Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PERADILAN ISLAM PADA MASA RASULULLAH


DOSEN PENGAMPU :ARDIANSYAH, S.H., M.H

DISUSUN
OLEH :
IRFAN : 20156120009
IRSYAD : 2015 6120010
NURMADINAH H : 20156120017
RISKA AULIYAH : 20156120022
MARHAMA : 20156120030

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM (HKI 1)


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) MAJENE
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah, Tuhan yang mengusai seluruh alam raya
ini, dan yang senantiasa mengawasi makhluk-Nya serta mengkaruniakan
kepada setiap makhluk yang dikehendaki-Nya. Sholawat serta salam semoga
tercurah kepada suri tauladan kita Rasulullah SAW juga kepada segenap
keluarga, sahabat,serta umat beliau hingga akhir zaman, Aamiin.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Peradilan islam serta dapat membantu pembaca lebih memahami
mengenai proses peradilan islam pada masa Nabi Muhammad SAW., Namun
tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena
itu kami mengharapkan saran maupun kritik dari pembaca demi memperbaiki
makalah di masa mendatang..
Semoga dari makalah ini dapat diambil manfaatnya dan besar keinginan
kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain
yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada periode awal Islam, hukum dan peradilan dilaksanakan langsung oleh
Rasulullah. Beliau berfungsi sebagai hakim, baik sebagai hakim tingkat pertama dan
terakhir maupun sebagai hakim tingkat tinggi dan Beliau memegang penuh ketiga
institusi trias politica . Lembaga peradilan pada zaman Rasulullah Saw yang menjadi
alat bukti dalam peerkara peradilan terdiri dari bayyinah, sumpah, saksi dan firasat
serta mendengar keterangan kedua belah pihak. Berdasarkan hal tersebut, Nabi
memutuskan berdasarkan pertimbangan dengan hukum Allah swt. Adapun keputusan
yang ditempuh oleh Nabi selain dari pertimbangan al-Qur,an adalah berdasarkan
ijtihadnya.
Setelah Islam mengalami perluasan wilayah, Nabi mengangkat hakim-hakim
dari kalangan sahabat untuk mengantisipasi banyaknya kasus yang timbul di kalangan
ummat Islam, terutama daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan, hakim-
hakim yang diangkat oleh Nabi tersebut menyelesaikan perkara-perkara dengan
berdasar kepada Al-quran dan Sunnah. Adapun apabila terjadi perkara yang
diputuskan oleh sahabat kemudian ditolak oleh pihak yang berperkara, maka pihak
yang berperkara dapat mengadakan banding kepada Rasulullah saw.

