Anda di halaman 1dari 7

PEMIKIRAN MA’NA CUM MAGHZA SAHIRON SYAMSUDIN DAN APLIKASINYA

Disusun guna memnuhi tugas makalah mata kuliah Pemikiran Tafsir Modern dan Kontemporer

Dosen Pengampu: Dr. Muhammad Aji Nugroho, Lc., M.Pd.I

Disusun oleh:

Syafa Luklu’us Tsania 53020200157

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SALATIGA


2023
PENDAHULUAN

Al-Quran Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu di
antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah
kitab yang selalu dipelihara.1 Maka dari itu pemaknaan atau penafsiran terhadap al-Qur’an bukan
merupakan hal yang sederhana tetapi sangat kompleks. Sehingga dalam hal ini diperlukan sebuah
metode alternatif dalam mengkajinya yang bukan hanya bersifat objektivitas, tetapi juga
subjektivitas dan historisitas dengan mengkombinasikan antara kedua hal tersebut. Kemudian
hermeneutika hadir sebagai sebuah penyelesaian dan menjadi satu-satunya pilihan, sebagai solusi
untuk menjembatani kebutuhan dan krisis ulumul Qur’an dan tafsir klasik yang sudah tidak relevan
lagi dengan konteks dan semangat zaman sekarang ini. 2
PEMBAHASAN

A. Biografi Sahiron Syamsudin


Sahiron Syamsudin dilahirkan di kota Cirebon pada tanggal 11 agustus 1968, yang
ternyata di daerah tersebut telah melahirkan beberapa Ulama’. Sahiron Syamsudin saat ini
tinggal di Krapyak Kulon Rt. 07 No. 212, Panggungharjo Sewon, Bantul, Yogyakarta dan
mendirikan sebuah Pondok Pesantren yang bernama Pondok Pesantren Baitul Hikmah dan
aktif mengajar teks-teks klasik dan juga hermeneutika Gracia. Sahiron Syamsudin juga
menjadi dosen Ushuluddin di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. 3
Sejak kecil Sahiron Syamsudin belajar agama pada lingkungan keluarga yang
kemudian dilanjutkan dengan belajar di Pondok Pesantren Raudhatu al-Thalibin Babakan,
Ciwaringin, Cirebon pada tahun 1981-1987 juga sekaligus menempuh pendidikan formal
pada Madrasah Tsanawiyah Negri Babakan Ciwirangin pada tahun 1981-1984 dan
Madrasah Aliyah Negri Babakan Ciwaringin pada tahun 1984-1987. Selain itu, beliau juga
melanjutkan belajar ilmu agama di pondok pesantren Nurussalam. Sahiron Syamsudin
menempuh pendidikan sarjana di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan jurusan Tafsir
Hadis pada tahun 1987-1993. Kemudian Sahiron Syamsudin melanjutkan pendidikan S2
di McGill University, Kanada dan memperoleh gelar Master of Arts pada tahun 1998
dengan judul tesisnya An examination of Bint al-Shati’s method of interpreting the Qur'an.
Kemudian Sahiron Syamsudin melanjutkan S3 di Bamberg University pada tahun 2001-
2006 dan pasca S3 di Frankfurt University Jerman yang beliau selesaikan pada Juli 2010. 4
Sahiron Syamsudin tercatat sebagai intelektual muslim yang produktif dalam
mengungkapkan pikirannya melaui media tulisan sebagai bentuk kegelisahan akademik

1
Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
(Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm. 5
2
M. Amin Abdullah dalam kata pengantar buku, Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi
Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm. xii.
3
Siti Robikah, Reinterpretasi Kata Jilbab dan Khimar dalam Al-Qur’an; Pendekatan Ma’na Cum Maghza
Sahiron Syamsuddin, Ijougs, Vol. 1 No. 1, 2020, hlm. 44.
4
Nahrul Pintoko Aji, Metode penafsiran Al-Qur’an Kontemporer; Pendekatan Ma’na Cum Maghza oleh Dr.
Phil. Sahiron Syamsudin, MA., Humantech: Jurnal Ilmiah Multi Disiplin Indonesia, Vol. 2, Januari 2022, hlm. 252.

