Anda di halaman 1dari 105

KAPASITAS LAPANG, EFISIENSI DAN TINGKAT PELUMPURAN

PENGOLAHAN TANAH SAWAH DI KELURAHAN SITUGEDE,


KECAMATAN BOGOR BARAT, KOTA BOGOR

oleh :
DOLLY ROBERTHO SINAGA
F14052374

2009
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KAPASITAS LAPANG, EFISIENSI DAN TINGKAT PELUMPURAN
PENGOLAHAN TANAH SAWAH DI KELURAHAN SITUGEDE,
KECAMATAN BOGOR BARAT, KOTA BOGOR

SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

oleh :
DOLLY ROBERTHO SINAGA
F14052374

2009
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAPASITAS LAPANG, EFISIENSI DAN TINGKAT PELUMPURAN


PENGOLAHAN TANAH SAWAH DI KELURAHAN SITUGEDE,
KECAMATAN BOGOR BARAT, KOTA BOGOR

SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

oleh :
DOLLY ROBERTHO SINAGA
F14052374
Dilahirkan pada tanggal 4 Desember 1986
di Kabanjahe, Karo, Sumatera Utara
Tanggal lulus: _________________

Bogor, September 2009


Menyetujui,

Dr. Ir. E. Namaken Sembiring, MS


Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Desrial, M. Eng


Ketua Departemen Teknik Pertanian
Dolly Robertho Sinaga. F14052374. Kapasitas Lapang, Efisiensi dan Tingkat
Pelumpuran Pengolahan Tanah Sawah di Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor
Barat, Kota Bogor. Di bawah bimbingan: E. Namaken Sembiring.

RINGKASAN

Padi merupakan salah satu komoditi yang memegang peranan penting.


Produksi padi dunia menempati urutan ketiga dari semua jenis tanaman serealia
setelah jagung dan gandum. Sebagaimana juga dikemukakan oleh Champagne
(2004) bahwa sekitar 75% kebutuhan kalori tiap hari sebagian besar penduduk
dunia diperoleh dari padi dan lebih dari 50% populasi penduduk dunia menjadikan
padi sebagai sumber kalori utama. Di Indonesia, padi merupakan tanaman pokok
yang paling banyak dibudidayakan dan sampai saat ini masih menjadi bahan
pangan utama yang dikonsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia, bila
dibandingkan dengan jenis tanaman pokok lainnya yang ada.
Banyak usaha yang terus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas
tanaman padi. Salah satu usaha yang dilakukan adalah melakukan pengolahan
tanah yang baik pada saat persiapan lahan untuk budi daya padi. Dalam De Datta
(1981) dijelaskan bahwa tanaman padi memerlukan media lumpur untuk
pertumbuhannya. Untuk memperoleh pertumbuhan yang baik, seluruh lapisan
permukaan tanah harus berada dalam keadaan lumpur yang lunak, sehingga padi
dapat tumbuh dengan bebas tanpa terhambat oleh lapisan tanah yang keras.
Keadaan lumpur ini diperoleh melalui kegiatan pengolahan tanah yang baik, yang
disebut pelumpuran. Dengan demikian diperlukan suatu pengamatan terhadap
pengolahan tanah lahan sawah yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas
padi.
Tujuan dari pengamatan ini adalah untuk mengetahui sistem budi daya padi
yang secara umum diterapkan di daerah Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor
Barat, Kota Bogor. Secara khusus pengamatan yang dilakukan di Kelurahan
Situgede ini bertujuan untuk mengamati dan mengetahui kapasitas lapang
pengolahan tanah dalam persiapan lahan sawah serta efisiensi dan tingkat
pelumpurannya. Pengamatan ini dilakukan pada beberapa petak sawah milik
masyarakat di Kelurahan Situgede. Pengamatan dilakukan dari bulan April sampai
dengan Agustus 2009.
Pengamatan dilakukan secara langsung pada kegiatan pengolahan tanah
sawah, yaitu pada kegiatan pembajakan dan pelumpuran. Pengolahan tanah
dilakukan dengan tiga sumber tenaga yang berbeda, yaitu tenaga seekor kerbau,
dua ekor kerbau, dan tenaga traktor tangan. Implemen yang digunakan pada
tenaga kerbau adalah bajak singkal untuk kegiatan pembajakan serta garu sisir
untuk kegiatan pelumpuran. Implemen yang digunakan pada traktor tangan adalah
bajak singkal untuk kegiatan pembajakan dan gelebeg untuk kegiatan pelumpuran.
Pengukuran dilakukan terhadap kecepatan kerja, lebar kerja, kedalaman
pengolahan, indeks pelumpuran dan kelunakan tanah hasil pelumpuran masing-
masing sumber tenaga, serta pengaruh hasil pelumpuran terhadap pertumbuhan
tanaman padi selama 60 hari.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar kegiatan pengolahan
tanah di Kelurahan Situgede bergantung pada sumber tenaga manusia dan tenaga
hewan. Hanya ada sedikit lahan yang memanfaatkan tenaga mekanis dari traktor
tangan untuk pengolahan tanah. Hal ini tidak lepas dari faktor budaya dan
kebiasaan yang terus diturunkan, serta keadaan geografis lahan yang kurang
mendukung untuk penggunaan alat-alat pengolahan tanah mekanis seperti
penggunaan traktor tangan.
Dari hasil pengamatan kegiatan pembajakan diketahui kapasitas lapang
efektif yang berbeda-beda, yaitu 0.058 ha/jam, 0.041 ha/jam dan 0.079 ha/jam
masing-masing pada pembajakan dengan seekor kerbau, dua ekor kerbau dan
dengan traktor tangan. Sementara kapasitas lapang teoritis berbeda-beda sebagai
akibat dari perbedaan kecepatan kerja dan lebar implemen yang digunakan, yaitu
sebesar 0.046 ha/jam, 0.036 ha/jam dan 0.099 ha/jam dengan menggunakan
tenaga seekor kerbau, dua ekor kerbau dan dengan traktor tangan.
Sementara pada kegiatan pelumpuran tidak dapat ditentukan dengan pasti
kapasitas lapang efektifnya, karena kegiatan pelumpuran yang bergantung
terhadap kondisi aktual di lahan, dimana pengulangan terus dilakukan, yang
bergantung pada keadaan tanah. Ketika permukaan tanah terlihat sudah rata,
kegiatan pelumpuran biasanya sudah dinyatakan selesai. Keadaan ini ditunjukkan
oleh besarnya kebervariasian data pada kapasitas lapang efektif pelumpuran, yang
terlihat dari besarnya koefisien variasi.
Kapasitas lapang efektif total pengolahan tanah yang tertinggi diperoleh
pada penggunaan tenaga traktor tangan, yaitu sebesar 0.188 ha/hari dan kemudian
dengan tenaga seekor kerbau dan dua ekor kerbau, masing-masing sebesar 0.137
ha/hari dan 0.084 ha/hari, yang sebenarnya sangat dipengaruhi oleh total jam kerja
per hari yang dapat diberikan oleh sumber tenaga. Kerbau bekerja rata-rata 4-5
jam/hari dan traktor bekerja rata-rata 7-8 jam/hari
Indeks pelumpuran (IP) dan indeks kelunakan (IK) tanah hasil pelumpuran
memiliki hubungan yang linear. Pelumpuran yang menghasilkan IP yang tinggi
cenderung menghasilkan nilai IK yang tinggi pula. Dari pengamatan terlihat
hubungan antara kedalaman olah dengan IP dan IK. Nilai IP dan IK tertinggi
diperoleh pada pengolahan tanah dengan menggunakan traktor, yaitu dengan nilai
masing-masing 91.009% dan 90.357% dengan rata-rata kedalaman olah yang
lebih besar dari kedalaman olah dengan kerbau.
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabanjahe, Kabupaten Karo,


Sumatera Utara pada tanggal 4 Desember 1986. Penulis
merupakan anak keempat dari empat bersaudara, dari
pasangan Bapak Eliaman Sinaga dan Ibu Lupianna
Simanjuntak
Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-
kanak dari TK St. Yoseph Tigabinanga pada tahun 1993,
kemudian melanjutkan pendidikan di SD Methodist Kabanjahe dan lulus pada
tahun 1999. Penulis mengikuti pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di
SLTP Negeri 1 Kabanjahe dan lulus pada tahun 2002 dan kemudian melanjutkan
ke Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Kabanjahe dan lulus pada tahun
2005.
Pada tahun yang sama, yaitu pada 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa
di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Penulis menempuh pendidikan di Fakultas Teknologi Pertanian IPB pada program
Mayor Departemen Teknik Pertanian. Penulis menjadi asisten dosen dan
koordinator asisten dosen pada mata kuliah Pendidikan Agama Kristen Protestan
pada tahun ajaran 2006/2007 dan 2008/2009. Pada tahun 2008 penulis
melaksanakan Praktek Lapang di PT. Sweet Indolampung di Lampung, yang
merupakan salah satu perusahaan dari Sugar Group Companies dan menyusun
laporan kegiatan tersebut dengan judul ”Aspek Keteknikan Pertanian pada Budi
Daya Tanaman Tebu di PT. Sweet Indolampung, Lampung”
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi anggota aktif Unit Kegiatan
Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen Institut Pertanian Bogor (UKM PMK
IPB), dan sempat menjabat dalam Badan Pengurus UKM PMK IPB sebagai
Koordinator Komisi Literatur UKM PMK IPB pada tahun 2007/2008.
KATA PENGANTAR

Segala puji, hormat dan kemuliaan hanya kepada Allah, Bapa Tuhan Yesus
Kristus, atas kasih dan anugerah-Nya yang berlimpah-limpah sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas akhir di Departemen Teknik Pertanian IPB dalam
tulisan berupa skripsi berjudul ”Kapasitas Lapang, Efisiensi dan Tingkat
Pelumpuran Pengolahan Tanah Sawah di Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor
Barat, Kota Bogor”.

Selama pelaksanaan tugas akhir dan penulisan skripsi ini penulis banyak
sekali mendapat bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak, mama, dan abang serta kakakku, yang senantiasa terus memberikan
doa, dukungan dan cinta kasih.
2. Dr. Ir. E. Namaken Sembiring, MS selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan banyak waktu, memberikan banyak arahan serta bimbingan
dalam menyelesaikan skripsi ini dan juga selama penulis mengikuti
pendidikan di Departemen Teknik Pertanian IPB.
3. Dr. Ir. I Nengah Suastawa, MSAE sebagai dosen penguji pada ujian skripsi,
yang telah memberikan saran dan arahan dalam penyempurnaan tulisan ini.
4. Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA sebagai dosen penguji pada ujian skripsi,
yang telah memberikan saran dan arahan dalam penyempurnaan tulisan ini.
5. Kelompok Tani Kelurahan Situgede, Pak Nurhawi, Pak Asep, Pak Obet, Pak
Jamhari dan Pak Keduk yang memberikan banyak bantuan selama penulis
melakukan pengamatan untuk skripsi ini.
6. Keluarga besar Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB, Komisi Literatur dan
Kelompok Pra Alumni 42 PMK IPB untuk segala doa, kebersamaan dan
dukungan selama penulis menjalani pendidikan di IPB.
7. Novalina Naibaho atas doa dan kasih, serta segala perhatian dan dukungan
yang diberikan.
8. Janji, Mas Steph, Midun, Acuy, Bembeng, Agung, Afid, Bayu, Dedi dan
teman-teman di Pondok Sahabat atas kebersamaan dan dukungan yang
diberikan.

i
9. Teman-teman di Departemen Teknik Pertanian 42, khususnya teman-teman
Mesin 42 atas kebersamaan dan dukungan selama pelaksanaan tugas akhir
dan selama penulis mengikuti perkuliahan di Departemen Teknik Pertanian
IPB.

Penulis menyadari akan segala kekurangan dan keterbatasan dalam


penyusunan skripsi ini dan mengharapkan saran untuk penyempurnaan tulisan ini.
Akhirnya, semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bogor, September 2009

Dolly Robertho Sinaga

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vi
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Tujuan .......................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4
A. Lingkungan Fisik Budi Daya Tanaman Padi ................................. 4
B. Struktur Lahan Sawah ................................................................... 4
C. Pengolahan Tanah Sawah ............................................................. 5
D. Efisiensi Pengolahan Tanah .......................................................... 8
E. Tingkat Pelumpuran Lahan Sawah ................................................ 9
F. Pertumbuhan Tanaman Padi .......................................................... 10
G. Sumber Tenaga Pengolahan Lahan Sawah ..................................... 11
III. METODOLOGI ..................................................................................... 12
A. Waktu dan Tempat ........................................................................ 12
B. Bahan dan Metode ........................................................................ 12
C. Pengukuran ................................................................................... 14
D. Prosedur Pengukuran ..................................................................... 14
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 19
A. Kondisi Umum Wilayah ............................................................... 19
B. Alat Pengolahan Tanah ................................................................. 26
C. Persiapan Lahan ............................................................................ 28
D. Kapasitas Lapang dan Efisiensi Pengolahan Tanah ....................... 32
E. Kapasitas Lapang Pengolahan Tanah ............................................ 40
F. Indeks Pelumpuran dan Indeks Kelunakan Hasil Pelumpuran ....... 41
G. Pertumbuhan Tanaman Padi .......................................................... 43
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 45
A. Kesimpulan ................................................................................... 45
B. Saran ............................................................................................ 46
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 47
LAMPIRAN ................................................................................................... 50

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Efisiensi rata-rata untuk setiap metode pelumpuran ............................. 9


Tabel 2 Nilai efisiensi lapang pada berbagai metode pelumpuran ..................... 9
Tabel 3 Nilai indeks kelunakan hasil pelumpuran dan
indeks pelumpuran pada beberapa metode pulumpuran ....................... 10
Tabel 4 Pertumbuhan padi dengan nilai IP dan IK pada beberapa pengamatan .. 11
Tabel 5 Mata pencaharian utama penduduk Kelurahan Situgede ...................... 20
Tabel 6 Jenis komoditas umum yang dibudidayakan di
daerah Kelurahan Situgede .................................................................. 20
Tabel 7 Kapasitas Lapang Efektif dan Teoritis serta Efisiensi
pengolahan tanah dengan beberapa sumber tenaga ............................. 33
Tabel 8 Variabel kerja pada pembajakan dengan sumber tenaga yang berbeda .. 34
Tabel 9 Hasil kerja pelumpuran dengan berbagai sumber tenaga ..................... 36
Tabel 10 Hubungan kedalaman olah dengan hasil pelumpuran ........................ 41

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Struktur lahan sawah ........................................................................ 5


Gambar 2 Fungsi dari kegiatan pengolahan tanah primer dan
pengolahan tanah sekunder persiapan lahan sawah .......................... 6
Gambar 3 Pengaruh kedalaman lapisan olah terhadap produksi beras ............... 7
Gambar 4 Keadaan awal lahan sawah yang akan diamati ................................. 15
Gambar 5 Pola kerja pengolahan tanah di Situgede .......................................... 14
Gambar 6 Skema cara pengukuran lebar pembajakan dan kedalaman olah ........ 15
Gambar 7 Posisi pengambilan contoh suspensi air-tanah dan posisi tanah
dalam tabung plastik setelah dibiarkan selama 48 jam ...................... 17
Gambar 8 Posisi bola golf terhadap permukaan lumpur .................................... 18
Gambar 9 Rata-rata curah hujan bulanan di Stasiun BMG Darmaga ................. 22
Gambar 10 Zona klasifikasi untuk daerah Situgede menurut
sistem klasifikasi Schmidth-Ferguson ............................................ 23
Gambar 11 Zona klasifikasi untuk daerah Situgede menurut
sistem klasifikasi Oldeman ............................................................. 24
Gambar 12 Pembagian hasil panen padi yang diterapkan di daerah Situgede .... 24
Gambar 13 Bajak singkal yang digunakan pada traktor tangan ......................... 26
Gambar 14 Bajak singkal yang digunakan pada kerbau .................................... 27
Gambar 15 Garu sisir yang digunakan pada kerbau .......................................... 27
Gambar 16 Gelebeg yang digunakan pada traktor ............................................ 27
Gambar 17 Pembuatan tempat persemaian benih padi ...................................... 29
Gambar 18 Tempat persemaian yang ada di tengah petakan ............................. 30
Gambar 19 Pembuatan pematang sawah .......................................................... 31
Gambar 20 Hubungan kapasitas lapang dengan efisiensi pembajakan ............. 33
Gambar 21 Kegiatan pembajakan .................................................................... 35
Gambar 22 Hubungan kapasitas lapang dengan efisiensi pelumpuran .............. 37
Gambar 23 Kegiatan pelumpuran .................................................................... 39
Gambar 24 Kapasitas Lapang Total Pengolahan Tanah ................................... 40
Gambar 25 Grafik koefisien variasi data KLE dan KLT
pembajakan dan pelumpuran ......................................................... 41
Gambar 26 Pertumbuhan tinggi tanaman padi selama 60 hari .......................... 43
Gambar 27 Pertambahan jumlah tanaman per rumpun selama 60 hari ............. 44

v
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Peta wilayah Kelurahan Situgede,


Kec. Bogor Barat, Kota Bogor ....................................................... 50
Lampiran 2 Struktur lahan sawah ..................................................................... 51
Lampiran 3 Tujuan dari kegiatan pelumpuran .................................................. 53
Lampiran 4 Curah hujan di Kelurahan Situgede tahun 1987-2002 (mm) ........... 54
Lampiran 5 Spesifikasi traktor tangan yang digunakan ..................................... 56
Lampiran 6 Pengolahan tanah dengan seekor kerbau ........................................ 57
Lampiran 7 Pengolahan tanah dengan dua ekor kerbau .................................... 72
Lampiran 8 Pengolahan tanah dengan traktor tangan ........................................ 78
Lampiran 9 Tingkat pelumpuran dengan sumber tenaga yang berbeda ............. 89
Lampiran 10 Pengambilan sampel lumpur hasil pelumpuran
dengan sumber tenaga pengolahan traktor tangan ....................... 90
Lampiran 11 Pengambilan sampel lumpur hasil pelumpuran
dengan sumber tenaga pengolahan satu kerbau ........................... 91
Lampiran 12 Pertumbuhan tanaman padi dengan
beberapa sumber tenaga pengolahan tanah ................................... 92

vi
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Padi adalah salah satu tanaman budi daya yang memegang peranan penting
disepanjang peradaban manusia. Produksi padi dunia menempati urutan ketiga
dari semua jenis tanaman serealia setelah jagung dan gandum. Namun demikian,
padi masih merupakan sumber karbohidrat utama bagi sebagian besar penduduk
dunia. Berdasarkan data FAO (2001) dalam Champagne (2004), di negara-negara
di Asia yang memiliki jumlah penduduk yang cukup besar, seperti Cina, India,
Indonesia, Bangladesh, Burma, Kamboja, Korea, Laos, Filipina, dan Vietnam,
padi merupakan bahan pangan utama. Sekitar 75% kebutuhan kalori tiap hari
diperoleh dari padi dan lebih dari 50% populasi penduduk dunia menjadikan padi
sebagai sumber kalori utama.

