Anda di halaman 1dari 6

Journal of ‘Ulūmal Qur’ān dan Tafsir Studies

Aliran-Aliran Hermeneutik dalam Tafsir Al-Qur’an


(Quasi-obyektivis Tradisionalis, Quasi-obyektivis Modernis, Subjektivisme)
Firly Hidayanti, Hadid Humaid Saifuddin, Teni Nur Halimah*

Abstract
[Hermeneutic Thoughts in Tafsir Al-Qur’an]
At this time, many studies have been carried out from various aspects of the Qur’an, especially in terms of
its interpretation. Significant developments are always shown when each interpretation appears, both
from ancient times to the present. Every work of interpretation is always associated with certain realities,
goals, interests and tendencies. It can be seen from the emergence and development of works of
interpretation to date have different characteristics, styles and typologies. One of the underlying factors is
the difference in the socio-historical situation in which the interpreter lives. Including the works of
interpretation in Indonesia that are developing. With a theoretical framework that is directed at the
reading of commentary works in Indonesia from two areas: (1) the methodological aspect of the
commentary work and (2) the typological aspect of the commentary work. With these two areas, this study
seeks to reveal the uniqueness of all aspects that have occurred in it. In terms of typology, the benchmarks
used are quasi-objective traditionalists, quasi-objectivists, modernists and subjectivists.

Keywords
Hermeneutic, Thoughts, Tafsir, Al-Qur’an

Abstrak
[Aliran-Aliran Hermeneutik dalam Tafsir Al-Qur’an]
Pada saat ini telah banyak dilakukan pengakajian dari berbagai segi terhadap Al-Qur’an terutama dari segi
penafsirannya. Perkembangan yang signifikan selalu ditunjukkan pada saat setiap penafsiran itu muncul
baik dari zaman dulu hingga sekarang. Setiap karya tafsir selalu dikaitkan dengan realitas, tujuan,
kepentingan dan tendensi tertentu.Bisa dilihat dari muncul dan berkembangnya karya-karya tafsir sampai
saat ini memiliki karakteristik, corak dan tipologi yang berbeda-beda. Salah satu faktor yang
melatarbelakanginya adalah adanya perbedaan situasi sosio–historis dimana sang penafsir hidup.
Termasuk karya-karya tafsir di Indonesia yang perkembangan. Dengan kerangka teori yang diarahkan
pada pembacaan terhadap karya tafsir di Indonesia dari dua wilayah: (1) aspek metodologi karya tafsir
dan (2) aspek tipologi karya tafsir. Dengan dua wilayah tersebut kajian ini berusaha untuk menyingkap
keunikan-keunikan dari segala aspek yang telah terjadi di dalamnya. Dari segi tipologi karya tafsir tolok
ukur yang digunakan adalah quasi-obyektifis tradisionalis, quasi-obyektivis modernis dan subyektivis.

Kata-kata Kunci
Hermeneutik, Aliran-Aliran, Tafsir, Al-Qur’an

1SekolahTinggi Ilmu Agama Islam PERSIS Bandung Indonesia


*Penulis Korespondensi: halimatulursyi0@gmail.com

Daftar Isi 4.1.1 Tipologi Obyektifis Tradisionalis ......................3


4.1.2 Tipologi Obyektifis Revivalis ..............................3
1. Pendahuluan ...............................................................1
4.2 Quasi-obyektivis Modernis...................................4
2. Tinjauan Pustaka ....................................................1
4.3 Subjektivisme ..............................................................5
3. Metode Penelitian....................................................1
5. Kesimpulan ............................................................... 6
4. Hasil dan Pembahasan .........................................2
6. Daftar Pustaka......................................................... 6
4.1 Quasi-obyektivis Tradisionalis ............................2

