Anda di halaman 1dari 12

1

“EPISTEMOLOGI AL JABIRI
DALAM RE-STRUKTURISASI KERANGKA BERFIKIR ARAB”
Makalah Filsafat Ilmu: Topik-topik epistemologi
Dosen Pengampu: Dr. Alim Roswantoro, M.Ag.
Oleh: Tajul Muluk-1320510061

“Tak satupun pemikiran yang terbebas dari pengaruh pemikiran


sebelumnya. Secara langsung atau tidak, seorang intelektual
yang memiliki sebuah pemikiran dan berangkat dari pemikiran
sebelumya mesti akan terpengaruh, entah ia akan menggunakan
metode-metode yang pernah dipakai oleh pemikir sebelumnya,
mengulangi, menentang atau bahkan melampaui. Ketika
seseorang telah memikirkan suatu pemikiran yang telah
dicetuskan oleh orang sebelumnya, maka ia telah berada di
bawah otoritas pemikir sebelumnya”.1

A. Pendahuluan
Dalam dunia pemikiran, epistemologi menempati posisi penting, sebab ia
menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya. Bangunan
dasar epistemologi berbeda dari satu peradaban dengan yang lain. 2 Perbedaan titik tekan
dalam epistemologi memang besar sekali pengaruhnya dalam konstruksi bangunan
pemikiran manusia secara utuh. Pandangan dunia manusia akan terpengaruh bahkan
dibentuk oleh konsepsinya tentang epistemologi.3 Oleh karena itu perlu pengembangan
empirisme dalam satu keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan moralitas.
Sehingga diharapkan epistemologi Islami akan lahir dan memberi jawab atas
kegelisahan umat dewasa ini.4
Realitas sosial menyatakan bahwa keterkaitan yang terjadi di antara setiap
individu melazimkan munculnya tradisi-tradisi tertentu yang sambung-menyambung
dan tak berkesudahan. Seolah tradisi tersebut selalu berulang pada setiap generasi meski
dengan wajah dan rupa yang berbeda tapi secara esensial tetap sama. Diantara tradisi
yang dimaksudkan ialah, cara berfikir yang muncul dari satu generasi dan kemudian
hasil berfikir tersebut dikemas sedemikian rupa dalam bentuk-bentuk tertentu yang
seolah memberikan gambaran kebenaran yang sebenarnya. Selanjutnya disebarkan
dengan berbagai cara, formal-struktural maupun informal-non struktural, dalam
generasi yang sama maupun generasi berikutnya, maka cara demikian tersebut hampir
1
Muhammad Abid al Jabiri, Tragedi intelektual perselingkuhan politik dan agama, Pustaka Alief,
2013),h.17.
2
Nirwan Syafrin, “Kritik terhadap ‘Kritik Akal Islam’ al-Jabiri”, (Jurnal Islamia, THN I No. 2/Juni-
Agustus 2004), hal. 43.
3
M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, 261.
4
Ibid. 261.
2

dapat dipastikan betapa kuat dan mengakarnya suatu pemikiran tersebut hingga hampir
mustahil untuk dibongkar, dilepaskan dan diperbaiki.

Gambaran seperti itulah yang terjadi dalam tradisi berfikir di kalangan arab.
Seolah tabu dan haram jika satu generasi memiliki pemikiran yang tidak serupa dan
berseberangan dengan pemikiran generasi sebelumnya. Kondisi seperti ini menjadi
inspirasi tersendiri bagi seorang filsuf muslim, Mohammad Abid al Jabiri. Berbagai
tulisan yang memuat kritikan ia sampaikan, diantaranya ialah “Naqd ‘Aql al-
Arab”(kritik nalar arab). Dari sekian banyak tulisan al Jabiri yang berbau kritik
terhadap pemikiran arab, karya inilah yang dianggap paling tajam. 5. Dalam karyanya
yang lain, al turas} wa al hadas}ah (tradisi dan modernitas), al Jabiri membahas
permasalahan yang sama, yaitu tentang tradisi, dalam sebuah topik tersendiri yang
berjudul “pembacaan kontemporer terhadap tradisi”. al Jabiri menyatakan bahwa, tujuan
kritikan yang salah satunya dialamatkan terhadap tradisi pemikiran arab karena
disebabkan kegelisahannya terhadap peradaban arab-islam di masa itu-kurun
pertengahan.6

