Anda di halaman 1dari 17

SEJARAH HUKUM PERDATA DAN HUKUM

DAGANG

Disusun oleh :
Muhammad Safrian Aldino
2101036055

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS MULAWARMAN
2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Makalah dengan judul “Sejarah Berlakunya Hukum Perdata dan Hukum


Dagang” ini dibuat oleh penulis untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Hukum
Bisnis. Selain itu makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memperkenalkan dan
memaparkan mengenai hukum perdata dan hokum dagang khususnya mengenai
sejarah terbentuknya hukum perdata dan hokum dagang itu sendiri kepada semua
orang yang berminat untuk mengetahui dan mempelajari mengenai hukum perdata
dan hukum dagang. Oleh karena itu, makalah ini berisi mengenai pengertian dan
sejarah terbentuknya hukum perdata dan hukun dagang

Setiap orang di dunia ini pasti tidak luput dari yang namanya kesalahan,
begitupun dengan penulis sendiri. Oleh karena itu, dalam makalah ini
kemungkinan terdapat kesalahan ataupun kekurangan yang tidak dapat
dihindarkan. Dengan demikian penulis sangat membutuhkan saran dan kritik agar
lebih baik lagi kedepannya. Kepada semua orang yang sudah membantu, penulis
sampaikan terima kasih.

Waalaikumussalam Warohmatullahi Wabarokatuh

Penyusun,

Samarinda, 9 Maret 2022

i
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

KATA PENGANTAR ........………………………………………………....….i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………….......ii

BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………...…….1

1.1. Latar Belakang ...……………………………………...


………………..1
1.2. Rumusah Masalah…………………………………………………...…2
1.3. Tujuan Penulisan ....................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN............................................
…………………………...3

2.1. Sejarah Terbentuknya Hukum Perdata....................................................3


2.2. Sejarah Terbentuknya Hukum Dagang…………………………………
9
BAB 3 PENUTUP .........................
…………………………………………….12

3.1. Kesimpulan .....………………………………………………..……....12


3.2. Saran ……………………………………………………….................13
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam sejarah perkembangan manusia, jauh sebelum lahir dan berkembang


aturan yang bersifat tertulis (norma hukum) telah ada dan berkembang norma-
norma atau aturan yang tidak tertulis. Tetapi, pada akhirnya manusia tidak
merasakan kenyamanan dan ketenteraman hanya dengan adanya norma-norma
atau aturan yang bersifat tidak tertulis. Oleh karena itu, dibentuklah suatu aturan
atau norma-norma yang bersifat tertulis yang bisa disebut dengan norma hukum.
Salah satu jenis hukum yang ketentuannya mengatur tentang kehidupan
manusia yaang dikodratkan untuk selalu hidup bersama demi hidupnya itu
dinamakan hukum perdata (privat recht)1. Dalam hukum perdata ini mengatur
beberapa hal mengenai kepentingan-kepentingan perseorangan seperti apabila
terjadi perselisihan atau persengketaan di antara sesama warga masyarakat, seperti
masalah warisan, perceraian, perbatasan pekarangan dengan tetangga rumah, sewa
menyewa, perjanjian, jual beli, dan lain sebagainya.
Zaman dahulu, tatkala manusia hidup dalam alam primitif, bentuk
perdagangan yang ada adalah dagang tukar (bentuk perdagangan yang pertama).
Jika seseorang ingin memiliki sesuatu yang tidak dapat dibuatnya sendiri, maka ia
akan berusaha memperolehnya dengan cara bertukar, yakni dengan sesuatu barang
yang tidak perlu baginya. Demikianlah hanya barang dengan barang sajalah yang
dipertukarkan (pertukaran in natura) misalnya tembakau dengan padi. Pertukaran-
pertukaran semacam ini hanyalah suatu pertukaran yang terbatas sekali,
perhubungan pertukaran yang tetap, suatu pasar belum ada.
Pada makalah ini kami akan membahas tentang sejarah hukum dagang di
Indonesia. \ Sebab dengan adanya proses terjadilah percampuran pandangan-
pandangan hukum yang datang dengan pandangan-pandangan hukum yang

