang pemimpin organisasi Islam berbasis tradisional.64 Karena
456

itu, John El-Esposito memasukkannya sebagai salah satu tokoh kunci


gerakan Islam kontemporer.65457
Demikianlah sekilas perjalanan sosial kehidupan sosok seorang
Abdurrahman Wahid, seorang yang lahir dari dunia pesantren dan
mengembara di berbagai negara untuk menuntut ilmu pengetahuan,
sehingga berpadulah dalam dirinya tradisional dan modernisme
yang kemudian sangat mempengaruhi jalan pemikirannya.
2. Karya-Karya Abdurrahman Wahid
Disadari atau tidak, memang tidak mudah merumuskan pokok-
pokok pemikiran Abdurrahman Wahid, karena pemikirannya yang
berbentuk tulisan tersebar ke berbagai media massa dan ditulis
dalam waktu yang berlainan secara singkat-singkat atau hanya
berupa lontaran-lontaran gagasan belaka. Hal ini juga disadarinya
bahwa betapa sukarnya untuk mengumpulkan tulisan-tulisannya itu
ke dalam sebuah tema atau susunan yang utuh, bukan saja sebagai
para pembaca tapi juga bagi dirinya sendiri.
Greg Barton66 menjelaskan bahwa karya tulis Abdurrahman
458

Wahid sepanjang dekade 1970-an bisa dibagi dua periode. Pertama,

dan Pernyataan Gus Dur, Jakarta, Erlangga, 1999; Tabloid Detak Edisi Khusus, Tahun ke-2, 21-25
Oktober 1999; Kompas, Sabtu 8 April 2000; Media Indonesia, Jumat, 11 Februari 2000. Narasi
ini dikutip oleh Tim INCReS, Beyond The Symbols; Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus
Dur, h. 23-25.
456 64 John El-Esposito, John. O Vall, Tokoh-Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, h. 259.
457 65 Untuk lebih jelas John El-Esposito, John. O Vall, Tokoh-Tokoh Kunci Gerakan Islam
Kontemporer, h. 255-279.
458 66 Greg Barton, “Liberalisme; Dasar-dasar Progresifitas Pemikir Abdurrahman Wahid”,
dalam Feal dan Greg Barton (ed), Tradisionalisme Radikal; Persingggungan Nahdatul
Ulama-Negara, Yogyakarta, LkiS, 1997, h. 167.

195
Dr. Samsul Bahri, MA.

meliputi 1970 hingga 1977, masa di mana ia memfokuskan tulisannya


pada kehidupan pesantren. Dan tulisan-tulisan tersebut telah
dibukukan dalam Bunga Rampai Pesantren: Kumpulan Karya Tulis
Abdurrahman Wahid.67 Bunga rampai ini terdiri dari 12 artikel
459

merupakan sebuah buku yang secara keseluruhan membicarakan


masalah-masalah pesantren.
Perginya ke Jakarta pada akhir 1977 merupakan awal fase
baru dari tulisannya yang membuat ia terkenal, sebab ia semakin
produktif. Kedua, meliputi masa yang dimulai di bulan Januari
1978 sampai 1981 dan buku Muslim di Tengah Pergumulan68
460

menjadi topik masalah yang semakin luas adalah hasil


kumpulan tulisannya yang terdiri dari 17 artikel. Di periode kedua
ia muncul sebagai intelektual publik, sebab di samping ia tampil di
kalangan intelektual Jakarta, khususnya majalah mingguan Tempo.
Dan kehadirannya menulis di majalah mingguan di tahun 1978
merupakan tanda bahwa saat itulah ia mulai hadir di media massa
nasional.
Fokus utama dalam buku pertama adalah apresiasi dan
pemeliharaan kebaikan sub kultural pesantren dalam merepon
modernitas, sementara buku kedua lebih sebagai penjelasan terhadap
kompleksitas masalah yang juga dalam merespon modernisasi.
Hal yang sama juga ditemukan di seluruh kolom tulisannya di
majalah dan surat kabar sejak tahun 1970-an. Jika ada karakteristik
yang berbeda dari ketiga kelompok tulisan, maka hal itu
hanyalah merupakan penekanan terhadap humanitarianisme
fundamentalnya, yakni perhatiannya terhadap harmoni sosial,
toleransi, hak azasi manusia. Seluruh karya tulisnya tahun 1970-an,
terutama di dalam kolom-kolomnya di Tempo.69
461

459 67 Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, Jakarta, Darma Bhakti, 1978.
460 68 Abdurrahman Wahid, Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta, Lappenas, 1983.
461 69 kumpulan kolom Abdurrahman Wahid, Melawan Melalui Lelucon, Mustafa Ismail
(ed), Jakarta, Tempo 1980. Buku ini mengumpulkan tulisan di tahun 1970-an-1990.

196
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Buku Kiai Nyentrik Membela Pemerintah70


462
merupakan
kumpulan karya esai- esai dengan nuansa tersendiri. Esai-esai ini
kebanyakan ditulis pada periode awal 1980- an sebuah periode yang
dapat disebut sebagai periode ilmiahnya. Yakni ketika beliau
sedang gandrung dengan penggunaan metodologi ilmu sosial
terutama antropologi untuk menjelaskan ideologinya. Oleh sebab
itu, menurut M. Sobari71 antropologi kiai suatu karya yang tak
463

banyak mengetahuinya. Sorotan lampu kamera Abdurrahman


Wahid diarahkan pada titik dramatik dari tiap soal, tiap individu kiai
yang dibahasnya. Buku ini memuat 20 artikel. Buku ini mengajak
kita untuk memikirkan kembali persoalan-persoalan kenegaraan,
kebudayaan dan keislaman.
Tuhan Tak Perlu DiBela72 buku ini memuat tentang fenomena
464

agama dan kekerasan politik. Karena menurutnya bahwa kekerasan


politik merupakan akibat perilaku kaum fundamentalis agama yang
berakar pada fanatisme yang sempit. Buku ini terdiri dari tiga bab.
Bab pertama tentang refleksi kritis pemikiran Islam berisi 27 artikel,
bab kedua tentang intensitas kebangsaan dan kebudayaan yang
memuat 25 tulisan dan bab ketiga tentang demokrasi, ideologi dan
politik pengalaman luar negeri terdapat 21 karya tulis.
Buku Prisma Pemikiran Abdurrahman Wahid,73 merupakan
465

kumpulan tulisannya dari majalah Prisma. Spektrum yang menjadi


perhatian dalam tulisan ini sangat luas meliputi, politik, ideologi,
nasionalisme, gerakan keagamaan, pemikiran sosial dan budaya.
Kendati ia tidak pernah belajar di universitas dalam negeri dan
mancanegara dalam ilmu sosial namun jelas terasa tulisan-tulisan ini
merupakan pemahaman yang baginya tentang ilmu-ilmu sosial yang
diramunya dengan ilmu pengetahuan keagamaan.
462 70 Abdurrahman Wahid, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, Yogyakarta, LKiS, 1997.
463 71 Mohammad Sobari, “Membaca dengan Sikap Total dan Empeti”, dalam Abdurrahman
Wahid, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, h. vii.
464 72 Abdurrahman Wahid, Tuhan Tak Perlu Dibela, Yogyakarta, LkiS, 1999.
465 73 Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Abdurrahman Wahid, Yogyakarta, LkiS, 1999.

197
Dr. Samsul Bahri, MA.

Berikutnya, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, 74 secara


466

garis besar buku ini membahas 4 bagian, agama dan negara


yang berasal dari 11 artikel, agama, demokrasi dan pemberdayaan
civil society memuat 8 artikel; kepemimpinan umat Islam antara
ekslusifisme dan inklusifisme terdiri dari 12 artikel; NU dalam
Dinamika Politik Bangsa berisi 6 artikel. Sebagaimana diungkapkan
oleh editor bahwa lewat buku ini setidaknya kita cukup terbantu
untuk melihat sosok Abdurrahman Wahid yang nyeleneh.
Selain lima judul buku di atas, karya lainnya yang berbentuk
buku adalah: (1) Muslim di Tengah Pergumulan, (2) Kiai Menggugat
Gus Dur Menjawab, Sebuah Pergumulan Wacana dan Transformasi (3)
Tabayyun Gus Dur (4) Islam, Negara dan Demokrasi, Himpunan Percikan
Perenungan Gus Dur (5) Gus Dur Menjawab Tantangan Perubahan (6)
Membangun Demokrasi (7) Melawan Melalui Lelucon.
Dengan demikian karya tulisnya yang berbentuk buku ada
12 buah buku dan dalam bentuk buku terjemahan ada 1, yaitu
Islam dalam Cita dan Fakta yang diterjemahkan dari Ideas and
Realities of Islam. Sementara tulisan yang lain, di antaranya terdapat
pada; Pertama, Kata pengantar buku yang berjumlah 20 judul.
Kedua, Terdapat dalam efilog buku Mencari Pemimpin Umat. Ketiga,
dalam antologi buku ada 42 buah. Keempat, yang berbentuk artikel
ada sekitar 263 tulisan yang tersebar di berbagai media massa dan
terakhir dalam bentuk kolom 155 tulisan.
3. Modernisasi Pendidikan Pesantren
Perspektif kesejarahan dan pendidikan, dunia pesantren
merupakan satu- satunya lembaga pendidikan tradisional yang
tahan terhadap gelombang modernisasi.75 Karena itu, arus
467

modernisasi sistem pendidikan di Indonesia pada awalnya tidak


dikumandangkan oleh kalangan muslim. Sistem pendidikan modern
466 74 Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta, Grasindo, 1999.
467 75 Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004,
h.157.

198
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

pertama kali diperkenalkan pemerintahan kolonial Belanda dengan


mendirikan volkschoolen, sekolah rakyat atau sekolah desa76 dan
468

telah memberi pengaruh terhadap pendidikan di pesantren. Corak


dikhotomi sistem pendidikan Belanda terlihat pada kebijakan
yang memisahkan pendidikan agama dengan pendidikan umum.
Pendidikan agama diselenggarakan di lembaga-lembaga pesantren
yang dikelola oleh umat Islam sedangkan pendidikan umum dikelola
oleh pemerintah Belanda.77469
Menanggapi hal di atas, Karel A. Steenbrink berpendapat
pesantren seharusnya meresponi kemunculan dan ekspansi
sistem pendidikan modern Islam dengan bentuk menolak sambil
mengikuti.78 Dalam kondisi seperti di atas, paradigma pendidikan
470

pesantren berada pada dua sisi. Pada sisi pertama pesantren


disebut sebagai lembaga pendidikan yang konservatif79 yang
471

memposisikan diri sebagai garda terdepan dalam mempertahankan


tradisi klasik. Di sisi lain, pesantren harus proaktif dan respon terhadap
berbagai problematika yang terjadi dalam masyarakat dengan
berbagai jurus yang aktual dan relevan dengan kondisi masyarakat.
Dalam menyikapi modernitas, pesantren sebagai salah satu
lembaga pendidikan Islam yang tertua di Indonesia harus menata
ulang sistem pendidikan dan bangunan pendidikan yang dipakai
selama ini. Hal ini sangat urgen dilakukan di tengah derasnya arus
globalisasi. Pesantren tidak harus kaku dan alergi terhadap produk
modernitas selama produk modern sendiri tidak berefek negatif yang
merugikan umat Islam, melainkan banyak memberi sumbangsih
468 76 Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, h. 159.
469 77 Abuddin Nata, “Pendidikan Islam di Indonesia Tantangan dan Peluang”, Dalam
Pengukuhan Guru Besar 20 Maret 2004, h. 32.
470 78 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern,
Jakarta, LP3ES, 1994.
471 79 Konservatif dalam arti tidak peka terhadap perubahan dan perkembangan zaman yang
dating dari luar. Keteguhan sikap pesantren ini dinilai sebagai egiosme dan eksklusifisme
pesantren terhadap kemajuan modern. Padahal, sebagai bagian dari fenomena sosial,
pesantren senantiasa mengalami dinamika dan hidup yang bergumul dengan realitas
sosial yang tak pernah berhenti.

199
Dr. Samsul Bahri, MA.

positif terhadap perkembangan pendidikan dan pengetahuan di


dunia pesantren.
Dengan demikian, lahirnya modernitas membawa pertentangan
yang membuat lembaga pendidikan pesantren terpecah, ada yang
menginginkan perubahan dan sisi lain tetap bertahan dengan tradisi
pesantren, tetapi ketika arus modernisasi yang tidak dibendung lagi
kita harus mencari solusi alternatif dalam menyikapinya. Arkoun
menyatakan bahwa tradisi dan modernitas membawa implikasi
positif tetapi problemnya adalah bagaimana menyikapi keduanya
dengan adil dan bijak. Sebab jika salah memprioritaskan diantara
keduanya -tradisi (al-turats) atau modernitas karena kedua-duanya
bukan milik kita; tradisi (al-turats) adalah milik orang lampau dan
modernitas milik Barat- atau mengambil yang satu dan membuang
yang lain adalah gegabah dan membuang kedua-duanya adalah
konyol. Yang adil dan bijak adalah bagaimana mengharmonisasikan
keduanya dengan tidak menyalahi akal sehat dan standar rasional.80472
Sepanjang sejarah, pesantren terus menghadapi arus gelombang
modernitas.
M. Dawam Raharjo salah seorang sosok intelektual
Indonesia pernah menuduh pesantren sebagai lembaga yang kuat
mempertahankan keterbelakangan dan ketertutupan.81 Padahal
473

pesantren dihadapkan pada perubahan sosial budaya yang tak


terelakkan. Dan dalam menentukan arahnya, pesantren
berpegang pada tiga paradigma. Pertama, pengelola yang
akomodatif dengan modernisasi. Kedua, pengelola yang menolak
sama sekali modernisasi dalam bentuk apapun. Ketiga, pengelola
yang dengan penuh kehati-hatian dan sangat selektif menerima
pembaharuan.82
474
Ketiga paradigma di atas, berimplikasi pada
472 80 Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog antar Agama, h.
473 81 M. Dawam Raharjo (ed), Pesantren dan Pembaharuan, h. 1.
474 82 Tipologi di atas lebih mengacu pada paradigma pemilikan dan sikap umat terhadap
proses modernisasi. Dalam konteks pesantren ketiga paradigma itu layak juga untuk
diangkat. Sebab walau bagaimanapun dalam diri pengelola pesantren telah terjadi

200
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

proses pembaharuan yang dilaksanakan di dunia pesantren.


