Anda di halaman 1dari 20

PEMIKIRAN ISLAM M.

ABID AL-JABIRI

Abstak
Filsafat ilmu juga tidak terlepas dari epistemologi, yang tugas utamanya mempelajari
kondisi dan bentuk pengalaman manusia, serta terkait dengan logika dan metodologi. Secara
ontologis, epistemologi di dunia Barat memiliki dua landasan, yaitu rasionalisme dan
empirisme, yang merupakan pilar utama metode ilmiah. Dalam hal ini, epistemologi dapat
membuka perspektif baru bagi ilmu multidimensi. Sementara itu, di dunia Islam, menurut
Baqhir As-Shadar, ia lebih melihat adanya kecenderungan epistemologi Islam kepada para
pemikir Islam yang idealis dan rasionalis. Kombinasi kajian metafisika dan epistemologis
dalam Islam yang idealnya komprehensif memiliki kelemahan, yaitu tidak adanya aspek yang
jelas dalam pelaksanaan kajiannya. Epistemologi Islam tidak dapat berkembang secara
alami karena dominasi kalam dan tasawuf yang berlebihan. Menurut Jabri, budaya harus
menjadi titik awal untuk membenarkan kritik, agar proyek kebangkitan Arab tidak jatuh ke
dalam jurang sejarah. Karena masalah keterpurukan negara-negara Arab sebenarnya
berkisar pada bagaimana mereka memahami dan menyikapi budaya yang cenderung
berputar-putar daripada ke arah pembaharuan. Dalam hal ini, epistemologi kajian Islam
yang ditawarkan oleh Jabri mencakup tiga aspek, yaitu Bayani, Irfani dan Burhani.

Pendahuluan

Pada masanya, dunia filsafat modern selalu penuh dengan perdebatan sengit antara
rasionalisme dan empirisme. Hingga akhirnya Immanuel Kant yang brilian berhasil menjebol
objektivitas sains modern dalam karyanya yang terkenal “Critique of Pure Reason”. 1 Pola
pikir seseorang berubah dari waktu ke waktu. Namun sedikit demi sedikit, ilmu-ilmu yang
semula menyatu dalam filsafat ilmu mulai berpisah satu sama lain, ketika menemukan ciri
khasnya masing-masing. Perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat di zaman modern
ini. Dari ilmu alam hingga ilmu sosial, mereka juga membentuk dunia ilmiah saat itu seperti
ekonomi, sosiologi, sejarah, psikologi, dll. Pada saat yang sama, agama dipandang sebagai
sesuatu yang transenden di luar batas pengalaman manusia seperti iman, dan bukan sains. 2

1
FaktaNews, „PPIM UIN Jakarta: Pengaruh Intoleransi dan Radikalisme Telah Menjalar ke Banyak Sekolah
dan Universitas‟, Fakta News (18 Mei 2018), https://fakta.news/berita/ppim-uin- jakarta-pengaruh-intoleransi-
dan-radikalisme-telah-menjalar-ke-banyak-sekolah-dan-universitas, diakses pada 28 April 2019.
2
Intoleransi Kaum Pelajar, http://www.wahidinstitute.org/wi-id/indeks-opini/280-intoleransi- kaum-pelajar.html,
diakses 28 April 2019.
Hal ini disebabkan anggapan bahwa filsafat ilmu pada hakekatnya merupakan ciri ilmu dan
metodenya untuk memperoleh pengetahuan.
Modernisasi yang saat ini terjadi di Eropa juga memiliki efek tidak langsung pada
dunia Arab Muslim. Diawali dengan invasi Napoleon ke Mesir pada tahun 1798, ketika
rakyat Mesir mulai “sadar” akan kemajuan dan keterbelakangan Eropa. Meski banyak yang
melihat kemajuan modernisasi Eropa sebagai ancaman terhadap agama. Mengingat Eropa
maju karena meninggalkan agamanya (Kristen). Namun, hal itu menyebabkan sebagian
kalangan bercermin diri dan bangkit dari keterbelakangannya untuk terus maju. Upaya
kemajuan masyarakat mayoritas Muslim-Arab terhambat oleh tradisi dan budaya mereka.
Sebagai masyarakat yang pernah mencapai masa keemasan di bawah kekuasaan Islam,
mereka sulit melupakan apalagi meninggalkan tradisi dan budaya ini. Maka, dari upaya ini
muncul beberapa aliran pemikiran dan gaya yang menawarkan solusi. Menurut Bollouta, ada
tiga kelompok yang mencoba merefleksikan tradisi dan budaya Arab-Islam dalam
menghadapi modernitas.3
Pertama, kelompok yang menawarkan wacana transformatif. Kelompok ini
menginginkan agar dunia Arab terbebas dari tradisi masa lalunya karena tradisi masa lalu
sudah tidak relevan lagi dengan kehidupan modern. Pemimpin kelompok ini adalah orang-
orang Kristen yang berorientasi Marxis, seperti Adonis, Salamah Musa, Zaki Najib Mahmud
dan lain-lain. Kedua, kelompok yang menawarkan wacana penyembuhan. Mereka
menginginkan sikap adaptif melalui pembaharuan tradisi yang mereka geluti. Perwakilan
kelompok ini antara lain Arkoun, Hassan Hanafi, al-Jabiri dan lain-lain. Ketiga, kelompok
yang disebut Idealis-Totalis. Mereka ingin dunia Arab kembali ke Islam murni, terutama ke
sekolah Salaf, yang slogannya adalah kembali ke Alquran dan Sunnah. Perwakilan kelompok
ini adalah Muhammad Ghazali, Sayyid Qutb, Muhammad Qutb dan lainnya.4
Tujuan artikel ini bukan untuk mengklasifikasikan mazhab-mazhab berikut Bolloutan
tersebut secara keseluruhan, melainkan untuk fokus pada kelompok reformasi, dengan
penekanan pada satu tokoh: Muhammad Abid al-Jabir. Meskipun tulisan ini tidak bertujuan
untuk membahas segala pemikirannya, namun setidaknya dapat memberikan gambaran
tentang peta pemikiran al-Jabir.
Meski al-Jabiri meninggal pada Mei 2010, lembaga think tank yang dia promosikan
terus eksis. Proyek pemikiran tersebut kemudian selalu dibaca, dicetak lagi dan dibagikan.
3
Mohammad Abed Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab; Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana
Intereligius, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: IRCISoD, 2003), hlm. 26.
4
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 201.
Hal ini membangkitkan minat beberapa pemikir Muslim yang cerdas untuk mengevaluasi dan
mengkritisi ide-ide mereka. Sebagai pedoman diskusi perlu dikaji beberapa pertanyaan, yaitu:
Siapakah Al-Jabiri? apa pemikirannya Bagaimana intelektual lain mengevaluasi
pemikirannya? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dijawab dalam artikel ini.