1
menerimanya. Hal ini terlihat dengan diadakannya kodifikasi akan hukum dagang
yang berlaku di Indonesia
1.2 Rumusan Masalah

Penulis telah menyusun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini
sebagai batasan dalam pembahasan bab ini. Masalah tersebut yaitu :
1. Bagaimana sejarah berlakunya hukum perdata di Indonesia ?
2. Bagaimana sejarah berlakunya hukum dagang di Indonesia ?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penulisan makalah
ini yaitu agar mengetahui tentang sejarah berlakunya hukum perdata dan sejarah
hukum daganng di Indonesia

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Hukum Perdata di Indonesia

Menurut Wikipedia Indonesia, hukum perdata adalah ketentuan yang


mengatur hak dan kepentingan antar individu dalam masyarakat. Sejarah
perkembangan hukum perdata di Indonesia tidak terlepas dari sejarah
perkembangan Ilmu Hukum di negara-negara Eropa lainnya, dalam arti lain
perkembangan hukum perdata di Indonesia amat dipengaruhi oleh perkembangan
hukum di negara-negara lain, terutama yang mempunyai hubungan langsung
antara satu dengan yang lainnya.
Hukum perdata awalnya berasal dari bangsa Romawi. Pada masa
pemerintahan Yulius Caesar di Eropa Barat (kurang lebih 50 SM) hukum Romawi
diberlakukan di Perancis walaupun bercampur dengan hukum asli yang sudah ada
sebelum orang Romawi menguasai Galis (Perancis). Keadaan seperti ini terus
berlangsung sampai pada masa pemerintahan Louis XV, yaitu dengan diawalinya
usaha kearah adanya kesatuan hukum yang kemudian menghasilkan suatu
kodifikasi yang diberi nama “Code Civil Des Francois” pada 21 Maret 1804 yang
kemudian pada 1807 diundangkan kembali menjadi “Code Napoleon”2. Meskipun
kodifikasi ini sangat berbau Romawi, tetapi para penyusunnya banyak juga
memasukkan kedalamnya unsur-unsur hukum asli yaitu hukum adat Perancis
Kuno (hukum Jerman) yang telah berlaku di Eropa Barat sebelum orang-orang
Romawi menguasai Perancis. Sebagai campuran ketiga di dalam isi Code Civil itu
adalah hukum gereja atau hukum Katolik yang didukung oleh gereja Roma
Katolik pada saat itu3.
Pada tahun 1811 tepatnya pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte
Perancis penah menjajah Belanda dan Code Civil pun diberlakukan pula di
Belanda. Kemudian setelah Belanda merdeka dari kekuasaan Perancis, Belanda
menginginkan pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sendiri yang
2

3
lepas dari pengaruh kekuasaan Perancis. Keinginan Belanda tersebut
direalisasikan dengan pembentukan kodifikasi hukum perdata Belanda.
Pembuatan kodifikasi tersebut selesai pada tanggal 5 Juli 1830 dan direncanakan
untuk diberlakukan pada tanggal 1 Februari 1831. Tetapi pada bulan Agustus
1830 terjadi pemberontakan di daerah bagian selatan Belanda yang memisahkan
diri dari kerajaan Belanda yang sekarang disebut dengan Kerajaan Belgia. Karena
pemisahan Belgia ini, maka berlakunya kodifikasi ditangguhkan dan baru
terlaksana pada tanggal 1 Oktober 1838.4
Meskipun B.W. Belanda itu adalah kodifikasi bentukan nasional Belanda, isi
dan bentuknya sebagian besar serupa dengan Code Civil Perancis. Menurut Prof.
Mr. J. Van Kan, B.W. adalah hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis
kedalam bahasa nasional Belanda. Dapat dikatakan bahwa hukum perdata
Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yang berinduk pada Code Civil
Perancis. Oleh karena itu, seluruh Code Civil yang memuat ketiga unsur yang
terdiri dari hukum Romawi, hukum German, dan hukum Gereja diberlakukan di
negeri Belanda.
Hal tersebut terjadi pula di Indonesia pada saat Indonesia mejadi jajahan
Belanda. Sejak 1 Januari 1848 dengan Staatsblad tahun 1847 No. 23 hukum
perdata Belanda yang sebagian besar berdasarkan pada Code Civil itu
diberlakukan juga untuk Indonesia. Meskipun demikian, hukum perdata yang
berlaku di Indonesia ini sedikit berbeda dengan hukum perdata yang berlaku di
negeri Belanda, apalagi jika dibandingkan dengan Code Civil Perancis, karena
hukum perdata di Indonesia itu hanya asas-asasnya yang banyak diambil dari
Code Civil.
Menurut Kansil (1993 : 63), tahun 1848 menjadi tahun yang amat penting
dalam sejarah hukum Indonesia. Pada tahun ini hukum privat yang berlaku bagi
golongan hukum Eropa dikodifikasi, yakni dikumpulkan dan dicantumkan dalam
beberapa kitab undang-undang berdasarkan suatu sistem tertentu. Pembuatan
kodifikasi dalam lapangan hukum perdata, dipertahankan juga asas konkordansi,
sehingga resikonya hampir semua hasil kodifikasi tahun 1848 di Indonesia adalah