2
dan respon terhadap fenomena yang berkembang. Beberapa tokoh yang mempengaruih
pemikiran Sahiron Syamsudin dalam masalah penafsiran yang relevan untuk masa kini
adalah tokoh-tokoh intelektual muslim seperti Fazlur Rahman (teori double movement),
Nasr Hamid Abu Zayd (analisa bahasa), dan Abdullah Saeed (Penafsiran kontekstualis).
Tokoh yang mempengaruhi pemirikan Sahiron Syamsudin tentang hermeneutika adalah
Hans Georg Gadamer dan Georg Gracia. Adapun Yudian Wahyudi juga turut
mempengaruhi pemikiran beliau dalam hal kritis metodologis.5
B. Pemikiran Ma’na Cum Maghza
Hermeneutika dari segi pemaknaan terhadap obyek penafsiran oleh Sahiron
Syamsudin dibagi menjadi tiga aliran, yaitu aliran objektivis, aliran subjektivis dan
objektivis-cum-subjektivis.6 Menurutnya, dengan melihat kecenderungan dari aliran-aliran
umum tersebut, bahwa terdapat kemiripan dengan aliran dalam penafsiran al-Qur’an saat
ini. Dengan itu, Sahiron Syamsudin kemudian membagi tipologi penafsiran kontemporer
menjadi tiga, yaitu quasi-objektivis tradisionalis, pandangan quasi-objektivis modernis dan
pandangan subjektivis. Dan dari ketiga pandangan di atas, menurut Sahiron yang paling
dapat diterima adalah pandangan quas-objektivis modernis, yang dikarenakan terdapat
keseimbangan hermeneutika dalam artian memberi perhatian yang sama terhadap makna
asli literal (al-ma’na al-asli) dan pesan utama (signifikansi: maghza) di balik makna literal.
Kemudian Sahiron memberi istilah pembacaan teorinya tersebut dengan pembacaan ma’na
cum maghza.7
Ma’na Cum Maghza merupakan penafsiran yang menjadikan makna asal literal
(makna historis, tersurat) sebagai pijakan awal untuk memahami pesan utama teks (makna
yang tersirat). Sesuatu yang dinamis dalam penafsiran bukanlah makna literal, namun
merupakan pemaknaan signifikansi atas teks dan historis-dinamis sepanjang perjalanan
manusia. Menurut Sahiron, pendekatan yang seperti ini merupakan pendekatan yang
menggabungkan antara wawasan teks dan wawasan penafsir, antara masa lalu dan masa
kini, dan antara aspek Ilahi dengan aspek manusiawi. Maka dari itu terdapat balanced
hermeneutics (keseimbangan hermeneutika) dalam pendekatan ma’na-cum-maghza.
Pendekatan ma’na cum maghza adalah pendekatan dalam penafsiran yang mana
terdiri dari makna (ma’na) suatu teks al-Quran yang dipahami oleh pendengar pertama dan
dikembangkan menjadi signifikansi (maghza) untuk situasi kontemporer. Ada beberapa
metodologi yang hampir sama dengan pendekatan ini, menurut Sahiron. Fazlur Rahman
yang menyebutnya dengan pendekatan double movement dan Abdullah Saeed yang
mempekenalkan pendekatan kontekstual yang sama diaplikasikan dalam ayat-ayat hukum

5
Siti Robikah, hal. 45.
6
Sahiron Syamsudin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Pesantren Nawesea
press, 2009), hlm. 26.
7
Mustahidin Malula, Ma’na Cun Maghza Sebagai Metode dalam Kontekstualisasi Hadis Musykil (Telaah
Pemikiran dan Aplikasi Hermeneutika Sahiron Syamsudin), Citra Ilmu, Vol. 15 Edisi 29, April 2019, hlm. 31.

