Anda di halaman 1dari 14

MUHAMMAD ABID AL-JABIRI DAN NALAR

ARAB

DISUSUN OLEH

NORMAWATI
NIM. 22 021 013

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TERNATE
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Khazanah pemikiran Islam dari masa ke masa terus mengalami perubahan sesuai
dengan perubahan ruang, dan tempat dan waktu. Tentunya hal ini disebabkan oleh mata
rantai tesis, anti tesis, sisntesis kemudian menjadi tesis yang terus berkesinambungan
tanpa henti selama kehidupan manusia masih berlangsung.
Banyak wilayah yang terdampar di hamparan bumi, baik itu yang berada di sektor
barat, utara, timur, dan lain sebagai, tentunya perbedaan sektor tersebut memiliki khazanah
tersendiri yang sangat menarik perhatian bagi kalangan akademisi yang berkecimpung
dalam ranah kajian pemikiran dalam Islam.1
Modernisasi yang sedang berjalan di Eropa, secara tidak langsung memberikan
dampak hingga ke dunia Arab. Diawali dengan invasi Napoleon pada tahun 1798 ke
Mesir, membuat masyarakat Mesir “sadar” akan kemajuan yang dialami Eropa dan
ketertinggalan mereka. Walaupun banyak yang menganggap kemajuan modernisasi Eropa
merupakan ancaman terhadap agama, tetapi hal tersebut tetap membuat beberapa kalangan
“resah “ dan bangkit untuk mengejarnya.
Upaya mengejar ketertinggalan masyarakat Arab terbentur oleh tradisi dan budaya
mereka, yang dalam hal ini didominasi oleh Islam. Sebagai masyarakat yang pernah
meraih golden age pada masa pemerintahan Islam, mereka sulit untuk melupakan tradisi
dan budaya tersebut apalagi meninggalkannya.Sehingga upaya tadi melahirkan beberapa
aliran dan corak pemikiran yang menawarkan solusi.
Salah satu kajian tersebut dapat dipahami melalui tentang perkembangan budaya di
suatu daerah yang mampu menentukan berkualitas atau tidaknya perkembangan ilmu
pengetahuan di suatu daerah tersebut. Argumentasi tersebut secara implisit ingin
menjelaskan bahwa nilai-nilai kebudayaan suatu daerah sangat berperan penting dalam
menciptakan kualitas ilmu pengetahuan yang akan diaplikasikan oleh masyarakatnya, dan
tentunya keterpengaruhan tersebut dapat membentuk kepribadian masyarakatnya.
Berdasarkan pemaparan di atas, kajian tentang penulusuran kebudayaan yang
berujung dengan espek-aspek ilmu pengetahuan yang mengkristal dalam ajaran
keagamaan yang diinterpretasikan oleh Muhammad Abid al-Jabiri sangat penting untuk
dibahas dan

1
Wakhid Nur Efendi, Pemikiran Islam: dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd,
(Jakarta: Erlangga, 2002), h. 78
1
ditelusuri. Kajian tentang Nalar Arab ini akan mencoba untuk membahas tentang seperti
apakah pola pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri dan apa-apa saja yang mempengaruhi
konsep berfikirnya.
Dengan demikian penulisan makalah ini akan berusaha menemukan pola pemikiran
Muhammad Abid al-Jabiri dan faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya
pemikirannya. Sehingga temuan yang akan ditemukan nantinya akan digunakan sebagai
pisau analisis terhadap proses konteksutualisasi wacana studi pemikiran Islam dewasa ini.
B. Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah;
1. Bagaimana biografi Muhammad Abid al-Jabiri ?
2. Bagaimana pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri tentang Nalar Arab ?

2
PEMBAHASAN

A. Biografi Muhammad Abid al-Jabiri

Muhammad Abid al-Jabiri adalah seorang intelektual muslim sangat kreatif

dalam melontarkan kritik-kritiknya dalam membangun kesadaran umat muslim pada

masanya. Muhammad Abid al-Jabiri dilahirkan di kota Feji (Fekik)-Maroko pada tahun

1936 M. Gelar doktornya diraih di Universitas Muhammad V Rabat-Maroko, kemudian

menjadi dosen filsafat dan pemikiran Islam di Fakutas Sastra pada kampus yang sama

(Universtas Muhammad V Rabat).2

Gagasan yang dilontarnya sangat berpengaruh terhadap perkembangan studi

tentang rekontruksi metodologi para sejarawan pada masa itu. Kemahirannya dalam

menguasai konsep epistemologi membuatnya semakin mengguncang pandangan

keilmuan di dunia. Sejak awal abad ke 20-an, Muhammad Abid al-Jabiri mencoba

serius kajiannya dengan secara rutin menerbitkan artikel-artikelnya di berbagai media

yang berkenaan dengan wacana-wacana sosiokultural dan keagamaan yang sering

diperbincangkan. Muhammad Abid al-Jabiri sering disejajarkan dengan tokoh-tokoh

pembaharuan dalam Islam seperti Fatima Mernisi (Maroko), Hasan Hanafi, Nasr

Hamid Abu Zayd (Mesir), Arkoun (Aljazair), Anna’im (Sudan), Ziaul Haq (Pakisten)

dll.