A. Biografi Tokoh

Muhammad Abed al-Jabiri lahir pada tahun 1936 di Figiug (Feji) di tenggara Maroko.
Ia dibesarkan dalam keluarga terkemuka, di mana ayahnya mendukung perjuangan Partai
Istiqlal untuk kemerdekaan dari penjajahan Prancis dan Spanyol. Sebagai seorang anak,
Muhammad Abed al-Jabiri menerima pendidikan agama sebelum bersekolah di sekolah
swasta nasionalis. Setelah bersekolah di sekolah dasar, al-Jabiri melanjutkan studinya ke
tingkat menengah, yaitu sekolah menengah di Casablanca. Baru dengan kemerdekaan
Maroko ia memperoleh gelar ilmiah setingkat bahasa Arab. Untuk menambah ilmunya, al-
Jabiri memutuskan untuk masuk ke industri penerbitan. Muhammad Abed al-Jabiri
melanjutkan studi filsafat di Universitas Damaskus di Suriah. Namun, ia tidak puas di sana
dan kembali ke negaranya untuk melanjutkan studinya di bidang filsafat di Fakultas Adab
Universitas Muhammad V di Rabat, Maroko, yang kembali terkenal kualitas pendidikan dan
ilmunya. Pada tahun 1970 ia akhirnya mendapatkan gelar doktor dalam bidang filsafat dan
mulai mengajar filsafat di sana.5 Oleh karena itu, tidak mengherankan jika al-Jabir disebut
sebagai filosof modern di Barat, karena salah satu indikatornya adalah risalah yang ditulisnya
yang berisi tentang pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldūn di bawah pengawasan Najib Balad.
Prototipe Al-Jabari tidak hanya dianggap sebagai pemikir dan ilmuwan. Sebagai Mutsaqqaf,
ia terlibat dalam perencanaan publikasi, evaluasi dan promosi pendidikan. Dia menerbitkan
banyak artikel dan buku yang berhubungan dengan epistemologi, matematika, rasionalitas
dan pengembangan pengetahuan ilmiah.
Di sisi lain, sosok Muhammad Abed al-Jabir juga memiliki prototipe politisi
berpengalaman. Kinerjanya dalam mengangkat nuansa politik dan martabat manusia sangat
tinggi. Gerakan Partai Istiqlal yang tergabung dalam UNFP merupakan gerakan yang
didirikannya sebagai sarana perlawanan terhadap kaum kolonialis, khilafah, borjuis dan
penguasa yang tidak mempedulikan kepentingan rakyat. Negara adalah pesta demokrasi,
negara bukan sekedar arena komoditas bagi kepentingan elit dan legitimasi kekuasaan, negara
5
Nurfitriani Hayati, „Epistemologi Pemikiran Islam „Abed Al-Jabiri Dan Implikasinya Bagi Pemikiran
Keislaman‟, Islam Realitas: Journal of Islamic & Social Studies, vol. 3, no. 1 (2017), pp. 68–81.
adalah hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri, negara harus mengungkapkan dan
mendahulukan keinginan rakyat dan rakyat.6 Sebagai seorang ilmuwan, agamawan, politikus,
intelektual dan filsuf, Muhammad Abed al-Jabiri banyak menghasilkan dan meninggalkan
karya-karyanya. Sebagian besar karyanya ditulis sendiri, baik saat masih belajar maupun saat
sudah mengajar dan meneliti. Terlepas dari popularitasnya yang luas dan pertumbuhan
namanya, ia tetap dipelajari dan ambigu, terutama sebagai paradigma pemikiran, wacana
intelektual, dan pemikiran yang terpolarisasi menjadi tiga menurut al-Jabir. paradigma
pemikiran yang besar. Ketiga paradigma berpikir tersebut adalah berpikir logis, gaya Irfani
dan paradigma burhani.
Mengenai karya-karyanya yang diedarkan dan diterbitkan dalam bentuk majalah, surat
kabar dan buku-buku antara lain Durus fi al-Falsafah, Fikr Ibn Khaldun al-Asabiyyah wa
Daulah: Ma'alim Nazariyyah Khalduniyah fi at Tarih al-Islami (Pemikiran Ibnu Khaldun,
Asabiyah dan bumi: Tanda-tanda Paradigma Pemikiran Ibnu Khaldun dalam Sejarah Islam,
Al-Khitdb al-'Arabi al-Mu'agir (Diskusi Bahasa Arab Kontemporer: Studi dalam Kritik
Analitis.7 Dan masih banyak lagi karyanya.

B. Sejarah Pemikiran Tokoh

Untuk lebih fokus pada pemikiran al-Jabir, artikel ini mengkaji pemikiran al-Jabir
melalui trilogi mahakaryanya (Takwin al-'Aql al-'Arabi, Bunyah al-'Aql al-'Arabi dan
al-'Aql). al-Syasi al-'Arabi), yang merupakan anggota Naqd al-'Aql al-'Arabi. 8 Selain itu,
beberapa teks dan artikel pendukung telah ditambahkan. Adapun latar belakang yang
mendorong al-Jabir untuk menulis triloginya, berbeda dengan keprihatinannya menghadapi
fakta yang tidak pasti. Melihat perdebatan Arab kontemporer selama seratus tahun terakhir,
komunitas Arab belum mampu menawarkan solusi yang jelas dan pasti untuk proyek
kebangkitan yang diproklamirkan sendiri.9 Kesadaran mereka akan urgensi kebangkitan tidak
didasarkan pada realitas dan perkembangan, melainkan pada perbedaan antara orang-orang
Arab kontemporer yang masih terbelakang dan Barat yang modern dan maju. Akibatnya,
menurut al-Jabir, wacana revivalis Arab sejauh ini gagal membuat kemajuan apapun dalam

6
Nurlaelah Abbas, „Al-Jabiri Dan Kritik Nalar Arab (Sebuah Reformasi Pemikiran Islam)‟, Aqidah-Ta: Jurnal
Ilmu Aqidah, vol. 1, no. 1 (2015), pp. 163–85.
7
Mohammad Abed Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab; Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana
Intereligius, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: IRCISoD, 2003), hlm. 12.
8
Ibid., hlm. 38.
9
Ibid., hlm. 40.
menyusun rencana kebangkitan peradaban, baik pada tataran utopia relatif maupun dalam
perencanaan ilmiah.
Al-Jabiri memulai gerakan pemikirannya dengan mendefinisikan turats (tradisi). 10
Tradisi seperti yang dipahami saat ini tidak dikenal pada periode Arab klasik. Kata "tradisi"
berasal dari kata Arab "turats", tetapi dalam Al-Qur'an, "turast" tidak disebutkan dalam arti
"tradisi", kecuali dalam artian jenazah. Oleh karena itu, menurut al-Jabir, turat (tradisi) adalah
sesuatu yang berasal dari masa lalu, baik itu masa lalu kita atau masa lalu orang lain, masa
lalu itu jauh atau dekat dan ada dalam konteks ruang dan waktu. Tradisi adalah produk masa
tertentu, berasal dari masa lampau dan terpisah dari masa kini untuk masa tertentu (Aksin
Wijaya, 2001: 109).
Selain itu, al-Jabiri mencoba menengahi antara realitas tradisi Arab dengan modernitas
yang dialami Barat. Meski diakui al-Jabri bahwa modernitas Eropa mampu
merepresentasikan budaya “universal”, modernitas Eropa tidak mampu menganalisis realitas
budaya Arab yang muncul jauh di luar dirinya. Menurutnya, konsep modernitas di atas
segalanya adalah pengembangan metode dan visi modern terhadap tradisi. Karena modernitas
adalah upaya untuk melampaui pemahaman tradisi, untuk memperoleh pemahaman modern
dan visi baru tentang tradisi (Mohammed 'Abed al-Jabiri, 2003:03).
Gagasan modernitas bukanlah untuk meninggalkan tradisi atau memutuskan hubungan
dengan masa lalu, tetapi untuk memperbaiki sikap dan keyakinan dengan mengelola
hubungan antara manusia dan tradisi pada tingkat budaya "modern". 11 Oleh karena itu,
konsep modernitas merupakan pengembangan dari metode dan pandangan modern terhadap
tradisi (Al-Jabiri, tth:
2). Yang modern diperlukan agar intelektual, selain dirinya sendiri, dapat menjelaskan semua
fenomena budaya dan tempat berlangsungnya modernitas. Sehingga modernitas ini menjadi
pesan dan dorongan untuk berubah, menghidupkan kembali cara berpikir, standar berpikir
dan segala apresiasinya.
Al-Jabiri mengakui adanya kumpulan konsep dan cara berpikir yang mengatur secara
ketat cara pandang dan pola interaksi masyarakat Arab terhadap sesuatu. Artinya, bangsa
Arab adalah anak manusia individual yang pikirannya terbuka, tumbuh dan berkembang
dalam peradaban Arab hingga menjadi acuan utama pemikirannya.