3
saja. Namun berbeda dengan ma’na cum maghza yang mencoba mengapresiasikan seluruh
pemaknaan al-Quran.8
C. Langkah-Langkah Metodis penafsiran Berbasis Ma’na Cum Maghza
Tiga hal penting yang seharusnya dicari oleh penafsir, yakni pertama, makna
historis (al-ma’na al-tarikhi), kedua, signifikansi fenomenal historis (al-maghza al-
tarikhi), dan yang ketiga, signifikansi fenomenal dinamis (al-maghza al-mutaharrik) untuk
konteks ketika teks al-Qur’an ditafsirkan.

Penggalian Makna Historis (al-ma’na al-tarikhi) dan Signifikansi Fenomenal Historis


(al-maghza al-tarikhi)

Untuk mengetahui lebih dalam tentang makna historis dan signigikansi fenomenal
historis, seorang penafsir melakukan langkah-langkah berikut:

a. Penafsir menganalisa bahasa teks Al-Qur’an, baik kosakata maupun strukturnya.


b. Untuk mempertajam analisa ini penafsir melalukan intratektualitas, dalam arti
membandingkan dan menganalisa penggunaan kata yang sedang ditafsirkan dengan
penggunaannya di ayat-ayat lain.
c. Apabila dibutuhkan dan memungkinkan, penafsir juga melakukan analisa
intertekstualitas, yakni analisa dengan cara menghubungkan dan membandingkan
antara ayat Al-Qur’an dengan teks-teks lain yang ada di sekitar Al-Qur’an.
d. Penafsir memperhatikan konteks historis pewahyuan ayat-ayat al-Qur’an, baik itu yang
bersifat mikro ataupun bersifat makro.
e. Penafsir mencoba menggali maqṣad atau maghzā al-āyah (tujuan/pesan utama ayat
yang sedang ditafsirkan) setelah memperhatikan secara cermat ekspresi kebahasaan
dan atau konteks historis ayat Al-Qur’an.
Membangun/Kontruksi Signifikansi Fenmenal Dinamis
Selanjutnya, penafsir bisa mencoba mengkontekstualisasikan maqṣad atau maghzā
al-āyah untuk konteks kekinian, dengan kata lain seorang penafsir berusaha
mengembangkan definisi dan kemudian mengimplementasi signikansi ayat untuk konteks
ketika teks Al-Qur’an itu ditafsirkan. Adapun langkah-langkah metodisnya adalah sebagai
berikut:
a. Penafsir menentukan kategori ayat.
b. Penafsir mengembangkan hakekat/definisi dan cakupan “signifikansi fenomenal
historis” atau al-maghzā al-tārikhī untuk kepentingan dan kebutuhan pada konteks
kekinian (waktu) dan kedisinian (tempat), ketika teks al-Qur’an itu ditafsirkan.
c. Penafsir menangkap makna-makna simbolik ayat al-Qur’an.
d. Penafsir mengembangkan penafsiran dengan mengunakan perspektif yang lebih luas.
Agar bangunan “siginifikansi fenomenal dinamis” yang merupakan pengembangan