Kritik-kritik yang disampaikan al-Jabiri bukan hanya kritik teologis yang


menaruh perhatian besar pada persoalan-persoalan ketuhanan, wahyu, ortodoksi dan
aliran-aliran kalam saja. Lebih dari itu, kritik al-Jabiri menitik-beratkan dan
memfokuskan pada kritik epistemologis, yakni kritik yang ditunjukan kepada kerangka
dan mekanisme berpikir yang mendominasi kebudayaan arab dalam babak sejarah
tertentu. Maka yang dominan adalah persoalan-persoalan yang banyak muncul dalam
lingkungan bahasa arab, seperti dikotomi makna dan teks, ashl dan far’, majaz dan
haqiqah dan juga masalah bahasa arab dalam kapasitasnya sebagai wadah pemikiran
yang menentukan batas-batas pandangan dunia dan cara berpikir orang yang
menggunakannya.7

5
A. Khudori Sholeh, tipologi pemikiran islam kontemporer dalam pemikiran islam kontemporer
(Yogyakarta : Jendela, 2003), xix-xx
6
Muhammad Abid al Jabiri, al Turas wal Hadasah, (Libanon, Bairut: Markaz dirasat al wahdah al
arabiyah, 1999), hal. 143.
7
Ahmad Baso, Muhammad Abed al-Jabiri Post-Tradisionalisme Islam (Yogyakarta : LKIS, 2000),
xxix-xxx
3

B. Ta’aruf bersama al Jabiri: Sejarah hidup dan karir intelektual

Muhammad Abid al-Jabiri lahir di kota Feji>j (Figuig) Maroko pada tanggal
27 Desember tahun 1935 M., ia merupakan putra salah seorang tokoh kemerdekaan
maroko dari penjajahan Perancis dan Spanyol dari partai istiqla>l. Ia mengenyam
pendidikan secara formal keagamaan pertama kali di sebuah Masjid asuhan al-Hajj
Muhammad bin Faraj, seorang tokoh gerakan al Salafiyah al Nahdawiyah di Maroko.
Kemudian al Jabiri melanjutkan pendidikannya di Madrasah Hurra Wat}aniyah, sebuah
lembaga pendidikan swasta nasional yang didirikan oleh al-Hajj Muhammad bin Faraj
dan beberapa tokoh kemerdekaan lainnya. al Jabiri menyelesaikan pendidikan di
sekolah tersebut pada tahun 1949. Dan dibawah bimbingan orang yang sama, al Hajj
Muhammad al Faraj, al Jabiri telah menghafal al Quran di usia tujuh tahun. Di samping
belajar dan menghafal al Quran, al Jabiri belajar bahasa perancis selama dua tahun di
sekolah Perancis dan belajar bahasa arab fusha di sebuah sekolah ibtida>iyah.

al Jabiri memiliki kecakapan dalam bidang penerjemahan, sehingga kemudian ia


disarankan oleh Mehdi bin Berka untuk bekerja di sebuah kantor majalah Maroko, al
‘a>lam, dan majalah inilah yang kemudian menjadi bagian sejarah perjalanan
popularitas al Jabiri dalam bidang keilmuan, karena majalah ini banyak menerbitkan
tulisan dan karya ilmiyah al Jabiri. Pada tahun 1959, al-Jabiri memulai studi filsafat di
Universitas Damaskus, Syiria. Satu tahun kemudian, 1956 al Jabiri pindah ke fakultas
adab universitas Muhammad Khamis Rabat, Maroko yang baru saja didirikan. di tengah
studinya, al Jabiri dan kawan-kawannya sempat dimasukkan ke penjara pada bulan juli
1964, karena tuduhan melakukan konspirasi melawan pemerintah.8