10
Muḥammad ʻĀbid Al-Jabiri, Takwīn al-ʻaql al-ʻArabī (Beirut: Markaz Dirāsāt al-Waḥdah al- „Arabīyah,
2014).
11
Muhammad ʻĀbid Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyah li Nudzum al- Ma’rifah fi
al-Tsaqafah al-‘Arabiyah (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991).
C. Konsep Pembaruan Pemikiran Islam

Dalam hal ini, al-Jabiri membagi akal menjadi dua bagian. Yang pertama adalah Aql
al-Mukawwin, yaitu akal murni yang memisahkan manusia dari binatang. Semua orang
memiliki perasaan ini. Yang kedua adalah 'Aql al-Mukawwan, yaitu pemikiran budaya,
artinya akal manusia dibentuk oleh budaya masyarakat tertentu di mana orang itu hidup
(Aksin Wijaya, tth: 71). Yang kedua adalah apa yang dimaksud al-Jabiri dengan "kecerdasan
Arab". Setelah itu, al-Jabiri mengkaji titik tolak ruh Arab. Seperti diketahui, ada tiga titik
tolak yang biasa digunakan untuk awal historiografi Arab, yaitu periode Jahiliyah, periode
Islam, dan kebangkitan. Al-Jabiri sendiri memilih jalan lain dan memulai "masa kodifikasi"
("Asr al-tadwin"). Tanpa menafikan adanya era Jahiliyah dan produknya, serta pengaruh
periode awal Islam terhadap peradaban Arab.
Diyakini bahwa struktur pemikiran bangsa Arab dibakukan dan disistematisasikan pada
masa kodifikasi, sehingga dunia pemikiran yang dominan pada saat itu berpengaruh
signifikan terhadap arah pemikiran yang kemudian berkembang dan mempengaruhi persepsi
masyarakat terhadap khazanah intelektual yang berkembang dan dikembangkan sebelumnya
(Muhammad Aunul Abied Syah, 2001: 310-311).
Al-Jabiri menekankan epistemologi pemikiran Arab kontemporer sebagai cara
menghadapi modernitas. Ini menyajikan perbedaan prosedural antara pemikiran bermuatan
ideologis dan epistemologi filsafat Arab. Menurutnya, kandungan epistemologi filsafat Arab-
Islam, yakni sains dan metafisika, memiliki dunia spiritual yang berbeda dari konten
ideologisnya, karena konten kedua terkait dengan konflik sosial-politik konstruksinya saat
ini.12 Al-Jabiri sering menggunakan dua ungkapan ini dalam studinya tentang pikiran Arab.
Seorang tokoh dapat menggunakan analisis pemikiran yang tepat untuk memecahkan masalah
yang dihadapinya. Al-Jabiri menggarisbawahi bahwa yang melandasi pemikiran dalam
struktur intelek Arab adalah masalah struktural, yakni kecenderungan untuk selalu
menempatkan otoritas referensi pada model-model masa lalu. Kecenderungan ini
menyebabkan wacana keagamaan menjadi terlalu ideologis di balik selubung otentisitas
(ashalah). Namun menurutnya, pemikiran Arab tidak menyimpang dari realitas dalam
membangun model pemikiran tertentu, melainkan dari model pembacaan ulang masa lalu.
Menurut Al-Jabir, tradisi tidak dilihat sebagai sisa-sisa masa lalu atau sebagai warisan
budaya, tetapi sebagai “penyempurnaan” kesatuan dalam kerangka budaya, yang terdiri dari

12
Muḥammad ʻĀbid Al-Jabiri, Al-‘Aqlu As-Siyasi al-Arabi: Muhaddidah wa Tajalliyah (Beirut: Markaz Dirāsāt
al-Waḥdah al-„Arabīyah, 1995).
doktrin agama dan syariah, bahasa dan sastra. alasan dan cara berpikir. , dan keinginan.
Tradisi tidak dimaknai sebagai penerimaan penuh terhadap warisan klasik, sehingga
pengertian otentisitas menjadi diperebutkan. Untuk menjawab tantangan modernitas, al-Jabiri
membutuhkan pengembangan epistemologi pemikiran Arab yang kuat. Sistem demi sistem
Al-Jabir terus berjalan.

1. Bayani
Bayani adalah cara berpikir khas Arab yang secara langsung atau tidak langsung
menekankan otoritas teks (naso) dan dibenarkan oleh alasan linguistik yang diselidiki melalui
inferensi. berarti langsung memahami teks sebagai informasi yang sudah jadi dan
menerapkannya langsung tanpa berpikir secara tidak langsung memahami teks mentah, tanpa
interpretasi dan penalaran. Namun demikian, bukan berarti akal atau nalar bebas menentukan
maksud atau makna, melainkan tetap harus bersandar pada teks. Dalam bayan, nalar atau
nalar tidak mampu memberikan pengetahuan tanpa bersandar pada teks. Tujuan dari metode
Bayani adalah sisi eksoteris.
Dengan demikian sumber pengetahuan Bayani adalah teks atau teks. Oleh karena itu,
menurut al-Jabir dari epistemologi Bajan, beliau sangat menekankan pada transmisi teks dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Sebagai sumber informasi, penting apakah transmisi
teks itu penting, apakah ketentuannya benar atau tidak. Hal ini terutama ditemukan dalam
Hadits Tadwin karena para ulama sangat ketat dalam memilih teks yang dapat diterima.
Misalnya, syarat teks hadits yang diterima oleh Bukari adalah harus ada informasi positif
tentang para perawi, yaitu bertemu langsung dan muridnya belajar langsung dari gurunya.
Ada juga beberapa kriteria cerita yang diterima, misalnya harus benar, saleh, masuk akal,
tampaknya kuat, dll.13 Berdasarkan fakta tersebut Bayani mengacu pada permasalahan
utamanya terkait dengan makna lafal dan “usul-furu”. Menurut Al-Jabir, ada tiga masalah
yang terkait dengan masalah makna pengucapan, yaitu:
Pertama, makna suatu kata berdasarkan konteksnya atau makna aslinya (Tauqifi).
Penugasan makna muncul dari perbincangan antara para ahli Mu'tazilah dan sunnah. 14 Bagi
Mu'tazilah, makna suatu kata harus ditafsirkan sesuai dengan konteks dan terminologinya,
sedangkan bagi Ahl Sunnah, makna suatu kata harus sesuai dengan makna kata aslinya. Oleh
karena itu, menurut ulama sunnah, kata-kata teks harus dipertahankan aslinya, karena
perubahan suntingan teks berarti perubahan maknanya.

