Anda di halaman 1dari 9

PARADIGMA HISTORIS-KRONOLOGIS DALAM MENGINTERPRETASI AL-

QUR’AN MELALUI TEORI PENAFSIRAN ABEED AL-JABIRI

Wahyuni (20120128)

Mohamad Rizki Ramadhan(20120071)

Institut Daarul Qur’an Jakarta, Indonesia

Abstrak

Secara umum, sebagian besar tafsir Al-Qur’an (Kitab-kitab Tafsir, red) memiliki sistematika urutan
Mushaf Al-Qur’an, dimulai dari surat al-Fâtihah dan diakhiri dengan surat al-Nâs. Berbeda dengan itu,
Muhammad Abid al-Jabiri, umumnya dikenal sebagai al-Jabiri, pemikir Islam kontemporer dari
Marroco, menulis tafsir Al-Qur’an berdasarkan urutan kronologis Surat, Fahm al-Qur’an al-Hakim.
Dimulai dari Surah al-Alaq: 1-5 dan diakhiri dengan Surah al-Nashr. Al-Jabiri menawarkan metodologi
baru untuk memahami teks Alquran yang disebutnya sebagai al-fashl untuk menjawabnya masalah
objektivitas dan al-washl untuk menjawab masalah rasionalitas. Ia mendasarkan penafsirannya pada
Qira’ah Muashirah (bacaan kontemporer) sehingga teks al-Qur’an akan kontemporer untuk dirinya
sendiri dan kontemporer untuk pembacanya dikonteks kontemporer. Artikel ini menjelaskan secara
singkat tentang karya al-Jabiri, Fahm al-Qur’ân al-Hakim, pemikirannya dalam masalah Al-Qur'an dan
metodologi interpretasi yang ditawarkannya.

Kata kunci : Tafsir, kronologis, al-fashl, al-washl

Abstract

In general, most of Qur’anic interpretations (Kitab-kitab Tafsir, red-) have a systematic of Qur’anic
order in Mushaf, started from Surah al-Fâtihah and ended at Surah al-Nas. Unlike those, Muhammad
Abid al-Jabiri, is commonly known as al-Jabiri, contemporary Islamic thinker from Marroco, wrote a
Qur’anic interpretation based on chronological order of Surahs, Fahm al-Qur’ân al-Hakim. It is started
from Surah al-Alaq: 1-5 and ended at Surah al-Nashr. Al-Jabiri offered new methodology to understand
Qur’anic text which he called as al-fashl to answer problems of objectivity and al-washl to answer
problems of rasionality. He based his interpretation on Qira’ah Muashirah (contemporary reading) so
Qur’anic text will be contemporary for itself and contemporary for its readers in contemporary context.
This article describes briefly about al-Jabiri’s works, Fahm al-Qur’an al-Hakim, his thoughts in
Qur’anic issues and his offered interpretation methodology.

Keywords : Tafsir, kronologis, al-fashl, al-washl

1
PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah sebuah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara
malaikat jibril, sebagaimana banyak didefinisikan oleh beberapa ulama’. Berkaitan dengan al-Qur’an,
memang diakui kebenarannya bahwa banyak daripada ayat-ayat al-Qur’an yang , masih membutuhkan
adanya sebuah penjelasan, sebut saja dengan istilah tafsir. Dalam pengertian masyhurnya, tafsir
merupakan penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur’an, mengungkap makna-makna yang dikandung
dalam ayat-ayat al-Qur’an, bersumber pada al-Qur’an itu sendiri, al-Hadis, dan juga sumber-sumber
terpercaya lain, dan tentunya tidak terlepas daripada ijtihad para mufassir juga.

Sebagaimana masuk dalam sumber tafsir, yaitu ijtihad para mufassir, maka sudah barang tentu
hasil tafsir yang muncul dari beberapa tokoh tafsir yang berbeda juga berbeda. Hal ini dikarenakan
perbedaan metode yang digunakan, dimungkinkan juga karena hal-hal lain, baik internal alQur’an itu
sendiri, ataupun dari sisi eksternal. Dalam makalah ini akan mengkaji salah satu tokoh tafsir pada masa
kontemporer, agar nantinya diketahui metode yang digunakan, sehingga mengetahui bagaimana latar
belakangnya sampai dia bisa menulis tafsir sebagaimana sudah ada, yaitu Fahm al-Qur’an yang ditulis
oleh Muhammad ‘Abid al-Jabiri (Aulanni’am, 2021).

