Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kajian orang-orang Barat terhadap Timur baik berupa agama, budaya, ataupun yang
lainnya, yang biasa dikenal dengan orientalisme, itu sudah berlangsung lama. Dalam catatan
sejarah disebutkan bahwa aktifitas orientalisme telah dimulai sejak abad ke-11 Masehi dimana
pada saat itu banyak orang-orang Eropa yang sekolah dan belajar di perguruan-perguruan Arab
dengan orientasi penguasaan dan penerjemahan buku-buku teks Arab.

Kajian yang dilakukan orang-orang Barat terhadap Timur tersebut juga mengalami
perjalanan dan dinamika yang berliku, demikian pula tujuan para orientalis dalam mengkaji
Islam juga mengalami dinamika perubahan sesuai situasi yang berkembang. Sebelum abad ke 19
misalnya, motivasi para orientalis tidak jauh beranjak dari motivasi kolonialisme serta semangat
permusuhan terhadap Islam. Pandangan yang dihadirkan didominasi oleh sikap polemis. Namun
sejak abad ke-19 motivasi tersebut mulai mengalami pergeseran. Kegiatan orientalisme tidak lagi
semata bertujuan mencari kelemahan ajaran Islam, namun telah mulai dimotivasi oleh tujuan
ilmiah.1 Adapun tanggapan dari orang-orang Timur sendiri banyak yang menolak karya-karya
atau pendapat-pendapat orientalis, hal ini karena kebanyakan orientalis dalam mengkaji Timur
baik budaya maupun agamanya, cenderung bersikap subjektif dan mencari dalil untuk
melemahkan objek yang dikajinya.

Awal mula orientalis barat mengkaji Al-Qur’an berawal sejak tahun 1927 ketika salah
seorang pendeta Kristen asal Irak dan mantan guru besar Universitas Birmigham, Inggris yaitu Alphonse
Mingana. Ia menyatakan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks
Al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahsa ibrani-Arami dan
kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The Time has surely come to subject the tex of the Qur’an to
the same criticism as that to wich we subject the Hebrew anda Aramic of the jewish bible, and the greek
of the Christian scriptures)”

1 Ignaz Goldziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Sterm (London: t.np, 1971) 20.
Mengapa orientalis satu ini menyeru demikian? Seruan ini dilatarbelakangi oleh
kekecewaan sarjana Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan juga disebabkan oleh
kecemburuan mereka terhadap umat Islam dan kitab suci Al-Qur’an. Perlu diketahui bahwa
mayoritas ilmuwan dan cendikiawan Kristen sudah lama meragukan otentitas Bile. Mereka
terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa bible yang ada di tangan mereka sekarang ini terbukti
bukan asli alias palsu.2 Hal itu terjadi karena banyaknya campur tangan manusia didalamnya
sehingga sulit untuk dibedakan mana yang benar-benar wahyu tuhan dan mana yang bukan.
Seperti yang disampaikan oleh salah seorang muallaf yang mempunyai latar belakang sebagai
pendeta yaitu Yahya Waloni beliau menyatakan dalam ceramahnya, ketika beliau
membandingkan cetakan kitab injil dari tahun ketahuan, ternyata banyak perubahan. Beda halnya
dengan Al-Qur’an yang merupakan kitab suci agama Islam kapan, dan dimanapun Teks Al-
Qur’an semuanya sama, dengan bukti inilah pendeta waloni mendapatkan hidayah dari Allah
SWT sehingga pada akhiryna ia memantabkan hatinya untuk mengucapkan syahadatain. 3

Salah satu tokoh orientalis yang terkenal yang sering disebut dedengkot dan panutan
orientalis lain adalah Ignaz Goldziher (penyebutan nama selanjutnya dengan Goldziher). Ia
merupakan orientalis yang lebih menekankan penelitiannya terhadap hadis dan al-Qur’an.

