DISUSUN OLEH
NORMAWATI
NIM. 22 021 013
PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TERNATE
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim
ii
DAFTAR ISI
SAMPUL LUAR .................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 2
C. Tujuan Masalah……………………………………………………………. 3
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3
SEJARAH PERKEMBANGAN ADVOKAT …………………………………. 3
1. Bagaimana fase Kedudukan Advokat Pra Kemerdekaan Indonesia ……. 4
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam prefektif sejarah, disadari bahwa perjalanan profesi advokat di Indonesia tidak
bisa lepas dari keterkaitannya dengan perubahan sosial. Para advokat Indonesia terseret
dalam arus perubahan tersebut. Pada masa pra kemerdekaan dan saat ini setelah Indonesia
merdeka, secara individu banyak advokat terlibat dalam perjuangan kemerdekaan,
terutama perjuangan politik dan diplomasi. Kala itu, kaum intelektual dan pemimpin
politik Indonesia memang terbatas pada mereka yang berasal dari kalangan advokat,
dokter, insinyur dan pamong peraja. Mereka terdidik dalam alam romantisme liberal dan
etika berpikir Eropa Barat termasuk Belanda. Karena kedudukan yang cukup terhormat
itu, maka perannya cukup signifikan dalam menentukan sikap politik para pemimpin
Indonesia pada masanya, seperti ikut merumuskan dasar-dasar konstitusi Indonesaia.1
Dari sekilas sejarah (peran) para advokat tersebut, menunjukkan bahwa sumbangan
pemikiran para advokat berkualitas, yang menjadi pemimpin politik dan sosial sejak
1923, adalah sangat besar. Pada masa itu, advokat Indonesia pertama Mr. Besar
Martokoesoemo, membuka kantor advokat ditegal, selain pak Besar sendiri, ada Sartono,
Alisastroamidjojo, Wilopa, Muh Roem, Ko Tjang Sing, Muh Yamin, Iskaq
Tjokrohadisuryo, lukman Wiradinata, Suardi Tasrif, Ani Abbas Manoppo, Yap Thiam
Hien, dan lain-lain dan generasi yang aktif sebelum dan sesudah kemerdekaan sampai
1
Daniel S.Lev, Kata Pengantar, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi PSHK, 2001
1
1960-an dan beberapa diantaranya sampai 1980-an. 2Hanya saja, akibat ombang-ambing politik, sebagai
profesi para advokat Indonesia mengalami perubahan yang membingungkan. Kalau mereka bisa aktif
dalam politik pada zaman parlementer, dan dihormati oleh hakim dan jaksa sebagai unsur biasa dalam
sistem peradilan. Pada zaman Demokrasi Terpinpin sebaliknya, Mereka mulai dijauhkan dari lembaga
formal, diisolasi sebagai unsur swasta, dan sering diperlakukan seperti musuh oleh hakim dan jaksa. 3
Pada permulaan 1960-an korupsi peradilan mulai menonjol yang dimulai dari kantor kejaksaan, dari situ
kepengadilan dan pada akhirnya meluas pada advokat yang sulit membela kliennya kecuali ikut main
dalam sistem birokrasi peradilan yang korup. Kondisi demikian, hingga pasca lahirnya undang-undang
No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat masih belum berubah. Pada hal Pasal 5 undang-undang No. 18
Tahun 2003, ayat (1) menyatakan bahwa Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri
yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. 4 Artinya kedudukan advokat sama
dengan penegak hukum lainnya yaitu polisi, jaksa dan hakim atau yang disebut dengan catur wangsa.
Untuk itu, tulisan ini mencoba memberikan kajian dari aspek historis yuridis
perkembangan advokat di Indonesia dari masa pra kemerdekaan sampai lahirnya undang-
undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, dari berbagai literatur serta analisa ringkas
terhadap aspek-aspek yang terkait dengan obyek kajian ini.
