Anda di halaman 1dari 23

KONFLIK ANTAR TOKOH AGAMA

TUGAS MATA KULIAH AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL


PROGRAM DOKTOR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BERBASIS STUDI INTERDISIPLINER (PAI-BSI)

Rahmat

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
September 2015

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Maha Kuasa Allah SWT telah menciptakan manusia dengan sebaik-
baiknya(khalaqal insana fi ahsani taqwiem), dengan berbagai perbedaan rupa,
kompetensi, dan bahkan dengan perbedaan pendapat.Setiap manusia memiliki
karakter masing-masing dan semuanya berbeda-beda. Kekuasaan Allah SWT
seperti inilah yang kemudian tidak dapat ditandingi oleh siapapun, walaupun
fir’aun (Ramses) terus berusaha ngotot bahwa ia adalah Tuhan yang bisa
menghidupkan dan mematikan.
Berangkat dari perbedaan tadi, kita kemudian banyak melihat konflik-
konflik terjadi di antara manusia disebabkan oleh perbedaan pendapat, perbedaan
emosional, dan perbedaan kemauan sehingga sebagian besar implikasi dari pada
perbedaan tadi mengakibatkan konflik yang tidak baik dan mengarah kepada
pengrusakan-pengrusakan terhadap segala aspek, hal ini disebabkan oleh
minimnya pengetahuan, pemahaman, dan pengertian manusia akan ilmu
pengetahuan dan ilmu agama yang kokoh, atau bisa dikatakan kurang dan bahkan
lemahnya keimanan kepada Allah SWT. Dimana manusia masih lebih
mengedepankan kebenaran dan kesalahan dari pada kebaikan dan keburukan suatu
kejadian, sehingga solusi yang berangkat dari akal sajalah yang sering aktif
digunakan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan di antara manusia tersebut.
Bila kita rujuk sebuah hadits Rasulullah SAW, bahwa beliau pernah
berdo’a disebuah masjid Bani Mu’awiyah yang saat ini dikenal dengan sebutan
masjid Ijabahdisebabkan do’a tersebut.1Terletak di jalan as-Sittin, distrik Bani
Muawiyah Madinah Al-Munawwarah tepatnya di sebelah timur masjid an-

1
Muhammad Ilyas Abdul Ghani, Sejarah Madinah Munawwarah Bergambar, 2005, Hal: 71

2
Nabawi.Tiga do’a yang disampaikan oleh Rasulullah SAW, 2 do’a dikabulkan dan
1 do’a sisanya tidak dikabulkan oleh Allah SWT.Dalam Shahih Muslim
diriwayatkan, Amir bin Sa’dari menuturkan dari ayahnya, bahwa suatu hari
RasulullahMuhammad SAW, datang dari Al-Aliyah dan melewati Masjid Bani
Mu'awiyah. Rasulullah SAW kemudian masuk ke Masjid dan salat 2 rakaat.Saat
itu Rasulullah SAW berdoa sangat lama.Selesai berdo’a, Iabersabda:

"Aku meminta tiga hal kepada Rabbku.Tetapi, hanya dua hal dikabulkan, dan satu
hal tidak diperkenankan.Aku meminta agar umatku tidak dibinasakan dengan
paceklik.Permintaanku pun dikabulkan.Aku memohon agar umatku tidak
ditenggelamkan.Permohonanku pun dikabulkan.Aku mengharap agar permusuhan
umatku tidak terjadi antar sesama mereka, tetapi permintaanku tidak dikabulkan.2

Inilah ujian yang diberikan kepada manusia oleh Allah SWT agar bisa
mengendalikan dirinya sehingga tidak terjadi peperangan, fitnah, dan perselisihan
di antara mereka, karena kuatnya iman mereka dengan ujian yang memang
direncanakan oleh Allah SWT kepada manusia untuk mengukur kesabaran
manusia dalam mengharap ridha Allah SWT dan ampunan-Nya.Konflik
merupakan kenyataan hidup yang tidak dapat dihindari. Konflik terjadi ketika
tujuan masyarakat tidak sejalan, berbagai perbedaan pendapat.Ada konflik yang
bisa diselesaikan tanpa kekerasaan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih
baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat, namun sebagian besar
realitanya banyak tidak dapat diselesaikan sehingga menjadi penyakit pada diri
manusia hidup di muka bumi ini.Dalam setiap kelompok sosial selalu ada benih-
benih pertentangan antara individudan individu, kelompok dan kelompok, individu
atau kelompok dengan pemerintah.Pertentangan ini biasanya berbentuk non
fisik.Tetapi dapat berkembang menjadi benturan fisik, kekerasaan dan tidak
berbentuk kekerasaan.