Dalam Koga (1992) disampaikan bahwa negara produsen padi terkemuka


antara lain adalah Republik Rakyat Cina (31% dari total produksi dunia), India
(20%), dan Indonesia (9%). Thailand merupakan pengekspor padi utama (26%
dari total padi yang diperdagangkan di dunia) diikuti Vietnam (15%) dan Amerika
Serikat (11%). Hal ini menunjukkan bahwa banyak negara yang berusaha
menghasilkan padi untuk kebutuhan internal negara tersebut.

Tanaman pangan yang saat ini paling banyak dibudidayakan dan


dikonsumsi, antara lain jagung, padi dan gandum. Dalam De Datta (1981)
dijelaskan bahwa padi dibudidayakan dan dikonsumsi oleh 111 negara. Ini
menunjukkan bahwa padi merupakan jenis tanaman pangan yang paling banyak
dibudidayakan dan sampai saat ini masih menjadi tanaman pokok utama yang
dikonsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia, bila dibandingkan dengan jenis
tanaman pokok lainnya yang ada. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab
besarnya ketergantungan masyarakat Indonesia akan keberadaan tanaman padi.
Keadaan tersebut mendorong banyak cara yang diterapkan untuk mencapai hasil
panen yang maksimal dengan memanfaatkan potensi lahan yang ada di Indonesia.
Maka sangat banyak alternatif yang muncul untuk meningkatkan produksi
tanaman padi. Mulai dari sistem dan cara budi daya, penerapan aspek mekanisasi,
metode irigasi dan drainase, maupun memaksimalkan perawatan tanaman. Semua

1
cara tersebut diterapkan untuk meningkatkan produksi padi. Selain itu, juga
pelaksanaan kegiatan budi daya yang efektif dan efisien perlu terus ditingkatkan
untuk menghasilkan produksi yang semakin meningkat baik dari segi kualitas
maupun kuantitas.

Kegiatan budi daya tanaman diawali dengan persiapan lahan. Persiapan


lahan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keadaan tanah yang sesuai
untuk pertumbuhan tanaman yang akan dibudidayakan nantinya. Kegiatan
pengolahan tanah ini juga akan berdampak langsung pada hasil produksi tanaman
yang dibudidayakan, karena kualitas pengolahan tanah yang baik akan
menghasilkan produksi tanaman yang baik juga. Jadi, pengolahan tanah
merupakan salah satu bagian terpenting dalam serangkaian kegiatan budi daya
tanaman.

De Datta (1981) menjelaskan bahwa tanaman padi sawah memerlukan


media lumpur untuk pertumbuhannya. Untuk pertumbuhan yang baik bagi
tanaman padi, seluruh lapisan permukaan tanah harus berada dalam keadaan
lumpur yang lunak, sehingga akar padi dapat tumbuh dengan bebas tanpa
dihambat oleh lapisan tanah yang keras. Keadaan lumpur ini dapat diperoleh
melalui kegiatan pelumpuran yang baik.

Kelurahan Situgede berada di wilayah Kecamatan Bogor Barat dengan total


luasan wilayah sawah mencapai 30% dari total wilayah Kelurahan Situgede.
Ketersediaan air dari rata-rata curah hujan bulanan dan saluran irigasi untuk budi
daya tanaman padi menjadi salah satu faktor yang mendukung pola tanam padi
sepanjang tahun. Curah hujan rata-rata bulanan menunjukkan ketersediaan air
yang cukup untuk budi daya padi sepanjang tahun, seperti pada Lampiran 4.

Pengolahan tanah sawah yang dilakukan di Kelurahan Situgede sebagian


besar masih menggunakan sumber tenaga manusia maupun tenaga kerbau.
Penggunaan tenaga manusia dan tenaga kerbau memiliki keterbatasan dalam
waktu kerja per hari. Hal tersebut menyebabkan kapasitas lapang pengolahan
tanah yang dihasilkan rendah, sehingga berpengaruh terhadap pola budi daya padi
sepanjang tahun sulit tercapai. Maka perlu dilakukan pengamatan pada kegiatan
persiapan tanah lahan sawah di Kelurahan Situgede. Pengamatan ini meliputi

2
kegiatan pelumpuran, pengamatan kapasitas lapang dan efisiensi pengolahan
tanah secara langsung serta pengamatan pengaruh kegiatan persiapan lahan
terhadap pertumbuhan tanaman padi.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui sistem budi daya tanaman padi yang secara umum
diterapkan oleh masyarakat di daerah Kelurahan Situgede, Kecamantan
Bogor Barat, Kota Bogor.

2. Tujuan Khusus
Mengamati dan mengetahui kapasitas lapang serta efisiensi dan
tingkat pelumpuran dalam pengolahan tanah lahan sawah dengan peralatan
pertanian yang umum digunakan di Kelurahan Situgede Kecamatan Bogor
Barat, Kota Bogor.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Lingkungan Fisik Budi Daya Tanaman Padi


Tanaman padi hanya tumbuh di daerah dengan iklim hangat dan dengan
ketersediaan air yang cukup. Negara-negara penghasil padi utama umumnya
berada pada 300LS sampai dengan 300LU kecuali negara Korea dan Jepang yang
berada pada iklim subtropis. Padi pada umumnya tumbuh di Asia pada lahan di
dataran rendah sampai dengan ketinggian 2700 m di atas permukaan laut. Pada
sebagian besar daerah tropis, lahan mendapat curah hujan yang cukup tinggi.
Supaya dapat tumbuh dengan baik, rata-rata tanaman padi membutuhkan 1000-
1400 mm air dari curah hujan, walaupun dalam beberapa kasus tanaman padi
dibudidayakan pada curah hujan yang cukup minim, yaitu sekitar 800 mm atau
bahkan pada lahan kering. Tanaman padi tumbuh pada daerah dengan suhu antara
200C sampai dengan 380C, dengan suhu ideal pertumbuhan padi pada 300C dan
320C (Sys 1985).

B. Struktur Lahan Sawah


Lahan sawah merupakan jenis lahan budi daya untuk tanaman padi dengan
permukaan yang datar dan dibatasi tanggul (yang disebut dengan pematang) untuk
menyimpan dan menahan genangan air. Lahan sawah biasa dibuat dan dibentuk
menyerupai kolam, sebagai wadah menahan genangan air. Kehilangan air berupa
rembesan kadang-kadang terjadi melalui pembatas petakan ini. Petani biasanya
melapisi bagian dalam dan atas pematang dengan lumpur untuk mengurangi
terjadinya rembesan melalui pematang (Koga 1992).

Petakan lahan sawah dibatasi oleh jembatan saluran air, yang bentuk dan
ukurannya tergantung pada kontur lahan. Pada petakan yang ukurannya kecil,
pembajakan akan lebih susah dilakukan, bahkan pada beberapa kasus tidak
memungkinkan dilakukan, sehingga pengolahan tanah dilakukan dengan cara
yang lain, yaitu pengolahan tanah dengan manual walaupun beberapa implemen
yang ditarik dengan tenaga hewan cukup ringan, terbuat dari bahan kayu dan
dapat digunakan pada lahan yang berukuran kecil (Grist 1965).

4
Menurut Koga (1992), struktur lahan sawah terdiri dari (1) bagian pembatas
(tanggul pembatas), yang sering disebut dengan pematang atau galengan, (2)
lapisan olah tanah, dan (3) bagian dasar, seperti yang terlihat pada Gambar 1 dan
dijelaskan pada Lampiran 2.

Gambar 1. Struktur lahan sawah (Koga 1992)

C. Pengolahan Tanah Sawah


Pekerjaan lahan yang pertama dilakukan biasanya adalah mempersiapkan
dan membersihkan jalur air dan memperbaiki atau membuat jembatan saluran air
(pematang). Setelah kegiatan tersebut selesai kemudian dilakukan pengolahan
tanah (Grist 1965).

Pengolahan tanah merupakan hal yang sangat penting dalam keberhasilan


budi daya suatu jenis tanaman. Mohanty et al (2004) menjelaskan bahwa kualitas
pengolahan tanah yang baik akan berdampak pada pertumbuhan tanaman yang
baik, sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman yang dibudidayakan.
Oleh karena itu, dalam pengolahan tanah perlu dikendalikan dan diberikan
perlakuan yang terbaik supaya hasil yang diperoleh maksimal.

Tujuan utama kegiatan pengolahan tanah pada lahan sawah menurut De


Datta (1981) adalah untuk menekan pertumbuhan gulma. Persiapan lahan melalui
pengolahan tanah biasanya dilakukan dalam bentuk pelumpuran. Kegiatan
pelumpuran ini minimal dilakukan dengan dua tahapan kegiatan, yaitu
pembajakan yang merupakan pengolahan tanah dalam dengan tujuan untuk
membenamkan gulma dan tunggul-tunggul padi yang telah dipanen, dan
pelumpuran yang merupakan pengolahan tanah dangkal.

5
Pelumpuran dilakukan sebelum bibit yang disemai dipindahtanamkan
dengan tujuan lebih lanjut untuk memasukkan gulma ke dalam lapisan tanah,
sehingga diharapkan dengan kondisi oksigen yang terbatas, gulma tidak dapat
berkecambah. Fungsi dari dua kegiatan pengolahan tanah ini dapat digambarkan
dalam skema seperti pada Gambar 2. Selain itu, menurut De Datta (1981),
pelaksanaan pengolahan tanah pada umumnya memberikan efek pada
pertumbuhan tanaman selama perkecambahan, pemindahtanaman dari
penyemaian serta pertumbuhan tanaman. Pengolahan tanah juga akan sangat
berperan dalam menjaga ketersediaan air dan mengurangi laju perkolasi air pada
lahan.

Gambar 2. Fungsi dari kegiatan pengolahan tanah primer dan pengolahan tanah sekunder
persiapan lahan sawah (De Datta 1981)

Pengolahan tanah dapat membunuh gulma, menghancurkan bongkahan-


bongkahan tanah menjadi bentuk yang lebih halus untuk tempat tanam, serta
memfasilitasi pertumbuhan perakaran dengan permukaan tanah yang gembur.
Untuk tanaman padi pelumpuran merupakan proses pembentukan tekstur tanah
yang sangat baik (Prihar 1985).

Menurut Hanafiah (2005), secara vertikal tanah berdifferensiasi membentuk


harison-horison (lapisan-lapisan) yang berbeda-beda baik dalam morfologis,
maupun karakteristik fisik, kimiawi dan biologis masing-masing. Oleh karena itu

6
akan menjadi penting memperhatikan kedalaman olah untuk setiap tanaman yang
akan dibudidayakan. Pada tanaman padi kedalaman olah tanah yang optimal
adalah sekitar 20 cm. Scheltema (1974) menuliskan bahwa kedalaman olah tanah
untuk budi daya tanaman padi pada umumnya cukup rendah. Moomaw (1971)
dalam Scheltema (1974), menyebutkan kedalaman olah untuk tanah sawah rata-
rata sebesar 12-15 cm. Sementara menurut Koga (1992), kedalaman yang
diinginkan dari sebuah lapisan pembajakan untuk tanaman padi adalah berkisar
antara 15 dan 20 cm seperti ditunjukkan dalam Gambar 3.

Gambar 3. Pengaruh kedalaman lapisan olah terhadap produksi beras (Koga 1992)

Menurut Scheltema (1974), pengolahan tanah untuk budi daya padi pada
lahan basah selalu berhubungan dengan kegiatan pelumpuran, yang juga telah
diterapkan sejak dulu, terutama di Asia, dimana kondisi wilayah juga mendukung
penerapan kegiatan pelumpuran.

Pelumpuran adalah proses dimana tanah kehilangan struktur granularnya,


yang dapat disebabkan oleh kelebihan air dan kelebihan perlakuan atau
pengolahan tanah (Koga 1992).

Struktur tanah yang baik dan cocok bagi pertumbuhan tanaman dapat
dihasilkan dengan mengaplikasikan alat-alat pengolahan tanah. Menurut Gill dan

7
Vander Berg (1967) dalam Pramuhadi (1998), alat-alat pengolahan tanah
digunakan untuk mengaplikasikan gaya-gaya kepada tanah untuk menghasilkan
beberapa efek yang diinginkan, seperti penghancuran, pemotongan, pembalikan
atau pergerakan tanah.
Menurut Sari (2007) berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kabupaten
Kuningan, terbentuknya lumpur pada tanah sawah dapat dilakukan dengan tiga
metode pelumpuran, yaitu: (1) pembajakan tanah - penggenangan – penggaruan
tanah berulang-ulang hingga terbentuk lumpur, (2) penggenangan -
penggelebegan tanah berulang-ulang hingga terbentuk lumpur, (3) penggenangan
- pembajakan rotari tanah berulang-ulang hingga terbentuk lumpur.

D. Efisiensi Pengolahan Tanah


Dalam Srivastava (1993), dijelaskan bahwa kapasitas lapang merupakan
jumlah proses yang dapat diselesaikan sebuah mesin dalam satuan waktu.
Kapasitas lapang teoritis merupakan perhitungan kapasitas lapang pada saat
efisiensi lapang mencapai satu (100%). Artinya, suatu alat atau mesin dianggap
bekerja sempurna tanpa ada waktu untuk membelok atau berhenti. Jadi,
perhitungan Kapasitas Lapang Teoritis (KLT) merupakan perhitungan kapasitas
lapang dengan mengukur lebar implemen dan kecapatan kerja pengolahan tanah.
Kapasitas Lapang Efektif pada pengolahan tanah merupakan total waktu
yang dibutuhkan alat atau mesin pengolahan tanah untuk menyelesaikan pekerjaan
pengolahan tanah berbanding luasan tanah yang terolah. Menurut Srivastava
(1993), waktu aktual yang dibutuhkan untuk mengolah tanah akan bertambah
sebagai bagian dari adanya overlap, waktu berbelok pada ujung petakan, maupun
waktu istirahat yang digunakan oleh operator. Pertambahan waktu dari waktu
teoritis ini menyebabkan efisiensi lapang pengolahan tanah berkurang dari 100%.
Menurut penelitian yang dilakukan Puspita (2002), perlakuan pelumpuran
dengan pembajakan sebelumnya rata-rata memiliki nilai efisiensi yang lebih kecil
dibanding dengan perlakuan tanpa pembajakan. Hal ini disebabkan oleh nilai slip
roda traktor rata-rata untuk perlakuan dengan pembajakan sebelumnya lebih besar
bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa pembajakan. Nilai efisiensi beberapa
perlakuan pengolahan tanah dapat dilihat dalam Tabel 1.

8
Tabel 1. Efisiensi rata-rata untuk setiap metode pelumpuran

Metode Pengolahan Efisiensi Rata-rata (%)


Pembajakan dengan traktor roda dua dengan bajak
singkal dan pelumpuran dengan gelebeg 52.16
Pembajakan dengan traktor roda dua dengan bajak
singkal dan pelumpuran dengan garu sisir 47.65
Pembajakan dengan traktor roda dua dengan bajak
singkal dan pelumpuran dengan bajak rotari 69.18
Tanpa pembajakan dan pelumpuran dengan gelebeg 53.16
Tanpa pembajakan dan pelumpuran dengan garu sisir 49.05
Tanpa pembajakan dan pelumpuran dengan bajak rotari 68.08
Sumber: Puspita (2002)

Sementara dari hasil pengamatan Yudistira (2004), nilai efisiensi lapang


paling besar diperoleh dengan metode pengolahan dengan gelebeg, dibandingkan
dengan dua metode lain yang digunakan, yaitu dengan garu sisir dan dengan
menggunakan tenaga kerbau, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai efisiensi lapang pada berbagai metode pelumpuran

Metode Pengolahan Tempat Efisiensi Lapang %


Gelebeg Pataruman 74.91
Mulyasari 75.00
Banjar 67.49
Rata-rata 72.47
Garu sisir Pataruman 69.18
Wangunjaya 46.96
Kerjasari 19.43
Rata-rata 45.19
Kerbau (Garu sisir) Purwaharja 22.72
Sumber: Yudistira (2004)

E. Tingkat Pelumpuran Lahan Sawah


Menurut Yudistira (2004), pada proses pelumpuran, semakin besar
kedalaman olah akan memberikan nilai indeks kelunakan hasil pelumpuran yang
lebih besar, yang disebebkan gaya tekan ke bawah menjadi lebih besar sehingga
proses pengadukan (mixing) lebih efektif.