2
Ibid
3
Ibid
4
Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
2
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
3
BAB II
PEMBAHASAN
Jika ditilik sejarahnya, fungsi advokat sebenarnya tidak lahir secara genuine dari
kultur hukum masyarakat Indonesia. Fungsi ini baru muncul sejalan dengan
ditransplantasikannya sistem hukum dan peradilan formal oleh pemerintah Hindia
Belanda. Sistem peradilan Hindia Belanda terbagi dalam empat jenis peradilan yang
berlainan. Pertama, pengadilan pemerintah untuk orang Eropa meliputi pengadilan
tingkat pertama residentiegerecht yang menjadi wewenang residen Belanda; pengadilan
banding raad van justitie di ibukota dan pengadilan tertinggi, hoogerechtshof. Kedua,
pengadilan pemerintah untuk orang bukan golongan eropa, pengadilan agama Islam, dan
pengadilan adat.5 Pengadilan pemerintah bagi orang Indonesia juga memiliki tiga
tingkatan yakni districtsgerecht, regentschapsgerecht, dan landraad. Landraad inilah
yang menjadi cikal bakal pengadilan negeri Indonesia. Pada tahun 1938, putusan
landraad dapat dibanding pada raad van justitie Sebagian besar hakim landraad adalah
orang Belanda, namun sejak 1920-an dan 1930-an beberapa orang ahli hukum Indonesia
berpendidikan hukum diangkat sebagai hakim. Pengadilan Indonesia menggunakan KUH
Pidana dengan hukum acara yang dikenal Herziene Inlandse Reglement (HIR).6
5
Khaerul H. Tanjung, Istilah Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum & Konsultan Hukum, hal.1
6
Ibid
7
Ibid
8
Ibid
4
Salah seorang tokoh yang mendorong perkembangan advokat Indonesia adalah Mr.
Besar Martokusumo. Pada saat itu tidak satupun kantor advokat yang besar kecuali kantor
Mr. Besar di Tegal dan Semarang, dan kantor advokat Mr. Iskak di Batavia. Bagi
advokat Indonesia asli memulai praktik adalah langkah yang sulit. Hal ini terjadi karena
advokat Belanda mengganggap mereka sebagai ancaman dalam persaingan.9 Sebenarnya
transplantasi sistem peradilan Barat tidak otomatis mengintrodusir fungsi advokat di
dalamnya. Sebagai bukti, pemerintah Hindia Belanda sengaja memberlakukan Herziene
Indonesisch Reglement (HIR) sebagai hukum acara bagi kalangan pribumi yang tidak
mengenal fungsi advokat, bukannya Reglement op de Strafvordering (SV) dan Reglement
op de Rechtsvordering (RV) yang memang dikhususkan buat masyarakat Eropa di Hindia
Belanda. 10
9
Ibid
10
Binziad Hadfi, Ruu Tentang Provesi Advokat dan Sejarah Pengaturan Advokat di Indonesia, hal. 2
11
Ibid
12
Ibid
5
mengalami kemandegan di pengadilan-pengadilan pribumi (Landraad). Jika bagi advokat
Eropa dibuat pengaturan lanjutan berupa Reglement op de Rechterlijk Organisatie (RO)
yang tujuannya mengintegrasikan fungsi advokat sebagai unsur penting dari administrasi
peradilan secara keseluruhan, maka orang-orang pribumi yang memberikan nasehat
hukum (lazim disebut "pokrol bambu") diatur dengan ketentuan seperti Stbl. 1927-496.
Dasar Stbl. 1927-496 adalah pemikiran negatif tentang pokrol bambu dan bertujuan
melindungi masyarakat dari penipuan yang mungkin dilakukan pokrol bambu.13
Adapun pengaturan advokat dapat ditemukan diberbagai peraturan pada masa pra
kemerdekaan adalah sebagai berikut:
a. Staatblad Tahun 1847 Nomor 23 dan Staatblad Tahun 1848 Nomor 57 tentang
Reglement op de rechtelijk organisatie en het beleid de justitie in Indonesie atau
dikenal dengan RO, pada Pasal 185 s/d 192 mengatur tentang “advocaten en
procureurs” yaitu penasehat hukum yang bergelar sarjana hukum.
