Anda di halaman 1dari 31

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Dasar-
dasar Hukum Perdata. Dan juga kami berterima kasih pada Ibu Prihatini Purwaningsih
selaku dosen Pengantar Hukum Indonesia yang sudah memberikan kami tugas membuat
makalah ini.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun supaya
makalah ini menjadi lebih baik.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................................ ii

Bab I Pendahuluan ............................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ............................................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 1

Bab II Pembahasan ............................................................................................................ 2

A. Pengertian Hukum Perdata ......................................................................................... 2


B. Sejarah Hukum Perdata Di Indonesia ......................................................................... 3
C. Kedudukan KUH Perdata ........................................................................................... 4
D. Sistematika Hukum Perdata ........................................................................................ 6
E. Hukum Perorangan ..................................................................................................... 8
F. Hukum Keluarga ......................................................................................................... 10
G. Hukum Benda ............................................................................................................. 19
H. Hukum Perikatan ........................................................................................................ 22
I. Hukum Pembuktian Dan Daluwarsa .......................................................................... 25

Bab III Penutup .................................................................................................................. 28

A. Simpulan ..................................................................................................................... 28
B. Saran ........................................................................................................................... 28

Daftar Pustaka ................................................................................................................... 29

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum perdata adalah salah satu macam dari dua jenis hukum yang ada di
Indonesia. Salah satu cara bagaimana masyarakat luas bisa mengetahui hukum
hukum di Indonesia adalah dengan kita membuat sebuah tulisan yang berhubungan
dengan hukum dan mensebarluaskan ke media internet yang mudah di akses oleh
masyarakat luas.
Ada beberapa jenis hukum di Indonesia. Pengertian hukum sendiri adalah
sebuah peraturan-peraturan atau kaedah yang tertulis maupun secara lisan. Namun di
Indonesia hukum yang diterapkan adalah hukum secara terlulis.
Hukum di Indonesia sangat berpengaruh terhadap masalah-masalah di negara
Indonesia sendiri, tanpa adanya hukum di Indonesia, negara Indonesia bisa menjadi
negara yang sangat tidak ada aturan nya. Oleh karena itu, hukum di Indonesia di buat
peraturan-peraturan untuk menciptakan suatu kedamaian dan untuk mencegah
adanya perselisihan yang biasa disebut dengan hukum.
B. Rumusan Masalah
a. Apa itu Hukum Perdata?
b. Bagaimana sejarah Hukum Perdata di Indonesia?
c. Bagaimana kedudukan KUH Perdata?
d. Bagaimana sistematika Hukum Perdata?
C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengenal apa itu Hukum Perdata?
b. Untuk mengetahui sejarah Hukum Perdata di Indonesia?
c. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan KUH Perdata?
d. Untuk mengetahui sistematika Hukum Perdata

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Perdata


Perkataan “hukum perdata” dalam arti yang luas meliputi semua hukum
“privat materiil’, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-
kepentingan perseorangan. Perkataan “perdata” juga lazim dipakai sebagai lawan
dari ”pidana”. Selain itu ada juga orang memakai perkataan “hukum sipil” untuk
hukum privat materiil itu, tetapi karena perkataan “sipil” itu juga lazim dipakai
sebagai lawan dari “militer”, maka lebih baik menurut Subeksi penyebutan hukum
privat materiil memakai istilah “hukum perdata” untuk segenap peraturan hukum
privat materiil.
Perkataan hukum perdata, adakalanya dipakai dalam arti yang sempit,
sebagai lawan “hukum dagang”, seperti dalam Pasal 102 UUDS 1950, yang
menitahkan pembukuan (kodifikasi) hukum di negara kita ini terhadap hukum
perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil maupun hukum pidana militer,
hukum acara perdata dan hukum acara pidana, dan susunan serta kekuasaan
pengadilan. Oleh sebab itu, sebenarnya kalau dilihat dari skematik lama yang
dimaksud hukum perdata itu terdiri dari hukum sipil dan hukum dagang; meskipun
anggapan ini kurang dapat memberikan suatu kesatuan sistem kaidah keperdataan,
karena pembagian itu hanya berdasar kepada pemabgian Undang-undang hukum
perdata Belanda sebagai akibat dari sejarah pengkodifikasiannya.
Dengan demikian yang dimaksud dengan hukum perdata adalah seperangkat
hukum yang memuat peraturan-peraturan, yang meliputi hubungan-hubungan
hukum antara orang atau badan hukum yang satu dengan orang yang lainnya di
dalam masyarakat dengan menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan.
Dimana di dalam masyarakat tiap-tiap orang mempunyai kepentingan sendiri-
sendiri, yang tidak hanya bersamaan atau berlainan saja, tetapi kadang-kadang
bertentangan satu sama lain. Maka hukum perdatalah yang mengatur agar setiap
orang dalam hubungan dan pergaulan dalam masyarakat saling menghormati hak-
hak dan kewajiban-kewajiban, sehingga terjadi keseimbangan kepentingan.

2
B. Sejarah Hukum Perdata Di Indonesia
1. Kodifikasi Hukum Perdata Belanda Tahun 1830
Sumber pokok Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) disingkat KUHS (B.W.).
KUHS sebagaimana besar adalah hukum perdata Pernacis yaitu “Code
Napoleon” tahun 1811-1838; akibat kedudukan Perancis di Belanda, berlaku
di Negeri Belanda sebagi Kitab Undang-undang Hukum Perdata resmi.
Sebagi dari Code Napoleon ini adalah “Code Civil”, yang dalam
penyusunannya mengambil karangan-karangan pengarang-pengarang besar
bangs Perancis tentang Hukum Romawi (Corpus Juris Civilis), yang pada
jaman dahulu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Juga unsur-
unsur Hukum Kanomiek (hukum agama Khatolik) dan hokum kebiasaan
setempat juga mempengaruhinya.
Peraturan-peraturan yang belum ada pada jaman Romawi, tidak
dimasukkan dalam Code Civil, tetapi dalam kitab tersendiri yaitu “Code de
Commerce”. Setelah pendudukan Perancis berakhir, oleh pemerintah
Belanda dibentuk suatu panitia yang diketuai oleh Mr. J. M. Kemper dan
bertugas membuat rencana kodifikasi hukum perdata Belanda dengan
menggunakan sebagai sumber sebagian besar “Code Napoleon” dan
sebagian kecil hukum Belanda Kuno. Meskipun penyusunan tersebut sudah
selesai sebelumnya (5 Juli 1830) tetapi hukum perdata Belanda baru
diresmikan pada 1 Oktober 1838. Pada tahun itu dikeluarkan :
1. Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata).
2. Wetboek van Koophandel (KUH Dagang).

Berdasarkan atas asas konkordansi, kodifikasi hukum perdata Belanda


menjadi contoh bagi kodifikasi hukum perdata Eropa di Indonesia, kodifikasi
ini diumumkan pada tanggal 30 April 1847 Staatsblad No. 23 dan mulai
berlaku pada 1 Mei 1848 di Indonesia.