9
Tabel 3. Nilai indeks kelunakan hasil pelumpuran dan indeks pelumpuran pada
beberapa metode pulumpuran

Perlakuan
Lintasan Bajak+Rotari Bajak+Garu sisir Bajak+Gelebeg
IK (%) IP (%) IK (%) IP (%) IK (%) IP (%)
1 87.30 46.00 82.30 39.33 81.67 43.40
2 88.70 50.67 83.30 46.67 84.30 44.00
3 88.70 52.00 87.67 47.33 84.30 51.40
4 87.33 60.00 87.30 50.67 84.70 49.40
5 94.00 64.00 87.67 51.67 86.70 54.00
6 94.40 74.35 88.00 52.67 87.80 58.00
Sumber: Hutabarat (2006)

Menurut Hutabarat (2006), nilai indeks pelumpuran dan indeks kelunakan


tanah sangat dipengaruhi oleh frekuensi lintasan pelumpuran. Nilai indeks
pelumpuran dan indeks kelunakan tanah tertinggi dengan enam lintasan dari
ketiga implemen yang digunakan antara bajak rotari, garu sisir dan gelebeg,
menunjukkan bahwa penggunaan bajak dengan gelebeg memberikan hasil yang
lebih baik dibandingkan dengan penggunaan bajak dan garu sisir, seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 3.

F. Pertumbuhan Tanaman Padi


Semakin baik proses pencampuran tanah dan air pada lahan yang diolah,
maka semakin baik untuk media tumbuh tanaman padi. Campuran butiran tanah
dan air (koloid) adalah tempat menempelnya berbagai zat hara seperti unsur Ca,
K, dan Mg yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman, semakin kecil
butiran tanah yang tercampur dengan air akan mengakibatkan semakin banyak zat
hara yang menempel sehingga akan meningkatkan pertumbuhan tanaman padi
Yudistira (2004).
Pada percobaan yang dilakukan Yudistira (2004) tersebut, pelumpuran yang
baik, dilihat dari nilai indeks pelumpuran yang baik diperoleh pada percobaan
dengan menggunakan gelebeg, yaitu dengan rata-rata sebesar 61.67%, seperti
pada Tabel 4. Dari pengamatan yang dilakukan juga menunjukkan pengaruh dari
hasil pelumpuran yang baik pada pertumbuhan tanaman padi, yaitu dengan

10
parameter bobot biomassa kering dan pertambahan tinggi padi yang lebih baik
dengan menggunakan gelebeg daripada menggunakan garu sisir pada setiap
pengukuran yang dilakukan, yaitu masing-masing pada 20 HST, 30 HST dan 60
HST, seperti pada Tabel 4.

Tabel 4. Pertumbuhan padi dengan nilai IP dan IK pada beberapa pengamatan

Bobot biomassa
Kec. Tinggi padi (cm)
IP IK kering (g/rumpun)
Implemen Petak Maju
(%) (%) 20 30 60 20 30 60
(m/det)
HST HST HST HST HST HST
Gelebeg 1 0.79 61.21 80.6 1.14 7.7 25.84 35.50 54.60 82.16
(Mulyasari) 2 0.83 59.85 85.2 0.8 6.88 27.34 36.18 53.68 81.24
3 0.81 63.93 80.2 0.84 7.12 24.24 34.24 52.44 81.88
Rata-rata 0.81 61.67 82 0.93 7.23 25.81 35.31 53.57 81.76
Garu sisir 1 0.44 58.04 92 0.76 3.66 20.1 34.1 48.80 64.46
(Wg. Jaya) 2 0.44 58.94 88.2 0.54 4.56 19.4 32.26 47.74 58.54
3 0.48 59.85 84.8 0.64 4.52 21.24 33.48 51.48 70.48
Rata-rata 0.45 58.94 88.33 0.65 4.25 20.25 33.28 49.24 64.49
Sumber: Yudistira (2004)

G. Sumber Tenaga Pengolahan Lahan Sawah


Sumber tenaga yang biasa digunakan untuk pengolahan tanah lahan sawah
antara lain tenaga manusia, tenaga hewan (kerbau atau sapi), maupun tenaga
mekanis berupa traktor. Kebanyakan pemilihan jenis tenaga yang digunakan
adalah sebagai pengaruh dari keadaan geografis lahan maupun kebudayaan yang
ada di daerah tersebut.

Tenaga hewan biasanya hanya dapat digunakan untuk bekerja selama 4-5
jam per hari. Demikian juga tenaga manusia sangat terbatas oleh faktor fisik dari
manusia. Sementara untuk menggunakan tenaga mekanis juga ada pertimbangan,
baik dari segi harga maupun keterbatasan keadaan lahan yang menyebabkan
penggunaan sumber tenaga mekanis tidak dapat dengan mudah diterapkan
walaupun memiliki banyak keunggulan dari kedua jenis sumber tenaga
sebelumnya (De Datta 1981).

11
III. METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat


Pengamatan dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Agustus 2009.
Pengamatan dilakukan di lahan sawah milik masyarakat di sekitar lingkar kampus
Institut Pertanian Bogor, yaitu di Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat,
Kota Bogor.

B. Bahan dan Metode


Pengamatan dilakukan terhadap kondisi umum wilayah Situgede dan
kegiatan pengolahan tanah untuk budi daya tanaman padi. Pengamatan kondisi
umum wilayah antara lain terhadap pola tanam petani setempat, metode budi daya
yang umum dilakukan, sumber air, kondisi fisik lahan, luas pemilikan lahan,
sistem upah, dan hal-hal lain yang bersifat umum dan berpengaruh dalam kegiatan
budi daya tanaman padi. Pengamatan kondisi umum dapat pula berupa wawancara
langsung mengenai metode budi daya tanaman padi yang secara umum dilakukan
di Situgede. Wawancara yang dilakukan antara lain dengan petani padi maupun
dengan pihak lain yang mampu menjelaskan kondisi umum Kelurahan Situgede,
seperti petugas di kantor Kelurahan Situgede.
Pengamatan pengolahan tanah dilakukan pada lahan sawah milik
masyarakat yang akan ditanami tanaman padi. Persiapan lahan yang dilakukan
pada lahan-lahan sawah di daerah tersebut berupa pengolahan tanah, yaitu
menggunakan alat pertanian yang biasa digunakan petani setempat. Pengolahan
tanah lahan sawah yang secara umum diterapkan masyarakat Situgede adalah
dengan menggunakan tenaga manusia dan tenaga kerbau. Pengolahan tanah
dengan menggunakan tenaga kerbau biasanya dengan satu atau dua ekor kerbau.
Selain itu juga ada sejumlah lahan yang biasanya melakukan kegiatan pengolahan
tanah dengan menggunakan traktor tangan, namun jumlahnya sangat sedikit bila
dibandingkan dengan pengolahan tanah dengan menggunakan tenaga kerbau.

Pengamatan yang dilakukan antara lain pada proses pengolahan tanah yang
meliputi kegiatan pembajakan dan pelumpuran, serta mengevaluasi hasil
pengolahan tanah pada pembajakan dan pelumpuran dengan sumber tenaga satu

12
ekor kerbau, dua ekor kerbau, maupun dengan tenaga mekanis dari traktor tangan
serta pengaruhnya pada masa pertumbuhan tanaman padi.

Gambar 4. Keadaan awal lahan sawah yang diamati

Pengolahan tanah dilakukan oleh operator yang sudah berpengalaman. Tiap


operator pengolahan tanah rata-rata sudah bekerja lebih dari sepuluh tahun
sebagai operator untuk kegiatan pengolahan tanah, masing-masing dengan sumber
tenaga yang berbeda.
Pengamatan dilakukan pada 21 petakan lahan yang berbeda namun berada
pada satu lokasi. Luasan lahan yang diamati berbeda-beda karena ukuran petakan
yang ada berbeda-beda, yang dapat dilihat pada Lampiran 6, 7 dan 8. Kegiatan
pelumpuran dilakukan pada sepuluh petakan dengan satu ekor kerbau, empat
petakan dengan dua ekor kerbau, dan tujuh petakan dengan traktor tangan.
Semua lahan yang digunakan dalam pengamatan ini sebelumnya merupakan
lahan budi daya padi. Semua lahan telah dibajak setelah panen selesai, sehingga
tidak ada tunggul padi yang tersisa dilahan. Penggenangan lahan dilakukan setelah
pembajakan saat panen selesai selama 10-14 hari dengan tinggi penggenangan air
3-4 cm dari permukaan tanah. Keadaan lahan sawah yang diamati dapat dilihat
pada Gambar 4. Pola kerja yang digunakan pada kegiatan pembajakan adalah
continuous dengan ancakan awal dari tengah petakan. Kegiatan pelumpuran
menggunakan pola kerja yang disebut metode sirkulasi, dengan terus-menerus
dilakukan pengulangan sampai lumpur terbentuk. Pola kerja yang digunakan baik

13
pada kegiatan pembajakan maupun penggaruan selalu mengikuti arah panjang
petakan lahan, untuk mengurangi banyaknya belokan. Pola kerja kegiatan
pembajakan dan pelumpuran dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Pola kerja pengolahan tanah di Situgede. Kiri: kegiatan pembajakan.


Kanan: kegiatan pelumpuran

C. Pengukuran
Pengambilan data dilakukan pada saat pengolahan tanah dengan tiga sumber
tenaga yang berbeda, yaitu dengan seekor kerbau, dua ekor kerbau dan dengan
traktor tangan. Parameter yang diamati dalam antara lain meliputi: (1) kecepatan
kerja, (2) lebar kerja, (3) kedalaman kerja, (4) waktu kerja, (5) luas areal yang
diolah, (6) indeks pelumpuran, (7) indeks kelunakan hasil pelumpuran, (8)
pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi.

D. Prosedur Pengukuran
1. Kecepatan Kerja
Perhitungan kecepatan kerja dilakukan dengan mencatat waktu yang
dibutuhkan untuk menempuh lintasan kerja sejauh 10 meter. Pada lintasan
kerja diberikan tanda berupa patok dengan jarak antar patok adalah 10 m.
Kecepatan kerja diperoleh dari hasil bagi jarak lintasan dengan waktu yang

14
dibutuhkan untuk menempuh jarak 10 meter tersebut, dengan menggunakan
persamaan berikut.

v : Kecepatan kerja (m/det)


s : Jarak antar patok dalam lintasan kerja (10 m)
t : Waktu tempuh (detik)

2. Lebar Kerja dan Kedalaman Kerja


Lebar kerja diperoleh dari selisih antara jarak dari patok ke tepi furrow
dengan jarak dari patok ke tepi furrow pada lintasan pembajakan berikutnya.
Pengukuran lebar kerja pembajakan ini dilakukan seperti pada Gambar 6.
Kedalaman kerja diperoleh dengan mengukur jarak dari permukaan lumpur
ke dasar furrow pada lintasan pembajakan, seperti pada Gambar 6.

Gambar 6. Skema pengukuran lebar dan kedalaman pembajakan (Suastawa et al 2008)

3. Kapasitas Lapang Teoritis (KLT)


Menurut Kepner et al (1987) dalam Verma AK et al (2006), kapasitas
lapang teoritis dari sebuah implemen adalah jumlah luasan kerja yang
diperoleh jika mesin beroperasi pada 100% dari lebar implemennya.
Perhitungan KLT menggunakan parameter kecepatan kerja dan lebar
implemen dari hasil pengukuran adalah dengan persamaan:

KLT : Kapasitas Lapang Teoritis (ha/jam)

15
v : Kecepatan kerja rata-rata (m/detik)
l : Lebar implemen (m)

4. Kapasitas Lapang Efektif (KLE)


Perhitungan Kapasitas Lapang Efektif (KLE) merupakan perhitungan
kapasitas lapang dengan mengukur luasan lahan yang diolah dalam setiap
satuan waktu. Persamaan yang digunakan untuk menghitung KLE adalah
seperti yang digunakan Verma (2006), yaitu dengan persamaan berikut.

KLE : Kapasitas Lapang Efektif (ha/jam)


L : Luas lahan yang diolah (ha)
WK : Waktu kerja yang dibutuhkan (jam)

5. Efisiensi Lapang Pengolahan tanah (ELP)


Efisiensi Lapang Pengolahan tanah (ELP) diperoleh dari perbandingan
nilai KLE dengan nilai KLT. Nilai KLE dapat dihitung seperti yang
digunakan Dash (2006), yaitu dengan menggunakan persamaan:

ELP : Efisiensi Lapang Pengolahan tanah (%)


KLE : Kapasitas Lapang Efektif (ha/jam)
KLT : Kapasitas Lapang Teoritis (ha/jam)

6. Indeks Pelumpuran (IP)


Setelah kegiatan pelumpuran selesai, dilakukan pengambilan sampel
tanah yang dilumpurkan untuk menghitung nilai indeks pelumpuran. Sampel
lumpur yang diambil dimasukkan ke dalam tabung. Waktu pengambilan
contoh tanah yang dilumpurkan adalah seaktual mungkin, yaitu segera
setelah pelumpuran selesai. Sampel yang ada dalam tabung plastik
kemudian dibiarkan selama 48 jam sehingga tanah terpisah dan mengendap
dari campuran lumpur. Gambar 7 menunjukkan posisi tabung pengambilan
sampel lumpur hasil pelumpuran dan posisi tanah yang mengendap setelah

16
lumpur didiamkan selama 48 jam. Hasil pelumpuran yang semakin baik
diperoleh dari nilai indeks pelumpuran yang semakin baik pula. Persamaan
yang digunakan untuk menghitung indeks pelumpuran sebagaimana metode
yang digunakan Pandey et al (1973) dalam Verma et al (2006), yaitu
dengan persamaan berikut:

Vs : Volume tanah dalam tabung setelah diendapkan 48 jam, cc


Vt : Volume total contoh suspensi air-tanah dalam tabung, cc

Gambar 7. Posisi pengambilan contoh suspensi air-tanah dan posisi tanah dalam
tabung plastik setelah dibiarkan selama 48 jam

7. Indeks kelunakan tanah hasil pelumpuran (IK)


IK diukur dengan cara sebagaimana telah diperkenalkan Sawamura et
al (1986) dalam Pramuhadi (1998), yaitu dengan menggunakan persamaan
bola golf. Bola golf yang digunakan adalah bola golf merek Dunlop dengan
massa 45.9 gram dan diameter 42.8 mm. Bola golf dijatuhkan dari
ketinggian satu meter diatas permukaan lumpur. Supaya pengukuran tepat
pada permukaan bola golf, bola golf terlebih dahulu diikatkan pada benang.
Ketika bola dijatuhkan, benang sedikit diangkat, tapi posisi bola golf tidak
boleh tergeser. Kemudian penggaris dimasukkan tepat disamping benang,
lalu diukur jarak dari permukaan bola golf sampai ke permukaaan lumpur,
seperti pada Gambar 8 (Pramuhadi 1998).
Kelunakan tanah hasil pelumpuran yang cocok untuk tanaman padi
adalah kekuatan tanah saat permukaan atas bola golf berada antara

17
ketinggian 1 cm hingga kedalaman 1 cm dari permukaan lumpur. Atas dasar
ini maka indeks kelunakan tanah hasil pelumpuran dikatakan semakin tinggi
apabila kedalaman permukaan bola golf mendekati 0 cm dari permukaan
lumpur. Untuk menghitung indeks kelunakan hasil pelumpuran digunakan
persamaan seperti yang dijelaskan Sawamura et al (1986) dalam Pramuhadi
(1998) sebagai berikut.
IK = (1-0.1 |PBG| /A)×100%
|PBG| : nilai mutlak posisi permukaan atas bola golf terhadap
permukaan lumpur, cm
A : penyesuaian posisi bola golf terhadap permukaan lumpur = 1cm
Berdasarkan persamaan IK tersebut maka besarnya nilai kelunakan
lumpur yang cocok untuk tanaman padi sawah adalah 90% hingga 100%.

Gambar 8. Posisi bola golf terhadap permukaan lumpur

8. Pertumbuhan tanaman
Kegiatan pelumpuran merupakan kegiatan akhir pada pengolahan
tanah lahan sawah. Setelah kegiatan pelumpuran selesai maka bibit
dipindahtanaman ke lahan yang telah diolah. Setelah pemindahtanaman,
dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman padi.
Pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman padi dilakukan dengan
mengukur tinggi tanaman dan jumlah tanaman per rumpun. Tinggi tanaman
padi diukur dari permukaan tanah sampai dengan ujung daun tanaman
dimana tanaman padi dan daunnya dikondisikan tegak vertikal. Pengukuran
tinggi tanaman dan jumlah tanaman per rumpun dilakukan secara berkala
setiap 10 hari selama 60 hari pengamatan.

18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi Umum Wilayah Situgede


Pengamatan dan pengumpulan data dilakukan di daerah Kelurahan
Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Daerah ini merupakan wilayah
Kota Bogor bagian barat yang berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten
Bogor. Sebagian besar wilayah Kota Bogor sudah beralih fungsi menjadi areal
pemukiman dan perkotaan sebagai akibat tingginya kebutuhan lahan untuk tempat
tinggal maupun tempat usaha. Saat ini Kota Bogor hanya menyisakan sedikit
bagian dari wilayahnya yang digunakan untuk pertanian, baik yang berupa lahan
kering maupun lahan sawah.
Wilayah Kelurahan Situgede berada di Kecamatan Bogor Barat dan
memiliki total luas wilayah sebesar 232.47 ha. Kelurahan Situgede memiliki luas
areal sawah sebesar 67.9 ha atau sekitar 30% dari total luasan wilayah Situgede.
Kelurahan Situgede berada pada ketinggian sekitar 250 meter diatas permukaan
laut dengan suhu udara rata-rata berkisar 24.9-25.8 0C. Rata-rata curah hujan yang
tercatat di wilayah Kelurahan Situgede adalah sebesar 3219-4671 mm/tahun.
Kondisi seperti ini merupakan kondisi yang baik untuk budi daya tanaman padi,
seperti yang dikemukakan Sys (1985).