C. Tawaran Epistemologi al-Jabiri: Bayani, Irfani dan Burhani

1. Epistemologi Bayani

a. Pengertian Bayani

Secara etimologi, Bayan berarti penjelasan (explanation). Berdasarkan beberapa

makna yang diberikan kamus Lisa>n al ‘Arab mengartikan sebagai al fashl wa al


infisha>l (memisahkan dan terpisah) dalam kaitannya dengan metodologi dan memiliki

8
Lihat lebih jelas dalam, Muhammad Chabibi, (tesis UIN-SUKA: Relasi Pemikiran Islam Dengan
Kekuasaan Dalam Epistemologi Muhammad ‘Abid Al Jabiri, Yogyakarta, 2012), hal. 35.
4

pengertian al dhuhu>r wa al idha>r (jelas dan penjelasan) dalam kaitannya dengan visi
dari metode bayani.9

Sementara itu, secara terminologi bayani memiliki dua arti; pertama sebagai

aturan penafsiran suatu wacana, kedua sebagai syarat-syarat memproduksi wacana.


Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak awal peradaban Islam, makna
etimologis ini baru lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi (tadwi>n). Bayani

adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara
langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai
pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara tidak
langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan
penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan
makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
b. Perkembangan Bayani

Pada masa Syafi’i (767-820 M), bayani/bayan berarti nama yang mencakup

makna-makna yang mengandung persoalan usu>l/pokok dan yang berkembang hingga


ke furu’ atau cabang. Dari segi metodologi, Syafi’i membagi bayan dalam lima bagian

dan tingkatan, yaitu: 1) Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut berkenaan dengan

sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam al Qur’an sebagai ketentuan bagi
makhlukNya, 2) Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh

penjelasan sunnah, 3) Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh

penjelasan sunnah, 4) Bayan sunnah sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat

dalam al Qur’an, 5) Bayan Ijtihad yang dilakukan dengan qiya>s atas sesuatu yang tidak

terdapat dalam al Qur’an maupun sunnah. Dari lima derajat bayan tersebut, Syafi’i

kemudian menyatakan bahwa yang pokok ada tiga yaitu al Qur’an, sunnah dan qiyas,

kemudian ditambah ijma.10


al-Jahiz|11 (868 M) mengkritik konsep Syafi’i di atas. Menurutnya, apa yang
dilakukan Syafi’i baru pada tahap bagaimana memahami teks, belum pada tahap
9
Muhammad Abed al Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, Terj, Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS, 2000),
kata pengantar, hal. xxviii.
10
A. Khudori Soleh, M. Abid Al-Jabiri Model Epistemologi Islam; Pemikiran Islam Kontemporer,
(Yogyakarta: Jendela, 2003), hal. 182.
11
Abū ʿUthman ʿAmr ibn Baḥr al-Kinānī al-Baṣrī (http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Jahiz)
5

bagaimana memberikan pemahaman kepada pendengar atas pemahaman yang


diperoleh. Padahal menurutnya, inilah yang terpenting dari proses bayani. Oleh karena

itu, bayani adalah syarat-syarat untuk memproduksi wacana dan bukan sekedar aturan-

aturan penafsiran wacana. al Jahiz| menetapkan lima syarat bagi bayani yaitu : 1)

kefasihan ucapan, 2) seleksi huruf dan lafaz|, 3) adanya keterbukaan makna, 4) adanya
kesesuaian antara kata dan makna, 5) adanya kekuatan kalimat untuk memaksa lawan
kebenaran yang disampaikan dan mengakui kelemahan serta kesalahan konsepnya
sendiri.