2. Kodifikasi Hukum Perdata Indonesia Tahun 1848


Untuk kodifikasi KUH Perdata di Indonesia dibentuk sebuah
panitiayang diketahui Mr. C.. J. Scholten van Oud Harrlem. Kodifikasi yang
dihasilkan diharapkan memiliki persesuaian antara hukum dan keadaan di
Indonesia dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda. Di samping telah

3
membentuk panitia, pemerintah Belanda mengangkat pula Mr. C.C.
Hagemann sebagai ketua Mahkamah Agung di Hindia Belanda
(Hoggerechtshof) yang diberi tugas istimewa untuk turut mempersiapkan
kodifikasi di Indonesia. Mr. C.C. Hagemann tidak berhasil, sehingga pada
tahun 1836 ia ditarik kembali ke negeri Belanda. Kedudukannya sebagai
ketua MA di Indonesia diganti oleh Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem.
Pada tanggal 31 Oktober 1837 Mr. Scholten van Oud Haarlem
diangkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. van Vloten dan
Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum
berhasil. Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten
can Oud Haarem lagi, tetapi anggotanya diganti, yaitu Mr. J. Schneither dan
Mr. J. van Nes. Akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkhodifikasi KUH
Perdata Indonesia berdasarkan asas ‘konkordansi” yang sempit. Artinya,
KUH Perdata Belanda banyak menjiwai KUH Perdata Belanda menjadi
contoh dalam kodifikasi KUH Perdata Indonesia.
Panitia itu berhasil membuat rancangan peraturan tentang susnan
badan peradila di Hindia Belanda (Reglement of de R.O.), yang walaupun
sudah disahkan oleh pemerintah Belanda, mulai berlakunya ditangguhkan.
Rancangan yang disahkan itu dikirimkan kepada Gubernur Jenderal untuk
mendapat advis. Gubernur Jenderal Merkus yang menerima peraturan itu
kemudian minta advis dari J. van de Vinne Directeur’s Lands Middelen en
Domein. Kemduian, kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia diumumkan
pada 31 April 1847 melalui Staatsblad N0. 23, dan mulai berlaku pada 1
Januari 1948. Kiranya perlu dicatat bahwa dalam menghasilkan kodifikasi
KUH Perdata (BW) Indonesia ini Scholten van Oud Haarlem dan kawan-
kawannya berkonsultasi dengan J. van de Vinne. Oleh karenanya ia juga turut
berjasa dalam kodifikasi tersebut.

C. Kedudukan KUH Perdata


Setelah Indonesia menjadi negara yang merdeka sejak pernyataan Proklamasi
Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka berlakunya Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) mengalami banyak perubahan.
Perubahan yang dimaksudkan karena banyaknya pasal-pasal di dalam KUH Perdata
(B.W) dicabut oleh undang-undang yang sama atau sejenis atau dinyatakan tidak

4
berlaku karena tidak sesuai dengan alam pikiran atau kesadaran hukum
bangsa Indonesia yang modern dan religius. Dalam perihal berlakunya
B.W. setelah Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat saat ini ada
beberapa penyebab atau momen yang mengakibatkan pasal-pasal B.W. tidak
berlaku, yakni antara lain :
1. Gagasan Menteri Kehakiman R.I. Dr. Sahardjo, yang berpendapat bahwa, B.W.
dianggap tidak lagi sebagai undang-undang, melainkan suatu kelompok hukum
yang tidak tertulis yang hanya dipakai sebagai pedoman oleh semua warga
negara Indonesia.
2. Prof. Mahadi, SH berpendapat bahwa, B.W. sebagai kodifikasi sudah tidak
berlaku lagi; yang masih berlaku ialah aturan-aturannya yang tidak bertentangan
dengan semangat serta suasana kemerdekaan; diserahkan kepada yurisprudensi
dan doktrin untuk menetapkan aturan mana yang masih berlaku dan yang tidak
berlaku; tidak setuju dilakukan tindakan legislatif tehadap B.W. untuk dicabut,
dan menjadikannya hukum kebiasaan, karena masih ada aturan-aturan dalam
B.W. yang di kemudian hari menjadi hukum nasional yang tertulis dalam bentuk
undang-undang.
3. Prof. Wiryono Prodjodikoro, sependapat dengan gagasan
Menteri Kehakiman R.I.tersebut, dengan mengusulkan pencabutan B.W. tidak
dengan undang-undang melainkan dengan suatu pernyataan dari Pemerintah
atau dari Mahkamah Agung.
4. Berdasarkan gagasan para ahli hukum tersebut, maka pada tanggal 5 Sepember
1963, Mahkamah Agung R.I. mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung
No. 3 Tahun 1963, selanjutnya disingkat SEMA. SEMA tersebut mencabut
beberapa pasal B.W. yang dianggap tidak sesuai dengan zaman
kemerdekaan Indonesia. Pasal-pasal B.W. yang dicabut oleh SEMA No. 3 Tahun
1963 terdiri dari 8 (delapan) pasal antara lain pasal 108 dan 110, pasal 284 (ayat
3), pasal 1238, pasal 1460, pasal 1579, pasal 1603 x ayat (1) dan ayat (2), dan
pasal 1682 B.W.
5. Diberlakukannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dengan dikeluarkannya UUPA pada tanggal 24
September 1960, maka Buku II B.W. yang mengatur tentang benda tidak
bergerak atau megenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dinyatakan tidak berlaku, kecuali hipotik masih tetap berlaku.

5
6. Diberlakukannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1961 tentang Penggantian
Nama. Berdasarkan Undang-undang tersebut maka Buku I B.W. yang mengatur
tentang nama dinyatakan tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam Undang-
Undang No. 4 Tahun 1961.
7. Diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dengan diberlakukannya Undang-undang Perkawinan ini, maka Buku I B.W.
yang mengatur perkawinan dan pendewasaan (handlichting) dinyatakan dicabut
atau tidak berlaku. Pasal-pasal yang dicabut dengan berlakunya Undang-undang
Perkawinan adalah pasal 26s/d. pasal 418a (tentang perkawinan dan perceraian),
pasal 419 s/d. pasal 432 tentang pendewasaan (handlichting).
8. Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah,
maka pasal-pasal hipotik dalam Buku II B.W. yang obyeknya tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan dicabut atau tidak berlaku.
Dengan demikian obyek hipotik, sekarang tinggal benda-benda tetap yang bukan
tanah (misal: kapal laut, pesawat udara, yang isi muatannya 20m³ atau lebih).

D. Sistematika Hukum Perdata


a. Sistematika Hukum Perdata Dalam KUH Perdata (BW)
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) Indonesia terdiri dari empat buku
sebagai berikut :
a) Buku I, yang berjudul “perihal orang” (van persoonen), memuat hukum
perorangan dan hukum kekeluargaan.
b) Buku II, yang berjudul “perihal benda” (van zaken), memuat hukum benda
dan hukum waris.
c) Buku III, yang berjudul “perihal perikatan” (van verbintennisen), memuat
hukum harta kekayaan yang berhubungand engan hak dan kewajiban yang
berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
d) Buku IV, yang berjudul “perihal pembuktian dan kadaluwarsa” (van bewijs
en verjaring), memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat
awaktu terhadap hubungan-hubungan hukum.