13
Ibid., hlm. 53.
14
Ibid., hlm. 54.
Analogi linguistik, itu diperbolehkan, tetapi hanya di sisi logis bahasa, bukan di
pengucapan atau di area pengeditan. Ini karena setiap bahasa memiliki pengertian dan
kedalamannya sendiri. Seperti kata nabiz (gandum yang dipres) dengan khamar (anggur yang
dipres). Arti kata asma' asy-syar'iyyah. Dalam pemaknaannya harus ditafsirkan menurut
budaya Arab, tidak bisa diperlakukan dengan budaya dan bahasa lain. Karena Al-Qur'an
diturunkan dalam tradisi dan bahasa Arab.15
Konsep dasar sistem Bayani ini adalah menggabungkan metode fiqh yang
dikembangkan Syafi'i dengan metode retorika al-Jahiz. Epistemologi Bayan didukung oleh
pemikiran Fiqh dan Kalam. Epistemologi Bayan bukannya tanpa kelemahan dalam
perkembangan studi Islam. Hal ini, menurut Amin Abdullah, menjadi jelas terlihat ketika
tradisi pemikiran tekstual keagamaan harus berhadapan dengan teks-teks keagamaan milik
masyarakat, budaya, bangsa, dan pemeluk agama lain.16

2. Irfani
Secara etimologi, Irfani identik dengan makrifat, artinya ilmu. Tapi itu berbeda dengan
sains. Irfani atau Makrifat mengacu pada pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman
langsung sedangkan sains mengacu pada pengetahuan yang diperoleh melalui transformasi
atau rasionalitas. Sedangkan irfani secara terminologis dapat diartikan sebagai pengungkapan
ilmu yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya, menerangi hakekatnya setelah
melakukan amalan-amalan spiritual yang dilandasi cinta. Berbeda dengan epistemologi
Bayan, Irfan lebih mementingkan sisi esoteris, dengan apa yang ada di balik teks. Dalam
kata-kata Amin Abdullah lebih mengacu pada penalaran Bayani dalam hadis Irfani. Para
ulama berbeda pendapat tentang asal usul sumber Irfan. Pertama, Irfan Islam mungkin berasal
dari sumber Persia dan Zoroastrian seperti yang dikemukakan oleh Dozy dan Thoulk.
Alasannya adalah banyak penyihir di Iran utara mempertahankan agama mereka setelah
penaklukan Islam dan banyak tokoh sufi berasal dari wilayah Khurasan. Selain itu, beberapa
pendiri aliran sufi berasal dari kelompok Zoroastrian, seperti Ma'ruf al-Kharki (w. 815 M)
dan Bayazid Busthami (w. 877 M).
Kedua, Irfani berasal dari sumber-sumber Kristen, sebagaimana dicatat oleh Kramer,
Ignaz Goldziher, Nicholson, dan Asin Palacios. Dengan kata lain, kehidupan sufi memiliki
kesamaan aspek dalam hal pengajaran, pelatihan jiwa dan kesendirian, kehidupan Yesus dan
ajarannya, serta pakaian dan kebiasaan para biarawan. berdoa

15
Ibid., hlm. 55
16
Ibid., hlm. 57
Ketiga, menurut Horten dan Hartman, Irfani dibawa dari India. Ini karena Irfan
pertama kali muncul di Khurasan dan menyebar. Sebagian besar sufi generasi pertama
bukanlah orang Arab, seperti Ibrahim ibn Adham (w. 782 M), Syaqiq al-Balkh (w. 810 M)
dan Yahya ibn Muadz (w. 871 M). Pada masa pra-Islam, Turkistan adalah pusat agama dan
budaya baik Timur maupun Barat. Mereka memberi warna pada mistisisme kuno ketika
mereka memeluk Islam. Konsep dan metode tasawuf, seperti kemurahan hati dan penggunaan
tasbih, adalah praktik asli India.
Keempat, Irfan berasal dari sumber-sumber Yunani, khususnya Neoplatonisme dan
Hermes, gabungan dari sistem Porfiri dan Proclus yang dikenal dalam filsafat Islam.
Sebenarnya Dzun al-Nun al-Misri (796-861 M), seorang tokoh tasawuf yang dikenal sebagai
filosof dan penganut ilmu Helenistik. al-Jabiri tampaknya termasuk dalam kelompok itu.
Menurutnya, Irfani mengadopsi ajaran Hermes, sedangkan adopsi teks al-Qur'an lebih karena
kecenderungan politik.
Di samping itu, tasawuf atau irfani berkaitan dengan kesadaran dan perasaan. Perasaan
dan jiwa manusia adalah satu dan sama, meski berbeda ras dan bangsa. Apapun yang
berkaitan dengan jiwa manusia, lewat latihan-latihan ruhani, bisa jadi sama, meski tanpa ada
kontak diantara keduanya, sehingga adanya kesamaan antara irfan dengan gnostisme asing
bukan berarti menunjukkan adanya keterpengaruhan.17 Karena itulah, pada aspek esoteris ini,
Ibn Arabi menelorkan ide wahdat al-adyân. Begitu pula yang dilihat Huston Smith, bahwa
hakekat seluruh agama ini adalah sama dan bertemu dalam aspek esoterik atau irfan, meski
pada aspek eksoterik berbeda. Inilah yang tidak dilihat oleh pengamat lain, termasuk Jabiri
dari analisanya yang menggunakan pendekatan antropologi.
Dengan demikian, irfani sesungguhnya berasal dari sumber Islam sendiri, tetapi dalam
perkembangannya kemudian dipengaruhi oleh faktor luar, Yunani, Kristen, Hindu atau yang
lain. Beberapa tokoh orientalis seperti Nicholson, Louis Massignon, Spencer Trimingham,
juga menyatakan hal yang sama tentang sumber asal irfani atau sufisme Islam. 18 Pengetahuan
irfani adalah merupakan lanjutan dari bayani, pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks
bayani, tetapi pada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu,
pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks tetapi dengan hati nurani, dimana
dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepada-
Nya. Menurut Al-Jabiri, pengalaman kasyf tidak dihasilkan melalui proses penalaran
intelektual manusia yang mana manusia dituntut aktif dan kritis, tetapi dihasilakn melalui