c. Penetapan Raja tanggal 4 Mei 1926 Nomor 251 jo. 486 tentang Peraturan Cara
Melakukan Menjalankan Hukuman Bersyarat, pada Bab I Bagian II Pasal 3 ayat 3
ditentukan bahwa orang yang dihukum dan orang yang wajib memberikan bantuan
hukum kepadanya sebelum permulaan pemeriksaan.
d. Staatblad Tahun 1926 nomor 487 tentang Pengawasan Orang yang Memberikan
Bantuan Hukum, ditentukan bahwa pengawasan terhadap orang-orang yang
memberikan bantuan hukum atau orang yang dikuasakan untuk menunjuk lembaga
dan orang yang boleh diperintah memberi bantuan.
f. Staatblad Tahun 1941 Nomor 44 tentang Herziene Inlandsch Reglement (HIR), dalam
Pasal 83 h ayat 6 ditentukan bahwa jika seseorang dituduh bersalah melakukan
13
Ibid
6
sesuatu kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman mati, maka magistraat
hendak menanyakan kepadanya, maukah ia dibantu di pengadilan oleh seorang
penasehat hukum. Dan Pasal 254 menentukan bahwa dalam persidangan tiap-tiap
orang yang dituduh berhak dibantu oleh pembela untuk mempertahankan dirinya.
g. Staatblad Tahun 1944 Nomor 44 tentang Het Herziene Inlandsch Reglement atau RIB
(Reglemen Indonesia yang diperbaharui), menurut Pasal 123 dimungkinkan kepada
pihak yang berperkara untuk diwakili oleh orang lain.
Berbagai ketentuan hukum diatas mendasari profesi advokat pada masa pra kemerdekaan,
meski masih mengutamakan advokat Belanda. Akan tetapi berbagai pengaturan itu
sedikitnya telah mendasari perkembangan advokat Indonesia pada masa selanjutnya. 14
7
diberlakukan UU No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, yang mengintroduksi hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi
masyarakat walau dengan batasan-batasan tertentu.15 Namun yang jelas, materi
pengaturan tentang bantuan hukum yang berarti juga menyinggung fungsi advokat pada
perundang-undangan di atas, hanya dilekatkan secara simbolis, dan tidak pernah
diturunkan dalam ketentuan yang lebih operasional. Sehingga tidak keliru jika dikatakan
bahwa pada masa tersebut, tidak ada kebijakan yang pasti tentang bantuan hukum,
maupun tentang profesi advokat yang bertugas menyediakannya.
Guna mengisi kekosongan hukum saat itu, akibat tidak kunjung diperjelasnya fungsi
advokat dalam perundang-undangan di bidang peradilan sementara praktek pemberian
bantuan hukum secara empirik terus dijalankan, pemerintah mengeluarkan Peraturan
Menteri Kehakiman RI No. 1 tahun 1965 tentang Pokrol sebagai acuan awal. Pengaturan
ini kemudian diikuti oleh berbagai peraturan Mahkamah Agung dan Pengadilan-
pengadilan Tinggi di bawahnya tentang pendaftaran advokat dan pengacara. 17 Memasuki
tahun 1970, sebenarnya ada sebuah titik terang bagi kejelasan fungsi iadvokat. Lewat
pemberlakuan UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, pemerintah membuka lebih luas pintu bagi advokat untuk memasuki sistem
kekuasaan kehakiman. Selain menjamin hak setiap orang yang berperkara untuk
mendapatkan bantuan hukum, Pasal 38 UU tersebut juga mengamanatkan diaturnya
undang-undang tersendiri mengenai bantuan hukum.18
15
Binziad Khadafi, Op.Cit.,hal.4
16
Binziad Khadafi, Ibid., hal.4
17
Binziad Khadafi, Ibid.
18
Binziad Khadafi, Ibid.