Paradigma ketigalah yang digunakan oleh mayoritas pengelola
dunia pendidikan pesantren. Dengan demikian sebagai konsekwensi
logis dari modernisasi, pesantren mau tidak mau harus memberikan
respon yang mutualistis. Sebab, pesantren tidak dapat melepaskan
diri dari perubahan-perubahan itu.
Dalam kondisi seperti ini, sosok Abdurrahman Wahid
sebagai tokoh intelektual Islam Indonesia tetap optimis bahwa
pesantren dengan ciri-ciri dasarnya mempunyai potensi yang luas
untuk melakukan pemberdayaan masyarakat, terutama pada
kaum tertindas dan terpinggirkan. Bahkan dengan kemampuan
fleksibilitasnya, pesantren dapat mengambil peran secara signifikan,
bukan saja dalam wacana keagamaan, tetapi juga dalam setting
sosial budaya, bahkan politik dan ideologi negara, sekalipun.83 Hal
475

ini diakui Martin Van Bruinenssen, bahwa kaum tradisional termasuk


pesantren, di beberapa negara berkembang tidak dipandang sebagai
kelompok yang resitensi dan mengancam modernisasi.84476
Istilah yang digunakan Abdurrahman Wahid dalam perubahan
pesantren adalah dinamisasi. Hal ini sangat diperlukan dalam dunia
pendidikan pesantren.Yang dimaksud dengan dinamisasi dalam
perspektif Abdurrahman Wahid adalah mencakup dua buah proses
yaitu penggalakan kembali nilai-nilai hidup positif yang telah ada
dan pergantian nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru yang dianggap
lebih sempurna. Proses pergantian nilai-nilai inilah yang disebut
dengan modernisasi.85 Dinamisasi mengandung banyak istilah,
477

pergulatan pemikiran dan sikap cukup alot. Apalagi bagi seorang kiai yang nota bene
sikap kehati-hatiannya sangat tinggi dalam memberikan tanggapan atau respon terhadap
berbagai gejolak sosial yang ada dalam masyarakat. Merekalah yang bertanggung jawab
terhadap kesejahteraan dan keselamatan masyarakat pedesaan khususnya baik di dunia
dan di akhirat. Abuddin Nata (ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga
Pendidikan Islam di Indonesia, h. 154.
475 83Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta, LKiS, 2001.
476 84 Pengantar LKiS dalam Martin Van Bruinenssen, NU; Tradisi Relasi-relasi Kuasa, Pencarian
Wacana Baru, Yogyakarta, LKiS , 1994, h. vi.
477 85 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, h. 38.

201
Dr. Samsul Bahri, MA.

ia seringkali diartikan dengan perubahan ke arah penyempurnaan


dengan menggunakan sistem dan perangkat (tradisi) dalam dunia
pendidikan pesantren.
Kekacauan, ketidak menentuan dan pergolakan pesantren saat
ini menurut Abdurrahman Wahid berasal dari dua wilayah. Pertama,
sebagai refleksi dari kekacauan yang umum terjadi di masyarakat
Indonesia yang tengah mengalami masa transisi. Kedua, munculnya
kesadaran bahwa kapasitas pesantren dalam menghadapi tantangan-
tantangan modernitas hampir tidak memadai, unsur-unsur
strukturalnya mandek dan tidak mampu menanggapi perubahan.86
478

Karena itu, akibat dari kerawanan pesantren menurut Abdurrahman


Wahid melahirkan dua reaksi:87 pertama, berbentuk menutup diri
479

dari perkembangan umum masyarakat luar, terutama dari kegiatan


yang mengancam kemurnian kehidupan beragama.88 Reaksi
480

kedua, justru mempergiat proses penciptaan solidaritas (solidarity


making) yang kuat antara pesantren dan masyarakat.89481
Kedua reaksi ini telah menunjukkan dengan nyata bahwa
pesantren tidak memiliki pimpinan yang efektif yang diduduki
bersama oleh semua pihak. Nihilnya tokoh yang dapat dijadikan
sebagai panutan, selain faktor polarisasi sosio-politis yang melanda
umat Islam dan watak kepemimpinan pesantren yang memang

478 86 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 372.


479 87 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, h. 40.
480 88 Reaksi ini ditandai dengan isolasi yang dilakukan begitu rupa, sehingga pertukaran
pikiran berarti dengan dunia luar, praktis terhenti sama sekali. Pesantren yang memilih
reaksi semacam ini, lalu tenggelam dalam impian kejayaan masa lampau, serta dalam
kegiatan memaksakan ukuran-ukuran masa lampau itu kepada masyarakat. Di antara
kegiatan ini adalah penumbuhan mitos-mitos kekeramatan sementara pemimpin
pesantren dijadikan sebagai wali.
481 89 Untuk penggalakan proses ini disertai pula dengan sikap menonjolkan hal-hal yang
modern secara lahiriah. Tekhnik dan cara-cara memodernisasi diri dikembangkan
sedemikian rupa, sehingga tidak dapat dihindari kesan adanya snobisme di sementara
kalangan pesantren. Salah satu contohnya adalah adaptasi wajah kultural modern dalam
bentuk rangkaian upacara besar-besaran yang tidak kunjung habis. Dana yang memang
sudah sangat terbatas, ternyata tidak dipergunakan secara bijaksana, melainkan untuk
kegiatan-kegiatan yang oleh sebagian orang dinamai penguasaan mikropon.

202
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

bertopang pada kekuatan moral (bukan bertopang pada kemampuan


berorganisasi), adalah sebab pokok dari ketiadaan pemimpin yang
efektif. Dengan demikian, yang ditunggu Abdurrahman Wahid
adalah komitmen mencari jalan tengah, yang mengimbangi tradisi
agama dengan tuntutan praktis di saat menanggapi modernitas dan
kemajuan.
Abdurrahman Wahid, menjelaskan bahwa dalam modernisasi
dan dinamisasi pesantren perlu mengambil langkah-langkah
untuk pengembangan pesantren. Langkah-langkah tersebut antara
lain: Pertama, perbaikan keadaan di pesantren yang sebenarnya
bergantung pada kelangsungan proses regenerasi sehat dalam
kepemimpinan.90482
Kedua, persyaratan utama bagi suatu proses dinamisasi
sangat luas ruang lingkupnya seperti rekonstruksi bahan-
bahan pengajaran ilmu-ilmu agama dalam skala-skala besar-
besaran. Baik kitab-kitab kuno maupun buku pengajaran modern
ala Mahmud Yunus dan Hasbi ash-Shiddieqi, telah kehabisan
daya dorong untuk mengembangkan rasa kesejahteraan (sense
of belonging) dalam beragama.91483 Dengan kata lain bahwa
kitab-kitab klasik sudah tidak relevan lagi untuk dikaji. Karena
itu, santri dari tingkatan dasar hingga perguruan tinggi disodorkan
dengan muatan kaidah-kaidah yang sudah tidak mampu mereka
cerna lagi. Hal inilah yang direorientasi atau rekonstruksi semua
sistem pendidikan dunia pesantren yang tidak relevan, dengan
tidak meninggalkan pokok-pokok ajaran agama yang kita

482 90 Yang dimaksud dengan regenerasi pimpinan yang berlangsung dengan sehat adalah
pergantian pemimpin secara bertahap dan teratur, yang memungkinkan penumbuhan
nilai-nilai baru dalam pesantren secara konstan. Pimpinan muda di pesantren bilamana
disertakan dalam proses memimpin secara berangsur-angsur akan mampu menciptakan
perpaduan antara kebutuhan praktis akan kemajuan (terutama material) dan antara tradisi
keagamaan yang mereka warisi dari generasi sebelumnya. Yang menjadi persoalan penting
sekarang ini adalah bagaimana menyertakan pemimpin-pemimpin muda pesantren
dalam forum-forum semacam ini secara tetap.
483 91 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, h. 46-47.

203
Dr. Samsul Bahri, MA.

warisi selama ini. Tradisionalisme yang matang adalah jauh lebih


baik dari sikap pseudo modernisme yang dangkal.
Pendapat di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan pesantren
masa depan adalah dengan tetap memakai tradisinya sendiri,
baik wacana keilmuan maupun kehidupan agama mereka. Hal
ini disebabkan berlangsungnya khazanah baru yang sangat
terkait dengan tradisi sebelumnya. Permasalahannya, seberapa
jauh memanfaatkan tradisi pesantren untuk menggali khazanah
kehidupan baru di luar pesantren.
Abdurrahman Wahid memakai konsep dinamisasi bukan
sekedar proses yang canggih dan hebat, yang bukan hanya memetik
kebenaran abadi dan unsur-unsur penting dari ajaran tradisional,
sehingga Islam tradisional tidak pernah menjadi statis. Dengan kata
lain, dinamisasi bukan sebagai tanggapan terhadap tekanan- tekanan
modernisme, melainkan ekspresi terbaik dari Islam tradisional yang
adaptif dan fleksibel._ Dalam hal ini, pesantren mampu mengatasi
problem internal dan eksternalnya, sehingga tetap eksis di masa
mendatang. Dalam hal ini, masih relevan untuk mengemukakan
pemikiran Ramzi_ yang menawarkan tiga langkah untuk ditempuh
pesantren dalam menghadapi modernisasi: Pertama, dampak positif
dari modernisasi yang berupa pengembangan peran rasionalitas
dan diadakannya kreatifitas baru yang lebih dinamis dan produktif
mestinya dipandang sebagai nilai- nilai yang sah diakomodir
ke dalam pesantren. Kedua, hierarki kepemimpinan pesantren
direnovasi menjadi kepemimpinan yang dialogis, demokratis
dan aspiratif, agar kesenjangan masyarakat dan pesantren dapat
dihindarkan. Ketiga, sikap qana’ah tidak mesti menimbulkan sikap
fatalistik. Maka seorang kiai di masa depan adalah kiai yang moral
dan kapasitas ilmunya tidak diragukan lagi dan secara material ia
adalah orang yang mampu mengembangkan dan memberdayakan
potensi pesantren.

204
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Pemikiran di atas dapat dipahami bahwa agenda pembenahan


ini, terwujud dan lebih menjanjikan karena mampu memadukan
nilai-nilai religius, sekaligus menginternalisasikannya pada setiap
insan pembangun dengan nilai-nilai teknologi modern. Jika hal ini
tidak dibenahi, maka lembaga pendidikan pesantren akan tetap
pada status quo yang dijadikan sebagai tempat pengkajian ilmu-ilmu
ke Islaman semata, serta tempat pencetakan manusia-manusia yang
akan mendapat label ulama/kiai.
Dengan demikian, kebebasan membentuk model pesantren
merupakan keniscayaan, asal tidak terlepas dari bingkai al-ashlah (lebih
baik). Begitu pula, ketika dunia pesantren mengadakan rekonstruksi dari
kemajuan dunia modern, maka aspek al-ashlah menjadi kata kunci yang
dipegang. Melihat hal ini, maka pesantren modern berarti pesantren yang
selalu tanggap terhadap perubahan dan tuntunan zaman, berwawasan
masa depan, selalu mengutamakan prinsip efektifitas dan efesiensi. _
Karena itu, menurut Abdurrahman Wahid modernisasi pendidikan
pesantren, pesantren bisa melihat gejala sosial masyarakat, sehingga
pesantren menjadi pusat pengembangan masyarakat. Hal ini
dapat dilakukan dengan dua cara: pertama, mengarahkan semua
perubahan yang dilakukan pada tujuan mengintegrasikan pesantren
sebagai sistem pendidikan ke dalam pola umum pendidikan
nasional yang membangun dan kreatif. Kedua, meletakkan fungsi
kemasyarakatan dalam konteks/kerangka menumbuhkan lembaga-
lembaga pemerintahan (LNP sebagai pengganti NGO yang menjadi
kependekan dari Non-Governmental Organization) yang kuat
dan matang di pedesaan sehingga mampu menjadi rekan yang
sesungguhnya bagi pemerintah dalam kerja-kerja pembangunan.94
484

Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa Abdurrahman


Wahid menginginkan pesantren bukan hanya sebagai tempat dalam
bidang keagamaan, tetapi juga harus menyumbangkan sesuatu
dengan menyediakan sistem nilai dan kerangka moral pada individu
484 94 Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, h. 129.