Sampai disini, bayani telah berkembang jauh. Ia tidak lagi sekedar penjelas atas

kata-kata sulit dalam al-Qur’an, tetapi telah berubah menjadi sebuah metode bagaimana
memahami sebuah teks, membuat kesimpulan atasnya, kemudian memberikan uraian
secara sistematis atas pemahaman tersebut kepada pendengar bahkan sebagai alat untuk
memenangkan perdebatan. Akan tetapi, Apa yang ditetapkan al Jahiz| pada masa
berikutnya dianggap kurang tetap dan sistematis. Menurut Ibnu Wahab, Bayani bukan

diarahkan untuk mendidik pendengar tetapi sebuah metode untuk membangun konsep
as|lul furu>’, caranya dengan menggunakan pemaduan pola yang dipakai ulama fiqh
dan kalam. Perpaduan antara metode fiqh yang eksplanatoris dan theology yang
dialektik dalam rangka membangun epistemology bayani baru ini sangat penting, karena

menurutnya, sesuatu yang perlu penjelasan tidak hanya teks suci tetapi mencakup 4 hal
yaitu : 1) Wujud materi yang mengandung aksiden dan subtansi, 2) Rahasia hati yang
memberi keputusan bahwa sesuatu itu benar-salah dan subhat, saat terjadi proses
perenungan, 3) Teks suci dan ucapan yang mengandung banyak dimensi, 4) Teks-teks
yang merupakan representasi pemikiran dan konsep. Dari 4 macam obyek ini Ibnu
Wahab menawarkan 4 macam bayani yaitu: 1) Bayan al i’tiba>r, 2) Bayan al i’tiqo>d,

3) bayan al ‘ibaro>h, 4) Bayan al-kita>b.

Pada periode terakhir, muncul al S|at|ibi (1388 M) menurutnya, sampai sejauh


itu bayani belum bisa memberikan pengetahuan yang pasti (qot|’i>) tapi baru derajat

dugaan (z|an) sehingga tidak dapat dipertanggung jawabkan secara rasional. Dua teori
utama dalam bayani yaitu istinbat| dan qiyas hanya berpijak pada sesuatu yang masih
6

bersifat dugaan(z|an). Oleh karena itu al-S|at|ibi menawarkan 3 teori yaitu : 1) al-
Istinta>j, 2) al-istiqro>’, 3) al-maqo>sid al s|ari>’.
c. Metode Bayani

Untuk mendapatkan suatu pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua

jalan. Pertama berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab.
Kedua, menggunakan metode qiya>s (analog) dan inilah prinsip utama epistemologi
bayani. Dalam kajian us|ul fiqh, qiya>s diartikan memberikan keputusan hukum atas
suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks,
karena adanya kesamaan ‘illah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam
melakukan qiya>>s: 1) Adanya al-As|l yakni nash suci yang memberikan hukum dan
dipakai sebagai ukuran, 2) al-far yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash,3)
hukum al-ashl yakni ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl, 4) ‘illah yakni
keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar ketetapan hukum asal .12
Contoh qiyas adalah, soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari perasan

kurma disebut far (cabang ) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash dan ia
akan di qiyaskan dalam khamr. Khamr adalah as|l atau pokok, sebab terdapat dalam teks

(nash) dan hukumnya haram, illahnya karena keduanya sama-sama memabukkan.


Hasilnya, arak (hasil perasan kurma) adalah haram karena ada persamaan antara arak
dan khamr, yakni sama-sama memabukkan.
Menurut al Jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan dalam

epistemologi bayani digunakan dalam 3 aspek yaitu : 1) qiyas jali> , dimana far

mempunyai persoalan hukum yang lebih kuat di banding ashl , 2) qiyas fi makna an

nash dimana as|l dan far mempunyai derajat hukum yang sama, qiyas al-khafi dimana

illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan mujtahid. Menurut
Abd al Jabar, seorang pemikir teologi mu’tazilah, metode qiyas bayani diatas tidak

hanya untuk menggali pengetahuan dari teks tetapi juga bisa dikembangkan dan
digunakan untuk mengungkapkan persoalan non fisik (g|a>ib).13
2. Epistemologi ‘Irfani