1. Kependudukan
Dari data yang diperoleh dari Kelurahan Situgede, jumlah keluarga
yang tercatat di Kelurahan Situgede pada tahun 2008 mencapai 2276 kepala
keluarga, dengan total jumlah penduduk sebanyak 9101 jiwa, yang terdiri
dari 4616 jiwa penduduk laki-laki dan 4485 jiwa penduduk perempuan.
Sebagian besar masyarakat tersebut bekerja sebagai buruh tani, seperti
yang ditunjukkan dalam Tabel 5. Bekerja pada lahan milik orang lain
merupakan mata pencaharian paling banyak di Situgede. Pemilik tanah pada
umumnya bukan penduduk asli Kelurahan Situgede, tetapi orang lain yang
membeli lahan sawah dari masyarakat dan kemudian menyewakan sawah
yang mereka beli tersebut kapada warga setempat. Sementara itu,
masyarakat yang memiliki lahan pribadi biasanya hanya memiliki lahan

19
dengan jumlah yang kecil. Keterbatasan pemilikan lahan ini juga menjadi
salah satu penyebab pembagian lahan menjadi petakan-petakan yang
berukuran kecil.

Tabel 5. Mata pencaharian utama penduduk Kelurahan Situgede

Mata Pencaharian Jumlah (jiwa)


Buruh tani 1031
Petani 357
Wiraswasta 135
Sumber: Kelurahan Situgede (2008)

2. Pola Tanam Padi


Sebagian besar lahan pertanian yang ada di wilayah Kelurahan
Situgede adalah berupa lahan sawah, sehingga padi merupakan komoditas
utama dan yang memanfaatkan luas lahan terbesar dari bidang pertanian di
Kelurahan Situgede. Hal tersebut dapat dilihat dalam Tabel 6 berikut ini
dimana jumlah lahan persawahan mencapai hampir sepertiga dari luas total
wilayah Kelurahan Situgede.

Tabel 6. Jenis komoditas umum yang dibudidayakan di daerah Situgede

Jenis Komoditi Luas Lahan (ha)


Padi (sawah) 67.9
Jagung 3.0
Ubi kayu 2.0
Ubi jalar 2.0
Talas 2.0
Timun 0.5
Lain-lain 0.5
Sumber: Kelurahan Situgede (2008)

Pola tanam untuk komoditas padi maupun komoditas yang lainnya


tidak bergantung pada musim (ketersediaan air hujan). Daerah ini
merupakan daerah irigasi dengan ketersediaan air sepanjang tahun. Musim
kemarau bukan menjadi penghambat dalam pertanian, baik dalam bududaya

20
padi maupun tanaman lainnya, walaupun air merupakan sumber daya yang
sangat dibutuhkan untuk budi daya padi.
Varietas padi yang dibudidayakan masyarakat di Kelurahan Situgede
pada umumnya adalah varietas-varietas lokal, misalnya varietas Cisadane
maupun Ciherang atau varietas IR64 dari IRRI atau kadang varietas lain
yang merupakan bahan penelitian atau pengembangan, mengingat daerah
Situgede berada dekat dengan kampus Institut Pertanian Bogor di Darmaga.
Pemanfaatan lahan untuk budi daya tanaman padi dipengaruhi oleh
beberapa faktor lingkungan dan kebiasaan masyarakat di Situgede. Salah
satu faktor yang mempengaruhi preferensi masyarakat terhadap tanaman
padi adalah ketersediaan air di lahan untuk budi daya padi, mengingat budi
daya padi yang diterapkan adalah secara tradisional yang membutuhkan
jumlah air yang banyak. Ketersediaan air untuk pertanian di Kelurahan
Situgede diperoleh dari air hujan dan air irigasi yang tersedia sepanjang
tahun. Kondisi seperti ini memungkinkan masyarakat untuk menanam padi
sepanjang tahun.
Faktor lain yang menjadi alasan dalam pemilihan padi sebagai
tanaman budi daya adalah untuk mencukupi kebutuhan dalam kehidupan
sehari-hari. Masyarakat menanam padi untuk memenuhi kebutuhan pokok
akan bahan pangan. Hasil panen yang diperoleh masyarakat Situgede
biasanya tidak untuk dijual, melainkan untuk disimpan dengan harapan hasil
panen tersebut cukup untuk seluruh anggota keluarga sampai masa panen
berikutnya tiba. Untuk kebutuhan sehari-hari lainnya biasanya diperoleh
dari pekerjaan lain atau dengan menjadi buruh tani pada lahan orang lain.
Selain itu, padi merupakan pilihan utama masyarakat karena budi daya
padi yang relatif tidak merepotkan bila dibanding dengan tanaman
hortikultura lainnya yang berumur pendek, namun membutuhkan perhatian
yang intensif. Pekerjaan yang merepotkan dalam budi daya padi biasanya
hanya pada masa awal, yaitu pembibitan, pengolahan tanah dan
pemindahtanaman. Setelah bibit dipindahtanamkan pada lahan yang sudah
diolah, biasanya pekerjaan di sawah hanya sedikit, karena gulma di lahan
sawah hanya sedikit. Pekerjaan lain yaitu berupa membuka dan menutup

21
saluran air. Setelah pemindahtanaman selesai, petani biasanya mengerjakan
kerja sampingan menjadi buruh di sawah garapan orang lain.
Untuk menjaga produktivitas lahan sawah, biasanya petani
menerapkan pola tanam bergilir antara tanaman padi dengan tanaman
palawija. Sebagian besar pola tanam tersebut tidak teratur karena semua
tergantung kepada jumlah panen yang diperoleh dari musim tanam
sebelumnya. Dalam hal ini, petani menilai kualitas tanah sawah dari hasil
panen padi sebelumnya. Ketika hasil panen mulai mengalami penurunan
yang signifikan, petani mulai menanam jenis tanaman palawija. Biasanya
petani menanam jagung, ubi kayu, ubi jalar, talas maupun mentimun.

3. Sumber air
Budi daya tanaman padi dengan metode penggenangan pada lahan
sawah yang diterapkan di Kelurahan Situgede tentu saja membutuhkan air
yang selalu ada dan dalam jumlah yang banyak disepanjang masa tanam.

450
400
Curah hujan per bulan (mm)

350
300
250
200
150
100
50
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Bulan

Gambar 9. Rata-rata curah hujan bulanan di Stasiun BMG Darmaga

Data curah hujan pada Lampiran 4 memperlihatkan bahwa rata-rata


curah hujan bulanan daerah Situgede berjumlah diatas 200 mm per bulan
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9. Data tersebut menunjukkan bahwa
daerah Situgede cocok untuk budi daya tanaman padi sepanjang tahun,
karena ketersediaan air yang cukup. Menurut klasifikasi Oldeman dalam

22
Handoko (1995), kebutuhan air rata-rata per bulan untuk tanaman padi
adalah 145 mm. Dari Gambar 9 terlihat rata-rata curah hujan tiap bulan
lebih dari 145 mm. Artinya, budi daya tanaman padi dapat dilakukan
sepanjang tahun.
Ketersediaan air yang melimpah sepanjang tahun pada akhirnya
membuat masyarakat lebih memilih untuk membudidayakan tanaman padi,
selain alasan lain, yaitu budi daya tanaman padi dianggap lebih mudah dan
tidak merepotkan.

Gambar 10. Zona klasifikasi untuk daerah Situgede menurut sistem klasifikasi
Schmidth-Ferguson

Menurut klasifikasi iklim dengan sistem klasifikasi Schmidth-


Ferguson, daerah Situgede dapat digolongkan dalam zona A seperti pada
Gambar 10, yang merupakan titik perpotongan antara rata-rata bulan kering
dengan rata-rata bulan basah. Klasifikasi ini merupakan pengolahan data
curah hujan bulanan yang dicatat BMG Darmaga seperti pada Lampiran 4.
Zona A menurut sistem klasifikasi Schmidth-Ferguson merupakan daerah
yang sangat basah dengan jumlah bulan basah yang banyak serta vegetasi
hutan hujan tropis.
Sementara menurut sistem klasifikasi yang diperkenalkan Oldeman
dalam Handoko (1995), daerah Situgede termasuk dalam zona klasifikasi
A1, seperti pada Gambar 11. Zona A1 menurut sistem klasifikasi Oldeman
merupakan daerah yang cocok untuk budi daya padi secara terus-menerus

23
sepanjang tahun. Zona A1 menunjukkan jumlah banyaknya bulan basah
berturut-turut yang lebih besar dari 9 bulan..

Gambar 11. Zona klasifikasi untuk daerah Situgede menurut sistem klasifikasi
Oldeman

Kebutuhan air di daerah Kelurahan Situgede ini diperoleh dari air


hujan dan saluran irigasi yang dibangun pemerintah. Ada beberapa bagian
wilayah Situgede yang tidak mendapat air dari saluran irigasi, tetapi
masyarakat dapat memanfaatkan air hujan dan air dari Sungai Ciapus yang
dialirkan ke lahan dengan menggunakan pompa.

4. Sistem Bagi Hasil

33.33
53.33

13.33
Pemilik Tanah
Buruh Tandur
Penggarap

Gambar 12. Pembagian hasil panen padi yang diterapkan di daerah Situgede

Sistem bagi hasil merupakan sistem yang paling umum diterapkan di


daerah Situgede. Keterbatasan masyarakat dari segi modal dan kepemilikan
lahan menjadi penyebab utama masyarakat menerapkan sistem bagi hasil

24
dalam budi daya tanaman padi di daerah Situgede. Sistem bagi hasil yang
diterapkan merupakan kesepakan bersama antara pemilik tanah, penggarap
lahan dan buruh tani yang bekerja.
Sistem bagi hasil tersebut sudah diterapkan sejak dahulu. Adapun
sistem bagi hasil yang disepakati di daerah tersebut, seperti pada Gambar 12
adalah dengan ketentuan sebagai berikut.
a. Pemilik lahan mendapat bagian sepertiga dari total panen padi.
Modal awal untuk menggarap dan membeli pupuk merupakan
tanggungan dari penggarap sawah. Pemilik tidak mengeluarkan
modal awal kecuali meminjamkan lahan.
b. Penggarap mendapat bagian empat perlima (80%) dari dua
pertiga bagian total penen. Selama musim tanam, penggarap
harus mengeluarkan modal untuk pengolahan tanah dan juga
untuk membeli pupuk yang dibutuhkan selama pertumbuhan
padi sampai dengan panen.
c. Seperlima (20%) dari dua pertiga bagian total panen merupakan
bagian buruh tani. Buruh tani bekerja pada saat
pemindahtanaman bibit dari tempat persemaian, melakukan
penyiangan, dan pemanenan hasil padi. Biasanya pekerjaan ini
(masyarakat setempat menyebutnya tandur) dilakukan oleh satu
keluarga secara bersama-sama.

5. Topografi dan Ukuran Lahan


Sebagian besar petakan lahan yang dimiliki masyarakat berukuran
kecil (sempit) seperti pada Lampiran 6, 7 dan 8. Hal ini disebabkan antara
lain adalah karena keterbatasan kepemilikan lahan di masyarakat.
Keterbatasan pemilikan tanah ini menyebabkan tanah harus dibagi dan
dibatasi dalam petakan yang kecil-kecil.
Selain itu, luasan lahan yang kecil dipengaruhi oleh bentuk lahan yang
miring. Kemiringan lahan menyebabkan lahan harus dibentuk dalam ukuran
yang kecil dan bertingkat-tingkat karena semakin miring lahan akan
semakin banyak pekerjaan timbun dan gali untuk meratakan permukaan

25
tanah tersebut supaya menjadi permukaan yang datar yang bisa untuk
menahan genangan air.
Petakan-petakan pada lahan sawah umumnya dibatasi oleh pembatas
petakan (yang biasa disebut pematang atau galengan) yang juga berfungsi
sebagai jalan untuk masuk ke areal persawahan. Ukuran lahan yang pada
umumnya kecil menyebabkan banyak pematang yang harus dibuat, yang
pada akhirnya banyak mengurangi luas lahan yang bisa ditanami. Hal ini
berpotensi menurunkan total panen padi sebagai akibat dari berkurangnya
lahan tanam padi. Lebar pematang pada umumnya sekitar 40-60 cm. Ini
juga merupakan salah satu hal pembatas untuk pemanfaatan traktor tangan
untuk pengolahan tanah karena menyebabkan susahnya mobilitas traktor
tangan di areal persawahan.

B. Alat Pengolahan Tanah


Peralatan-peralatan pertanian yang digunakan penduduk setempat umumnya
merupakan peralatan pertanian yang dibuat sendiri oleh petani dari bahan kayu
dan dengan menggunakan sumber tenaga yang berasal dari manusia maupun
hewan. Sebagian besar petani menggunakan tenaga manusia maupun tenaga
kerbau dengan peralatan yang juga masih sederhana. Alat-alat yang umum
digunakan antara lain cangkul dan bajak singkal serta garu sisir yang ditarik oleh
kerbau.

Gambar 13. Bajak singkal yang digunakan pada traktor tangan

26
Gambar 14. Bajak singkal yang digunakan pada kerbau

Gambar 15. Garu sisir yang digunakan pada kerbau

Gambar 16. Gelebeg yang digunakan pada traktor

Di Kelurahan Situgede terdapat Kelompok Tani yang memiliki sebuah


traktor tangan yang merupakan bantuan dari Pemerintah melalui Departemen
Pertanian untuk pengembangan pertanian, dengan spesifikasi seperti pada
Lampiran 5. Hanya sedikit dari masyarakat yang menggunakan traktor tangan

27
dalam mengolah tanah. Traktor tangan tersebut belum dapat dimanfaatkan secara
maksimal menjadi alat pertanian andalan oleh masyarakat dikarenakan faktor
lingkungan pertanian, bentuk dan ukuran lahan sawah yang ada, serta kebiasaan
masyarakat setempat dalam budi daya padi.
Pengolahan tanah menggunakan tenaga kerbau merupakan pilihan yang
paling banyak diterapkan masyarakat. Salah satu faktor yang menyebabkan hal
tersebut adalah bahwa masyarakat masih memegang persepsi yang salah tentang
mesin dan peralatan mekanisasi pertanian, seperti penggunaan traktor tangan. Ada
dua opini yang keliru yang masih dipegang dan dipertahankan para petani
setempat tentang penggunaan traktor tangan. Opini pertama, anggapan bahwa
traktor memberikan tekanan yang lebih besar pada lahan, bila dibandingkan
dengan kerbau. Masyarakat menganggap penggunaan traktor akan menyebabkan
pemadatan tanah. Ini merupakan pandangan yang keliru, karena pada
kenyataannya yang terjadi adalah sebaliknya. Traktor memiliki roda berukuran
yang besar yang memiliki bidang sentuh dengan permukaan tanah yang lebih
besar dibanding dengan luas permukaan sentuh dari kaki kerbau pada permukaan
tanah. Tekanan yang terjadi berbanding terbalik dengan dengan luas permukaan
bidang sentuh dari suatu benda yang memberikan tekanan. Jadi, tekanan yang
diterima tanah dari kerbau akan lebih besar dari tekanan yang diberikan traktor.
Opini yang kedua adalah bahwa masyarakat seringkali menganggap bahwa
banyak bahan bakar (solar) yang tertumpah pada lahan, yang menyebabkan
rusaknya lahan dan turunnya produksi padi. Padahal hal ini sangat jarang terjadi,
kecuali jika operator lalai dan salah ketika menutup tangki bahan bakar.
Disisi lain, menurut masyarakat, tenaga kerbau terus dipertahankan karena
kerbau mengeluarkan kotoran sewaktu pengolahan tanah. Memang kotoran kerbau
bermanfaat memperkaya unsur hara tanah. Namun pada kenyataannya, jumlah
tersebut sangat kecil sehingga pengaruhnya terhadap kesuburan tanah tidak besar.

C. Persiapan Lahan
1. Penyemaian
Metode budi daya padi yang diterapkan di daerah Situgede merupakan
metode dengan persemaian, yakni yang diawali dengan penyemaian benih

28
sebelum dilakukan pindah tanam ke lahan yang telah disiapkan. Setelah
panen selesai, air dialirkan ke lahan dan lahan dibiarkan dalam keadaan
tergenang air kurang lebih selama satu sampai dua minggu. Selama
penggenangan, petani juga menyebarkan jerami-jerami hasil panen yang
telah kering untuk mempercepat proses pembusukan jerami. Petani
memanfaatkan sisa jerami ini sebagai bahan organik untuk memperkaya
unsur hara tanah.
Setelah penggenangan lahan selama satu sampai dua minggu, lahan
kemudian dibajak bersama dengan jerami yang sudah disebar di lahan.
Untuk lahan yang sebelumnya digunakan sebagai lahan kering, biasanya
setelah kegiatan pembajakan pertama dilakukan pelumpuran dengan
harapan tanah menjadi lebih remah (halus). Namun untuk lahan yang
sebelumnya merupakan persawahan, pengolahan tanah pertama yang
dilakukan hanya pembajakan.