Dalam tulisan ini akan diungkap perihal sebuah tujuan utama bagaimanakah Abid Al-Jabiri
memberikan sebuah pemahaman atau tafsir terhadap Al-Qur’an, dan hal apa yang melatar belakangi
model yang dilakukan olehnya. Tentunya sebelum sampai pada permasalahan inti, akan diantarkan dulu
dengan beberapa informasi terkait dengan tokoh yang akan dibahas. Diharapkan dari penyusunan jurnal
ini nantinya akan diketahui bagaimanakah metode yang digunakan Muhammad Abid al-Jabiri dalam
menafsirkan al-Qur’an, dan juga beberapa contoh penafsirannya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan model library research
dalam pengumpulan datanya. Data primer dalam penelitian ini adalah karya-karya kontemporer Abid
AlJabiri dalam kajian tafsir Al-Qur’an. Kemudian data sekunder dalam penelitian ini adalah tulisan-
tulisan atau karya-karya penelitian lain yang dapat mendukung penelitian ini, karya tersebut berupa
buku, jurnal, artikel dan sebagainya.

Setelah data-data terkumpul baik primer maupun sekunder, data dianalisis dan dipaparkan
dalam sebuah gambaran sistematis, praktek tersebut biasa disebut dengan model penelitian deskriptif-
analitik. Pelaksanaan konkret dari model tersebut adalah setelah penulis memaparkan data, akan
dilakukan analisis terhadap data tersebut, baik itu secara langsung setelah pemaparan, atau bisa dalam
pemaparan yang lain.

PEMBAHASAN

1. Biografi Muhammad Abid Al Jabiri

Dalam memahami pemikiran seseorang, kita tidak bisa mengabaikan perspektif sosial historis-
politis ruang lingkup yang memengaruhinya. Ada berbagai faktor yang turut terlibat dalam menemukan
karakteristik pemikiran seseorang. Sebab pemikiran adalah sebuah anak zaman yang menyertai
pengalaman seseorang. Masing-masing orang bergumul antar relasi dengan dunianya, untuk
membentuk nasibnya dan sekaligus dibentuk olehnya. Inilah sebabnya, dalam memahami pemikir
besar, Muhammad Abid al Jabiri, juga tidak dapat melepaskan berbagai faktor yang memengaruhi
terbentuknya karakteristik dasar pemikirannya (Fawaid, 2015).

2
Muhammad Abid al-Jabiri (yang kemudian disebut al-Jabiri) dilahirkan di Figuig, sebelah
Selatan Maroko pada 27 Desember 1936. Al-Jabiri tumbuh dalam lingkungan keluarga pendukung
kemerdekaan Maroko dari kolonialisme Perancis dan Spanyol. Jenjang pendidikannya dimulai dari
pendidikan ibtidaiyah di Madrasah Hurrah Wathaniyyah, sekolah agama swasta yang didirikan gerakan
kemerdekaan ketika itu pada 1949. Pendidikan menengahnya dia tempuh dari 1951-1953 di Casablanca
dan memperoleh Diploma Arabic High School setelah Maroko merdeka.

Setelah selesai studi di Casablanca, al-Jabiri khsususnya dan Maroko umumnya mengalami
masa transisi antara tahun 1953-1955. Jarak antara tahun tersebut, Maroko sedang gencar-gencarnya
berjuang mewujudkan kemerdekaan. Kondisi ini memaksa al-Jabiri untuk terlibat dalam gerakan politik
untuk melawan penjajahan Perancis yang ingin mempertahankan kekuasaan kolonialnya di Maroko.
Bagi al-Jabiri juga, jarak waktu ini tersebut adalah fase transisi dari masa remaja menuju masa dewasa.
Hal yang merupakan kebetulan jika fase transisi secara sosial dan politik di Maroko juga ikut
membentuk dan mewarnai masa transisi dalam kehidupan pribadi al-Jabiri (Nadhiroh dkk., 2016).

Sejak dari awal al-Jabiri telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya dimulai pada
tahun 1958 di Universitas Damaskus, Syiria. Al-Jabiri tidak lama bertahan di universitas ini. Setahun
kemudian dia berpindah ke Universitas Rabat yang baru saja didirikan di negara asalnya. Dia
menyelesaikan program masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falsafah at-Tarikh ‘inda Ibn Khaldun
(Filsafat Sejarah Ibn Khaldun), di bawah bimbingan M. Aziz Lahbabi (w. 1992), seorang pemikir Arab
Maghrib yang banyak terpengaruh oleh Bergson dan Sartr. Dia meraih gelar Doktor Falsafah pada tahun
1970 di bawah bimbingan Najib Baladi. Disertasi Doktoralnya juga berkisar seputar pemikiran Ibn
Khaldun, "Fanatisme dan Negara: Elemen-Elemen Teoretik Ibn Khaldun dalam Sejarah Islam" (al-
‘Ashabiyyah wa ad-Dawlah: Ma’âlim Nazhariyyah Khaldûniyyah fi Tarikh al-Islami). Disertasi
tersebut dibukukan tahun 1971 (Nadhiroh dkk., 2016).