Hukum kekeluargaan dalam bagian KUH Perdata (BW) Indonesia dimasukkan


ke dalam bagian hukum tentang orang (Buku I), karena hubungan-hubungan
hukum dalam keluarga memang berpengaruh terhadap kecakapan sesorang

6
untuk memiliki serta menggunakan hak-haknya sebagai subjek hukum yang
diatur dalam Buku I. Hukum waris dimasukkan dalam bagian tentang hukum
benda karena hukum waris dianggap mengatur cara-cara untuk memperoleh hak-
hak atas benda, misalnya benda-benda yang merupakan harta warisan yang
ditinggalkan oleh seseorang. Penempatan buku IV tentang pembuktian dan lewat
waktu (kadaluwarsa) dalam KUH Perdata tidak tepat karena KUH Perdata (BW)
pada dasarnya mengatur hukum perdata material, sedangkan pembuktian dan
kedaluwarsa merupakan bagian dari hukum acara perdata. Di sinilah letak
kelamahan sistematika hukum perdata dalam KUH Perdata (BW) Indonesia.

b. Sistematika Hukum Perdata Menurut Ilmu Pengetahuan


Menurut ilmu pengetahuan, hukum perdata sekarang ini lazim dibagi dalam
empat bagian, yaitu:
1. Hukum tentang orang atau hukum perorangan (persoonenrecht) yang antara
lain mengatur tentang:
a) Orang sebagai objek hukum.
b) Orang dalam kecakapannya untuk memiliki hak-hak dan bertindak
sendiri untuk melaksanakan hak-haknya itu.
2. Hukum kekeluargaan atau hukum keluarga (familierecht) yang memuat
antara lain:
a) Perkawinan, perceraian beserta hubungan hukum yang timbul di
dalamnya seperti hukum harta kekayaan antara suami dan istri.
b) Hubungan hukum antara orangua dan anak-anaknya atau kekuasaan
orangtua (ouderlijke macht)
c) Perwalian (voogdij)
d) Pengampuan (curatele)
3. Hukum kekayaan atau hukum harta kekayaan (vermogensrecht) yang
mengatur tentang hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan
uang. Hukum harta kekayaan ini meliputi:
a) Hak mutlak ialah hak-hak yang berlaku terhadap setiap orang.
b) Hak perorangan adalah hak-hak yang hanya berlaku terhadap seorang
atau suatu pihak tertentu saja.

7
4. Hukum waris (erfrecht) mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang
jika ia meninggal dunia (mengatur akibat-akibat hukum dari hubungan
keluarga terhadap harta warisan yang ditinggalkan seseorang).

E. Hukum Perorangan
Hukum tentang orang mengatur tentang orang (nama orang, tempat tinggal,
kecakapan hukum) dan badan hukum sebagai subjek hukum. Berlakunya seorang
manusia sebagai pembawa hak (subjek hukum ialah mulai saat ia dilahirkan dan
berakhirnya pada saat ia meninggal dunia). Hukum perdata mengatur seluruh segi
kehidupan manusia sejak ia belum lahir dan masih dalam kandungan ibunya sampai
meninggal dunia.
Menurut Pasal 2 ayat (1) KUH Perdata (BW) bahwa “Anak yang ada dalam
kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, apabila
kepentingan si anak menghendakinya”. Dengan demikian, seorang anak yang masih
dalam kandungan ibunya sudah dijamin untuk mendapat warisan jika ayahnya
meninggal dunia.
Selanjutnya Pasal 2 ayat (2) BW menyatakan, bahwa apabila ia dilahirkan
mari maka ia dianggap tidak pernah ada. Dari Pasal 2 BW dapat diketahui bahwa
manusia sejak dalam kandungan haknya telah diakui dan dilindungi oleh hukum.
Dengan demikian, menurut hukum perdata nasional bahwa setiap manusia diakui
sebagai manusia pribadi. Artinya diakui sebagai “orang” atau persoon. Oleh karena
itu, setiap “orang” diakui sebagai subjek hukum (rechtspersoonlijkheid) yaitu
pembawa hak dan kewajiban.
Meskipun menurtu hukum, setiap orang pembawa atauy mempunyai hak dan
kewajiban, tetapi di dalam hukum tidak semua orang dapat bertindak sendiri dalam
melaksanakan hak-haknya. Orang yang “tidak mampu bertindak” sendiri untuk
melaksanakan hak-hak nya, disebut tidak cakap menurut hukum atau “tidak cakap
hukum” (onrechtsbekwaamheid/in capable). Orang yang menurut undang-undang
dinyatakan tidak mampu bertindak menurut hukum atau “tidak cakap hukum”
(onrechtsbekwaamheid) ialah:
1. Orang yang belum dewasa, yaitu yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum
pernah nikah/kawin (Pasal47 UU No.1 Tahun 1974 jo. Pasal 1330 BW); untuk
melakukan perbuatan hukum orang ini harus diwakili oleh orang tua/wali;

8
2. Orang yang berada di bawah pengawasan atau pengampunan (curatele), dia
orang dewasa tetapi dungu, sakit ingatan, suka gelap mata, sakit jiwa, pemboros
atau tidak sehat jiwanya (Pasal 1330 jo. 433 BW); dalam melakukan perbuatan
hukum dia harus diwakili oleh pengampunya (curator-nya);
3. Orang-orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan
hukum atau perjanjian (Pasal 1330 BW jo. Undang Undang tentang Kepailitan).

Orang-orang yang “cakap hukum” antara lain:

a) Orang dewasa atau sudah pernah nikah/kawin;


b) Orang dewasa yang sehat pikiran/jiwanya (tidak dungu, bukan pemabok, tidak
pemboros);
c) Orang-orang yang tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan
perbuatan hukum.

Subjek hukum adalah siapa saja yang mempunyai hak dan kewajiban serta
cakap bertindak di dalam hukum, atau dengan kata lain bahwa yang cakap hukum
adalah mempunyai hak belum tentu cakal hukum karena tidak mempunya kewajiban
(contohnya orang gila atau budak-budak belian di zaman dahulu).

Orang yang cakap hukum belum tentu berwenang atau berhak untuk
melakukan perbuatan hukum. Supaya berwenang melakukan perbuatan hukum
orang yang cakap hukum harus dipenuhi syarat khusus, yakni (rechtvevoegdheid).
Apabila tidak dipenuhi, berarti belum berwenang.

Selain orang atau manusia sebagai subjek hukum adalah badan-badan atau
perkumpulan-perkumpulan dipandang sebagai subjek hukum yang dapat memiliki
hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti manusia. Badan-badan
dan perkumpulan-perkumpulan itu dapat memiliki kekayaan sendiri, ikut serta
dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat diguagat dan
menggugat di pengadilan. Badan hukum sebagai subjek hukum diperlakukan sama
seperti subjek hukum “orang”.

Badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan tersebut dinamakan badan


hukum (rechtpersoon), artinya orang yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum
dibedakan antara badan hukum publik (misal: negara, provinsi, kabupaten), dan

9
badan hukum privat (misal: perseroan terbatas, koperasi, yayasan/stiching, atau
wakaf), dan lain-lain.

Untuk dapat disebut sebagai badan hukum harus dipenuhi persyaratan formal
dan materila. Syarat-syarat formal badan hukum antara lain:

1) Badan hukum harus didirikan dengan akta notaris;


2) Mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga;
3) Disahkan oleh Menteri yang berwenang (sekarang Kementrian Hukum dan
Hak Asasi Manusia);
4) Diumumkan dalam Berita Negara;
5) Didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang berwenang.
Syarat-syarat materila badan Hukum adalah:
a. Harus ada pemisahan yang jelas antara kekayaan badan hukum dengan
kekayaan pribadi pengurus/anggotanya;
b. Harus mempunyai tujuan tertentu yang ideal;
c. Harus mempunyai kepentingan tertentu;
d. Harus mempunyai susunan organisasi dan kepengurusan;
e. Mempunyai tempat kedudukan/domisili hukum dan wilayah operasional badan
hukum.
F. Hukum Keluarga
Hukum keluarga memuat segala peraturan-peraturan hukumyang timbul dari
pergaulan hidup suatu keluarga. Keluarga (dalam arti sempit) adalah kesatuan
masyarakat kecil yang terdiri dari suami-istri dan anak yang berdiam dalam satu
tempat tinggal. Dalam pengertian yang luas, adalah apabila dalam sati tempat tinggal
itu berdiam pula pihak lain sebagai akibat perkawinan, maka berkumpulah anggota
keluarga yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai hubungan karena
perkawinan dan karena pertalian darah. Keluarga dalan arti luas dapat terdiri dari
kakek atau nenek, suami-istri, anak-menantu, bahkan cucu.
Dengan berlakunya UU No.1 Tahun 1974, sebagian besar pasal-pasal hukum
keluaraga di dalam BW dinayatakan tidak berlaku. Pembahsan hukum keluarga,
dalam pembahasan berikut ini ditekankan pada hukum p
1. Kekuasaan Orang Tua Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-
baiknya. Kewajiban orang tua memlihara dan mendidik anak-anaknya sampai

10
telah menikah atau telah mampu mendiri. Kewajiban orang tua terhadap anak-
anak mereka juga tetap berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua
putus (Pasal 45).
Setiap anak wajib hormat dan patuh kepada kedua orang tuanya, dan menaati
kehendak orang tua yang baik. Jika anak telah dewasa berkewajiban memelihara
kedua orang tua dan keluarga garis lurus ke atas menurut kemampuannya, bila
orang tua memerlukan bantuan si anak (Pasal 46).
Setiap anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan adan di bawah kekuasaan orang tuanya selama
mereka tidak dicabut dari kekuasannya. Orang tau mewakili anak mengenani
segala perbuatan hukum di dalam dan di luar oengadilan, selama anak belum
berusia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan (Pasal 47).
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-
barang tetap yang dimilikinya anaknya yang belum berumur 18 tahun dan belu
pernah melangsungkan perkawinan, kecuali kepentinag anak menghendaki
(Pasal 48).
Orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak, apabila ia
sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya, juga apabila berkelakuan
sangat buruk sehingga dapat merugikan kepentingan atau masa depan anaknya.
Apabila salah seorang atau kedua orang tua dicabut kekuasannya terhadap
seorang anak atau lebih, mereka masih tetap nerkewajiban memberi biaya
pemeliharaan kepada anak-anak mereka (Pasak 49).
2. Perwalian Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Perwalian adalah pengawasan atau pengurusan terhadap pribadi anak di
bawah umur atau belum dewasa yang tidak di bawah kekuasaan orang tua serta
pengurusan harta benda anak sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak di bawah kekuasann orang tuanya,
berada di bawah kekuasaan wali. Perwalian yang dimaksud adalah mengenai
pribadi anak maupun harta bendanya (Pasal 50).
Wali wajib mengurus peribadi anak yang ada di bawah pengurusannya dan
harta bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan si
anak. Wali berkewajiban membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah

11
kekuasaannya pada waktu memulai tugasnya dan mencatat semua perubahan-
perubahan harta benda si anak atau anak-anak itu (Pasal 51 ayat (3) dan (4)).
Wali juga dilarang memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang
tetap yang dimiliki si anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkwinan, kcuali apabila kepentingan si anak menghendakinya
(Pasal 52 jo. Pasal 48).
Wali dapat dicabut kekuasannya apabila sangat melalaikan kewajibannya
terhadap anak yang di bawah kekuasannya, juga apabila wali berkelakukan
buruk sekali. Apabila kekuasaan wali dicabut, maka Pengadilan dapat menunjuk
orang lain sebagai wali (Pasal 53 jo. Pasal 49).
Wali yang mennyebabkan kerugian kepada harta benda si anak yang di bawah
kekuasaanya dengan keputusan pengadilan wajin mengganti kerugian tersebut
(Pasal 54).
Wali ditetapkan oleh pengadilan atau dapat pula karena wasiat orang tua
sebelum ia meninggal, sedapat mungkin wali diangkat dari keluarga terdekat
atau dari orang-orang yang mempunya pertalian darah terdekat dengan si anak
atau orangtuanya yang karena sesuatu hal telah bercerai atau saudara-saudaranya
yang dianggap cakap (dewasa, berpikiran sehat, jujur, adil berkelakuan baik)
sebagai wali (Pasal 51 ayat (1) dan (2)).
Perwalian dapat terjadi karena hal-hal berikut.
1) Perkawinan orang tua putus yag disebabkan ileh salah seorang meninggal
dunia atau karena bercerai.
2) Kekuasaan orang tua dicabut, maka Pengadilan atau Hakim dapat
mengangkat orang lain sebagai wali.

Ada tiga macam perwalian terhadap anak, yakni sebagai berikut.

1) Perwalian karen aundang-undang, adalah perwalian yang ditentukan oleh


undang-undang untuk mengurus kepentingan si anak, misalnya apabila salah
satu orang tua meninggal, maka yang menjadi wali adalah orang tua yang
masih hidup.
2) Perwalian karena wasiat, yaitu perwalian yang ditunjuk berdasarkan wasiat
atau diwasiatkan oleh orang tua si anak sebelum orangtuanya meninggal.

12
3) Perwalian keputusan pengadilan, artinya penunjukan wali oleh Hakim atau
berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.

