Anda di halaman 1dari 18

PENDEKATAN MA’NA CUM MAGHZA DALAM PENAFSIRAN AL-

QUR’AN

Oleh
Rani (17105030006), Laela Sopiatul Marwah (17105030013), Restu Amelia
(17105031011), Rizza Madinah (17105031012)

Mata Kuliah Pemikiran Tafsir Era Kontemporer (A)

A. Pendahuluan
Al-qur‟an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw untuk menjadi
pedoman hidup umat manusia. Tidak ada lagi kitab samawi setelah al-qur‟an.
Sesuai dengan tujuan al-qur‟an sebagai pedoman, maka al-qur‟an harus terus
relevan dengan perkembangan zaman. Oleh karenanya, al-qur‟an dikatakan
shalih li kulli zaman wa makan, yang berakibat kepada siapnya al-qur‟an dalam
menjawab segala tantangan di era kontemporer. Agar al-qur‟an tetap relevan
dengan zaman dan tempat, diperlukan penafsiran yang kontekstual, bukan lagi
seperti penafsiran semasa ayat al-qur‟an tersebut turun pertamakali.
Pernyataan tersebut bukan berarti kemudian menggangap bahwasannya
penafsiran terdahulu tidak benar, hanya saja dijadikan pijakan awal dan
kemudian diaktualisasikan di era kontemporer, agar sesuai dengan tujuan dari
diturunkannya al-qur‟an. Perlu diketahui bahwa penafsiran al-qur‟an bersifat
temporal dan partikural, banyaknya perbedaan dalam penafsiran bukan berarti
saling bertentangan, melainkan semakin membuka pemahaman dari berbagai
sudut pandang, serta merupakan hal wajar di dunia akademik perbedaan pendapat
atau pandangan. Kemudian setiap generasi memiliki problem-problem baru
sehingga dibutuhkan penafsiran yang bisa menjawab problem tersebut. 1

1
Abdullah, Metodologi Penafsiran Kontemporer (Telaah Pemikiran Sahiron Syamsuddin
Tahun 1990-2013), dalam Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ushuluddin, Studi Agama
dan Pemikiran Islam, 2013, Hlm. 26-28.
Berangkat dari kegelisahan tersebut, Sahiron Syamsuddin dengan latar
belakang pendidikannya, ingin berkontribusi juga dalam pengembangan ulumul
qur‟an. Sejak dulu hingga kini ulumul qur‟an dijadikan sebagai pedagogis,
Padahal sejatinya, perlu ada keilmuan baru yang juga menunjang pemahaman
atau penafsiran al-qur‟an, seperti ilmu hermenutika. Dalam bukunya,
hermeneutika dan pengembangan ulumul qur‟an, di bagian pendahuluan Sahiron
Syamsuddin menjelaskan bahwasannya hermeneutika dan ilmu tafsir tidaklah
berbeda, keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni berusaha mengungkap
makna teks secara benar dan cermat atau lebih tepatnya menerakang maksud
pengarang atau tuhan yang menciptakan. Perbedaan keduanya, terletak di ruang
lingkup dan objek pembahasannya.
Jika ilmu tafsir objek kajiannya adalah teks al-qur‟an, sedangkan
hermeneutika objek awalnya adalah bibel. Jika dilihat seperti ini jelas orang-
orang akan kontra terhadap penggunaan hermenutika dalam al-qur‟an. Keraguan
ini bisa diatasi dengan melihat kedua kitab suci ini, dimana al-qur‟an maupun
bibel merupakan pesan ilahi yang ditujukan kepada umat manusia dengan
menggunakan bahasa manusia, sehingga bisa diteliti baik melalui hermeneutika
maupun ulumul qur‟an. Oleh karenanya, Sahiron Syamsuddin berasumsi bahwa
sebagian metode pada hermeneutika bisa diintegrasikan dan disintesiskan dengan
ulumul qur‟an.2

B. Biografi Sahiron Syamsudin


Sahiron Syamsuddin dilahirkan di Cirebon pada tanggal 11 Agustus 1968
yang berasal dari keluaga berlatar belakang keagamaan penganut aliran sunni
tradisional. Riwayat pendidikan beliau dimulai dari menempuh ilmu di Pondok
pesantren Raudhatu al-Thalibin (1981-1987) Babakan Ciwaringin Cirebon yang