Pada masa muda Al-Jabiri, bangsa arab sedang dalam kondisi pergulatan intelektual yang kuat,
dan juga sedang dalam goncangan permasalahan yang dimunculkan oleh kaum modernitas. Problem ini
menjadikan para pemikir Arab bertindak elektis, yaitu mencoba menggabungkan dua hal positif dari
keduanya. Dan Al-Jabiri termasuk dalam golongan elektis ini. Karena hal inilah beliau tidak disebut
dengan pemikir revolusioner, akan tetapi disebut dengan pemikir reformistik (Aulanni’am, 2021)

KARYA-KARYA ABID AL JABIRI

Diantara karyanya yang mampu dibukukan secara komprehensif, antara lain :

1. Fikru Ibni Khaldun,al-Ashabiyyah wa-d-Daulah merupakan hasil dari disertasi doktoralnya di


Universitas Muhammad al-Khamis di Rabat Maroko pada tahun 1970, buku tersebut membahas
tentang pemikiran Ibnu Khaldun.
2. AdlwA ala MUsykilI Ta’lim merupakan buku yang membahas tentang persoalan-persoalan
pendidikan dan tradisi pengajaran di Maroko, muku ini terbit pada tahun 1973.
3. Madkhal ila Falsafatil Ulum (Pengantar Filsafat Ilmu) merupakan tentang epitemologi ilmu
pengetahuan seperti yang dikenal dalam pemikiran barat, beberapa tulisan pilihan dari sejumlah
pemikir epitimelogi modern, mulai dari Bacon hingga Bachelard dan Foucault, juga
memberikan analisis histori atas berbagai aliran dalam epitemologi Barat modern.
4. Min Ajli Ru’yah Taqaddumiyyah li-ba’dli Musykilatina al-Fikriyyah wa at-Tarbawiyyah
(menuju Pandangan yang lebih progresif dalam mengatasi persoalan-persoalan pemikiran dan
pendidikan) buku ini merupakan salah satu karyanya yang membahas tentang persoalan-
persoalan pemikiran yang berkaitan dengan negerinya.

3
5. Nahnu wa Thurats: Qira’ah Mu’ashirah fi Turatsina al- Falsafih (Kita dan Tradisi Pembacaan
Kontemporer atas Tradisi filsafat Kita), buku ini dianggap kontroversial oleh kalangan
intelektual arab pada saat itu.
6. Naqdu al- Aqli atau Takwinul al-Aqli al-Arabi (Formasi nalar Arab) terbit tahun 1982
merupakan buku pertama tetralogi.
7. Bunyatu al-Aqli al-Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nuzhumi al—Ma’rifah fi ats-
Tsaqafah al-Arabiiyah, jika diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia yaitu Struktur Nalar
Arab. Struktur kritik analitik atas sistem-sistem pemikiran dalam kebudayaan Arab, merupakan
buku kedua yang terbit pada tahun 1986.
8. Al-Aqluu as-Siyasi al-Arabi: Muhaddidah wa Tajalliyatuh yaitu buku yang membahasa tentang
nalar politik arab khususnya tentang faktor-faktor determinan dan manifestasinya. Buku ini
merupakan buku ketiga yang fokus pada nalar realitas konkret bahasa Arab.
9. Al-Aqlu al-Akhlaqi al-Arabi membahas tentang nalar etika orang Arab dari masa pra Islam
hingga ke pemikiran Ibnu miskawaih dan ulama Syafi’iyyah.

Masih banyak karya lainnya, seperti tulisan-tulisan dan artikelnya banyak tersebar di berbagai
tempat dalam jumlah yang besar. Dari beberapa artikelnya tersebut juga ada yang telah dibukukan
antaranya Isykaliyatul al-Fikri al-Arabi al-Mu’ashir (beberapa problematika pemikiran arab
kontemporer) terbit pada tahun 1989. Kemudian termuat dalam buku At-Turats wa al-hadatsah: Dirasah
wa Munaqassah (Tradisi dan Modernitas: Kajian dan perdebatan) diterbitkan pada tahin 1991, dan lain
sebagainya (Khatamunisa dan Imroatun Koniah, 2020).

CORAK DAN AKAR PEMIKIRAN ABID AL JABIRI

Awalnya, al-Jabiri adalah seorang pengagum berat pemikiran Karl Marx. Setidaknya ada dua
alasan yang melatar belakangi hal ini. Pertama, karena pemikiran-pemikiran marxisme sedang tumbuh
subur di tanah Arab. Dan kedua adalah karena afiliasi politik al-Jabiri terhadap politik yang memiliki
semangat radikal. Namun kekaguman ini mulai luntur setelah ia membaca karya Yves la Coste,
berkaitan dengan Ibnu Khaldun. Hal ini terjadi pada awal tahun 60-an, ketika di Perancis, Yves la Coste
menulis tentang Ibnu Khaldun, sebagai reaksi terhadap Marxisme, paling tidak terhadap konsep
materialisme histories Karl Marx.