17
Ibid., p. 76.
18
Ibid., hlm. 115.
mujahadah dan riyadah. Dari situ kemudian dikonsepsikan atau masuk dalam pikiran sebelum
dikemukan kepada orang lain. Secara metodologis pengetahuan ruhani diperoleh melalui tiga
tahapan yaitu, persiapan, penerimaan, dan pengungkapan baik secara lukisan maupun
tulisan.19
Langkah pertama: persiapan. Untuk memperoleh ilmu yang kaya, seseorang yang
sering disebut sebagai sâlik (pelancong spiritual) harus menyelesaikan tahapan kehidupan
spiritual. Angka-angka tersebut berbeda satu sama lain sesuai dengan jumlah level di seluruh
konsep. Namun, setidaknya ada tujuh langkah yang harus diikuti, semuanya mulai dari
tingkat dasar hingga tingkat tertinggi dimana hati (hati) telah menjadi netral dan jernih
sehingga siap menerima keberlimpahan informasi.
Pada tahap kedua, ketika seseorang mencapai tingkat tertentu di alam spiritual,
seseorang memperoleh banyak sekali pengetahuan langsung tentang Tuhan dengan cara yang
tercerahkan atau niskala. Mempelajari filosofi Mehdi Yazdi, seseorang pada tahap ini
mencapai realitas kesadaran diri yang begitu absolut sehingga dengan kesadaran ini ia dapat
melihat realitasnya sendiri sebagai objek yang dikenalnya.
Akan tetapi, karena realitas kesadaran dan realitas realisasi bukanlah objek eksternal,
mereka tidak berbeda melainkan keberadaan yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak
lain hanyalah kesadaran yang mengetahui dirinya sendiri. Karena secara epistemologis,
pengetahuan irfani ini tidak diperoleh melalui representasi atau data indrawi, bahkan objek
eksternal pun tidak berperan sama sekali dalam membentuk gagasan umum pengetahuan ini.
Langkah Tiga: Pengungkapan. Ini adalah tahap akhir dari proses pencapaian ilmu
Irfani, di mana pengalaman mistis diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain
melalui ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan Irfan tidak berjalan dalam urutan
persepsi dan representasi, tetapi termasuk dalam kesatuan sederhana dari kehadiran Tuhan
dalam diri seseorang dan kehadiran diri seseorang dalam Tuhan, oleh karena itu tidak dapat
dikomunikasikan, semua pengalaman itu tidak dapat diungkapkan.
Terlepas dari mana asal Irfani, menurut al-Jabir, cara inilah yang menyebabkan umat
Islam tertinggal atau gagal menjawab persoalan-persoalan yang ada khususnya pada
masyarakat Muslim dan umat manusia lainnya. Agar umat Islam tidak tergiur dengan metode
ini atau jika memungkinkan terhadap kondisi masyarakat modern saat ini, al-Jabiri
mengusulkan agar metode ini dipinggirkan dalam pencarian kebenaran, sehingga Islam
benar-benar menjadi satu alamin kecil. akan dari. Rahmatan dan mampu bereaksi terhadap
setiap masalah yang ada disekitarnya.
19
Ibid., hlm. 135.
3. Burhani
Dalam glosarium bahasa Arab, menurut Ibnu Mansyur, kata al-Burhan berarti
argumentasi yang jelas dan tegas secara epistemologis. Selain itu, kata ini diadaptasi dalam
terminologi keilmuan Mantiq untuk menunjukkan makna dari proses inferensial yang
menentukan dengan inferensi benar atau tidaknya interproposisi, yaitu cara menyambung
kalimat yang kebenarannya bersifat postulatif. Bagi Al-Jabir, metode burhani bergantung
sepenuhnya pada kemampuan intelektual seseorang, baik melalui panca indera, pengalaman
maupun daya rasional, untuk mencoba memperoleh pengetahuan tentang alam semesta,
hingga menghasilkan kebenaran yang diklaim.
Epistemologi Burhani tidak didasarkan pada teks atau pengalaman, berbeda dengan
epistemologi Bayan dan Irfan yang masih terkait dengan teks-teks suci. Burhani menjadi
sadar akan kekuatan nalar, nalar diwujudkan melalui argumentasi logis. Bahkan klaim agama
hanya dapat diterima selama sesuai dengan logika rasional. Perbandingan ketiga epistemologi
tersebut sebagaimana dijelaskan oleh al-Jabiri: Bayani menghasilkan pengetahuan melalui
non fisik atau analogi fisik dengan aslinya, Irfani menghasilkan pengetahuan melalui proses
melalui penyatuan spiritual dengan Tuhan melalui penyatuan universal, Burhani
menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika sebelumnya informasi diyakini
benar.20
Oleh karena itu, sumber ilmu burhani adalah relasi, bukan teks atau institusi. Hubungan
inilah yang memungkinkan penilaian dan keputusan melalui argumentasi logis berdasarkan
informasi yang masuk melalui indra, yang dikenal dengan tasawwur dan tasdiq. Tasawwur
adalah proses pembentukan konsep berdasarkan informasi indrawi, sedangkan Tasdiq adalah
proses pembuktian kebenaran konsep. Selanjutnya, epistemologi Burhani menggunakan
silogisme untuk memperoleh pengetahuan. Dalam bahasa Arab, silogisme diterjemahkan
qiyas, yang mengacu pada makna aslinya. Singkatnya, silogisme adalah suatu bentuk
argumen di mana dua proposisi, yang disebut premis, ditandakan bersama dengan cara ini.
Oleh karena itu keputusan harus diikuti. Namun, karena pengetahuan burhani tidak hanya
muncul dari hubungan objek eksternal, ia harus melalui beberapa tahapan sebelum
diwujudkan melalui silogisme, yaitu:
Pertama, tahap pemahaman (ma'qulat). Fase ini merupakan fase proses abstrak objek-
objek luar yang muncul dalam pikiran dan berkaitan dengan sepuluh kategori Aristoteles.
20
Ali Formen and Joce Nuttall, „Tensions Between Discourses of Development, Religion, and Human Capital in
Early Childhood Education Policy Texts: The Case of Indonesia‟, International Journal of Early Childhood, vol.
46, no. 1 (2014), hlm. 15–31.
Kedua, fase ujaran adalah fase pembentukan frase atau kalimat berdasarkan makna
yang ada. Kalimat ini harus mengandung subjek dan predikat serta hubungannya. Untuk
pemahaman yang tegas, kalimat al-lafz al-khamsah harus mempertimbangkan, yaitu spesies,
genus, diferensiasi dan aksiden.
Ketiga, fase berpikir (Tahlilat). Pada fase ini, proses pengambilan keputusan
didasarkan pada hubungan antara premis-premis yang ada, sehingga terciptalah silogisme.
Menurut Al-Jabir, dalam menarik kesimpulan melalui silogisme harus dipenuhi beberapa
syarat, yaitu pengetahuan tentang latar belakang perumusan premis, adanya konsistensi logis
antara alasan dan kesimpulan, dan kesimpulan yang ditarik harus aman dan benar.
Karena epistemologi burhani bersumber pada realitas atau al-waqi` baik realitas alam,
sosial humanitas maupun keagamaan, sehingga ilmu- ilmu yang muncul dari tradisi ini
disebut sebagai al-Ilm al-Husuli, yaitu ilmu yang dikonsep, disusun, dan disistematiskan oleh
lewat premis- premis logika atau mantiq. Premis- premis logika tersebut disusun lewat
kerjasama antar proses abstraksi dan pengamatan inderawi yang sahih atau dengan
menggunakan alat-alat yang dapat membantu dan menambah kekuatan indera seperti alat-alat
laboratorium, dan lain sebagainya. Peran akal pikiran sangat menentukan, karena fungsi akal
selalu diarahakan untuk mencari sebab-akibat.