1
Journal of ‘Ulūmal Qur’ān dan Tafsir Studies

1. Pendahuluan persoalan baru yang muncul di kemudian hari.


Dan pada akhirnya al-Qur’an tetap pada posisi
Al-Qur’an sering kali dikaitkan dengan Shalih li Kulli Zaman wa Makan ( sesuai pada
pernyataan “shalih li kulli zaman wa makan” yang setiap masa dan tempat). Wa al-Lah a’Lam Bi al-
artinya Al-Qur’an selaras dengan setiap waktu Shawab.
(zamaan) dan setiap tempat (makaan).
Pernyataan ini diakui oleh para ulama tafsir 3. Metode Penelitian
klasik, bahkan juga diakui oleh para ulma tafsir
zaman baru baru ini (kontemporer). Inilah yang Metode penelitian yang digunakan dalam
menyebabkan diskursus seputar tafsir Al-Qur’an penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu
tidak akan pernah usai. Hal tersebut telah terbukti penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu
bahwa selama ini, Al-Qur’an telah dikaji dengan gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi pada saat
beragam metode dan diajarkan dengan aneka sekarang (Sujana dan Ibrahim:1989).
cara. (Kamal Faghih, 1998)
Jenis penelitian yang digunakan dalam
Namun Al-Qur’an tidak akan pernah penelitian ini adalah penelitian kepustakaan
tamat dan akan terus dikaji dari berbagai segi dan (library research). Suatu penelitian yang
metodologi. Geliat diskursus studi Al-Qur’an ini dilakukan dengan cara mengumpulkan sumber
bukan hanya terjadi di dunia Islam semata, namun data kemudian mengutip dari berbagai teori dan
juga mengundang perhatian di dunia Barat. pendapat yang mempunyai hubungan dengan
(Fazlur Rahman, 1984) Dengan petunjuk dari Al- permasalahan yang di teliti.
Qur’an dapat berperan dan berfungsi sebagai
pedoman dan petunjuk hidup untuk umat
4. Hasil dan Pembahasan
manusia, terutama di zaman sekarang ini. Oleh
sebab itu, tidaklah cukup jika Al-Qur’an hanya 4.1 Quasi-obyektivis Tradisionalis
dibaca sebagai rutinitas belaka tanpa memahami
maksud, mengungkap isi dan mengetahui prinsip- Yang dimaksud dengan quasi-
prinsip yang terkandung di dalamnya. obyektifistradisionalis, yaitu suatu pandangan
(Muhammad Shahrur, 1997) atau pendapat bahwa ajaran-ajaran Al-Qur’an
yang harus dipahami, ditafsirkan dan
Indonesia sebagai negara dengan salah diaplikasikan pada masa kini, sebagaimana ia
satu penduduk muslim terbesar di dunia tentu dipahami, ditafsirkan dan diaplikasikan pada
memberikan andil yang sangat besar terhadap
situasi, dimana Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi
perkembangan studi Islam, termasuk dalam studi Muhammad ‫ ﷺ‬dan disampaikan kepada generasi
Al-Qur’an salah satu nya karya karya tafsir. Muslim awal. (Sahiron Syamsuddin, 2009)
Lahirnya banyak tafsir dengan beragamnya
metodologi dan coraknya menunjukkan bahwa Secara ringkasnya quasi-obyektifis
karya tafsir memiliki karakteristik yang luas dan tradisionalis adalah ajaran-ajaran yang
berbeda-beda. Akhir-akhir inipun hermeneutika terkandung dalam Al-Qur’an ajaran yang harus
menjadi tren baru sebagai metodologi dan corak dipahami secara tektual seperti yang tertera di
penafsiran kontemporer, termasuk di Indonesia. dalam teks ayat tersebut dan yang sesuai dengan
kondisi di zaman ayat tersebut diturunkan.
2. Tinjauan Pustaka Sahiron mencontohkan yang mengikuti
pandangan-pandangan ini seperti kelompok
Jurnal yang berjudul Menimbang Ikhwanul Muslimin di Mesir dan beberapa kaum
Hermeneutika Sebagai Mitra Tafsir, UIN Sunan SalafiWahabi yang ada di beberapa negara Islam.
Kalijaga Yogyakarta, karya Faisal Haitomi yang Memang benar kelompok ini ketika menafsirkan
menjelaskan tentang fungsi al-Quran untuk Al-Qur’an metode yang digunakan dibantu
menjawab berbagai masalah yang semakin dengan berbagai perangkat metodis ilmu tafsir
kompleks di era modern tanpa menghilangkan yang telah ada sebelumnya dan ilmu tafsir yang
dimensi ilmiahnya, maka diperlukan sudah mapan, seperti ilmu asbabal-nuzul, nasikh
hermeneutika sebagai sebagai salah satu mitra dan mansukh, munasabah, muhkam dan
dalam melakukan penafsiran terhadap al-Qur’an. mutashabih dan lain sebagainya, akan tetapi
Selain memberlakukan makna awal yang di mereka mengabaikan kontekstualisasi ayat.
maksud oleh penggagas ( Tuhan) sebagai pusat Sehingga hasil dari penafsiran kelompok ini
makna, tanpa menghilangkan dimensi ilmiahnya, terkesan tekstual. Dan mengabaikan ilmu-ilmu
hermeneutika juga mampu menggali makna al- kontemporer lainnya. Dengan metode yang ada
Quran sehingga ia mampu menjawab pelbagai mereka berharap makna obyektif dibalik ayat