Mulai dari lunturnya kekaguman beliau terhadap Karl Marx, dan mulai berpindah fokus bacaan
tentang Ibnu Khaldun, ia mulai membanding-bandingkan efektifitas pendekatan terhadap kajian sejarah
keislaman melalui perspektif marxian dengan khaldunian. Yang kemudian diteruskan dengan menulis
Al- Ashabiyyah Wa al-Daulah Haula Fikr Ibnu Khaldun.

Sebagaimana telah disinggung dimuka, corak pemikiran al-Jabiri adalah elektis, yang berusaha
menggabungkan antara otoritas tradisi yang bersumber dari Islam dengan modernitas. Pemikiran
semacam ini bertumbuh kembang dalam dinamika pemikiran arab sebagai reaksi dari dua ekstrimitas
pemikiran yang terjadi saat itu (Aulanni’am, 2021)

REDEFINISI AL QUR’AN

Untuk memahami dan menafsirkan al-Qur’an, al-Jabiri sangat menekankan akan pemahaman
teks melalui aspek bahasanya, yaitu bahasa Arab. Menurutnya, hal ini telah ditegaskan sendiri oleh al-
Qur’an dalam sembilan tempat bahwa alat komunikasi yang dipakainya adalah bahasa Arab. Oleh sebab
itu, ketika banyak orang memberikan definisi yang berbeda-beda tentang al-Qur’an secara etimologis
dan terminologis, maka al-Jabiri memberikan definisinya sendiri yang didasarkan akan prinsip
pemahaman kebahasaan di atas.

4
Secara etimologis, menurut al-Jabiri, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab bahasa, al-
Qur’an berasal dari ‫ قرءانا‬- ‫ قراءة‬-‫ يقرأ‬-‫ قرأ‬. Hal ini menurut al-Jabiri yang dianggap sesuai dengan ayat
yang pertama kali turun ‫ إقرأ باسم ربك‬dengan Nabi Muhammad sebagai mukhatabnya dan kemudian
dijawab dengan ‫ ماذا أقرأ ؟‬Pendapat ini juga disandarkan pada QS. Al-Qiyamah (75): 16-19.

‫) ث ُ َّم إِّ َّن ا‬18( ُ‫) فاإِّذاا قا ارأْنااهُ فااتَّ ِّب ْع قُ ْرآ انه‬17( ُ‫علا ْيناا اج ْمعاهُ اوقُ ْرآ انه‬
ُ‫علا ْيناا اب ايا انه‬ ‫اَل ت ُ اح ِّركْ ِّب ِّه ِّل ا‬
‫) إِّ َّن ا‬16( ‫ساناكا ِّلتا ْع اج ال ِّب ِّه‬
I’tibar yang dapat diperoleh dari ayat tersebut adalah bahwa kata “al-Qura’n” merupakan
padanan dari kata “al-Qira’ah” dan “al-Tilawah”.

Adapun secara terminologis, menurut al-Jabiri, al-Qur’an telah mendefinisikan dirinya sendiri

sebagaimana tertuang dalam QS. As-Syu’ara (26): 192-196.

ُ‫)وإِّ َّنه‬
‫ ا‬1٩٥( ‫ين‬
ٍ ‫ع ار ِّبي ٍ ُم ِّب‬
‫ان ا‬
ٍ ‫س‬‫) ِّب ِّل ا‬1٩٤( ‫علاى قا ْل ِّبكا ِّلتا ُكونا مِّ نا ْال ُم ْنذ ِِّّرينا‬ ُّ ‫) نازا ال ِّب ِّه‬1٩٢( ‫ب ْالعاالامِّ ينا‬
‫) ا‬1٩٣( ‫الرو ُح األمِّ ي ُن‬ ِّ ‫اوإِّ َّنهُ لاتا ْن ِّزي ُل ار‬
)1٩6( ‫األولِّينا‬ َّ ‫لافِّي ُزب ُِّر‬
Jadi yang dimaksud dengan al-Qur’an adalah wahyu dari Allah, yang dibawa Jibril, kepada
Muhammad, dengan menggunakan bahasa Arab, termasuk jenis wahyu yang termaktub dalam kitab
para rasul terdahulu. Dari definisi ini, setidaknya ada tiga hal yang dapat dipahami. Pertama, bahwa
esensi al-Qur’an bukanlah hal yang sama sekali baru melainkan kontinuitas seruan Tuhan kepada
manusia. Kedua, penyampaian wahyu tersebut merupakan peristiwa ruhani ( ‫علاى قا ْل ِّبكا‬
‫) ا‬. Ketiga, al-
Qur’an menjadikan pembawanya orang yang menjelaskan kepada manusia atas apa yang haq dan yang
bathil ) ‫( (مِّ نا ْال ُم ْنذ ِِّّرينا‬Nadhiroh dkk., 2016).