12
A. Khudori Soleh, M. Abid Al-Jabiri Model Epistemologi Islam: dalam Pemikiran Islam Kontemporer,
hal. 185.
13
Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (Bairut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-‘Arabiyah,
1992), hal.146-147
7

a. Pengertian ‘Irfani
‘Irfan dari kata dasar bahasa Arab ‘arafa semakna dengan makrifat yang berarti
pengetahuan. Tapi ia berbeda dengan ilmu. ‘Irfan atau makrifat berkaitan dengan
pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman. Sedangkan ilmu
menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas
(aql). Karena itu, secara terminologis, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas
pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambaNya
setelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas dasar cinta.14
b. Perkembangan ‘Irfani
Perkembangan ‘irfani secara umum dibagi dalam 5 fase. Pertama, fase
pembibitan, terjadi pada abad pertama hijriyah. Apa yang disebut baru ada dalam
bentuk perilaku zuhud. Kedua, fase kelahiran, terjadi pada abad kedua hijriyah. Jika
awalnya zuhud dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala, dalam periode ini,
ditangan Rabiah al Adawiyah ( 801 M ) zuhud dilakukan atas dasar cinta pada Tuhan,
bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala. Ketiga, fase pertumbuhan terjadi
abad 3–4 H. Pada fase ini, para tokoh sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral
keagamaan (akhlak). Keempat, fase puncak terjadi pada abad ke-5 H. Pada periode ini
‘Irfani mencapai masa gemilang. ‘Irfani menjadi jalan yang jelas karakternya untuk
mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan kebahagiaan. Kelima, fase
spesifikasi, terjadi abad ke-6 dan 7 H. berkat pengaruh al Ghazali yang besar. Pada fase
ini ‘Irfani menjadi semakin dikenal dan berkembang dalam masyarakat Islam. Pada
fase ini, secara epistemologi ‘irfani telah terpecah dalam 2 aliran yaitu ‘irfani sunni dan
‘irfani teoristis. Keenam, fase kemunduran terjadi abad ke-8 sejak abad itu, ‘irfan tidak
mengalami perkembangan bahkan mengalami kemunduran.
c. Metode Irfani
Pengetahuan irfan tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf,

tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak
diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian
hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk
dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan

14
Reynold A. Nicholson, Tasawuf Menguak Cinta Ilahi, terj. A. Nashir Budiman (Jakarta: Rajawali,
1987), hal.. 68
8

demikian pengetahuan ‘irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan,
(2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.15
Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf),
seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya, ada tujuh
tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak (1) Taubat, (2) Wa r a `,
menjauhkan diri dari segala sesuatu yang s|ubhât, (3) Zuhu>d, tidak tamak dan tidak
mengutamakan kehidupan dunia. (4) Faqir, mengosongkan seluruh fikiran dan harapan
masa depan, dan tidak menghendaki apapun kecuali Allah swt, (5) Sabar, menerima
segala bencana dengan laku sopan dan rela. (6) Tawakkal, percaya atas segala apa yang
ditentukan-Nya. (7) Ridla, hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang
tersisa hanya gembira dan sukacita.
Tahap Kedua, tahap penerimaan. Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam
sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan
secara illuminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri
yang demikian mut|lak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat
realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas
kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda
tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah
kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd) yang dalam
kajian Mehdi Yazdi disebut ‘ilmu hudu>ri> atau pengetahuan swaobjek (self-object-
knowledge).
Ketiga, pengungkapan, yakni pengalaman mistik yang kemudian
diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan.
Namun, karena pengetahuan ‘irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi
tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri
dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini
bisa diungkapkan.
Persoalannya, bagaimana makna atau dimensi batin yang diperoleh dari kasyf
tersebut diungkapkan? Pertama, diungkapkan dengan cara i’tibâr atau qiyas irfani.

Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna z|ahir yang ada
dalam teks. Kedua, diungkapkan lewat s|at|ahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan
(al-wijda>n) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi

15
. Khudori shaleh, Wacana Baru …, hal. 204
9

dengan pengakuan, seperti ungkapan ‘Maha Besar Aku’ dari Abu Yazid Bustami (w.
877 M), atau “Ana al-Haqq” dari al-Hallaj (w. 913 M). karena itu, s|at|ahat menjadi
tidak beraturan dan diluar kesadaran.

3. Epistemologi Burhani
a. Pengertian Burhani
Dalam bahasa Arab al-Burhan berarti argumen yang jelas. Bahasa latinnya
berarti demonstration yang berarti al-is|arah (isyarat/tanda), al-washf (sifat), al-bayan

(penjelasan), al-iz|ha>r (menampakkan)16. Sebagai aktifitas kognitif, demonstrasi


adalah inferensi rasional, yaitu penggalian premis-premis yang menghasilkan konklusi
yang bernilai.17 Namun sebagai lapangan kognitif, demonstrasi ini adalah dunia
pengetahuan filsafat dan sains yang diderivasikan dari gerakan transliterasi buku-buku
asing, khususnya karya Aristoteles ke dalam peradaban Arab. Karena penerjemahan
buku-buku itu dilatari oleh kehendak politik untuk mendukung akal retoris melawan
serbuan trend akal gnostis, maka tidak heran kalau dalam praktiknya latar belakang ini
mempunyai pengaruh yang dominan. Dan terjadilah hubungan yang sangat erat antara
keduanya dalam tataran pemikiran teologi / filsafat.18
Dari sini, kita bisa menganalisis proses akulturasi trend ini ke dalam peradaban
Arab menurut perspektif epistemologisnya, menurut dua poros berikut. Pertama, dalam
kaitannya dengan metodologi, yaitu dengan menggunakan pendekatan pasangan
epistemologisnya (al-lafz/al-ma’na) yang sejajar dengan pasangan pertama dalam trend
akal retoris. Dan yang kedua berkaitan secara khusus dengan pola pandang, yaitu
dengan menggunakan pasangan epistemologis al-as|l/al-far’ dan pasangan
al-jauhar/al-‘ardh dalam trend akal retoris.19
b. Perkembangan Burhani
Prinsip burhani pertama kali dibangun oleh Aristoteles yang dikenal dengan
istilah metode analitik (tahlili) yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan atas proposisi
tertentu. Pada masa Alexander Aprodisi, murid serta komentator Aristoteles, digunakan
istilah logika dan ketika masuk pada khasanah pemikiran Islam berganti nama menjadi
Burhani. Cara berfikir analitik Aristoteles ini masuk kedalam pemikiran Islam pertama

16
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Araby, hal. 383.
17
Muhammad Aunul Abied Shah dan Sulaiman Mappiase, “Kritik Akal Arab: Pendekatan Epistemologis
terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri”, (tp.tt. ),hal.317
18
Ibid.
19
Ibid.,318 
10

kali lewat progam penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa
kekuasaan al Makmun. Sarjana pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode
Burhani adalah al Kindi. Namun, karena masih dominannya kaum bayani dan minimnya