4
tiruan hasil kodifikasi yang telah dilakukan di negeri Belanda pada tahun 1838,
dengan diadakan beberapa perkecualian agar dapat menyesuaikan hukum bagi
golongan hukum Eropa di Indonesia dengan keadaan istimewa. Adapun yang
dimaksud dengan asas konkordansi adalah asas penyesuaian atau asas persamaan
terhadap berlakunya sistem hukum di Indonesia yang berdasarkan pada ketentuan
Pasal 131 ayat (2) I.S. yang berbunyi “ Untuk golongan bangsa Belanda harus
dianut atau dicontoh undang-undang di negeri Belanda. Hal ini menurut Kansil
(1993: 115) berarti bahwa hukum yang berlaku bagi orang-orang Belanda di
Indonesia harus disamakan dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda. Jadi
jelasnya hukum kodifikasi di Indonesia dengan hukum kodifikasi di negeri
Belanda adalah berdasarkan asas konkordansi.
Berdasarkan asas konkordansi, kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi
contoh bagi kodifikasi hukum perdata Eropa di Indonesia. Kodifikasi ini
diumumkan tanggal 30-4-1847 Staatsblad No. 23 dan mulai berlaku 1 Mei 1848
di Indonesia.
Adapun dasar hukum berlakunya peraturan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata di Indonesia adalah Pasal 1 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945
hasil perubahan keempat, yang menyatakan bahwa segala peraturan perundang-
undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini. Dengan demikian, sepanjang belum ada
peraturan yang baru maka segala jenis dan bentuk peraturan perundang-undangan
yang ada yang merupakan peninggalan dari zaman kolonial masih dinyatakan
tetap berlaku. Hal ini termasuk keberadaan Hukum Perdata. Hanya saja dalam
pelaksanaannya disesuaikan dengan asas dan falsafah negara Pancasila, termasuk
apabila telah lahir peraturan perundang-undangan yang baru maka apa yang ada
dalam KUH Perdata tersebut dinyatakan tidak berlaku. Contohnya, masalah tanah
yang telah ada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok
Agraria, terutama yang mengenai Bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan yang mengenai hipotek yang masih
berlaku pada mulainya berlaku undang-undang ini; begitu juga masalah