FENOMENA BAHASA ALQUR’AN

Menurut Abid al-Jabiri bahasa merupakan hal penting dalam sebuah pemikiran, bahasa bukan
hanya sebagai alat berpikir, akan tetapi dari bahasa itulah pemikiran terbentuk. Bahasa tidak hanya
membatasi pandangan manusia tentang alam, tetapi juga telah menjadi pembatas dan membentuk garis-
garis lengkap bagi setiap pemahaman manusia. Seperti dikatakannya, Sebuah sistem bahasa (bukan
hanya sistem kosakata, tetapi juga sistem gramatikal dan semantiknya) punya pengaruh yang signifikan
dalam cara pandang penuturnya terhadap dunia, termasuk cara menafsirkan dan menguraikannya, yang
pada akhiranya juga mempengaruhi cara dan model berfikir mereka. Wajar jika al-Qur’an disebut
dengan kitab al-‘arabi al-mubin, dimana bagian-bagiannya mengguna- kan bahasa arab. Karena tidak
mungkin al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad yang merupakan orang arab, diturunkan
dengan bahasa selain bahasa arab. Bukankah al-Qur’an dikodifikasi dan diperkenalkan sistem
gramatikalnya pada masa tadwin, masa mulai diperkenalkan metodologi berfikir Islam pada saat itu.
Ini menunjukkan bahwa bahasa mengalami per-kembangan, perkembangan yang tanpa sadar
memberikan makna baru terhadap al- Qur’an. Sehingga sudah menjadi kewajiban untuk mengetahui
realitas sosial kultural pada saat itu untuk mendapatkan makna hakiki dari teks al-Qur’an itu sendiri
(Aulanni’am, 2021).

METODE DAN CORAK PENAFSIRAN ABID AL JABIRI

Dalam melakukan penafsiran, yang mana beliau cantumkan dalam tafsirnya yang berjudul
“Fahmu al- Qur’an al-Hakim al-Tafsir al-Wadlih Hasbu Tartib al-Nuzul”, al-Jabiri menggunakan pola
penulisan yang disesuaikan dengan urutan turunya suatu ayat atau surat, atau yang lebih dikenal dengan
istilah “Tartib al- Nuzul” (Aulanni’am, 2021)

Kitab tafsir ini dapat digolongkan ke dalam corak historis, sesuai kronologi turunnya al-Qur’an,
sesuai dengan kemauan al-Jabiri untuk menyeimbangkan bacaan al-Qur’an dengan historis kenabian.
Menurut al-Jabiri, al-Qur’an dapat dipahami sepanjang waktu dan bukan hanya pada wilayah tertentu.

5
Dalam hal ini tentu sangat terkait dengan caranya menyelaraskan pembacaan al- Qur’an dengan konteks
kesejarahan (sejarah, tradisi dan kebudayaan bangsa Arab) (Rahman, 2022)

Corak penafsiran dalam tafsir ini juga bersifat kontemporer, qira’ah mu’ashirah dengan tujuan
menjadikan teks al-Qur’an kontemporer untuk dirinya dan kontemporer untuk kita sebagai pembacanya
dalam konteks kekinian. Upaya al-Jabiri untuk melakukan pembacaan yang objektif dan rasional
terhadap teks sebagai langkah menjadikannya bacaan yang kontemporer untuk dirinya (‫)معاصرا لنفسه‬
dalam rentang masa turunnya) dan kontemporer untuk kita ( ‫ ) معاصرا لنا‬dalam kondisi kekinian
pembaca) dikemas dalam dua konsep penafsiran, yaitu al-fashl untuk menjawab persoalan objektivitas
dan al-washl sebagai upaya menjawab persoalan rasionalitas.

1. Al-Fashl

Pengkaji harus menjaga jarak (distanciation) antara dirinya (selaku subjek) dan materi yang
menjadi objek kajian. Tahap ini merupakan langkah menuju objektivitas, yaitu membebaskan diri dari
asumsi-asumsi apriori terhadap tradisi dan keinginan-keinginan masa kini, dengan jalan memisahkan
antara subjek pengkaji dan objek yang dikaji. Metode ini mengandaikan dua prinsip fenomenologis: 1)
epoche, bahasa Yunani yang berarti “saya menahan diri”, 2) eidetic vision, yakni membiarkan fakta
berbicara sendiri. Dengan prinsip ini, peneliti tidak boleh membuat “penilaian” (value-judgement)
apapun terhadap objek kajian. Dalam kerangka pembacaan ini peneliti setidaknya harus membidik
konteks historis objek kajian, yakni dengan menelanjangi aspek sosio-kultural, politik dan fungsi
ideologisnya. Dengan demikian, maka pembacaan menjadi objektif (maudhu’i). Al-Fashl sebagai
langkah mengatasi problem objektivitas dalam pembacaan teks al- Qur’an, dilakukan dengan
menanggalkan segala atribut yang menyertainya, baik itu hasil penafsiran sebelumnya yang ideologis
ataupun segala bentuk pemahaman sejarah tentang al-Qur’an yang ideologis. Hal ini dimaksudkan
bukan untuk menghempaskan al-Qur’an dalam ruang hampa, tetapi mengembalikannya dengan kondisi
dan situasi dimana ia diwahyukan. Diharapkan dengan langkah ini, didapatkan makna otentik al-Qur’an
(Ashâlah an-Nash). Berdasarkan prinsip ini juga kemudian al-Jabiri memfokuskan tafsirnya sesuai
urutan tartîb al-nuzûl (kronologi pewahyuan). Demi mendapatkan pemahaman yang objektif itu, al-
Qur’an haruslah dipahami sesuai realita yang terjadi pada masa diturunkannya ayat-ayat tersebut dan
mempertimbangkan bagaimana pemahaman masyarakat yang berkembang ketika itu (Nadhiroh dkk.,
2016)

