Anda di halaman 1dari 10

Citra Ilmu, Edisi 29 Vol.

XV, April 2019

MA’NACUM MAGHZA SEBAGAI METODE DALAM KONTEKSTUALISASI


HADIS MUSYKIL (TELAAH PEMIKIRAN DAN APLIKASI HERMENEUTIKA
SAHIRON SYAMSUDIN)

Mustahidin Malula
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam
Konsentrasi Studi Alqurandan Hadis
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
mustahidinmalulaushuluddin@gmail.com

Abstrak
Permasalahan mengenai pemahaman dan pemaknaan hadis terletak pada tidak efektivnya penafsiran klasik terhadap
hadis-hadis yang bermasalah dan bertentangan, ditambah dengan penafsiran kontemporer yang bertumpu pada
hermeneutika terjebak pada kecenderungan obyektiv terhadap teks atau subyektifv tehadap segala hal. Teori
ma’na cum maghza secara singkat menjembatani kedua hal tersebut dengan menitik beratkan pada signifikansi
teks. Penggunaan hadis musykil dalam penulisan ini adalah untuk melihat seberapa jauh teori ma’na cum maghza
dapat menjadi sebuah alternatif metodologi memahami dan menafsirkan hadis sebagaimana pada umumnya
teori ini berorientasi pada penafsiran al-Quran. Pada bagian pengkajian penulis menggunakan hadis qudsi yang
tergolong musykil untuk ditafsirkan. Penafsiran secara obyektiv hanya dapat memberikan pemahaman tekstual dari
hadis tersebut dan tidak adanya pemaknaan mendalam sementara penafsiran secara subyektiv hanya memberikan
gambaran sosok yang menjadi lawan bicara Nabi pada hadis tersebut. Tetapi sumbangan besar pemaknaan hadis
dilakukan dengan menggabungkan dua kecenderungan itu di mana faktor historisitas dan maksud Nabi yang
mempengaruhi gaya bahasa dan perkataan Nabi serta dapat dipahami sesuatu yang menjadi pesan utama teks
sebagai tujuan dan atas hal tersebut yang secara lahiri dapat dikontekstualisasikan.
Kata kunci: Ma’na cum Maghza, Hadis Musykil, Kontekstualisasi.

Pendahuluan dan suasana kultural antara audiens dengan teks dan


Pemaknaan terhadap teks secara umum terlebih sang “empunya” sudah barang tentu menyebabkan
terhadap teks-teks keagamaan tidak sederhana tetapi keterasingan dan kesenjangan di satu sisi dan bahkan
sangat kompleks. Teks adalah bahasa yang memiliki deviasi pemaknaan di sisi lain.
banyak aspek di dalamnya, yang berhadapan dengan Dalam kajian tentang pemaknaan hadis dikenal
konteks sosial budaya pada saat teks itu turun sehingga sebuah ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang
membuat segala hal yang melekat pada diri teks tersebut Musykil1 secara lahiri karena adanya kemungkinan
menjadi samar secara denotasi. Belum lagi penulis atau dapat dikompromikan baik dengan cara taqyid terhadap
pengarang yang memiliki latar budaya yang beragam juga hadis yang mutlak atau mentaksis terhadap yang umum
persoalan perjalanan waktu yang berabad-abad hingga
sampai kepada kita. Hal ini merupakan konsekuensi
1
  M uhammad Ajjaj Khatib, Ushul Hadits; Ulumuhu wa
Musthalahuhu, Dar al-Fikri, Bairut 1989, hlm.27-28. Baca dan
logis dari adanya jarak antara pengarang dan pembaca
bandingkan, Yusuf Qardhawi, Sunnah dan Bid’ah, Gema Insani,
yang hanya dihubungkan oleh teks. Jarak waktu, tempat Jakarta, 2004, hlm.12-13.