2
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/553751-masjid-ijabah--kisah-tiga-doa-rasulullah

3
Selanjutnya hal yang menarik dan perlu mendapatkan perhatian para
pelajar serta masyarakat Muslim Indonesia adalah, ternyata konflik tidak hanya
terjadi pada masyarakat biasa atau masyarakat kurang ilmu pengetahuan.Namun
ternyata konflik malah terjadi antara tokoh masyarakat yang dijadikan panutan
oleh masyarakat itu sendiri, seperti Kyai, Tokoh Agama Islam, Pejabat pemerintah
yang tokoh dan lainnya.Konflik ini memberikan implikasi yang negatif terhadap
agama, yang mana kemudian terjadi merosotnya kepercayaan masyarakat kepada
tokoh agamabaik kepada pribadinya atau bahkan kepada ajaran yang dianutnya
yaitu agama Islam.
Di samping haltersebut, banyaknya partai politik yang lahir dari rahim
Islam mamberikan dampak pemencaran kepemimpinan umat dan elit politik
muslim, dari satu segi dapat dikatakan sebagai perwujudan dari demokratisasi
dan egalitarianisasi kepemimpinan umat Islam yaitu Kyai. Tetapi pada segi lain
mencerminkan terdapatnya rivalitas kepemimpinan Kyai yang pada gilirannya
memunculkan konflik antar Kyai dan massa pendukungnya. Terdapat
kecendrungan kuat dalam lapisan elite muslim untuk mengklaim posisi
kepemimpinan tertinggi bagi diri masing-masing. Semua ingin menjadi
pimpinan, tidak ada yang ikhlas menjadi anak buah. Karena itulah apa yang
terjadi adalah rivalitas dan konflik yang tidak pernah terselesaikan.
Maka menjadi penting bagi penulis untuk mengangkat permasalahan ini
dalam rangka mendapatkan banyak informasi dan pengertian, syukur nantinya bisa
mendapatkan solusi yang baik bagi baiknya teladan tokoh agama itu sendiri, bagi
ummat Muslim yang berdampak positif dan baik bagi syiar-syiar agama Islam agar
ummat Muslim bertambah keyakinannya untuk mengamalkan syariat-syariat Islam
baik dalam al-Qur’an maupun Hadits Rasulullah SAW, yang saat ini mengalami
kemerosotan.

4
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah untuk mengetahui beberapa
hal berikut:
1. Apa yang melatar belakangi terjadi konflik antar tokoh masyarakat?
2. Bagaimana problem solving yang dapat dilakukan agar konflik dapat dapat
memberikan kebaikan bagi tokoh masyarakat?

C. TUJUAN MASALAH
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah dalam rangka mengetahui:
1. Faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya konflik antar tokoh
masyarakat.
2. Untuk mengetahui tatacara menyelesaikan konflik yang sedang terjadi antara
tokoh masyarakat.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konflik Antar Tokoh Agama Islam


Konflik berasal dari kata kerja Latin, yaitu configure yang berarti saling
memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara
dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak
berdaya.Konflik sesungguhnya merupakan suatu proses bertemunya dua pihak
atau lebih yang mempunnyai kepentingan yang relatifsama terhadap hal yang
sifatnya terbatas. Dengan demikian, terjadilah persaingan hingga menimbulkan
suatu benturan-benturan.
Berikut ini beberapa pendapat ahli tentang pengertian konflik:
1. Berstein, menyebutkan bahwa konflik merupakan suatu pertentangan atau
perbedaan yang belum pernah dicegah, konflik mempunnyai potensi yang
memberikan pengaruh positif dan ada pula yang negatifdalam interaksi
manusia.
2. Robert M. Z Lawang, mengemukakan bahwa konflik adalah perjuangan untuk
memperoleh nilai, status, dan kekuasan dimana tujuan dari mereka yang
berkonflik tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga untuk
menundukkan saingannya.
3. Soerjono Soekanto, konflik merupakan proses sosial dimana orang perorangan
atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan
menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan kekerasan.

6
Sedangkan pengertian tokoh adalah orang yang memiliki keunggulan dan
memiliki jasa besar dalam organisasi dan sebagainya.3Adapun pengertian agama
adalah keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan (Aqidah)4.Maka dapat
disimpulkan bahwa pengertian dari pada tokoh agama adalah orang yang memiliki
keunggulan atau kelebihan pengetahuan dan memiliki jasa besar dalam hal
keyakinan dan kepercayaan kepada Allah SWT, yang mana dalam hal ini adalah
agama Islam.Maka selanjutnya dari pengertian terkemuka bisa ditarik kesimpulan
bahwa konflik antar tokoh agama memiliki pengertian suatu pertentangan atau
perbedaan dalam berbagai aspek antar orang-orang yang memiliki keunggulan
atau kelebihan pengetahuan akan keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan dalam
rangka memenuhi tujuan, kepentingan, kekuasaan, dan sebagainya dengan cara
melawan dan menundukkan tokoh agama lainnya baik dengan ancaman maupun
kekerasan.
Konflik antar tokoh agama yang saat ini sering terjadi banyak disebabkan
oleh perubahan-perubahan zaman dan perkembangannya, dimana para tokoh
sudah merasa harus terjun dalam lapangan pemerintahan Negara.Kyai menjadi
Gubernur, Wali Kota, Bupati, anggota legislatif dan sebagainya yang kesemuanya
berbau hal-hal politik(Siyasah).Sedangkan politik saat ini mengharuskan mereka
menjadi yang terbaik dan terpilih sehingga kemudian segala cara banyak dilakukan
walaupun merugikan pihak lain yang berkompetisi, bahkan masyarakat umum
sekalian.Inilah permasalahan agama yang terjadi sehingga pantas masyarakat
Muslim kemudian merasa kurang simpatik dengan para tokoh agama yang
demikian.Lebih jauh lagi ternyata bila telah menduduki jabatan yang diharapkan,
mereka kemudian terlibat dalam hal yang bersifat nepotisme, baik terhadap hak-
hak rakyat dan elemen-elemen birokrasi lainnya, dan bahkan kemudian terlibat
dalam kasus korupsi.