D. Konsep Pribumisasi Islam

Abdurrahman Wahid mendefinisikan pribumisasi Islam sebagai kesadaran akan


perlunya mendorong berkembangnya akar budaya lokal. Menurutnya, Islam dan kebudayaan
memiliki independensinya masing-masing, namun keduanya memiliki wilayah yang tumpang
tindih. Ini dapat dibandingkan dengan independensi sains dan filsafat. Seseorang tidak dapat
berfilsafat tanpa sains, tetapi seseorang tidak dapat mengatakan bahwa sains adalah filsafat.
Ada tumpang tindih antara keduanya, termasuk perbedaan. Islam didasarkan pada wahyu dan
memiliki standarnya sendiri. Menjadi normatif, cenderung permanen. Meskipun budaya
adalah buatan manusia, mengapa ia berkembang mengikuti perubahan zaman dan selalu
berusaha untuk berubah? Namun, perubahan ini tidak menutup kemungkinan untuk
mewujudkan kehidupan beragama dalam bentuk budaya. Kemudian muncul tarian “Seudati”
di Aceh, cara hidup Santri, cara menghormati pendeta, dll. Persimpangan antara agama dan
budaya ini terus berlanjut dan dapat dilihat sebagai proses yang memelihara kehidupan
beragama. Pengayaan ini menyebabkan penyetelan berbagai elemen. Meski rekonsiliasi harus
dilakukan, bukan berarti agama menjadi budaya dan kehilangan identitasnya. Agama tetaplah
agama, dan agama sarat dengan nilai-nilai dan membentuk keragaman budaya di sekitarnya.
Namun, dalam perjalanan sejarahnya, berbagai upaya harmonisasi membentuknya, juga
dalam tataran budaya. Ada upaya sistematis untuk menyadarkan umat Islam Indonesia bahwa
makna Islam identik dengan Timur Tengah. Akibatnya unsur budaya lokal tercabut dan
kehilangan vitalitasnya. Laki-laki harus menjaga janggutnya, masjid harus memiliki kubah
Timur Tengah, pakaian harus menggantikan sarung, dan banyak aspek kehidupan lainnya
yang ditujukan untuk "Arabisasi". Kehidupan masyarakat juga menjadi sangat formalistik.21
Abdurrahman Wahid mempertanyakan fakta itu. Dia percaya bahwa sementara Islam
berasal dari Arab, itu tidak identik dengan budaya Arab. Oleh karena itu, pembedaan
mendasar harus dilakukan antara agama (Islam) dan budaya Arab. Dalam konteks doktrinal,
Islam mencakup seluruh materi yang terkandung dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, sedangkan
manifestasinya di dunia Arab merupakan produk budaya. Oleh karena itu, tidak perlu
mendamaikan model kehidupan Islam di negeri ini dengan model budaya Timur Tengah yang
berbeda. Adanya rekonsiliasi antara Islam sebagai agama dan budaya lokal yang
memungkinkan terjadinya perubahan kreatif yang mengarah pada keragaman budaya. Inilah
inti dari pribumisasi Islam. Semua fakta di atas telah melahirkan seruan untuk membalikkan
arah gerakan Islam di negeri ini, dari formalisme berupa “Arabisasi total” menjadi kesadaran
akan perlunya menyuburkan kembali akar budaya lokal dan kerangka sejarah seseorang.
dalam perkembangan kehidupan beragama Islam di negeri ini.
Pribumisasi tidak bisa disamakan dengan proses pembauran, apalagi pembauran
agama. Perlu dikemukakan bahwa pribumisasi Islam bukanlah “Jawa” atau sinkretis, karena
pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan lokal ketika merumuskan hukum-
hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. 22 Juga bukan upaya untuk meninggalkan
norma demi budaya, melainkan untuk menyesuaikan norma-norma itu dengan kebutuhan
budaya, menggunakan peluang yang disajikan oleh variasi pemahaman teks, sementara pada
saat yang sama ushul fiqh dan ushul fiqh menetapkan peran qa'idah fiqh. Sinkretisme, di sisi
lain, adalah upaya untuk menggabungkan teologi atau sistem kepercayaan kuno tentang
berbagai hal yang diyakini kekuatan supranatural dan eskatologis besarnya dalam Islam, yang
kemudian membentuk panteisme. Sinkretisme dalam hal ini dapat diilustrasikan oleh kuil
ribuan dewa di India, Iran, dan Timur Dekat kuno.

21
Ibid., hlm. 219.
22
Sungkono Sungkono, „Pembelajaran Tematik Dan Implementasinya Di Sekolah Dasar‟, Majalah Ilmiah
Pembelajaran, vol. 2, no. 1 (2006), hlm. 51–58.
Padahal, apapun realitanya, harus diakui bahwa secara historis, pribumi atau
indigenisme merupakan bagian integral dari sejarah Islam baik di negara asalnya maupun di
negara lain termasuk Indonesia. Contoh perjalanan ke dalam sejarah Islam ini dapat
dibandingkan dengan sungai besar yang terus mengalir dan kemudian bercabang untuk
memungkinkan sungai itu tumbuh. Bergabungnya kali baru berarti masuknya air baru yang
merubah warna air yang telah ada. Bahkan pada tahap berikutnya aliran sungai itu mungkin
terkena „limbah industri‟ yang sangat kotor. Tapi toh tetap merupakan sungai yang sama dan
air yang lama. Maksud dari perumpamaan itu adalah proses pergulatan dengan kenyataan
sejarah tidaklah merubah Islam, melainkan hanya merubah manifestasi dari kehidupan agama
Islam.