5
Perkawinan yang telah ada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Perkawinan.5
Keadaan Hukum Perdata di Indonesia dari dahulu sampai dengan sekarang
tidak ada keseragaman (pluralisme). Keanekaragaman hukum ini bersumber pada
keteentuan dalam Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang membagi penduduk
Hindia Belanda berdasarkan asalnya menjadi 3 golongan yaitu:
1. Golongan Eropa, yaitu semua orang Belanda, orang yang berasal dari
Eropa, orang Jepang, orang yang hukum keluarganya berdasarkan azas-
azas yang sama dengan hukum Belanda beserta anak keturunan mereka;
2. Golongan Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing bukan Tionghoa
misalnya orang Arab, India dan Pakistan;
3. Golong Bumiputra, yaitu semua orang yang termasuk rakyat Indonesia
asli, yang tidak beralih masuk golongan lain dan mereka yang telah
membaurkan dirinya dan menyesuaikan hidupnya dengan rakyat Indonesia
asli.
Penggolongan tersebut diatur dalam pasal 163 IS (Indische Staatsregeling)
yang sampai sekarang masih tetap berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 2 Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.6 Mengenai hukum apa yang berlaku bagi
masing-masing golongan diatur dalam Pasal 131 IS yang menentukan, bahwa:
1. Pertama, bagi golongan Eropa berlaku hukum perdata dan hukum Dagang
yang berlaku di Negara Belanda atas dasar azas konkordansi.
2. Kedua, bagi golongan Timur Asing Tiongha berlaku hukum perdata yang
diatur dalam BW dan Hukum Dagang yang diatur dalam KUHD (WvK /
Wetboek van Koophandel) dengan beberapa pengecuaian dan penambahan
sebagaimana diatur dalam stablad tahun 1917 Nomor 129 jo Stb. Tahun
1925 Nomor 557.
Pengecualian dan penambahan itu meliputi : (a) Upacara Perkawinan; (b)
Pencegahan Perkawinan; (c) Kantor Pencatatan Sipil (Burgerlijk Stand);
(d) Pengangkatan anak (adopsi); (e) Peraturan tentang kongsi. Bagi

6
golongan timur asing yang bukan Tinghoa berlaku hukum perdata Eropa
sepanjang mengenai hukum harta kekayaan, sedangkan mengenai hukum
kekeluargaan dan hukum waris tunduk pada hukum asli mereka sendiri.
Hal ini diatur dalam Staatblad tahun 1924 Nomor 556 yang mulai berlaku
sejak 1 Maret 1925.
3. Ketiga, dari golongan bumi putra. Berdasarkan ketentuan Pasal 131 Ayat
(6) IS berlaku hukum perdata adat yaitu keseluruhan peraturan hukum
yang tidak tertulis tetapi hidup dalam tindakan – tindakan rakyat sehari –
hari. Dalam pasal itu hukum perdata adat masih belum seragam sesuai
dengan banyaknya lingkungan hukum adat (adat rech skiringen) di
Indonesia.7
Untuk mengurangi masalah pluralisme hukum perdata di Indonesia,
Pemerintahan Kolonial Belanda mengeluarkan serangkaian kebijakan yang
termuat dalam Pasal 131 IS. Kebijakan ini dikenal dengan nama politik hukum
pemerintah Belanda yang berbunyi seperti berikut:
1. Hukum Perdata dan dagang (begitu pula Hukum Pidana beserta Hukum
Acara Perdata dan Pidana) harus diletakkan dalam kitab-kitab undang-
undang yang dikodifikasi (asas kodifikasi).
2. Untuk golongan bangsa Eropa dianut (dicontoh) perundang-undangan
yang berlaku di Negeri Belanda (asas konkordansi).
3. Untuk golongan bangsa Indonesia Asli dan Timur asing (Tionghoa, Arab,
dan sebagainya) jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka
menghendakinya, dapat menggunakan peraturan yang berlaku bagi
golongan Eropa.
4. Orang Indonesia asli dan Timur Asing sepanjang mereka belum
ditundukkan di bawah peraturan bersama dengan bangsa Eropa,
diperbolehkan menundukkan diri (onderwepen).
5. Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-undang,
bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi
mereka, yaitu Hukum Adat.