29
Ma’nacum Maghza sebagai Metode dalam Kontekstualisasi Hadis Musykil ... – Mustahidin Malula

atau membawanya pada beberapa kejadian yang relevan Biografi


dengan hadis. Akan tetapi dalam metode musykil Sahiron Syamsuddin dilahirkan di kota Cirebon
hadis berupa al-jam’, al-tarjih, dan al-nasakh pun masih pada 11 Agustus 1968, saat ini beliau berstatus sebagai
terdapat kelemahan-kelemahan yakni terbatas hanya dosen Ushuluddin di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.
pada susunan bahasanya dan kandungan makna dari Selain menjadi pengajar di UIN Sunan Kalijaga beliau
sebuah hadis yang dinilai musykil, seolah hadis sebagai juga menjalankan aktivitas mengajar di beberapa tempat
sebuah teks hanya berdiri sendiri tanpa dipengaruhi oleh diantaranya pondok pesantren Baitul Hikmah Krapyak
berbagai subyektivitas dan konteks hadis itu muncul Yogyakarta. Latar belakang keagamaan keluarga Sahiron
hingga ke berbagai masa konteks dari periwayat hadis. adalah penganut aliran sunni tradisional yang memang
Sehingga dalam hal ini diperlukan sebuah metode menjadi aliran teologi Islam yang banyak dianut oleh
alternatif dalam mengkaji hadis musykil yang tidak penduduk Indonesia. Sebelum melanjutkan studinya
hanya bersifat obyektivitas tetapi juga subyektivitas dan ke Kanada dan Jerman untuk belajar studi Islam
historisitas dengan mengkombinasikan antara kedua dan hermeneutika, Sahiron memperoleh pendidikan
hal tersebut sehingga dicapai apa yang menjadi ideal tradisional dan modern secara formal dan informal dari
moral dari sebuah hadis yang dianggap musykil lahiri. bangku SD hingga SMA.
Kajian mengenai kombinasi antara obyektivitas dan Saat beliau menginjak masa perkuliahan, pertama
subyektivitas bukanlah sebuah hal baru dalam upaya kali yang harus dilakukannya ialah mengembangkan
penafsiran teks tetapi telah ada sebelumnya dengan intelektualnya, sehingga ia ingin mengkombinasikan
teori obyektivis cum subyektivis yang ditempati oleh ilmu tradisional yang ia peroleh dengan ilmu modern.
tokoh Gadamer dan Gracia sebagai aliran tengah dalam Sehingga menjadi keinginannya untuk mempelajari
permasalahan sebuah teks yang terlalu mengarah kepada keilmuan Islam dan keilmuan Barat yang lebih
obyektivis maupun sebaliknya. Dan menurutnya, mendalam dengan meneruskan studinya ke Negara
hermeneutika merupakan sebuah keniscayaan dan Kanada dan Jerman pada Universitas McGill Kanada dan
satu-satunya pilihan (the only alternative), sebagai solusi Universitas Bamberg Jerman. Di universitas pertama,
untuk menjembatani ‘kebuntuan’ dan ‘krisis’ Ulumul ia memperoleh pendidikan tentang kajian Islam dan
Qur’an dan tafsir klasik yang sudah tidak relevan lagi berhasi meriah gelar Master dalam bidang interpretasi
dengan konteks dan semangat zaman sekarang ini2. sedangkan untuk universitas kedua ia memperoleh
Serupa dengan hal tersebut sebuah gagasan oleh pendidikan tentang kajian Islam, Orientalisme, Filsafat
Sahiron yang dikenal dengan teori ma’na cum maghza Barat, dan Sastra Arab.
dianggap sebuah wacana baru metodologi penafsiran Semasa belajar di Barat, Sahiron banyak bertemu
kontemporer oleh karenanya dalam penulisan ini dengan pemikir Barat yang mengkaji Islam dari berbagai
mencoba menggunakan teori tersebut sebagai sebuah perpektif. Selain belajar studi ke-Islaman di Barat,
metode dalam upaya kontekstualisasi hadis musykil ia juga tertarik untuk mempelajari hermeneutika.
dengan mengkaji beberapa hal yakni bagaimana dan Ketertarikannya terhadap disiplin keilmuan in tidak
seperti apa penggunaan serta pengaplikasian teori ma’na lepas dari latar belakang kehidupannya sebagai seorang
cum maghza dalam sebuah hadis. penafsir yang kental dengan metodologi penafsiran
teks. Dari sikap komitmen dan konsistennya tersebut,
2
  M. Amin Abdullah dalam kata pengantar buku, Abdul
Sahiron Syamsuddin mencoba mengangkat topic
Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an
Periode Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003),
besar yang menjadi obsesinya yaitu Islam dengan visi
h. xii. al-Quran; suatu gagasan untuk mewujudkan cita-cita

30
Citra Ilmu, Edisi 29 Vol. XV, April 2019

Alquranyang senantiasa ditafsirkan dan ditafsirkan sebab di sana terdapat keseimbangan hermenutika,
ulang oleh setiap generasi guna menemukan makna dalam artian memberi perhatian yang sama terhadap
ideal dalam setiap teks al-Qur’an, karena kemahiran makna asal literal dan pesan utama di balik makna
dan sepak terjang dan keseriusannya di dunia keilmuan literal. Dengan memberikan penjelasan tambahan
sehingga namnya menjadi mashur dan diperhitungkan tentang signifikansi, kemudian ia mengistilahkan teori
di dunia internasional.3 pembacaannya tersebut dengan pembacaan ma’na cum
maghza.
Teori Jadi teori penafsiran hermeneutika yang paling
Sahiron Syamsudin membagi aliran hermenetika sesuai adalah pembacaan ma’na cum maghza yaitu,
dari segi pemaknaan terhadap obyek penafsiran menjadi penafsiran yang menjadikan makna asal literal
tiga aliran, yaitu aliran obyektivis, aliran obyektivis (makna historis, tersurat) sebagai pijakan awal untuk
cum subyektivis 4. Menurutnya dengan melihat memahami pesan utama teks (signifikansi, makna
kecenderungan dari aliran-aliran umum tersebut, terdalam, tersirat). Menurutnya sesuatu yang dinamis
bahwa di sana terdapat kemiripan dengan aliran dalam dari penafsiran bukan makna literal teks, karena ia
penafsiran al Quran saat ini. Sehingga ia pun membagi monositik, objektiv, dan historis-statis. Sementara
tipologi penafsiran konteporer menjadi tiga yaitu quasi pemaknaan terhadap signifikansi teks bersifat pluralis,
obyektivis tradisionalis, pandangan quasi obyektivis subjektiv (juga intersubjektiv) dan historis-dinamis
modernis dan pandangan subyetivis. Dari ketiga sepanjang peradaban manusia. Pendekatan seperti ini,
pandangan di atas, menurut Sahiron yang paling dapat menurut mereka merupakan gabungan antara wawasan
diterima adalah pandangan quasi obyektivis modernis5, teks dan wawasan penafsir antar masa lalu dengan masa
kini, antara aspek ilahi dengan aspek manusiawi. Maka,
3
  Abdullah, Metodologi Penafsiran Kontemporer (telaah pemikiran menurut mereka teori penafsiran yang didasarkan pada
Sahiron Syamsuddin Tahun 1990-2013), (Yogyakarta: Skripsi Fakultas
Ushuluddin UIN SUKA, 2013), hlm. 12-18.
4
  Pertama, aliran objektivis, yaitu aliran hermeneutika yang lebih Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dan disampaikan
menekankan pada pencarian makna asal dari obyek penafsiran kepada generasi Muslim awal. Menurut Sahiron, bagi kelompok ini,
(teks tertulis, teks diucapkan, prilaku, simbol-simbol kehidupan esensi pesan Tuhan adalah yang tertera secara tersurat dan pesan
dll.). Jadi, penafsiran disini adalah upaya merekonstruksi apa yang itulah yang harus diaplikasikan di manapun dan kapanpun. Di
dimaksud oleh pencipta teks. Di antara yang bisa digolongkan dalam antara yang tergolong kelompok ini, menurutnya, seperti Ikhwanul
aliran ini adalah Friedrich D. E. Schleirmacher dan Wiliam Dilthey. Muslimin dan kaum salafi. Kedua, pandangan quasi-objektivis
Kedua,aliran subjektivis, yakni aliran yang lebih menekankan pada modernis, yang memandang makna asal literal sebagai pijakan awal
peran para pembaca/ penafsir dalam pemaknaan terhadap teks. untuk memahami makna dibalik pesan literal yang merupakan pesan
Menurutnya, pemikiran-pemikiran dalam aliran ini terbagi menjadi utama Al-Qur’an. Makna di balik pesan literal inilah yang menurut
tiga. Ada yang sangat subjektivis, yaitu ‘dekonstruksi’ dan reader- mereka harus diimplementasikan pada masa kini dan akan datang.
response critism. Ada yang agak subjektivis seperti post-strukturalisme Menurut Sahiron, contoh dari kelompok ini antara lain; Fazlur
dan ada yang kurang subjektivis, yakni strukturalisme. Adapun yang Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd dan Muhammad al-Thalibi. Dan
ketiga adalah aliran objektivis-cum-subjektivis, yakni aliran yang yang terakhir adalah pandangan subjektivis yang menegaskan bahwa
memberikan keseimbangan antara pencarian makna asal teks dan setiap penafsiran sepenuhnya merupakan subjektivitas penafsir,
peran pembaca dalam penafsiran. Yang termasuk dalam aliran ini sehingga kebenaran interpretatif itu bersifat relatif. Atas dasar
adalah Hans Georg Gadamer dan Jorge J.E. Gracia. Lihat, Sahiron ini, maka menurut kelompok ini, setiap generasi mempunyai hak
Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, h. 26 untuk menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan perkembangan ilmu
5
  Pertama, pandangan quasi-objektivis tradisionalis, yaitu dan pengalaman pada saat Al-Qur’an ditafsirkan. Yang termasuk
suatu pandangan bahwa ajaranajaran Al-Qur’an harus dipahami, kelompok ini menurut Sahiron adalah Muhammad Syahrur. Lihat,
ditafsirkan dan diaplikasikan pada masa sekarang, sebagaimana ia Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an,
dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada situasi, di mana Al- h. 73-76. Lihat pula, Sahiron Syamsuddin