Gambar 17. Pembuatan tempat persemaian benih padi

Setelah pengolahan tanah pertama selesai, sebagian dari luasan lahan


tersebut kemudian diratakan (biasanya secara manual dengan garu tangan,
seperti pada Gambar 17 karena lahan yang digunakan untuk penyemaian
tidak terlalu luas) untuk menyiapkan tempat penyemaian.
Benih yang telah direndam selama satu sampai dua hari kemudian
disemai pada lahan yang telah diratakan tersebut. Lahan yang lain untuk
sementara dibiarkan dalam keadaan tergenang sampai bibit yang disemai
telah siap untuk dipindahtanamkan. Lama waktu penyemaian adalah 20-25

29
hari sampai siap tanam. Tinggi bibit padi rata-rata pada saat pindah tanam
adalah sekitar 10-14 cm.

Gambar 18. Tempat persemaian yang ada di tengah petakan

Penggunaan lahan sebagai tempat penyemaian tentu akan berdampak


pada lambatnya masa tanam. Artinya, selama masa semai, tanah dibiarkan
tergenang dan menganggur. Dengan cara seperti ini tidak mungkin terpenuhi
pola tanam padi-padi-padi mengingat banyak waktu menganggur di lahan,
baik selama penyemaian maupun pengolahan tanah.

2. Pembuatan Pematang (Galengan)


Pematang atau galengan (pinggiran sawah) biasanya dibersihkan
kembali bersamaan dengan dimulainya pengolahan tanah. Biasanya
penggarap tanah bekerja bersama 2-3 orang lainnya untuk merapikan
galengan. Galengan ini berfungsi sebagai batas petakan, sebagai jalan
masuk ke areal persawahan, atau bahkan sebagai batas kepemilikan sawah.
Setelah pinggiran sawah dirapikan dengan menggunakan cangkul,
pinggiran tersebut kemudian dilapisi lagi dengan lumpur yang ada di
petakan tersebut. Lumpur ditempelkan dengan menggunakan kaki, dengan
menginjak-injak bagian yang ditambahkan lumpur. Penambahan lumpur
pada dinding galengan adalah untuk menciptakan pembatas sawah yang
jenuh air seperti pada Gambar 19. Keadaan ini dapat mencegah terbuangnya
air berupa rembesan keluar petakan yang sudah digenangi air.

30
Gambar 19. Pembuatan pematang sawah. Kiri: penambahan tanah berlumpur pada
pematang. Kanan: pemadatan lumpur

Proses pembuatan pematang ini sama dengan prinsip yang dikemukakan


Koga (1992) yang mengatakan bahwa pengurangan kehilangan air melalui
rembesan biasanya dengan melapisi pematang dengan lumpur sehingga
terbentuk keadaan jenuh air pada pematang yang menyebabkan
berkurangnya laju rembesan melalui pematang.
Setelah galengan terbentuk, pekerjaan manual lainnya yang dilakukan
adalah untuk membantu pengolahan tanah yang ada dipinggiran lahan.
Pekerjaan ini dilakukan dengan menggunakan cangkul. Pinggiran lahan
merupakan bagian yang sulit untuk dijangkau dengan alat bajak maupun alat
garu yang digunakan, karena lahan sawah yang berbentuk seperti kolam
dengan bagian pinggiran yang lebih tinggi dari bagian tengah petakan.

3. Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah untuk lahan pertanaman dilakukan ketika benih
yang disemai sudah siap untuk dipindahtanamkan atau kira-kira 20 hari
setelah kegiatan penyemaian. Dalam pengolahan tanah ini biasanya
dilakukan dengan pembajakan yang kemudian diikuti dengan kegiatan
pelumpuran, yang dilakukan dengan pelumpuran secara berulang-ulang
untuk membentuk struktur tanah berlumpur.
Sebagian besar pengolahan tanah di Situgede dilakukan secara
tradisional dan menggunakan alat-alat yang sederhana berupa cangkul dan

31
bajak singkal yang ditarik dengan tenaga kerbau. Cara pengolahan tanah
tersebut menunjukkan ketergantungan terhadap sumber daya manusia dan
hewan masih sangat besar.
Pengolahan tanah dengan tenaga kerbau yang biasa dilakukan adalah
dengan menggunakan bajak singkal dengan lebar implemen 24 cm pada
kegiatan pembajakan dan penggunaan garu sisir dengan lebar implemen 160
cm pada kegiatan pelumpuran. Kegiatan pengolahan tanah dengan traktor
tangan mengguakan implemen bajak singkal dengan lebar implemen 40 cm
pada kegiatan pembajakan dan penggunaan gelebeg dengan lebar implemen
130 cm.
Pengolahan tanah dengan tenaga kerbau dilakukan hanya pada pagi
hari yang dimulai sekitar pukul 6 sampai dengan pukul 10 atau 11 siang.
Terik matahari dan keterbatasan tenaga kerbau juga merupakan hal yang
membatasi pekerjaan pengolahan tanah sehingga hanya dilakukan selama 4
sampai 5 jam sehari dan juga sudah termasuk waktu untuk istirahat dan
makan operator. Sementara untuk tenaga mekanis seperti traktor tangan, hal
pembatas biasanya dari operator. Jika operator kuat dan ada pergantian,
pengolahan tanah bisa saja dilakukan dari pagi sampai dengan petang tanpa
ada waktu menganggur untuk traktor.
Pengolahan tanah di daerah Situgede menjadi lambat karena sebagian
besar lahan sawah diolah dengan menggunakan tenaga tradisional, baik
dengan satu maupun dua ekor kerbau.

D. Kapasitas Lapang dan Efisiensi Pengolahan Tanah


a. Pembajakan
Hasil pengamatan kegiatan pembajakan memperlihatkan bahwa
kapasitas lapang efektif rata-rata terbesar adalah dengan menggunakan
traktor tangan, yaitu sebesar 0.079 ha/jam. Sementara pengolahan tanah
dengan cara tradisional dengan menggunakan satu ekor kerbau lebih besar
dibanding dengan dua kerbau, yaitu masing-masing dengan nilai 0.058
ha/jam dan 0.041 ha/jam, seperti pada Tabel 7. Hal ini disebabkan karena
operator lebih mudah mengendalikan satu ekor kerbau dibandingkan dengan

32
dua ekor kerbau. Karena ketika bekerja dengan menggunakan dua ekor
kerbau, kerbau sering tarik-menarik satu dengan yang lain sehingga
kecepatan kerja akan menjadi semakin lambat.

Tabel 7. Kapasitas Lapang Efektif dan Teoritis serta Efisiensi pengolahan tanah pada
beberapa sumber tenaga

KLE KLT Efisiensi


No Sumber Tenaga
(ha/jam) (ha/jam) (%)
1 Satu ekor kebau 0.058 0.046 126.850
2 Dua ekor kebau 0.041 0.036 114.028
3 Traktor tangan 0.079 0.099 79.984

0.12 140

120
Kapasitas Lapang (ha/jam)

0.10

100
0.08

Efisiensi (%)
80
0.06
60
0.04
40

0.02 20 KLE
0.00 0 KLT
Satu kerbau Dua kerbau Traktor tangan Efisiensi
Jenis Sumber Tenaga

Gambar 20. Hubungan kapasitas lapang dengan efisiensi pembajakan

Dari hasil pengamatan diperoleh efisiensi pengolahan tanah untuk


kegiatan pembajakan sebesar 126.850%, 114.028% dan 79.984% seperti
pada Tabel 7, masing-masing untuk penggunaan seekor kerbau, dua ekor
kerbau dan dengan tenaga traktor. Dari Gambar 20 dapat dilihat hubungan
antara kapasitas lapang efektif dan teoritis terhadap efisiensi. Penggunaan
tenaga kerbau pada pengamatan tersebut menunjukkan kapasitas lapang
efektif yang lebih besar daripada kapasitas lapang teoritis. Keadaan seperti
ini berpengaruh terhadap nilai efisiensi, dimana efisiensi yang diperoleh
menjadi lebih besar dari 100%. Berbeda dengan pemikiran Srivastava

33
(1993), idealnya, jika semua lahan terolah dengan baik, paling tidak waktu
kerja akan lebih besar dari waktu perkiraan berdasarkan kapasitas lapang
teoritis karena pada saat bekerja ada waktu yang terbuang sebagai akibat
pada saat berbelok atau sebagai akibat adanya overlapping pada saat
pengolahan tanah. Pembajakan dengan traktor tangan menghasilkan
efisiensi yang lebih kecil dari 100%, karena kapasitas lapang efektif yang
lebih kecil daripada kapasitas lapang teoritis.

Tabel 8. Variabel kerja pada pembajakan dengan sumber tenaga yang berbeda
Satu Dua Traktor
No Variabel
Kerbau Kerbau Tangan
1 Kedalaman Olah (cm) 11.10 12.35 16.00
2 Lebar Kerja (cm) 27.700 26.425 35.914
3 Kecepatan Kerja (m/det) 0.527 0.413 0.689
4 Kapasitas Lapang Efektif (ha/jam) 0.058 0.041 0.079
5 Kapasitas Lapang Teoritis (ha/jam) 0.046 0.036 0.099
6 Efisiensi Lapang (%) 126.850 114.028 79.984

Jika diamati lebih dalam terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi


efisiensi, seperti pada Tabel 8, pada saat pengamatan diperoleh lebar kerja
rata-rata hasil pengukuran adalah 27.700 cm, 26.425 cm dan 35.914 cm
masing-masing untuk kegiatan pembajakan dengan seekor kerbau, dua ekor
kerbau serta tenaga traktor. Hasil pengukuran ini menunjukkan bahwa lebar
kerja aktual penggunaan tenaga kerbau lebih besar dari lebar implemen
sebenarnya, yaitu 24 cm dan lebar aktual penggunaan tenaga traktor lebih
kecil dari lebar implemen sebenarnya, yaitu 40 cm.
Perbedaan lebar kerja aktual dengan lebar implemen ini secara
langsung akan mempengaruhi kapasitas lapang teoritis dan kemudian
memberi pengaruh pula pada efisiensi pengolahan tanah. Nilai efisiensi
yang lebih besar dari 100% menunjukkan bahwa lebar kerja aktual lebih
besar dari lebar implemen, yang berarti bahwa ada bagian tanah yang
terlewatkan (tidak ikut terbajak) ketika kegiatan pembajakan dilakukan.
Sementara efisiensi yang bernilai lebih kecil dari 100% menandakan terjadi

34
tumpang tindih (overlap) ketika pengolahan tanah dilakukan. Hasil yang
diharapkan sebenarnya adalah pembalikan tanah yang sempurna dan merata
diseluruh bagian lahan dalam petakan tersebut. Artinya, tidak ada bagian
tanah yang terlewatkan. Dengan memperhatikan pengaruh faktor lain
terhadap efisiensi tersebut, dapat dilihat bahwa semakin besar efisiensi tidak
selalu menghasilkan kualitas pembajakan yang baik. Kadang efisiensi juga
melebihi 100% yang menyebabkan turunnya kualitas pembajakan, seperti
ada lahan yang tidak terolah dan kedalaman olah yang kurang optimum.

Gambar 21. Kegiatan pembajakan (a) dengan satu kerbau, (b) dengan dua
kerbau, (c) dengan traktor tangan

35
Rata-rata kecepatan kerja dalam kegiatan pembajakan adalah 0.527
m/det, 0.413 m/det, dan 0.689 m/det, seperti pada Tabel 8, masing-masing
pada pembajakan dengan menggunakan tenaga seekor kerbau, dua ekor
kerbau dan tenaga traktor. Penggunaan tenaga dua ekor kerbau memiliki
kecepatan kerja paling kecil karena dua kerbau sering menjadi saling tarik-
menarik sehingga menyebabkan kerbau lebih sulit dikontrol oleh operator
bila dibandingkan dengan satu kerbau.
Salah satu penilaian terhadap kualitas pembajakan adalah dari
kedalaman olah pembajakan tersebut. Menurut Koga (1992), kedalaman
yang diinginkan dari sebuah lapisan pembajakan untuk budi daya tanaman
padi adalah berkisar antara 15 dan 20 cm. Dari hasil pengamatan diperoleh
rata-rata kedalaman lapisan olah sebesar 11.10 cm, 12.35 cm dan 16.00 cm
berturut-turut dengan menggunakan seekor kerbau, dua ekor kerbau dan
dengan traktor tangan. Penggunaan traktor tangan memberikan hasil yang
paling optimum terhadap kondisi ideal budi daya tanaman padi yang
diharapkan bila dibandingkan dengan hasil yang disampaikan Koga (1992).

b. Pelumpuran
Dalam kegiatan pelumpuran, seperti pada Tabel 9, diperoleh rata-rata
kapasitas lapang efektif sebesar 0.065 ha/jam, 0.041 ha/jam, dan 0.041
ha/jam masing-masing untuk pelumpuran dengan menggunakan satu ekor
kerbau, dua ekor kerbau, dan dengan traktor. Nilai kapasitas lapang efektif
untuk kegiatan pelumpuran sulit diperkirakan karena pekerjaan pelumpuran
dilakukan berulang-ulang sampai keadaan lumpur yang diinginkan
terbentuk.
Tabel 9. Hasil kerja pelumpuran dengan berbagai sumber tenaga

Satu Dua Traktor


No Variabel
Kerbau Kerbau Tangan
1 Kecepatan Kerja (m/det) 0.598 0.515 0.803
2 KLE (ha/jam) 0.065 0.041 0.041
3 KLT (ha/jam) 0.345 0.297 0.376
4 Efisiensi Lapang (%) 18.824 13.736 10.815
5 Indeks Kelunakan (%) 75.482 73.208 90.357
6 Indeks Pelumpuran (%) 82.657 85.109 91.009

36
Kapasitas lapang teoritis untuk kegiatan pelumpuran adalah 0.345
ha/jam 0.297 ha/jam dan 0.376 ha/jam berturut-turut untuk kegiatan dengan
menggunakan tenaga seekor kerbau, dua ekor kerbau dan dengan tenaga
traktor tangan. Implemen yang digunakan untuk traktor tangan memiliki
lebar yang lebih kecil, yakni 130 cm, sementara yang digunakan pada
kerbau adalah 160 cm. Kapasitas lapang teoritis kegiatan pelumpuran
dengan menggunakan traktor tangan dipengaruhi oleh kecepatan kerja
traktor yang lebih besar, yaitu dengan rata-rata 0.803 m/det bila
dibandingkan dengan penggunaan tenaga kerbau yang lebih kecil, yaitu
0.598 m/det dengan seekor kerbau dan 0.515 m/det dengan dua ekor kerbau.
Nilai efisiensi pengolahan tanah untuk kegiatan pelumpuran sangat
kecil. Sangat berbeda dengan hasil pengamatan yang dilakukan Puspita
(2002) dan Yudistira (2004), seperti pada Tabel 1 dan 2. Untuk pelumpuran,
nilai efisiensi yang diperoleh akan sangat kecil karena pengolahan dilakukan
berulang-ulang sampai keadaan lumpur yang diinginkan terbentuk. Biasanya
dilakukan pengulangan sebanyak 6-8 kali untuk memperoleh tanah
berlumpur untuk padi.

0.40 20
0.35 18
Kapasitas Lapang (ha/jam)

16
0.30
14
Efisiensi (%)

0.25 12
0.20 10
0.15 8
6
0.10
4
0.05 2 KLE
0.00 0 KLT
Satu kerbau Dua kerbau Traktor tangan Efisiensi

Sumber Tenaga

Gambar 22. Hubungan kapasitas lapang dengan efisiensi pelumpuran

Besarnya nilai efisiensi pengolahan tanah rata-rata yang diperoleh


adalah 18.824%, 13.736% dan 10.815% masing-masing untuk pelumpuran
dengan satu ekor kerbau, dua ekor kerbau dan dengan traktor tangan. Hal ini

37
dikarenakan pelumpuran dilakukan berulang-ulang sampai keadaan lumpur
terbentuk. Jumlah ulangan yang diperlukan pada kegiatan pelumpuran untuk
mencapai keadaaan lumpur biasanya tidak menjadi acuan, yang terpenting
adalah keadaan lumpur dan tanah yang lunak sudah terbentuk. Walaupun
pada beberapa penelitian sebelumnya disebutkan jumlah lintasan yang
optimal, namun kegiatan pelumpuran biasanya sangat dipengaruhi faktor
lingkungan yang menyebabkan jumlah lintasan optimal akan sulit
ditentukan.
Dari Gambar 22 terlihat bahwa kapasitas lapang efektif pada
pelumpuran jauh lebih kecil nilainya bila dibandingkan dengan kapasitas
lapang teoritisnya. Keadaan seperti ini akan selalu menghasilkan efisiensi
pelumpuran yang kurang dari 100% karena pada lahan sawah, pelumpuran
dilakukan secara berkebihan. Artinya, pengulangan terus dilakukan sampai
benar-benar terbentuk keadaan tanah yang jenuh air, yang disebut lumpur.
Kapasitas lapang efektif yang besar memberikan dampak terhadap
meningkatnya efisiensi pada suatu pengolahan. Hal ini dapat dilihat dalam
Tabel 9 bahwa kapasitas lapang efektif yang besar pada kegiatan
pelumpuran dengan tenaga satu kerbau memberikan dampak terhadap
efisiensi pengolahan tanah yang semakin besar pula.
Salah satu yang mempengaruhi efisiensi dari kegiatan pelumpuran
adalah ketersediaan genangan air di lahan. Dalam keadaan air yang cukup
banyak, operator seringkali tidak dapat mengetahui bilamana lumpur telah
terbentuk. Kecenderungan yang terjadi adalah bahwa pelumpuran
dinyatakan selesai ketika tidak ada lagi tanah yang menjulang diatas
permukaan air. Padahal keadaan seperti itu belum tentu menghasilkan hasil
lumpur yang baik. Dalam pengamatan ini terlihat efisiensi pelumpuran
dengan penggunaan tenaga kerbau lebih besar dikarenakan pada saat
kegiatan pelumpuran tersebut ketersediaan air cukup banyak sehingga
operator memutuskan untuk keluar dari lahan walaupun pembentukan
lumpur belum optimal. Kualitas hasil pelumpuran dapat dibandingkan
dengan melihat nilai Indeks Pelumpuran (IP) maupun Indeks Kelunakan
(IK) hasil pelumpuran. Dari pengamatan di lapangan, penggunaan traktor

38
tangan dengan implemen berupa gelebeg menghasilkan gelombang air yang
lebih besar dibandingkan dengan penggunaan garu sisir dengan tenaga
kerbau. Gelombang air yang terjadi ini tentu saja akan membantu proses
pencampuran air dengan tanah untuk membentuk lumpur dan meratakan
lumpur yang terbentuk.