A. Rumusan Masalah
1. Jelaskan secara biografi Ignaz Goldziher?
2. Bagaimana pemikiran Ignaz Goldziher terhadap al-Qur’an?
3. Bagaimana sikap atau tanggapan terhadap pemikiran Ignaz Goldziher terhadap al-
Qur’an?

2
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta : Gema Insani, 2008, hal.3
3
http://rujukanisla.blogspot.com/2014/11/pandangan-orientalis-terhadap-al-quran.html di download 20 mei 2018
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Ignaz Goldziher

Ignaz Goldziher lahir pada 22 Juni 1850 di sebuah kota di Hongaria4. Berasal dari
keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh luas, tetapi tidak seperti keluarga
Yahudi Eropa lainnya yang sangat fanatik terhadap kebudayaan dan agamanya saat itu.
Pendidikannya dimulai dari Budhapest, kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869, hanya
satu tahun ia di sana, kemudian pindah ke Universitas Leipzig. Salah satu guru besar ahli
ketimuran yang bertugas di universitas tersebut adalah Fleisser, sosok orientalis yang sangat
menonjol saat itu. Dia termasuk pakar filologi. Di bawah asuhannya, Goldziher memperoleh
gelar doktoral tingkat pertama tahun 1870 dengan topik risalah “Penafsir Taurat yang berasal
dari Tokoh Yahudi Abad Tengah”5.

Kemudian Goldziher kembali ke Budhapest dan ditunjuk sebagai asisten guru besar di
Universitas Budhapes pada tahun 1872, namun ia tidak lama mengajar. Sebab ia diutus oleh
Kementerian Ilmu Pengetahuan ke Luar negeri untuk meneruskan pendidikannya di Wina dan
Leiden. Setelah itu ia ditugasi untuk mengadakan ekspedisi ke kawasan Timur, dan menetap di
Kairo Mesir, lalu dilanjutkan ke Suriah dan Palestina. Selama menetap di Kairo dia sempat
bertukar kajian di Universitas al-Azhar.

Ketika diangkat sebagai pemimpin Universitas Budhapest, dia sangat menekankan kajian
peradaban Arab, khususnya agama Islam. Gebrakan yang dilakukan Goldziher telah
melambungkan namanya di negeri asalnya. Oleh karena itu, ia dipilih sebagai anggota
Pertukaran Akademik Magara tahun 1871, kemudian menjadi anggota badan pekerja tahun 1892,
dan menjadi salah satu ketua dari bagian yang dibentuknya pada tahun 1907.6

4 Hongaria adalah sebuah Negara di Eropa Tengah, terletak pada Basin Carpathia dan berbatasan dengan Austria.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Hongaria) diakses pada Tanggal 16 Maret 2016.
5 Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, terj. Amroni Drajat (Yogyakarta: LKiS, 2003), 129.
6 Ibid., 129.
Pada tahun 1894 Goldziher menjadi profesor kajian bahasa Semit, sejak saat itu dia
hampir tidak kembali ke negerinya, tidak juga ke Budaphes, kecuali untuk menghadiri konferensi
orientalis atau memberi orasi pada seminar-seminar di berbagai universitas asing yang mengund
angnya. Pada tanggal 13 November 1921, akhirnya dia menghembuskan nafas terakhirnya di
Budhapest.7

Goldziher memiliki beberapa karya tulis yang tidak sedikit. Ia terbilang sebagai orientalis
yang produktif. Diantara karya-karyanya adalah sebagai berikut:8