3
Pius A. Darmanto & M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiyah Populer, Surabaya: Arloka, 1994,
Hal: 753
4
Ibid, Hal: 09

7
Nah kelompok-kelompok dalam tokoh tersebut kemudian berselisih
pendapat, mereka yang menjabat mengharuskan kelompok lain harus ikut berperan
mendukungnya dalam segala hal keputusan pemerintahan, bila tidak maka timbul
ancaman-ancaman untuk menundukkan tokoh agama yang berada pada poros
tegah, yaitu tidak mendukung secara keseluruhan.Tokoh agama yang memiliki
lembaga pendidikan kemudian dipersulit, dan tidak menjadi prioritas untuk
mendapatkan bantuan yang berasal dari kabupaten, wilayah dan
seterusnya.Prioritas lembaga pendidikan yang mendapatkan bantuan kemudian
adalah lembaga yang pimpinannya memberikan dukungan penuh dalam
menjadikan calon pimpinan pemerintahan tersebut menjadi terpilih dalam pilkada
dan sebagainya.
Di samping contoh konflik di atas, terdapat konflik pimpinan Pondok
Pesantren besar yang berada di Kabupaten Situbondo yang disebabkan oleh
kepentingan politik.Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik
kyai NU terjadi karena dua putra KHR. As’ad Syamsul Arifin, yaitu Kyai
Fawaid As’ad dan Kyai Cholil As’ad masing-masing sebagai pemimpin pondok
pesantren yang berbeda, berafiliasi dengan dua partai politik yang berbeda,
yaitu PKB dan PKNU. Massa pendukung yang dahulunya menghormati dan
mendukung keberadaan KHR. As’ad Syamsul Arifin otomatis menjadi dua
kubu massa yang menjadi pendukung salah satu kyai tersebut, sehingga timbul
konflik kepentingan politik. 5

B. Jenis-Jenis Konflik Tokoh Agama


Terdapat beberapa jenis yang mengakibatkan terjadinya konflik di
antara para tokoh agama atau pimpinan dari suatu organisasi Islam, antara lain:
1. Konflik Keluarga

5
Hasil Penelitian oleh Kahar Haerah&Edhi Siswanto (Staf Pengajar Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu PolitikUniversitas Muhammadiyah Jember), studi di desa tambak ukir kecamatan kendit
kabupaten Situbondo.

8
Konflik keluarga merupakan faktor dominan di PondokPesantren, dimana
lahirnya konflik keluarga berkaitan erat dengan sistem warisan pengelolaan
Pesantren. Menjadi pengelola atau pengasuh pesantren adalah impian bagi
semua Kyai, sebab bila seorang Kyai memiliki pesantren, maka
eksistensinya lebih dihormati, atau paling tidak Kyai memiliki pengikut inti
yaitu santri, wali santri atau alumni. Sebaliknya, bila Kyai tidak memiliki
pesantren, maka keberadannya kurang afdhol oleh kalangan Kyai dan
pengikutnya sebatas massa yang mengambang (floating mass).
Konflik keluarga dalam tradisi pesantren muncul ketika pendirinya telah
wafat kemudian tampuk kepemimpinan dan otoritas pengelolaannya
ditangani oleh Putra-putrinya. Konflik keluarga mengemuka manakala sang
ayah yang telah wafat tidak memberikan wasiat siapa yang berhak
memegang tampuk kepemimpinan pesantren. Konflik tidak terjadi manakala
anak-anak Kyai masih kecil-kecil dan dalam kondisi tanpa Kyai biasanya
pengelolaan pesantren ditangani oleh ustadz senior.Namun situasi semacam
ini bersifat temporal, kelak bila anak-anak Kyai telah dewasa, konflik dapat
muncul sedemikian rupa. Potensi konflik dalam keluarga masih muncul
walaupun Kyai telah berwasiat kepada siapa tampuk kepemimpinan
pesantren akan diserahkan?.
2. Konflik Politik
Konflik politik dalam dunia pesantren merupakan salah satu hal yang paling
krusial, sebab bentuk konflik jenis ini eskalasinya lebih kuat dan seringkali
termanifes. Mengemukanya konflik yang disebabkan oleh perbedaan pilihan
dan sikap politik, menjadi berbeda dengan konflik lain yang ada di dunia
pesantren. Sebab, konflik politik biasanya disebabkan masuknya pihak luar
pesantren dan seringkali menjadi bagian dari konflik itu sendiri. Faktor
eksternal diyakini sebagai penyebab konflik politik, disisi yang lain
masyarakat pesantren melihat instrumen pesantren sebagai lembaga
pendidikan keagamaan, yang tidak terkait dengan masalah kekuasaan atau