31
Ma’nacum Maghza sebagai Metode dalam Kontekstualisasi Hadis Musykil ... – Mustahidin Malula

perhatian yang sama terhadap makna dan signifikansi aplikasi (Anwendung) adalah teori yang menegaskan
terdapat balanced hermeneutics.6 bahwa setelah seorang penafsir menemukan makna
Sahiron menegaskan bahwa teori penafsiran yang dimaksud dari sebuah teks pada saat teks itu
ma’na cum maghza ini sejatinya merupakan elaborasi muncul, ia lalu melakukan pengembangan penafsiran
teori aplikasi Gadamer7. Menurutnya teori ini persis atau reaktualisasi/ reinterpretasi dengan tetap
sebagaimana konsep al-Ghazali yang membedakan memperhatikan kesinambungan ‘makna baru’ dengan
antara al-ma’na al-zahir dan al-ma’na al-batin. Nasr makna asal sebuah teks. Penafsiran ini menurut mereka
Hamid Abu Zayd menamakannya dengan ma’na dan dilakukan dengan memperhatikan konteks tekstual
maghza8, Hirch menyebutnya meaning dan significance, dengan analisis bahasa sebagai basis dan konteks sejarah
dan Gadamer9 yang mengistilahkannya dengan sinn dan di mana teks itu muncul dengan analisis historis sebagai
sinnesgenaph. Gadamer menyatakan bahwa sejarahlah instrumentnya.
yang membentuk kesadaran. Pengetahuan pun terbentuk Sahiron Samsuddin menyatakan bahwa teori ma’na-
oleh sejarah. Ia mengistilahkan teorinya tersebut cum-maghza sejalan dengan dengan teori takwil Nasr
dengan teori kesadaran sejarah (effective-historical Hamid Abu Zayd yang membedakan antara keterkaitan
conciousness). Secara umum dapat dijelaskan bahwa makna asli (ma’na) dan makna baru (magza10). Nasr
inti dari teori kesadaran sejarah tersebut dan teori pra Hamid sendiri, mengikuti gagasan hermeneutika E. D.
pemahaman adalah bahwa seorang penafsir harus hati- Hirsch11. Menurut Nasr Hamid, makna dari sebuah teks
hati dalam menafsirkan teks dan tidak menfasirkannya tidak berubah, yang berubah adalah signifikansinya.
sesuai dengan kehendaknya yang semata-mata berasal Makna adalah apa yang direpresentasikan oleh teks
dari pra pemahaman yang telah terpengaruh oleh dan tanda-tanda. Sedangkan signifikansi adalah apa
sejarah (pengetahuan awal, pengalaman dll.) Adapun yang menamai sebuah hubungan antara makna itu dan
dengan teori the fusion of horizons, ia menyatakan seseorang atau persepsi, situasi, atau sesuatu yang bisa
bahwa dalam proses penafsiran, terdapat dua horison dibayangkan.
utama yang harus diperhatikan dan diasimilisasi, yaitu Jika diperhatikan, teori penafsiran ma’na-cum-
horison teks dan horison penafsir. Sedangkan teori maghza tersebut juga, terpengaruh oleh teori double
movement dan konsep ideal morallegal formal Fazlur
Rahman. Dalam teori gerak gandanya, Rahman
6
  Asep Setiawan, “Hermeneutika al-Quran “Mazhab Yogya”;
Telaah atas Teori Ma’na Cum Maghza dalam Penafsiran al-Quran”, menerangkan bahwa, gerakan pertama diawali dari
Jurnal Studi Ilmu al-Quran dan Hadis Vol. XVII, No. 1, Januari 2016, pemahaman situasi sekarang menuju ke masa turunnya
hlm. 84 al-Qur’an, yakni memahami konteks mikro dan
7
  Teori aplikasi (Anwendung) yang digagas oleh Gadamer adalah
makro pada saat itu. Pemahaman tersebut akan dapat
teori yang menegaskan bahwa setelah seorang penafsir menemukan
makna yang dimaksud dari sebuah teks pada saat teks itu muncul,
melahirkan makna original yang dikandung oleh wahyu
dia lalu melakukan pengembangan penafsiran atau reaktualisasi/ di tengah-tengah konteks sosial-moral era kenabian,
reinterpretasi dengan tetap memperhatikan kesinambungan ‘makna sekaligus dapat menghasilkan gambaran situasi dunia
baru’ dengan makna asal sebuah teks. Lihat, Sahiron Syamsuddin, yang lebih luas. Selanjutnya, pemahaman tersebut akan
Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, h. 85
8
  Ahmad Rasyuni, Nazariyah al-Maqasid ‘ind al-Imam al-Syatibi
(Virginia: The Internasional of Islamic Thought and Civilization, 10
  Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul
1997), h. 57. Qur’an, h. 86.
9
  E. Richard Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in 11
  Sunarwoto, “Nasr Hamid Abu Zayd dan Rekonstruksi Studi-Studi
Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer (Evanston: Nortwestern Al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin (dkk.), Hermeneutika Al-
University Press, 1967). 12 Qur’an Mazhab Yogya, h. 105.