2
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur‟an, (Yogyakarta:
Pesantren Nawesea Press), 2017, Hlm. 6-8.
juga sekaligus menempuh pendidikan formal pada Madrasah Tsanawiyah dan
Madrasah Aliyah ditempat yang sama.3
Setelah menamatkan sekolah menengah atasnya, Sahiron melanjutkan
pendidikan formalnya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan mengambil
jurusan Tafsir Hadits (1987-1993) dan juga belajar ilmu agama di pondok
pesantren Nurussalam Krapyak. Di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta inilah
beliau mulai mempelajari tentang pemikiran tradisional dan modern serta
mempelajari keilmuan Islam timur dan barat. Pijakan pemikiran inilah yang
kemudian membuat beliau semakin tertarik untuk mempelajari tentang studi
Islam serta keinginan mengkombinasikan antara keilmuan Islam tradisional yang
telah ia peroleh di pondok pesantren dan keilmuan modern (Barat). Beliau
kemudian melanjutkan perjalanan keilmuannya di McGill University, Kanada
tentang kajian Islam serta menempuh pendidikan dalam bidang kajian Islam,
Orientalisme, Filsafat Arab dan Sastra Arab di Bamberg University. Pada tahun
1998, Sahitron berhasil meraih gelar master di McGill University dalam bidang
interpretasi. Kemudian pada tahun 2006 beliau berhasil meraih gelar doktor di
Bamberg University. 4
Sahiron Syamsuddin tercatat sebagai dosen di fakultas ushuludin dan
pemikiran Islam dan pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu,
beliau juga merupakan pendiri sekaligus pengasuh pondok pesantren Baitul
Hikmah. Di pondok peasantren yang didirikan ini beliau aktif mengajar teks-teks
klassik seperti al-Burhan Fii Ulum al-Qur‟an, Riyadhus Sholihin, Sulam al-
Munajat dan juga hermenutika Gracia (A Theory of Textuality). Beliau pun
tercatat sebagai intelektual muslim yang produktif dalam menuangkan
pemikirannya dalam tulisan sebagai bentuk kegelisahan akademik dan respon
terhadap fenomena yang berkembang.
3
Abdulloh, Metodologi Penafsiran Kontemporer (Telaah Pemikiran Sahiron Syamsuddin
Tahun 1990-2013), (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2013), hlm 12.
4
Siti Robikah, “Reinterpretasi Kata Jilbab dan Khimar dalam Al-Quran: Pendekatan Ma‟na
Cum Maghza Sahiron Syamsuddin”, Jurnal Ijougs Vol. 1 No. 1 Tahun (2020), hlm 44.
C. Karya-Karya Sahiron Syamsuddin
Berikut beberapa karya Sahiron Syamsudin dalam bentuk buku maupun artikel :5
- An Examination Bint al Syathi‟s Method of Interpreting the Qur‟an,
merupakan thesis beliau di McGill University Kanada yang diterbitkan
pada tahun 1999 oleh Titian Ilahi Press Yogyakarta.
- Tafsir Studies (Yogyakarta: Elsaq, 2009)
- Hermeneutika Dan Pengembangan Ulumul Quran (Yogyakarta:
Pesantren Nawasea Press, 2009)
- “Bint al-Shati‟ on Asbab al-Nuzul.” Islamic Quarteli, London XL II, 1
(1998): 1-23
- Muhkan and Mutahsabih: an Analitycal Study of al-Thabari‟s and al
Zamakhsyari‟s Interpretation of Q 3:7, Jurnal of Islamic Studies 1, 1
(1997), 63-79.
- “Abu Hanifah‟s Use of The Solitary Hadith as a Source of Islamic Law”
Islamic Studies 40, 2 (2001): 257-272.
- “Konsep Wahyu al-Qur‟an dalam Prespektif M. Shahrur”, Jurnal Studi
Ilmu-ilmu al-Qur‟an dan Hadis 1:1 (2000).
- “Kepemimpinan menurut Islam”. dalam Dinamika (Mei 2007):3.
- “Islam Progresif dan Upaya Membumikannya di Indonesia.” dalam
PERTA (2006).
- “Memahami dan Menyikapi Metode Orientalis dalam Kajian al-Qur‟an,”
Sahiron Syamsuddin (ed.), Hermeneutika al-Qur‟an Mazhab Yogya
(Yogyakarta: Islamika and Forstudia, 2003).

D. Latar Belakang Pemikiran


Sebagai seseorang yang namanya sudah dikenal saat ini, sudah bisa
dipastikan sahiron memiliki faktor-faktor penting yang melatarbelakangi

5
Abdulloh, Metodologi Penafsiran Kontemporer (Telaah Pemikiran Sahiron Syamsuddin
Tahun 1990-2013), (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2013), hlm 18-22.
pemikirannya. Salah satunya yakni pendidikan yang beliau tempuh yang
mengenalkannya pada pemikiran tradisional dan modern serta mempelajari
keilmuan Islam timur dan barat.
Namun, ketika awal mula Sahiron berkiprah di ranah akademis dengan
banyak mempengaruhi metodologi penafsiran modern di Indonesia terjadilah
ketegangan pemikiran di Indonesia. Ketegangan ini bersumber dari golongan
yang menolak hermeneutik atas penafsiran al-Qur‟an yang dipopulerkan oleh
Sahiron yang kawan-kawannya. Mereka beralasan bahwa hermeneutik
merupakan penafsiran barat yang tidak sesuai dengan tradisi penafsiran ala islam.
Golongan ini juga menganggap Sahiron dan kawan-kawan yang mengusung
hermeneutik telah memihak metodologi yang diusung oleh orang Barat dan
kontra atas metodologi dari ulama salaf (Ulumul Qur‟an). 6
Kondisi itulah yang melatar belakangi pemikiran Sahiron dalam melakukan
pengembangan kedudukan serta fungsi dari Ulumul Qur‟an. Pemikiran Sahiron
banyak merujuk dan terpengaruh oleh pemikir-pemikir yang sebagian besar
orang mengenggapnya sebagai pemikir yang “murtad”. Diantaranya ialah konsep
metode kontekstualnya yang merujuk pada Abdulloh Saeed. Kemudian
pemikiran analisa bahasa yang dipengaruhi oleh Nasr Hamid Abu Zaid yang
dimulai dari sakralitas al-Qur‟an hingga mengenai penafsiran-penafsiran serta
pemahaman al-Qur‟annya. Selanjutnya Pemikiran Hermeneutik al-Qur‟an yang
dipengaruhi oleh gerakan ganda (double movement) milik Fazlur Rahman. Selain
itu juga terdapat pemikir barat yang juga memiliki peran penting dalam
pemikirannya yakni Hans Georg Gadamer dan Georg Gracia. Kedua pemikir
barat ini menjadi patokan pemikiran hermeneutik Sahiron dengan teori-teori
penafsirannya sehingga memperkuat metodologi dan pendapatnya dalam
mengkritik penafsiran klasik.