E. Konsep Hubungan Islam Dengan Negara

Hubungan antara Islam dan negara telah terjalin sejak lama. Dalam Islam muncul sejak
abad ke-7 dan seterusnya melalui gagasan Nabi Muhammad SAW yang melahirkan Piagam
Madinah, sehingga banyak tokoh atau ulama barat yang mengapresiasi kepemimpinan dan
keteladanan Nabi dalam memimpin kehidupan bernegara dan bermasyarakat. . Sebagai
seorang negarawan, dia tidak pernah mengungkit kata Islam. Bukti nyata kenegarawanan
sejati Nabi adalah Piagam Madinah, yang terdiri dari 46 pasal. Kami tidak menemukan kata-
kata Islam, bahkan jika kami melihatnya dari sudut pandang hukum, Piagam Madinah berisi
Syariah. bukan fikih
Sejarah manusia membangun masyarakat majemuk. Ini bukan hanya obsesi dialektis di
benak Nabi, tetapi terlihat dalam praktiknya ketika dia memimpin masyarakat Madinah. Di
Indonesia, hukum Islam belum bisa dilengkapi dalam sistem hukum negara kita. “Kami
mempelajari bahwa Islam tidak pernah meninggalkan bumi. Dalam konteks ini, ada tiga
pandangan tentang kedudukan agama dan negara, yaitu:
Pertama, agama tidak memiliki tempat dalam kehidupan bernegara. Agama dianggap
berbahaya bagi masyarakat seperti candu. Agama dipandang sebagai ilusi belaka yang
diciptakan oleh orang-orang beragama yang bekerja sama dengan otoritas sipil untuk
menenangkan orang agar lebih mudah dieksploitasi dan ditindas. Agama dianggap imajiner
karena berhubungan dengan hal-hal yang non-empiris dan tidak terlihat. Dari sudut pandang
ini semua yang ada hanyalah materi belaka. Ini adalah pendapat bahwa ideologi komunisme-
sosialisme yang mengikuti ideologi serupa telah menjadi kapitalisme.
Kedua, agama terpisah dari negara. Pandangan ini tidak menafikan agama, tetapi
menolak begitu saja peran agama dalam kehidupan masyarakat. Agama hanyalah masalah
pribadi antara manusia dan Tuhan, atau hanya sebagai instruksi moral atau etis bagi individu,
tetapi tidak menjadi bagian dari resep negara dan kehidupan sosial, seperti agama. B. sistem
pemerintahan, sistem ekonomi, sistem sosial, dll. Pandangan ini disebut sekularisme dan
merupakan praktik negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Eropa, serta menjadi
dasar ideologi kapitalisme yang dianut oleh negara-negara lain yang mengikutinya.
Ketiga, agama tidak terpisah dari negara, karena agama mengatur seluruh aspek
kehidupan, termasuk aspek politik dan pemerintahan. Agama bukan hanya masalah pribadi
atau moralitas individu murni, tetapi pengatur semua interaksi yang dilakukan manusia dalam
kehidupannya, serta interaksi antara manusia dan Tuhan, interaksi antara manusia itu sendiri
dan manusia lain.
Keberadaan negara bahkan dipandang sebagai syarat wajib bagi pelaksanaan segala
perintah. Inilah pandangan ideologis Islam yang diterapkan sejak zaman Nabi SAW. hijrah
dan menjadi kepala Daulah Islam di Madinah. Pentingnya UUD Madinah dengan UUD
Pemerintah Indonesia adalah sebagai berikut:
Pertama, ketika kedua konstitusi itu dibentuk, ada kesamaan suasana spiritual yang
diciptakan oleh perbedaan agama dan suku. Kedua, ada kesamaan mendasar antara Konstitusi
(1945) dan Konstitusi Madinah. Pada awal UUD 1945, kata "Allah" disebutkan dua kali, dan
dalam UUD Madinah, kata "Allah" disebut 14 kali, kata "Muhammad" lima kali dan kata
"Nabi" satu kali.
Ketiga, kedua konstitusi memuat klausul tentang tauhid. Dalam Muqoddimah UUD 1945
kalimat “Dengan rahmat rahmat Allah SWT” pada kalimat berdirinya Madinah disebut Allah
Yang Maha Pengasih dan Rahim. Keempat, ada prinsip tauhid. Kelima adalah prinsip
persatuan dan kesatuan. Keenam, prinsip kesetaraan dan keadilan. Ketujuh adalah prinsip
kebebasan beragama. Kedelapan, prinsip pertahanan negara. Kesembilan adalah prinsip
pelestarian tradisional yang baik. Dan kesepuluh adalah prinsip supremasi syariah.
Mengenai perbedaan antara konsep rule of law dan rule of law terhadap konstitusi
Madinah, kedudukan manusia dalam kedua konsep tersebut ditempatkan pada pusat
konstitusi Madinah, yang memberikan tujuan kepada rakyat untuk membangun sebuah
masyarakat. berdasarkan konstruksi konstitusi Madinah.23

23
Mohammad Abed Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab; Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana
Intereligius, hlm. 23.
Dalam Islam, posisi agama dan negara dijelaskan oleh prinsip-prinsip Piagam Madinah
sebagai aturan hukum, yaitu: Prinsip Umat, Prinsip Persatuan dan Persaudaraan, Prinsip
Kesetaraan, Prinsip Kebebasan, Prinsip Hubungan Antaragama, Prinsip Pembelaan, Prinsip
Tetangga, Prinsip Gotong Royong, Pembelaan yang Lemah dan Teraniaya, Prinsip Damai,
Prinsip Kebijaksanaan, Prinsip Keadilan, Prinsip Penegakan Hukum, Prinsip Kepemimpinan,
Prinsip Ketakwaan, Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar.

F. Islam Dan Pluaritas Pemikiran

Pluralisme adalah sistem nilai atau kepercayaan yang mengakui keragaman suatu
bangsa. Kebhinekaan atau kemajemukan bangsa harus senantiasa dipandang secara positif
dan optimis sebagai realitas sejati seluruh anggota masyarakat dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Inti dari makna pluralisme dipahami tidak hanya pada pengakuan atas
kebhinekaan suatu bangsa, tetapi juga memiliki implikasi politik, sosial dan ekonomi.

Islam memandang pluralisme sebagai sesuatu yang wajar (sunatulah) dalam kerangka
kehidupan manusia. Al-Qur'an sebagai kitab Muthahhar dan pandangan hidup (di Puri Huda)
menganggap pluralisme sangat diperlukan bagi manusia untuk menjadi khalifah di muka
bumi. Inilah yang difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur'an:
“Kepada setiap bangsamu Kami berikan peraturan dan jalan yang jelas. Jika Allah SWT
menghendaki, Dia akan membuat Anda satu bangsa, tetapi Allah ingin menguji apa yang Dia
berikan kepada Anda, jadi berlombalah untuk berbuat baik. Hanya Allah.” Jika Anda ingin
kembali, maka dia akan mengungkapkan kepada Anda apa yang Anda tolak. (Q.S. Al-
Maa'idah:48).
Jelas dari ayat di atas bahwa Islam dan kitab sucinya, yakni Al-Qur'an, pada tataran
teologis, ideologis, bahkan sosiologis, menganut pluralisme sebagai eksistensi yang alamiah
dan mutlak. Oleh karena itu, pluralisme konsep Islam dapat dipahami sebagai nilai-nilai yang
menjadi inti kehidupan manusia sebagai khalifah dan hadir dalam dimensi teologis agama,
tetapi juga hadir dalam dimensi sosial lainnya dengan segala keunikan dan kompleksitasnya.
konsekuensi. secara sadar diterima sebagai hadiah. Fenomena pluralisme agama telah
menjadi fakta sosial yang harus dihadapi masyarakat modern. Gagasan awal munculnya
pluralisme agama adalah keberagaman, yang nantinya akan menimbulkan perbedaan cara
pandang bagi penganutnya.
Secara paradigma, pluralisme adalah suatu sistem yang memungkinkan semua
kepentingan masyarakat yang lebih besar bebas bersaing memperebutkan pengaruh dalam
proses politik, sehingga mencegah munculnya dominasi kelompok tertentu atas kelompok
lain. Karena konsep pluralisme bertujuan untuk mencegah masyarakat dari tindakan
dominasi, kelompok elit kepemimpinan antaragama harus memiliki keahlian untuk
bernegosiasi dengan struktur negara untuk terlibat dalam setiap rencana pengesahan undang-
undang yang berkaitan dengan masa depan kehidupan setiap orang. masyarakat, khususnya
kehidupan beragama. Namun dalam praktiknya, dalam konteks Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dalam perspektif kerukunan antarumat beragama, pluralisme tidak hanya berarti
penghilangan keunggulan, tetapi juga merupakan cara untuk memperkokoh kekuatan dan
solidaritas masing-masing bangsa. Bagian dari bangsa serta keutuhan setiap jengkal tanah air,
yang sangat penting. Daerah ini terbentang dari Sabang sampai Merauke.