2. Al-Washl

Adapun al-washl sebagai upaya mencapai sebuah rasionalitas dilakukan dengan membawa makna
otentik al-Qur’an pada masa kekinian. Metode ini digunakan untuk mereaktualisasi nilai-nilai
kandungan al-Qur’an dalam konteks dan kondisi kekinian kita.

SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam penyusunan tafsirnya ini, al-Jabiri menggunakan tartîb al-nuzul berbasis surah.
Sistematika yang demikian merupakan hasil ijtihad al-Jabiri yang mendasarkannya pada logika sejarah
dan logika struktur teks. Dia berangkat dari asumsi bahwa diksi al-Qur’an memiliki kesesuaian dengan
fase sejarah kenabian. Secara sistematis al-Jabiri menempuh enam langkah dalam menulis tafsirnya.
Pertama, memberi pengantar (istihlâl) terutama pada masing-masing tahapan yang mencakup beberapa
surat yang menurutnya memiliki kesatuan periodik dalam pertimbangan sejarah turunnya al-Qur’an dan
sejarah dakwah. Dalam hal ini al-Jabiri lebih banyak menguraikan fakta-fakta historis yang dihadapi
oleh nabi dan para sahabat dalam perjalanan dakwah.

6
Kedua, pendahuluan (taqdîm) yang umumnya diisi dengan sejumlah pandangan para ulama
terdahulu mengenai surat yang akan dibahas, baik berupa riwayat sabab al-nuzul, perdebatan soal makki
madani, atau tentang urutan suatu surat serta munâsabah dengan surat-surat sebelum dan setelahnya.
Tidak jarang al-Jabiri memberi komentar dan menolak pendapat-pendapat mengenai semua problem itu
dengan mengacu pada sejarah dakwah dan aspek literal al-Qur’an.

Ketiga, teks al-Qur’an (Nash al-ayat). Bagian ini dibedakan berdasarkan satuan tema-tema
umum yang ada dalam surat tersebut. Pembedaan ini mempermudah pembaca untuk menangkap pokok
ajaran yang dijelaskan di dalam ayat serta menghubungkannya dengan sejarah dakwah. Selain itu,
penulisan ayat ini disertai dengan nomor-nomor ayat seperti dalam mushaf disertai penjelasan makna
kata secara bahasa atau dalam kesatuan pemahaman siyaq.

Keempat, catatan kaki (hawamisy) yang berisi penjelasan tentang makna kata yang masih
diperdebatkan dengan memuat riwayat-riwayat yang mendukung makna-makna tertentu, juga kerap
berupa kutipan Taurat atau Injil berkenaan dengan ayat-ayat qashshash. Hal itu dimaksudkan oleh al-
Jabiri untuk menolak kecenderungan tafsir yang menggunakan kisah-kisah israiliyat yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya, selain itu al-Jabiri menekankan bahwa al-Qur’an memiliki
kesamaan misi dengan kitab-kitab terdahulu.

Kelima, komentar (ta’lîq). Pada bagian ini terkadang al-Jabiri melanjutkan perdebatan pada
bagian pendahuluan, misalnya membuktikan bahwa pengurutan surat yang dia pilih benar secara
historis dan sesuai dengan pemahaman literal teks al-Qur’an. Adakalanya pula dia mengulas satu tema
yang dianggapnya penting, misalnya makna al-qalam pada QS. al-Qalam, akankah itu bermakna fisik
seperti pena pada umumnya ataukah bermakna simbolik. Dan pada jilid ketiga (buku keempat) ta’lîq
lebih sering berupa kesimpulan atau ringkasan dari bab-bab dalam surat yang dibahas.