6
Abdulloh, Metodologi Penafsiran Kontemporer (Telaah Pemikiran Sahiron Syamsuddin
Tahun 1990-2013), (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2013), hlm 25-26.
Dari kelima tokoh itulah pemahaman serta pemikiran Sahiron muncul
mengenai metodologi penafsiran yang relevan pada masa kini. Namun, selain
dari lima tokoh tersebut masih terdapat tokoh yang juga banyak mempengaruhi
orientasi keilmuan islam Sahiron. Tokoh yang juga mampu memberikan
sumbangsih terhadap kehadiran metodologi penafsiran yang lebih komprehensif
yakni Prof. Yudian Wahyudi.

E. Aliran tafsir Al-Qur’an dari Segi Pemaknaan 7

1. Aliran Quasi Objektivis Tradisionalis


Aliran ini memiliki pandangan bahwa ajaran al-qur‟an harus di pahami
dan diaplikasikan, sebagaimana al-qur‟an diturunkan pertamakali kepada Nabi
Muhammad saw dan disampaikan kepada generasi muslim awal, serta
menguak kembali makna asal ayat tertentu dengan memanfaatkan perangkat
metodis ilmu tafsir klasik, seperti ilmu asbabun nuzul, ilmu munasabah ayat,
ilmu muhkam dan mutasyabih, dll.
Pandangan ini condong kepada pemahaman al-qur‟an secara literal,
dimana ketetapan-ketetapan hukum yang tertera secara tersurat di dalam al-
qur‟an merupakan pesan tuhan yang bersifat mutlak, tanpa memperhatikan
makna dibalik makna tersurat tersebut (secara tersirat alasan yang melatar
belakangi penetapan hokum tersebut). Oleh karenanya, pandangan ini
memiliki beberapa kelemahan, di antaranya: tidak memperhatikan fakta di
lapangan atau keadaan sekarang, dimana sebagian penetapan hukum yang
seperti hukum perbudakan sudah tidak berlaku lagi dimasa sekarang.
Kemudian para ulama yang berada di pandangan ini, tidak tertarik untuk
memperbarui pemahaman al–qur‟an mereka, untuk bisa menjawab persoalan
sekarang dengan membandingkan antara masa kini dengan masa lalu ketika
al-qur‟an pertamakali turun.

7
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur‟an, Hlm. 54-58.
2. Aliran Subyektivis
Aliran ini memiliki pandangan bahwa penafsiran sepenuhnya berada di
tangan penafsir, dengan berdasar pada perkembangan ilmu dan pengalaman
penafsir ketika al-qur‟an ditafsirkan. Adapun ulama yang menganut aliran ini
adalah Hasan Hanafi dan Muhammad Syahrur. Hasan Hanafi berpandangan
bahwa penafsiran al-qur‟an telah terpengaruh oleh kepentingan atau
ketertarikan penafsirnya. Kepentingan disini bisa diartikan sebagai cerminan
dari komitmen sosial politik sang penafsir demi melakukan perubahan dalam
masyarakat. Oleh karenanya, penafsiran bersifat plural, dan penafsiran yang
bersifat obyektif , hampir tidak mungkin terjadi.
Sedangkan Muhammad Syahrur merupakan penafsir yang subyektifis,
karena menurutnya al-qur‟an harus ditafsirkan secara kontekstual, sehingga ia
tidak berpatokan sama sekali dengan penafsiran ulama klasik hingga
penafsiran Nabi Muhammad saw, karena memandang hal tersebut sebagai
penafsiran awal saja dan tidak mengikat umat Islam. Menurutnya, penafsiran
al-qur‟an harus disesuaikan dengan ilmu yang berkembang pada saat al-qur‟an
ditafsirkan. Jelasnya, kebenaran pandangan terletak pada kesesuaian sebuah
penafsiran dengan kebutuhan dan situasi serta perkembangan ilmu
kontemporer.
3. Aliran quasi objektivis progresif
Aliran ini, ketika menafsirkan mulai berpijak dari makna asal dengan
menggunakan perangkat metodis ilmu tafsir, juga perangkat metodis lainnya
(konteks sejarah makro, teori ilmu bahasa dan sastra modern, dan juga
hermeneutika) dan berusaha memahami makna di balik makna tersurat.
Adapun sarjana muslim yang menganut aliran ini, yakni Fazlurrahman dengan
konsep double movement, Muhammad al-Thalibi dengan konsep tafsir
maqashidinya, Nashr Hamid Abu Zayd dengan konsep al-tafsir al-Siyaqi.
Aliran ini focus kepada dibalik pesan tersurat yang kemudian diaplikasikan
pada masa sekarang dan yang akan datang. Adapun beberapa istilah mengenai
dibalik pesan tersurat atau literal, menurut Fazlur Rahman yakni ratio legis,
kemudian Muhammad al-Thalibi yakni maqashid (tujuan ayat), dan menurut
Nashr Hamid Abu Zayd yakni maghza (signifikansi ayat).