9
politik. Karenanya, bila ada konflik yang disebabkan politik, mereka
beranggapan telah ada unsur kepentingan luar yang menggunakan pesantren
sebagai alat politik. Berdasarkan hal tersebut, wajar bila konflik yang
disebabkan politik lebih cepat diketahui oleh masyarakat ketimbang konflik
yang disebabkan oleh faktor lain. Kyai sedapat mungkin menghindari
konflik, bila tetap terjadi, maka diminimalisir dan diniatkan tidak ada
kepentingan. Berbeda bila konflik kepentingan terjadi, sebab bila sudah
menjadi komoditas, berlaku hukum pasar pula, sesuatu yang menguntungkan
akan dipertahankan. Konflik pun tak kunjung usai lantaran disengaja agar
tetap berlangsung.
3. Konflik Perebutan Pengakuan Ummat
Ciri yang melekat dalam sistem sosial masyarakat tradisional adalah adanya
elit yang dijadikan panutan, pemimpin atau tokoh.Bahkan tokoh panutan
tersebut cenderung dikultuskan karena memiliki keistimewaan yang tidak
dimiliki oleh orang biasa. Karenanya untuk menjadi bagian dari elit
tradisional, seseorang dituntut mempunyai keistimewaan yang diakui oleh
masyarakat seperti; kharisma, kewibawaan, keistimewaan yang tidak
dimiliki oleh orang lain atau orang pada umumnya, dan lain sebagainya.
4. Konflik Feodalisme
Feodalisme dalam masyarakat pesantren merupakan salah satu ciri
sebagaimana identitas masyarakat tradisional lainnya.Feodalisme yang
kental adalah pengkultusan terhadap figur Kyai, dari sini berimplikasi pada
pola hubungan Kyai dan santri yang vertikal. Pola pengkultusan terjadi
bukan hanya terbentuk secara kultural namun dipengaruhi pula oleh norma
yang bersumber pada nilai agama yaitu keharusan hormat kepada guru.
Norma tersebut melahirkan derivasi yang dibangun sendiri oleh masyarakat
pesantren bila tidak hormat maka tidak akan mendapatkan berkah, dari
sinilah terbangun kepatuhan tanpa batas dalam term sami’na wa atha’na.
Kultur feodalistik tersebut menyebabkan Kyai selalu ingin ditempatkan pada

10
posisi superior.Superioritas Kyai tersebut melahirkan karakter kepribadian
individualis yang tidak mau diintervensi.
5. Konflik Manajemen
Manajemen merupakan faktor kelemahan pesantren tradisional, padahal
keberadaan manajemen yang mapan untuk sebuah institusi semacam
pesantren sangat diperlukan agar kelangsungan suatu pesantren dapat
berjalan dengan baik.Kelemahan manajemen yang ada pada Kyai pesantren
tidak disadari sebagai bentuk kelemahan Kyai dalam mengelola
pesantren.Lain kata di kala ada pengurus yang memiliki kemampuan
manajemen malah tidak diberikan kewenangan, hal ini acapkali berbenturan
karena pribadi Kyai yang tidak boleh ditentang, dari sinilah kemudian
muncul konflik, bahkan tidak jarang diantara pengasuh atau Kyai muda
akhirnya menyempal bahkan mendirikan pesantren baru.Konflik yang
disebabkan oleh faktor manajemen biasanya mengemuka manakala Kyai
sudah tidak mau bekerjasama dan berjiwa kepemimpinan otoriter.

C. Faktor-faktor Penyebab Konflik


Upreti (2006) menjelaskan bahwa pada umunya orang berkompetisi untuk
memperebutkan sumber daya alam karena empat alasan utama. Pertama, karena
sumber daya alam merupakan “interconnected space” yang memungkinkan
perilaku seseorang mampu mempengaruhi perilaku orang lain. Sumber daya alam
juga memiliki aspek “social space” yang menghasilkan hubungan-hubungan
tertentu diantara para pelaku. Selain itu sumber daya alam bisa menjadi langka
atau hilang sama sekali terkait dengan perubahan lingkungan, permintaan pasar
dan distribusi yang tidak merata. Yang terakhir, sumber daya alam pada derajat
tertentu juga menjadi sebagai simbol bagi orang atau kelompok tertentu.
Soetopo (2001) menerangkan bahwa salah satu dari pada terjadinya konflik
ditengah-tengah masyarakat adalah disebabkan oleh adanya kepentingan pihak-
pihak yang terlibat dalam konflik, dan hubungan pihak-pihak yang mengalami