32
Citra Ilmu, Edisi 29 Vol. XV, April 2019

menghasilkan rumusan narasi atau ajaran Alquranyang Kedua, adapun yang dimaksud dengan signifikansi
koheren tentang prinsip-prinsip umum dan sistematik ideal adalah akumulasi ideal dari pemahaman-
serta nilai-nilai yang melandasi berbagai perintah- pemahaman signifikansi ayat. Akumulasi ini akan
perintah yang bersifat normatif diketahui pada akhir tujuan atau setelah diketahui
Berkaitan dengan teori ma’na-cum–maghza seperti maksud dari kehendak Allah yang tertuang pada sebuah
yang telah disebutkan di atas, dimana merupakan makna teks. Sehingga dari hal ini dapat diketahui bahwa
elaborasi dari berbagai konsep fan teori hermenutika sesuatu yang dinamis dari penafsiran bukan terletak
Gadamer, Nasr Hamid Abu Zayd, Hirch termasuk juga pada pemaknaan teks meliankan pada pemaknaan
Fazlur Rahman yang kesemuanya berpedoman bahwa terhadap signifikan (pesan utama) teks.13
makna literal merupakan pijakan awal untuk memahami
pesan utama teks ( signifikansi). Oleh karena itu, di Contoh dan Aplikasi
sini akan diketengahkan kritik atas teori hermenutika Muskil hadis diartikan dengan hadis yang
para tokoh yang dijadikan sebagai sumber teori ma’na- maknanya tidak jelas dan menimbulkan multi tafsir baik
cum- maghza tersebut karena mempunyai makna ganda atau ataupun sebab
Menurut Sahiron, signifikansi terbagi menjadi dua lain, Sedangkan Manna’ al-Qaththan menyebutkan
yaitu; signifikansi fenomenal dan signifikansi ideal. definisi dari ilmu ilmu musykil al-Hadits, yaitu ilmu
Pertama, yang dimaksud dengan signifikansi fenomenal yang menggabungkan dan memadukan antara hadis-
adalah pesan utama yang dipahami dan diaplikasikan hadis yang zahirnya bertentangan, atau ilmu yang
secara kontekstual dan dinamis mulai pada masa menerangkan ta’wil hadis yang musykil meskipun tidak
Nabi hingga saat ia ditafsirkan pada periode tertentu. bertentangan dengan hadis lain14. Meskipun kajian
Ia terbagi menjadi dua yaitu signifikansi fenomenal tentang musykil hadis selalu dikategorikan sebagai
historis dan signifikansi fenomenal dinamis, dimana ilmu mukhtalaf hadis tetapi secara definisi jelas berbeda
signifikansi fenomenal historis adalah pesan utama antara keduanya karena musykil hadis lebih mengarah
sebuah ayat yang dipahami dan didefinisikan pada kepada sebuah hadis yang menimbulkan multi tafsir
masa pewahyuan. Sementara signifikansi fenomenal karena ketidak jelasnya sehingga bersifat jauh lebih
dinamis adalah pesan al- Qur’an yang dipahami dan umum ketimbang mukhtalaf hadis yang memang
didefinisikan pada saat ayat tersebut ditafsirkan dan hanya seputar hadis-hadis yang kontradiktif lahiri saja.
setelah itu diaplikasikan dalam kehidupan. Untuk Salah satu bentuk contoh hadis musykil adalah sebagai
memahami signifikansi fenomenal histori maka yang berikut;
diperlukan pemahaman terhadap konteks makro “dari Abi Zarr, dari Rasulullah Saw beliau bersabda
ketika matahari terbenam: tahukah kamu kemana
dan mikro12 sosial keagaman masyarakat yang hidup
perginya (matahari) ini? Aku (Abi Zarr) menjawab:
pada masa pewahyuan. Informasi-informasi historis
Allah dan Rasulnya lebih mengetahui. Beliau bersabda:
terkandung dalam asbab al-nuzul menjadi sangat sesungguhnya dia pergi sehingga sujud di bawah Arsy. Ia
penting. Sementara itu, untuk memahami signifikansi meminta izin (untuk bersujud) dan izinya diperkenankan.
fenomenal dinamis diperlukan pemahaman terhadap Lalu ia segera akan bersujud lagi, namun sujudnya tidak
perkembangan pemikiran dan logika zaman pada saat
penafsiran teks. 13
  Asep Setiawan, “Hermeneutika al-Quran “Mazhab Yogya”; Telaah
atas Teori Ma’na Cum Maghza dalam Penafsiran al-Quran”, hlm.85.
14
  Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, Penterjemah,
12
  Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika Dan Pengembangan Ulumul Mifdhol Abdurrahman, Judul asli, Mabahits fi Ulum al-Hadits,
Qur’an. Cet. II. Yogyakarta: Pesantren Newesia Press, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2005, hlm. 103.