2
Journal of ‘Ulūmal Qur’ān dan Tafsir Studies

yang ditafsirkan mampu terungkap dengan baik. yang ada di balik ayat yang ditafsirkan.
Ciri utama yang mudah dikenali dari model
Lebih tegasnya adalah bahwa model
penafsiran kelompok ini adalah penafsiran yang
penafsiran seperti ini tidak memperhatikan
tekstualis (literal).Tipologi quasi-obyektifis
kontekstualitas ayat yang ditafsirkan, yakni yang
tradisionalis ini hemat penulis perlu
diperhatikan hanyalah wilayah tekstualitasnya
dikembangkan lagi menjadi dua bagian, yaitu:
semata. Bagaimana bisa menjawab jika hanya
obyektifis tradisionalis danobyektifis revivalis.
sibuk berdebat pada wilayah yang semestinya
4.1.1 Tipologi Obyektifis Tradisionalis sudah selesai untuk diperdebatkan. Padahal ada
Pertama, obyektifis tradisionalis adalah wilayah lain yang jelas-jelas perlu untuk
suatu pandangan bahwapemahaman Al-Qur’an dikemukakan, yaitu makna universal ayat
haruslah sesuai dan sama dengan bunyi teksnya. tersebut. Karena dengan melihat makna universal
Ciriutama dari tipologi ini adalah suatu penafsiran dari sebuah ayat akan ditemukan makna sejati
yang tekstual dan hanya berkutat pada wilayah yang sebenarnya terkandung dibalik suatu ayat.
gramatikal kebahasaan semata. Dan kebanyakan Dengan demikian akan ditemukan sebuah
pembahasan semacan ini dilakukan secara penafsiran yang akan mampu menjawab problem
konsisten setiap ayat dalam surah-surah yang kekinian. Hal tersebut masih mencerminkan
dikajinya. Karya-karya tafsir tersebut sangat bahwa penafsiran tersebut belum mapu
memperhatikan arti kosakata atau ungkapan Al- menyentuh wilayah-wilayah yang semestinya
Qur’an dengan merujuk pada tata bahasa yang membutuhkan penyelesaian. Dalam arti bahwa
sering digunakan oleh para ulama ahli, penafsiran semacam ini seharusnya sudah
memperhatikan bagaimana kosakata itu berubah, agar karya-karya tafsir semacam ini
digunakan Al-Qur’an dan memahami arti ayat atas tidak hanya sebatas pajangan atau koleksi kitab
dasar bagaimana digunakannya kata tersebut tafsir semata tanpa mampu memberikan solusi
oleh Al-Qur’an. dan kemaslahatan bagi umat manusia.