205
Dr. Samsul Bahri, MA.

dan masyarakat. Sehingga dapat menjadikan pesantren sebagai


pendidikan untuk hidup. Karena itu tradisi pendidikan pesantren
mempunyai potensi yang cukup kuat dalam mewujudkan masyarakat
sipil (civil society).95485
Tradisi pendidikan pesantren yang memasyarakat, merupakan
modal yang amat berharga bagi pengembangan pendidikan yang
lebih humanis. Di samping itu, tradisi pendidikan pesantren yang
terbukti sangat ampuh sebagai benteng kultural dan agama untuk
menyelamatkan generasi muda muslim dari proses brain washing
nilai-nilai keislaman yang terjadi dalam porses pendidikan tinggi
umum.97486
Selanjutnya tradisi pendidikan pesantren mempunyai
keterikatan dan keakraban dengan masyarakat lingkungannya
dalam konteks pembentukan perguruan tinggi di pesantren yang
dapat menciptakan suatu proses pendidikan yang melibatkan
masyarakat.98 Dengan memakai istilah Abuddin Nata pendidikan
487

berbasis masyarakat.99
488
Dengan demikian terciptalah suatu
masyarakat belajar yang turut urun rembug dalam proses pendidikan
yang berlangsung.
Di samping itu, pesantren dalam merespon modernisasi,
menyediakan pedoman spritual pada masyarakat yaitu: pendidikan
pesantren menegakkan relevansi agama dengan modernisasi,
artinya agama tidak cukup hanya dimanifestasikan dalam
rangkaian upacara-upacara keagamaan, akan tetapi pesantren
akan merumuskan kembali kerja-kerja keagamaan yang patut
dilakukan.100489
485 95 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, h. 132.
486 97Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta, Logos Wacana
Ilmu, 1998, h. 107.
487 98 Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, h. 108.
488 99 Abuddin Nata, “Pendidikan Berbasis Masyarakat dalam Persfektif Islam”, dalam Jurnal
Jauhar, Jurnal Pemikiran Islam Kontekstual, Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah, 2001, Vol. 2 No.
2.
489 100 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 350.

206
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Pemikiran di atas dapat dipahami bahwa pendidikan pesantren


tidak hanya berada pada tataran konsep berupa ritual-ritual
ajaran agama saja, tetapi dunia pendidikan pesantren akan berani
merumuskan bengkel-bengkel keagamaan dalam kehidupan
masyarakat. Dengan kata lain pendidikan pesantren mampu berada
dalam bentuk praksis di tengah kehidupan masyarakat dan bangsa
Indonesia.
Pesantren akan tetap sebagai lembaga pendidikan alternatif
tetapi memerlukan aplikasi dan kajian serta pengembangan
yang berkesinambungan sesuai dengan perubahan dan
perkembangan zaman. Untuk itu, metodologi atau pendekatan
studi Islam dan keilmuan yang digunakan pesantren tidak hanya
mempertimbangkan dalam bahasa M. Amin Abdullah normatifitas,
tetapi juga historisitas.101490
Reformasi keilmuan pesantren membutuhkan waktu yang
panjang dan kesungguhan, kesabaran, serta ketangguhan secara
terus menerus dalam mengikuti perkembangan zaman. Karena
itu, menurut Abdurrahman Wahid, pesantren dengan mendirikan
sekolah umum di lingkungannya102 sehingga pesantren tidak
491

hanya mencetak para ulama atau kiai yang ahli agama belaka tetapi
juga mampu melahirkan ahli agama yang tidak miskin dengan ilmu
umum.
Abdurrahman Wahid menjelaskan bahwa ada dua keuntungan
jika pesantren mendirikan sekolah umum103 : Pertama, mayoritas
492

masyarakat pesantren yang tidak belajar madrasah, akan dapat

490 101 Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Bandung, Mizan, 2000, h. 27-29.
491 102 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, h. 50.
492 103 Ada dua alasan utama yang sering diajukan untuk membenarkan sikap menolak
sekolah umum. Alasan pertama, sekolah umum tidak sesuai dengan tujuan keagamaan
yang dimiliki pesantren. Sedangkan alasan kedua, adalah ketidak mampuan pesantren
mengelola sekolah umum. Karena itu menurut Abdurrahman Wahid kedua sebab ini
ditunjang pula oleh ekskluvitas Departemn agama sebagai klien pssantren ini, selain
hampir-hampir tidak adanya hubungan dengan Depertemen P&K dari jenjang teratas
hingga ke aparat terbawah.

207
Dr. Samsul Bahri, MA.

diserap oleh sekolah umum itu. Kedua, mereka yang selama


ini berada di persimpangan jalan antara sekolah umum atau
mempelajari ilmu agama di pesantren akan terdorong untuk
memasuki pendidikan pesantren dan sekaligus memasuki sekolah
umum di lingkungan pendidikan pesantren.104493
Lebih lanjut, Abdurrahman Wahid menjelaskan bahwa
keberatan tersebut dapat diatasi dengan menunjukkan kenyataan
bahwa dalam sistem pendidikan agama yang paling eksklusif
sekalipun, tidak semua siswanya dapat di cetak menjadi ulama/ahli
agama. Oleh karena itu, apa salahnya dunia pendidikan pesantren
menerima sekolah umum dalam lingkungannya? Kepada siswa
sekolah umum itu dapat diberikan pendidikan agama sebagai
kegiatan ekstra kurikuler yang diatur berjenjang, sesuai dengan
sekolah umum yang mereka lalui. Sedangkan bagi mereka yang
berkeinginan untuk menjadi ulama, masih terbuka kesempatan
untuk sepenuhnya mempelajari ilmu-ilmu agama, baik dalam
bentuk pendidikan formal di madrasah maupun dalam bentuk
pengajian sebagai pendidikan non formal. Dengan memberikan
kesempatan kepada calon-calon ulama untuk mengejar cita-cita,
selain memberikan kesempatan kepada para siswa yang belajar
di sekolah umum untuk belajar, menurut bakat masing- masing,
pesantren dapat membantu mengisi kurangnya wadah pendidikan
formal bagi generasi muda kita.
Keberatan selanjutnya adalah hasil rendah diri di kalangan
pesantren sendiri, yakni suatu sikap jiwa yang tidak berdasarkan sama
sekali. Atau dengan kata lain tidak mempunyai landasan untuk tidak
melakukan sistem pendidikan sekolah umum dalam lingkungan
pesantren. Gagasan Abdurrahman Wahid di atas, nampak jelas
bahwa santri yang diinginkan dan dilahirkan dalam rahim
pendidikan pesantren adalah santri yang memiliki ilmu agama
yang kuat, tetapi tidak miskin pada pengetahuan ilmu-ilmu
493 104 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, h. 50.

208
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

umum. Untuk itu, pesantren di samping mencetak ulama/kiai, juga


mampu melahirkan santri yang ahli dalam bidang iptek, seperti
ahli komputer, fisika, pertanian, perkebunan dan lain-lain. Dan
Suwito memakai istilah, yaitu untuk terciptanya integrasi ilmu-
ilmu yang bersumber pada ayat- ayat qur’aniyyah dan ilmu-ilmu
yang bersumber ayat-ayat kauniyyah. Ilmu-ilmu yang bersumber dari
ayat-ayat qur’aniyyah disebut ilmu agama dan ilmu yang bersumber
dari ayat-ayat kauniyyah disebut ilmu umum.105 Usaha untuk
494

membekali santri dengan berbagai bidang keilmuan tersebut di atas


yang diterapkan di pesantren sesuai dengan firman Allah Swt yang
menginginkan agar generasi Islam tangguh dan tidak lemah.
َ ُ َ ً ً َّ ُ ْ َ ُ َ َ َ َّ َ ْ َ ْ َ
‫ض َعافا خافوا َعليْ ِه ْم‬
ِ ‫ِين ل ْو ت َركوا م ِْن خلفِ ِه ْم ذ ّرِية‬ ‫ولخش ال‬
ً ‫الل َو ْلَ ُقولُوا قَ ْو ًل َسد‬
‫ِيدا‬ َ َّ ‫فَلْ َي َّت ُقوا‬
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak (generasi)
yang lemah yang mereka khawatirkan terhadap kesejahteraan
mereka. (QS an-Nisa: 9).
Dengan demikian, gagasan-gagasan tentang pembaharuan
pesantren harus dapat direkonstruksi baik tujuan, kurikulum
maupun prinsip-prinsip pendidikan pesantren. Atau memakai
istilah Jacques Derrida mendekonstrusikan, aspek-aspek
ontologis, epistimologi dan aksiologi ilmu pengetahuan modern.106
495

Maka pesantren akan mampu mengkonstruksikan satu bentuk


modernitas yang lain dengan desain bukan untuk kepentingan
umat Islam saja tapi juga untuk suatu peradaban yang inklusif,
yang berpusat pada manusia. Hingga pada gilirannya melahirkan

494 105 Makalah seminar sambutan atas nama Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada
acara Workshop, “Kurikulum berbasis kompetensi”, pada Program Studi Agribisnis
Fakultas Sains dan Teknologi, Jakarta, 17 April 2003, h. 1
495 106 Moeflich Hasbullah (ed), Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jakarta,
Cidesindo, 2000, h. xl.

209
Dr. Samsul Bahri, MA.

suatu peradaban yang orisinal, di mana prestasi material peradaban


modern bergandengan tangan dengan indahnya moralitas dan
sejuknya spritual. Selanjutnya gagasan-gagasan Abdurrahman
Wahid tentang modernisasi pendidikan pesantren dapat dijelaskan
selanjutnya.
Secara sederhana beliau menjelaskan sebagai berikuat:
a) Historical Content
Setiap Pendidik hendaknya menjelaskan sejarah lahir dan
perkembangan ilmu yang sedang dipelajari sejak awal pertumbuhan
sampai sekarang.
b) Theorical Content
Hal ini masih terkait dengan yang di atas pendidik harus dapat
menampilkan teori-teori yang pernah dikemukakan oleh para ahli
dari masa ke masa. Dengan demikian akan merangsang para peserta
didik untuk memperdalam ilmu tersebut. Dan bahkan memiliki
keberanian untuk mengembangkan agar memperoleh hal yang baru.
c) Practical Conten
Setiap bidang ilmu juga perlu penjelasan dari sisi kegunaan
praktisnya untuk kepentingan kehidupan. Dengan cara ini
diharapkan para peserta didik dapat mengambil manfaatnya setelah
mempelajari bidang studi tersebut.
d) Case Content
Masih terkait dengan butir c di atas, setiap bidang ilmu perlu
dijelaskan pula beberapa studi kasus yang terkait dengan ilmu
tersebut. Dengan demikian setiap pendidik mampu memberikan
contoh kasus dalam kaitan manfaat praktis suatu bidang ilmu.
e) Science and Tecnologi Content
Banyak ayat al-Qur’an yang memerlukan penjelasan dan sisi
sains dan teknologi, bukan hanya sisi bahasa dan sastra Arab, ushul
fiqh, tajwid atau ilmu yang selama ini dikenal sebagai ilmu agama.

210
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Selain akan menjadi lebih jelas, pendekatan secara sains dan


teknologi dalam menjelaskan ayat-ayat al- Qur’an dan Hadis akan
lebih memperkuat keyakinan untuk berislam dan mengembangkan
ilmu pengetahuan.
d) Islamic Content
Atas dasar keyakinan bahwa semua ilmu dan lainnya yang ada
dialam ini berasal dari Yang Maha Satu, maka antara ilmu yang
sekarang dikenal sebagai ilmu agama tak mungkin bertentangan
dengan ilmu yang kini diyakini dengan ilmu umum.

Kurikulum Pendidikan Pesantren


Salah satu aspek yang perlu direkonstruksi sistem pendidikan
pesantren adalah kurikulum.107
496
Kurikulum yang berkembang
di dunia pesantren selama ini, menurut Abdurrahman Wahid
dapat diringkas ke dalam 3 pokok: pertama, kurikulum yang
bertujuan untuk mencetak ulama di kemudian hari; Kedua,
struktur dasar kurikulumnya adalah pengajaran pengetahuan
agama dalam segenap tingkatan dan pemberian dalam bentuk
bimbingan kepada santri secara pribadi oleh kiai/guru dan ketiga,
secara keseluruhan kurikulum yang ada berwatak lentur/fleksibel,
dalam artian setiap santri berkesempatan menyusun kurikulumnya
sendiri sepenuhnya atau sebagian sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya.108
497
Kurikulum sistem pendidikan pesantren
yang diwakili oleh kitab kuning, hanya lebih menekankan pada
bidang fiqh, teologi, tasawuf, dan bahasa. Fiqh biasanya hanya
terbatas pada mazhab Syafi’i dan kurang memberikan alternatif
pada mazhab-mazhab lain. Bahkan didefinisikan oleh para ulama
terlalu sempit. Pada umumnya fiqh diartikan sebagai kumpulan
496 107 Kurikulum secara fungsional dapat diartikan sebagai manhaj atau serangkaian
dan media yang diharakan, dan memiliki beberapa prinsip mewujudkan prinsip sebagai
berikut; berorientasi pada tujuan, terdapat relevansi yang sinergis, efektif, efesiensi,
fleksibilitas, integritas, kontiunitas, sinkronisme, obyektivisme, demokrasi dan analisis. S.
Nasution, Asas-asas Kurikulum, Jakarta, Bumi Aksara, 1995, Cet 2, h. 9.
497 108 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, h. 109.