F. Metode Penafsiran Ma’na-Cum-Maghza


1. Definisi Pendekatan Ma’na-Cum-Maghza
Pendekatan Ma‟na-Cum- Maghza adalah pendekatan di mana seseorang
menggali atau merekonstruksi makna dan pesan utama historis, yakni makna
(ma‟na) dan pesan utama/ signifikansi (maghza) yang mungkin dimaksud oleh
pengarang teks atau dipahami oleh audiens historis, dan kemudian
mengembangkan signifikansi teks tersebut untuk kontes kekinian dan
kedisian.8
Dengan definisi ini, kita bisa melihat bahwa fokus utama dari
pendekatan ini adalah penggalian makna dan juga signifikansi. Sebelumnya
Sahiron telah membagi aliran dalam penafsiran Al-Qur'an dari segi
pemaknaan teks, menjadi: aliran quasi konservatif- obyektivis, aliran
subyrktivis, dan aliran quasi-obyektivis progresif. 9 Aliran quasi-obyektivis
progresif lebih dapat diterima karena aliran ini memberikan keseimbangan
yang sama antara makna dan signifikansi. Mereka menjadikan makna asal
literal sebagai pijakan awal (bukan pesan utama) bagi penafsir untuk menggali
dan memahami pesan utama/ signifikansi dibalik makna literal. 10 Namun
Sahiron menambahkan bahwa kekurangan dari aliran quasi-obyektivis
progresif adalah mereka tidak menjelaskan tentang signifikansi yang mana
yang harus digali untuk menafsirkan Al-Qur'an. oleh karena itu, Sahiron
merinci signifikansi tersebut.

8
Sahiron Syamsuddin, “Metode Penafsiran dengan Pendekatan Ma‟na-Cum-Maghza”, dalam
Sahiron Syamsuddin (Ed), Pendekatan Ma‟na-Cum-Maghza Atas Al-Qur‟an dan Hadis: Menjawab
Problematika Sosial Keagamaan Di Era Kontemporer, hlm. 8
9
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur‟an (Yogyakarta:
Pesantren Nawasea Press, 2017), hlm. 57
10
Sahiron Syamsuddin, “Metode Penafsiran dengan Pendekatan Ma‟na-Cum-Maghza”, hlm. 6
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa pendekatan ini
berfokus pada penggalian makna dan signifikansi, maka terlebih dahulu kita
harus mengetahui perincian signifikasi yang dirinci oleh Sahiron.

a) Signifikansi Fenomenal
Signifikansi fenomenal adalah pesan utama yang bersifat dinamis
bergantung pada konteks di mana Al-Qur'an itu dipahami dan ditafsiirkan.
Selanjutnya signifikansi dibagi menjadi dua: pertama, signifikansi
fenomenal historis berupa pesan utama dari Al-Qur'an (baik berupa ayat
maupun kumpulan ayat Al-Qur'an} yang dipahami dan diaplikasikan pada
masa pewahyuan Al-Qur'an. kedua, signifikansi fenomenal dinamis
berupa pesan utama dari ayat Al-Qur'an yang dipahami, ditafsirkan, dan
diaplikasikan pada saat ayat itu ditafsirkan.
b) Signifikansi Ideal
Signifikansi ini merupakan kumpulan dari akumulasi pemahaman
tentang signifikansi dinamis dan hanya bisa diketahui di akhir peradaban
manusia.
2. Langkah-Langkah Metodis Penafsiran Berbasis Pendekatan Ma’na-Cum-
Maghza 11
a) Penggalian Makna Historis ( al- ma‟na al-tarikhi) dan Signifikansi
Fenomenal Historis (al-maghza al-tarikhi)
Ada beberapa langkah yang dilakukan seorang penafsir untuk
menemukan makna historis dan signifikansi fenomenal historis, adapun
langkah-langkahnya sbb:
1. Menganalisa bahasa Al-Qur'an baik dari segi bahasa maupun
stukturnya. Hal yang harus diperhatikan oleh penafsir adalah