Terdapat karakteristik utama dari aliran ini 4.1.2 Tipologi Obyektifis Revivalis
yakni suatu hasil penafsiran yang tekstual dan Tipologi obyektifis revivalis yaitu suatu
hanya membahas pada wilayah kebahasaan pemahaman terhadap Al-Qur’an yang murni.
semata dan kurang memperhatikan pesan moral Dalam arti pemahaman terhadap Al-Qur’an yang
ataupun pesan tersembunyi dibalik ayat yang murni yang mereka maksudkan adalah
ditafsirkannnya. Sehingga hasil dari penafsiran ini pemahaman Al-Qur’an yang kembali kepada
hanya memperdebatkan wilayah gramatikal karakter ideologis yang statis, historis, sangat
kebahasaan semata. Maka wajar jika produk ekslusif, tekstualis dan bias patriarkis. Menurut
penafsirannya susah berkembang dan produk kelompok ini Al-Qur’an pada era sekarang
penafsirannya belum bisa memecahkan problem haruslah dipahami sesuai dengan zaman dimana
kekinian. Contohnya adalah kitab-kitab tafsir Al-Qur’an tersebut diturunkan tanpa
klasik seperti Tafsir Jalalain. Di Indonesia sendiri mempedulikan konteksnya pada era sekarang.
pada kisaran tahun 2000-an masih banyak karya Tipologi ini secara keseluruhan menganut paham
tafsir dengan tipologi ini yang bermunculan, “salafisme radikal”, yakni berorientasi pada
diantaranya adalah Tafsir Ibadah, Tafsir Ayat penciptaan kembali masyarakat salaf. Maksud
Ahkam, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, Tafsir Al-Qur’an dari menciptakan masyarakat yang salaf adalah
Juz 30, Tafsir al-Hidayah: Ayat-ayat Akidah Jilid I bagaimana menciptakan kembali generasi Nabi
dan II, Qur’an al-Karim, Bayani: Memahami Makna Muhammad dan para Sahabat di era kontemporer
Al-Qur’an, Tafsir Surah al-Fatihah, Tafsir Maudhu’I ini. Bagi mereka, Islam pada masa kaum salaf
al-Muntaha Jilid 1, Tafsir Ayat-ayat Haji: Menuju inilah yang merupakan Islam paling sempurna,
Baitullah Berbekal Al-Qur’an dan yang lainnya. masih murni dan bersih dari berbagai tambahan
atau campuran (bid’ah) yang dipandang
Model penafsiran ini memiliki kelebihan
mengotori Islam. (Rahmat, Imdadun 2005)
karena cukup lengkap dan jelas dalam
mengungkap seputar kebahasaan. Namun disisi Adapun contoh karya afsir dengan tipologi
lain model tipologi penafsiran seperti ini memiliki obyektifis revivalis adalah Tafsir al-Wa’ie. Karya
kelemahan, karena makna universal dibalik Tafsir ini merupakan produk dari kalangan Hizbut
ayatnya terabaikan. Produk penafsirannya tidak Tahrir Indonesia. Ciri dari tafsir tipologi
bisa diharapkan akan mampu menjawab obyektifis revivalis ini, selain produk tafsirnya
problematika zaman sekarang yang tengah yang tekstual, juga penafsirannya tampak begitu
berkembang. Karena produk penafsiran seperti ideologis dan tampak begitu keras dalam
ini tidak mampu mengungkap makna universal penafsirannya terutama ketika memahami ayat-