Peradilan pada masa khalifah Umar bin Khattab sedikit berbeda pada masa
Rasulullah, pada masa kekhalifahannya Umar membagi kekuasan eksekutif dan
yudikatif yang disebabkan karena beberapa faktor. Umar mengangkat beberapa
sahabat sebagai hakim disejumlah wilayah islam serta membuat pedoman bagi hakim
agung dalam menjalankan peradilan. Dalam menyelesaikan perkara para hakim tetap
berdasarkan pada al-Qur’an dan sunnah serta ijtihad para sahabat.
Demikian pula pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib, beliau
mengikuti langkah yang telah dijalankan oleh para khalifah sebelumnya dan beliau
selalu memberikan pesan terhadap qadhi-qadhi yang bertugas agar menjalankan
tugasnya berdasarkan dengan keadilan dan kasih sayang terhadap masyarakat. Ali
juga sangat memperhatikan para gubernur dan para hakim dengan bimbingan dan
pengarahan. Pada masa ini sudah dikhususkan kantor untuk peradilan.
Adapun peradilan pada masa bani umayyah khalifah sendiri yang mengankat
hakim dan hakim diberi kewenangan memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya
sendiri apabila tidak di temukan perkara itu dalam nash ataupun ijma ulama jadi
hakim-hakim pada masa ini mempunyai hak sepenuhnya dalam memutuskan perkara
tampa ada campur tangan penguasa, sementara penguasa yang melaksanakan
keputusan tersebut, namun pada masa ini perkara pidana dan hukuman penjara masih
dipegang oleh khalifah. instansi dan bentuk-bentuk pengadilan di masa Bani Umayah
dibagi menjadi tiga badan, yaitu al-qadhaa, al-hizbah dan al-nadhar fi al-mazhalim
serta membagi 3 kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pada
masa ini juga permulaan hakim mencatat putusannya dan menyusun yurisprudensi.
Sementara Peradilan pada masa Bani Abbasiyah sesungguhnya meneruskan
tradisi dan kebijakan yang telah dijalankan oleh Bani Umayyah. namun khalifah pada
masa ini tidak lagi memegang kekuasaan eksekutif dan yudikatif, khalifah hanya
mengankat hakim dan hakim secara penuh mengurusi perkara pengadilan tampa ada
campur tangan khalifah. Dalam menyelesaikan perkara, hakim tidak lagi merujuk
kepada la-Qur’an, sunnah dan ijma’ saja, akan tetapi sudah merujuk juga kepada
keputusan- keputusan hakim sebelumnya (yurisprudensi) karena pada masa ini
keputusan hakim sudah seutuhnya ditulis. Hakim juga sudah memiliki pakaian khusus
yang membedakannya dengan rakyat dalam pengadilan serta memiliki tempat khusus
dalam melasungkan persidangan.
Pada masa ini lembaga peradilan dibagi menjadi 4 yaitu Iwan Qadhi al-Qudhat
(Ibu Kota), Qudhah al Aqali (Provinsi), Qudhat al Amsar(Kota dan Kabupaten) dan
As Sulthah al Qadhaiyah (Ibu kota dan kota-kota). Dengan adanya lembaga tersebut
membuat hakim (Qadhi) tersebar diberbagai daerah, adapun kebijakan Khalifah
Dinasti Abbasiyah dalam bidang peradilan yaitu Lembaga Qadiy al-Qudat
(Mahkamah Agung), Wilayah Hisbah, Wilayah Al-Mazalim (penyelewengan dan
penganiayaan dan )Al-Nidham Al-Madhalim