211
Dr. Samsul Bahri, MA.

hukum amaliah yang disyariatkan Islam, yang penekanannya


sangat berlebihan dan mendalam.109498
Kajian fiqh yang hanya menganut salah satu mazhab
berakibat membelenggu kreativitas berfikir dan membuat
sempit pemahaman atas elastisitas hukum. Mazhab Syafi’i juga
memberikan peluang yang minim kepada penjelasan kepada
wawasan rasional. Peranan rasio dalam mengambil kesimpulan
hukum, legalitas formal yang bersumber dari ajaran dasar kurang
diberdayakan. Karena itu, untuk aspek ini pun tampaknya penting
melebarkan wacana fiqh lintas mazhab.110499
Melihat pemikiran di atas, nampaknya pendidikan
pesantren yang mereka inginkan adalah terintegrasinya keilmuan;
antara ilmu agama dan ilmu umum. Dengan kata lain, penerapan
kurikulum dalam pesantren dengan keseimbangan atau chek and
balance. Hanya saja, menurut Abdurrahman Wahid111
500
pola
tersebut, dengan terintegritasinya komponen agama dan non
agama dalam kurikulum pesantren selama beberapa tahun belum
memperoleh hasil. Malah porsi ilmu agama semakin lama sangat
menurun, sehingga melahirkan mentahnya lulusan yang dihasilkan
oleh pesantren, tidak menjadi agamawan yang berpengetahuan
agama mendalam dan juga tidak menjadi ilmuwan non agama yang
cukup tinggi kualitasnya. Yang terjadi adalah pembauran (akulturasi)
yang tidak memperlihatkan identitas yang jelas.
Menghadapi kenyataan di atas, Abdurrahman Wahid
menjelaskan bahwa sebagian pimpinan pesantren-pesantren utama
cenderung untuk kembali pada cara salaf, dengan penekanan
498 109 Sebagai buktinya menurut beliau adalah pesantren-pesantren pedalaman terhadap
kitab fiqh melalui kitab kuning biasanya berupa tradisi syarah dan hasyasiyah. Yang diawali
dari Matn al-Tarqrib, yaitu kitab fiqh yang paling standar di pesantren-pesantren. Matan itu
diberi syar dalam kitab Fath al- Qarib, juga sangat standar di pesantren, dan akhirnya diberi
hasyiyah dalam kitab al-Bajuri, sebuah kitab yang boleh dipandang cukup tinggi. Nurcholish
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, h. 8.
499 110 Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, h. 121-122.
500 111 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, h. 136.

212
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

pada porsi ilmu agama, sehingga ilmu umum (non agama)


dalam kurikulumnya nyaris tidak terpakai lagi. Hal ini sangat
membahayakan dunia pendidikan pesantren dan lulusannya,
sebab modernisasi adalah sebuah kebutuhan yang harus dihadapi
para santri di masa depan. Kesalahan-kesalahan dasar dalam
pengembangan komponen ilmu non agama dalam kurikulum
pendidikan pesantren selama ini, hingga tidak mampu
mendorong menjadi agamawan, bukan memperbaikinya dengan
membuang ilmu non agama, karena tantangan masa depan
tidak hilang hanya dengan cara tersebut. Di masa mendatang
manusia dituntut memiliki bekal rohani yang kuat dan juga sangat
ditentukan oleh penguasaan Iptek.112501
Abdurrahman Wahid menjelaskan ada beberapa kelemahan
dasar dalam upaya pengembangan komponen non agama dalam
pesantren.113 Kelemahan pertama,
502
kurikulum pendidikan
adalah sifat upaya itu sendiri, yang lebih banyak ditekankan pada
pengembangan intelektualisme verbalistik yang penuh dengan
teori tapi tak mampu memecahkan persoalan-persoalan praktis
yang terjadi di depan mata. Kedua, penanganan kurikulum
dan komponen-komponennya secara sepotong-potong, tidak
menggunakan pendekatan menyeluruh yang bersifat multidisipliner
(yang terbukti antara lain dalam pemisahan antara pengetahuan-
pengetahuan sosial ekonomi, budaya dan pengetahuan alam). Ketiga,
belum tercapainya kesatuan yang utuh dan bulat antara komponen-
komponen agama dan non agama.
Kelemahan-kelemahan dasar itu justru menimbulkan
kebutuhan dan pengembangan pendidikan pesantren, setidak-
tidaknya dalam kurikulum yang digunakan. Pesantren dapat
menyediakan tenaga-tenaga terdidik yang sesuai dengan lapangan
kerja masyarakat modern. Dengan kata lain menurut Abdurrahman
501 112 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, h. 137.
502 113 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, h. 137.

213
Dr. Samsul Bahri, MA.

Wahid, dunia pendidikan pesantren bersedia membuka diri bagi


pendidikan yang menjurus dalam hubungannya dengan penyediaan
angkatan kerja.114 Hal ini diajukan Indra Djati Sidi dalam istilah
503

creative Curriculum artinya kurikulum pendidikan masa depan


dikembangkan berdasarkan kompotensi dasar.115504
Selanjutnya kurikukulum yang memiliki kesesuaian dan
keterkaitan (link and match) dengan kebutuhan lapangan kerja,
baik dalam bidang jasa maupun perdagangan dan keahlian
lainnya, yang memberikan masukan bagi kalangan pendidikan,
tentang keahlian apa yang sesungguhnya dibutuhkan lapangan
kerja. Selanjutnya, karena berbagai keahlian dan pekerjaan dalam
era globalisasi yang begitu cepat dan dinamis, maka kurikulum pun
disesuaikan dengan dinamis dan progresif.116505
Abdurrahman Wahid menjelaskan kurikulum pendidikan
pesantren dengan melihat kebutuhan yang sesuai dengan
kebutuhan santri atau santri, sehingga lembaga pesantren mampu
memenuhi tuntutan dan kebutuhan penyediaan angkatan
kerja dalam kehidupan modern. Penyediaan tenaga terampil
dan terlatih untuk berbagai jenis profesi disesuaikan dengan
tujuan dan fungsi pesantren. Karena itu, Abdurrahman Wahid
menawarkan model kurikulum pendidikan pesantren dengan
pembakuan yang artinya menciptakan model penyederhanaan
kurikulum yang memungkinkan lembaga pendidikan pesantren

503 114 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, h. 109-110.


504 115 Dalam konsep ini, kurikulum disusun berdasarkan kemampuan dasar minimal
yang harus dikuasai seorang peserta didik setelah yang bersangkutan menyelesaikan satu
unit pelajaran, satu satuan waktu dan satu satuan pendidikan. Dengan demikian, seorang
peserta didik belum melanjutkan pelajaran ke unit atau satuan pendidikan berikutnya
sebelum yang bersangkutan menguasai unit pelajaran yang persyaratkan. Kurikulum
berdasarkan kompetensi ini diharapkan dapat menjamin tercapainya standar kualitas
tamatan lembaga pendidikan tertentu, yang selama ini menjadi masalah nasional di
bidang pendidikan. Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru
Pendidikan, Jakarta, Paramadina, 2001, h. 15.
505 116 Abuddin Nata, “Pendidikan Islam di Indonesia Tantangan dan Peluang”, h. 48.

214
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

menyelenggarakannya.506 Dalam artian muatan kurikulum tidak


terlalu banyak dibebankan pada santri.
Beberapa ketentuan dijadikan batasan dalam penyusunan
model-model kurikulum. Karena itu, Abdurrahman Wahid
mengajukan tawaran kurikulum pendidikan pesantren yaitu:
Pertama, ketentuan untuk menghindarkan pengulangan
(‘adamuttikrar), sepanjang tidak dimaksudkan untuk pendalaman
(ta’ammuqi) dan penjenjangan (tadarruj). Dengan demikian,
dapat terhindarkan dari pemborosan waktu. Ketentuan kedua,
pemberian tekanan pada latihan (tamrinat), karena buku yang
dipakai diusahakan yang seringkas mungkin dalam ilmu-ilmu alat.
Ketiga, tidak dapat dihindari adanya lompatan-lompatan yang
tidak berurutan dalam penetapan buku-buku wajib (kutub al-
muqarrarah) selama masa pendidikan dari tahun ke tahun.118507
Dengan demikian, gagasan dengan menyederhanakan
kurikulum, sehingga dapat dikembangkan kurikulum menjadi lebih
lengkap dan bulat yang mampu menampung komponen pendidikan
non agama, tanpa adanya kekhawatiran penurunan tingkatan atau
nilai pendidikan agama di pondok pesantren.
Bahkan Abdurrahman Wahid menjelaskan bahwa model
kurikulum yang disederhanakan di samping merupakan jalan
untuk menerima komponen-komponen pendidikan ilmu-ilmu
umum, juga yang terpenting adalah tidak mengorbankan tujuan
menciptakan santri yang memiliki pengetahuan dasar agama yang
bulat dan cukup.119508

506 117 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, h. 120.


507 118 Sebagai contoh, dari Al-Jurumiyah di tahun pertama, melalui al-Amrithi di tahun kedua,
dan disudahi dengan Alfiyah untuk nahwu ditahun ke tiga. Seperti yang tercantum pada
pesantren Tegal Rejo di Magelang tanpa menggunakan al-Mutammimah dan kitab-kitab
pertengahan lainnya yang sejenis. Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai
Pesantren, h. 121-122
508 119 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, h. 124.

215
Dr. Samsul Bahri, MA.

Pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa kurikulum pendidikan


pesantren yang digagas Abdurrahman Wahid tidak menghendaki
adanya dikotomi ilmu pengetahuan antara ilmu agama dan non
agama. Hanya saja, penguasaan pengetahuan agama haruslah diberi
porsi cukup besar dalam kurikulum pendidikan pesantren. Porsi itu
dapat diberikan dalam ukuran besar secara kualitatif, walaupun
sedikit secara kuantitatif. Dengan kata lain, modernisasi kurikulum
pendidikan pesantren tetap pada jati diri khas. Sebab itulah yang
sungguhnya yang dimiliki oleh lembaga pendidikan pesantren. Hal ini
tentunya semua berpulang kepada pengelola atau pengasuh pondok
pesantren, serta kreativitasnya, rasa percaya diri dan tanggung jawab
masyarakat pendukung pesantren secara menyeluruh.
Adapun metode pengajaran di lembaga pendidikan
pesantren menurut Abdurrahman Wahid lebih banyak bersifat
doktriner.120
509
Artinya terjadi kedangkalan tata nilai, sehingga
hanya perbuatan-perbuatan lahirya belaka yang harus dinilai.
Sehingga mengakibatkan kesetiaan seorang santri kepada pesantren
tempat ia belajar, ketidak mampuan seorang kiai untuk meneima
argumentasi pihak luar dalam suatu kontroversi dan sikap angkuh
sebagian santri, verbalisme yang sangat kaku serta formalisme
dalam menilai suatu perbuatan.
Abdurrhman Wahid menjelaskan bahwa tata nilai yang
terlalu menekankan pekerjaan praktik ini, cenderung menghasilkan
santri atau santri yang hanya tunduk, taat tanpa memperhatikan
keduniawian. Hal ini akan menyebabkan santri akan bersifat
menerima begitu saja apa yang diajarkan oleh pendidik, bahkan
kerja ritual lebih utama daripada penyuluhan administratif.121 Jadi
510

menurut Abdurrahman Wahid perlu adanya kemauan pesantren


untuk melakukan inovasi yang sesuai dengan perkembangan
modern, walaupun masih terbatas pada soal-soal non-ritual dan
509 120 Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, h. 28-9.
510 121 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, h. 22.

216
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

non-konsepsional seperti pada dalam bidang administrasi dan lain-


lain.122511
Jika Analisis maksud Abdurrahman Wahid dengan istilah
dinamisasi pesantren adalah kesediaan dunia pendidikan pesantren
sebagai lembaga pendidikan masa depan untuk senantiasa
melakukan terobosan dan mereproduksi makna-makna baru dalam
berbagai bidang yang sesuai dengan kondisi sekarang dan yang akan
datang.

Tujuan Pendidikan Pesantren


Tujuan pendidikan Islam secara umum bisa dipahami dari
firman Allah yang berbunyi;

‫ِب‬ َ َّ ‫اس َو َل َت ْم ِش ف ْالَ ْر ِض َم َر ًحا ۖ إ َّن‬


ُّ ‫الل َل ُي‬ ِ َّ ‫َو َل تُ َص ّع ْر َخ َّد َك ل‬
‫ِلن‬ ِ
ِ ِ
ُ َ َ ْ ُ َّ ُ
‫ور‬
ٍ ‫ال ف‬
‫خ‬ ٍ ‫ك مت‬
Artinya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari diri
manusia (dengan sombong) dan janganlah kamu berjalan
di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
(QS. Lukman: 18)
Berdasarkan ayat tersebut bahwa tujuan pendidikan Islam
cakupannya sangat luas baik secara material maupun secara spritual
atau dengan kata lain mencakup semua aspek kehidupan manusia
baik di dunia maupun di akhirat. Demikian halnya dengan tujuan
pendidikan pesantren juga mencakup kehidupan duniawi dan
akhirat.
Abdurrahman Wahid menjelaskan bahwa kepemimpinan
kharismatik diperlukan pada tahap-tahap perkembangan, tetapi
pada tahap selanjutnya banyak kerugian yang ditimbulkannya, antara
lain123512: kerugian pertama, adalah munculnya ketidakpastian
511 122 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, h. 22.
512 123 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, h. 134-135.

217
Dr. Samsul Bahri, MA.

dalam perkembangan pesantren yang bersangkutan, karena semua


hal bergantung pada keputusan pribadi sang pemimpin. Kedua,
sulitnya keadaan bagi tenaga-tenaga pembantu (termasuk
calon pengganti yang kreatif) untuk mencoba pola-pola
pengembangan yang sekiranya belum diterima oleh kepemimpinan
yang ada.
Ketiga, pola pergantian pemimpin berlangsung secara
tiba-tiba dan tidak direncanakan, sehingga lebih banyak ditandai
sebab-sebab alami seperti meninggalnya sang pemimpin secara
mendadak. Keempat, terjadinya pembauran dalam tingkat- tingkat
kepemimpinan di pesantren, antara tingkat lokal, regional dan
nasional. Nurcholish Madjid juga menambahkan bahwa kerugian
yang dialami pesantren terhadap kepemimpinan kharismatik
yang mempunyai keterbatasan dan kekurangan. Salah satu bentuk
kekurangannya adalah tercermin dalam kemampuan mengadakan
responsi pada perkembangan-perkembangan masyarakat.124513
Semua kerugian di atas, menurut Abdurrahman Wahid tidak
berarti dengan menghilangkan kepemimpinan kharismatik yang
sudah berabad-abad berjalan di pesantren, melainkan menuntut
penerapan pola kepemimpinan yang lebih dipersiapkan dan
direncanakan sebelumnya.125 Dengan kata lain diperlukan
514

paradigma baru tanpa meninggalkan pemimpin kharismatik


dalam pendidikan pesantren. Karena itu, yang terpenting adalah
bagaimana mampu menghilangkan kerugian di atas. Oleh karena
itu, Abdurrahman Wahid pesantren sebagai pendidikan tradisional
mempunyai kelebihan dan kekurangan.126 Dengan demikian,
515

513 124 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, h. 6.