referensi maka metode burhani tidak begitu bergema. Metode Burhani ini semakin
berkembang dalam system pemikiran Islam Arab setelah masa al-Ra>zi. Metode
Burhani akhirnya benar benar mendapat tempat dalam system pemikiran islam setelah
masa al farabi.
c. Metode Burhani
Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, burhani menggunakan
aturan silogisme. Mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini
harus memenuhi beberapa syarat, (1) mengetahui latar belakang dari penyusunan
premis, (2) adanya konsistensi logis antara alasan dan kesimpulan, (3) kesimpulan yang
diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga tidak mungkin menimbulkan kebenaran
atau kepastian lain.
al-Farabi mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani harus merupakan
premis-premis yang benar, primer dan diperlukan. Premis yang benar adalah premis
yang memberi keyakinan dan meyakinkan. Suatu premis bisa dianggap menyakinkan
bila memenuhi tiga syarat; (1) kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada atau tidak
dalam kondisi spesifik, (2) kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan
sesuatu yang lain selain darinya, (3) kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak
mungkin sebaliknya. Selain itu, burhani bisa juga menggunakan sebagian dari jenis-
jenis pengetahuan indera, dengan syarat bahwa objek-objek pengetahuan indera tersebut
harus senantiasa sama (konstan) saat diamati, dimanapun dan kapanpun, dan tidak ada
yang menyimpulkan sebaliknya.
Derajat dibawah silogisme burhani adalah ‘silogisme dialektika’, yang banyak
dipakai dalam penyusunan konsep teologis. Silogisme dialektik adalah bentuk silogisme
yang tersusun atas premis-premis yang hanya bertarap mendekati keyakinan, tidak
sampai derajat menyakinkan seperti dalam silogisme demonstratif. Materi premis
silogisme dialektik berupa opini-opini yang secara umum diterima (masyhûrât), tanpa
diuji secara rasional. Oleh karena itu, nilai pengetahuan dari silogisme dialektika tidak
bisa menyamai pengetahuan yang dihasilkan dari metode silogisme demonstratif. Ia
berada dibawah pengetahuan demontratif.
D. Kesimpulan
11

Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks
(nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks
sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara
tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir
dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas
menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
Pengetahuan ‘irfani tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf,

tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak
diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian
hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk
dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan
demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan,
(2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan. Ini yang populer
dikalangan kaum shufi.
Berbeda dengan bayani dan ‘irfani yang masih berkaitan dengan teks suci,

burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks. Burhani menyandarkan diri pada
kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Perbandingan ketiga
epistemologi ini adalah bahwa bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi furû`

kepada yang asal; irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada
Tuhan, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas
pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Dengan demikian, sumber
pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi.Rasio inilah yang memberikan
penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera.

DAFTAR PUSTAKA
12

A. Nicholson, Reynold Tasawuf Menguak Cinta Ilahi, terj. A. Nashir Budiman


(Jakarta: Rajawali, 1987).
Abied Shah, Muhammad Aunul dan Mappiase, Sulaiman “Kritik Akal Arab:
Pendekatan Epistemologis terhadap Trilogi Kritik Al-Jabiri”.
Baso, Ahmad, Muhammad Abed al-Jabiri Post-Tradisionalisme Islam
(Yogyakarta : LKIS, 2000)
Abid, Muhammad al Jabiri, al Turas} wal Hadas}ah, (Libanon, Bairut: Markaz
Dirasat al Wihdah al Arabiyah, 1999)
Abid, Muhammad al Jabiri, tragedi intelektual perselingkuhan politik dan
agama, Pustaka Alief, 2013).
Abid, Muhammad al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi (Bairut: Markaz Dirasat
al-Wihdah al-‘Arabiyah, 1992).
Chabibi, Muhammad (tesis UIN-SUKA: Relasi Pemikiran Islam Dengan
Kekuasaan Dalam Epistemologi Muhammad ‘Abid Al Jabiri, Yogyakarta, 2012).
Abdullah, M. Amin, Studi Agama Normativitas atau Historisitas.
Sholeh, A. Khudori, tipologi pemikiran islam kontemporer dalam pemikiran
islam kontemporer (Yogyakarta : Jendela, 2003)
Syafrin, Nirwan “Kritik terhadap ‘Kritik Akal Islam’ al-Jabiri”, (Jurnal Islamia,
THN I No. 2/Juni-Agustus 2004).

Anda mungkin juga menyukai