Anda di halaman 1dari 5

TAFSIR SUNNI DALAM DUNIA ISLAM MODERN DALAM TRADISI AKADEMIK,

POPULARISASI DAN KEPENTINGAN NASIONAL

Moch. Bashori Alwi


92200818005

JOHANA PINK

A. RANGKUMAN ARTIKEL
Johanna Pink memberikan gambaran tafsir di dunia Islam kontemporer (yaitu
pasca 1967) yang berfokus pada perkembangan di Mesir, Suriah, Turki dan Indonesia.
Tujuan penelitiannya adalah membuat komentar dalam konteks biografis, temporal,
dan lokalnya dan untuk menarik perhatian pembaca baik pada perubahan maupun
pada tradisi yang bertahan lama di kancah intelektual Muslim kontemporer.
Johana pink memberikan informatif untuk penelitian saat ini di bidang studi
tafsir, menempatkan tafsir kontemporer dalam konteks dengan memberikan survei
singkat tentang pengembangan penafsiran klasik dan modern. dia membedakan antara
tiga jenis penulis: pertama, cendekiawan yang dididik dalam tradisi Islam dalam
pembelajaran Islam, yang bagi mereka Alquran adalah bagian dari ritual kehidupan
akademik dan yang dibaca oleh orang-orang berpendidikan Islam. (Ṭanṭāwī, Wahba
al-Zuhaylī, Süleyman Ates¸), kedua, karya kolektif yang ditugaskan oleh lembaga-
lembaga seperti Universitas al-Azhar atau Administrasi Urusan Agama Turki dan
Indonesia sebagian besar untuk pembaca umum yang berpendidikan, dan karya ketiga
oleh peembicara dengan daya tarik yang lebih populer (Hamka Indonesia dan
Shaʿrāwī Mesir); dan akhirnya bentuk hibrida dari yang disebutkan di atas
(Muḥammad Abū Zahra Mesir dan tokoh Islam Suriah terkemuka Saʿīd dawwā).
Dalam penelitian bab selanjutnya terdapat sinopsis komprehensif dari apa yang
dikatakan teks-teks yang sedang dibahas mengenai kelompok-kelompok ayat-ayat
Alquran yang mendefinisikan apa yang membentuk kepercayaan, sebuah topik yang
memiliki relevansi hukum dan teologis. Dalam lebih dari 170 halaman pembahasan
pada penelitian pink, pembaca belajar banyak tentang berbagai pemikiran normatif
Muslim saat ini tentang topik-topik seperti peran gender, perbudakan, hubungan Islam
dengan kelompok agama lain, jihad, dll.
Penelitan dalam Bab terakhir dari temuan tersebut: dalam analisisnya, semua
penulis (dengan kemungkinan pengecualian Suleyman Ates) berubah menjadi
pandangan yang kurang lebih konservatif tentang peran gender, jihad, dan hubungan

1
Islam dengan yang lain. agama pada umumnya. Para penulis Arab bahkan lebih
konservatif daripada saudara-saudara mereka di Turki dan Indonesia. Penulis Turki
dan Indonesia menganggap penulis Arab, di sisi lain, jarang menyibukkan diri dengan
temuan rekan-rekan non-Arab mereka. Dengan demikian, para penulis non-Arab
menunjukkan Pendapat komparatif terhadap pengetahuan Kristen dan Yahudi yang
membedakan mereka dari kolega-kolega mereka di Arab, meskipun tidak satu pun
dari mereka yang menunjukkan keterkaitan dengan metode kritik biblika Eropa.
Seperti yang ditunjukkan Pink, pertanyaan penting tentang apa peran ḥadīth
dalam penafsiran Al-Qur'an seharusnya tidak diselesaikan, dan sebagian besar penulis
cenderung menggunakan metode ad hoc, dalam penggunaan bahan ini Pink
mengamati bahwa penerimaan polivalensi dan ambiguitas dalam penafsiran telah
kehilangan dasar dalam penafsiran Muslim tentang Alquran, tetapi menurutnya,
fenomena ini tidak lazim seperti yang mungkin dipikirkan orang. Sementara para
sarjana individu kadang-kadang masih bersedia untuk mengizinkan keterbukaan
interpretatif tradisional. Sebagian besar karya-karya kolektif yang dihasilkan oleh
lembaga-lembaga yang mencoba untuk memaksakan satu bacaan tunggal pada Teks
Suci.
B. CATATAN
1. Secara global, ada beberapa periodisasi penafsiran al-Qur`an yang dikemukakan
oleh para ahli tafsir al-Qur`an. Masing-masing para ahli mempunyai bidikan yang
berbeda dalam pembagian periodisasi penafsiran al- Qur`an. Ada yang membagi
periodisasi penafsiran berdasarkan kronologi waktu, kodifikasi, corak, dan model
penafsiran.
Syekh Ahmad Musthafa al-Maraghi1 membagai fase periode penafsiran al-Qur’an
menjadi tujuh tahapan: (1) tafsir masa sahabat, (2) tafsir masa tabi‘in, (3) tafsir
masa penghimpunan pendapat para sahabat dan tabi‘in, (4) tafsir generasi Ibn Jarir
al-Thabari, dan kawan-kawannya yang mulai melakukan penulisan penafsirannya,
(5) tafsir generasi mufassir yang sumber penafsirannya mengabaikan penyebutan
rangkaian periwayatan (sanad), (6) tafsir masa kemajuan peradaban dan
kebudayaan Islam, dan (7) tafsir masa penulisan, transliterasi, dan penerjemahan
al-Qur’an ke dalam berbagai bahasa asing.2