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana perbandingan antara sistem peradilan islam pada masa Rasulullah
dengan sistem peradilan islam pada masa sekarang.?
2. Bagaimana perbandingan antara sumber hukum pengadilan pada masa Rasulullah
dengan sumber hukum pengadilan agama pada masa sekarang ?
3. Bagaimana perbandingan antara keadaan hakim pada masa Rasulullah dengan
keadaan hakim pada masa sekarang?
4. Bagaimana perbandingan antara tahapan penanganan perkara persidangan pada
masa Rasululullah dengan tahapan penagangan perkara persidangan pada masa
sekarang?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perbandingan antara sistem peradilan islam pada masa Rasulullah dengan
sistem peradilan islam pada masa sekarang.
Peradilan pada masa Rasulullah dengan peradilan pada masa sekarang di
indonesia sangatlah jauh berbeda karena peradilan islam pada masa Rasululullah
mencakup semua masalah pelanggaran hukum dalam peradilan islam baik itu
pembunuhan, pencurian dan lain sebagainya sedangkan peradilan islam (agama) pada
masa sekarang di indonesia hanya mencakup beberapa permasalahan dalam islam saja
seperti perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, shadaqah dan ekonomi syariah
sedang pembunuhan dan pencurian tidak masuk di dalamnya..
Pada masa Rasulullah saw belum ada pemisahan antara kekuasaan eksekutif,
yudikatif dan legislative, semua kekuasaan tersebut ada pada tangan Rasulullah saw,
sehingga kedudukannya, selain sebagai kepala negara, beliau juga bertindak sebagai
hakim, dan pembuat serta perumus hukum (musharri’). Jadi Beliau berfungsi sebagai
hakim, baik sebagai hakim tingkat pertama dan terakhir maupun sebagai hakim
tingkat tinggi. Penyatuan tiga kekuasaan sekaligus ditangan Rasulullah saw. ini
tidaklah menimbulkan kekhawatiran terjadinya penyalaguanaan kekuasaan karena
jaminan kema’suman (terjaga dari dosa) sekaligus sebagai teladan bagi umat.
Walaupun Rasulullah mememegang tiga kekuasan, Nabi SAW pernah
menunjuk beberapa orang sahabatnya untuk menyelesaikan kasus-kasus
persengkataan tertentu. Namun yang perlu dicatat adalah bahwa Nabi SAW tidak
pernah mengangkat seorangpun yang secara khusus mengemban tugas “profesi”
sebagai qādli maupun memberikan mandat jurisdiksi (qadlā’) secara penuh kepada
sahabat-sahabat beliau untuk melakukan tugas tersebut secara multak tanpa batasan
tempat dan waktu. Akan tetapi pemberian otoritas jurisdiksi oleh Nabi kepada
sahabatnya tersebut paling tinggi terjadi saat beliau menujuk wakilnya untuk`āmmah.
Hal itu sebagai tuntutan dari konsekuensi dari semakin meluasnya daerah-daerah
kekuasaan islam
Tidak seperti masa Rasulullah, pada masa sekarang pemegang institusi trias
politica tidak lagi bertumpuh pada satu orang. Melainkan sudah terbagi-bagi,
kekuasaan eksekutif di pegang oleh presiden, kekuasan legislatif dipegang oleh MPR
dan bawahan-bawahannya seperti DPR dan DPD, dan kekuasaan Yudikatif di pegang
oleh Mahkamah Agung dan bawahan-bawahannya seperti peradilan umum, peradilan
agama, peradilan tata usaha, peradilan militer dan peradilan konstitusi.
Pada masa sekarang sistem peradilan agama mencakup 2 bagian yaitu
pengadilan agama (pengadilan tingkat pertama) dan pengadilan tinggi agama
(pengadilan tingkat banding), ini sama halnya pada zaman Rasululullah yaitu sahabat
yang di tunujuk Nabi sebagai qadhi pada suatu wilayah (pengadilan tingkat pertama)
dan Rasulullah (pengadilan tingkat banding dan akhir). Letak perbedaaannya yaitu
pada pengadilan tinggi agama bukanlah pengadilan tingkat akhir melainkan masih
dapat dibandingkan ke mahkamah agung sedangkan pada Rasululullah merupakan
pengadilan tingkat akhir yang keputusannya tidak bisa di ganggu gugat.