Kesimpulan

Muhammad Abid al-Jabiri adalah salah satu pemikir Arab kontemporer yang proyek
pemikirannya disegani baik di Timur maupun Barat. Proyek Rekonstruksi Pemikiran Arab
Al-Jabir Melalui Tetralogi "Takwîn al-'Aql al-Arabi" (1984), "Bunyah al-'Aql al-'Arabi"
(1986), "al-'Aql al-Siyâsi al- "'Arabi" (1990) dan "al-'Aql al-Akhlâqi al-'Arabi: Dirâsah
Tahlîliyyah Naqdiyyah li Nudhum al-Qiyam fi Tsaqâfah al-'Arabiyyah". Kajian al-Jabir
tentang proyek Al-Qur'an dibahas dalam kitab al-Makhal ila al-Qurân al-Karîm dan Fahm al-
Qurân al-Hakîm: at-Tafsîr al-Wâdhih hasba Tartîb an-Nuzūl”. Di kalangan cendekiawan
Muslim lainnya, gagasan al-Jabir mendapatkan keuntungan dan kerugian dalam wacana
pemikiran Islam kontemporer.
Gagasan Muhammad Abid al-Jabir tentang Reformasi Islam, yang disajikan dalam
Critique of Arab Reason, patut mendapat pengakuan. Pemetaannya tentang perkembangan
epistemologis dan ideologis dunia Islam Arab memberikan warna baru dan karakteristik
tersendiri. Menggunakan pendekatan filosofis yang menginformasikan latar belakang
pendidikannya, al-Jabiri menawarkan solusi untuk memecahkan lebih dari sepuluh abad
stagnasi di dunia Arab-Islam.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, trilogi epistemologi yang ditawarkan oleh al-
Jabir dijawab oleh para pemikir muslim lainnya. Hal ini terlihat dari reaksi positif dan
negatif sebagian pemikir muslim, khususnya di Indonesia, terhadap gagasan al-Jabir. Namun
pada dasarnya, ketiga metode ini sudah ada dan telah diadopsi dan dikembangkan lebih lanjut
oleh para peneliti sebelumnya. Dengan kata lain, upaya al-Jabrir merupakan upaya
mensistematisasikan berbagai metode pemikiran Islam yang ada. Dengan kata lain, ketiga
epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani merupakan metode memperoleh pengetahuan
(kebenaran) dengan caranya masing-masing. Namun Al-Jabiri menyatakan bahwa ketiga teori
ilmu tersebut menunjukkan bahwa epistemologi Irfan menyebabkan perkembangan ilmu
Islam terhambat atau terhenti karena metode ini beranggapan bahwa semua perkembangan
dan proses perolehan ilmu didasarkan pada ajaran Tuhan. pemberian secara langsung atau
melalui iluminasi (cahaya), yang kemudian menimbulkan efek atau setidaknya menimbulkan
berbagai konflik baru. Hal ini terjadi karena proses perolehan ilmu Irfani sangat tidak rasional
sehingga membatasi fungsi akal.

Islam pribumi selalu diperlukan bukti bahwa Islam itu dinamis, universal, dan cocok
untuk semua orang, di mana saja. Apapun yang terjadi pada kehidupan ini, Islam tetap
menuntut umatnya perlakukan secara aktif. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
membahas pribumisasi Islam: pengertian, makna, dan tujuan masyarakat adat, dan apa yang
dimaksud dengan masyarakat adat. Hal ini penting karena pribumisasi tidak mengubah Islam
menjadi budaya, juga bukan merupakan Jawa, atau bahkan sinkretisme.

DAFTAR PUSTAKA

Assyaukanie, Lutfi, “Tipologi Dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer,” artikel diakses
pada tanggal 22 September

2007 dari http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Arab2.html

Badudu, J.S., 2003, Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia (Jakarta:
Kompas Media Nusantara).

Husaini, Adian dan Nirwan Syafrin, “Hermeneutika Pemikir Kontemporer: Kasus Nasr
Hamid Abu Zaid Dan Mohammad Abid al-Jabiri,” artikel diakses tanggal 22 September 2007
dari
http://pondokshabran.org/index.php?option=com_content&tas
k=view&id=32&Itemid=1

Harmaneh, Walid, 2003, “Kata Pengantar,” dalam Mohammed


‘Abed al-Jabiri, Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam,
Alih bahasa: Moch. Nur Ichwan (Yogyakarta: Islamika).

John Cooper, dkk, ed., 2002, Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad
Khan Hingga Nasr Hamid Abu Zayd (Jakarta: Erlangga) Jabiri, Mohammed ‘Abed al-, 2003,
Kritik Kontemporer Atas Filsafat Arab-Islam, Alih bahasa: Moch. Nur Ichwan
(Yogyakarta: Islamika).

Muhammad Aunul Abied Syah, dkk, ed.,2001, Mosaik Pemikiran


Islam Timur Engah (Bandung: Mizan)
Misrawi, Zuhairi, “Muhammad Abied Al-Jabiri: Pentingnya
Aktualisasi Tradisi Sebagai Bentuk Kodifikasi Baru,” artikel diakses tanggal 22 September
2007 dari http://www.islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=148

Syafrin, Nirwan, “Kritik Terhadap Kritik Akal Islam Al-Jabiri,” Islamiya, Thn I No. 2 (Juni-
Agustus 2004)

Susanto, Happy, “Geliat Baru Pemikiran Islam Kontemporer,” artikel diakses tanggal 22
September 2007 dari http://www.geocities.com/jurnal_iiitindonesia/pemikiran_isla
m_kontemporer.htm
Shihab, M. Quraish, 2005 Logika Agama; Batas-batas Akal Dan Kedudukan Wahyu Dalam
Islam (Jakarta: Lentera Hati).

Wijaya, Aksin, 2004, Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafsir Gender
(Yogyakarta: Safiria Insania Press).

Zulkarnain, “Pemikiran Kontemporer Muhammad Abid Al-Jabiri Tentang Turats Dan


Hubungan Arab Dan Barat,” artikel diakses tanggal 22 September 2007 dari
http://www.litagama.org/Jurnal/ Edisi6/aljabiri.htm

Anda mungkin juga menyukai