1
Muhammad `Ali Iyazi, al-Mufassirun, Hayatuhum wa Manhajuhum, t.tp. : Muassasah al- Thiba`ah wa al-
Nasyr Wizarah al-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islami, Cet. Ke-1, 1414 H, h. 357-358
2
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Beirut : Dar al-Fikr, Cet. Ke-1, Juz 1, 1421 H / 2001 M, h. 5-
10.

2
Selanjutnya, M. Quraish Shihab membagi periode tafsir menjadi dua. Periode
pertama adalah masa Nabi, sahabat, dan tabi’in. Periode ini berakhir sampai
berakhirnya masa tabiin, yaitu sekitar tahun 150 H. Periode pertama ini terkenal
dengan corak tafsir bi al-Ma`tsur. Periode kedua adalah dari tahun 150 H sampai
sekarang (abad keempat belas hijriyah). Periode kedua ini adalah periode
perkembangan tafsir bi al-Ra’yu dengan enam corak penafsiran, yaitu corak sastra
bahasa, corak filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiyah, corak fikih atau
hukum, corak tasawuf, dan corak sastra budaya kemasyarakatan.3
Paradigma penafsiran klasik dan kontemporer, masing-masing mempunyai titik
tekan yang berbeda. Paradigma penafsiran klasik dibangun atas dasar penafsiran
yang bersifat retrospektif, tekstual, dan al-‘ibrah bi umum allafzh la bi khusus al-
sabab. Sedangkan paradigma penafsiran kontemporer dibangun atas dasar
penafsiran yang bersifat prospektif, kontekstual, dan “al-ibrah bi maqashid
shari`ah”, antara keduanya tidak luput dari keunggulan dan kelemahan
2. Pandangan Syahrur dalam sebuah teori keilmuan dikatakan bahwasanya seorang
mufassir didalam menafsirkan sebuah teks tidak akan pernah terlepas dari sejarah
hidupnya, latar belakang intelektualnya, keilmuan yang dimilikinya, pemikiran
guru-gurunya serta keadaan masyarakat ketika ia hidup. Begitu juga dengan
Syahrur didalam menafsirkan Al-Qur’an dengan melihat keadaan sosial
masyarakatnya serta keilmuan bahasa yang dikuasainya serta pemikiran dari
orang-orang yang pernah bergaul dengannya.
Menurut beliau, masalah-masalah yang selalu muncul dalam pemikiran Islam
kontemporer antara lain :
1. Tidak adanya metode penelitian ilmiah yang objektif yang terkait dengan
kajian al Kitab (ayat-ayat Al Qur’an) yang diturunkan kepada Muhammad.
2. Kajian-kajian Islam masa kini seringkali bersandar pada perspektif ulama-
ulama terdahulu yang dianggap sudah mapan, lebih bersifat subjektif
sehingga hasil kajian Islam yang sekarang hanya digunakan untuk
memperkuat asumsi-asumsi yang sudah ada.
3. Umat Islam saat ini tidak memanfaatkan keilmuan filsafat humaniora karena
masih menganggap ilmu yang berasal dari Yunani itu adalah keliru dan sesat.