B. Perbandingan antara sumber hukum peradilan pada masa Rasulullah


dengan sumber hukum pengadilan agama pada masa sekarang.
Pada masa Rasulullah Sumber hukum peradilan pada masa Rasulullah saw.
hanya dua yaitu al-Qur’an dan ijtihad Rasulullah saw. sendiri. Apabila terjadi suatu
peristiwa yang memerlukan adanya ketetapan hukum karena terjadi perselisihan, ada
peristiwa, ada pertanyaan atau permintaan fatwa, maka Allah swt. menurunkan wahyu
kepada Rasulullah saw.Bila terjadi suatu masalah yang memerlukan ketetapan hukum,
sedang Allah swt. tidak menurunkan wahyu tentang hal tersebut, maka Rasulullah
saw. berijtihad untuk menetapkan hukum suatu masalah atau menjawab pertanyaan
atau memenuhi permintaan fatwa hukum. Kemudian sahabat yang ditunjuk oleh Nabi
sebagai Qadhi di suatu wilayah dalam memutuskan perkara merujuk kepada al-Qur’an
dan hadist Nabi serta ijtihadnya sendiri.
Sedangkan sumber hukum dalam peradilan agama di indonesia terbagi
menjadi 2 yaitu sumber hukum materil dan sumber hukum formil. Secara hukum
materil, lembaga peradilan agama dalam memutuskan perkara tidak lagi secara
langsung menggunakan Al-Quran dan Hadis ataupun sumber-sumber hukum Islam
lainnya semisal Ijma, Qiyas, Istihsan, Istihab ataupun kitab-kitab fiqh tertentu yang
menjadi standar hukum Islam, kecuali jika kemudian terjadi pertentangan paham,
maka Al-Quran dan standar hukum Islam lainnya dapat dijadikan rujukan secara
langsung.
Sejalan dengan itu, Muatan hukum Al-Quran dan Sunnah secara tertulis
maupun tersirat telah dimuat di dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Akan tetapi, hukum materilnya masih tetap terikat
pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977 Perwakafan Tanah Milik dan sebagian tercantum dalam Undang-Undang
tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf,
Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaaan PP
Nomor 28 Tahun 1977, Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali
Hakium, Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.
Produk peraturan perundang-undangan yang selanjutnya sebagai representasi
hukum Islam adalah Kompilasi Hukum Islam. Kedudukan Kompilasi Hukum Islam
merupakan makna kehidupan masyarakat Islam Indonesia yang mengandung norma
hukum. Kompilasi Hukum Islam disepakati oleh Alim Ulama Indonesia dan menjadi
rangkaian hukum tertulis dan masuk sebagai tata hukum Indonesia di dalam
Instrumen Inpres Nomor 1 Tahun 1991.Secara legitimasi Kompilasi Hukum Islam,
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dan Fatwa Dewan Syariah Majelis Ulama
Indonesia digolongankan sebagai hukum materil, sebagai pedoman untuk
menyelesaikan perkara di lingkungan Peradilan Agama. Legislasi hukum materil
Islam dalam tatanan kehidupan bernegara ke dalam berbagai peraturan dan
perundang-undangan tersebut, sebagai upaya unifikasi hukum Islam untuk
menghindari terjadinya ketidakpastian hukum akibat perbedaan putusan terhadap
perkara antara Pengadilan Agama di berbagai wilayah di Indonesia. Atas dasar
tersebut, kepastian hukum Islam dapat diwujudkan melalui kebenaran. Wujud
kebenaran dapat diwujudkan selain berdasarkan alat bukti yang sah dan mencapai
batas minimal pembuktian dan kebenaran itu pula harus di yakini oleh hakim
sehingga kebenaran itu dianggap bernilai kebenaran hakiki.
Adapun sumber hukum formilnya adalah hukum acara peradilan agama islam.
Dalam hukum acara peradilan Islam atas dasar hadis Rasululah Saw, menerangkan
bahwa Allah memerintahkan untuk menyelesaikan perkara menurut zahirnya. Kata
zahir bukanlah berarti kebenaran formal menurut istilah Hukum Acara Perdata
Umum. Akan tetapi, maksudnya adalah kebenaran hakikat secara formal atau
kebenaran materil menurut kemampuan manusia. Hukum Acara Peradilan Agama
khususnya hukum formil menjadi konkret sesuai dengan isi Undang-Undang pada
Pasal 54 yang berbunyi Hukum Acara yang berlaku pada Peradilan dalam lingkungan
Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam lingkungan
Peradilan Umum hukum acara yang berlaku di Peradilan Umum adalah HIR dan
R.Bg. Pada kesimpulannya hukum acara Peradilan Umum tersebut juga diberlakukan
Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974,
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan hal-hal lain yang telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 itu sendiri.

C. Perbandingan antara keadaan hakim pada masa Rasulullah dengan


keadaan hakim pada masa sekarang.