11
Sahiron Syamsuddin, “Metode Penafsiran dengan Pendekatan Ma‟na-Cum-Maghza”, dalam
Sahiron Syamsuddin (Ed), Pendekatan Ma‟na-Cum-Maghza Atas Al-Qur‟an dan Hadis: Menjawab
Problematika Sosial Keagamaan Di Era Kontemporer, hlm.8-17
penggunaan dan makna kosakata tertentu pada saat diturunkan karena
ada aspek monokronik 12 dan diakronik13 di dalamnya.
2. Melakukan analisis Intratekstualitas
Dalam penafsiran Al-Qur'an, penafsir menganalisa penggunaan kata
yang sedang ditafsirkan dan membandingkannya dengan ayat-ayat
lainnya.
3. Apabila dibutuhkan, penafsir juga melakukan analisis intertekstualitas.
Analisis ini membandingkan Al-Qur'an dengan teks lainnya seperti
hadis nabi, puisi arab, teks-teks lainnya untuk mengetahui sejauh mana
makna Al-Qur'an diperkuat oleh teks-teks lainnya atau untuk
mengetahui perbedaan konsep Al-Qur'an dengan teks lainnya.
4. Penafsir memperhatikan konteks historis pewahyuan ayat Al-Qur'an.
analisis ini mencoba menggali makna literal dari ayat Al-Qur'an
sekaligus menggali signifikansi fenomenal historis pada masa ayat itu
diturunkan.
5. Menggali maqsad atau maghza al-ayah (tujuan/pesan utama) yang
pada ayat Al-Qur'an pada saat ayat tersebut diturunkan.

b) Membangun Kontruksi Signifikansi Fenomenal Dinamis

1. Menentukan kategori ayat. Dalam hal ini, penafsir menggolongkan


ayat yang ditafsirkan ke dalam ayat-ayat tentang ketauhidan, ayat-ayat
tentang hukum, maupun ayat-ayat tentang kisah-kisah nabi.
2. Mengembangkan hakikat atau definisi dan cakupan “siggnifikansi
fenomenal historis” untuk kebutuhan pada konteks kekinian (waktu)
dan kedisian (tempat di mana teks Al-Qur'an ditafsirkan).

12
Sinkronik adalah kosakata yang tidak mengalami perubahan dari konsep atau kata tersebut.
Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an: Semantic of the Qur‟anic Weltanschaung (Kuala
Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), hlm. 33
13
Diakronik adalah kosakata yang berkembang dan berubah sesuai caranya sendiri yang unik.
Lihat Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an: Semantic of the Qur‟anic Weltanschaung (Kuala
Lumpur: Islamic Book Trust, 2002), hlm. 33
3. Menangkap makna-makna simbolik ayat Al-Qur'an.
4. Mengembangkan penafsiran dengan menggunakan perspektif yang
lebih luas.
G. Aplikasi Penafsiran Ma’na Cum Maghza

1. Kepemimpinan di Ranah Keluarga (QS An-Nisa :34)

۟ ِِ ِ
ۚ ‫ض َوِِبَآ أَن َف ُقوا ِم ْن أ َْم ََّٰوِلِِ ْم‬
ٍ ‫ض ُه ْم َعلَ َّٰى بَ ْع‬ َّ ‫َّل‬
َ ‫ٱَّللُ بَ ْع‬ َّٰ ُ ‫ٱلر َج‬
َ ‫ال قَ َّوُمو َن َعلَى ٱلنّ َسآء ِبَا فَض‬ ِّ
َّٰ َّ ‫ظ‬ ِ ‫ت لِّ ْلغَْي‬
ُ ُ‫وزُى َّن فَ ِعظ‬
‫وى َّن‬ َ‫ش‬ ُ ُ‫ٱَّللُ ۚ َوٱلَّ ِِت ََتَافُو َن ن‬ َ ‫ب ِِبَا َح ِف‬ ٌ َ‫ت ََّٰح ِف َّٰظ‬ ُ ‫ٱلصلِ ََّٰح‬
ٌ َ‫ت َّٰقَنِ َّٰت‬ ََّّٰ َ‫ف‬
۟ ِ‫ض‬
َّ ‫وى َّن ۖ فَِإ ْن أَطَ ْعنَ ُك ْم فَ ََل تَ ْب غُوا َعلَْي ِه َّن َسبِ ايَل ۗ إِ َّن‬
‫ٱَّللَ َكا َن‬ ُ ُ‫ض ِرب‬
ْ ‫اج ِع َوٱ‬ َ ‫وى َّن ِِف ٱل َْم‬
ُ ‫َوٱ ْى ُج ُر‬