514 125 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, h. 135.
515 126Kelebihan pesantren sebagai pendidikan tradisional yaitu: Pertama, kemampuan
menciptakan sebuah sikap hidup universal yang merata, yang diikuti oleh semua warga
pesantren sendiri, dilandasi oleh tata nilai yang disebutkan di atas. Kedua, kemampuan
memelihara subkulturnya sendiri. Bila dilihat secara sepintas, cara hidup di pesantren
tampak berbeda sekali dengan cara hidup di luar, demikian pula ukuran-ukuran yang
digunakan dalam menilai segala sesuatu juga tampak berbeda. Pandangan hidup

218
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Abdurrahman Wahid memberikan kesimpulan dari kekurangan dan


kelebihan dunia pendidikan pesantren yakni:127516
Tujuan pendidikan pesantren dalam pandangan Abdurrahman
Wahid adalah terintegrasinya pengetahuan agama dan non agama,
sehingga lulusan yang dihasilkan akan memiliki kepribadian yang
utuh dan bulat dalam dirinya tergabung unsur-unsur keimanan yang
kuat atas pengetahuan secara seimbang.128 Santri yang demikian,
517

dapat dipahami sebagai santri yang memiliki wawasan pemikiran yang


luas, pandangan hidup yang matang dan pendekatan yang praktis
serta barwatak multi-sektoral dalam memecahkan persoalan-
persoalan yang dihadapinya. Dengan kata lain, santri yang mampu
memandang jauh ke depan di samping memiliki keterampilan
praktis untuk menyelesaikan persoalan sendiri secara tuntas. Hal
ini sejalan dengan tujuan pendidikan pesantren yang diinginkan
Abdullah Syafi’i yakni santri yang memiliki ilmu pengetahuan yang
tinggi, baik ilmu pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan
umum, berakhlak, serta memiliki skill yang memadai untuk dapat
mandiri di tengah kehidupan masyarakat.129518
Tujuan di atas, membutuhkan kesediaan untuk mengembangkan
pesantren, karena itu dengan nada pesimis, Abdurrahman Wahid
mengatakan dengan sistem pendidikan yang dimiliki pesantren
sekarang praktis tidak mungkin bagi pesantren sendiri untuk
mencapainya. Kegagalan memahami dan kemudian memenuhi
kebutuhan di atas tidak lain, dunia pendidikan pesantren akan
tertinggal dalam percaturan budaya bangsa kita di masa depan.130
519

Dengan bahasa lain, semakin besar kesenjangan antara kehidupan


pesantren yang bersifat ukhrawi, tentu saja dapat menjadi alternatif cukup tajam bagi
pandangan hidup yang bersifat duniawi di masyarakat umumnya. Abdurrahman Wahid,
Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, h. 59.
516 127 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, h. 59.
517 128 Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, h. 172-2.
518 129 Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial; Studi Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’i
dalam Bidang Pendidikan Islam, Jakarta, Penamadani, 2003, h. 175.
519 130 Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, h. 172-2.

219
Dr. Samsul Bahri, MA.

dunia pesantren dan kehidupan masyarakat. Abdurrahman


Wahid menjelaskan jika para pemimpin pesantren tidak
berinisiatif membawa dunia pendidikan pesantren untuk segaris
dengan masyarakat luas, maka akan segera melihat kehancuran
pendidikan pesantren ini. Bahkan masyarakat masa depan tidak
mampu menopang sistem pendidikan pesantren yang sama
sekali lepas dari pendidikan nasional.131 Hal ini disebabkan
520

karena anak didik tidak tertarik lagi memasuki sistem pendidikan


pesantren yang dianggap tidak memiliki wawasan nasional.
Dalam kondisi demikian, menurut Abdurrahman Wahid
yang dikutip Greg Barton bahwa hanya satu strategi yakni
mengintegrasikan sistem pendidikan pesantren ke dalam sistem
pendidikan nasional (kendati tidak diragukan bahwa hal tersebut
memang penting), ini akan mengubah alam kepemimpinan
pesantren.132
521

Pemikiran Abdurrahman di atas, memberikan gambaran bahwa


tujuan pendidikan pesantren hanya akan tercapai jika pendidikan
pesantren bersedia mengintegrasikan ke dalam sistem pendidikan
nasional. Maka dari itu, kepemimpinan dinamis dalam pendidikan
pesantren sangat menjadi penentu tunggal untuk keluar dari
kemelut yang ada dalam pendidikan pesantren, sehingga dapat
mengembangkan pesantren sebagai lembaga pendidikan dan
kemasyarakatan yang benar-benar mampu menghadapi tantangan
modernisasi. Dengan demikian, tujuan pendidikan pesantren
akan sangat ditentukan oleh dinamisasi pemimpin atau kiai dalam
mengelola sistem pendidikan pesantren.
Dari gambaran-gambaran terdahulu dapat dipahami bahwa
gagasan-gagasan modernisasi pendidikan pesantren dalam
pandangan Abdurrahman Wahid adalah suatu upaya untuk
menjembatani dua jurang antara dunia pendidikan pesantren di satu
520 131 Abdurrahman Wahid, Bunga Rampai Pesantren, h. 176.
521 132 Baca Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, h. 357.

220
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

sisi sebagai pendidikan tradisional dan dunia pendidikan modern di


sisi lain, padahal pesantren sendiri adalah bagian dari dunia itu.
Gagasan Abdurrahman Wahid tetap optimis dengan tradisi
pendidikan pesantren yang unik, akan mampu menjadi sistem
pendidikan alternatif di masa depan dan dapat berperan dalam
menciptakan dukungan sosial bagi pembangunan yang sedang
berlangsung. Dengan demikian prinsip utama yang digunakan
adalah diktum yang sudah lama dikenal di kalangan pendidikan
pesantren sendiri, “memelihara hal- hal yang baik yang telah ada,
sambil mengembangkan hal-hal baru yang lebih baik”.
Pijakan pesantren masa depan dalam pandangan Abdurrahman
Wahid adalah tradisi pesantren itu sendiri, baik wacana keilmuan
dalam pendidikan pesantren maupun kehidupan beragama.
Berangkat dari potensi yang dimiliki pesantren dan para pemimpin,
pengelola pendidikan pesantren bersedia belajar dari kekurangan
serta dapat memperbaharui dengan tetap berpijak pada jati diri
sebagai lembaga pendidikan tradisional. Maka dunia pendidikan
pesantren masa depan tetap menjadi pendidikan alternatif untuk
menyongsong Indonesia baru dengan mewujudkan masyarakat
madani.

F. Gagasan Harun Nasution Di Bidang Pendidikan


1. Riwayat Hidup
Harun Nasution dilahirkan di Pematang Siantar, Sumatera
Utara pada hari Selasa 23 Septemper 1919. Harun adalah anak
keempat dari lima bersaudara, yang tertua bernama Mohammad
Ayyub, Khalil, Sa'ida dan adik perempuanya Hafshah. Ayahnya
bernama Abd Jabbar Ahmad seorang ulama kelahiran kelahiran
Mandailing, yang terpilih menjadi Qadhi, penghulu dan diangkat
oleh pemerintah Belanda sebagai kepala agama, hakim agama
dan Imam mesjid di kabupaten simalunguh. Ibunya berasal dari
tanah Bato, puteri seorang ulama asal Mandailing yang di masa

221
Dr. Samsul Bahri, MA.

gadisnya pernah bermukim di Mekkah dan berbahasa Arab, dan


menurut pengakuan Harun sebagai berikut: Suasana keagamaan
yang ditanamkan ibuku di rumah benar-benar membekas dalam
hatiku. Ibuku menerapkan disiplin keras, di rumahku belajar mengaji
al-Qur'an sejak pukul empat hingga jam lima sore. Selesai shalat
maghrib, aku mengaji al-Qu'ran dengan suara keras sampai tiba
waktu isya. Kalau bulan puasa, aku bertadarus di mesjid sampai
jam 12 malam dan setiap pagi aku bangun shalat subuh dengan
berjamaah.133
Riwayat pendidikannya dimulai dengan menyelesaikan
pendidikan dasar di sekolah Belanda Hollandsch Inlandsche School
(HIS) pada tahun 1934. jenjang pendidikan dasar ditempuh selama
tujuh tahun hingga berusia 14 tahun. Kemudian melanjutkan studi
Islam ke tingkat menengah yang bersemangat modernis Moderne
Islamietisch Kweekschool (MIK) selama tiga tahun.134 Kemudian
522

Harun pergi ke Mekkah, Saudi Arabia untuk menunaikan ibadah


haji dan belajar agama.
Setahun berada di sana pada tahun 1938 pindah ke Mesir
dan mengenal beberapa cendikiawan muslim Indonesia tamatan
Mesir seperti Mahmud Yunus, Mukhtar Yahya, Bustani A. Gani,
yang dikenal sebagai tokoh agama terkemuka di Indonesia. Di
Mesir, Harun kuliah Fakultas Ushuluddin pada Perguruan Tinggi
al- Azhar.135
523
Namun karena tidak puas, Harun pindah ke
Universitas Amerika di Kairo mengambil jurusan Il-mu-ilmu Sosial,
gelar BA dalam bidang sosial studi diperoleh dari Universitas Amerika
Cairo pada tahun 1952 dengan nilai memuaskan.136524
Setelah bekerja di pemerintahan untuk Indonesia, Harun
kemudian memutuskan mengakhiri karir politiknya dan kemudian
522 134 Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution, h. 10.
523 135 Lihat Buletin Syarif Hidayatullah 74 Tahun Dr. Harun Nasution diperingati secara sederhana
Nomor 215/tahun XX , September 1993, h.9.
524 136 Syaiful Muzani, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution, Bandung,
Mizan, 1995. h. 6.

222
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

kembali ke Mesir bersama isterinya yang asli berkembangsaan


Mesir. Ia kembali menggeluti dunia pendidikan di Sekolah Tinggi
Studi Islam (Dirasah Islamiyah), di bawah bimbingan salah seorang
ulama fiqh Mesir terkemuka, Abu Zahrah.137 Ketika belajar di
525

sinilah Harun memperoleh tawaran untuk mengambil studi Islam di


Universitas MC.Gill Kanada.
Selama dua tahun berhasil menyelesaikan studinya
memperoleh gelar M.A, dengan tesis yang berjudul "The Islamic State
in Indonesia. The Rise of the Ideology, The Movement For Its Creation and
The Theory of The Masyumi", Harun kembali melanjutkan kuliahnya
selama dua tahun setengah untuk memperoleh gelar Ph. D, dan
berhasil menyelesaikan disertasi di bidang ilmu kalam dengan
menulis tentang, "The Pleace Of Reason in Abduh, Is Impact on
His Theological System and Views" (Kedudukan Akal dalam Teologi
Muhammad Abduh, Pengaruhnya pada Sistem dan pendapat-
pendapat Teologi). Pada tahun 1968. Setelah meraih gelar Dr.,
Harun kembali ke tanah air dan mengembangkan pemikirannya
di IAIN Jakarta,138
526527
sebagai tenaga pengajar. Namun demikian
pada tahun 1973 Harun dilantik menjadi Rektor IAIN Jakarta, dan
jabatan ini dipegang selama tiga kali sampai 1984. Dilanjutkan
dengan memimpin Pascasarjana IAIN (sekarang UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Harun Nasution adalah sosok yang sangat menentukan
dan berjasa bagi pengembangan program pascasarjana IAIN di
Indonesia. Harun meninggalkan kita pada tanggal 18 September
1998. Adapun karya-karya Harun antara lain: (1) Islam ditinjau
dari Berbagai Aspeknya, (2) Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, (3) Filsafat Agama, (4) Filsafat dan
Mistisisme dalam Islam, (5) Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah

525 137 Syaiful Muzani, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution, h. 6.
526 138 Syaiful Muzani, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution, h. h.36.
527 133 Baca Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta, LSAF, 1989,

223
Dr. Samsul Bahri, MA.

Analisa dan Perbandingan, (6) Muhammad Abduh dan Teologi


Rasional Mu'tazilah, (7) Akal dan Wahyu.
2. Gagasan Pembaharuannya di Bidang Pendidikan
Gagasan pembaharuan Harun Nasution dalam bidang
pendidikan dipraktekkan ketika Harun memimpin UIN Syarif
Hidayatullah. Gagasan pembaharuannya antara lain: Pertama,
menumbuhkan tradisi ilmiah. Upaya ini antara lain dilakukan dengan
cara mengubah sistem perkuliahan yang semula bercorak hafalan,
tex book thinking dan cenderung menganut mazhab tertentu, menjadi
sistem perkuliahan yang mengajak mahasiswa berfikir rasional, kritis,
inovatif, obyektif, dan menghargai perbedaan pendapat, dengan
cara demikian, wawasan berfikir para mahasiswa menjadi luas serta
berani mengemukakan pendapat yang berbeda dengan pendapat
lain yang ada sebelumnya. Tradisi ilmiah yang dilakukan Harun
dengan cara mengajak mahasiswa membaca berbagai literatur Barat
maupun Timur. Kedua, memperbaharui kurikulum. Upaya ini antara
lain dilakukan dengan cara memperbaharui kurikulum IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Jika kurikulumnya hanya memuat bidang
kajian keagamaan dari aliran mazhab tertentu saja, maka zaman
Harun ditambah dengan kajian ilmu kalam dengan berbagai aliran
dan mazhab, filsafat dengan berbagai aliran mazhab, tasawuf aliran
modern dalam Islam, serta ilmu-ilmu umum dasar seperti sosiologi,
antropologi, filsafat umum, perbandingan agama, bahkan juga ilmu-
ilmu alam. Pembaharuan kurikukulum ini sejalan dengan upaya
menumbuhkan tradisi ilmiah. Ketiga, pembinaan tenaga dosen.
Upaya ini dilakukan dengan cara membentuk forum pengkajian
Islam (FPI) dan diskusi yang dibagi ke dalam diskusi mingguan,
bulanan. Pada setiap kali diskusi pada dosen diwajibkan membuat
makalah ilmiah dengan bobot dan standar yang ditentukan dan
menyajikan dalam forum ilmiah. Dengan cara demikian, para dosen
ditantang untuk mau membaca dan mendalami bidang keahlian.
Upaya ini juga dilakukan dengan menyelenggarakan seminar-