Hakim pada masa Rasulullah yaitu baik Nabi maupun sahabat yang ditunjuk
sebagai hakim, tempat menyelesaikan perkara penggugat maupun yang di gugat tidak
mengenal waktu dan tempat artinya pada saat ada yang berselisih kemudian yang
berselisih datang kepada sahabat atau Nabi, maka di saat itupulahlah tempat
menyelesaikan perkara. Akan tetapi tempat yang paling sering digunakan dalam
menyelesaikan perkara umat islam pada saat itu yakni rumah Nabi atau sahabat yang
di datangi oleh yang berperkara. Sedangkan pada masa sekarang peradilan agama
sudah memiliki tempat khusus untuk menyelesaikan perkara yaitu di KUA, apabila
tidak dapat diselesaikan di KUA karena tidak dapat diselesaikan secara baik-baik
maka tempat untuk menyelasaikan perkara tersebut yaitu di pengadilan agama.
Adapun pada masa Rasulullah pakaian khusus untuk para hakim belum ada
sehingga hakim dan masyarakat belum memilki perbedaan yang mencolok secara
fisik sedangkan pada zaman sekarang, hakim sudah memilki pakaian khusus dalam
pengadilan sehingga dapat dibedakan antara hakim dengan masyarakat. Sementara itu
mengenai gaji yang diterima hakim, pada masa Rasulullah, hakim telah diberi gaji
sesuai dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini diakui ‘itab bin Usayd, seorang
sahabat yang di tunjuk sebagai hakim bahwa ia telah diberi gaji oleh Nabi Saw dua
dirham setiap harinya. Sedangkan pada zaman sekarang, berdasarkan Peraturan
Pemerintah No 94 Tahun 2012, gaji pertama hakim akan mengikuti gaji pokok PNS
yaitu golongan III A, Hakim dengan masa kerja 0 tahun akan mendapat gaji sebesar
Rp.2 juta. Dan gaji yang tertinggi untuk hakim golongan IV E, dengan masa kerja 32
tahun akan mendapat gaji Rp.4,9 juta. Berkut gaji yang di dapat seorang hakim pada
pengadilan tinggi : Ketua Pengadilan Tinggi Rp. 40,2 juta, Wakil Ketua Pengadilan
Tinggi Rp. 36,6 juta, Hakim Utama Rp. 33,3 juta, Hakim Utama Muda Rp. 31,1 juta,
Hakim Madya Rp. 29,1 juta, dan Hakim Madya Muda Rp. 27,2 juta
D. Perbandingan antara tahapan penanganan perkara persidangan pada masa
Rasululullah dengan tahapan penagangan perkara persidangan pada masa
sekarang?
Pada zaman Rasulullah, orang-orang yang melanggar hukum agama akan di
hukum secara adil sesuai dengan al-Qur’an dan keputusan Nabi, jika orang yang
melanggar hukum itu mengakui dirinya telah melanggar. Maka Nabi akan langsung
memutuskan hukuman bagi orang tersebut. Namun apabila perkara yang dihadapi
Nabi adalah perkara yang harus dipersidangkan Maka Nabi tidak akan langsung
mengadili atau menhukum salah seorang yang berselisih. Akan tetapi, Nabi akan
meminta keterangan kedua belah pihak serta meminta bukti-bukti penuduh kepada
yang tertuduh. Hal ini dilakukan agar perkara tersebut menjadi jelas baginya dan Nabi
dapat memutuskan secara adil. Berdasarkan keterangan zahirnya perkara, sumpah,
atau berdasar bukti-bukti yang dikemukakan dalam persidangan.para pihak, maka
Nabi akan memutuskan berdasarkan pertimbangan dengan hukum Allah swt. Jiak
tidak ditemukan dalam Al-qur’an maka Nabi akan memutuskan perkara dengan
ijtihadnya.
Adapun pada masa sekarang tahapan yang dialkuan dalam menangani perkara
persidangan yaitu :
1. Upaya perdamaian
Pada perkara perceraian, seperti cerai gugat dan cerai talak, hakim wajib
mendamaian kedua belah pihak berperkara pada setiap kali persidang ( Pasal 56 ayat
2, 65, 82, 83 UU No 7 Tahun 1989. Dan selanjutnya jika kedua belah pihak hadir
dipersidangan dilanjutkan dengan mediasi PERMA No 1 Tahun 2008. Kedua belah
pihak bebas memilih Hakim mediator yang tersedia di Pengadilan Agama Pelaihar
tanpa dipungut biaya. Apabila terjadi perdamaian, maka perkaranya dicabut oleh
Penggugat/Pemohon dan perkara telah selesai.Dalam perkara perdata pada umumnya
setiap permulaan sidang, sebelum pemeriksaan perkara, hakim diwajibkan
mengusahakan perdamaian antara para pihak berperkara ( Pasal 154 R.Bg), dan jika
tidak damai dilanjutkan dengan mediasi. Dalam mediasi ini para pihak boleh
menggunakan hakim mediator yang tersedia di Pengadilan Agama tanpa dipungut
biaya, kecuali para pihak menggunakan mediator dari luar yang sudah punya sertikat,
maka biayanya seluruhnya ditanggung kedua belah pihak berdasarkan kesepakatan
mereka. Apabila terjadi damai, maka dibuatkan akta perdamaian ( Acta Van Verglijk).
Akta Perdamaian ini mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan
hakim,dan dapat dieksekusi, tetapi tidak dapat dimintakan banding, kasasi dan
peninjauan kembali.Apabila tidak terjadi damai dalam mediasi, baik perkara
perceraian maupun perkara perdata umum, maka proses pemeriksaan perkara
dilanjutkan.
2. Pembacaan surat gugatan penggugat.