11
konflik sebelum terjadi konflik.Dua penyebab ini cocok sekali dengan penyebab
konflik yang terjadi antar tokoh agama yang ada di Situbondo dan di Probolinggo.
Selain faktor tersebut di atas, sejak dahulu kurang lebih dekade 80-an telah
banyak muncul kesadaran sekaligus keprihatinan terhadap perkembangan social-
masyarakat dab keilmuan sosial yang berimplikasi kepada rendahnya spiritual dan
retaknya hubungan antar sesama masyarakat muslim. Menurut Tholhah Hasan
salah satu indikatornya hal tersebut disebabkan oleh:6
1. Mulai terasa menipisnya jumlah Ulama’/Kyai yang benar-benar menguasai
ilmu –ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqh, tasawwuf dan sebagainya sehingga
berakibat pada sangat minimnya kemampuan mereka untuk memberikan
pengajian.
2. Maraknya kelompok-kelompok yang mengatasnamakan gerakan pembaharuan
Islam di tengah-tengah masyarakat yang kemudian sering memunculkan
keributan di dalam komunitas Islam, padahal masalah yang menjadi penyulut
perselisihan itu tidak lebih dari masalah-masalah khilafiyah madzhabiyah yang
statusnya adalah furu’ (cabang) bukan ushuliyah (pokok). Dalam hal ini tidak
banyak yang dapat menjenirkan permasalahan disebabkan oleh terbatasnya
pemahaman mereka terhadap ushul fiqh, alqawaid fiqhiyah, asbab ikhtilaf-al-
madzahibi dsb.
3. Sekian banyak sarjana-sarjana perguruan tinggi yang mumpuni, namun entah
apa yang menyebabkan mereka kurang dekat dengan masyarakat bawah dan
kurang dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat awam, atau
kurang intim dengan masyarakat grass-root. Mereka lebih memilih gaya
birokratis dari pada populis, lebih tertarik menjadi PNS dari pada menjadi
pemimpin di tegah-tengah masyarakat.
4. Daya tarik kehidupan politik kekuasaan dengan segala fasilitasnya banyak
memalingkan Ulama’-ulama’ muda (termasuk gus-gus dan ning-ning keluarga

6
Tholhah Hasan, (Dr. Abu Yazid MA, Membangun Islam Tengah, Yokyakarta: Pustaka
Pesantren, 2010, hal: xix-xxii)

12
pesantren) dari berkiprah memberikan pencerahan dan membimbing untuk
pemberdayaan di tengah-tengah dinamika masyarakat modern yang penuh
persaingan dan pergeseran. Pesantren menjadi sepi dari semangat keilmuan dan
pengabdian, sebaliknya ia hanya menjadi ajang perebutan pengaruh pemimpin-
pemimpin politik untuk menanamkan kekuatan.
5. Pengaruh globalisasi dan kemajuan teknologi informasi, mulai terasa pengaruh
positif dan negatifnya. Banyak putra-putri Kyai yang melanjutkan
pendidikannya ke luar negeri, Timur Tengah yang bermadzhab hambali atau
hanafi. Seperti Lybia, Maroko, dan Sudan yang mayoritas bermadzhab Maliki,
serta ke Negara Turki dan Syiria yang bermadzhab Hanafi. Memberikan
cakrawala fiqh yang lebih luas dan beragam dan sedikit banyak memberikan
pengaruh kepada mereka dalam memahami hakikat fiqh sebagai salah satu
sumber dalil syari’ah, di samping lebih memberikan kemampuan kepada
mereka dalam memahami fiqh moqaran (fiqh perbandingan).

Faktor lain terjadinya konflik adalah karena adanya perebutan sesuatu yang
jumlahnya terbatas. Adapula yang berpendapat bahwa konflik muncul karena
adanya ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat, terutama antara kelas atas
dan kelas bawah.Adanya politik yang tidak sehat dalam meraih kekuasaan pada
suatu wilayah tertentu yang terbatas baik secara kewilayahan maupun masa.Selain
itu juga karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan, kebutuhan, dan tujuan
dari masing masing masyarakat yang berkonflik.Dalam hal ini,Soerjono
Soekanto mengemukakan beberapa faktor terjadinya konflik antara lain:
1. Perbedaan Antar Perorangan
Perbedaan ini dapat berupa perbedaan perasaan, pendirian, atau pendapat. Hal
ini mengingat bahwa manusia adalah individu yang unik atau istimewa, karena
tidak pernah ada kesamaan yang baku antara yang satu dengan yang
lain.Perbedaan-perbedaan inilah yang dapat menjadi salah satu penyebab
terjadinya konflik, sebab dalam menjalani sebuah pola interaksi sosial, tidak

13
mungkin seseorang akan selalu sejalan dengan individu yang lain. Misalnya
dalam suatu metode membimbing masyarakat yang majemuk, keinginan dalam
memimpin suatu kelompok yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agama, seperti
pimpinan Pondok Pesantren dengan pimpinan yang lain yang sangat berbeda
secara individu. Satu Pondok mendapatkan bantuan satu pondok yang lain
tidak, sehingga sangat mungkin kemudian muncul rasa iri, dengki, cemburu dan
sebagainya yang kemudian diawali dengan konflik secara stimulus, namun
selanjutnya bisa menjadi konflik yang cukup besar.
2. Perbedaan Kebudayaan
Perbedaan kebudayaan mempengaruhi pola pemikiran dan tingkah laku
perseorangan dalam kelompok kebudayaan yang bersangkutan. Selain
perbedaan dalam tataran individual, kebudayaan dalam masing-masing
kelompok juga tidak sama. Setiap individu dibesarkan dalam lingkungan
kebudayaan yang berbeda-beda. Dalam lingkungan kelompok masyarakat yang
samapun tidak menutup kemungkinan akan terjadi perbedaan kebudayaan,
karena kebudayaan lingkungan keluarga yang membesarkannya tidak sama.
Yang jelas, dalam tataran kebudayaan ini akan terjadi perbedaan nilai dan
norma yang ada dalam lingkungan masyarakat. Ukuran yang dipakai oleh satu
kelompok atau masyarakat tidak akan sama dengan yang dipakai oleh
kelompok atau masyarakat lain. Apabila tidak terdapat rasa saling pengertian
dan menghormati perbedaan tersebut, tidak menutup kemungkinan faktor ini
akan menimbulkan terjadinya konflik sosial. Contohnya seseorang yang
dibesarkan pada lingkungan kebudayaan yang bersifat individualis dihadapkan
pada pergaulan kelompok yang bersifat sosial. Dia akan mengalami kesulitan
apabila suatu saat ia ditunjuk selaku pembuat kebijakan kelompok. Ada
kecenderungan dia akan melakukan pemaksaan kehendak sehingga kebijakan
yang diambil hanya menguntungkan satu pihak saja. Kebijakan semacam ini
akan ditentang oleh kelompok besar dan yang pasti kebijakan tersebut tidak