33
Ma’nacum Maghza sebagai Metode dalam Kontekstualisasi Hadis Musykil ... – Mustahidin Malula

diterima. Ia meminta izin namun tidak diperkenankan. b. Intratekstualis: Penafsiran secara tekstualis dengan
Maka dikatakan kepadanya: kembalilah lagi dari melihat konteks teks
mana kamu datang. Maka matahari pun muncul
Pada hadis tersebut dari segi penggunaan lafadz
lagi di tempat tenggelamnya. Inilah yang difirmankan
Allah: dan matahari berjalan di tempat peredarannya. mengarah kepada makna majazi dengan qarinat yang
Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha menyertainya. Bahwa secara tekstualis hadis tersebut
Mengetahui. (HR. al-Bukhari) jelas mengenai garis peredaran matahari tetapi lafadz
“kemudian ia pergi untuk bersujud di bawah Arsy”
1. Metode penafsiran dalam ma’na cum memberikan makna bahwa matahari hilang dari
maghza; peredaran planet-planet pada saat tertentu, secara
a. Penafsiran secara kaidah bahasa arab logika pada dasarnya matahari tidak akan berpisah
Dalam hadis di atas terdapat lafadz yang sulit dari peredaran planet walau sesaat karena meskipun ia
dipahami yakni “sesungguhnya dia pergi sehingga sujud tidak kelihatan pada bagian bumi yang lain namun ia
di bawah Arsy.” Maksud tersebut berkaitan dengan kelihatan pada bagian bumi yang lain. Sehingga maksud
lafadz selanjutnya yang menjadi bunyi pada ayat 38 yang diperoleh dari “Ia meminta izin (untuk bersujud) dan
dalam surah Yasin “dan matahari berjalan di tempat yang izinya diperkenankan.” Dan “Ia meminta izin namun tidak
ditetapkan baginya” yakni penyebutan tempat sebagai diperkenankan. Maka dikatakan kepadanya: kembalilah
bentuk penjelasan perjalanan matahari pada setiap siang lagi dari mana kamu datang.” Merupakan gambaran
dan malam. penciptaan dunia dan segala isinya, kemudian gambaran
kehidupan, serta gambaran tentang tanda datangnya
Ibnu al-Arabi berkata, “sebagian manusia
hari kiamat. Sehingga dari keseluruhan cakupan makna
mengingkari matahari itu bersujud, padahal ini adalah
memberikan gambaran berawal dan berakhirnya masa.
suatu kebenaran dan tidak mustahil. Sebagian lagi
menakwilkan bahwa yang dimaksud dari ayat tersebut c. Intertekstualis: Penafsiran dengan cara menak­wil­kan
adalah mengendalikan matahari. Padahal tidak ada Hadis di atas ditakwilkan dengan al-Quran surat
halangan bila matahari keluar dari jalurnya lalu bersujud Yasin ayat 38 sebagai dalil penguat atas lafadz yang
dan kemudian kembali.” Al-Asqalani berpendapat, bermakna umum menjadi khusus;

ُ ‫ل َّ َها ۚ َذٰل َِك َت ۡقد‬ َ َۡ َّ


bahwa apabila yang dimaksudkan dengan keluar adalah
berhenti maka maknanya cukup jelas. Tapi bila tidak ‫ِير‬ ‫َوٱلش ۡم ُس ت ِري ل ُِم ۡس َتق ّ ٖر‬
ۡ َۡ
٣٨ ‫يزٱل َعل ِي ِم‬
demikian maka tidak ada dalil yang menunjukkan
bahwa matahari keluar dari jalurnya. Hanya saja ِ ‫ٱلع ِز‬
kemungkinan yang dimaksud dengan “sujud” adalah Terjemahnya: “dan matahari berjalan ditempat
sujud para malaikat yang diwakilkan untuk matahari peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha
Perkasa lagi Maha Mengetahui” QS. Yasin/36 :38
atau sujud secara maknawi sebagai bentuk ketundukan
dan kepatuhan pada saat tersebut.15 Sehubungan dengan makna kalimat “limustaqarril
laha” ialah tempat menetapnya matahari, yaitu di bawah
Arsy yang letaknya berhadapan dengan letak bumi jika
di lihat dari arah Arsy. Dengan kata lain, di mana pun
matahari berada ia tetap berada di bawah Arsy, demikian
pula dunia dan semua makhluk ciptaannya mengingat
  Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, (Jakarta: Pustaka Azzam,
15 Arsy adalah atap bagi semuanya. Bentuk Arsy itu bukan
2008), hlm. 46