Sebelum surat gugatan dibacakan, jika perkara perceraian, hakim wajib
menyatakan sidang tertutup untuk umum, sementara perkara perdata umum sidangnya
selalu terbuka. Surat Gugatan Penggugat yang diajukan ke Pengadilan Agama itu
dibacakan oleh Penggugat sendiri atau salah seorang majelis hakim, dan sebelum
diberikan kesempatan oleh mejelis hakim kepada tergugat memberikan
tanggapan/jawabannya, pihak penggugat punya hak untuk mengubah, mencabut atau
mempertahankan isi surat gugatannya tersebut. Abala Penggugat menyatakan tetap
tidak ada perubahan dan tambahan dalam gugatannya itu kemudian persidangan
dilanjutkan ketahap berikutnya.
3. Jawaban tergugat
Setelah gugatan dibacakan, kemudian Tergugat diberi kesempatan
mengajukan jawabannya, baik ketika sidang hari itu juga atau sidang berikutnya.
Jawaban tergugat dapat dilakukan secara tertulis atau lisan ( Pasal 158 ayat (1) R.Bg).
Pada tahap jawaban ini, tergugat dapat pula mengajukan eksepsi (tangkisan) atau
rekonpensi (gugatan balik). Dan pihak tergugat tidak perlu membayar panjar biaya
perkara.
4. Replik penggugat
Setelah Tergugat menyampaikan jawabannya, kemudian si penggugat diberi
kesempatan untuk menanggapinya sesuai dengan pendapat penggugat. Pada tahap ini
mungkin penggugat tetap mempertahankan gugatannya atau bisa pula merubah sikap
dengan membenarkan jawaban/bantahan tergugat.
5. Duplik tergugat.
Setelah penggugat menyampaikan repliknya, kemudian tergugat diberi
kesempatan untuk menanggapinya/menyampaikan dupliknya. Dalam tahap ini dapat
diulang-ulangi sampai ada titik temu antara penggugat dengan tergugat. Apabila acara
jawab menjawab dianggap cukup oleh hakim, dan masih ada hal-hal yang tidak
disepakati oleh kedua belah pihak, maka hal ini dilanjutkan dengan acara pembuktian.
6. Pembuktian
Pada tahap ini, penggugat dan tergugat diberi kesempatan yang sama untuk
mengajukan bukti-bukti, baik berupa bukti surat maupun saksi-saksi secara bergantian
yang diatur oleh hakim.
7. Kesimupulan para pihak
Pada tahap ini, baik penggugat maupun tergugat diberi kesempatan yang sama
untuk mengajukan pendapat akhir yang merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan
selama sidang berlangsung menurut pandangan masing-masing. Kesimpulan yang
disampaikan ini dapat berupa lisan dan dapat pula secara tertulis.
8. Musyawarah majelis hakim
Rapat Permusyawaratan Majelis Hakim bersifat rahasi ( Pasal 19 ayat (3) UU
No. 4 Tahun 2004. Dalam rapat permusyawaratan majelis hakim , semua hakim
menyampaikan pertimbangannya atau pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis.
Jika terdapat perbedaan pendapat, maka diambil suara terbanyak, dan pendapat yang
berbeda tersebut dapat dimuat dalam putusan (dissenting opinion).
9. Putusan hakim
Setelah selesai musyawarah majelis hakim, sesuai dengan jadwal sidang, pada
tahap ini dibacakan putusan majelis hakim. Setelah dibacakan putusan tersebut,
penggugat dan tergugat berhak mengajukan upaya hukum banding dalam tenggang
waktu 14 hari setelah putusan diucapkan. Apabila penggugat/ tergugat tidak hadir saat
dibacakan putusan, maka Juru Sita Pengadilan Agama akan menyampaikan isi/amar
putusan itu kepada pihak yang tidak hadir, dan putusan baru berkekuatan hukum tetap
setelah 14 hari amar putusan diterima oleh pihak yang tidak hadir itu.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMUPULAN
Peradilan Pada Masa Rasulullah Peradilan merupakan salah satu institusi yang
dapat digunakan untuk menyelesaikan persengkataan di antara sesama manusia.
karena itu, peradilan sekaligus menjadi sarana penegakkan supremasi hukum. Dengan
demikian, adamya institusi peradilan, hukum ditegakkan dengan baik sehingga nilai-
nilai keadilan dapat diperoleh. Pada periode awal Islam, hukum dan peradilan
dilaksanakan langsung oleh Rasulullah. Beliau berfungsi sebagai hakim selain fungsi-
fungsi lainnya, baik sebagai hakim tingkat pertama dan terakhir maupun sebagai
hakim tingkat tinggi. Yang terakhir terjadi apabila perkara yang diputus oleh sahabat
kemudian ditolak oleh pihak yang berperkara, maka pihak yang berperkara dapat
mengadakan banding kepada Rasulullah saw, seperti yang dialami oleh ‘Ali ketika ia
dikirim oleh Nabi untuk menjadi kadi di Yaman.
Sedangkan peradilan agama di indonesia merupakan salah satu badan
peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum
dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang
bergama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah,dan ekonomi syariah. Adapun peradilan agama di idonesia mencakup 2
bagian yaitu pengadilan agama (pengadilan tingkat pertama) dan pengadilan tinggi
agama (pengadilan tingkat banding).