1. Kritik terhadap “Azh-Zhahiriyyah: Madzhabuhum wa Tarikhuhum”, yang dikerjakan


pada tahun 1884. Sebuah buku yang mengulas tentang ushul fiqih, sejarah munculnya
madzhab, khususnya madzhab Zhahiriyah, serta kaitannya dengan madzhab-madzhab
lain.
2. Muhammedanische Studien/Dirasah Islamiyyah, juz pertama terbit pada tahun 1889,
sedangkan juz kedua terbit pada tahun berikutnya. Pada juz pertama, Goldziher
membahas tentang al-Watsaniyah wa al-Islam. Di juz kedua, Goldziher memaparkan
sejarah dan perkembangan hadis, pengkultusan wali di kalangan umat Islam dan berbagai
hal yang berkaitan dengannya.
3. Kajian terhadap al-Mu’ammarin-nya Abi Hatim as-Sijistani pada tahun 1899.
4. Muhadharat fi al-Islam (Heidelberg, 1910). Buku ini membahas Muhammad dan Islam,
Perkembangan Syariat, Perkembangan Ilmu Kalam, Zuhud dan Tasawuf yang
menguraikan sejarah timbulnya mistisime dalam Islam dan perkembangannya, yaitu sejak
peradaban Islam berkenalan dengan Hellenis dan Hindu hingga timbulnya paham wahdat
al-wujud pada abad ke-7 Hijriyah. Dalam bagian akhir karya ini dibahas juga berbagai
aliran yang terdapat dalam Islam, seperti Khawarij, Syi’ah, dan aliran-aliran yang muncul
pada masa kontemporer, seperti Wahabiyah, Bahaiyah, Babiyah, dan Ahmadiyah.
5. Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung. (Leiden, 1920). Yang dalam versi
bahasa Arab berjudul Madzahib at-Tafsir al-Islami

7 ] Ibid., 129-130.
8 Ibid., 130-132.
Secara umum, misionaris9 dan orientalis Yahudi-Nasrani, setelah mereka gagal
menghancurkan sirah dan sunnah Nabi dan al--Qur’an shalallahhu Alaihi Wasallam.10
Pendekatan kajian Goldziher terhadap al-Qur’an tidak sebatas mempertanyakan otoritasnya,
namun isu klasik yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Nasrani, Zoroaster dan
sebagainya terhadap Islam dan isi kandungan al-Qur’an.

Goldziher berusaha mengungkapkan apa saja yang bisa dijadikan bukti bagi teori
peminjaman dan pengaruh hal tersebut terutama dari literatur dan tradisi Yahudi-Nasrani, dan
membandingkan ajaran al-Qur’an dengan adat-istiadat Jahiliyah, Romawi, dan lain sebagainya.
Goldziher mengatakan bahwa cerita-cerita dalam al-Qur’an banyak yang keliru dan tidak sesuai
dengan versi Bible yang dianggap akurat.11 Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa
pendekatan yang dipakai Goldziher adalah comparative religion dalam mengkaji kitab suci, dan
historical otenticity dalam mengkaji hadis.

Adapun tujuannya dalam mengkaji Islam adalah untuk mencemarkan akidah Islam dan
meragukan al-Qur’an. Hal ini terlihat dalam berbagai karyanya, secara lantang Goldziher
mengatakan bahwa Islam cenderung lebih dekat dengan Judaisme (paham-paham dalam agama
Yahudi).12

Dalam bukunya yang membahas qira’at, Goldziher dianggap telah melakukan


penyimpangan yang sangat jauh, mengabaikan petunjuk yang benar, dan dengan sengaja
mementahkan kebeneran al-Qur’an.13

9 Orang yg melakukan penyebaran warta Injil kepada orang lain yg belum mengenal Kristus, atau Imam kristen yang melakukan
kegiatan misi.

10 Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta : Gema Insani Press, 2008) 7.
11 Mustofa Hulayin, “Ignaz Goldziher dan Tipologi Tafsir al-Qur’an”, dalam Kajian Orientalis Terhadap al-Qur’an dan Hadis,
Ed. M. Anwar Syarifuddin, 2011-2012, 67.

12 Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, 9.