3
Journal of ‘Ulūmal Qur’ān dan Tafsir Studies

ayat yang berkenaan dengan hukum dan jihad Padahal konsep jihad itu sendiri memiliki
(syari’at). Karena kelompok ini begitu sangat cakupan makna yang cukup luas. Bukankah
mendukung dalam penegakkan syariat Islam dan mencari nafkah untuk keluarga, pendidikan,
juga terhadap jihad dalam pengertian tekstual. berkarya dan lain sebagainya merupakan jihad?
Maka tidak heran jika yang terjadi justru Secara sekilas ada kemiripan dengan tipologi
sebaliknya, sebuah problem baru ketika jihad obyektifis tradisionalis, yaitu sama-sama
dimaknai secara tekstual. tektualis. Perbedaannya adalah bahwa tipologi
obyektifis revivalis memahami Al-Qur’an secara
Isu-isu kewajiban mendirikan negara
kaku dan keras. Karena tipologi obyektifis
khilafah dan penegakan syariat Islam begitu
revivalis ini lahir sebagai respon terhadap
gencar disusung oleh kelompok revivalis ini.
gerakan sekularisme yang dianggap sebagai
Misalnya, ketika menafsirkan surat al-Maidah: 49
sistem “jahiliyah modern”. Maka tidak heran jika
terlihat sekali bahwa begitu ”kaku”. Menurut
tipologi obyektifis revivalis ini mendukung penuh
kelompok ini tema global surat ayat ini seputar
penegakan syariat Islam. Menurutnya aturan-
penerapan syari’ah. Dan syari’ah di sini menurut
aturan negara haruslah sesuai dengan Islam.
kelompok ini wajib diterapkan secara total. Tidak
Misalnya seperti hukum pencuri haruslah
boleh ada sebagian yang boleh ditinggalkan atau
dipotong tangannya, pezina haruslah dirajam,
diabaikan. Dan ketentuan ini menurut kelompok
pembunuh haruslah dipancung dan lain
ini adalah harus dijalankan kaum muslim secara
sebagainya. Menurut mereka syariat Islam harus
konsisten, tanpa memandang apakah disetujui
diterapkan dalam setiap sendi kehidupan. Baik
kaum kafir atau tidak.
dari segi sosial, budaya, ekonomi, politik hingga
Juga ketika menafsirkan Surat al-Baqarah: nilai-nilai kehidupan lainnya, seluruh undang-
30. Menurut kelompok ini pengertian khilafah ini undang dan perangkat hukum haruslah
adalah khilafah yang wajib diangkat dengan jalan berdasarkan Islam. Dalam arti syari’at Islam harus
baiat. Sehingga menurut kelompok ini, dengan diterapkan untuk menggantikan hukum buatan
adanya khilafah kewajiban adanya baiat dipundak manusia.
setiap muslim dapat diwujudkan. Sebaliknya, jika
Selain itu, pemikiran ke-Islaman yang
tidak ada khilafah, baiat yang diwajibkan itu tidak
mereka sampaikan, khususnya berkaitan dengan
ada dipundak setiap kaum muslim.28
relasi gender, sangat akomodatif dengan budaya
Pemahaman seperti itu merupakan contoh salah
patriarki yang masih kental dianut di masyarakat,
satu penafsiran yang benar-benar mendukung
yaitu pemikiran yang memandang perempuan
berdirinya negara Islam yang dipimpin oleh
sebagai makhluk kedua atau sebagai makhluk
seorang khalifah sebagaimana yang ada di jaman
domistik belaka. Adapun yang mengikuti tipologi
Rasulullah ‫ﷺ‬. Itulah suatu gambaran ide sebuah
ini adalah seperti kelompok Ikhwanul Muslimin,
penafsiran kaum reivivalis yang mengajak
Hizbut Tahrir, Salafi, Gerakan Tarbiyah, FPI dan
kembali umat Islam sebagaimana umat Islam
lain sebagainya. Produk penafsiran mereka hemat
yang ada dan sama pada zaman 1400 tahun lebih
penulis tidak bisa menyelesaikan problem
yang lalu.
kekinian.
Padahal jika dilihat kondisi sosial, budaya,
4.2 Quasi-obyektivis Modernis
politik dan kulturalnya jauh sangat berbeda
dengan era sekarang, terutama di Indonesia. Berbeda dengan tipologi-tipologi tersebut di
Tentunya produk penafsiran seperti ini perlu atas, tipologi quasiobyektivis modernis yaitu
untuk ditilik kembali, sesuaikah dengan kondisi suatu pemahaman terhadap al-Qur’an dengan
masyarakat di mana ayat tersebut dipahami. Jika menggunakan metode konfensional yang telah
ada ”pemaksaan makna” dikhawatirkan bukan ada seperti asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh,
solusi yang didapat, justru sebaliknya sebuah muhkam dan mutasabih dan lain sebagainya yang
problem baru yang justru menimbulkan terdapat dalam ulum al-Qur’an, dengan tanpa
keresahan bagi umat. Bagaimana tidak, masalah mengabaikan perangkat metode baru modern-
pemahaman ayat-ayat tentang jihad. Maka tidak kontemporer seperti ilmu-ilmu eksakta maupun
heran jika ayat-ayat jihad tersebut dimaknai noneksakta (hermeneutika). Tipologi ini menurut
secara tekstual dan kaku yang terjadi adalah Sahiron memiliki kesamaan dengan tipologi
lahirnya teroris-teroris yang justru banyak quasi-obyektivis tradisionalis dalam hal bahwa
merugikan umat Islam itu sendiri. Karena konsep mufasir di masa kini tetap berkewajiban untuk
jihad bagi mereka adalah jihad perang fisik menggali makna asal dengan menggunakan di
sebagaimana perang yang terjadi dizaman samping perangkat metodis ilmu tafsir, juga
Rasulullah ‫ﷺ‬. perangkatperangkat metodis lain, seperti