3. Pengampunan/Curatele (Pasal 433 s.d. 462 BW)


Lembaga pengampunan (curatle) ini tidak dicabut oleh Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Lembaga Pengampunan masih
diperlukan untuk masa sekarang atau mendatang, meskipun dalam praktik
lembaga ini tidak banyak berperan atau diperlukan masyarakat.
Pengampunan dilakukan terhadap orang dewasa karena sakit ingatan,
pemboros, lemah daya pikirnya, atau pemabok yang menjadi kebiasaan.
Pengampunan dilakukan karena orang yang berdangkutan tidak sanggup
mengurus kepentingannya sendiri dengan mestinya, atau disebabkan kelakuan
buruk di luar batas sehingga dapat menganggu kemanan. Oleh karena itu,
diperlukan adanya pengampun (kurator). Orang yang diampu (dibawah
pengampunan) disebut “kurandus”. Orang yang di bawah pengampunan
(kurandus) kedudukannya disamakn dengan orang belum dewasa.
Pengampunan berakhir apabila alasan-alasan yang menyebabkan
pengampunan sudah tidak ada lagi (artinya kurandus sudah sembuh atau sehat
atau normal). Bagi anak atau orang yang belum dewasan yang dalam keadaan
dungu, sakit otak atau gelap mata, tidak boleh ditempatkan di bawah
pengampuan (curetle), melainkan tetap dalam pengawasan orang tuanya atau
walinya.
4. Hukum Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Hukum perkawinan ialah peraturan-peraturan hukum yang mengatur
perbuatan-perbuatan hukum serta akibat-akibatnya anatar dua oihak, yaitu
seorang laki-laki dan seorang wanita dengan tujuan hidup bersama sebagai
suami-istri untuk waktu yang lama menurut ketentuan yang ditetapkan dalam
undang-undang.
Dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), maka
hukum nasional (hukum positif) yang mengatur tentang perkawinan, perceraian
dan akibat hukumya adalah yang diatur oleh UU No. 1 Tahun 1974. Perundang-
undangan perkawinan yang berlaku sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974,

13
dinyatakan dicabut atau tidak berlaku sepanjang sudah diatur dan tidak
bertentangan dengan UUP ini.
5. Dasar-Dasar Perkawinan
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 (UUP), ditentukan asas-asas mengenai
perkawinan dan segal sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah
disesuaikan dengan perkembangan dan tuntunan zaman. Asas-asas yang
tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut.
a. Tujuan perkawinan
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu, suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannnya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan material.
b. Sahnya perkawinan
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 ditentukan, bahwa suatu perkawinan adalah
sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. Di samping itu, setiap perkawinan harus dicatat menurut
aturan perundangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah
sama halnnya dengan pencatatan.
c. Asas monogami
UU No. 1 Tahun 1974 menganut asas monigami , hanya apabila dikehendaki
oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan
mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun
demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri,
meskipun hal itu dikehendaki oleh oihan-pihak yang bersangkutan, hanya
dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persayaratan tertentu dan
diputuskan oleh pengadilan.
d. Usia perkawinan
Undang-Undang perkawinan menganut asas bahwa calon suami-istri harus
telah masuk jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar
supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tidak berakhir
pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu,
harus dicegah adanya perkawinan dibawah umur. Nerhubungan dengan itu,
maka undang-undang ini menentukan batas umur kawin, yaitu 19 (sembilan
belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.

14
e. Mempersukar terjadinya perceraian
Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagi
adan kekal dan sejahtera, maka UU No. 1 Tahun 1974 menganut prinsip
untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan
perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan
sidang Pengadilan.
f. Hak dan kedudukan istri
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
baik dalam kehodupan rumah tangga maupun dalam pergaulam masyaraka,
sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat
dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.
6. Jaminan Kepastian Hukum
Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini
berlaku, yang dilakukan berdasarkan hukum yang telah ada adalah sah.
Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal tidak diatur dalam UU No. 1 Tahun
1974, dengan sendirinya berlaku ketentuan yang sudah ada.
7. Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami iatri dengan tujuan membentuk keluarga (rumag tangga) yang
bahagia dankekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UUP).
Sebagai negara yang ebrdasarkan Pancasila, di mana sila pertamanya ialah
Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat sekali
dengan agama/kerohanian, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan
yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia, erat hubungan dengan
keturunan, pemeliharaan, dan pendidikan anak menjadi kewajiban orang tua
merupakan tujuan perkawinan.
8. Syarat Sahnya Perkawinan
Pasal 2 ayat (1) UUP menetapkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamaya dan kepercayaan itu.
Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan yang
dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya

15
dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain
dalam undang-undang perkawina.
9. Asas Monogami dalam Perkawinan
Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang prian hanya boleh
mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang
suami (Pasal 3 ayat (1)). Dari ketentuan ini jelaslah, bahwa Undang-Undang
Perkawinan ini menganut asas monogrami, namun dalam Paslah 3 ayat (2) UUP
ditegaskan, bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristri lebih dari seorang apabila dikehendakin oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Pengadilan yang bersangkutan dalam memberi putusan selain memeriksa
apakah syarat untuk dapat beristri lebih dari seorang (tersebut dalam Pasal 4 dan
Pasal 5 UUP) telah dipenuhi, harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan
hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adalanya poligami.
Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUP, bahwa dalam hal seorang suami
akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2)
unadng-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan
di daerah tempat tinggalnya. Akan tetapi Pengadilan dimaksudkan hanya
memnerikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapan disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Selanjutnya menurut Pasal 5 ayat (1) UUP, bahwa untuk dapat mengajukan
permohonan kepada Pengasilan dalam Pasal 4 ayat (1) undang-undang ini, harus
dipenuhi ayarat-syarat, antara lain adanya persetujuan dari istri-istri-istri,
adanya kepastian bahwan suami menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri
dan anak-anaknya, adanya jaminan bahwa suami akan belaku adil terhadap istri-
istri dan anak-anaknya.

Persyaratan “adanya persetujuan dari istr/istri-istri” tidak diperlukan apabila


istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuanny dan tidak dapat menjadi
[ihak dlam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama

16
sekurang-kurangngnya 2 tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

10. Syarat-Syarat untuk Dapat Melangsungkan Perkawinan

Untuk dapat melangsungkan perkawinan secara sah, harus dipenuhi syarat-


syarat perkawinan yang ditegaskan dalam Pasal 6 UUP, yaiut sebagai berikut.

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.


Ditetapkan syarat “persetujuan kedua mempelai” oleh karena perkawinan
mempunyai maksud agar suami istri dapat membentuk keluarga yang kekal
danbahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus
disetujii oleh kedua pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada
paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini, tidak berati mengurangi
syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang
berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Perkawinan yang telah disebutkan di muka.
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapat izin kedua orang tua.
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tu atelah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud ayat (2)
pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalamkeadaan tidak
mampu auntuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh wali, orang yang
memlihara atau keluarga yang mempnyai hubungan darah dalam garis keturunan
lurus ke atas selama merka masih hidup dan dalam keadann dapat menyatakan
kehendaknya.
5) Dalam hal perbedann pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2),
(3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukkum tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang
tersebut dapat memberi izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang
tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.