8
Siti Robkah, hlm. 26.

4
dari maghzā (signifikansi) atau maksud utama ayat untuk konteks kekinian (waktu)
dan kedisinian (tempat) lebih kuat dan meyakinkan, maka seorang penafsir selanjutnya
memperkuat argumentasinya dengan menggunakan ilmu-ilmu bantu lain, seperti
Psikologi, Sosiologi, Antroplogi dan lain sebagainya dalam batas yang cukup dan tidak
terlalu berpanjang lebar.9
D. Contoh Aplikasi Pendekatan Ma’na Cum Maghza tentang Anjuran Menikah pada
Q.S. An-Nur: 32
Pada Q.S. An-Nur: 32 ini membahas tentang anjuran untuk menikah bagi siapa
saja yang belum berpasangan. Menurut At-Tabari bahwa ayat ini menyuruh untuk
menikahkan orang-orang mukmin yang belum berpasangan secara sah baik lelaki maupun
perempuan, apabila orang-orang yang menikahi mereka itu belum mampu secara finansial
maka Allah akan mencukupi pernikahan mereka. Lebih lanjut, At-Tabari mengutip
riwayat-riwayat yang menjelaskan ayat ini. Beliau mengutip riwayat dari Ali bahwa Allah
memerintahkan dan mendorong orang-orang tersebut untuk menikah sekaligus orang-
orang yang merdeka serta budak-budak mereka, dan menjanjikan kekayaan dalam
pernikahan mereka. Riwayat selanjutnya dikutip dari Abu Kuraib yang mengatakan carilah
kekayaan yang kau inginkan dengan jalan menikah.
Adapun menurut Sayyid Qutb, ayat ini merupakan perintah untuk umat Islam
untuk menikahkan mereka. Kurangnya biaya pernikahan tidak seharusnya menjadi
penghalang untuk menikah, selama mereka pantas dan sanggup untuk menikah. Rezeki itu
datang dari Allah, dan Allah telah mejamin kekayaan bagi mereka bila pintar memilih jalan
yang suci dan terhormat. Selanjutnya, dalam masa penantian untuk dinikahkan, maka
ayama ini diperintahkan untuk menjaga kehormatan dan kesuciannya hingga Allah
mencukupkan mereka untuk menikah.
Kemudian dapat diambil signifikansi dan pengembangan makna yang terdapat
pada Q.S. An-Nur: 32 ini, yakni anjuran untuk menikah walau dalam keadaan fakir
sebenarnya bukanlah pesan utama yang ingin disampaikan oleh ayat ini, meskipun secara
tekstual ayat ini mengatakan demikian, akan tetapi anjuran menikah hanyalah salah satu
dari tiga pesan utama dari ayat ini. Tiga pesan utama dalam ayat ini adalah:
1. Kebebasan dan kemerdekaan hamba sahaya dan budak. Pesan ini memiliki makna
tersirat untuk menghilangkan zina yang dilakukan oleh para pemilik budak, hal ini
dapat dilihat dari sebab turunnya ayat selanjutnya yang menerangkan bahwa adanya
seorang jariah yang datang mengadu kepada Nabi karena dipaksa untuk melakukan
zina oleh pemiliknya. Selain itu, dari analisa bahasa, bentuk perintah yang
dikemukakan pada kata di awal ayat ini, ankihu yang berarti‚ “nikahkanlah dengan
sungguh-sungguh" kemudian diikuti dengan adanya kata fuqara di kalimat terakhir
ayat ini yang bermaksud untuk “menyegerakan” meskipun dalam keadaan fakir.

9
Asosiasi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir se-Indonesia, Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas Al-Qur’an dan
hadis: Menjawab Problematik Sosial Keagamaan di Era Kontemporer, (Yogyakarta: Lembaga Ladang Kata, 2020),
hal. 8-16.