224
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

seminar nasional yang mendatangkan pakar-pakar ahli dari luar yang


membahas tentang tema-tema tertentu. Pembinaan tenaga dosen
berikutnya dengan cara mengirim para dosen untuk meningkatkan
pendidikan formalnya dengan mengambil gelar Magister, Dr, pada
bagian perguruan tinggi baik yang ada di dalam maupun di luar
negeri. Keempat, menerbitkan jurnal ilmiah. Seiring dengan upaya
menciptakan tradisi ilmiah dan meningkatkan mutu akademik
para dosen, melalui jurnal ilmiah ini berbagai makalah ilmiah yang
disusun oleh para dosen dan disajikan dalam jurnal ilmiah.
Kelima, pengembangan perpustakaan, dengan membangun
gedung-gedung perpustakaan yang memadai, jumlah buku
yang memadai serta sistem pelayanan yang lebih baik. Keenam,
pengembangan organisasi; upaya ini antara lain dilakukan dengan
cara memperjuangkan rasionalisasi fakultas dan jurusan di
lingkungan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pembaharuan
lembaga penelitian, lembaga pengembangan masyarakat dan
lembaga bahasa, membangun gedung auditorium dan asrama
mahasiswa dan dosen. Ketujuh, pembukaan program pascasarjana
pada tahun 1982, sebagai upaya untuk meningkatkan mutu tenaga
pengajar.
Kedelapan, menjadikan IAIN sebagai pusat pembaharuan
pemikiran dalam Islam tersebut muncul karena pengaruh dari
serangkaian usaha yang dilakukan Harun terutama dalam rangka
menumbuhkan tradisi ilmiah. Melalui usaha ini, telah lahir
sejumlah sarjana tamatan IAIN yang mampu berfikir rasional,
inovatif, terbuka, objektif, luas dan mendalam. Para sarjana tersebut
menulis berbagai karya ilmiah yang dipublikasikan dalam buku,
jurnal, surat kabar dan sebagainya. Hingga membentuk opini
publik dan menjadikan rujukan bagi IAIN lainnya di Indonesia
serta menjadi kiblat dari IAIN yang di ada Indonesia.139528

528 139 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2005, h. 276-279.

225
Daftar Pustaka

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta, Logos


Wacana Ilmu, 1999, h. 12
M. Moeliono, Anton et, al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka, 1988.
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bina Aksara, Cet. I, 1987, h. ix
Nizar, Samsul Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam,
Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001.
------------------- Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam.
Al-Toumy al-Syabany, Omar Mohammad Falsafat Pendidikan Islam,
Jakarta, Bulan Bintang , 1979.
D. Marimba, Ahmad, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,Bandung,
al-Ma-arif, 1989. Suharto, Toto Filsafat Pendidikan Islam,
Yogyakarta, Ar-Ruzz, 2006.
Qomar, Mujami, Epistimologi Pendidikan Islam; dari Metode Rasional
hingga Metode Kritis, Jakarta, Erlangga, 2005.
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, h. 61-62.
Buchori, Mucthar,Pendidikan Antisipatoris, Yogyakarta, Kanisius, 2001.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu,
1997, Cet III Quthub, Sayyid Tafsir Dhilal al-Qur’an, Beirut, Dbr
al-Ahya, tt, Juz XV, h. 15.
Tafsir, Ahmad Metodik Khusus Pendidikan Islam, Bandung, Remaja
Rosdakarya, 1992 Amir Faisal, Yusuf, Reorientasi Pendidikan
Islam, jakarta, Gema Insani Press, 1995, Cet I

226
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam,


Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta, Yayasan
Peyelenggara, Penterjemah/Pentapsir, Al- Qur’an, 1972, h. 37.
al-Attas, Syed Naquib, Konsep Pendidikan Islam, terj. Bandung, Mizan,
1990 cet III,
--------------------, Islam dan Sekularisme, terj. Jakarta, Pustaka, 1981, Cet
I, h. 222.
Ruswan dan Darmuin (ed), Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh
Klasik dan Kontemporer,
Semarang,Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Kerjasama dengan
Pustaka Pelajar, 1999
Suwito, Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ibnu Miskawaih, Jakarta,
IAIN Syarif Hidayatullah, Disertasi PPS Program Doktor,
1995.
Azra, Azyumardi, Esai-Esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam,
Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1998
Djuwaeli,H.M. Irsyad Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, Jakarta,
Yayasan Karsa Utama Mandiri, 1998, Cet I.
Abd’Aziz, Shalih dan Majid, Abd al-Tarbiyah wa Thuruq al-Tadris, Mesir,
Dar al-Ma’arif, tt, Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2001.
Ahmad, Khurshid Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam, terj. Bandung, Mizan,
1958, h. 200. Kingsley Price, Education and Philosiphical Though,
Bonston, USA, Allyn and Bacon Inc., 1965,
J. Suyuthi Pulungan, Universalisme Islam, Jakarta, PT. Moyo Segoro
Agung, 2002, Cet I,
J. Sudarminta, Dr, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta, IKIP Sanata Dharma,
1990, Darmaningtyas, Pendidikan Pada dan Setelah Krisis,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999, Cet I,
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani

227
Dr. Samsul Bahri, MA.

Indonesia, Bandung, PT. Remaja Rosadakarya, 2000, Cet II,


Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, Suatu Analisa
Sosia-Psikologi, Jakarta, Pustaka Al-Husna, 1985, Cet III
A.M. Saefuddin, et al, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi,
Bandung, Mizan, 1998, Cet IV Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu
Pendidikan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1999.
al-Qardhawi, Yusuf Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna,
terj. Jakarta, Bulan Bintang, 1980.
Fadhil al-Jamaly, Muhammad Filsafat Pendidikan dalam al-Qur’an, terj.
Jakarta, Pepara, 1986. SM,Ismail Mukti Abdul,(ed), Pendidikan
Islam Demokratisasi dan Masyarakat Madani, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2000.
Jumbulati, Ali dan At- Tuwaanisi, Abdul Futuh Dirasatun Muqaraanatun
fit-Tarbiyyatil Islamiyyah, terj. Jakarta, Rineka Cipta, 2002 Cet II.
Fajar, H.A. Malik Visi Pembaharuan Pendidikan Islam.
Al-Abrasyi, Moh. Athiya, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terj.
Jakarta, Bulan Bintang, 1980. Mulkhan, Abdul Munir, Paradigma
Intelektual Muslim, Yogyakarta, Sipress, 1993,
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, h. 16-17.
Azra, Azyumardi Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, h. 5-6.
Langgulung, Hasan Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam,
Bandung, al-Ma’arif, 1980,
-------------------, Asas-asas Pendidikan Islam,h.400, Lihat juga dalam
Peralihan Paradigma Dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial
--------------------, Pendidikan dan Peradaban Islam; Suatu Analisa Sosio-
Psikologi, Jakarta, Pustaka Al- Husna, 1985, h. 3.
-------------------, Pendidikan Islam dalam Abad 21, Jakarta, Al-Husna
Zikra, 2001, h. 51.Husain, Syed Sajjad dan Asyaraf, Syed Ali,
Krisis Pendidikan Islam, Risalah Bandung, 1986
--------------------, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung, al-
Ma’arif, 1980, Cet I, al-Toumi Al- Syaibany, Omar muhammad,

228
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Falsafah Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1979.


Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta. Bumi Aksara, 1995, Cet
II, Ismail (ed), Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2001.
al-Djamali, Fadhil, Menerebas Krisis Pendidikan Dunia Islam,Jakarta,
Golden Terayon Press, 1988.
Hasan Ibrahim Abdu Al’, Min Alami Tarbiyyah Arabiya Islamiyah, Maktab
Tarbiyah al-Arabi Lidduali khalic, 1988.
al-Syafi, Ibrahim Muhammad I, Min A’lami al-Tarbiyah al-Islamiyah,
Ibnu Sahnun Jilid I. Kholid, Abdul dkk, Pemikiran Pendidikan
Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer,
H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, h. 4
Shihab, M. Quraish Membumikan al-Qur’an, Bandung, Mizan, 1994, h.
173
Departemen Agama RI, Ilmu untuk Disiplin Pendidikan, Buku Daras
Pendidikan Islam Pada Perguruan tinggi Umum, Jakarta, Depag,
2000, h. 133.
Ahmad Hasan Firhat dalam bukunya, Khalifah fi al-Ardh; Pembahasan
Kotekstual, Jakarta, Cakrawala Persada, 1992, h. 56.
Membedakan kedudukan kekhalifahan manusia pada dua
bentuk yaitu Pertama, khalifah kauniyah. Dan kedua, khalifah
Syari’iyah.
Karim, M. Rusli Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta,
Yogyakata, Tiara Wacana, Cet I 1991.
Mulkhan, Abdul Munir Nalar Spritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis
Pendidikan Islam,
Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002, h. 78-79.
S. Zais,Robert, Curriculum; Principles and Foundations, New York, Harper
Z Publishers, 1976,
S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, Bandung, Citra Aditya Bakti,
1993, Cet ke-5,

229
Dr. Samsul Bahri, MA.

Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta,


Pustaka Pelajar 2003, h. 182. Langgulung, Hasan Peralihan
Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial, h. 241.
Daratjat, Zakiah dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1992,
h. 122.
Muhain dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Filosofis
dan Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung, Trigenda Karya,
1993, h. 185.
Rosayada, Dede Paradigma Pendidikan Demokratis; Sebuah Model
Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan,
Jakarta, Kencana, 2003. h. 26.
Supriyanto, Eko, Inovasi Pendidikan; Isu-Isu Baru Pembelajaran,
Manajemen dan Sistem Pendidikan di Indonesia.
Fazlur Rahman, An Autobiographical Note, dalam Journal Of Islamic
Reseach Vol. 4, No. 4, Oktober 1990.
Rahman, Fazlur Cita-Cita Islam, Terj, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000.
----------------, Gelombang Perubahan Dalam Islam, Studi Tentang
Fundamentalisme Islam, Jakarta, Rajawali Press, 2000,
-----------------, “The Qur’anic Solution of Pakistan’s Education Problem”,
dalam Islamic Studies, Vol, IV, No. 4. 1967Ma’arif, A. Syafi’I Peta
Bumi Intelektual Islam di Indonesia, Bandung, Mizan, 1993,
Ma’arif, A. Syafi’I Islam Kekuasaan Doktrin dan Keagamaan Umat,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1991……
Daradjat, Zakiah Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta,
YPI Ruhama, 1996,
Abd al-Qadir Ahmad, Muhammad, Thuruq Ta’lim al-Tarbiyah al-
Islamiyah, Kairo, Maktabah al- Nahdlah, 1981.
Nasr, Sayyed Hossein Menjelajah Dunia Modern, Tej, Bandung, Mizan,
1994, h. 219.
Abdul Hamid, Hazil Sosiologi Pendidikan dalam Perspektif Pembangunan
Negara, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990.

230
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Nizar, Samsul Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam,


Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000.
Bucaille, Maurice Bibel, al-Qur’an, dan Sains, Terj. H.M. Rasyidi, Jakarta,
Bulan Bintang, 1979,
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Interdisipliner, Jakarta, Bumi Aksara, 1993.
Daradjat, Zakiah Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1996.
Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam; Konsep dan
Perkembangan Pemikirannya, Jakarta, Raja Grafindo, 1994, h.
37.
Robert L. Gullick, dalam Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, Bandung,
Mizan, 1991 Shiddiq, Nouzzaman Jeram-Jeram Peradaban
Muslim, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996 Ahmad an-Na’im,
Abdullah Dekonstruksi Syari’ah, Terj. Yogyakarta, LKIS, 1994
Qasim, Amin, Tahrirul Mar’ah, Kairo, Dar al-Ma’rif. Tth.
Ghaffar, Abdul Rasul Abduh Hassan, Wanita Islam dan Gaya Hidup
Modern, Cet II, Bandung, Pustaka Al-Hidayah, 1995.
Nasution Harun, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta, Jambatan : 1992
-----------,Pembaharuan Dalam Islam, Syarah Pemikiran dan Gerakan,
Cet. IX. Jakarta. Bulan Bintang. 1992.
Marcoes Lies, M. Dan meuleman Johan hendrik, Wanita Islam Indonesia
Dalam kajian Tekstual dan Kontekstual, Jakarta : Inis, 1993.
Solichin Salam, Wajah-Wajah Nasional, Pusat studi Islam dan Penelitian
Islam, Jakarta, 1990, h. 131. Rosyidi, Ajip M. Natsir Sebuah
Biografi, Jakarta, Giri Mukti Pasaka, 1990.
Mahendra, Yuzril Ihza "Modernisasi Islam dan Demokrasi Pandangan
politik Muhammad Natsir", dalam Islamika, No. 3 Januari-
Maret, 1994.
A. Puar, Yusuf, Mohammat Natsir 70 Tahun;Kenang-kenangan Kehidupan
dan Perjuangan, Pustaka Antara, Jakarta, 1978.