14
akan diterima sebagai kesepakatan bersama. Padahal dalam kelompok harus
mengedepankan kepentingan bersama.Di sinilah letak timbulnya pertentangan
yang disebabkan perbedaan kebudayaan.Contoh lainnya adalah seseorang yang
berasal dari etnis A yang memiliki kebudayaan A, pindah ke wilayah B dengan
kebudayaan B. Jika orang tersebut tetap membawa kebudayaan asal dengan
konservatif, tentu saja ia tidak akan diterima dengan baik di wilayah barunya.
Dengan kata lain meskipun orang tersebut memiliki pengaruh yang kuat,
alangkah lebih baik jika tetap melakukan penyesuaian terhadap kebudayaan
tempat tinggalnya yang baru. Konflik yang terjadi antar tokoh agama ternyata
bukan tokoh yang memiliki perbedaan budaya, tapi mereka malah banyak
memiliki kesamaan suku, budaya, bahasa daerah, namun tetap saja walaupun
sama-sama satu suku dan sebagainya mereka masih mengalami konflik yang
tidak terhindarkan disebabkan oleh ego masing-masing dalam mempertahankan
keinginan yang bersifat duniawi.
3. Bentrokan Kepentingan
Bentrokan kepentingan dapat terjadi di bidang ekonomi, politik, dan
sebagainya.Hal ini karena setiap individu memiliki kebutuhan dan kepentingan
yang berbeda dalam melihat atau mengerjakan sesuatu. Demikian pula halnya
dengan suatu kelompok tentu juga akan memiliki kebutuhan dan kepentingan
yang tidak sama dengan kelompok lain. Contohnya adalah penerimaan bantuan
yang terkesan lebih banyak diberikan oleh pemerintah kepada suatu kelompok
tertentu, sehingga kelompok yang lain yang belum pernah dapat merasa ada
kesenjangan atau pilih kasih karena tidaknya kepentingan pemerintah sebagai
pemberi bantuan terhadap organisasi suatu kelompok tersebut.Timbullah
kecurigaan yang lebih dikenal dengan nepotisme, kolusi, dan bahkan korupsi
dengan strategi bantuan.
4. Perubahan Sosial yang Terlalu Cepat

15
Perubahan tersebut dapat menyebabkan terjadinya disorganisasi dan perbedaan
pendirian mengenai reorganisasi dari sistem nilai yang baru. Perubahan-
perubahan yang terjadi secara cepat dan mendadak akan membuat keguncangan
proses-prosessosial di dalam masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan
terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan
kehidupan masyarakat yang telah ada. Sebenarnya perubahan adalah sesuatu
yang wajar terjadi, namun jika terjadinya secara cepat akan menyebabkan
gejolak sosial, karena adanya ketidaksiapan dan keterkejutan masyarakat, yang
pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya konflik sosial.Contohnya
perubahan kurikulum 2013, kenaikan BBM, termasuk perubahan yang begitu
cepat.Masyarakat banyak yang kurang siap dan kemudian menimbulkan aksi
penolakan terhadap perubahan tersebut.Dan masih banyak lagi kebijakan-
kebijakan lainnya dimana masyarakat sebagai pelakunya masih belum siap
untuk segera berubah melaksanakannya.

D. Alternatif Pemecahan Konflik antara Tokoh Agama


Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengelolaan konflik, dapat
dikemukakan bahwa pengelolaan konflik merupakan cara yang digunakan
individu dalam mengontrol, mengarahkan, dan menyelesaikan
konflik. Menurut Riggio (1990), konflik dapat berpengaruh positif atau negatif,
dan selalu ada dalam kehidupan. Oleh karena itu konflik hendaknya tidak serta
merta harus ditiadakan.Persoalannya, bagaimana konflik itu bisa dikelola
sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan disintegrasi sosial.Pengelolaan
konflik berarti mengusahakan agar konflik berada pada level yang optimal.Jika
konflik menjadi terlalu besar dan mengarah pada akibat yang buruk, maka
konflik harus diselesaikan. Di sisi lain, jika konflik berada pada level yang
terlalu rendah, maka konflik harus dibangkitkan.Berbeda dengan apa yang
dikemukakan oleh Soetopo (1999) bahwa strategi pengelolaan konflik