34
Citra Ilmu, Edisi 29 Vol. XV, April 2019

bulat, tidak seperti yang disangka oleh para ahli ilmu Sehingga menjadi bukti bahwa ternyata bumi bergerak
ukur dan bentuk. Oleh karena Arasy berada di atas mengitari matahari pada porosnya dalam keadaan
semuanya, maka yang dalam hal ini matahari itu apabila berputar-putar dan tidak dalam keadaan diam.
berada di tengah kubah falak (edaran) di waktu dzuhur Serta matahari mempunyai dua pergerakan, sebuah
maka saat itulah matahari berada paling dekat dengan penelitian yang dilakukan NASA yang dikenal dengan
Arasy dan apabila berputar di garis edarnya hingga the double rotating sun bahwa matahari berotasi pada
letaknya berlawanan dengan kedudukan tersebut yaitu sumbunya selama sekitar 27 hari untuk mencapai
bila berada di tengah malam, maka matahari berada di satu kali putaran. Ahli astronomi mengemukakan
tempat yang paling jauh dengan Arasy. Pada saat itulah bahwa rotasi bagian interior matahari berbeda dengan
mentari bersujud dan meminta izin untuk terbit lagi. rotasi bagian permukaannya. Bagian inti dan zona
Dari penafsiran surah Yasin ayat 38 di atas radiatif(bagian sumbu) berotasi bersamaan sedangkan
memberikan pengertian dan penjelasan bahwa seolah- zona konvektif dan fotosfer (bagian tengah) juga berotasi
olah matahari bergerak terbit dan tenggelam mengitari bersamaan namun kedua bagian tersebut berotasi
bumi sehingga dalam hal ini juga penulis mencoba dengan kecepatan dan arah yang berbeda dimana
melakukan penakwilan dengan menggunakan sains bagian tengah berotasi horizontal memakan waktu 24
sebagai bukti empiris mengenai peredaran matahari. hari sementara bagian kutubnya berotasi vertikal sekitar
Pada awal perkembangan sains oleh ilmuwan 31 hari.
heliosentris baik klasik maupun modern sebagai bentuk Sehingga melalui penakwilan tersebut diketahui
bantahan atas teori geosentris, dan pada beberapa abad bahwa Nabi tengah mendeskripsikan tata cara
terakhir dibuktikan dengan adanya aberasi bintang oleh peredaran matahari dengan menggunakan bahasa
James Bradley (1725). Penjelasannya tentang aberasi yang memberikan kesan pengagungan kepada Allah
bintang dianalogikan dengan posisi kita (sebagai bumi) bahwasannya matahari pun sebagai pusat tata surya
di saat hujan (sebagai bintang jatuh) yang mana pada tetap tunduk dan bersujud menyembah dan patuh
dasarnya hujan akan jatuh secara lurus jika posisi kita terhadap perintah Allah dan memberikan pelajaran
diam dan justru jika posisi kita bergerak dan semakin terhadap diri kita untuk lebih memantapkan hati
melaju maka seolah-olah hujan tersebut jatuh dengan berserah diri kepada Allah.
posisi miring dan begitu pun dengan fenomena aberasi Oleh karena hadis tersebut menggunakan kata-
bintang, sebetulnya posisi bintang selalu tetap pada kata majazi dan kiasan maka tidaklah kemudian hadis
suatu titik di langit tetapi dari pengamatan astronomi tersebut dipahami secara tekstual dan dibuktikan secara
ditemukan bahwa posisi bintang mengalami pergeseran empiris, karena penelitian sains terhadap peredaran
dari titik awalnya sehingga menunjukkanmemang matahari dan bumi adalah benar serta hadis yang
sebenarnya bumilah yang bergerak. diucapkan nabi juga adalah benar hanya saja pemaknaan
Kemudian tentang sumber cahaya, jika sumber terhadap lafadz yang harus dipahami.
cahaya mendekat maka gelombang cahaya yang teramati
d. Penafsiran dengan memperhatikan konteks sejarah;
menjadi lebih biru, kebalikannya jika menjauh menjadi
asbab wurud dan konteks teks
lebih merah. Ketika bumi bergerak mendekati bintang
maka bintang menjadi lebih biru dan ketika menjauhi Hadis di atas secara historisitas, menggambarkan
bintang menjadi lebih merah. Pengamatan bintang sebuah peristiwa di mana Rasulullah pada saat itu
menunjukkan adanya pergesaran menjadi merah dan yang ketika berbicara kepada Abu Dzar tidak lain
di saat yang lain mengalami pergeseran menjadi biru. memperhatikan keadaan umat muslim dikala itu masih