4
Journal of ‘Ulūmal Qur’ān dan Tafsir Studies

informasi tentang konteks sejarah makro dunia Maudhu’i: Solusi Qur’ani atas Masalah Sosial
Arab saat penurunan wahyu, teori-teori ilmu Kontemporer karya Nashruddin Baidan. Hal
bahasa dan sastra modern dan hermeneutika. tersebut terlihat dalam karyanya, misalnya ketika
ia membahas tema tentang ”Etik Berpolotik”.
Manurut Sahiron perbedaannya adalah bahwa
aliran quasi-obyektivis modernis memandang Selain itu, karya Waryono Abdul Ghafur
makna asal (bersifat historis) hanya sebagai sangat memperlihatkan kontektualitas ayat yang
pijakan awal bagi pembacaan al-Qur’an di masa begitu memikat: Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks
kini; makna asal literal tidak lagi dipandang dengan Konteks dan Hidup Bersama Al-Qur’an:
sebagai pesan utama al-Qur’an. Jawaban Al-Qur’an Terhadap Problematika Sosial
dan Menyingkap Rahasia Al-Qur’an: Merayakan
Jelasnya bahwa pandangan ini sama sekali
Tafsir Kontekstual. Juga Pribumisasi al-Qur’an:
tidak mengabaikan teks dan kontekstualitas al-
Tafsir Berwawasan Keindonesiaan dan Tafsir
Qur’an. Umat Islam yang mengikuti pandangan ini
Mazhab Indonesia karya M. Nur Kholis Setiawan.
di antaranya dianut oleh Fazlur Rahman dengan
Karya tafsir ini memperlihatkan bagaimana
konsepnya double movement. Muhammad al-
pentingnya nilai-nilai Al-Qur’an dapat
Thalibi dengan konsepnya al-tafsir al-
tersosialisasikan di tengah-tengah kehidupan
maqashidi36 dan Nashr Hamid Abu Zayd dengan
sosial masyarakat luas. Tema-tema yang diusung
konsepnya al-tafsir al-siyaqi. Al-Qur’an memang
dalam tafsir tipologi ini adalah isu-isu aktual yang
perlu ditafsirkan sesuai dengan perkembangan
berkembang di masyarakat. Sehingga tafsir ini
zaman, namun perlu diingat pula latar belakang
terasa lebih membumi dan menyentuh realitas.
historisnya yang kemudian ditarik penafsirannya
di era sekarang. Menurut Sahiron, muslim saat ini 4.3 Subjektivisme
harus juga berusaha memahami makna di balik Tipologi yang menganut aliran
pesan literal, yang disebut oleh Rahman dengan subyektivis menegaskan bahwa setiap penafsiran
ratio legis, dinamakan oleh al-Thalibi dengan sepenuhnya merupakan subyektivitas penafsir,
maqashid (tujuan-tujuan ayat) atau disebut oleh dan karena itu kebenaran interpretatif bersifat
Abu Zayd dengan maghza (signifikansi ayat). relatif. Berdasarkan argumen inilah menurut
Makna di balik pesan literal inilah yang harus kelompok yang menganut tipologi ini, setiap