Muhammad Abid al-Jabiri sebagaimana Hasan Hanafi, dikenal sangat produktif

menghasilkan karya kritisinya, baik dalam bentuk makalah, artikel hingga buku yang

utuh dan serius. Produktifvitasnya sama sekali tidak pernah mengendurkan kualitas dan

ketajaman karya-karyanya. Abid al-Jabiri sangat terkenal di kalangan akademisi yang

fokus mempelajari filsafat ketika Abid al-Jabiri meluncurkan buku Takwīn al- Aql al-

‘Arabi. Buku tersebut tercipta dimulai dari edisi pertama dari karyanya yang berjudul

Nalar Arab (Naqd al-‘Aql al-‘Arabi).

3
Dari sisi lain, pola pemikiran Abid al-Jabiri cenderung dipengaruhi oleh

rekontruksi pos-strukruralism (posmodern) yang berkembang dalam filsafat Prancis.

akan tetapi kecendrungan tersebut tidak dapat dimarjinalkan bahwa Muhammad Abid

al- Jabiri juga dipengaruhi oleh karya-karya filsafat yang ditulis para filosof Islam

seperi Alkindi dan Ibnu Rusyd.

2
http//Abed Aljabiri, Takwīn al-‘Aql al’Arabī (Beirut: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al-‘Arabiyah, 1989),

Terj. Imam Khoiri, Kritik Formasi Nalar Arab (Yogyakarta: IRCisoD, 2003), h. 591. Akses tanggal 5 Oktober

2022
4
B. Pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri tentang Nalar Arab

Menelusuri pola pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri merupakan suatu pekerjaan

yang berat untuk dilakukan, selain dari kepribadiannya yang sangat fenomenal bagi

kalangan fundamentlis, metode tulisannyapun cenederung bersifat integratif dan

interkonektif dalam membahas suatu permasalahan. Artinya bahwa ketika ingin

membuka tabir pemikirannya Muhammad Abid al-Jabiri dalam menyelesaikan suatu

permasalahan, maka secara otomatis akan menemukan banyak objek yang perlu

direnungkan. Sebagai contoh, ketika Muhammad Abid al-Jabiri menulis tentang sejarah

peradaban Arab, maka dalam kajian tersebut tidak hanya permasalahan sejarah dan

kebudayaan, akan tetapi permasalahan ontologi metafisikapun akan termuat di dalam

pembahasan sejarah peradaban Arab tersebut.

Walaupun ruang lingkup pembahasan tentang pola pemikiran Muhammad Abid

al- Jabiri tersebut sangat luas, tidak tertutup kemungkinan untuk membahasnya secara

komprehensif. Rekontruksi peradaban Arab yang dikembangkan oleh Muhammad

Abed Aljabiri adalah salah satu fokus pemikirannya yang menarik untuk dicermati.

Gejala sosial pada masa Muhammad Abid al-Jabiri hidup merupakan bahan

pemicu perkembangan pemikirannya. Beberapa persoalan yang diangkat oleh

Muhammad Abid al-Jabiri dalam karyanya yang berjudul Formasi Nalar Arab adalah:

Pertama, pemikirannya tersebut ingin memberikan mekanisme dan solusi terhadap

kegalauan masyarakat Arab ketika bersentuhan dengan kebudayaan Yunani yang

cenderung mengedepankan penalaran. Hal ini diperparah ketika pada masa itu

masyarakat Arab sedang disibukkan dengan pertikaian antarsuku. Di balik itu semua

terdapat suatu kelompok elit yang paling memiliki kuasa penuh yakni kelompok

Qurays.

Kedua, ketidakberdayaan masyarakat Arab untuk melepas belenggu legalitas

5
kebudayaan nenek moyang mereka yang dapat merusak citra peradapan Arab ketika

berhadapan dengan perkembangan zaman. Justru sikap apologis kebudayaan yang

semakin berkembang, tidak memiliki makna yang positif terhadap kebudayaan yang

dipertahankan.

Ketiga, Muhammad Abid al-Jabiri berusaha untuk menyelaraskan paradigma

secara Arab dengan sejarah perkembangan renaisans di Eropa. Dalam pandangan

Muhammad Abid al-Jabiri, sejarah peradaban Islam cenderung terputus dan tidak

seimbang. Terputusnya sejarah tersebut mengakibatkan peradaban Arab menjadi

semakin tidak bermartabat seiring perubahan zaman.