35
Ma’nacum Maghza sebagai Metode dalam Kontekstualisasi Hadis Musykil ... – Mustahidin Malula

pada awal penyebaran Islam, Abu Dzar yang menjadi Islam meski belum sepenuhnya bisa dilakukan terang-
lawan bicara Rasul merupakan salah seorang sahabat terangan, karena pada saat itu hadis tersebut menjadi
Nabi yang setia mendampingi Nabi hingga saat akan salah satu ayat dalam surah Yasin dimana merupakan
meninggal dunia dan pada saat itu Nabi memanggil bagian dari surah makkiyah. Jika dilihat lagi sebelum
Abu Dzar sembari memeluknya dan berkata bahwa Abu Islam datang, penduduk jazirah Arab selain menyembah
Dzar adalah sahabatnya yang akan tetap sama sepanjang berhala pun termasuk penduduk yang menyembah
hidupnya dan memberikan petuah kepada Abu Dzar. matahari (lambang lelaki) dan bulan (lambang wanita)
Abu Dzar lahir 20 tahun sebelum munculnya sebagai dewa dan dewi mereka, sehingga merupakan
agama Islam yakni sekitar 590 Masehi dalam sebuah sebuah pertimbangan Rasul dalam berucap mengenai
keluarga dari kabilah Ghifar yang terkenal sebagai wahyu yang akan diterimanya mengenai peredaran
kabilah perompak dan penjarah harta orang-orang matahari tersebut dengan menggunakan bahasa
yang melakukan perjalanan jauh akan tetapi berbeda pengagungan kepada Allah dengan meminimalisir bias
dengan Abu Dzar di mana hasil jarahan dan rompakan yang akan mengarah dan mengembalikan pemikiran
tersebut dibagikan kepada orang-orang yang miskin dan mereka kepada kepercayaan nenek moyang mereka
terlantar. Abu Dzar sebelum datangnya Islam adalah terdahulu sehingga ada sebuah rasa keragu-raguan di
pemeluk ajaran monotheisme, Ibnu Habib Baghdadi dalamnya mengingat mereka merupakan pengikut
berkata bahwa Abu Dzar termasuk orang-orang yang ajaran Rasul yang masih membutuhkan bimbingan
berkeyakinan bahwa minum-minuman keras dan lebih serta perjuangan Rasul yang masih berlanjut
mengundi nasib dengan anak panah di zaman jahiliyah untuk mendakwahkan ajaran Islam kepada kaum yang
adalah sesuatu yang tidak bolehkan. Sampai kepada masih menyebah ajaran nenek moyang mereka.
Islam datang kemudian Abu Dzar termasuk orang ke- Oleh sebab itu menurut hemat penulis bahwa gaya
empat yang menyatakan dirinya memeluk agama Islam bahasa dan pengucapan Rasul pada saat itu dipengaruhi
dan secara terang-terangan di hadapan pemuka kabilah oleh kondisi sosial pada masa itu, di samping yang
musyrikin hingga ia dikepung dan dipukuli oleh orang- menjadi lawan bicara Rasul yakni Abu Dzar yang
orang yang saat itu berada di sekitar ka’bah yang pada merupakan sosok yang teguh pendiriannya terhadap
saat itu masih dikelilingi berhala. apa yang dikatakan kepadanya sehingga mudah
Abu Dzar yang semasa hidupnya tetap konsisten dicapai apa yang menjadi tujuan Rasul, dan terjaga
akan pesan-pesan yang ditinggalkan Nabi sewaktu masih maksud dan tujuan Rasul dalam hadis tersebut ketika
hidup sampai dengan akan meninggal dunia, yang akan kembali disampaikan yang kemudian nantinya
membuat dirinya sepeninggalan Nabi menjadi orang akan dikodifikasikan dalam kitab-kitab shahih para
yang hidup tanpa harta dan tahta dengan meminta muhaditsin.
kehidupan yang jauh dari hingar bingar kekuasaan dan
e. Penafsiran dengan menangkap maqashid nabi
kekayaan yang pada saat itu dirasakan dan diperoleh
ketika diturunkan
oleh sebagian besar sahabat-sahabat Nabi. Yang
Dapat dilihat dari penjelasan hadis di atas
kemudian sifat Abu Dzar tersebut menjadi tauladan
bahwasanya maksud Rasul dalam peristiwa tersebut
bagi tokoh-tokoh besar selanjutnya seperti Hasan Basri,
merupakan dirinya sebagai seorang utusan Allah
Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, dan sebagainya.
yang pada saat itu mengetahui akan menerima wahyu
Sementara ditelusuri dari segi konteks perbincangan
mengenai ketetapan garis peredaran matahari dengan
antara Rasul dengan Abu Dzar pada waktu itu adalah
melihat siapa menjadi lawan bicaranya agar supaya
masa-masa di mana Rasul masih giat mendakwahkan