7
Dengan demikian, jelaslah bahwa Pasal 131 IS memuat dasar politik hukum
mengenai hukum perdata, hukum pidana serta hukum acara perdata dan pidana.
Perturan perundang-undangan Eropa yang dinyatakan berlaku bagi orang-
orang Bumiputera (Indonesia) antara lain Pasal 1601-1603 (lama) BW tentang
perburuhan (Stb. 1879 No. 256), Pasal 1788-1791 BW tentang hutang-piutang
karena perjudian (Stb.1907 No. 306) dan beberapa pasal KUHD yaitu sebagian
besar Hukum Laut. (Stb. 1939 No. 570 jo No. 717).
Selanjutnya, ada beberapa peraturan yang secara khusus dibuat untuk orang-
orang Indonesia asli seperti ordonansi perkawinan bangsa Indonesia yang
beragama kristen (Stb. 1933 No. 74), ordonansi tentang Maskapai Andil Indonesia
yang disingkat dengan IMA (Stb. 1939 No. 569 jo. No.717), dan ordonansi
tentang Perkumpulan Bangsa Indonesia (Stb. 1939 No. 570 jo. No.717).
Kemudian peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan misalnya
undang-undang hak pengarang (Auteurswet tahun 1912), Peraturan umum tentang
koperasi (Stb. 1933 N0.108), Woeker Ordonansi (Stb. 1938 No. 532), dan
ordonansi tentang Pengangkutan di Udara (Stb. 1938 No. 100).8
Selain melalui kebijakan politik hukum, dikenal juga adanya penundukan diri
kepada hukum perdata Eropa yang dilakukan secara sukarela oleh orang-orang
yang bukan golongan Eropa. Penundukan Diri sebagaimana diatur dalam Stb.
1917 Nomor 12 ada empat macam, yaitu:
1. Penundukan diri pada seluruh Hukum Perdata Eropa;
2. Penundukan diri pada sebagian Hukum Perdata Eropa, yaitu hanya pada
hukum kekayaan harta benda saja, seperti yang dinyatakan berlaku bagi
golongan Timur Asing;
3. Penundukan diri mengenai suatu perbuatan hukum tertentu;
4. Penundukan diri secara diam-diam.9
Setelah bangsa Indonesia merdeka dan sampai saat ini Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang dikodifikasi tahun 1848 masih tetap dinyatakan berlaku di
Indonesia. Adapun dasar hukum berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum

8
Perdata tersebut adalah Pasal 1 Aturan peralihan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang selengkapnya berbunyi “Segala peraturan
perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

2.2 Sejarah Hukum Dagang di Indonesia

Hukum dagang timbul karena adanya kaum pedagang. Hukum dagang ialah
hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan
untuk memperoleh keuntungan. atau hukum yang mengatur hubungan hukum
antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan
perdagangan. Hukum dagang juga bisa dikatakan hukum perdata khusus bagi
kaum pedagang.
Pembagian Hukum privat (sipil) ke dalam Hukum Perdata dan Hukum
Dagang sebenarnya bukanlah pembagian yang asas, tetapi pembagian sejarah dari
Hukum Dagang. Bahwa pembagian tersebut bukan bersifat asasi, dapat kita lihat
dalam ketentuan yang tercantum dalm pasal 1 KUHD yang menyatakan: "Bahwa
peraturan-peraturan KUHS dapat juga dijalankan dalam penyelesaian soal-soal
yang disinggung dalam KUHD terkecuali dalam penyelesaian soal-soal yang
semata-mata diadaka oleh KUHD itu.” Kenyataan-kenyataan lain yang
membuktikan bahwa pembagian itu bukan pembagian asasi adalah:
1. Perjanjian jual beli yang merupakan perjanjian terpenting dalam bidang
perdagangan tidaklah ditetapkan dalam KUHD.
2. Perjanjian pertanggungan (asuransi) yang sangat penting juga bagi soal
keperdatan ditetapkan dalam KUHD.

Adapun perkembangan Hukum Dagang sebenarnya telah dimulai sejak abad


pertengahan di Eropa, kira-kira tahun 1000 sampai tahun 1500. Asal mula
perkembangan hukum ini dapat dihubungkan dengan terjadinya kota-kota Eropa
Barat. Pada zaman itu di Italia dan Perancis Selatan telah lahir kota-kota sebagai
pusat perdagangan (Genua, Florence, Vennetia, Marseille, Barcelona dan lain-
lain).

9
Hukum Romawi (Corpus Iuris Civilis) ternyata tidak dapat menyelesaikan
seluruh perkara-perkara yang timbul di bidang perdagangan. Oleh karena itulah di
kota-kota Eropa Barat disusun peraturan-peraturan hukum baru yang berdiri
sendiri disamping hukum Romawi yang berlaku. Hukum yang baru ini berlaku
bagi golongan pedagang dan disebut "Hukum Pedagang" (Koopmansrecht).
Kemudian pada abada ke-16 dan ke-17 sebagian besar kota di Perancis
mengadakan pengadilan-pengadilan istimewa khusus menyelesaikan
perkaraperkara di bidang perdagangan (pengadilan pedagang).