‫ريا‬ِ ِ
‫َعليِّا َكب ا‬
Kaum laki-laki itu pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan
hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka taat pada
(Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah
menjaga (mereka). perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan
nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka
di tempat tidur (pisah ranjang), dan pukullah mereka. tetapi jika mereka
menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk
menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar.
Konteks Historis Ayat
Ayat ini diturunkan di Madinah. Adapun sebab turunnya ayat ini menurut
Ibn Katsir berkaitan dengan sebuah peristiwa dimana Nabi Muhammad saw
didatangi oleh seorang wanita yang mengadu bahwa dirinya dipukul oleh
suaminya. Terhadap hal tersebut, Rasulullah memberikan respon : “al-qhisash”
(Balas dia dengan pukulan lagi!”. Setelah itu turunlah ayat tersebut sebagai
respon.14
Ayat ini seringkali dijadikan sebagai dalil pelarangan perempuan untuk
memimpin. Namun, Sahiron menganggap ayat tersebut bukan semata-mata ayat
normatif, melainkan juga ayat historis yang menggambarkan kondisi sistem
kekeluargaan bangsa Arab saat itu yang bersifat patriarkhal yang menjadikan
laki-laki sebagai pemimpin keluarga.
Kaum laki-laki menjadi penentu segala hal tentang kelurga karena pada
masa hanya laki-laki yang siap untuk menjadi pemimpin baik dari segi
kemampuan pemberian nafkah, maupun karena kelebihan-kelebihan lainnya,
seperti yang dideskripsikan dalam ayat tersebut : bi ma faddala Allahu wa bi
ma anfaqu min amwalihim (karena Allah mengutamakan sebagian mereka di
atas sebagian yang lain dan karena mereka memberi nafkah dari harta mereka. 15
Satu hal yang perlu digaris bawahi, sistem tersebut bukanlah sesatu yang
bersifat normatif, melainkan kultural. Tidak ada nillai religius terkait hal
tersebut karena hanya merupakan budaya Arab yang memang berlaku saat itu.
Pesan Utama Ayat

Sahiron berpendapat bahwa ayat tersebut berkenaan dengan


kepemimpinan dalam keluarga. Adapun pesan inti dalam ayat tersebut antara
lain :

Pertama, kepemimpinan dalam rumah tangga tidak mutlak beerada di tangan


laki-laki. Perempuan juga berhak menjadi pemimpin, atau bahkan kepemimpinan
kolektif juga dapat dipilih jika memang dianggap lebih sesuai dengan kultur
sebuah masyarakat.

14
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan pengembangan Ulumul Qur‟an (Yogyakarta:
Nawasea Press, 2017), Hlm. 144.
15
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan pengembangan Ulumul Qur‟an, Hlm. 154.
‫۟ا‬
Kedua, firman Allah : ‫ َمِب َف ا َف َّض َفا َّضٱُها َفَب ْع َف ُه ْع ا َف َف ٰى ا َفَب ْع ٍض ا َفَمِبَفٓااَف َفن ُه وا َمِب ْع اَفْع ٰىَف َمِبَمِب ْعا‬menjadi
isyarat bahwa seorang pemimpin harus memiliki kelebihan, baik dari segi
spiritualitas, keilmuan, maupun finansial. Jika seorang perempuan memiliki
kemampuan tersebut, maka dia berhak menjadi pemimpin. Begitu juga
sebaliknya, jika seorang laki-laki memiliki kemampuan tersebut, maka dia juga
berhak menjadi pemimpin. 16

Ketiga, firman Allah : ‫ٱلَمِب ٰىَف ُه ا ٰىَفَمِبٰىَف ٌت ا ٰىَف َمِبن ٰىَف ٌت اٱِّلَمِبْع َفْع َمِب اَمِب َف ا َف َمِبن َف ا َّضا‬
‫ٱُه‬ ‫َف ٰىَّض‬ memliki pesan inti

ketaatan terhadap pemimpin. Dalam konteks ayat tersebut karena


menggambarkan istri sebagai orang yang dipimpin, maka istri harus taat pada
suaminya. 17

‫ٰى‬
Keempat, firman Allah: ‫َف ٱَّضَمِب ا َفَف ُه َفوا ُه ُه َفوُهو َّض ا َف َمِب ُه ُهو َّض ا َف ْعو ُه ُه ُهو َّض ا َمِب ا ْعٱ َف َف َمِبا َمِب ا َف ْع‬
‫ٱ َمِبُه ُهو َّضا‬
mengandung pesan inti tentang hal-hal yang harus dilakukan pemimpin jika
bawahannya berbuat kesalahan. Yaitu dengan mendahulukan memberi nasehat
atau arahan, kemudian tindakan-tindakan yang dapat menyadarkan, dan langkah
terakhir pemimpin berhak memberikan hukuman yang tidak melukai. 18

2. QS Al-Baqarah :111-113

‫ْك أ ََمانِيُّ ُه ْم ۗ قُ ْل‬


َ ‫ص َار َّٰى ۗ تِل‬ ‫َوقَالُوا لَ ْن يَ ْد ُخ َل ا ْْلَنَّةَ إََِّّل َم ْن َكا َن ُى ا‬
َ َ‫ودا أ َْو ن‬
َِِّ ‫ادقِني ب لَ َّٰى من أَسلَم وجهو‬
‫َّلل َو ُى َو ُُْم ِس ٌن‬ ََُْ َ ْ ْ َ َ َ ِ ‫ص‬ َ ‫َىاتُوا بُ ْرَىانَ ُك ْم إِ ْن ُك ْن تُ ْم‬
‫ود‬
ُ ‫ت الْيَ ُه‬ َ ْ َْ ٌ ‫َج ُرهُ ِع ْن َد َربِِّو َوََّل َخ ْو‬
ِ َ‫ف َعلَْي ِهم وََّل ُىم ََْي َزنُو َن وقَال‬ ْ ‫فَ لَوُ أ‬