8
Amanat UU itulah yang menjadi dasar dimulainya perjuangan advokat Indonesia
untuk menggolkan undang-undang khusus yang mengatur profesinya. Pada kongres
(Peradin) yang kedua tahun 1969, Peradin Jawa Tengah mulai memperkenalkan naskah
RUU Profesi Advokat. Tetapi upaya para advokat di Peradin tersebut tidak “sepenuhnya”
berhasil. Dikatakan tidak sepenuhnya berhasil karena, walau RUU Profesi Advokat yang
muatannya mengusung isu kemandirian dan kejelasan fungsi profesi tidak kunjung
diakomodasikan oleh pemerintah dan DPR, namun lewat pemberlakuan KUHAP (UU
No. 8 tahun 1981), sebagian materi bantuan hukum diatur secara cukup komprehensif. Di
dalamnya dimuat antara lain: hak advokat (penasehat hukum) untuk menghubungi
tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan; hak untuk
menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap
waktu dalam rangka pembelaan perkara; serta hak untuk mengirimkan dan menerima
surat dari tersangka setiap kali dikehendaki.19
Sayangnya, tidak begitu lama advokat menikmati dampak positif dari ketentuan
KUHAP, khususnya di lingkungan peradilan pidana, beberapa undang-undang yang
diberlakukan kemudian ternyata memberi pukulan telak bagi kemandirian advokat secara
lembaga. UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung misalnya, semakin
menguatkan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap advokat oleh Mahkamah Agung
dan pemerintah. Ditambah dengan UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan yang menundukkan organisasi-organisasi advokat yang ada saat itu ke
dalam wilayah pembinaan pemerintah, sehingga setiap saat dapat dibekukan jika dinilai
oleh penguasa telah “melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban
umum.” Akibatnya Peradin yang pernah menandai masa kejayaan advokat di Indonesia
terus dilemahkan, sampai akhirnya tenggelam sama sekali.20
9
KMA/005/SKB/VII/1987, No. M.03-PR.08.95 tahun 1987 tentang Tata Cara
Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Diri Penasehat Hukum, yang secara signifikan
mereduksi kemandirian advokat dengan mensub-ordinatkan advokat berikut
organisasinya terhadap pengadilan dan pemerintah. Malah SKB tersebut secara sepihak
dijadikan salah satu pranata hukum bagi contempt of court di Indonesia.21
a. UU Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan untuk Jawa dan Madura, dalam
Pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa peminta atau wakil dalam arti orang yang diberi
kuasa untuk itu yaitu pembela atau penasehat hukum.
d.UU Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang kemudian
diganti dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, menyatakan bahwa setiap orang yang
tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
21
Binziad Khadafi, Ibid.
10
e. UU Nomor 13 Tahun 1965 tentang Mahkamah Agung, diganti dengan UU Nomor 14
Tahun 1985, pada Pasal 54 bahwa penasehat hukum adalah mereka yang melakukan
kegiatan memberikan nasehat hukum yang berhubungan suatu proses di muka
pengadilan.
f. UU Nomor 1 Tahun 1981 tentang KUHAP, dalam Pasal 54 s/d 57 dan 69 s/d 74
mengatur hak-hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan penasehat hukum dan
tata cara penasehat hukum berhubungan dengan tersangka dan terdakwa.
h. Surat Edaran dan Surat Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Menteri
Kehakiman, dan sebagainya.
22
Khaerul H. Tanjung, Op. Cit.,hal.4
11
sejalan dengan upaya mengakomodasikan sebesar-besarnya kepentingan publik dalam
pelaksanaan peradilan.