Hukum pedagang ini pada mulanya belum merupakan unifikasi


(berlakunya satu sistem hukum untuk seluruh daerah), karena berlakunya masih
bersifat kedaerahan. Tiaptiap daerah mempunyai hukum pedagangan sendiri-
sendiri yang berlainan satu sama lainnya. Kemudian disebabkan bertambah
eratnya hubungan perdagangan antar daerah, maka dirasakan perlu adanya kesatua
hukum diantara hukum pedagang ini. Oleh karena itu di Perancis pada abad ke 17
diadakanlah kodifikasi dalam hukum pedagang; Menteri Keuangan dari Raja
Louis XIV (1643-1715) yaitu Colbert membuat suatu peraturan "Ordonance Du
Commerce" (1673). Dan pada tahun 1681 dibuat Ordonnance de la Marine.[3]
Peraturan ini mengatur hukum pedagang ini sebagai hukum untuk golongan
tertentu yakni kaum pedagang. Ordonance Du Commerce ini pada tahun 1681
disusul degan peraturan lain yaitu "Ordonansi De La Marine" yang mengatur
hukum perdagangan laut (untuk pedagang-pedagang kota pelabuhan). Pada tahun
1807 di Perancis di samping adanya "Code Civil Des Francais" yang mengatur
Hukum Perdata Perancis, telah dibuat lagi suatu kitab undang-undang Hukum
Dagang tersendiri yakni "Code De Commerce".

Dengan demikian pada tahun 1807 di Perancis terdapat hukum dagang


yang dikodifikasikan dalam Code De Commerce yang dipisahkan dari Hukum
Perdata yang dikodifikasikan dengan Code Civil. Code De Commerce ini
membuat peraturan-peratuan hukum yang timbul dalam bidang perdagangan sejak
zaman pertengahan. Adapun yang menjadi dasar bagi penyusun Code De
Commerce (1807) itu antara lain: Ordonance de Commerce (1673) dan Ordonance

10
de La Marine (1671) tersebut. Kemudian kodifikasikodifikasi Hukum Perancis
tahun 1807 (yakni Code Civil dan Code Commerce) dinyatakan berlaku juga di
Netherland pada tahun 1838. Atas perintah Napoleon, hukum yang berlaku bagi
pedagang dibukukan dalam sebuah buku Code De Commerce (tahun 1807).
Disamping itu, disusun kitab-kitab lainnya, yakni Code Civil dan Code Penal.
Kedua buku tersebut dibawa dan berlaku di Belanda dan akhirnya dibawa ke
Indonesia. Pada tanggal 1 Januari 1809 Code De Commerce (Hukum Dagang)
berlaku di Negeri Belanda.[4] Dalam pada itu Pemerintah Netherland
menginginkan adanya hukum dagang sendiri; dalam usul KUHD Belanda dari
Tahun 1819 direncanakan sebuah KUHD yang terdiri atas tiga kitab akan tetapi di
dalamnya tidak mengakui lagi pengadilan istimewa yang menyelesaikan perkara-
perkara yang timbul dibidang perdagangan akan tetapi perkara-perkara dagang
diselesaikan di pengadilan biasa. Usul KUHD Belanda inilah yang kemudian
disahkan menjadi KUHD Belanda tahun 1838.

Akhirnya, berdasarkan asas konkordasi, maka KUHD Nederland 1838 ini


kemudian menjadi contoh bagi pembuatan KUHD Indonesia 1848. Pada awalnya
hukum dagang berinduk pada hukum perdata. Namun, seiring berjalannya waktu
hukum dagang mengkodifikasi(mengumpulkan) aturan-aturan hukumnya
sehingga terciptalah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) yang
sekarang telah berdiri sendiri atau terpisah dari Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata ( KUHPer ). Pada akhir abad ke-19, Prof. Molengraaff merencanakan
suatu Undang-Undang Kepailitan yang akan menggantikan Buku III dari KUHD
Nederland. Rancangan Molengraaff ini kemudian berhasil dijadikan Undang-
Undang Kepailitan tahun 1893 (berlaku pada 1896). Dan berdasarkan asas
Konkordansi pula, perubahan ini diadakan juga di Indonesia pada tahun 1906.
Pada tahun 1906 itulah Kitab III KUHD Indonesia diganti dengan Peraturan
Kepailitan yang berdiri sendiri (di luar KUHD); sehingga semenjak tahun 1906
KUHD Indonesia hanya terdiri atas dua Kitab saja, yakni: "Tentang Dagang
Umumnya" dan Kitab II berjudul "Tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban
yang Tertib dari Pelayaran".