Gambar 23. Kegiatan pelumpuran (a) dengan satu kerbau, (b) dengan dua
kerbau, (c) dengan traktor tangan

39
E. Kapasitas Lapang Pengolahan Tanah
Kapasitas lapang pengolahan tanah menggambarkan besarnya luasan lahan
yang dapat diselesaikan dalam satu satuan waktu. Dari Gambar 24 dapat dilihat
bahwa besarnya kapasitas lapang tiap jam dengan tiga sumber tenaga yang
berbeda tidak memperlihatkan perbedaan yang besar. Sementara untuk kapasitas
pengolahan tanah harian menunjukkan perbedaan yang sangat besar antara
pengolahan tanah dengan tenaga kerbau dan dengan traktor tangan. Hal ini
dikarenakan kerbau memiliki keterbatasan waktu kerja harian, yaitu hanya sekitar
4-5 jam. Sementara tenaga traktor tangan tidak terbatas penggunaannya. Namun
dalam pengamatan yang dilakukan, biasanya traktor tangan digunakan 7-8 jam
dalam sehari.

0.2 0.188
0.18
0.16
0.137
0.14
Kapasitas lapang

0.12
0.1 0.084
0.08 KLE (ha/jam)

0.06 KLE (ha/hari)


0.034
0.04 0.027
0.021
0.02
0
Satu kerbau Dua kerbau Traktor tangan
Sumber tenaga

Gambar 24. Kapasitas Lapang Total Pengolahan Tanah

Koefisien variasi menunjukkan tingkat kebervariasian suatu kelompok data


yang ada. Dari pengamatan yang dilakukan, terdapat variasi data kapasitas lapang
efektif yang besar baik pada kegiatan pembajakan maupun pelumpuran, seperti
pada Gambar 25. Kapasitas lapang efektif lebih bervariasi dibandingkan dengan
kapasitas lapang teoritis. Hal ini dikarenakan ada faktor-faktor kerja yang
mempengaruhi kapasitas lapang efektif. Sementara koefisien variasi kapasitas
lapang efektif kegiatan pelumpuran cenderung lebih besar daripada kegiatan
pembajakan. Ini menunjukkan kapasitas lapang efektif pelumpuran lebih

40
bervariasi, karena pelumpuran biasanya lebih bersifat kondisional. Pelumpuran
dinyatakan selesai bila operator melihat permukaan tanah sudah rata, sehingga
jumlah lintasan pengulangan biasanya tidak menjadi ukuran yang baku.

45
40
35
Koefisien variasi (%)

30
25 KLE Pembajakan
20 KLE Penggaruan
15 KLT Pembajakan
10 KLT Penggaruan
5
0
Satu kerbau Dua kerbau Traktor tangan
Sumber tenaga

Gambar 25. Grafik koefisien variasi data KLE dan KLT pembajakan dan
pelumpuran

F. Indeks Pelumpuran dan Indeks Kelunakan Hasil Pelumpuran


Indeks Pelumpuran (IP) dan Indeks Kelunakan hasil pelumpuran (IK)
merupakan variabel yang digunakan untuk mengamati kualitas dan hasil kegiatan
pelumpuran. IP yang diperoleh yaitu sebesar 82.657%, 85.109% dan 91.009%
masing-masing untuk kegiatan dengan menggunakan tenaga seekor kerbau, dua
ekor kerbau dan traktor tangan, seperti pada Tabel 10.

Tabel 10. Hubungan kedalaman olah dengan hasil pelumpuran


Sumber Kedalaman Olah
No IP (%) IK (%)
Tenaga (cm)
1 Satu kebau 11.04 82.657 75.482
2 Dua kebau 12.35 85.109 73.208
3 Traktor tangan 16.00 91.009 90.357

Pengolahan dengan mengggunakan traktor tangan memberikan hasil IP yang


tertinggi karena impelmen yang digunakan adalah gelebeg yang juga berfungsi
mempercepat proses pembentukan lumpur. Gelebeg menghasilkan putaran yang

41
membantu pengadukan air dengan tanah. Nilai IP yang mendekati 100%
menunjukkan pencampuran antara air dengan lumpur semakin baik.
Nilai IK yang diperoleh dari kegiatan pelumpuran berbanding lurus dengan
nilai IP yaitu sebesar 75.482%, 73.208% dan 90.357% masing-masing dengan
menggunakan seekor kerbau, dua ekor kerbau dan traktor tangan. Kualitas
pelumpuran yang paling optimal diperoleh dengan penggunaan traktor tangan.
Pengamatan yang dilakukan Hutabarat (2006), seperti pada Tabel 3
menunjukkan perubahan IK dan IP yang tidak signifikan antara ulangan pertama
dengan ulangan berikutnya. Hal ini berbeda dengan hasil pengamatan diperoleh,
dimana pada ulangan pertama keadaan lumpur belum terbentuk. Berdasarkan
pengamatan, lumpur sudah mulai terbentuk baik dengan pengulangan sebanyak
enam sampai delapan kali.
Kedalaman olah sewaktu pembajakan memberi pengaruh terhadap hasil
kegiatan pelumpuran. Terlihat jelas perbandingan antara penggunaan tenaga
kerbau dengan tenaga traktor. Penggunaan tenaga kerbau menghasilkan
kedalaman olah yang lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan traktor tangan.
Pengaruhnya dapat dilihat dari IP dan IK yang lebih besar yang diperoleh ketika
pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan traktor tangan. Kedalaman
yang optimal pada saat pembajakan dapat mempermudah proses pencampuran air
dengan tanah dimana proses pengadukan berlangsung dengan baik karena tanah
yang dibalik cukup dalam sehingga dapat mendukung pencampuran yang lebih
merata antara air dengan tanah.
Faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi kualitas hasil pelumpuran
adalah jenis implemen yang digunakan. Penggunaan traktor tangan dengan
implemen berupa gelebeg menmberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
penggunaan tenaga kerbau dengan implemen berupa garu sisir. Garu sisir
biasanya lebih bersifat meratakan permukaan lumpur, sementara penggunaan
gelebeg lebih bersifat mencampur air dengan tanah melalui mekanisme gerakan
putar pada gelebeg. Selain itu, penggunaan gelebeg tersebut mengakibatkan
terjadinya gelombang air yang besar pada permukaan sawah, sehingga membantu
proses pelumpuran. Demikian juga dengan putaran roda traktor yang juga

42
mengakibatkan gelombang pada permukaan air sehingga membantu kegiatan
pelumpuran.

G. Pertumbuhan Tanaman Padi


Persiapan lahan yang baik diharapkan dapat memberikan tempat tumbuh
tanaman yang baik. Dari hasil pengolahan tanah dengan menggunakan tenaga
kerbau dengan tenaga traktor, seperti pada Gambar 26 dan 27 terlihat perbedaan
yang signifikan pada hasil pelumpuran, yakni IP dan IK. IP dan IK hasil
pengolahan dengan menggunakan tenaga traktor tangan adalah yang terbaik bila
dibandingkan dengan tenaga satu kerbau maupun dua kerbau. Demikian pula pada
pertumbuhan tanaman setelah dipindahtanamkan ke lahan yang sudah diolah.
Terlihat dari pertumbuhan tanaman yang lebih baik adalah pada lahan yang diolah
dengan traktor tangan. Tinggi tanaman dan jumlah tanaman per rumpun
menunjukkan hubungan yang linear antara kualitas hasil pelumpuran (nilai IP dan
IK) dengan pertumbuhan tanaman padi di lahan yang telah diolah.

70

60
Tinggi tanaman (cm)

50

40
Satu kerbau
30 Dua kerbau
20 Traktor tangan

10

0
0 20 40 60
Umur tanaman (hari)

Gambar 26. Pertumbuhan tinggi tanaman padi selama 60 hari

43
35

30

Jumlah tanaman per rumpun


25

20
Satu kerbau
15 Dua kerbau

10 Traktor tangan

0
0 20 40 60
Umur tanaman (hari)

Gambar 27. Pertambahan jumlah tanaman per rumpun selama 60 hari

Hubungan IK dan IP dengan pertumbuhan tanaman menunjukkan bahwa


kualitas pelumpuran yang semakin baik juga mendukung pertumbuhan awal
tanaman padi yang semakin baik pula, seperti pada Gambar 26 dan 27.

44
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
a. Budi daya tanaman padi di Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor
Barat, Kota Bogor secara umum masih dilakukan dengan cara
tradisional dan menggunakan peralatan yang dibuat sendiri oleh
petani. Sumber tenaga yang umum digunakan adalah dengan
menggunakan tenaga manusia dan tenaga kerbau.
b. Pada kegiatan pembajakan, kapasitas lapang efektif paling besar
adalah dengan menggunakan tenaga traktor tangan, yaitu sebesar
0.553 ha/hari, kemudian dengan menggunakan satu ekor kerbau dan
dua kerbau, yaitu masing-masing 0.232 ha/hari dan 0.164 ha/hari
dengan rata-rata empat jam kerja per hari. Sementara pada kegiatan
pelumpuran, kapasitas lapang biasanya sangat tergantung dengan
keadaan di lahan yang pada akhirnya mempengaruhi pada jumlah
lintasan yang optimal untuk kegiatan pelumpuran tersebut.
c. Kapasitas lapang efektif total pengolahan tanah diperoleh pada
penggunaan tenaga traktor tangan, yaitu sebesar 0.188 ha/hari dan
kemudian dengan tenaga satu kerbau dan dua kerbau, yaitu sebesar
0.137 ha/hari dan 0.084 ha/hari, yang sebenarnya sangat dipengaruhi
oleh total jam kerja per hari yang dapat diberikan oleh sumber tenaga.
d. Pelumpuran dengan menggunakan seekor kerbau menghasilkan
kapasitas lapang efektif yang lebih besar dibanding dengan dua ekor
kerbau, sebagai pengaruh kecepatan kerja seekor kerbau lebih tinggi
dari pada dengan dua ekor kerbau.
e. Kualitas kegiatan pelumpuran dipengaruhi dari kedalaman olah
pengolahan tanah pada kegiatan pembajakan. Kedalaman olah paling
baik diperoleh dengan menggunakan traktor tangan, yaitu sebesar 16
cm. Diperoleh nilai IK dan IP paling baik juga pada kegiatan
pengolahan tanah dengan tenaga traktor tangan, yaitu masing-masing
sebesar 90.357% dan 91.009%.

45
f. Nalai IP dan IK yang baik juga memberi pengaruh pada pertumbuhan
tanaman padi. Dalam pengamatan selama 60 hari pertumbuhan
tanaman padi terlihat rata-rata pertambahan tinggi dan jumlah anakan
dalam tiap rumpun yang lebih baik dengan penggunaan traktor tangan
dibanding dengan menggunakan tenaga kerbau.

B. Saran
1. Sebaiknya dipilih sumber tenaga seekor kerbau ketika pengolahan
tanah sawah yang dilakukan dengan tenaga kerbau, karena kapasitas
lapang efektif rata-rata dengan satu kerbau lebih besar dibanding
dengan dua kerbau.
2. Perlu dilakukan analisis biaya pengolahan tanah dalam budi daya
tanaman padi untuk mengoptimalkan penggunaan alat pertanian, baik
secara tradisional maupun mekanis.

46
DAFTAR PUSTAKA

Bowles JE. 1970. Engineering Properties of Soil and Their Measurement.


Highstown: Mc Graw-Hill Inc.

Champagne ET. 2004. Rice Chemistry and Technology. Minnesota: American


Association of Cereal Chemists, Inc.

Dahnil F. 2000. Mempelajari Tingkat Pelumpuran Tanah Sawah Menggunakan


Gelebeg [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.

Dash SK, Das DK. 2006. Performance Evaluation of Bullock Drawn Puddlers.
Journal of Agricultural Mechanization in Asia, Africa, and Latin America
37:9-11.

De Datta K. 1981. Principles and practice of Rice Production. New York: John
Willey & Sons.

Grist DH. 1965. Rice. Edisi Keempat. London: Longman Group Limited.

Hanafiah KA. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Hutabarat AF. 2006. Mempelajari Pelumpuran Tanah Sawah Menggunakan


Gelebeg, Garu Sisir dan Bajak Rotari di Leuwikopo, Darmaga Kabupaten
Bogor. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.

Koga, K. 1992. Introduction to Paddy Field Engineering. Bangkok: Asian


Institute of Technology.

Mohanty M, Painuli DK, Mandal KG. 2004. Effect of Puddling Intensity on


Temporal Variation on Soil Physical Conditions and Yield of Rice (Oriza
sativa L.) in a Vertisol of Central Indian. Journal of Soil and Tillage
Research 76:83-94.

47
Moormann FR, Nico vB. 1978. Rice: Soil, Water, Land. Los Banos: International
Rice Research Institute.

Pitojo S. 2003. Budi daya Padi Sawah Tabela (Tanam Benih Langsung). Jakarta:
Penebar Swadaya.

Pramuhadi G. 1998. Studi Optimasi Rasio Kecepatan Linier Pisau Rotari Dan
Kecepatan Maju Traktor Pada Pelumpuran Tanah Padi Sawah [tesis].
Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Prihar SS, Ghildyal BP, Painuli DK, Sur HS. 1985. Physical Properties Of
Mineral Soils Affecting Rice-Based Cropping System. Di dalam:
Swaminathan, editor. Poceeding of Soil Physics and Rice. Los Banos:
International Rice Research Institute. hlm. 57-70.

Puspita SI. 2002. Efisiensi Pengolahan Tanah Menggunakan Gelebeg, Garu Sisir
dan Bajak Rotari [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.

Sakai J, Sitompul RG, Sembiring EN, Praeko R, Suastawa IN, Mandang T. 1998.
Traktor 2–Roda. Bogor: Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian IPB.

Sari DW. 2007. Pengembangan Jasa Pengolahan Tanah Sawah Secara Mekanis di
Kabupaten Kuningan [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.

Scheltema W. 1974. Puddling Againts Dry Plowing For Lowland Rice Culture In
Surinam: Effect On Soil and Plant, And Interactions With Irrigation And
Nitrogen Dress. Wageningen: Center for Agricultural Publishing and
Documentation.

Srivastava AK, Goering CE, Rohrbach RP. 1993. Engineerig Principles of


Agricultural Machines. Michigan: American Society of Agricultural
Engineering.

Suastawa IN, Hermawan W, Desrial, Sitompul RG. 2008. Pedoman Praktikum:


Alat dan Mesin Budi Daya Pertanian. Bogor: Jurusan Teknik Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

48
Sutanto R. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah: Konsep dan Kenyataan. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.

Sys C. 1985. Evaluation of the Physical Environment for Rice Cultivation. Di


dalam: Swaminathan, editor. Proceeding of Soil Physics and Rice. Los
Banos: International Rice Research Institute. hlm. 31-43.

Verma AK, Dewangan ML. 2006. Efficiency and Energy Use in Puddling of
Lowland Rice Grown on Vertisols in Central India. Journal of Soil and
Tillage Research 90:100-107.

Yudistira A. 2004. Pertumbuhan Padi (Oriza sativa L.) pada berbagai Metode
Pelumpuran Tanah di Kabupaten Ciamis dan Pemerintahan Kota Banjar
Propinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.

49
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta wilayah Kelurahan Situgede, Kec. Bogor Barat, Kota Bogor

LOKASI PENGAMATAN

50
Lampiran 2. Struktur Lahan Sawah

Menurut Koga (1992), struktur lahan sawah terdiri dari:


1. Bagian pembatas, yang sering disebut pematang
Fungsi dari bagian pembatas ini antara lain adalah:
a. Menahan genangan air
b. Sebagai tempat berjalan dari satu petakan ke petakan yang lain di
tengah sawah
c. Sebagai pembatas kepemilikan lahan

Kehilangan air berupa rembesan kadang-kadang terjadi melalui bagian


pematang ini. Petani biasanya melapisi bagian dalam pematang dengan tanah hasil
pelumpuran untuk mengurangi terjadinya rembesan melalui pematang.

Konstruksi bagian pematang ini adalah hal yang penting diperhatikan dalam
keteknikan, dan sangat penting untuk mengatur strategi dalam perencanaan untuk
mengurangi panjang dan jumlah pembatas petakan karena membutuhkan jumlah
biaya dan tenaga pekerja yang lebih besar untuk merawat pembatas yang ada dan
juga akan mengurangi jumlah lahan yang dapat ditanami. Gulma yang tumbuh
pada bagian pematang juga merupakan suatu masalah. Masalah kemiringan lahan
dan kepemilikan lahan petani yang terbatas menjadi penyebab bentuk lahan yang
kecil-kecil dan panjangnya jumlah pematang.