3
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
Bandung : Mizan, 2003, Cet. Ke-26, h. 71-73

3
4. Tidak adanya epistimologi Islam yang valid. Akibatnya umat Islam pada
masa sekarang hanya berpaku pada doktrin-doktrin pemikiran ulama mazhab.
5. Produk-produk fiqih yang ada pada masa sekarang sudah tidak relevan
dengan tuntutan modernitas. Sehingga diperlukannya formulasi hukum fiqih
yang baru.4
Beliau melihat bahwasanya umat Islam Kontemporer terbagi pada dua
kelompok :
Kelompok pertama adalah mereka yang berpegang penuh pada arti literal
dari konteks al Qur’an diturunkan. Mereka berpendapat bahwa apa yang sudah
ditetapkan pada generasi awal (masa nabi Muhammad) juga berlaku pada
generasi selanjutnya, sehingga umat Islam tidak mencoba untuk mengembangkan
pemikirannya untuk mendapatkan jawaban atas persoalan kekinian yang berbeda
dengan masalah yang ada pada masa Nabi. Hal ini berakibat pada berubahnya
makna unversalitas Al Qur’an yang Shahih li kulli zaman menjadi sebuah pesan
yang sempit, lokalistik dan hanya diperuntukkan bagi orang-orang muslim di
sekitar mereka saja.
Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang cenderung mengajak
kepada sekularisme dan modernitas. Kelompok ini menolak adanya al Turats
termasuk Al Qur’an sebagai bagian yang diwariskan oleh generasi awal dan ritual
adalah sebuah gambaran ketidakjelasan. Aliran ini sangat terpaku pada pendapat
agamawan dan institusi agama, mengabaikan doktrin-doktrin (tafsir) generasi
awal agar mereka terlepas dair historisitasnya dan mampu menyelesaikan
problem dengan usaha mereka sendiri.5
3. Hamka
Johana pink dalam penelitiannya bahwa hamka adalah salah satu pengkhotbah
atau bisa juga di sebuat sebagai singa podium dan termasuk seornag nasionalis itu
sangat tepat sekali. Mengingat sifat-sifat yang melekat pada sosok besar Hamka.
Hamka terkenal sebagai sosok yang sukses dalam lisan dan tulisan. Beliau juga
orang yang supel bergaul di masyarakat. Penanya setajam pedangnya. Namun
lisan beliau, dalam konotasi positif, lebih tajam lagi. Beliau sering disebut Singa
Podium. Penulusuran terhadap karakter beliau yang terdapat dalam tulisan yang

4
. yhardeos.blogspot.com/2007/06/muhammad-syahrur.html
5
. Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme linguistic dalam Tafsir Al Qur’an ala M. Syahrur,
(Yogyakarta: Elsaq Press, 2007), hal. 137-139.

4
membahas biografi beliau ini bisa dijadikan acuan untuk mengetahui corak dan
karakter tafsir yang beliau tulis dan menjadi objek pokok dalam penelitian ini.
Salah satu karakter khusus dari Hamka, menurut Azra, adalah komitmennya yang
kuat untuk memegang pendirian. Apabila ada masalah agama atau negara yang
bertentangan dengan persfektif Hamka berdasarkan norma agama maka ia akan
menjadi oposisi. Ia jadikan posisi ini juga kekuatan untuk membangun agama dan
negara dari arah luar. Sebagai contoh sikap Hamka yang mengundurkan diri
karena tidak sepaham dengan pemerintah Soeharto. 6 Sikap ini selanjutnya ternyata
diikuti juga oleh KH. Ali Yafie, yang mengatakan mundur sebagai ketua MUI
karena melihat kebijakan-kebijakan Gus Dur yang tidak akseptabel.7
4. Tambahan
Tafsir kontemporer yang merupakan kelanjutan dari tafsir modern mempunyai
akar sejarah yang cukup panjang. Sejarah tafsir modern bermula dari kemunculan
modernisasi Islam. Modernisasi Islam pun ternyata tidak ada begitu saja. Ia juga
dipicu oleh modernisasi dan renaissance yang muncul di Barat.
Modernisasi tafsir muncul karena masalah ketidakpuasan para mufassir modern
terhadap karya-karya mufassir sebelumnya. Para mufassir modern ini berpendapat
bahwa karya-karya mufassir sebelumnya tidak menyentuh permasalahan-
permasalahan umat. Jadi, inti modernisasi tafsir itu kritik terhadap tafsir-tafsir
klasik.

6
. Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed), Mentri-Mentri Agama RI: Biografi Sosial Politik, (Jakarta:
IndonesiaNetherland Cooperation in Islamic Studies (INIS), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM),
Badan Litbang Agama Depag RI, 1998), h. 181.
7
. Azyumardi Azra, Islam Substanstif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, (Mizan: Bandung, 2000), h.385.

Anda mungkin juga menyukai