Memang secara garis besar, perjuangan advokat Indonesia untuk menggolkan undang-
undang tentang profesi advokat dilatari oleh faktor bahwa advokat dalam prakteknya
sering mendapatkan perlakuan tidak seimbang dari unsur peradilan formal (hakim, jaksa,
polisi, panitera) saat menjalankan profesinya. Namun ternyata dalam perkembangannya,
bukan itu faktor utama. Ketidakjelasan fungsi, ketidakpastian kebijakan baik tentang
rekrutmen, pengawasan, sampai ke penindakan, belakangan malah menjadi tambang emas
bagi sebagian advokat. Sebab sekalipun SKB tahun 1987 (yang sering dijadikan simbol
intervensi pemerintah dan peradilan terhadap urusan profesi) secara formal, pada
realisasinya para hakim di pengadilan-pengadilan tidak cukup waktu (sebagian barangkali
"tidak cukup moral") untuk menegakkan ketentuan SKB tersebut. Hasilnya, advokat
dapat leluasa menjalankan praktek profesinya dengan cara-cara tidak etis, bahkan kadang
melanggar kaedah hukum, tanpa pengawasan yang berarti.23 Agaknya faktor yang paling
menentukan perjuangan mendapatkan undang-undang Advokat, adalah polarisasi di
kalangan advokat yang semakin kuat. Konflik internal di tubuh organisasi advokat
menyeruak silih berganti, bersamaan dengan terus bermainnya kepentingan pemerintah
untuk melemahkan organisasi advokat. Sehingga komunitas profesi yang kuat yang
mampu meletakkan fungsi profesi dalam kerangka sistem peradilan tidak pernah terwujud
di Indonesia. Dan akhirnya mereka mulai mencari bantuan pihak luar untuk ikut
menyelesaikan persoalannya, dalam hal ini pilihan jatuh pada negara.24
Berawal dari Kongres Peradin tahun 1969, perjuangan advokat untuk mengupayakan
undang-undang profesinya terangkat kembali ke permukaan pada Kongres Peradin tahun
1973. RUU Pokok Advokat yang dibicarakan dalam Kongres tersebut merupakan hasil
godokan Peradin-Peradin di Jawa Tengah, dengan membandingkan undang-undang
sejenis yang ada di negara-negara lain seperti India, Jepang, RRC, dan Muangthai,
termasuk juga Belanda. Namun upaya ini terhenti sejalan dengan melemahnya Peradin di
tahun-tahun berikutnya. Apalagi saat itu tidak sedikit pimpinan dan anggota Peradin yang
menolak usulan tersebut. Diwakili oleh Yap Thiam Hien, mereka percaya bahwa
23
Binzaid Khadafi, Op.Cit.,hal.4-6
24
Binzaid Khadafi, Ibid.,hal.4-6
12
keberadaan undang-undang advokat malah potensial semakin membahayakan
kemandirian advokat sendiri.25
Setelah terbentuknya Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) pada tahun 1985, upaya
mengusung RUU Advokat kembali dilakukan. Namun kala itu political will pemerintah
tidak cukup memadai untuk membawa gagasan tersebut secara resmi dalam proses
legislasi. RUU Advokat bahkan sempat beberapa kali berubah, baik nama maupun konsep
pengaturannya. Hingga akhirnya pada tahun 2000, satu klausul dalam Letter of Intent
antara pemerintah RI dengan International Monetary Fund (IMF) menyerukan perlunya
diajukan RUU tentang Profesi Advokat ke DPR-RI, agar seluruh advokat yang berpraktek
di Pengadilan disyaratkan untuk memiliki izin praktek, dan mentaati ketentuan kode etik
profesi yang seragam.26 Dalam rangka melaksanakan klausul tersebut, pemerintah
akhirnya membentuk tim perumus RUU tentang Profesi Advokat yang dipimpin oleh
HAS Natabaya (mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional) sebagai ketua dan
Adnan Buyung Nasution sebagai wakil ketua, dengan merangkul perwakilan dari
beberapa organisasi advokat yang ada, seperti Ikadin, Asosiasi Advokat Indonesia (AAI),
Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), dan Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia
(AKHI). Tim tersebut berhasil menyelesaikan tugasnya pada bulan September 2000,
dengan mengajukan RUU yang dibuat kepada pimpinan DPR RI melalui surat No.