13 Syekh Abdul Fattah Abdul Ghani al-Qadli, al-Qirā’at Fī Nadhār al-Mustasyriqīn wa al-Mulhidīn, terj. Sayid Agil Husain
Munawar dan Abdul Rahman Umar, (Semarang : PT. Karya Toha Putra, t.th) 9.
B. Pemikiran Ignaz Goldziher Terhadap al-Qur’an

Secara spesifik, Islam menurut Goldziher adalah agama yang paling memuaskan akal,
dan tidak bertolak belakang dengan kemajuan ilmu, karena jika bertolak belakang, maka berarti
Islam itu bertentangan dengan semangat pembawanya. Kemudian dalam memandang al-Qur’an,
Goldlziher mengatakan, “Tidak ada kitab perundang-undangan (tasyri’) yang diakui oleh
kelompok keagamaan bahwa ia adalah teks yang diturunkan atau diwahyukan, di mana pada
masa awal peredarannya, teks tersebut datang dalam bentuk kacau dan tidak pasti sebagaimana
yang kita temukan dalam al-Qur’an.14 Menurut Goldziher, terkait dengan al-Qur’an banyak
perbedaan dalam hal qira’at dan tidak konsisten dalam hal tafsirnya dan ingin mengubah susunan
ayat dan surat dalam al-Qur’an secara kronologis, mengoreksi bahasa al-Qur’an ataupun
mengubah redaksi sebagian ayat-ayatnya.

Dalam kaitannya dengan studi al-Quran dan tafsir, Goldziher dapat dikatakan sebagai
sosok orientalis yang pendapatnya banyak dirujuk oleh orientalis setelahnya. Pendapat dan
pandangannya tentang al-Quran setidaknya dapat dilacak melalui dua karyanya yakni
Introduction to Islamic Theology and Law dan Madhāhib al-Tafsīr al-Islamiy.

Dalam karyanya Madhāhib al-Tafsīr al-Islamiy, Goldziher sendiri, disamping digugat


karena pandangan-pandangannya yang dianggap bersifat polemis dan skeptis terhadap Al-Quran,
ia dianggap sebagai tokoh orientalis yang berjasa dalam memetakan pemikiran para mufassir
khususnya dari aspek ideologis atau kegiatan penafsiran yang dilakukan. Dalam karyanya
tersebut, Goldziher secara selektif berhasil memetakan para mufassir dari berbagai aliran yang
ada secara ringkas. Ia mengasumsikan eksistensi lima aliran tafsir dalam Islam: Tradisionalis,
dogmatis, mistik, sektarian serta modernis. Tiga aliran pertama senada dengan tipologi
kesarjanaan muslim, yakni tafsir bi al-riwāyah, tafsir bi al-dirāyah, tafsir bi al-isyarah. Sementara
dua aliran lainnya, sektarian dan modernis, merupakan kategori tambahan atau elaborasi dari
tipologi kesarjanaan muslim.15

14 Ignaz Goldziher, Madzab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk, (Jogjakarta : eISAQ Press,
2010), 4.

15 Taufik Adnan Amal, Rekosnstruksi Sejarah Al-Quran (Yogyakarta: FkBA, 2001) 354.
Pendapat lebih lanjut tentang al-Qur’an, menurut Goldziher, al-Qur’an merupakan kitab
suci yang berupaya menyerap ajaran-ajaran agama samawi sebelumnya. Unsur-unsur Kristen di
dalam Al-Quran diterima oleh Muhammad umumnya melalui jalan tradisi-tradisi apokri16 dan
melalui bid’ah-bid’ah yang yang bertebaran di dalam Gereja Timur. Dengan jalan demikian,
tidak sedikit unsur-unsur agnostik17 Timur mendapatkan tempatnya di dalam pemberitaan suci
Muhammad.18

Ide-ide tersebut dalam pandangan Goldziher, diperoleh Muhammad melalui hubungan-


hubungan lahiriah dalam urusan perdagangan ketika ia masih belum diangkat sebagai Rasul.
Untuk memperkuat argumentasinya tersebut, Goldziher menyatakan bahwa doktrin-doktrin dan
perundang-undangan Nabi bersifat eklektis19. Agama Yahudi dan Kristen menyediakan unsur-
unsur pokok dan takaran yang sama. Lima unsur pokok yang dikenal dengan Rukun Islam sudah
diperkenalkan oleh Nabi pada periode Makkah dan memperoleh bentuknya yang pasti pada
periode Madinah. Jadi, menurut Goldziher, unsur-unsur ajaran dalam al-Quran sebenarnya
banyak menyerap unsur atau tradisi agama sebelumnya.20