B. SARAN
Peradilan agama di indonesia seharusnya bukan hanya menyelesaikan perkara
atau permasalahan antara orang-orang islam pada bidang perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah, melainkan juga
menyelesaikan perkara pada semua permasalahan dalam islam seperti yang dilakukan
pada masa Rasululullah misalnya : pembunuhan, pencurian, zina dan lain sebagainya.
Serta apabila nantinya peradilan agama di indonesia memegang penuh peranan
dalam penyelasakan semua permasalahan/ pelanggaran hukum dalam islam maka
demi kemashlahatan umat muslim diindonesia hukum yang harus digunakan dalam
mengadili setiap perkara haruslah menggunakan hukum qishash sebagaimana yang
telah di terapkan pada masa Rasulullah.
DAFTAR PUSTAKA
https://garuda.ristekdikti.go.id/
https://www.researchgate.net
http://repository.uin-suska.ac.id/
https://core.ac.uk/
https://id.scribd.com/
https://www.academia.edu/
http://peradilandiindonesia.blogspot.com/
https://repository.uinjkt.ac.id/
https://akhsyaifulrijal.wordpress.com/
https://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Agung_Republik_Indonesia
https://web.pa-sumber.go.id/tahapan-tahapan-perkara

Anda mungkin juga menyukai