5
2. Allah mengangkat orang fakir ketika sudah menikah. dalam ayat ini memiliki makna
tersirat untuk menghilangkan adanya unsur penghinaan terhadap fakir pada waktu itu.
Sebagaimana yang diungkapkan pada bagian akhir ayat ini yang berarti meskipun
dalam keadaan fakir, maka Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka
dengan karunia-Nya karena Allah Maha luas lagi Maha mengetahui. Dan pada konteks
sekarang banyak ditemukan kurangnya rasa simpati terhadap orang-orang fakir,
miskin, dan orang-orang yang masih pada derajat rendah. Melalui ayat ini Allah
memberikan pesan kepada manusia agar lebih menghargai orang-orang fakir dan
miskin seperti bersedekah atau memberikan pekerjaan kepada mereka.
3. Anjuran untuk menikah. Pesan utama yang terakhir ini secara tekstual merupakan
anjuran untuk segera menikah meskipun dalam keadaan fakir, namun Allah akan
mencukupi dengan karunianya. Kemudian pada ayat selanjutnya dijelaskan kembali
jikalau tidak mampu melangsungkan pernikahan maka dianjurkan untuk menjaga
kesuciannya. Dan pada konteks sekarang, ayat ini dapat digunakan sebagai acuan bagi
yang menginginkan pernikahan maka sebaiknya mempersiapkan berbagai persyaratan-
persyaratan yang harus dimiliki seperti mahar, biaya resepsi, dan lannya. Secara
psikolog juga harus dipersiapkan seperti kesiapan mental, kemampuan lahir batin, dan
kemampuan untuk membina rumah tangga agar tercipta keluarga yang diinginkan dan
mengurangi adanya perceraian.10

Penutup

Pendekatan ma’na cum maghza adalah pendekatan di mana seseorang menggali atau
merekonstruksi makna dan pesan utama historis, yakni makna (ma‘nā) dan pesan
utama/signifikansi (maghzā) yang mungkin dimaksud oleh pengarang teks atau dipahami oleh
audiens historis, dan kemudian mengembangkan signifikansi teks tersebut untuk konteks kekinian
dan kedisinian. Dengan demikian, ada tiga hal penting yang seyogyanya dicari oleh seorang
penafsir, yakni (1) makna historis (al-ma‘nā al-tārīkhī), (2) signifikansi fenomenal historis (al-
maghzā al-tārikhī), dan (3) signifikansi fenomenal dinamis (al-maghzā al-mutaḥarrik) untuk
konteks ketika teks Al-Qur’an ditafsirkan.

Daftar pustaka
Abdullah, M. Amin. 2003. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode
Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka.

Aji, Nahrul Pintoko. 2022. Metode Penafsiran Al-Qur’an Kontemporer, Pendekatan Ma’na Cum
Maghza oleh Dr. Phil. Sahiron Syamsudin, MA. Humantech: Jurnal Ilmiah Multi Disiplin
Indonesia. Vol. 2.

10
Winceh Herlena dan Muh. Muads Hasri, Tafsir Q.S. An-Nur: 32 Tentang Anjuran Menikah (Studi
Analisi Hermeneutika Ma’na Cum Maghza), Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an dan Al-Hadits, vol. 14, no. 2,
Desember 2020, hlm. 213-216.

6
Asosiasi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir se-Indonesia. 2020. Pendekatan Ma’na Cum Maghza atas Al-
Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematik Sosial Keagamaan. Yogyakarta: Lembaga
Ladang Kata.
Herlena, Winceh dan Muh. Muads Hasri. 2020. Tafsir Q.S. An-Nur:32 Tentang Anjuran Menikag (Studi
Analisis Hermeneutika Ma’na Cum Maghza). Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an dan Al-
Hadits. Vol. 14. No. 2.

Malula, Mustahidin. 2019. Ma’na Cum Maghza Sebagai Metode dalam Kontekstualisasi Hadis
Musykil (Telaah Pemikiran dan Aplikasi Hermeneutika Sahiron Syamsudin). Citra Ilmu.
Vol. 15. Edisi 29.

Robikah, Siti. 2020. Reinterpretasi Kata Jilbab dan Khimar dalam Al-Qur’an: Pendekatan Ma’na
Cum Magzha Sahiron Syamsudin. Ijougs. Vol. 1. No. 1.

Shihab, M. Quraish. 1996. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. Bandung: Penerbit Mizan.

Syamsudin, Sahiron. 2009. Hermeneutika dan pengembangan Ulumul Qur’an. Yogyakarta:


Pesantren Nawesea Press.

Anda mungkin juga menyukai