2. Lapisan olah tanah


Ketepatan pengaturan tinggi permukaan lapisan olah tanah penting
diperhatikan dalam beberapa hal untuk:
a. Penggenangan yang cepat
b. Penggenangan dengan tinggi air yang merata
c. Drainase yang baik

Tinggi permukaan yang baik dan merata juga sangat dibutuhkan, terutama
untuk sistem budi daya tebar benih langsung atau pelaksanaan sistem pindah
tanam dengan alat mekanis. Misalnya di Amerika dan Jepang, beda elevasi yang
digunakan adalah maksimal sebesar 5 cm.

51
Lampiran 2. (Lanjutan)

3. Lapisan Dasar
Lapisan dasar dari lahan padi pada umumnya diklasifikasikan dalam dua
jenis, yaitu:
a. Tipe dengan posisi ketinggian air tanah yang rendah
Dengan tipe ini, permeabilitas air biasanya akan sangat besar. Air
biasanya akan ditahan sebuah lapisan kedap air, yang biasanya disebut
plowsole (plowpan,hardpan), yang ada di bawah lapisan olah tanah.
Masalahnya adalah lapisan plowsole tidak dapat dibentuk di bawah
pembatas petakan, jadi akan sangat banyak kehilangan air dari bagian
tersebut. Oleh karena itu, lahan padi dengan tipe ini pada lahan yang miring
akan mengalami banyak kehilangan air melalui rembesan. Untuk
mengurangi rembesan tersebut, petani melumpuri lapisan olah tanah dan
melapisi perbatasan petakan dengan lumpur tersebut, sehingga rembesan air
dapat dikurangi.
b. Tipe dengan posisi ketinggian air tanah yang tinggi
Sebagian besar lahan padi di dataran rendah memiliki tipe seperti ini.
Dengan tipe seperti ini tentu akan lebih mengurangi terbuangnya air melalui
rembesan antara pembatas petakan. Namun tentu akan membutuhkan suatu
sistem drainase untuk mendukung produktivitas tanaman padi.

52
Lampiran 3. Tujuan dari kegiatan pelumpuran (Koga 1992) dalam persiapan
tanah lahan sawah

1. Pengendalian gulma. Sebelum pelumpuran, petakan lahan biasanya dibajak


dan/atau digaru terlebih dahulu. Selama proses-proses pembajakan maupun
pelumpuran ini, gulma dan tunggu-tunggul sisa dipotong dan dibajak pada
lapisan olah tanah. Genangan air yang terjadi akan mencegah
perkecambahan gulma untuk waktu yang cukup panjang.
2. Pembentukan tanah yang lunak. Tanah yang dilunakkan adalah kondisi yang
memberi dampak kerusakan yang paling sedikit pada akar tanaman yang
dipindahtanamkan dari tempat persemaian. Kerikil-kerikil yang mungkin
ada pada lapisan olah akan berpindah sampai ke dasar lapisan tanah
pelumpuran.
3. Penyimpanan air. Pelumpuran akan dengan signifikan dapat mengurangi
permeabilitas tanah yang dilumpurkan dan kadang-kadang dapat mencegah
timbulnya pori-pori yang besar pada lapisan tanah subsoil. Sehingga
kebutuhan air selama periode pertumbuhan berkurang dengan sistem
pelumpuran.
4. Menjaga kelembaban. Pelumpuran mengubah struktur tanah pada lapisan
olah tanah menjadi lapisan yang terdiri dari banyak pori-pori mikro (mikro
pori). Oleh karena itu, kapasitas menahan air atau air simpanan pada tanah
ketika penyerapan air yang tinggi akan semakin besar, dimana hal ini dapat
mencegah penguapan pada lapisan olah tanah ketika mengalami masa
kekeringan yang singkat.
5. Meratakan tanah. Permukaan air adalah standar perataan permukaan yang
paling mudah diterapkan maupun diterima petani. Lumpur dipindahkan
dengan relatif lebih mudah dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang
lebih rendah.

53
Lampiran 4. Curah hujan di Kelurahan Situgede dari tahun 1987-2002 (mm)

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
1987 295 282 404 290 460 218 235 103 50 413 436 231
1988 434 380 344 445 371 148 89 258 86 240 151 397
1989 464 506 281 150 554 254 147 230 255 367 346 444
1990 442 373 193 639 382 212 283 646 288 346 292 358
1991 312 341 574 306 117 125 7 122 215 154 580 439
1992 132 301 445 427 442 193 277 245 268 705 638 471
1993 462 306 513 343 323 330 121 427 202 346 390 410
1994 - - - - 400 220 30 45 45 364 563 414
1995 516 313 304 245 318 470 264 10 335 456 709 213
1996 508 537 504 506 518 138 243 403 342 425 355 308
1997 391 109 230 404 457 51 24 34 136 231 422 357
1998 524 423 773 456 259 369 222 252 225 573 181 135
1999 306 271 98 398 326 229 257 207 123 421 381 234
2000 297 286 98 276 461 227 327 209 378 191 480 79
2001 383 352 276 364 335 340 366 142 445 307 304 70
2002 520 475 434 577 240 345 313 128 118 298 416 385
Sumber : Stasiun Klimatologi BMG Darmaga

Menurut klasifikasi Schmidth-Ferguson dalam Handoko (1995), kriteria


yang digunakan dalam menentukan bulan kering, bulan lembab dan bulan basah
adalah sebagai berikut:
Bulan Kering (BK) : bulan dengan hujan <60 mm
Bulan Lembab (BL) : bulan dengan hujan antara 60-100 mm
Bulan Basah (BB) : bulan dengan hujan >100 mm
Penentuan tipe iklimnya mempergunakan nilai Q, yaitu

Dari perhitungan tersebut dengan menggunakan segitiga Schmidth-Ferguson


maka didapatkan 8 tipe iklim dari A hingga H dengan penjelasan sebagai berikut:
A Daerah sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropika
B Daerah basah dengan vegetasi hutan hujan tropika
C Daerah agak basah dengan vegetasi hutan rimba, diantaranya terdapat jenis
vegetasi yang daunnya gugur pada musim kemarau, seperti jati.
D Daerah sedang dengan vegetasi hutan musim

54
Lampiran 4. (Lanjutan)

E Daerah agak kering dengan vegetasi hutan sabana


F Daerah kering dengan vegetasi hutan sabana
G Daerah sangat kering dengan vegetasi padang ilalang
H Daerah ekstrim kering dengan vegetasi padang ilalang

Menurut klasifikasi Oldeman dalam Handoko (1995), dalam menentukan


klasifikasi iklim, menggunakan ketentuan panjang periode bulan basah dan bulan
kering berturut-turut. Kriteria yang digunakan dalam menentukan bulan kering,
bulan lembab dan bulan basah dengan pengertian sebagai berikut:
Bulan Kering (BK) : bulan dengan curah hujan <100 mm
Bulan Lembab (BL) : bulan dengan curah hujan antara 100-200 mm
Bulan Basah (BB) : bulan dengan curah hujan >200 mm
Tipe utama klasifikasi Oldeman dibagi menjadi lima tipe berdasarkan
jumlah bulan basah berturut-turut sedangkan subdivisinya dibagi menjadi 4
berdasarkan jumlah bulan kering berturut-turut, seperti pada tabel berikut ini.

Tipe utama Subdivisi


Tipe Bulan basah berturut-turut Tipe Bulan kering berturut-turut
A >9 1 <2
B 7 sampai 9 2 2 sampai 3
C 5 sampai 6 3 4 sampai 6
D 3 sampai 4 4 >6
E <3

55
Lampiran 5. Spesifikasi teknik traktor tangan yang digunakan

A. Traktor tangan
Merk/model : QUICK/G1000 BOXER
Kecapatan : Satu kecepatan maju
Sistem transmisi : Kombinasi gear-chain
Sistem penggerak (kopling utama) : V belt (dua buah) dan tension
Sistem pembelok (kopling kemudi) : Dog clutch (empat buah)
Isi minyak pelumas : 5.5 liter
Dimensi traktor tangan dengan roda besi
Panjang : 2750 mm
Lebar : 1130 mm
Tinggi : 1390 mm
Berat dengan bajak tanpa diesel : 212 kg
Berat tanpa bajak tanpa diesel : 191 kg
Kapasitas : Lahan sawah : ± 11.6 jam/ha
: Lahan kering : ± 11.8 jam/ha

B. Diesel motor penggerak


Merk : KUBOTA
Model : RD 85 DI-2T
Jenis motor diesel : satu silinder horisontal (empat langkah)
Tenaga rata-rata : 7.5 HP/2200 RPM
Tenaga maksimum : 8.5 HP/2200 RPM
Bahan bakar : solar
Sistem starting : engkol
Sistem pendingin : air dengan radiator
Isi bahan bakar : 9.8 liter
Isi minyak pelumas : 2.4 liter
Berat : 90 kg

56
Lampiran 6. Pengolahan tanah dengan seekor kerbau

Pengamatan pada pengolahan tanah dengan menggunakan seekor kerbau,


dilakukan pada sepuluh petak lahan, yaitu dengan hasil sebagai berikut.

1. Lahan 1
Luas lahan yang diolah adalah sebesar 646 m2 dengan gambaran bentuk
seperti pada gambar berikut

Tabel. Hasil pengukuran pada kegiatan pengolahan tanah


dengan satu kerbau pada lahan 1
Pembajakan Pelumpuran
Titik Kecepatan kerja Lebar Kerja Kedalaman Olah Kecepatan kerja
(m/det) (cm) (cm) (m/det)
1 0.524 44.0 12.0 0.633
2 0.613 39.0 11.0 0.633
3 0.505 31.0 10.0 0.645
4 0.549 21.0 11.0 0.641
5 0.546 25.0 11.0 0.645
6 0.505 17.0 10.5 0.641
7 0.526 50.0 12.0 0.645
8 0.538 11.0 11.5 0.602
9 0.505 47.0 10.0 0.599
10 0.629 27.0 10.0 0.629
Rata-rata 0.544 31.2 10.9 0.631

57
Lampiran 6. (Lanjutan)

a) Pembajakan
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 1.200 jam
Total waktu berhenti : 0.100 jam
Total waktu bekerja : 1.100 jam
Lebar implemen : 0.240 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 5.8730 × 10-2
KLT (ha/jam) : 4.7010 × 10-2
ELP (%) : 124.931

b) Pelumpuran
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 1.633 jam
Total waktu berhenti : 0.530 jam
Total waktu bekerja : 1.103 jam
Lebar implemen : 1.600 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 5.8560 × 10-2
KLT (ha/jam) : 3.6366 × 10-1
ELP (%) : 16.103

2. Lahan 2
Luas lahan yang diolah adalah sebesar 532 m2 dengan gambaran bentuk
seperti pada gambar berikut

58
Lampiran 6. (Lanjutan)

Tabel. Hasil pengukuran pada kegiatan pengolahan tanah


dengan satu kerbau pada Lahan 2
Pembajakan Pelumpuran
Titik Kecepatan kerja Lebar Kerja Kedalaman Olah Kecepatan kerja
(m/det) (cm) (cm) (m/det)

1 0.645 24.0 13.0 0.599


2 0.617 22.0 11.0 0.595
3 0.641 27.0 9.5 0.621
4 0.690 23.0 10.0 0.595
5 0.719 16.0 10.5 0.633
6 0.671 14.0 11.0 0.562
7 0.633 34.0 9.0 0.641
8 0.613 22.0 9.5 0.578
9 0.610 31.0 10.5 0.559
10 0.671 14.0 11.0 0.637
Rata-rata 0.651 22.7 10.5 0.602

a) Pembajakan
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 1.600 jam
Total waktu berhenti : 0.241 jam
Total waktu bekerja : 1.359 jam
Lebar implemen : 0.240 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 3.9147 × 10-2
KLT (ha/jam) : 5.6255 × 10-2
ELP (%) : 69.589

b) Pelumpuran
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 1.650 jam
Total waktu berhenti : 0.070 jam
Total waktu bekerja : 1.580 jam
Lebar implemen : 1.600 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 3.3683 × 10-2
KLT (ha/jam) : 3.4674 × 10-1
ELP (%) : 9.714

59
Lampiran 6. (Lanjutan)

3. Lahan 3
Luas lahan yang diolah adalah sebesar 567 m2 dengan gambaran bentuk
seperti pada gambar berikut

Tabel. Hasil pengukuran pada kegiatan pengolahan tanah


dengan satu kerbau pada Lahan 3
Pembajakan Pelumpuran
Titik Kecepatan kerja Lebar Kerja Kedalaman Olah Kecepatan kerja
(m/det) (cm) (cm) (m/det)
1 0.513 35.5 12.5 0.629
2 0.556 33.5 11.0 0.617
3 0.476 20.0 11.5 0.595
4 0.505 19.0 11.5 0.671
5 0.543 22.5 10.5 0.538
6 0.518 21.5 13.0 0.637
7 0.529 28.5 13.0 0.645
8 0.532 28.0 13.0 0.508
9 0.513 44.5 13.0 0.599
10 0.503 28.0 12.5 0.664
Rata-rata 0.519 28.1 12.2 0.610

a) Pembajakan
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 1.133 jam
Total waktu berhenti : 0.099 jam
Total waktu bekerja : 1.034 jam
Lebar implemen : 0.240 m

60
Lampiran 6. (Lanjutan)

Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:


KLE (ha/jam) : 5.4867 × 10-2
KLT (ha/jam) : 4.4821 × 10-2
ELP (%) : 122.413

b) Pelumpuran
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 3.783 jam
Total waktu berhenti : 0.357 jam
Total waktu bekerja : 3.426 jam
Lebar implemen : 1.600 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 1.2639 × 10-1
KLT (ha/jam) : 3.5154 × 10-1
ELP (%) : 35.953

4. Lahan 4
Luas lahan yang diolah adalah sebesar 648 m2 dengan gambaran bentuk
seperti pada gambar berikut

61
Lampiran 6. (Lanjutan)

Tabel. Hasil pengukuran pada kegiatan pengolahan tanah


dengan satu kerbau pada Lahan 4
Pembajakan Pelumpuran
Titik Kecepatan kerja Lebar Kerja Kedalaman Olah Kecepatan kerja
(m/det) (cm) (cm) (m/det)
1 0.498 20.0 14.0 0.658
2 0.543 44.0 13.0 0.610
3 0.508 14.0 14.0 0.562
4 0.505 27.0 12.0 0.658
5 0.500 36.0 10.0 0.610
6 0.568 30.0 11.5 0.552
7 0.541 32.0 13.0 0.617
8 0.532 16.0 10.0 0.621
9 0.495 40.0 12.0 0.599
10 0.498 23.0 10.0 0.581
Rata-rata 0.519 28.2 12.0 0.607

a) Pembajakan
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 1.300 jam
Total waktu berhenti : 0.136 jam
Total waktu bekerja : 1.164 jam
Lebar implemen : 0.240 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 5.5662 × 10-2
KLT (ha/jam) : 4.4814 × 10-2
ELP (%) : 124.206

b) Pelumpuran
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 1.133 jam
Total waktu berhenti : 0.086 jam
Total waktu bekerja : 1.047 jam
Lebar implemen : 1.600 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 6.1868 × 10-2
KLT (ha/jam) : 3.4953 × 10-1
ELP (%) : 17.701

62
Lampiran 6. (Lanjutan)

5. Lahan 5
Luas lahan yang diolah adalah sebesar 532 m2 dengan gambaran bentuk
seperti pada gambar berikut

Tabel. Hasil pengukuran pada kegiatan pengolahan tanah


dengan satu kerbau pada Lahan 5
Pembajakan Pelumpuran
Titik Kecepatan kerja Lebar Kerja Kedalaman Olah Kecepatan kerja
(m/det) (cm) (cm) (m/det)
1 0.506 25.0 11.0 0.570
2 0.511 26.0 10.0 0.592
3 0.506 30.0 11.0 0.621
4 0.481 22.0 11.0 0.616
5 0.506 27.0 12.0 0.616
6 0.539 24.0 10.0 0.616
7 0.539 30.0 11.0 0.616
8 0.457 29.0 12.0 0.592
9 0.549 28.0 12.5 0.577
10 0.563 33.0 9.0 0.577
Rata-rata 0.516 27.4 11.0 0.599

a) Pembajakan
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.800 jam
Total waktu berhenti : 0.040 jam
Total waktu bekerja : 0.760 jam
Lebar implemen : 0.240 m

63
Lampiran 6. (Lanjutan)

Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:


KLE (ha/jam) : 4.5806 × 10-2
KLT (ha/jam) : 4.4543 × 10-2
ELP (%) : 102.835

b) Pelumpuran
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.450 jam
Total waktu berhenti : 0.007 jam
Total waktu bekerja : 0.443 jam
Lebar implemen : 1.600 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 7.8595 × 10-2
KLT (ha/jam) : 3.4526 × 10-1
ELP (%) : 22.764