diimplementasikan pada masa kini dan akan generasi umat manusia, khususnya umat Islam
datang. mempunyai hak untuk menafsirkan kembali al-
Kemudian di Indonesia sendiri pada era Qur’an sesuai dengan perkembangan zaman.
2000-an untuk tiopologi quasi obyektivis Menurut kelompok ini pada era sekarang
modernis setidaknya ada beberapa karya tafsir al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan ilmu-ilmu
yang muncul, diantaranya adalah: Kontekstualitas bantu yang berkembang pada era sekarang tanpa
Al-Qur’an: Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum harus melibatkan metode konfensional.
dalam Al-Qur’an, Tafsir Insklusif Makna Islam: Pandangan seperti ini antara lain dianut oleh
Analisis Linguistik-Historis Pemaknaan Islam Muhammad Shahrur. Dalam menafsirkan al-
dalam Al-Qur’an Menuju Titik Temu Agama- Qur’an Shahrur tidak lagi tertarik untuk menelaah
agama Semitik, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks makna asal dari sebuah ayat atau kumpulan ayat-
dengan Konteks, Tafsir Maudhu’i: Solusi Qur’ani ayat. Mufassir modern, menurutnya, seharusnya
atas Masalah Sosial Kontemporer, Hidup Bersama menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan
Al-Qur’an: Jawaban Al-Qur’an Terhadap perkembangan ilmu modern, baik itu ilmu
Problematika Sosial, Tafsir Tematik Al-Qur’an dan eksakta maupun non-eksakta. Biasanya umat
Masyarakat: Membangun Demokrasi dalam Islam yang mengikuti pandangan Shahrur ini
Peradaban Nusantara, Metode Ayat-ayat Sains mendapat predikat “kaum liberal”. Karena
dan Sosial, Tafsir Tarbawi: Kajian Analisis dan pandangan ini tidak lagi membutuhkan perangkat
Penerapan Ayatayat Pendidikan, Menyingkap metodologi ulum al-Qur’an yang telah ada seperti
Rahasia Al-Qur’an: Merayakan Tafsir Kontekstual, asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, muhkam dan
Tafsir Kebahagiaan, dan Tipologi Manusia dalam mutasabih dan lain sebagainya. Bagi pandangan
AlQur’an. ini al-Qur’an cukup ditafsirkan dengan
Ciri dari tipologi ini adalah produk menggunakan perkembangan ilmu-ilmu modern-
penafsirannya yang bernuansakan sosial kontemporer, seperti sosiologi, antropologi,
kemasyarakatan. Artinya bahwa, produk matematik, psikologi dan ilmu-ilmu humaniora
penafsirannya berorientasi pada kontektualitas lainnya (hermeneutik).
ayat dengan tanpa mengabaikan makna asal ayat
dan makna historisitas ayat. Misalnya Tafsir