231
Dr. Samsul Bahri, MA.

Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-11942, Jakarta,


LP3S, 1985
S. Trauna, Dody dan Ropy, Ismatu, Pranata Islam di Indonesia, Jakarta,
Logos Wacana Ilmu, 2002. Thiyib, Ruslan dkk, Pemikiran
Pendidikan Islam; Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
1 Suja'i, Muhammadiyah dan Pendidikannya, Yogyakarta, Pustaka, 1989
1 Effedy, Bahtiar dan Ali,Fahri, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung
, Mizan, 1986 Aceh, Abu Bakar, Sejarah Hidup K.H.A. Wahid
Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan
K.H.A. Wahid Hasyim, 1975)
…………………….
Muhammad Asad Syihab, Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari,
Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1994,
Gusr Dur, Diantara Keberhasilan dan Kenestapaan, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 1999
Tim INCReS, Beyond the Symbols; Jejak Antropologis Pemikiran dan
Gerakan Gus Dur, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2000, h. 26.
Ahmad Bahar, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid; Gagasan dan
Pemikiran, Jakarta, Bina Utama, 1999,
Lima saudara Gus Dur secara berurutan adalah ‘Aisyah (Hj. ‘Aisyah
Hamid Baidlawi), Ir. H. Sholahuddin Wahid, dr. H. Umar
Wahid, Khodijah dan Mohammad Hasyim.
1 Forum No. 1 tahun VI 21 April 1997, Gusr Dur, Diantara Keberhasilan dan
Kenestapaan
Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Indonesia , Jakarta, Paramadina,
1999,
Tim INCReS, Beyond The Symbols; Jejak Antropologis Pemikiran dan
Gerakan Gus Dur,
Ahmad Bahar, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid; Gagasan dan
Pemikiran

232
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

John El-Esposito, John. O Vall, Tokoh-Tokoh Kunci Gerakan Islam


Kontemporer, Jakarta, Grafindo Persada, 2002, h. 256.
1 Ahmad Bahar, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid; Gagasan dan
Pemikiran,Jakarta, Bina Utama, 1999
John El-Esposito, John. O Vall, Tokoh-Tokoh Kunci Gerakan Islam
Kontemporer, h. 257-258.
1 Tim INCReS, Beyond The Symbols; Jejak Antropologis Pemikiran dan
Gerakan Gus Dur,
John El-Esposito, John. O Vall, Tokoh-Tokoh Kunci Gerakan Islam
Kontemporer
Greg Barton, “Liberalisme; Dasar-dasar Progresifitas Pemikir
Abdurrahman Wahid”, dalam Feal dan Greg Barton (ed),
Tradisionalisme Radikal; Persingggungan Nahdatul Ulama-
Negara, Yogyakarta, LkiS, 1997,
Abdurrahman Wahid, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, Yogyakarta,
LKiS, Mohammad Sobari, “Membaca dengan Sikap Total dan
Empeti”, dalam Abdurrahman Wahid, Kiai Nyentrik Membela
Pemerintah
Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta,
Grasindo, 1999.
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Raja
Grafindo Persada, 2004,
Abuddin Nata, “Pendidikan Islam di Indonesia Tantangan dan
Peluang”, Dalam Pengukuhan Guru Besar 20 Maret 2004, h.
32.
1 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam
dalam Kurun Modern, Jakarta, LP3ES,
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren,
Yogyakarta, LKiS, 2001.
1 Pengantar LKiS dalam Martin Van Bruinenssen, NU; Tradisi Relasi-
relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta, LKiS , 1994,

233
Dr. Samsul Bahri, MA.

M. Annas Mahduri dkk, Pesantren dan Pengembangan Ekonomi Umat:


Pesantren al- Ittifaq dalam Perbandingan,
Martin Van Bruinessen, “Konjungtur Sosial Politik di Jagat NU Pasca
Khittah 26; Pergulatan NU Dekade 90-an”, dalam Ellyasa
K.H. Darwis (ed), Gus Dur, NU, dan Masyakat Sipil, Yogyakarta,
LKiS, 1994,
Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam,
Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1998
Abuddin Nata, “Pendidikan Berbasis Masyarakat dalam Persfektif
Islam”, dalam Jurnal Jauhar, Jurnal Pemikiran Islam
Kontekstual, Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah, 2001, Vol. 2
No. 2.
Syaiful Muzani, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun
Nasution, Bandung, Mizan
Irwan Abdullah, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta:
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Media, 2007),
Ali Anwar, Pembaharuan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011).
Suharismi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta,
2003.
Amirin, Pengantar Sistem (Jakarta: Rajawali Press, 1999),
. Anas Sudjana, Pengantar Administrasi Pendidikan Sebagai suatu Sistem
(Bandung: Rosda Karya, 1997),
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997),
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002)
Abddurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan
Islam, (Bandung: CV. Diponegoro, 1992), hlm. 31
Ayat di atas, menjelaskan kewajiban seorang anak untuk mendoakan
orang tua, sambil mengingat jasa-jasa mereka, lebih-

234
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

lebih waktu sang anak masih kecil dan tidak berdaya.


Kini kalau orang tua pun telah mencapai usia lanjut dan
tidak berdaya, maka sang anak pun berkewajiban untuk
memperhatikannya. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mis{bah,
Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 7, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), hlm. 453-457.
Atiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha, cet. III, (Mesir,
Isa al-Baby al-halaby tt), hlm. 22.
Dengan menyetir pendapat pakar, yang antara lain mengungkapkan
pendapat Fuad ‘Abd al-Baqy dalam bukunya, al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfadh al-Qur’anul Karim, bahwa di dalam al-
Qur’an kata tarbiyah dengan berbagai kata yang serumpun
dengannya dan diulang sebanyak lebih dari 872 kali. Abuddin
Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), Cet III, hlm. 6.
Al-Maududi memberikan penjelasan bahwa tarbiyah tidak hanya
dibatasi dalam makna memelihara dan membimbing, tetapi
lebih luas terutama yakni: (1) memelihara dan menjamin atau
memenuhi kebutuhan yang terpelihara, (2) membimbing
dan mengawasi serta memperbaikinya dalam segala hal,
(3) pemimpin yang menjadi penggerak utamanya secara
keseluruhan, (4) pemimpin yang diakui kekuasaanya. Abu
al-A’la al-Maududi, Manhaj al-Islamiah al-Jadid li al-Tarbiyah wa
al-Ta’lim, (Damsyik: al-Maktabah al-Islami, 1985), hlm. 26-27.
Najib Khalid al-Amir, Tarbiyah Rasulullah, (Jakarta: Gema Insani Press,
1992), hlm. 82.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Quranul Karim, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1997), hlm. 21-22.
(1) Tarbiyah adalah menyampaikan sesuatu untuk mencapai
kesempurnaan bentuk penyampaian satu dengan yang lain
berbeda, sesuai cara pembentukannya. (2) Tarbiyah adalah

235
Dr. Samsul Bahri, MA.

menentukan tujuan melalui persiapan sesuai dengan batas


kemampuan untuk mencapai kesempurnaan. (3) Tarbiyah
adalah sesuatu yang dilakukan secara bertahap dan sedikit
demi sedikit oleh seorang pendidik (murabbi). (4) Tarbiyah
dilakukan secara berkesinambungan. Artinya bertahap
sejalan dengan kehidupan. (5)Tarbiyah adalah tujuan
terpenting dalam kehidupan baik secara individu maupun
secara keseluruhan.
Najib Khalid al-Amir, Tarbiyah Rasulullah, hlm. 22-23.
Abuddin Nata, Konsep Pendidikan Ibnu Sina, Disertasi, (Jakarta: IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997), hlm. 24.
Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembanganya, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999), hlm. 11.
Maksum, Madrasah:Sejarah dan Perkembanganya, hlm. 12.
Sayyid Quthub, Tafsir Dhilal al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ahya, tt, Juz XV),
hlm. 15.
Ahmad Tafsir, Metodik Khusus Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1992), hlm. 109.
Yusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1995, Cet I), hlm. 94.
Q.S. ar-Ruum: 30.
َ َ َ َّ‫اللِ َّالت َف َط َر انل‬
َّ َ َ ْ ً َ َ َ ْ َ ْ ََ
‫اس َعليْ َها ۚ ل‬ ِ ‫ت‬ ‫ر‬ ‫ِط‬ ‫ف‬ ۚ ‫ا‬‫ِيف‬ ‫ن‬‫ح‬ ‫ِين‬
ِ
ّ ‫كل‬
‫ِدل‬ ‫فأق ِم وجه‬
َ َ َ ََ‫ك‬ َ
ْ َّ ٰ َ َ ُ ّ َ ْ ُ ّ َ ٰ َ َّ ْ َ َ ْ َ
‫اس ل َي ْعل ُمون‬ ِ َّ‫ث انل‬ ‫كن أ‬ِ ‫تبدِيل ِلل ِق اللِ ۚ ذل ِك ادلِين القيِم ول‬
Jalaluddin, Teologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2001), hlm.121.
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis, hlm. 27
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur’an al-Hikam; Tafsir al-Manar,
Juz VII, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 262.

236
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam,


(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 86.
Abdul Fattah Jalal, Azaz-Azaz Pendidikan Islam, Terj. Harry Noer Ali,
(Bandung: CV. Diponegoro, 1988), hlm. 29-30.
Ismail dkk, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), hlm. 60.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, terj.
(Bandung: Mizan, 1990), hlm. 65-74
Maksum, Madrasah:Sejarah dan Perkembanganya, hlm. 12.
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Peyelenggara,
Penterjemah/Pentapsir, Al-Qur’an, 1972), hlm. 37.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, hlm. 110.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, terj. (Jakarta:
Pustaka, 1981, Cet I), hlm. 222.
Ruswan dan Darmuin (ed), Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh
Klasik dan Kontemporer, (Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Kerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1999), hlm.
281.
Adian Husaini, “Makna Adab Dalam Perspektif Pendidikan Islam”,
dalam Jurnal Pendidikan Islam, Ta’dibuna, (Program Doktor
Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor,:Vol 1/No. 1/
Juni 2011), hlm. 15-17
Adian Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkatakter dan
Beradab, hlm. 62-63
Didin Hafidhuddin, “Konsep Pendidikan Karakter Berbasis Agama”,
dalam Jurnal Pendidikan Islam, Ta’dibuna, (Vol 1/No. 1/ Juni
2011), hlm. 21-24
Adian Husaini, et. al, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta:
Gema Insani, 2013), hlm. 33.
Shalih Abd’Aziz dan Abd Majid, al-Tarbiyah wa Thuruq al-Tadris, (Mesir:
Dar al-Ma’arif, tt), hlm. 59.

237
Dr. Samsul Bahri, MA.

H.M. Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (Jakarta:


Yayasan Karsa Utama Mandiri, 1998, Cet I), hlm. 4.
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),
hlm.71.
Dengan kata lain, bahwa pendidikan Islam harus berorientasi ke masa
yang akan datang, karena sesungguhnya anak didik masa
kini adalah bangsa yang akan datang. Karena itu tepatlah apa
yang diaktakan Nabi yang artinya: “Didiklah anak-anak kamu.
Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zaman mereka sendiri”
Mucthar Buchori, Pendidikan Antisipatoris, (Yogyakarta: Kanisius,
2001), hlm. 25-45.
Mucthar Buchori, Pendidikan Antisipatoris, hlm. 25-45.
Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, Suatu Analisa Sosia-
Psikologi, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1985, Cet III), hlm. 3.
A.M. Saefuddin, et al, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi,
(Bandung: Mizan, 1998, Cet IV), hlm. 125.
Suwito, Pendidikan Yang Memberdayakan, hlm. 28.
Dewasa di sini dimaksudkan adalah dapat bertanggung jawab
terhadap diri sendiri secara biologis, psikologis, paedagogis
dan sosiologis. Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 1.
Yusuf al-Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj.
(Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 39
Muhammad Fadhil al-Jamaly, Filsafat Pendidikan dalam al-Qur’an, terj.
(Jakarta: Pepara, 1986), hlm. 3.
Ismail SM, Abdul Mukti,(ed), Pendidikan Islam Demokratisasi dan
Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm.
69
Ali Jumbulati dan Abdul Futuh At- Tuwaanisi, Dirasatun Muqaraanatun
fit-Tarbiyyatil Islamiyyah, terj. (Jakarta: Rineka Cipta, 2002 Cet
II), hlm. 13

238
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

H.A. Malik Fajar, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, hlm. 3.