R.19/PU/9/2000.27 Sebenarnya sampai saat ini pun belum pernah dicapai kesepakatan
bulat dan tuntas di antara para advokat mengenai perlu tidaknya profesi mereka diatur
dalam undang-undang tersendiri. Selalu terdapat dua pandangan yang saling
berseberangan. Pandangan pertama, sebagai pandangan mayoritas di kalangan advokat,
menyatakan bahwa undang-undang profesi advokat mutlak diperlukan untuk
menyetarakan status antara profesi advokat dengan unsur-unsur peradilan lainnya (seperti
polisi, jaksa, dan hakim). Tanpa status yang setara, advokat akan terus menjadi "anak
bawang" dalam proses peradilan, dan selalu dipandang sama swastanya dengan klien
yang diwakili. Akibatnya, advokat tidak dapat menjalankan perannya secara optimal
karena rentan terhadap tindak diskriminasi, intervensi, dan represi baik dari polisi, jaksa,
maupun hakim.28
25
Binzaid Khadafi, Ibid.,hal.4-6
26
Binzaid Khadafi, Ibid.,hal.4-6
27
Binzaid Khadafi, Ibid.,hal.4-6
28
Binzaid Khadafi, Ibid.,hal.4-6
13
1. Kronologi Lahirnya Undang-undang Advokat (Undang-undang No.18 Tahun
2003)
05 Februari 2002, Rapat Kerja Komisi II dengan Menteri Kehakiman dan HAM
membahas materi RUU secara umum.
23 Mei 2002, Tujuh organisasi advokat (Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI,
HKHPM) menetapkan Kode Etik dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Profesi
Advokat.
14
17 Februari 2003, Rapat Panja memutuskan untuk membentuk dan menugaskan
Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi untuk merumuskan substansi RUU Profesi
Advokat yang sebelumnya sudah disepakati Panja. Tim langsung dipimpin oleh
Ketua Komisi II DPR Agustin Teras Narang.
25 Februari 2003, Laporan Tim Sinkronisasi RUU Advokat dalam Rapat Panja
Komisi II DPR.
Menurut Ketua Mahkama Konstitusi saat itu, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie SH, dapat
disimpulkan bahwa undang-undang Advokat bermasalah, baik itu dari segi isi
maupun proses pembentukannya (hukumonline.com, 1/12/06). Meski sejauh ini
hanya satu permohonan pengujian undang-undang Advokat yang dikabulkan
Mahkamah Konstitusi. Pada 2006 silam, ada tiga permohonan pengujian undang-
undang Advokat ke Mahkamah Konstitusi, sedang sisanya di tahun 2004 dan 2003.
Satu-satunya permohonan judicial review undang-undang Advokat yang dikabulkan
Mahkamah Konstitusi pada 9 Desember 2004 adalah yang diajukan oleh Tongat dkk
yang berakhir dengan Pasal 31 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat (No. 006/PUU-II/2004). Putusan ini tergolong berat bagi profesi advokat
29
Kronologis Perjalanan UU Advokat, www.hukumonline.com.
15
karena Pasal 31 adalah satu-satunya ketentuan pidana dalam undang-undang
Advokat yang diharapkan dapat melindungi publik dari praktik advokat gadungan.30
“…akses pada keadilan adalah bagian tak terpisahkan dari ciri lain negara hukum
yaitu bahwa hukum harus transparan dan dapat diakses oleh semua orang
(accessible to all), sebagaimana diakui dalam perkembangan pemikiran
kontemporer tentang negara hukum. Jika seorang warga negara karena alasan
finansial tidak memiliki akses demikian maka adalah kewajiban negara, dan
sesungguhnya juga kewajiban para advokat untuk memfasilitasinya, bukan justru
menutupnya (vide Barry M. Hager, The Rule of Law, 2000, hal. 33).” Demikian
30
Amrie Hakim, Catatan Refleksi Atas Pengujian-pengujian UU Advokat, www.hukumonline.com
31
Amrie Hakim,Ibid.
32
Amrie Hakim,Ibid.
33
Amrie Hakim,Ibid.
16
bunyi pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara No. 006/PUU-
II/2004.34
34
Amrie Hakim,Ibid.
35
Amrie Hakim, Catatan Refleksi Atas Pengujian-pengujian UU Advokat, www.hukumonline.com
36
Didik Maryono, Kajian Singkat Terhadap Permasalahan Bantuan Hukum dan Peranan Pengacara di Indonesia
17
sangat memprihatinkan dan patut menjadi bahan perenungan yang mendalam.