16
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan pengembangan Ulumul Qur‟an, Hlm. 155.
17
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan pengembangan Ulumul Qur‟an, Hlm. 156.
18
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan pengembangan Ulumul Qur‟an, Hlm. 156–57.
‫ود َعلَ َّٰى َش ْي ٍء‬
ُ ‫ت الْيَ ُه‬ َ ََ
ِ َ‫ت النَّصار َّٰى َعلَ َّٰى َشي ٍء وقَال‬
ِ ‫ت النَّصار َّٰى لَْيس‬
َ ْ ََ
ِ ‫لَْيس‬
َ
َّ َ‫ين ََّل يَ ْعلَ ُمو َن ِمثْ َل قَ ْوِلِِ ْم ۚ ف‬
ُ‫اَّلل‬ َ ‫ال الذ‬ َ ِ‫اب ۗ َك ََّٰذل‬
ِ َّ َ َ‫ك ق‬ ِ
َ َ‫َو ُى ْم يَ ْت لُو َن الْكت‬
‫يما َكانُوا فِ ِيو َ ْتَلِ ُفو َن‬ ِِ ِ
َ ‫ََْي ُك ُم بَ ْي نَ ُه ْم يَ ْوَ الْقيَ َامة ف‬

Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Tidak masuk surga kecuali
orang Yahudi atau Nasrani.” Itu (hanya) angan-angan mereka.
katakanlah, “Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu orang yang benar.”
Tidak. Barangsiapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia
berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa
takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. dan orang Yahudi
berkata, “Orang Nasrani itu tidak memiliki sesuatu (pegangan),” dan
orang-orang Nasrani (juga) berkata, “ Orang-orang Yahudi tidak memiliki
sesuatu (pegangan).” Padahal, mereka membaca kitab. Demikian pula
orang-orang yang tidak berilmu, berkata seperti ucapan mereka itu. maka
Allah akan mengadili mereka pada hari Kiamat, tentang apa yang mereka
perselisihkan.

Konteks Historis Ayat

QS Al Baqarah ayat 111-113 diturunkan kepada Nabi Muhammad saw


di Madinah dan audiensnya adalah oran-orang Yahudi dan Nasrani. Menrut
sejarawan muslim, ayat ini diturunkan berkaitan dengan oran-orang Yahudi
dan Nasrani Najran dan para rabi Yahudi di Madinah. Diriwayatkan bahwa
utusan kaum Nasrani mendatangi Rasulullah dan menjelaskan bahwa seorang
rabi Yahudi mengakatan bahwa kaum Nasrani tidak berada di jalan yang
benar. Menganggapi hal tersebut, pihak Nasrani juga mengatakan hal yang
sama. sehingga terjadi perdebatan di antara mereka.19

Analisis Linguistik

‫ص َار َّٰى‬ ‫َوقَالُوا لَ ْن يَ ْد ُخ َل ا ْْلَنَّةَ إََِّّل َم ْن َكا َن ُى ا‬


َ َ‫ودا أ َْو ن‬

Pernyataan tersebut berarti : Mereka (yaitu orang-orang Yahudi dan


Nasrani) berkata, “Tidak seorangpun akan masuk surga kecuali orang Yahudi
dan Nasrani.” Pernyataan mereka tersebut merupakan klaim kebenaran
ekslusif, walaupun belum jelas apakah hal itu dimaksudkan untuk saling
mempermalukan Yahudi dan Nasrani atau mempermalukan umat Islam. 20

‫ْك أ ََمانِيُّ ُه ْم‬


َ ‫تِل‬

Dalam memahami ungkapan ini, Sahiron mengutip pendapat Muqatil


yang menafsirkan ayat tersebut sebagai Tamannaw ala Allah (mereka
berharap pada Tuhan), pndapat Abdul Haleem yang menafsirkan ungkapan
tersebut sebagai „wishful thinking‟ (angan-angan), dan juga terjemahan
Jerman :Das Sin jedoch nur ihre wunsche. Ini menunjukkan penolakan Allah
atas klaim kebenaran mereka.21

‫قُ ْل َىاتُوا بُ ْرَىانَ ُك ْم‬

Muqatil menafsirkan ungkapan tersebut dengan hujjatakum min al taurat wa


al injil (bukti kebenaran kalian dari Taurat dan Injil). Ungkapan tersebut berisi

19
Sahiron Syamsuddin dkk, Pendekatan Ma‟na Cum Maghza atas Al-Qur‟an dan Hadis :
Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer (Yogyakarta: Lembaga Ladang Kata,
t.t.), 24.
20
Syamsuddin, 21.
21
Syamsuddin, 22.
perintah yang diberikan kepada Nabi Muhammad untuk menantang mereka
menunjukkan bukti dari klaim kebenaran mereka tersebut. 22