17
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai denganayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dankepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
Selanjutnya dalam Pasal 7 UUP ditegaskan hal-hal yang berikut:
1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak prian sudah mencapai umur 19 tahun dan
pihak wanta sudah mencapai 16 tahun.
2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini spat minta dispensasi
kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak
pria maupun pihak wanita.
3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadan salah seorang atau kedu aorang tua
tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) undang-undang ini, berlaku juga dalam
hal oermintaan dispensaisi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi
yang dimaskud dalam Pasal 6 ayat (6).
11. Larangan Perkawinan
Menurut Pasal 8 UUP, perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun keatas;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang
dengan saudara neneknya;
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuai
dan ibu/paman susuan;
e. Berhubungan saudara dengan istri sebagai bibi atau kemnakan dari istri,
dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
f. Yang mempunyai hubungan ynag oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.

Menurut Pasal 9 UUP seorang yang masih terikat pekawinan dengan orang
lain tidak dapat kawin lagi, kecuali jika:

1) Mendapat izin dari Pengadilan (berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2)


UUP yang disebutkan di muka);
2) Dengan alasan bahwa istri (Pasal 4 ayat (2) UUP):
a) Tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b) Mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

18
c) Tidak dapat melahirkan keturunan.

Apabila suami istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10).

G. Hukum Benda
Hukum benda disebut juga “hukum harta kekayaan”. Hal tersebut diatur dalam
KUH Perdata Buku ke-II; menurutnya yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap
barangdan tiap-tiap hak, yang dpat dikuasai oleh hak milik. Hukum harta kekayaan
adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban
manusia yang bernilai uang. Hak dan kewajiban itu timbul karena adanya hubungan
antara subjek hukum tersebut berkaitan dengan benda sebagai objek hukumnya dan
benda tersebut dapat dinilai dengan uang. Hubungan yang dilakukan antara sesama
subjek hukum tersebut adalah dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hukum harta kekayaan meliputi dua lapangan, yaitu :
a. Hukum benda yang berupa peraturan-peraturan yang mengatur hak-hak
kebendaan yang mutlak sifatnya. Artinya, bahwa terhadap hak-hak tas benda-
benda itu orang wajib menghormatinya.
b. Hukum perikatan ialah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan hukum
yang bersifat kehartaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu
berhak atas suatu prestasi tertentu, sedangkan pihak yang lain wajib memenuhi
prestasi. Contoh : Perikatan dalam perjanjian jual beli.

Pengertian benda menurut ilmu pengetahuan adalah segala sesuatu yang dapat
menjadi objek hukum. Sedangkan pengertian benda menurut Pasal 499 KUH
Perdata adalah segala barang dan hak yang dapat dipakai orang (menjadi objek
hak milik). Benda dapat dibedakan menjadi:

a. Benda tetap, yaitu benda-benda yang karena sifatnya, tujuannya atau karena
penetapan undang-undang dinyatakan sebagai benda tidak berdgerak (tanah,
bangunan, tanaman = karena sifatnya; mesin-mesin pabrik = karena
tujuannya; hak guna usaha, hak guna bangunan, hak hipotek = karena
penetapan undang-undang).

19
b. Benda bergerak, yaitu benda-benda yang karena sifatnya atau karena
pendapat undang-undag dianggap benda bergerak (perkakas, kendaraan,
binatang = karena sifatnya; hak terhadap surat berharga = karena penetapan
undang-undang).
Benda dapat dibedakan lagi menjadi dua:
a. Benda berujud (barang-barang yang dapat dilihat dengan panca indera).
b. Benda tidak berujud (macam-macam hak).

Dalam hukum perikatan sebagai objek perikatan adalah prestasi. Ada tiga
macam bentuk prestasi, yaitu:

a. Prestasi untuk memberi sesuatu misalnya menyerahkan barang, membayar


harga.
b. Prestasi untuk berbuat sesuatu misalnya memperbaiki barang rusak.
c. Prestasi untuk tidak berbuat sesuatu misalnya tidak menggunakan merek
dagang tertentu.

Jika dalam perikatan seseorang tidak memenuhi prestasi berarti yang


bersangkutan telah cedera janji (wanprestasi). Sebelum seseorang dinyatak
wanprestasi, ia harus lebih dulu diperingatkan atau dilakukan somasi (teguran).

Perikatan dapat dibedakan menjadi beberapa macam:

1. Perikatan sipil ialah perikatan yang apabila tidak dipenuhi dapat dilakukan
gugatan.
Perikatan wajar ialah perikatan yang tidak mempunyai hak tagihan, tetapi
apabila sudah dibayar tidak dapat diminta kembali (utang karena
perjudian).
2. Perikatan yang dapat dibagi ialah perikatan yang dapat dibag-bagi
pemenuhannya (perjanjian kerja harian).
Perikatan yang tidak dapat dibagi ialah perikatan yang tidak dapat dibag-
bagi pemenuhan prestasinya (perjanjian untuk rekaman lagu tertentu).
3. Perikatan pokok perikatan yang berdiri sendiri tidak tergantung pada
perikatan yang lain (perjanjian jual beli, sewa-menyewa)
Perikatan tambahan ialah perikatan yang merupakan tambahan dari
perikatan lainnya (perjanian gadai, hipotek).

20
4. Perikatan murni ialah perikatan yang prestasinya harus dipenuhi seketika
itu juga.
Perikatan bersyarat ialah perikatan yang pemenuhannya oleh debitor
digantungkan pada suatu syarat tertentu (pinjam uang baru akan dibayar
kalau penjualan barang dari si debitor laku).
5. Perikatan spesifik ialah perikatan yang prestasinya ditetapkan secara
khusus (pinjam uang sebagai pembayarannya adalah tenaga kerja si
debitor).
Perikatan generic ialah perikatan yang hanya ditentukan menurut jenisnya.

Perikatan berakhir dengan beberapa cara, yaitu:

1. dengan pembayaran (kalau perikatan itu jual beli).


2. Dengan pembaruan utang (novasi).
3. Dengan pembebasan utang.
4. Dengan pembatalan.
5. Dengan hilangnya benda yang diperjanjikan.
6. Dengan telah lewatnya waktu (kadaluwarsa).

Sumber-sumber hukum perikatan adalah:

a. perjanjian
b. Undang-undang.