Sebenarnya pada dua dasawarsa 1980 hingga 1990, justru sudah timbul berbagai
macam pergeseran di kalangan intern organisasi advokat. Fenomena yang dapat diajukan
adalah munculnya asosiasi pengacara baru sesudah era PERADIN antara lain IKADIN
Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia ( AAI), Serikat
Pengacara Indonesia (SPI) ,Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Asosiasi
Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal
(HKHPM), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI) dan Asosiasi Pengacara
Syariah Indonesia (APSI). Dalam putusan Mahkamah Konstitusi perkara No.014/PUU-
IV/2006 itu, secara tegas menyatakan PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi
Advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri yang
juga melaksanakan fungsi negara. Fungsi negara yang dimaksud oleh MK, dengan
merujuk pada putusan atas perkara No. 006/PUU-II/2004, adalah kewajiban para advokat
pada umumnya untuk memberikan akses pada keadilan bagi semua orang.
18
advokat yang dimaksud adalah anggota PERADI. Sebagian diantaranya bahkan menjadi
bidan lahirnya PERADI dan sekarang duduk di kepengurusan. PERADI mengklaim KAI
tidak sah karena bertentangan dengan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. KAI
dinilai akan merugikan dan menafikan eksistensi sekitar 19.000 advokat yang terdaftar
sebagai anggota PERADI. Soal keabsahan, PERADI menegaskan merekalah organisasi
profesi advokat yang diamanatkan UU Advokat. Pendiriannya pun sudah sesuai
mekanisme, delapan organisasi yang disebut UU Advokat bersepakat mendirikan
PERADI. 37
19
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari sekilas uraian sejarah para advokat tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu dicatat
yaitu sebagai berikut:
Pertama, pada awalnya secara perorangan para advokat pernah menjadi bagian yang sangat
penting dalam pembentukan negara ini, baik pembentukan institusi, politik hukum, maupun
etika profesi para penegak hukum;
Kedua, dalam keterbatasan represi, para advokat secara perorangan organisasi masih mampu
berperan di dalam gerakan penegakkan hak asasi manusia di Indonesia;
Ketiga, pada masa jatuhnya Orde Baru sampai sekarang ini, para advokat sebagai individu
maupun organisasi menjadi sangat dilemahkan, hingga tidak mampu menolong dirinya
sendiri untuk berperan dalam menentukan politik hukum dan reformasi hukum (termasuk
institusi hukum), penegakkan hukum dan keadilan, hak asasi manusia, serta pemberantasan
korupsi, yang menjadi agenda utama reformasi. Bahkan, ada beberapa memperlihatkan
indikasi yang jelas tentang keterlibatannya dalam praktek-praktek koruptif di badan
peradilan;
Keempat, walaupun pada mulanya kedudukan advokat dipinggirkan baik oleh pemerintah
penjajahan maupan pemerintahan Indonesia setelah merdeka, namun dalam
perkembangannya karena peranan advokat sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat
pencari keadilan maka diberbagai perundang-undangan diatur tentang kedudukan advokat,
puncaknya pengaturan advokat diatur khusus dalam undang-undang yaitu undang-undang no
18 tahun 2003 tentang advokat. Namun sayangnya pasca lahirnya undang-undang no 18
tahun 2003 tentang advokat, terjadi perpecahan di internal organisasi advokat itu sendiri yaitu
PERADI dan KAI yang masing-masing mengklaim sebagai wadah tunggal organisasi
advokat, hal itu sangat disayangkan karena advokat dianggap tidak dapat melaksanakan
amanah sebagaimana ketentuan pasal 28 undang-undang no.18 tahun 2003 tentang advokat,
dan pada akhirnya akan merugikan bagi kalangan profesi advokat itu sendiri dan juga
masyarakat pada umumnya.
20
B. SARAN
Saran kami, agar tugas makalah yang membahas tentang Sejarah Perkembangan
Advokat ini dapat diapahami dan dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh pembaca.
Sehingga pembaca dapat mengerti apa saja yang terkandung dalam peristiwa – peristiwa yang
terjadi pada sejarah Perkembangan Advokat di Indonesia baik di fase prakolonial hingga pada
fase kemedekaan.
37
Panas Menjelang Kongres Advokat Indonesia, www.hukumonline.com
21
DAFTAR PUSTAKA
Kansil, C.S.T, Latihan Ujian Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
1999
Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai
Pustaka, 1989
22