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hukum perdata adalah ketentuan yang mengatur hak dan kepentingan antar


individu dalam masyarakat.
Kondisi Hukum Perdata di Indonesia masih beraneka ragam atau pluralisme.
Hal ini dikarenakan adanya kebijakan pembagian hukum oleh pemerintah Hindia
Belanda, yaitu hukum yang berlaku bagi Golongan Eropa; Hukum yang berlaku
bagi golongan Timur asing dan Hukum yang berlaku bagi Golongan pribumi.
Untuk mengatasi keanekaragaman dikeluarkan kebijakan dalam bentuk politik
hukum Belanda yang termuat dalam Pasal 131 IS dan penundukan diri baik pada
seluruh atau sebagian Hukum Perdata Eropa. Pada tahun 1848 diadakan kodifikasi
hukum Perdata di Indonesia
Hukum dagang pada awalnya berasal dari bangsa romawi kuno yang terus
berkembang didaerah Eropa Barat yaitu Italia dan Perancis Selatan, hukum
dagang dibelanda bermula dari hukum kebiasaan. Karena terjadi penjajahan oleh
bangsa perancis, maka terjadilah percampuran antara hukum kebiasaan (Hukum
Belanda Kuno) dengan hukum Code Civil. Pemerintah Netherland menginginkan
adanya hukum dagang sendiri. dalam usul KUHD Belanda dari Tahun 1819
direncanakan sebuah KUHD yang terdiri atas tiga kitab akan tetapi di dalamnya
tidak mengakui lagi pengadilan istimewa yang menyelesaikan perkara-perkara
yang timbul dibidang perdagangan akan tetapi perkara-perkara dagang
diselesaikan di pengadilan biasa. Usul KUHD Belanda inilah yang kemudian
disahkan menjadi KUHD Belanda tahun 1838. Akhirnya, berdasarkan asas
konkordasi, maka KUHD Nederland 1838 ini kemudian dijadikan contoh bagi
pembuatan KUHD Indonesia 1848. Dan berdasarkan asas Konkordansi pula,
perubahan ini diadakan juga di Indonesia pada tahun 1906. Lalu dengan asas
konkordansi hukum dagang di Indonesia di ganti dengan WvK, dan BW

12
3.2 Saran

Berdasarkan pernyatan-pernyataan di atas, penulis dapat memberi saran


diantaranya seperti diharapkan badan legislatif berupaya semaksimal mungkin
menciptakan hukum perdata dan hukum dagang nasional yang mampu diterima
oleh semua kalangan masyarakat, karena seperti yang kita ketahui bahwasanya
KUH Perdata dan KUHD Dagang (BW) yang dibuat pada awal abad 18 dan
diberlakukan di Indonesia pada abad 19 ternyata ada beberapa yang sudah
ketinggalan jaman atau dengan kata lain sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
dalam masyarakat,

13
DAFTAR PUSTAKA

 H.F.A, Vollmar. 1989. Pengantar Studi Hukum Perdata. Jakarta : C.V. Rajawali.
 Projodikoro, W. 1983. Azas-azas Hukum Perdata. Cet. IX. Bandung: Sumur
Bandung.
 Muhammad, AK. 1993. Hukum Perdata Indonesia. Cet.II. Bandung: P.T. Citra
Aditya Bakti.
 Djamali, A. 2013. Pengantar Hukum Indonesia. Cet.XIX. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
 Subekti. 1995. Pokok-pokok Hukum Perdata. cet. XXVII. Jakarta: Intermasa.
 Syahrani, R. 2006. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: P.T.
ALUMNI.
 Hasyim, Farida. 2009. Hukum Dagang. Jakarta: Sinar Grafika.

 Kansil, C.S.T. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
 Masriani, Yulies Tiena. 2004. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.

Anda mungkin juga menyukai