36
Citra Ilmu, Edisi 29 Vol. XV, April 2019

maksud dari penyampaiannya dapat dipahami, sehingga agama Islam yang sebelumnya banyak yang menyembah
tidak lain maksud Rasul dalam hadis tersebut adalah matahari dan bulan sebagai dewa dewi mereka. Adapun
pengagungan kepada Allah melalui penjelasan tentang aspek dinamisnya yakni pemahaman pesan utama
matahari tanpa menjadikan matahari sebagai sesuatu setelah ditafsirkan sebagai bentuk kontekstualisasi
yang pantas untuk dikagumi secara berlebihan layaknya yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan,
pengagungan kepada Allah. adalah cara untuk menyembah, mengagungkan Allah
sebagai bentuk meng-Esa-kanNya dengan mematuhi
2. Aplikasi teori ma’na cum maghza dalam perintahNya sebagaimana digambarkan matahari patuh
sebuah hadis musykil kepadaNya serta tunduk dan sujud hanya kepadanya
Berdasarkan pandangan quasi objektivis modernis sebagaimana matahari ingin selalu bersujud kepadaNya.
yang kemudian melahirkan teori ma’na cum maghza Dan nilai tersebut yang menjadi signifikansi
oleh Sahiron16, dimana dalam hal tersebut terdapat idealnya dimana hal tersebut tidak akan berubah sampai
keseimbangan antara makna asal dengan pesan utama dengan akhir zaman sebagai tujuan mutlak menyembah
daripada suatu teks. Sehingga dalam kajian sebuah hadis Allah. Meskipun hal tersebut dikontekstualisasikan
qudsi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di atas dapat sebagaimana sejak masa Nabi hingga sekarang
dilihat pengaplikasiannya secar singkat sebagai berikut. dapat dilihat banyaknya bentuk keringanan dalam
Ma’na dalam teori hermeneutik oleh Sahiron beribadah (sebagai sarana yang dapat berubah sesuai
adalah sebuah hal dasar atau makna asal dari hadis dengan kemampuan kondisi) tidak lain adalah prinsip
tersebut yang dapat diketahui secara tersurat melalui kemudahan dalam beribadah agar nilai, maksud,
kaidah kebahasaan bahwa hadis tersebut mengenai kehendak, serta tujuan daripada ibadah tetap terlaksana
peredaran matahari terhadap bumi yang mengakibatkan yakni tunduk sujud hanya kepadaNya.
terjadinya matahari terbit dan terbenam atau siang dan Sehingga sesuatu yang dinamis dalam hadis
malam. tersebut yang didapatkan dari penafsiran signifikansi
Sementara signifikansinya, yakni terbagi menjadi hadis atau pesan utama hadis adalah cara menyembah
signifikansi fenomenal dan signifikansi ideal. dan beribadah kepada Allah yang lagi-lagi tidak lepas
Signifikansi fenomenal terbagi menjadi dua bagian kecil dari kemampuan dan kondisi, sebagaimana hal tersebut
yakni signifikansi fenomenal historis dan signifikansi untuk mencapai maksud dan tujuan daripada ibadah
fenomenal dinamis. yakni tunduk, patuh, serta mengagungkaNya. Oleh
Signifikansi fenomenal yang terdapat dapat hadis karena itu jika mencari sesuatu yang dinamis dari
tersebut adalah pengagungan terhadap Allah sebagai hadis tersebut dan kemudian hanya berdiri di atas
bentuk pernyataan ke-Esaannya dan beberapa bentuk pijakan makna asal teks secara tersurat maka tidak
cara menyembahnya. Dalam hal ini diperjelas lagi akan didapatkan sesuatu yang bersifat prinsipiel dari
berdasarkan konteks historisnya (signifikansi fenomenal sebuah teks.
historis) dan nilai dinamisnya (signifikansi fenomenal
dinamis). Konteks historis untuk memahami pesan
Kesimpulan
utama pada masa Rasul mengucapkan hadis tersebut, Hadis musykil yang diangkat dalam tulisan ini jika
adalah tidak lain untuk memantapkan hati masyarakat hanya dipahami secara tekstual atas dasar pandangan
muslim Arab yang telah menyatakan dirinya memeluk kelompok obyektif maka tidak lain yang didapatkan
hanya pengetahuan mengenai peredaran matahari yang
pastinya akan dikaitkan dengan teks nash atau dalil lain
  Sahiron Syamsuddin, “Tipologi dan Proyeksi Penafsiran…, h. 202
16

37
Ma’nacum Maghza sebagai Metode dalam Kontekstualisasi Hadis Musykil ... – Mustahidin Malula

yang setema dengan hadis tersebut mengenai matahari Muhammad Ajjaj Khatib, Ushul Hadits; Ulumuhu wa
bergerak seolah-olah mengitari bumi dan dari hasil Musthalahuhu, Dar al-Fikri, Bairut 1989, hlm.27-28.
pemaknaan tersebut mengklaim bahwa secara nash baik Baca dan bandingkan, Yusuf Qardhawi, Sunnah
Alqurandan Hadis menyatakan bahwa sesungguhnya dan Bid’ah, Gema Insani, Jakarta, 2004.
mataharilah yang bergerak mengitari bumi dan bumi M. Amin Abdullah dalam kata pengantar buku, Abdul
itu diam sehingga dapat terjadi peristiwa pergantian Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi
siang dan malam. Sehingga dapat dilihat kekurangan Penafsiran AlquranPeriode Klasik Hingga Kontemporer
dari penafsiran yang cenderung obyektif. (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003).
Sementara jika menyeimbangkan antara penafsiran Abdullah, Metodologi Penafsiran Kontemporer (telaah
yang obyektif dan subyektiv dengan meletakkan makna pemikiran Sahiron Syamsuddin Tahun 1990-2013),
asal dan pesan utama (ma’na cum maghza) sebagai (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN
hal dasar melalui penelusuran historisitas teks dan SUKA, 2013)
maqasidnya maka ada beberapa hal yang dapat diketahui
Ahmad Rasyuni, Nazariyah al-Maqasid ‘ind al-Imam
yang mungkin mempengaruhi sebuah teks baik dari segi
al-Syatibi (Virginia: The Internasional of Islamic
bahasanya, maksud penyampainya, ideal moral, prinsip
Thought and Civilization, 1997).
universalitas, dan bahkan legal spesifik dari sebuah teks.
E. Richard Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory
in Schleirmacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer
DAFTAR PUSTAKA
(Evanston: Nortwestern University Press, 1967)
Abdullah, Metodologi Penafsiran Kontemporer (telaah
Sunarwoto, “Nasr Hamid Abu Zayd dan Rekonstruksi
pemikiran Sahiron Syamsuddin Tahun 1990-2013),
Studi-Studi Al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin
Yogyakarta: Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN
(dkk.), Hermeneutika AlquranMazhab Yogya.
SUKA, 2013.
Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika Dan
al-Asqalani, Ibnu Hajar., Fathul Baari, Jakarta: Pustaka
Pengembangan Ulumul Qur’an. Cet. II. Yogyakarta:
Azzam, 2008.
Pesantren Newesia Press.
Setiawan,Asep., “Hermeneutika al-Quran “Mazhab
Manna’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis,
Yogya”; Telaah atasTeori Ma’na Cum Maghza
Penterjemah, Mifdhol Abdurrahman, Judul asli,
dalam Penafsiran al-Quran”, Jurnal Studi Ilmu al-
Mabahits fi Ulum al-Hadits, Pustaka al-Kautsar,
Quran dan Hadis Vol. XVII, No. 1, Januari 2016.
Jakarta, 2005.

38

Anda mungkin juga menyukai