َِِّ ‫ب لَ َّٰى من أَسلَم وجهو‬


‫َّلل َو ُى َو ُُْم ِس ٌن‬ ََُْ َ ْ ْ َ َ

Kata bala ini dimaksudkan agar Nabi menolak klaim kebenaran yang
dilakukan oleh orang0orang Yahudi dan Nasrani di Madinah. Zamakhysari
menafsirkan ungkapan ayat terseut sebagai man akhlasa nafsahu lahu la
yusyriku bi hi ghayrahu (Siapapun yang menyucikan dirinya untuk Tuhan
dan tidak mensekutukan-Nya dengan yang lain). Singkatnya, dia percaya
akan keesaan Allah. Dalam menggali makna ayat ini, Sahiron juga
mengambil pendapat Al-Thabari, Al-Razi sehingga mendapatkan kesimpulan
bahwa kata “aslama” tidak berarti masuk Islam secara eksklusif, melainkan
tunduk kepada Tuhan, terlepas dari kenyataan bahwa orang tersebut seorang
Yahudi atau Nasrani, atau bahkan muslim sekalipun.23
Mengenai lafaz wa huwa mushisun, al Thabari berpendapat bahwa
lafaz tersebut mengandung arti penyerahan seseorang kepada Tuhan harus
tuls. Sedangkan Al-Razi berpendapat bahwa unkapan itu berarti “Keoatuhan
seseorang kepada Tuhan harus diikuti perbuatan baik kepada orang lain,
bukan perbuatan buruk.” Adapun Ibnu Asyur menggaungkan kedua pendapat
tersebut dengan mengatakan bahwa muhsin berarti menyerahkan hati kepada
Allah dengan tulus serta melakukan perbuatan baik.

ٌ ‫َج ُرهُ ِع ْن َد َربِِّو َوََّل َخ ْو‬


‫ف َعلَْي ِه ْم َوََّل ُى ْم ََْي َزنُو َن‬ ْ ‫فَ لَوُ أ‬

22
Syamsuddin, Pendekatan Ma‟na Cum Maghza atas Al-Qur‟an dan Hadis : Menjawab
Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer.
23
Syamsuddin, 22.
Ungkapan ini menegaskan bahwa mereka yang mengabdikan diri akan
dihargai oleh Allah, tidak ada rasa takut dalam diri mereka, dan mereka tidak
akan bersedih di akhirat nanti. 24

‫ود َعلَ َّٰى َش ْي ٍء‬


ُ ‫ت الْيَ ُه‬ َ ََ
ِ َ‫ت النَّصار َّٰى َعلَ َّٰى َشي ٍء وقَال‬
ِ ‫ت النَّصار َّٰى لَْيس‬
َ ْ ََ
ِ ‫ود لَْيس‬ ِ
َ ُ ‫َوقَالَت الْيَ ُه‬

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa orang-orang Yahudi dan


Nasrani Madinah pernah berkonflik dan menuduh kelompok lain sebagai
kelompok yang tersesat.25

Pesan Utama
Qs Al-Baqarah ayat 111-113 melarang sikap mengklaim kebenaran
agama secara ekslusif. Ayat walaupun diturunkan berkaitan dengan orang-
orang Yahudi dan Nasrani Madinah, tetapi nilai tersebut berlaku untuk setiap
komunitas agama termasuk umat Islam pada masa itu. berdasarkan ayat ini,
keselamatan akan diterima oleh siapa saja yang tunduk dan patuh kepada
Tuhan yang maha esa dan melakukan perbuatan baik, terlepas dari agama
yang berbeda-beda. 26

Terdapat ayat lain yang memperkuat pendapat ini, yaitu Qs Al-


Baqarah 135-136 yanga artinya :”Dan mereka berkata, „Jadilah kamu
(penganut) Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.‟
Katakanlah, „(Tidak) tetapi (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus dan
dia tidak termasuk golongan yang mempersekutukan Tuhan. Katakanlah,
„kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami,
dan kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan
anak cucunya, dan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta

24
Syamsuddin, 24.
25
Syamsuddin, 24.
26
Syamsuddin, 26.
kepada apa yang diberikan kepada Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak
menbeda-bedakan seorangpun di antara mereka, dan kami berserah diri
kepada-Nya.”

Berdasarkan ayat tersebut dapat dimpulkan bahwa Allah akan


menyelamatkan setiap komunitas agama yang tunduk kepada-Nya. Ayat ini
semakin memperkuat argumen tentang larangan untuk melakukan klaim
kebenaran eksklusif.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. 2013. Metodologi Penafsiran Kontemporer (Telaah Pemikiran Sahiron Syamsuddin Tahun
1990-2013), dalam Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ushuluddin, Studi Agama
dan Pemikiran Islam.
Izutsu, Toshihiko. 2002. God and Man in the Qur‟an: Semantic of the Qur‟anic Weltanschaung. Kuala
Lumpur: Islamic Book Trust.
Robikah, Siti. 2020. Reinterpretasi Kata Jilbab dan Khimar dalam Al-Quran: Pendekatan Ma‟na Cum
Maghza Sahiron Syamsuddin. Dalam Jurnal Ijougs (Vol. 1 No. 1)
Syamsuddin, Sahiron. 2017. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur‟an. Yogyakarta:
Pesantren Nawesea Press.
Syamsuddin, Sahiron. 2020. Pendekatan Ma‟na-Cum-Maghza Atas Al-Qur‟an dan Hadis: Menjawab
Problematika Sosial Keagamaan Di Era Kontemporer. Yogyakarta: Lembaga Ladang Kata.

Anda mungkin juga menyukai