5
Journal of ‘Ulūmal Qur’ān dan Tafsir Studies

Sedangkan untuk di Indonesia sendiri belum sejati yang sebenarnya terkandung dibalik suatu
ada yang berani melakukan penafsiran dengan ayat. Dengan demikian akan ditemukan sebuah
tipologi subyektivis ini. Dalam arti bahwa penafsiran yang akan mampu menjawab problem
subyektivis dalam peanfsiran pasti ada, namun kekinian. Hal tersebut masih mencerminkan
subyektivis dalam arti bawha penafsirannya bahwa penafsiran tersebut belum mapu
menyentuh wilayah-wilayah yang semestinya
sebagaimana dengan kreteria kerangka teori di
membutuhkan penyelesaian. Dalam arti bahwa
atas yang benar-benar meniggalkan metodologi
penafsiran semacam ini seharusnya sudah
konvensional dan hanya menggunakan berubah, agar karya-karya tafsir semacam ini
metodologi kontemporer belum ditemukan dalam tidak hanya sebatas pajangan atau koleksi kitab
karya tafsir di Indonesia. Belum ditemukannya tafsir semata tanpa mampu memberikan solusi
karya tafsir dengan tipologi subyektivis untuk dan kemaslahatan bagi umat manusia.
wilayah Indonesia hal tersebut salah satunya
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya 4. Kesimpulan
adalah masih banyaknya para mufasir yang belum
berani melangkah kepada sebuah penafsiran yang Aliran Hermeneutik berjumlah tiga, yakni Quasi-
seperti telah dilakukan oleh Shahrur. obyektivis Tradisionalis, Quasi-obyektivis
Modernis, dan Subjektivisme. Quasi obyektivis
Selain itu juga mereka masih hati-hati dengan Tradisionalis yaitu pemaknaan dengan fokus
perkembangan metode kontemporer yang ada kebahasaan dengan ciri tekstualis. Quasi-
seperti hermenutika, maka wajar jika metode obyektivis Modernis yaitu pemaknaan secara
yang mereka gunakan masih menggunakan komprehensif. Menggali makna asal tanpa
metode yang telah mapan dalam ulum al-Qur’an. meninggalkan konteks hari ini. Dan Subjektivisme
Karena bagi mereka metode tafsir yang ada di yaitu memahami teks sebagaimana yang difahami
dalam ulum al-Qur’an sudah cukup dan belum oleh penafsir.
perlu lagi menggunakan metode baru seperti
hermeneutika. Apalagi dengan meninggalkan 5. Daftar Pustaka
metode yang telah ada secara keseluruhan, nyaris
Faghih, Kamal (1998). Nur al-Qur’an: An
belum ada yang berani. Selain itu juga mungkin
Enlightening Commentary Into The Ligh
bisa dikatakan masih banyaknya para mufasir Of The Holy Qur’an.Imam Ali Public
yang mensakralkan metode klasik, karena metode Library
baru yang bukan produk Islam selama ini telah Rahman, Fazlur (1984). Some Recent Books on the
dianggap tidak sah, bahkan diharamkan. Qur’an by Western Authors. Jurnal of
Model penafsiran ini memiliki kelebihan Religion
karena cukup lengkap dan jelas dalam Shahrur, Muhammad (1997). al-Kitab wa al-
mengungkap seputar kebahasaan. Namun disisi Qur'an.Maktabah Wahbah.
lain model tipologi penafsiran seperti ini memiliki
Syamsuddin, Sahiron (2009). Hermeneutika.
kelemahan, karena makna universal dibalik
Pesantren Nawesea Press.
ayatnya terabaikan. Produk penafsirannya tidak
bisa diharapkan akan mampu menjawab
problematika zaman sekarang yang tengah
berkembang. Karena produk penafsiran seperti
ini tidak mampu mengungkap makna universal
yang ada di balik ayat yang ditafsirkan. Lebih
tegasnya adalah bahwa model penafsiran seperti
ini tidak memperhatikan kontekstualitas ayat
yang ditafsirkan, yakni yang diperhatikan
hanyalah wilayah tekstualitasnya semata.
Bagaimana bisa menjawab jika hanya sibuk
berdebat pada wilayah yang semestinya sudah
selesai untuk diperdebatkan.
Padahal ada wilayah lain yang jelas-jelas
perlu untuk dikemukakan, yaitu makna universal
ayat tersebut. Karena dengan melihat makna
universal dari sebuah ayat akan ditemukan makna

Anda mungkin juga menyukai