Keenam, lampiran (istithrâd). Langkah ini digunakan hanya pada akhir tiap fase historis dengan
menekankan pokok ajaran Al-Qur’an sesuai dengan pengalaman dakwah nabi menghadapi kafir
Quraisy di Mekkah dan Yahudi-Nasrani di Madinah (Nadhiroh dkk., 2016)

HERMENEUTIKA TAFSIR AL JABIRI

Dalam konteks kajian al Quran ini, al Jabiri terlihat ingin menjaga objektifitas ilmu al Quran
yang telah dibukukan dan dibakukan pada era Dinasti Abbasiyyah. Sebab pada era tersebut, kodifikasi
al Quran, termasuk di dalamnya juga ilmu al Quran dan Tafsir, disusun atas dasar madzhab pemikiran.
Hal ini juga terlihat dari kehati-hatian al Jabiri dalam menangkap setiap pesan yang ada dalam teks al
Quran dengan melihat asbab al nuzul sebelum melangkah pada tataran kebahasaan. Konsep penertiban
tafsir sesuai asbab al nuzul adalah sebuah bukti bahwa al Jabiri tidak ingin terjebak pada hirarki
keilmuan produk penguasa

Dengan demikian, al Jabiri menawarkan pendekatan baru yang telah banyak dikesampingkan
oleh para mufassir terdahulu. Selain itu, dimensi rasionalitas dalam pembacaan teks menurutnya sangat
perlu untuk diperhartikan supaya al Quran mampu berdialektika dengan audiens tanpa tersekat oleh
ruang dan waktu. Oleh sebab itu, sebagai metode memahami al Quran, sebagaimana yang ia tawarkan
dalam dalam pembacaannya terahadap turats, al Jabiri menawarkan teorinya” (menjadikan al Quran
relevan untuk konteksnya pada masa lalu dan juga pada konteks kontemporer).

Dengan pendekatan tersebut, diharapkan dapat mengikis kecenderungan sebagian kalangan


yang sering menafsirkan al Quran secara tekstual dan ahistoris. Lahirnya pandangan ini karena
maraknya fenomena politisasi al Quran oleh beberapa kalangan demi tujuan ideologis maupun politis
tanpa melihat konteks historis pada saat diturunkan.21 Politisasi teks-teks al Quran (tasyis al nushush)

7
merupakan bentuk reduksi terhadap otentisitas kandungan al Quran. Dari tawaran pendekatan
pembacaan tersebut, al Jabiri berharap agar sebuah penafsiran concern terhadap konteks sosio- historis
al Quran.

Pendekatan ini dengan sendirinya akan meminimalisir reduksi makna. Kemudian setelah
melakukan pembacaan historis, penafsir hendaknya mengaktualisasikan makna teks sesuai dengan
kebutuhan kontemporer. Prinsip pertama yang harus dilakukan dalam pembacaan terhadap teks adalah
adalah menjadikanya kontemporer untuk dirinya sendiri dalam artian seorang pembaca harus mampu
menemukan otentitas teks (al asalah) yakni kemandirian teks dari segala bentuk pemahaman
terhadapnya pada tataran problematika teoritis, kandungan epistemologis dan substansi ideologis.

Al Jabiri dalam berbagai bukunya tentang al Quran maupun Tafsirnya memang tidak pernah
mengutip tokoh-tokoh hermeneutika Barat, seperti Gadamer, Hebermes, Schleiermacher atau yang
lainya, namun dengan mengangkat teori yang diusungnya tadi, al Jabiri seakan telah mengadopsi teori
hermeneutika yang pernah ada. Diantara sekian teori hermeneutika, setidaknya ada dua teori yang
hampir sepadan dengan gaya yang ditawarkan al Jabiri. Pertama, hermenutika theory, yang berisi aturan
metodologis untuk sampai kepada pemahaman yang diinginkan pengarang (author). Kedua,
hermeneutika philosophy yang lebih mencermati dimensi filosofis fenomenologis pemahaman.
Perbedaan keduanya adalah jika hermeneutika teoritis memusatkan perhatian kepada bagaimana
memperoleh makna yang tepat dari teks atau suatu yang dipandang tepat sebagai teks, maka
hermeneutika filosofis melangkah lebih jauh dengan menggali asumsi-asumsi epistemologis dari
penafsiran dan melangkah lebih jauh ke dalam aspek historis tidak hanya dalam dunia teks tetapi juga
dunia pengarang dan juga dunia pembacanya.

Nampaknya hermeneutika al Jabiri tergolong pada kedua corak hermeneutika di atas, dalam
ranah hermeneutika teoritis al Jabiri tampak dengan konsep titik tekan historisitas al Quran dengan
konsep asbab al nuzulnya dalam membedah kandungan al Quran, sedangkan dalam sisi yang lain al
Jabiri masih mengakui keazalian al Quran yang notabene menjadi wilayah hermeneutika filosofis
(Robby Zidni Ilman ZF, Fatima Az-Zahr, 2020)

CONTOH PENAFSIRAN

Pada penafsiran surat ad-Dhuha misalnya, dalam mengawali penafsirannnya, al-Jabiri terlebih
dahulu mencantumkan riwayat-riwayat yang menyingkap historisitas ayat. Hal ini dilakukan untuk
menelusuri hubungan antara teks yang diwahyukan dengan kondisi Muhammad dan realitas masyarakat
Arab. Dalam penelusurannya, meski riwayat yang menunjukkan kesedihan Muhammad disebabkan al-
fatrah -berkualitas shahih- dianggap mayoritas penafsir sebagai konteks turunnya ayat, al-Jabiri menilai
bahwa riwayat tersebut tidak sesuai dengan struktur, konteks dan logika ayat, khususnya hubungan ayat
ke-4 (wa la al-akhiratu khair laka min al-ula) dengan ayat sebelumnya. Dalam tahapan ini, al-Jabiri
tampak konsisten dalam mencari objektivitas ayat al-Qur’an dengan prinsip al-fashl.