Misalnya, pertama ibadah shalat. Menurut Goldziher, yang dimulai dari berdiri, takbir
dan bacaan-bacaan memiliki kemiripan dengan tradisi ibadah agama Kristen Timur seperti sujud,
bersimpuh, dan wudhu . Kedua, aturan zakat yang semuala merupakan amal sukarela, oleh
Muhammad kemudian dilembagakan secara formal dalam bentuk sumbangan yang dibayarkan
secara tertentu untuk kelompok dhu’afa’ secara komunitas. Ketiga, puasa yang semula dilakukan
pada hari kesepuluh dari bulan pertama (meniru Hari Pertama Penebusan pada agama Yahudi,
asyura’), kemudian dilakukan selama bulan Ramadhan. Keempat, ziarah ke Ka’bah, tempat suci
bangsa Arab kuno di Mekkah, ditafsirkan kembali dengan gaya monoteis dari perspektif ajaran
Ibrahim.21

16 Bagian-bagian Alkitab yg diakui Gereja Katolik.


17 Orang yg berpandangan bahwa kebenaran tertinggi (misal Tuhan) tidak dapat diketahui dan mungkin tidak akan dapat
diketahui.

18 Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, terj. Oleh Hesri Setiawan (Jakarta: INIS, 1991) 12.
19 Pengambilan dari semua sistem yang terbaik
20 Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, terj. Oleh Hesri Setiawan, 12.
21 Ibid., 12.
Goldziher juga menilai bahwa Al-Quran yang diturunkan pada masa Rasullullah hidup
ternyata belum mampu menjawab beragam problematika yang terjadi selepas Nabi wafat, ini
disebabkan karena cakupan kitab suci Al-Quran masih hanya berkisar pada dasar-dasar hukum
saja. Ditambah lagi dengan meluasnya ekspansi umat Islam, ini mengindikasikan bahwa
hadirnya Islam ternyata belum mampu menjawab segala problematika yang ada karena
penyempurnaan baru ada setelah diperoleh hasil ijtihad generasi selanjutnya.22

Pandangan Goldziher di atas sepertinya sangat dipengaruhi oleh pendekatan historis-


sosilogis yang dilakukannya dalam mengkaji Islam, sehingga suatu ritual dan ajaran agama
selalu dilihat hubungan historis, sehingga adanya kemiripan dalam ajaran ritual agama Islam
dengan ritual agama-agama selain Islam yang terekam dalam Al-Quran dianggap sebuah upaya
plagiasi dan absorbsi terhadap ajaran sebelumnya.

Kemudian tentang qira’at yang dipermasalahkan oleh Goldziher, menurutnya, perbedaan


ragam bacaan dalam melafalkan al-Quran (qiraa’at) disebabkan oleh tidak adanya tanda titik
dalam al-Quran, sehingga setiap pembaca memiliki otoritas untuk menentukan bacaan sesuai
keinginannya.

Dalam memperkuat anggapannya tersebut, Goldziher menyuguhkan beberapa contoh


potensial yang ia bagi ke dalam dua kelompok:23

1. Perbedaan bacaan karena tidak ada tanda titik. Menurut Goldziher, lahirnya sebagian
besar perbedaan versi bacaan tersebut dikembalikan pada karekteristik tulisan arab itu
sendiri yang bentuk huruf tertulisnya dapat menghadirkan vokal pembacaan yang
berbeda, tergantung pada perbedaan tanda titik yang diletakkan diatas bentuk huruf atau
dibawahnya serta berapa jumlah titik tersebut. Misalnya:

‫ وهوالذى يرسل الرياح نشرا‬dapat di baca ‫وهوالذى يرسل الرياح بشرا‬

22 Ibid., 13.

23 Ibid., 5- 9.
‫ وما كنتم تستكثرون‬dapat dibaca ‫وما كنتم تستكبرون‬

2. Perbedaan karena tidak adanya tanda baca berupa harakat atau syakal memicu perbedaan
posisi i’rab(kedudukan kata) dalam sebuah kalimat yang menyebabkan lahirnya
perbedaan makna. Dengan demikian, Goldziher sampai pada suatu asumsi bahwa
perbedaan karena tidak adanya titik (tanda huruf) dan perbedaan harakat yang dihasilkan,
disatukan dan dibentuk dari huruf yang diam (tidak dibaca) merupakan faktor utama
lahirnya perbedaan bacaan dalam teks yang tidak memiliki titik sama sekali atau yang
titiknya kurang jelas.

Pendapat Goldziher di atas, mendapat bantahan dari para sarjana muslim, diantaranya
adalah Muhammad Mustafa Al-A’zami, seorang pakar Al-Quran dan hadis kelahiran India.
Menurut Al-Azami, pendapat Goldziher yang menyatakan bahwa lahirnya varian bacaan
disebabkan oleh ketiadaan titik dan diakritikal adalah tidak tepat, karena beragam qiraat dalam
Al-Quran bukan disebabkan oleh teks yang nirtanda, akan tetapi sudah ditentukan melalui
periwayatan yang masyhur yang dituturkan sendiri oleh Nabi serta disampaikan kepada para
sahabat. Lebih jauh A’zami juga menyatakan bahwa Goldziher telah melupakan tradisi
pengajaran secara lisan atau oral yang yang menjadi tradisi penuturan Al-Quran. Dalam konteks
ini, adanya mushaf Usmani merupakan alat bantu untuk menyeleksi masuknya qira’at-qiraat
yang ghairu masyhurah atau syadz. Jadi Mushaf Usmani sendiri bukan sebuah bentuk hegemoni
atau uapaya usman untuk membakukan Al-quran dalam satu versi bacaan, sebagaimana
dituduhkan oleh Goldziher.24

C. Sikap dan Tanggapan Terhadap pemikiran Ignaz Goldziher

Ada dua point yang perlu di garisbawahi dalam menyikapi pandangan Goldziher tentang
Islam, yaitu pertama, ia akan selalu membangkang dan membantah meskipun ia tahu terhadap
suatu kebenaran tentang Islam. Kedua, ketika ia menemukan kebenaran, ia akan memutar
balikkan fakta itu sehingga tampak akan salah. Sedangkan ketika ia menemukan kesalahan, ia
akan mengemasnya sedemikian rupa agar tampak benar.

24 M.M. Al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj. Oleh Anis Malik Toha dkk (Jakarta: Gema
Insani, 2005) 179.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa Goldziher termasuk Sarjana Barat dari kaum
skeptis. Studi yang dilakukannya berawal dari keragu’raguan, berjalan dengan keraguan dan
akan berakhir dengan keragu-raguan pula.25

Untuk menyikapi pemikiran-pemikiran orientalis, mungkin kita bisa mengingat kembali


perkataan Ibnu Sirrin (w.110 H), “Ilmu ini (mengenai agama) menjelma dan menjadi bagian dari
keimanan. Maka dari itu, berhati-hatilah dari siapa anda belajar sebuah ilmu.”26 Ini berarti
hendaknya dalam mengkaji ilmu-ilmu agama, kita tetap merujuk pada tulisan kaum Muslimin
yang komitmen terhadap ajaran agamanya yang layak diperhatikan.

25 Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, 25.

26 M.M. Al-A’zami, Sejarah Teks al-Qur’an Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj. Oleh Anis Malik Toha dkk, 124.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ignaz Goldziher merupakan orientalis asal Hungaria. Dalam mengkaji ketimuran, ia lebih
condong krpada Islam. Adapun yang dikritisinya adalah sumber ajaran pokok yang digunakan
dalam Islam, yaitu al-Qur’an dan hadis.