Hukum perikatan yang bersumber dari perjanjian, misalnya:

 Jual beli.
 Tukar menukar.
 Pinjam pakai.
 Sewa-menyewa.
 Penitipan
 Perjanjian kerja

Hukum perikatan yang bersumber dari undang-undang, misalnya:

 Perikatan yang terjadi karena undang-undang itu sendiri (hak servituut,


wajib nafkah)

21
 Perikatan yang terjadi karena undang-undang dan disertai dengan
tindakan manusia. (Zakwarneming, yaitu tindakan manusia yang menurut
hukum dan hakiki; tindakan melanggar hukum yang diatur dalam Pasal
1365 KUH Perdata).
H. Hukum Perikatan
Dalam buku ke-III KUH Perdata (BW) memuat soal-soal yang berhubungan
dengan perikatan (verbintenis). Apa yang termuat dalam Buku ke-III tersebut adalah
hal-hal yang mengatur perhubungan hukum antara subjek hukum satu sama lain,
khususnya apabila timbul hak-hak pemenuhan janji bagi masing-masing terhadap
satu sama lain. Istilah lain yang kerapkali juga digunakan selainnya adalah
“perjanjian” sebagai terjemahan dari bahasa Belanda “verbentinis”. Untuk
mempertegas perbedaan keduanya maka perlu perhatikan pengertian dari masing-
masing definisi antara perikatan dengan perjanjian.
Perikatan adalah suatu perhubungan hukm antara dua orang (dua pihak),
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hak dari pihak yang
lain, yang berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang berhak menuntut
sesuatu tadi, disebut “kreditur” atau si ber-piutang, sedang pihak yang berkewajiban
memenuhi tuntutan dinamakan “debitur” atau si berhutang. Perhubungan antara dua
orang tadi merupakan perhubungan hukum; artinya si kreditur dijamin oleh hukum/
undang-undang. Apabila tuntutan tidak dipenuhi dengan sukarela, maka debitur
dapat dituntutnya di muka hakim atau pengadilan.
Sedangkan perjanjian adalah suatu perikatan di mana seorang berjanji
kepada seorang yang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal. Di sini merupakan suatu hubungan atas dasar hukum
kekayaan (vermogensrechtelijkebetrekking) antara dua pihak atau lebih dalam mana
pihak yang satu berkewajiban memberikan sesuatu prestasi atas mana pihak yang
lain mempunyai hak terhadap prestasi itu. Dengan demikian maka hubungan antara
perikatan dan perjanjian adalah, bahwa perjanjian itu menerbitkan atau
menimbulkan perikatan. Oleh sebab itu, suatu perjanjian juga dinamakan
”persetujuan”, karena dua pihak itu bersetuju untuk melakukan sesuatu.
Menurut pasl 1313 dan 1314 KUH Perdata (BW) yang dinamakan persetujuan
adalah suatu tindakan/perbuatan dalam mana seseorang atau lebih mengikat diri
dengan seorang yang lain atau beberapa orang lain. Sehingga apabila orang yang
berhutang tidak memenuhi kewajibannya, menurut bahasa hukum ia melakukan

22
“wwanprestasi”, yang menyebabkan ia dapat digugat ke oengadilan. Sebelum ia
dinyatakan melakukan wanprestasi, lebih dulu harus dilakukan “somasi”, yaitu
suatu peringatn kepada si berhutang (debitur) agar memenuhi kewajibannya. Selain
itu, yang perlu dipertegaskan juga di sini ialah yang menjadi objek perikatan adalah
“prestasi”, yaitu hal pemenuhan perikatan.

Adapun macam-macam prestasi :

1. Memberikan sesuatu, seperti membayar harga, menyerahkan barang dan


sebagainya.
2. Berbuat seuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membongkar
bangunan, kesemuanya karena putusan pengadilan dan sebagainya.
3. Tidak berbuat sesuatu, misalnya untuk mendirikan sesuatu bangunan, untuk
tidak menggunakan merek dagang tertentu, kesemuanya karena ditetapkan oleh
putusan pengadilan.

Sehingga apabila seorang debitur dalam keadaan-keadaan tertentu beranggapan


bahwa perbuatan debiturnya kan merugikan, maka ia dapat minta pembatasan atas
perikatan atau perjanjian yang terlah terjadi.

Suatu perikatan dapat dilahirkan dari suatu perjanjian dan dari Undang-undang.
Perikatan yang lahir dari Undang-undang dapat dibagi lagi atas perikatan yang lahir
dari Undang-undang saja, dan perikatan yang lahir dari Undang-undang karena
perbuatan manusia, dan yang terakhir ini dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu :

a. Tindakan yang menurut hukum.


b. Tindakan yang menggar hukm.
Dengan demikian dapat diungkapkan bahwa, sumber-sumber perikatan
berdasarkan hal tersebut di atas, yaitu ada dua di antaranya :
1. Perikatan yang timbul dari perjanjian (kontrak)
Suatu perikatan yang lahir karena perjanjian (kontrak) harus memenuhi 4
(empat) syarat sahnya, yaitu :
a. Adanya kemauan bebas dari kedua belah pihak berdasarkan persesuaian
pendapat, artinya tidak ada paksaan (dwang), penipuan (bedrog), atau
kekeliruan (dwaling).
b. Adanya kecakapan bertindak pada masing-masing pihak.
c. Sesuatu hal tertentu (ada objek tertentu) yang diperjanjikan.

23
d. Ada suatu sebab yang halal, artinya tidak terlarang
Seperti contoh perikatan yang lahir karena perjanjian (kontrak) yaitu :
- Perjanjian sewa-menyewa.
- Perjanjian jual beli.
- Pinjam pakai.
- Perjanjian kerja.
- Dan lain-lain.
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa perikatan yang timbul karena
Undang-undang terdapat dua macam : (i) perikatan yang lahir dari Undang-
undang Saja adalah perikatan-perikatan yang ditimbulkan oleh perhubungan
kekeluargaan, misalnya : anak yang mampu memebrikan nafkah kepada orang
tuanya yang berada dalam kemiskinan; dan (ii) perikatan yang lahir dari
Undang-undang karena perbuatan manusia yang menurut hukum dinamakn
“Zaakwaarnrming” (Pasal 1354 KUHPdt), ini terjadi jika seseorang dengan
suakrela dengan tidak diminta mengurus kepentingan orang lain. Misalnya
mengurus kebun tetangga yang baru ditinggal pergi.
Sedangkan perikatan yang lahir dari Undang-undang karena perbuatan
manusia yang melanggar hukum (pasal 1365 KUHPdt). Dimana Pasal 1365
KUH Perdata mengatur bhawa :

“setiap perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatigedaad) mewajibkan


orang yang melakukan perbuatan karena kesalahan-nya telah menimbulkan
kerugian, untuk membayar kerugian”.

Perbuatan orang yang melanggar hukum seperti yang dimaksud dengan Pasal
1365 KUH Perdata, ialah terdiri dari :

a. Perbuatan yang melanggar hak orang lain;


b. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari orang yang
bersagkutan;
c. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan atau asas-asas pergaulan
kemasyarkatan mengenai nama baik atau barang orang lain.
Karena adanya perbuatan orang yang melanggar hukum, maka timbullah
perikatan huku yang meletakkan kewajiban kepada orang yang melanggar
hukum itu untuk memberikan ganti kerugian kepada orang yang merasa

24
dirinya dirugikan sebagai akibat dari perbuatan orang yang melanggar itu.
Ganti kerugian yang dituntut dapat berupa :
1. Konsten, yaitu segala biaya dan ongkos-ongkos yang sungguh-sungguh
telah dikeluarkan oleh si korban.
2. Schade, yaitu kerugian yang diderita oleh si korban sebagai akibat
langsung dari perbuatan yang melanggar hukum itu.
3. Interessen, yaitu bunga uang atau keuntungan yang tidak jadi diterima
sebagai akibat langsung dari perbuatan yang melanggar hukum itu.