Moh. Athiya Al-Abrasyi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terj.
(Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 15.
Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, hlm. 3.
H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2000), hlm. 4
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, hlm. 16-17.
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta:
Sipress, 1993), hlm. 136.
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, hlm. 5-6.
Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam,
(Bandung: al-Ma’arif, 1980), hlm. 94.
Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, hlm. 89.
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005), hlm. 90.
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 75.
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, hlm. 92.
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 75.
Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam, (Yogyakarta: LKiS,
2004), hlm. 32.
Syed Muhammad Al-Naqiub Al-Alattas, Konsep Pendidikan Islam dalam
Islam; Suatu Rangka Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam,
Terj. Haidar Baqir (Bandung: Mizan, 1992), hlm 67.
Pertama, jasmani yang sehat dan kuat artinya muslim perlu
memiliki jasmani yang kuat dan sehat, terutama berhubungan
dengan keperluan penyiaran dan pembelaan serta penegakan ajaran
Islam. Pentingnya kekuatan jasmani dan kesehatan ini terlihat dalam
firman Allah Q.S. al-Anfal ayat 60:
َ ُ َْ ُ ْ ْ ‫َوأَع ُِّدوا ل َ ُه ْم َما‬
‫اليْ ِل ت ْره ُِبون بِهِ َع ُد َّو‬ ِ ‫اس َت َطع ُت ْم م ِْن ق َّو ٍة َوم ِْن رِ َب‬
‫اط‬

239
Dr. Samsul Bahri, MA.

َ ُ َّ ُ ُ َ ُ َ ْ َ َ ْ ُ ْ َ َ َ ْ ُ َّ ُ َ َ َّ
‫الل َي ْعل ُم ُه ْم ۚ َو َما‬ ‫اللِ وعدوكم وآخ ِرين مِن دون ِ ِهم ل تعلمونهم‬
َ َ ْ ُ َ ْ َ ُ َ َّ َّ ْ َ ْ ُ ُْ
‫يل اللِ يُ َوف إِلْك ْم َوأن ُت ْم ل تظل ُمون‬ َ
ِ ِ ‫تنفِقوا مِن ش ٍء ِف سب‬
Artinya: Dan siapkanlah untuk (menghadapi) mereka apa yang kamu
mampu dari kekuatan dan dari kuda-kuda yang ditambat. (dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuh kamu
dan orang-orang selain mereka yang kamu tidan mengetahui siapa
mereka;Allah mengetahui mereka. Apa saja yang kamu nafkahkan
pada jalan Allah niscaya Allah akan dibalas dengan sempurna kepada
kamu dan kamu tidak akan dianiaya.
Kedua, cerdas serta pandai, Islam menginginkan pemeluknya
cerdas dan pandai sebagai ciri akal yang berkembang dan adanya
kemampuan menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat serta
banyak memiliki pengetahuan. Ketiga, ruhani yang berkualitas
tinggi adalah kalbu yang penuh berisi iman kepada Allah atau
dengan ungkapan lain kalbu yang bertaqwa. Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu
Pendidikan Islam, hlm. 57- 63.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in
Islam, A. Framework forAn Philosophy of Education, (Kuala Lumpur:
Muslim Youth Movement of Malaysia, ABIM, 1980), hlm. 54.
H. Abu Ahmadi, Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2001), Cet II, hlm. 115.
Hery Noer Aly, H. Munzier S., Watak Pendidikan Islam, (Jakarta:
Friska Agung Insani, 2000), hlm. 144.
Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), Cet II, hlm. 166.
Ismail (ed), Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), hlm. 44.
Fadhil al-Djamali, Menerebas Krisis Pendidikan Dunia Islam,
(Jakarta: Golden Terayon Press, 1988), hlm. 133.

240
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Hunbungan antara Iman dan ilmu pengatahuan Ibnu Sina


pernah menggambarkan dengan sebuah syairnya yang artinya:
Sesungguhnya jiwa itu bagaikan kaca, dan akal bagaikan lampunya
dan hikma Allah bagaikan minyaknya. Maka ketika ia bersinar,
sesungguhnya engkau hidup, dan ketika ia padam maka engkau
menjadi Mati. Bait-bait syair tersebut di atas, hendaknya menjadi
syairnya para murid dan guru dalam pendidikan Islam secara
menyeluruh. Namun demikian bait tersebut menginformasikan
bagaimana sesungguhnya ilmu pengetahuan yang benar pada
saat diterima oleh akal fikiran yang sehat, bersinar terang, yang
menunjukkan kepada kita secara menyeluruh dan menperkuat iman
kepada Yang Maha Pencipta keseluruhannya.
Hasan Ibrahim Abdu Al’, Min Alami Tarbiyyah Arabiya Islamiyah,
(Maktab: Tarbiyah al-Arabi Lidduali khalic, 1988), hlm. 290.
Al-Qabisi memiliki nama lengkap Abu al-Hasan ibn Muhammad
Khallaf al-Ma’rifi al-Qabisi, lahir di Kairawan, Tunisia pada Bulan
Rajab tahun 224 H, bertepatan dengan tanggal 13 Mei 936 M dan
meninggal dunia tanggal 3 Rabiul awal 403 H (23 Oktober 1012 M).
Ia salah seorang ulama fiqhi, corak pemikirannya normatif dengan
mengacuh kepada al-Qur’an dan Hadis, sehingga dalam konsep
tujuan pendidikan Islam bercorak fiqih. Secara jelas lihat Abuddin
Nata, Pemikiran Para Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), Cet I, hlm. 25-26.
Untuk lebih jelasnya juga baca Herwina Bahar, Dalam Jurnal
Pemikiran Islam Kontemporer, Miskatul Anwar, Tujuan Pendidikan
Dalam Persfektif Al-Qabisi, Volume 7, 1 Juni 2001, hlm. 111-121.
H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, hlm. 4
Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma Dalam Pendidikan Islam
dan Sains Sosial, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 25.
M. Quraish Shihab Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan,
1994), hlm. 173

241
Dr. Samsul Bahri, MA.

Depertemen Agama RI, Ilmu untuk Disiplin Pendidikan, Buku Daras


Pendidikan Islam Pada Perguruan tinggi Umum, (Jakarta: Depag, 2000),
hlm. 133.
Mengenai khalifah Ahmad Hasan Firhat dalam bukunya, Khalifah
fi al-Ardh; Pembahasan Kotekstual, (Jakarta: Cakrawala Persada, 1992),
hlm. 56..
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam,
Nizar, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 106.
Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama,
Negara, dan Demokrasi, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 3.
Abdurrahman, An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah,
dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 123.
Bejamin S. Bloom, (ed), Taxnomy of Education Obfectives Handbook
1, Cognitive Domain, (New York: Longman Inc, 1956), hlm. 7.
Ahamd Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam; Integrasi Jasmani, Rohani,
Kalbu Memanusiakan Manusia, hlm. 127.
Hafidhuddin, Didin, Konsep Pendidikan Karakter Berbasis
Pendidikan Agama, dalam jurnal Pendidikan Islam, Ta’dibuna, Vol 1/No.
1/ Juni 2011, hlm. 28.
Muhammad ‘Atiyah al-Abr.sy., al-Tarbiyyah al-Islamiyah Wa
Falsifatuh. (Kairo: Is. al-B.b. al-.alab., 1969), hlm. 71.
Marginal Men, adalah orang-orang yang menciptakan
kedewasaan tanpa menemukan peranannya dalam masyarakat
karena ia terpencil dan terasing dari nilai-nilai masyarakat sendiri.
Lihat Azyumardi Azra, Esai-Esai IntlektualMuslim dan Pendidikan Islam,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 11.
M. Rusli Karim, Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta,
(Yogyakata: Tiara Wacana, Cet I 1991), hlm. 32.
Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spritual Pendidikan, Solusi Problem
Filosofis Pendidikan Islam, (Yogyakarta:Tiara Wacana, 2002), hlm. 78-79.

242
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan


Al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 130-132.
Azyumardi Azra, Esai-esai Intelektual, hlm. 6-7.
Omar Mohammad Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, terj.
Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulang Bintang, 1979), hlm. 399.
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1998),
hlm. 126-128.
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz,
2006), hlm. 116.
Hujair AH. Sanaky, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Safiria Insani Press, 2003), hlm. 163.
Kurikulum berasal dari bahasa Latin curriculum, semula berarti
a running course, specialy a chariot race course mata pelajaran yang
harus ditempuh untuk mencapai gelar atau ijazah. Namun secara
tradisional kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang
diajarkan disekolah. Lihat S Nasution, Pengembangan Kurikulum,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), cet ke-5, hlm. 9. Sedangkang
kurikulum dalam pendidikan Islam dikenal dengan kata manhaj yang
berarti jalan yang terang yang dilalui oleh pendidikan bersama anak
didiknya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan
sikap mereka. Bahkan selain itu, kurikulum juga dipandang sebagai
suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan
untuk mencapai tujuan. Lihat Pula Omar Mohammad Al-Toumy Al-
Syaibani, Fasalfah Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung, Jakarta,
Bulan Bintang, 1984, hlm. 478. Dan Zakiah Darajat dkk, Ilmu Pendidikan
Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), cet ke-3, hlm. 122. Definisi
kurikulum menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 11, yang berbunyi: Kurikulum adalah
seperangkap rencana dan peraturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta
cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar.

243
Dr. Samsul Bahri, MA.

Hasan Langgulung, Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam


dan Sains Sosial, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 241.
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 56.
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 83.
Asas agama yakni seluruh sistem yang ada dalam masyarakat
Islam, termasuk sistem pendidikannya harus meletakkan dasar
falsafah, tujuan, dan kurikulumnya pada ajaran Islam yang meliputi
aqidah, ibadah, muamalat dan hubungan-hubungan yang berlaku
di masyarakat. Hal ini bermakna bahwa semua itu pada akhirnya
mengacu pada dua sumber utama syari’at Islam, yakni Al-qur’an
dan Sunnah. Asas falsafah adalah dasar yang memberikan arah
dan kompas tujuan pendidikan Islam dengan dasar filosofis,
sehingga susunan kurikulum pendidikan Islami mengandung
suatu kebenaran, terutama yang diyakini kebenarannya. Secara
umum, dasar falsafah ini membawah konsekuensi bahwa rumusan
kurikulum pendidikan Islami harus beranjak pada konsep ontology,
epistimologi, dan aksiologi. Asas psikologi adalah asas yang member
arti bahwa kurikulum pendidikan Islami hendaknya disusun
dengan mempertimbangkan tahapan-tahapan pertumbuhan dan
perkembangan yang dilalui anak didik. Asas sosial adalah asas yang
mengarah pada pembentukan kurikulum pendidikan Islami yang
mengarah kepada realisasi individu dalam masyarakat. Pola yang
demikian ini, berarti bahwa semua kecenderungan dan perubahan
yang telah dan bakal terjadi dalam perkembangan masyarakat. Omar
Mohammad Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 32. 523.
Abdurrahman Al-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan
Islam dalam Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat, terj. Herry Noer Aly,
(Bandung: Diponegoro, 1989), hlm. 77-273.
Suayanto dan Djihad Hisyam, Refleksi dan Reformasi Pendidikan
di Indonesia Memasuki Milenium III, (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa,
2000), hlm. 63.

244
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Metode secara etimologi berasal dari dua perkataan yaitu meta


dan hodos. Meta berarti melalui dan hodos jalan atau cara. Dalam
bahasa Arab dikenal dengan istilah thariqah yang berarti langkah-
langkah strategis yang harus dipersiapkan untuk melakukan suatu
pekerjaan. Dengan demikian dapat dipahami metode merupakan
cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan. Lihat
H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),
hlm. 61.
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 195.
Ramayulis, Ilmu Pendididikan Islam, hlm. 155
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 195
Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta:
Pustaka al-Husana, 1985), hlm. 79.
Omar Mohammad Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, hlm.
583-584.
Model pertama adalah cara pembelajaran yang menempatkan
pendidik sebagai pemberi informasi, Pembina, dan pengarah, satu-
satunya dalam aktivitas proses pendidikan. Konsekuensi model ini
adalah seorang pendidik mengcukupkan dirinya pada penguasaan
bahan pelajaran semata, tanpa harus mengetahui nilai-nilai yang
terkandung dalam bahan pelajaran yang dapat disampaikan kepada
peserta didik. Model kedua adalah pembelajaran yang berpusat
pada peserta didik, merupakan metode yang berupaya memberikan
rangsangan, bimbingan dan pengarahan, serta dorongan kepada
peserta didik agar terjadi proses belajar mengajar. Model ketiga,
model pembelajaran yang memadukan dua model di atas. Di
dalam model ini, yang terjadi adalah intraksi antara pendidik dan
peserta didik dalam proses pendidikan, di mana keduanya memiliki
peran dan andil yang sama-sama dalam proses pembelajaran. Lihat
Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, hlm. 202

245
Dr. Samsul Bahri, MA.

Abdurrahman Al-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan


Islam dalam Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat, terj. Herry Noer Aly, (
Bandung: Diponegoro, 1989), hlm.283-284
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 219-226.
Omar Mohammad Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, hlm.
560-581.
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 143.
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan
Al-Qur’an, hlm. 205.
Kata evaluasi berasal dari bahasa Inggirs (to evaluate-value-
evaluaation), secara harfiah dapat diartikan sebagai penilaian.
Hamsah B. Uno, Assessment Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara,
2012), hlm. 3.
Ahmad Sopyan dkk, Evaluasi Pembelajaran IPA Berbasis Kompetensi,
(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), hlm. 3.
Ramayulis, Ilmu Pendididikan Islam, hlm. 200.
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 53.
Ramayulis, Ilmu Pendididikan Islam, hlm. 205.
Ramayulis, Ilmu Pendididikan Islam, hlm. 204. Lihat juga Armai
Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, hlm. 66.
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 83.
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Raja Grafindo:
Jakarta,  2006), hlm. 18.
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:Logos, 2005) hlm.
188.

246
Profil Penulis

Dr. Samsul Bahri, MA. Anak


keempat dari enam bersaudara
yang lahir di Kendari 24 Maret 1974,
Jenjang Pendidikan Sekolah Dasar, tahun
1980-1986 di Kendari. Madrasah Tsanawiyah
Negeri (MTsN kendari), tahun 1987-1990.
Madrasah Aliah Negeri Pesri, 1990-1993.
Program Strata 1 (S1) pada Fakultas pendidikan
agama Islam STAIN, tahun 1993-1997. Program Pascasarjana Studi
Islam (S2) Universitas Muhammadiyah Jakarta, tahun 2000-2003.
S3. Di Universitas Ibn Khaldun Bogor (UIKA) kosentrasi pendidikan
Islam. Karya ilmiah (buku) yang telah dihasilkan, Paradigma Baru
Dalam Pendidikan 2008. Ilmu Pendidikan, Diktat, Universitas
Muhammaiyah Jakarta, 2005. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
2012, Kapita Selekta Pendidikan Islam 2012, Pemikiran Pendidikan
dalam Islam, 2009...

247

Anda mungkin juga menyukai