Adapun pendekatan yang dipakai Goldziher dalam mengkaji Islam adalah comparative
religion dalam mengkaji kitab suci, dan historical otenticity dalam mengkaji hadis. Ia mengkaji
Islam tidak untuk memberikan khazanah keilmuan tentang Islam, melainkan untuk mencemarkan
akidah Islam dan meragukan al-Qur’an.

Islam menurut Goldziher adalah agama yang paling memuaskan akal, dan tidak bertolak
belakang dengan kemajuan ilmu, karena jika bertolak belakang, maka berarti Islam itu
bertentangan dengan semangat pembawanya. Kemudian dalam memandang al-Qur’an,
Goldlziher mengatakan, “Tidak ada kitab perundang-undangan (tasyri’) yang diakui oleh
kelompok keagamaan bahwa ia adalah teks yang diturunkan atau diwahyukan, di mana pada
masa awal peredarannya, teks tersebut datang dalam bentuk kacau dan tidak pasti sebagaimana
yang kita temukan dalam al-Qur’an. Menurut Goldziher, terkait dengan al-Qur’an banyak
perbedaan dalam hal qira’at dan tidak konsisten dalam hal tafsirnya dan ingin mengubah susunan
ayat dan surat dalam al-Qur’an secara kronologis, mengoreksi bahasa al-Qur’an ataupun
mengubah redaksi sebagian ayat-ayatnya. Perbedaan qira’at tersebut menurutnya dipengaruhi
oleh perbedaan bacaan karena tidak ada tanda titik dan perbedaan karena tidak adanya tanda baca
berupa harakat atau syakal.

Pendapat lebih lanjut tentang al-Qur’an, menurut Goldziher, al-Qur’an merupakan kitab
suci yang berupaya menyerap ajaran-ajaran agama samawi sebelumnya. Jadi banyak sekali
dalam al-Qur’an hukum yang mirip dengan tradisi-tradisi Yahudi-Nasrani dan Jahiliyah.

Untuk menyikapi pendapat Goldziher tersebut, sebaiknya kita tidak perlu mempercayai
argumentasi-argumentasinya yang dilontarkan tentang Islam. Akan lebih baik kalau kita tetap
merujuk pada tulisan kaum Muslimin yang komitmen terhadap ajaran agamanya yang layak
diperhatikan.
Daftar Pustaka

1. A’zami (al), M.Mustafa, Sejarah Teks al-Qur’an Dari Wahyu Sampai Kompilasi, terj.
Oleh Anis Malik Toha dkk, Jakarta: Gema Insani, 2005.
2. Amal, Taufik Adnan, Rekosnstruksi Sejarah Al-Quran, Yogyakarta: FkBA, 2001.
3. Arif, Syamsudin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta : Gema Insani Press,
2008.
4. Badawi, Abdurrahman, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, terj. Amroni Drajat Yogyakarta:
LKiS, 2003.
5. Goldziher, Ignaz, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Sterm. London: t.np, 1971.
6. Hulayin, Mustofa, “Ignaz Goldziher dan Tipologi Tafsir al-Qur’an”, dalam Kajian
Orientalis Terhadap al-Qur’an dan Hadis, Ed. M. Anwar Syarifuddin, 2011-2012.
7. Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, terj. Oleh Hesri Setiawan,
Jakarta: INIS, 1991.
8. Ignaz Goldziher, Madzab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah,
dkk, Jogjakarta : eISAQ Press, 2010.
9. Qadli (al), Syekh Abdul Fattah Abdul Ghani, al-Qirā’at Fī Nadhār al-Mustasyriqīn wa al-
Mulhidīn, terj. Sayid Agil Husain Munawar dan Abdul Rahman Umar, Semarang : PT.
Karya Toha Putra, t.th.
10. https://id.wikipedia.org/wiki/Hongaria. (diakses pada Tanggal 20 mei 2018 ).
11. Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta : Gema Insani, 2008.
12. http://rujukanisla.blogspot.com/2014/11/pandangan-orientalis-terhadap-al-quran.html

Anda mungkin juga menyukai