6
Keempat, Muhammad Abid al-Jabiri ingin menyampaikan bahwa semua tradisi

tersebut tidak dibolehkan untuk dianggap sebagai suatu yang telah objektif dan sakral,

melainkan bahwa tradisi tersebut merupakan suatu hal yang harus direkontruksikan dan

disesuaikan dengan situasi masa lalu dan masa sekarang.

Kelima, untuk mengembangkan dan memberi pemahaman kepada umat muslim

bahwa dalam menyelesaikan permasalahan harus perangkat dari sudut pandang yang

bersifat integratif, yakni permasalahan fiqh, gramatika Arab, humanitas dan lain

sebagainya tidak dapat dipisahkan. Begitu pula sebaliknya, umat muslim jangan hanya

tenggelam dalam pemahaman fikih dan gramatikanya dengan dalih bahwa semua itu

adalah tradisi yang tidak boleh diganggu gugat walaupun nilainya mengalami

pertentangan yang sengit terhadap nilai-nilai humanitas pada masa itu. Dengan

demikian, dapat dipahami bahwa Ābid al-Jābirī ingin melakukan program yang bersar

bagi generasi umat muslim di dunia yakni, melakukan penulisan ulang tentang sejarah

peradaban Islam yang berkembang di Jazirah Arab yang cenderung tidak memiliki

keseimbangan antara penjelasan ilmu pengetahuan, keagamaan dan politik.3

Untuk menjawab atau memberiakan solusi terhadap persoalan di atas,

Muhammad Abid al-Jabiri menjelaskan bahwa umat muslim di Arab harus sadar dalam

memahami tradisi yang mereka anut. Hal ini sangat penting karena kekeliruan dalam

memaknai tradisi akan menyebabkan kejumudan di kalangan umat muslim di Arab.

Penulis beranggapan bahwa Muhammad Abid al-Jabiri sangat serius untuk melontarkan

kritiknya melalui karyanya yang berjilid-jilid tersebut. Kegelisahan Muhammad Abid

al- Jabiri dalam melihat fakta sosial yang tidak mencerdaskan generasi muslim tersebut

secara tidak langsung telah menjadi bahan pemicu utama dalam melahirkan karya-

karyanya yang mampu mempengaruhi kalangan ilmuwan pada masa itu.

Beberapa indikator yang dikembangkan oleh Muhammad Abid al-Jabiri dalam

mendeskripsikan sejarah peradaban Arab pada dasarnya meliputi: proses pembentukan


7
kultur Arab klasik, Arab pasca proses kodifikasi, dan perkembangan kreatifitas

pengetahuan Arab Islam. Ketiga indikator tersebut yang menciptakan perluasan

argumentasi- argumentasi Muhammad Abid al-Jabiri dalam merekontruksi kritik

formasi nalar Arabnya.

Proses pembentukan tentang kritik nalar Arabnya tersebut dilatarbelakangi oleh

kecintaan Muhammad Abid al-Jabiri terhadap kebudayaan Arab itu sendiri. Rasa cinta

3
Musdah Mulia, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 10

8
terhadap Arab tersebut muncul karena Muhammad Abid al-Jabiri sangat kagum dengan

proses pengembangan pembentukan karakteristik pengetahuan di Arab yang sangat

kompleks. Dalam pemahamannya, pengetahuan tentang Arab akan mengangkat wacana

tentang tradisi, agama, kekalifahan, ideologi, dogma, filsafat, fikih, filosof muslim dan

Yunani serta pemikiran-pemikirannya tentang Islam. Berdasarkan argumentasi di atas,

dapat dipastikan bahwa objek kajian tentang nalar Arab menurut Muhammad Abid al-

Jabiri tidak bersifat stagnan, melainkan lebih bersifat dinamis. Pembahasan nalar Arab

tidak dibatasi oleh teritorial, spasial dan temporal, melainkan persoalan interaksi

peradaban Yunani dengan Islam dan persoalan tokoh-tokoh filsafat Islampun turut

mewarnai kajian Muhammad Abid al-Jabiri dalam menginterpretasi program nalar

Arabnya tersebut.

Terdapat sebuah masa dalam pandangan Muhammad Abid al-Jabiri yang menjadi

sumber titik perbedaan antara Arab klasik yang cenderung berbalut dogma-dogma

dengan Arab pengembangan yang identik dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Masa transisi tersebut disebut Muhammad Abid al-Jabiri sebagai masa kodifikasi

kebudayaan Arab.4

Masa kodifikasi tersebut berlangsung mulai akhir pemerintahan Dinasti Umayyah

hingga berlangsung pada masa Dinasti Abbasiyah dan Fatimiyah. Hasil dari proses

pengkodifikasian tersebut menyebabkan bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa yang

fenomenal dengan ditandai dengan kaedah gramatikalnya (naḥw) yang tidak mengalami

perubahan yang berarti walaupun sering ditempa oleh pertikaian politik dalam sejarah

peradaban Islam.