Selanjutnya, dalam rangka menjadikan ayat-ayat pada ad-Dhuha aktual dan sesuai perinsip al-
washl, melalui ta’lîq al-Jabiri menjelaskan secara filosofis hubungan waktu malam dan dhuha, di
samping memaknai ulang ayat ke-4 dengan makna petunjuk diwaktu kecil dan remaja (al-ûla), serta
kenabian di masa kedewasaan dan kematangan (al-akhirah). Pada tahapan selanjutnya, al-Jabiri
memaknai surat ini sebagai pandangan dan sikap Allah dalam melihat realitas Arab yang penuh dengan
ketimpangan sosial, penindasan ada dimana-mana, terlebih penindasan terhadap anak yatim.

Gaya penafsiran al-Jabiri di atas, bagi penulis, merupakan suatu terobosan dan keberanian
tersendiri. Penolakan al-Jabiri terhadap riwayat historitas (sabab al-nuzûl) surat ad-Dhuha dengan lebih
memilih logika struktur ayat merupakan cermin “ke-burhani-an” pemikir asal Maroko ini. Rasionalitas

8
teks harus lebih diperhatikan daripada keshahihan riwayat yang tidak mengindikasikan adanya
hubungan teks dan konteks (Nadhiroh dkk., 2016)

KESIMPULAN

Upaya memahami al Quran terus berkembang seiring munculnya berbagai problematika


kehidupan yang menuntut sebuah peyelesaian. Dalam keadaan ini para cendekiawan muslim seolah
berlomba-lomba menawarkan metode penafsiran yang dapat diaplikasikan dalam setiap situasi dan
kondisi. Al Jabiri datang menawarkan pendekatan baru, menjadikan al Quran relevan pada masanya
dan juga relevan untuk masa kini dengan metode pembacaan sebagaimana yang ia gunakan dalam
kajiannya terhadap turats. Layaknya gagasan, sebuah metode dapat saja diterima namun juga dapat
ditolak. Metode yang konsisten menjaga kode etik dalam disiplinnya masing-masing akan lebih
membawa kemajuan ilmiyah. Al Jabiri memang sedikit mengundang kontroversi dalam kalangan
sarjana Islam kekinian, termasuk dari kawannya sendiri, Muhammad Imarah. Namun demikian,
tawaran kritis pembacaan al Jabiri terhadap Quranic studies jelas patut diapresiasi, tanpa harus
menegasikan kritik

Al-Jabiri berusaha mengembalikan fungsi al-Qur’an agar selalu sesuai dengan konteks kekinian
tanpa meninggalkan sisi objektivitas yang dibawa al- Qur’an di masanya. Dengan konsep al-fashl dan
al-washl sebagai tawaran metodologisnya, al-Jabiri melakukan Qirâ’ah Mu’âshirah terhadap ayat-ayat
al-Qur’an. Demikian pemaparan singkat tentang metodologi penafsiran al-Jabiri dan perkenalan atas
kitab tafsirnya yang disusun berdasarkan tartib al- nuzul.

DAFTAR PUSTAKA

Khatamunisa dan Imroatun Koniah, R. (2020). Kritik Metodologi (Bayani, ‘Irfani dan Burhani )
Muhammad Abid Al Jabiri. 10(2).

Robby Zidni ZF dan Fatima Azzahra. (2020), Kontruksi Hermeneutika Tafsir Al Jabiri, Citra Ilmu,
Citra Ilmu, Edisi 32 Vol. XVII.

Nadhiroh W P., Rasyidiyah, S., & Amuntai, K. (2016). Fahm al Qur’an Al Hakim, Tafsir Kronologis
ala Muhammad Abid Al- Jabiri, 15(1).

Najib, M. (2017). Epistemologi Tafsir Al-Jabiri, Kritik Atas Fahm al Qur’an Al Tafsir Al Wadih Ḥasba
Tartib Al Nuzul. AL ITQAN: Jurnal Studi Al-Qur’an, 1(2).

Rahman, M. F. (2022). Tafsir Nuzuli Muhammad Abid Al Jabiri (Vol. 1, Nomor 2).

Aulanni’am. (2022). Metode Penafsiran Kontemporer Abid Al Jabiri, jurnal ulunnuha Vol. 10 No.1

Ahmad Fawaid. (2015). Kritik atas Epistimologi Tafsir M Abid Al Jabiri, Ulul Albab Volume 16, No.2

Anda mungkin juga menyukai