16
menunjuk pada suatu aktivitas yang dimaksudkan untuk mengelola konflik
mulai dari perencanaan, evaluasi, dan pemecahan/penyelesaian suatu konflik
sehingga menjadi sesuatu yang positif bagi perubahan dan pencapaian tujuan.
Alternatif penyelesaian konflik yang terjadi antar 2 tokoh agama atau lebih
dapat menggunakan Pendekatan-pendekatan personal antara para tokoh agama
yaitu apa dengan bekerjasama/tidak bekerjasama dan tegas/tidak tegas. Dengan
menggunakan kedua macam dimensi tersebut terdapat 5 macam pendekatan bagi
terselesainya konflik yang terjadi antara lain:
1. Kompetisi; Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak mengalahkan
atau mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal dengan
istilah win-lose orientation.namun hal ini tidak cocok untuk penyelesaian
konflik bagi tokoh agama, karena tidak sejalan dengan ketentuan agama yang
mengarahkan kepada kebaikan antar ummatnya, bukan saling bermusuhan
secara terus menerus walaupun masalah sudah terselesaikan.
2. Akomodasi; Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan
cermin yang memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain tanpa
ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut adalah taktik
perdamaian. Atau bisa dengan cara arbitrasi, yaitu suatu perselisihan yang
langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan keputusan dan
diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak.Untuk tokoh agama tentunya harus
ditengahi oleh tokoh agama yang lebih dituakan atau kharismatik.
3. Sharing; Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi
kelompok dan kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lain menerima
keputusan-keputusan yang dimusyawarahkan atas mufakat, saling
menguntungkan. Kedua kelompok berpikiran moderat, tidak lengkap, tetapi
memuaskan.Atau dengan berkompromi, yaitu jalan tengah yang dicapai oleh
pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik.

17
4. Kolaborasi; Bentuk usaha penyelesaian konflik yang memuaskan kedua belah
pihak tokoh agama. Usaha ini adalah pendekatan pemecahan problem
(problem-solving approach) yang memerlukan integrasi dari kedua pihak.Atau
dengan tatacara konsiliasi, yaitu mempertemukan keinginan tokoh agama yang
yang konflik sehingga kemudian tercapai persetujuan bersama.
5. Penghindaran; Menyangkut ketidakpedulian dari kedua kelompok. Keadaaan
ini menggambarkan penarikan kepentingan atau mengacuhkan kepentingan
kelompok lain.Atau dalam istilah lainnya adalah tatacara elimination, yaitu
pengunduran dari konflik, yang diungkapkan dengan ucapan “kami mengalah,
kami keluar, kami salah dan sebagainya”.
Alternatif-alternatif penyelesaikan konflik di atas akan lebih sempurna
bilamana kedua belah pihak tokoh agama juga dapat mengamalkan perintah-
perintah Allah SWT yang terkandung dalam al-Qur’an, dan ini merupakan tatacara
yang bersifat penghalusan (smooting)7yaitu saling memahami konflik dengan
kasih sayang, persaudaraan, berprasangka baik (posive thingking/khusnuddhan)8
dengan mengedepankan terjalinnya silaturrahmi, perdamaian, dan hubungan baik
antar umat beragama tanpa sikap berpura-pura(psedo democratis), yaitu berlaku
baik bila berhadapan, namun menghujat dari belakang. Allah SWT berfirman:

‫إنما المؤمنون إخوة فأصلحوا بين‬


.‫ واتقوا هللا لعلكم ترحمون‬،‫أخويكم‬
)10 :‫(الحجرات‬

7
Hodge & Anthony (1991).
8
Tim MGMP PAI Kota Malang, Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti kelas X, Malang:
Perdana Utama, 2015, Hal: 07

18
Artinya: “sesungguhnya orang-orangMukmin itu bersaudara, maka karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih), dan bertaqwalah kepada
Allah SWT, agar kamu mendapat rahmat.”(al_hujuraat: 10).9

Keimanan kepada Allah SWT dengan tatacara memprioritaskannya dalam


setiap pergaulan (muamalah maan nas) harus lebih dikedepankan, melebihi
kepentingan-kepentingan yang bersifat duniawi.Inilah permasalahan agama yang
mulai merosot sehingga dengan perkembangan zaman pengetahuan dan
pengamalan agama berubah menjadi alternatif kedua bagi kalangan masyarakat
dan bahkan bagi kalangan tokoh masyarakat. Merupakan tantangan dalam
beragama ke depan bila hanya mementingkan kebutuhan dunia dari pada
kebutuhan di akhirat kelak yang harus dipupuk mulai sekarang.

9
Faishal Abdurrahman Bafadhal dkk, Al-Qur’an Tajwid,Jakarta Timur: Maghfirah Pustaka,
2006, Hal: 515

19
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Konflik yang terjadi di tengah-tengah para tokoh agama, yang mayoritas
memimpin ummat baik lewat organisasi lembaga pendidikan atau institusi lainnya,
ternyata banyak disebabkan oleh suatu kepentingan pribadi di antara
mereka.Konflik antar mereka tidak hanya antar tokoh agama yang tidak memiliki
hubungan kekeluargaan, namun lebih dari itu konflik yang terjadi malah antara
saudara dengan saudara untuk memperebutkan pucuk kekuasaan setelah perintis
dari suatu lembaga Pondok Pesantren telah wafat.Di samping hal tersebut konflik
juga dipengaruhi oleh implikasi politik yang sampai detik ini tetap terkesan negatif
di tengah-tengah masyarakat.
Akibat politik seperti ini kemudian terjadi konflik antara mereka, tokoh
yang diharapkan mendukung pemilihan calon di kancah pemerintahan, tidak dapat
mendukung tokoh yang menjadi kandidat suatu kelompok untuk memimpin, di
samping banyaknya kelompok partai yang beredar di Indonesia.Terjadilah
semacam dendam di antara mereka yang akhirnya berdampak pada lemahnya
kharismatik tokoh tersebut.Perhatian tokoh yang terpilih kemudian hanya
memperhatikan lembaga, Pondok Pesantren, dan kebutuhan tokoh yang
mendukungnya saja, sehingga bantuan terkesan kurang merata.