I. Hukum Pembuktian dan Daluwarsa


Hukum pembuktian dan daluwarsa (van bewisjen verjard) diatur dalam Buku
IV KUH Perdata (BW). Pembuktian sebenarnya termasuk bagian hukum acata
(procersrecht) yang sebenarnya tidak dimuat dalam BW (hukum perdata material).
Dalam hukum acara (perdata), perihal pembuktian telah dimulai dalam HIR. Dan
dalam BW, pembuktian diatur dalam Pasal 1865 s.d. Pasal 1945). Emnurut Pasal
1865 BW:

Barangsiapa menaytakan bahwa ia mempunyai hak atas sesuatu atau meneguhkan


haknya sendiri maupun membanyah suatu hak orang lain, diwajibkan,
membuktikan hak-hak tersebut.

Macam-macam alat bukti (Pasal 1866) antara lain sebagai berikut.

1. Bukti tertulis atau surat, ayitu pembuktian dengan surat-surat akta resmi
(authentiek) dan surat-surat akta di bawah tangan (overhands). Surat/akta aialah
suatu akta dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang menurut undang-
undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akta resmi. Surat akta di
bawahtangan adalah surat-surat atau tulisan-tulisan yang tidak dibuat oleh
pejabat yang berwenang.
2. Bukti kesaksian, yaitu setiap orang yang diminta keterangannya oleh pengadilan/
lembaga oeradilan untuk memberikan kesaksian atas suatu kejadian/peristiwa
tertentu yang dialami sendiri.
3. Bukti persangkaan, aialah suatu kesimpulan dari peristiwa yang sudah jelas dan
nyata atau suatu kesimpulan atau suatu kejadian/peristiwa untuk membuktikan
atas suatu perbuatan yang disangkal. Ada dua macam persangkaan, pertama,
persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (wettejilk vermoeden), adalah

25
suatu pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk menguntungkan
salah satu pihak yang berperkara. Kedua, persangkaan yang telah ditetapkan
hakim terhadap suatu peristiwa yang pembuktianya tidak dapat diperoleh dari
saksi-saksi. Misalnya persangkaan terhadap pelaku zina, tidak harus melihat
kejadiannya, cukup mengetahui masuk kamar hotel berdua.
4. Bukti pengakuan, adalah pernyataan sepihak dari salah satu pihakyang
berperkara (dalam suatu proses) yang membenarkan keterangan pihak lawan
baik sebagian atau seluruhnya. Sebenarnya suatu pengakuan bahwa suatu alat
bukti, tetapi apabila salah satu pihak mengakui perbuatan yang dilakukan, berarti
membebaskan suatu kewajiban pihak lawan.
5. Bukti sumpah, menurut undang-undang ada dua macam sumoah, yaitu sumpah
yang menentukan (decisoir eed) dan sumpah tambahan (supletoir eed). Sumpah
yang menentukan adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang
berperkara kepada pihak lawannya dengan maksud untuk mengakhiri perkara
yang sedang diperiksa oleh hakim. Sumpah tambahan adalah sumpah yang
diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak yang berpekara. Sumpah ini
diperintahkan oleh hakim, karena hakim berpendapat sudah terdapat suatu
“pembuktian mula” yang perlu ditambah dengan “penyumpahan”.

Ketentuan mengenai daluwarsa (verjaring) diatu rdalam Pasal 1946 s.d. Pasal
1993 BW. Daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu untuk dibebaskan
dari suatu alat untuk memperoleh sesuatu unuruk dibebaskan dari suatu perikatan
dengan lewatnya atau lampaunya waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang
ditentukan oleh undang-undnag (Pasal 1946 BW).

Berdasarkan Pasal 1946 BW, ada dua maca daluwarsa. Pertama, adalah
untuk memperoleh suatu hak-hak kebendaan. Lembaga acquisitieve verjaring,
bukan dimaskudkan sebagai cara untuk memperoleh atau mengambil hak milik,
melainkan untuk membuktikan atau sebagai bukti bahwa orang tertentu dan dalam
waktu tertentu telah menguasai suatu dengan benda iktikad baik. Menurut Pasal
1963 BW, bahwa seseorang yang beritikad baik berdasarkan alas hak yang sah,
memperoleh sesuatu benda tak bergerak dengan jalan daluwarsa dengan suatu
penguasaan selama 20 tahun, dan apabila ia menguasai 30 tahun tidak dapat dipaksa
untuk membuktian alas hak. Kedua, daluwarsa sebagai alat untuk dibebaskan darri

26
tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun perseorangan atau
perutangan (Pasak 1967 BW). Daluwarsa yang keuda disebut extinctieve verjaring.

Dari uraian tersebut bahwa daluwarsa atas penguasaan suatu benda atau yang
bersifat hak kebendaan untuk benda tidak bergerak menjadi tidak berlaku setelah
berlakunya UUPA, karena UUPA tidak mengenai lembaga daluwarsa untuk
memperoleh maupun untuk melepaskan hak atas tanah. Akan tetapi, berdasarkan
Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerinta Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, seseorang dapat memperoleh tanah berdasarkan rechtsverwerking, yakni
menguasai secara fisik tanah selama 20 tahun berturuj-turut karena dibiarkan atau
ditinggalkan oleh pemilik/penguasannya. Sedangkan untuk benda-benda bergerak
tidak dikenal Pokok.

27
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam
pergaulan masyarakat. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di
Belanda khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak
lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari burgelijk wetboek.

Setelah Indonesia Merdeka berdasdarkan aturan Pasal peralihan UUD 1945,


KUHPer. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan Undang-
Undang baru didasarkan Undang-Undang Dasar ini.

Sebagian BW sudah dicabut berlakunya dan sudang diganti dengan Undang-


Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1960.

B. Saran
Demikianlah makalah yang kami susun tentang Hukum Perdata. Kami menyadari
bahwa makalah yang kami buat jauh dari pada sempurna dan juga masih banyak
kesalahan, untuk itu kami harapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca agar dalam pembuatan makalah selanjutnya menjadi lebih baik, semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita.

28
DAFTAR PUSTAKA

Mochtar Kusumuaatmadja. dan B. Arief sidharta. 1990. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung:

Alumni.

Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto. 1986. Send-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum.
Bandung: Alumni.

Purnadi Purbacaraka. dan Agus Brotosusilo. 1989. Sendi-Sendi Hukum Perdata


Internasional, Jakarta: Rajawali Pers.

Satjipto Soemitro. 1997. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Soepomo. R. 1983. Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II. Jakarta: Pradnya
Paramita.

Rindua Sahrani. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Mokhammad Najih, S.H., M.Hum., P.hD. dan Soimin, S.H., M.H. 2014. Pengantar Ilmu

Hukum. Malang: Setara Pers.

29

Anda mungkin juga menyukai