Pemakalah mengamati bahwa pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri bersifat kritis

historis. Artinya, pola pemikirannya mencoba untuk mengangkat fakta sejarah yang

terkaburkan dan itu terjadi pada bangsa Arab dan kemudian Muhammad Abid al-Jabiri

berusaha untuk mendekontruksikan fakta sejarah tersebut. Walaupun terdapat beberapa


9
hal yang belum diselesaikan oleh Muhammad Abid al-Jabiri, namun wacana yang

diangkatnya dapat menimbulkan karya-karya baru yang terus membahas tentang kajian

bangsa Arab secara kritik historis.

Pro dan kontra dalam pemikiran memang merupakan hal yang wajar dalam

dialektika keilmuan di dunia. Berkaitan dengan pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri,

4
Mujiburrahman, Agama Negara dan Penerapan Syari’at Islam (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2011),
h. 23

1
0
tidak sedikit pula para pengkritik dan para pendukung Muhammad Abid al-Jabiri
bermunculan setelah karya fenomenalnya lahir nalar Arab. Pemikiran Muhammad Abid
al-Jabiri berangkat dari landasan epistemologi yang bersifat integratif. Hal ini terbukti
ketika proses kritik fakta sejarah bangsa Arab yang dikembangkannya berangkat dari
pendekatan bayānī, burhānī dan ‘irfānī. Melalui tiga pendekatan epistemologi ilmu
pengetahuan tersebut objek-objek yang dianalisis oleh Muhammad Abid al-Jabiri
banyak mengundang perhatian para pemikir yang berada di wilayah timur dan barat
dunia ini.

1
1
PENUTUP

Kesimpulan

Setelah mencermati pembahasan ini dari awal sampai akhir pembahasan dari
makalah ini, pemakalah menyimpulkan bahwa; unculnya pemikiran Muhammad Abid
al-Jabiri tidak lepas dari faktor lingkungan yang dihadapinya, berangkat dari proses
penelusuran dan analisis karya Nalar Arab, ditemukan bahwa corak pemikiran
Muhammad Abid al-Jabiri bersifat kritik historis yang terkandung di dalam sistem
kebudayaan bangsa Arab. Pendefinisian kurun waktu tentang bangsa Arab menurut
Muhammad Abid al-Jabiri mencakup ruang dan waktu yang sangat panjang, mulai dari
peradaban pra Islam di Mekkah hingga masa kejayaannya umat Islam (Dinasti
Abbasiyah).
Pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri terhadap wacana kritisnya tersebut
didorong oleh beberapa sebab di antaranya adalah faktor kecintaannya terhadap
khazanah perkembangan ilmu pengetahuan bangsa Arab, yang sering kali terlupakan
oleh interpretasi sejarah peradaban Islam itu sendiri. Muhammad Abid al-Jabiri
menegaskan bahwa sejarah peradaban Islam tidak benar jika disampaikan dan dipahami
berdasarkan peristiwa-peristiwa politik semata, melainkan peristiwa merekontruksi ilmu
pengetahuan yang bersifat metafisika jauh lebih dominan dari pada faktor politik.
Penting untuk dipahami bahwa Muhammad Abid al-Jabiri telah membuka cakrawala
masyarakat muslim dengan pendekatan epistemologi Islam, akan tetapi tidak semua
masyarakat yang dapat menerima hasil dari pemikiran Muhammad Abid al-Jabiri,
sehingga masih terdapat sekelompok masyarakat yang alergi terhadap konsep
pemikirannya.

1
2
DAFTAR PUSTAKA

Wakhid Nur Efendi, Pemikiran Islam: dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu
Zayd, (Jakarta: Erlangga, 2002),

http//Abed Aljabiri, Takwīn al-‘Aql al’Arabī (Beirut: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al-‘Arabiyah,
1989), Terj. Imam Khoiri, Kritik Formasi Nalar Arab (Yogyakarta: IRCisoD, 2003), h.
591. Akses tanggal 5 Oktober 2022

Mujiburrahman, Agama Negara dan Penerapan Syari’at Islam (Yogyakarta: Fajar Pustaka
Baru, 2011),

Musdah Mulia, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, (Jakarta: Paramadina, 2001)

Miska Amien, Muhammad. Epistemologi Islam. (Jakarta: UII Pres, 2006).

1
3

Anda mungkin juga menyukai