20
B. KOMENTAR
Di tengah-tengah masyarakat Islam, Kyai merupakan salah satu elit
yang mempunyai kedudukan sangat terhormat dan berpengaruh besar pada
perkembangan masyarakat tersebut.Kyai menjadi salah satu elit strategis dalam
masyarakat karena ketokohannya sebagai figur yang memiliki pengetahuan luas
dan mendalam mengenai ajaran Islam. Lebih dari itu, secara teologis ia juga
dipandang sebagai sosok pewaris para Nabi (waratsat al-anbiya). Tidak
mengherankan jika Kyai kemudian menjadi sumber legitimasi dari berbagai
keagaman, tapi juga hampir dalam semua aspek kehidupannya.Kyai dianggap
sebagai sosok pemimpin umat yang wajib untuk diikuti, diteladani dan
dianggap benar dalam segala hal.
Oleh karena itu, hendaknya sebagai panutan umat, para Kyai
seharusnyabisa menyadari peran personalnya di tengah-tengah masyarakat,
untuk tidak mengakibatkan konflik-konflik bagi dirinya dan para pengikutnya.
Bila memang telah terjadi konflik, seharusnya ia mampu menyelesaikan konflik
dengan baik. Masyarakat harus didorong untuk berani berpikir menentukan
pilihannya sendiri tanpa harus dibebani, apalagi dipengaruhi untuk memilih
calon-calon dalam pemerintahan tertentu.Pilihan masyarakat tidak harus
disamakan dengan pilihan pak Kyai.Tugas Kyai sebagai pemberi pencerahan
masyarakat itu diwujudkan dengan semangat menanamkan sikap kritis
masyarakat.Sikap kritis masyarakat itu sangat dibutuhkan sebagai sistem
kontrol dan keseimbangan (check and balance) terhadap struktur kekuasaan.
Bila perlu seharusnya mereka tidak terlibat dalam politik praktis, karena
dari berbagai pengalaman ternyata Kyai yang aktif dalam politik praktis dan
memiliki lembaga Pendidikan seperti Pondok Pesantrensering menimbulkan
akibat-akibat negatif, yang mengakibatkan melemahnya sosok peran Kyai itu
sendiri dan selanjutnya berakibat negatif kepada ajaran agama Islam.Sikap
saling hormat mengormati tidak lagi menjadi hal penting, permusuhan antar

21
tokoh agama sudah terkesan hal yang biasa saja, saling menundukkan lawan
harus dilakukan dengan strategi yang sedemikian rupa, dan seterusnya-
seterusnya menjadi hal yang berdampak negatif bagi perkembangan syiar-syiar
agama Islam itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Badrun Alaena. 2006. Etika dan Peran Politik Kyai di Indonesia, Jakarta : CV.
Sinar Agung
Faishal Abdurrahman Bafadhal dkk, 2006.Al-Qur’an Tajwid, Jakarta Timur:
Maghfirah Pustaka.
Faridl, Miftah, 2007, Peran Sosial Politik Kyai, Dalam Jurnal Sosioteknologi,
Edisi 11 Tahun 6, Jakarta
Hasyim Muzadi. 2007. Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-
Negara. Yogyakarta: LKiS
Hajar, Ibnu, 2009, Kyai Di Tengah Pusaran Politik ; Antara Petaka dan Kuasa,
Yogyakarta, Ircisod
Hiroko Horikoshi. 2003. Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES
Kahar Haerah & Edhi Siswanto, (Staf Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Muhammadiyah Jember), Penelitian konflik politik
Kyai Nahdlatul Ulam’ Situbondo, studi di desa tambak ukir kecamatan
kendit kabupaten Situbondo.
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/553751-masjid-ijabah--kisah-tiga-doa-
rasulullah
Muhammad Ilyas Abdul Ghani, 2005. Sejarah Madinah Munawwarah Bergambar,
Madinah Munawarah.
Pius A. Darmanto & M. Dahlan Al-Barry, 1994.Kamus Ilmiyah Populer, Surabaya:
Arloka.
Pradjarta Dirdjosanjoto. 1999. Memelihara Umat: Kyai Pesantren-Kyai Langgar di
Jawa. Yogyakarta: LKiS
Tim MGMP PAI Kota Malang, 2015.Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti
Kelas X, Malang: Perdana Utama.

22
Tholhah Hasan, 2010 .(dalam Dr. Abu Yazid MA, Membangun Islam Tengah,
Yokyakarta: Pustaka Pesantren.
Turmudi, Endang, 2004, Perselingkuhan Kyai dan Kekuasaan, Yogyakarta, LKIS
Zamakhsyari Dhofier. 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup
Kyai. Jakarta: LP3ES

23

Anda mungkin juga menyukai