6. Lahan 6
Luas lahan yang diolah adalah sebesar 348 m2 dengan gambaran bentuk
seperti pada gambar berikut

64
Lampiran 6. (Lanjutan)

Tabel. Hasil pengukuran pada kegiatan pengolahan tanah


dengan satu kerbau pada Lahan 6

Pembajakan Pelumpuran
Titik Kecepatan kerja Lebar Kerja Kedalaman Olah Kecepatan kerja
(m/det) (cm) (cm) (m/det)
1 0.545 22.0 12.0 0.638
2 0.448 23.0 12.0 0.584
3 0.503 15.0 11.0 0.588
4 0.523 41.0 10.0 0.570
5 0.514 31.0 12.0 0.608
6 0.533 25.0 11.0 0.588
7 0.533 22.0 11.0 0.608
8 0.511 21.0 10.0 0.581
9 0.517 27.0 11.5 0.604
10 0.506 26.0 9.5 0.588
Rata-rata 0.513 25.3 11.0 0.596

a) Pembajakan
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.400 jam
Total waktu berhenti : 0.029 jam
Total waktu bekerja : 0.371 jam
Lebar implemen : 0.240 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 9.3913 × 10-2
KLT (ha/jam) : 4.4348 × 10-2
ELP (%) : 211.764

b) Pelumpuran
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.433 jam
Total waktu berhenti : 0.009 jam
Total waktu bekerja : 0.424 jam
Lebar implemen : 1.600 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 8.2151 × 10-2
KLT (ha/jam) : 3.4318 × 10-1
ELP (%) : 23.939

65
Lampiran 6. (Lanjutan)

7. Lahan 7
Luas lahan yang diolah adalah sebesar 943.65 m2 dengan gambaran bentuk
seperti pada gambar berikut

Tabel. Hasil pengukuran pada kegiatan pengolahan tanah


dengan satu kerbau pada Lahan 7

Pembajakan Pelumpuran
Titik Kecepatan kerja Lebar Kerja Kedalaman Olah Kecepatan kerja
(m/det) (cm) (cm) (m/det)
1 0.506 32.0 11.0 0.556
2 0.439 25.0 11.0 0.584
3 0.503 35.0 11.0 0.581
4 0.508 27.0 10.0 0.600
5 0.486 27.0 12.0 0.608
6 0.476 37.0 10.0 0.592
7 0.523 19.0 11.0 0.588
8 0.489 18.0 11.0 0.584
9 0.484 35.0 10.9 0.604
10 0.503 41.0 11.0 0.566
Rata-rata 0.492 29.6 10.9 0.586

a) Pembajakan
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.500 jam
Total waktu berhenti : 0.009 jam
Total waktu bekerja : 0.491 jam
Lebar implemen : 0.240 m

66
Lampiran 6. (Lanjutan)

Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:


KLE (ha/jam) : 7.0900 × 10-2
KLT (ha/jam) : 4.2488 × 10-2
ELP (%) : 166.869

b) Pelumpuran
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.500 jam
Total waktu berhenti : 0.008 jam
Total waktu bekerja : 0.492 jam
Lebar implemen : 1.600 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 7.0772 × 10-2
KLT (ha/jam) : 3.3774 × 10-1
ELP (%) : 20.954

8. Lahan 8
Luas lahan yang diolah adalah sebesar 377 m2 dengan gambaran bentuk
seperti pada gambar berikut

67
Lampiran 6. (Lanjutan)

Tabel. Hasil pengukuran pada kegiatan pengolahan tanah


dengan satu kerbau pada Lahan 8

Pembajakan Pelumpuran
Titik Kecepatan kerja Lebar Kerja Kedalaman Olah Kecepatan kerja
(m/det) (cm) (cm) (m/det)
1 0.459 36.0 10.0 0.634
2 0.511 20.0 11.0 0.588
3 0.503 18.0 11.0 0.573
4 0.486 27.0 11.0 0.584
5 0.511 28.0 10.0 0.604
6 0.511 33.0 12.0 0.604
7 0.517 24.0 11.0 0.584
8 0.520 36.0 10.0 0.584
9 0.514 27.0 10.5 0.566
10 0.526 23.0 12.0 0.604
Rata-rata 0.506 27.2 10.9 0.593

a) Pembajakan
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.517 jam
Total waktu berhenti : 0.013 jam
Total waktu bekerja : 0.504 jam
Lebar implemen : 0.240 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 7.4818 × 10-2
KLT (ha/jam) : 4.3724 × 10-2
ELP (%) : 171.115

b) Pelumpuran
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.600 jam
Total waktu berhenti : 0.009 jam
Total waktu bekerja : 0.591 jam
Lebar implemen : 1.600 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 6.3847 × 10-2
KLT (ha/jam) : 3.4138 × 10-1
ELP (%) : 18.703

68
Lampiran 6. (Lanjutan)

9. Lahan 9
Luas lahan yang diolah adalah sebesar 255 m2 dengan gambaran bentuk seperti
pada gambar berikut

Tabel. Hasil pengukuran pada kegiatan pengolahan tanah


dengan satu kerbau pada Lahan 9

Pembajakan Pelumpuran
Titik Kecepatan kerja Lebar Kerja Kedalaman Olah Kecepatan kerja
(m/det) (cm) (cm) (m/det)
1 0.506 27.0 11.5 0.581
2 0.511 41.0 10.0 0.608
3 0.533 31.0 11.0 0.552
4 0.448 22.0 11.0 0.625
5 0.511 57.0 11.0 0.570
6 0.514 19.0 11.0 0.592
7 0.517 23.0 12.5 0.588
8 0.533 17.0 10.0 0.616
9 0.511 29.0 10.5 0.570
10 0.514 28.0 12.0 0.581
Rata-rata 0.510 29.4 11.1 0.588

a) Pembajakan
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.283 jam
Total waktu berhenti : 0.004 jam
Total waktu bekerja : 0.279 jam
Lebar implemen : 0.240 m

69
Lampiran 6. (Lanjutan)

Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:


KLE (ha/jam) : 9.1343 × 10-2
KLT (ha/jam) : 4.4050 × 10-2
ELP (%) : 207.363

b) Pelumpuran
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.283 jam
Total waktu berhenti : 0.005 jam
Total waktu bekerja : 0.426 jam
Lebar implemen : 1.600 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 9.1553 × 10-2
KLT (ha/jam) : 3.3884 × 10-1
ELP (%) : 27.020

10. Lahan 10
Luas lahan yang diolah adalah sebesar 213.75 m2 dengan gambaran bentuk
seperti pada gambar berikut

70
Lampiran 6. (Lanjutan)

Tabel. Hasil pengukuran pada kegiatan pengolahan tanah


dengan satu kerbau pada Lahan 10

Pembajakan Pelumpuran
Titik Kecepatan kerja Lebar Kerja Kedalaman Olah Kecepatan kerja
(m/det) (cm) (cm) (m/det)
1 0.536 29.0 12.0 0.581
2 0.503 18.0 13.0 0.625
3 0.450 27.0 11.0 0.616
4 0.511 21.0 10.0 0.608
5 0.503 20.0 12.0 0.625
6 0.511 41.0 12.5 0.577
7 0.511 35.0 11.0 0.570
8 0.497 28.0 11.0 0.577
9 0.506 31.0 10.5 0.566
10 0.511 29.0 9.0 0.577
Rata-rata 0.504 27.9 11.2 0.592

a) Pembajakan
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.367 jam
Total waktu berhenti : 0.018 jam
Total waktu bekerja : 0.367 jam
Lebar implemen : 0.240 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 6.1315 × 10-2
KLT (ha/jam) : 4.3542 × 10-2
ELP (%) : 140.817

b) Pelumpuran
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.217 jam
Total waktu berhenti : 0.012 jam
Total waktu bekerja : 0.205 jam
Lebar implemen : 1.600 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 1.0427 × 10-2
KLT (ha/jam) : 3.4108 × 10-1
ELP (%) : 30.570

71
Lampiran 7. Pengolahan tanah dengan dua ekor kerbau

Pengamatan pada pengolahan tanah dengan menggunakan dua ekor kerbau,


dilakukan pada empat lahan, yaitu dengan hasil sebagai berikut.

1. Lahan 1
Luas lahan yang diolah adalah sebesar 142.275 m2 dengan gambaran
bentuk seperti pada gambar berikut

Tabel. Hasil pengukuran pada kegiatan pengolahan tanah


dengan dua kerbau pada Lahan 1

Pembajakan Pelumpuran
Titik Kecepatan kerja Lebar Kerja Kedalaman Olah Kecepatan kerja
(m/det) (cm) (cm) (m/det)
1 0.512 26.0 11.0 0.526
2 0.384 21.0 11.2 0.539
3 0.448 25.2 12.5 0.529
4 0.395 30.8 14.2 0.474
5 0.392 18.0 15.0 0.554
6 0.398 28.5 10.0 0.620
7 0.398 21.5 15.0 0.546
8 0.416 13.0 11.0 0.641
9 0.454 25.0 9.8 0.565
10 0.370 23.0 15.0 0.640
Rata-rata 0.417 23.2 12.5 0.563

72
Lampiran 7. (Lanjutan)

a) Pembajakan
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.467 jam
Total waktu berhenti : 0.024 jam
Total waktu bekerja : 0.443 jam
Lebar implemen : 0.240 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 3.2139 × 10-2
KLT (ha/jam) : 3.6009 × 10-2
ELP (%) : 89.252

c) Pelumpuran
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.250 jam
Total waktu berhenti : 0.026 jam
Total waktu bekerja : 0.224 jam
Lebar implemen : 1.600 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 6.3468 × 10-2
KLT (ha/jam) : 3.2449 × 10-1
ELP (%) : 19.559

2. Lahan 2
Luas lahan yang diolah adalah sebesar 165.5 m2 dengan gambaran bentuk
seperti pada gambar berikut

73
Lampiran 7. (Lanjutan)

Tabel. Hasil pengukuran pada kegiatan pengolahan tanah


dengan dua kerbau pada Lahan 2

Pembajakan Pelumpuran
Titik Kecepatan kerja Lebar Kerja Kedalaman Olah Kecepatan kerja
(m/det) (cm) (cm) (m/det)
1 0.471 15.0 11.0 0.508
2 0.400 16.0 13.0 0.521
3 0.444 19.0 13.0 0.527
4 0.375 29.0 12.0 0.459
5 0.367 38.0 11.0 0.536
6 0.396 34.0 12.0 0.555
7 0.378 21.0 10.5 0.554
8 0.453 21.5 14.0 0.582
9 0.408 15.5 11.0 0.592
10 0.432 20.0 9.5 0.639
Rata-rata 0.412 22.9 11.7 0.547

a) Pembajakan
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.533 jam
Total waktu berhenti : 0.018 jam
Total waktu bekerja : 0.515 jam
Lebar implemen : 0.240 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 3.3078 × 10-2
KLT (ha/jam) : 3.5635 × 10-2
ELP (%) : 92.825

b) Pelumpuran
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.533 jam
Total waktu berhenti : 0.002 jam
Total waktu bekerja : 0.531 jam
Lebar implemen : 1.600 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 3.1145 × 10-2
KLT (ha/jam) : 3.1526 × 10-1
ELP (%) : 9.879

74
Lampiran 7. (Lanjutan)

3. Lahan 3
Luas lahan yang diolah adalah sebesar 1083.76 m2 dengan gambaran
bentuk seperti pada gambar berikut

Tabel. Hasil pengukuran pada kegiatan pengolahan tanah


dengan dua kerbau pada Lahan 3

Pembajakan Pelumpuran
Titik Kecepatan kerja Lebar Kerja Kedalaman Olah Kecepatan kerja
(m/det) (cm) (cm) (m/det)
1 0.494 17.0 9.0 0.543
2 0.379 18.0 11.0 0.521
3 0.470 13.0 12.0 0.528
4 0.368 17.0 14.0 0.499
5 0.398 34.0 9.5 0.583
6 0.411 22.0 10.0 0.585
7 0.419 23.5 12.5 0.575
8 0.433 19.5 11.0 0.566
9 0.419 32.0 13.0 0.601
10 0.410 21.0 11.0 0.601
Rata-rata 0.420 21.7 11.3 0.560

75
Lampiran 7. (Lanjutan)

a) Pembajakan
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 3.900 jam
Total waktu berhenti : 0.668 jam
Total waktu bekerja : 3.232 jam
Lebar implemen : 0.240 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 3.3532 × 10-2
KLT (ha/jam) : 3.6300 × 10-2
ELP (%) : 92.373

b) Pelumpuran
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 3.783 jam
Total waktu berhenti : 0.357 jam
Total waktu bekerja : 3.426 jam
Lebar implemen : 1.600 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 3.1634 × 10-2
KLT (ha/jam) : 3.2269 × 10-1
ELP (%) : 9.803

4. Lahan 4
Luas lahan yang diolah adalah sebesar 943.65 m2 dengan gambaran
bentuk seperti pada gambar berikut

76
Lampiran 7. (Lanjutan)

Tabel. Hasil pengukuran pada kegiatan pengolahan tanah


dengan dua kerbau pada Lahan 4

Pembajakan Pelumpuran
Titik Kecepatan kerja Lebar Kerja Kedalaman Olah Kecepatan kerja
(m/det) (cm) (cm) (m/det)
1 0.391 49.0 13.0 0.342
2 0.395 59.0 14.5 0.308
3 0.413 26.0 13.0 0.386
4 0.427 40.0 12.5 0.455
5 0.376 70.0 16.5 0.518
6 0.391 32.0 13.5 0.353
7 0.433 32.0 12.5 0.408
8 0.391 22.0 12.5 0.389
9 0.397 31.0 13.0 0.392
10 0.388 35.0 11.5 0.391
11 0.397 23.0 11.0 0.362
12 0.415 19.0 13.0 0.383
Rata-rata 0.401 36.5 13.0 0.391

a) Pembajakan
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 1.683 jam
Total waktu berhenti : 0.115 jam
Total waktu bekerja : 1.568 jam
Lebar implemen : 0.240 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 6.0173 × 10-2
KLT (ha/jam) : 3.4652 × 10-2
ELP (%) : 173.652

b) Pelumpuran
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 1.650 jam
Total waktu berhenti : 0.091 jam
Total waktu bekerja : 1.559 jam
Lebar implemen : 1.600 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 6.0535 × 10-2
KLT (ha/jam) : 2.2502 × 10-1
ELP (%) : 26.902

77
Lampiran 8. Pengolahan tanah dengan traktor tangan

Pengamatan pada pengolahan tanah dengan menggunakan traktor tangan,


dilakukan pada tujuh lahan, yaitu dengan hasil sebagai berikut.

1. Lahan 1
Luas lahan yang diolah adalah sebesar 805.2 m2 dengan gambaran bentuk
seperti pada gambar berikut

Tabel. Hasil pengukuran pada kegiatan pengolahan tanah


dengan traktor tangan pada Lahan 1

Pembajakan Pelumpuran
Titik Kecepatan kerja Lebar Kedalaman Kecepatan kerja
(m/det) Kerja (cm) Olah (cm) (m/det)
1 0.698 20.0 12.0 0.849
2 0.714 35.0 14.0 0.882
3 0.714 40.0 17.0 0.849
4 0.687 31.0 15.0 0.938
5 0.692 33.0 15.0 0.857
6 0.682 35.0 15.0 0.841
7 0.720 25.0 17.0 0.841
8 0.698 45.0 19.0 0.849
9 0.709 58.0 17.0 0.841
10 0.698 38.0 17.0 0.833
Rata-rata 0.701 36.0 15.8 0.858

78
Lampiran 8. (Lanjutan)

a) Pembajakan
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 1.300 jam
Total waktu berhenti : 0.277 jam
Total waktu bekerja : 1.023 jam
Lebar implemen : 0.400 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 7.8705 × 10-2
KLT (ha/jam) : 1.0096 × 10-1
ELP (%) : 77.954

d) Pelumpuran
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 2.617 jam
Total waktu berhenti : 0.335 jam
Total waktu bekerja : 2.282 jam
Lebar implemen : 1.300 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 3.0772 × 10-2
KLT (ha/jam) : 4.0158 × 10-1
ELP (%) : 7.663

2. Lahan 2
Luas lahan yang diolah adalah sebesar 462 m2 dengan gambaran bentuk
seperti pada gambar berikut

79
Lampiran 8. (Lanjutan)

Tabel. Hasil pengukuran pada kegiatan pengolahan tanah


dengan traktor tangan pada Lahan 2

Pembajakan Pelumpuran
Titik Kecepatan kerja Lebar Kerja Kedalaman Olah Kecepatan kerja
(m/det) (cm) (cm) (m/det)
1 0.709 36.0 16.0 0.841
2 0.714 37.0 13.0 0.833
3 0.698 36.0 14.0 0.849
4 0.703 35.0 14.0 0.833
5 0.682 48.0 13.0 0.833
6 0.687 43.0 16.0 0.857
7 0.726 35.0 19.0 0.849
8 0.720 37.0 18.0 0.849
9 0.726 20.0 14.0 0.818
10 0.732 55.0 14.0 0.833
Rata-rata 0.710 38.2 15.1 0.840

a) Pembajakan
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.683 jam
Total waktu berhenti : 0.099 jam
Total waktu bekerja : 0.584 jam
Lebar implemen : 0.400 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 7.9162 × 10-2
KLT (ha/jam) : 1.0218 × 10-1
ELP (%) : 77.473

b) Pelumpuran
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 1.550 jam
Total waktu berhenti : 0.891 jam
Total waktu bekerja : 0.659 jam
Lebar implemen : 1.300 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 7.0118 × 10-2
KLT (ha/jam) : 3.9298 × 10-1
ELP (%) : 17.843

80
Lampiran 8. (Lanjutan)

3. Lahan 3
Luas lahan yang diolah adalah sebesar 610.15 m2 dengan gambaran bentuk
seperti pada gambar berikut

Tabel Hasil pengukuran pada kegiatan pengolahan tanah


dengan traktor tangan pada Lahan 3

Pembajakan Pelumpuran
Titik Kecepatan kerja Lebar Kerja Kedalaman Olah Kecepatan kerja
(m/det) (cm) (cm) (m/det)
1 0.703 34.0 17.0 0.857
2 0.698 54.0 16.0 0.849
3 0.698 36.0 16.0 0.811
4 0.703 37.0 16.0 0.865
5 0.709 44.0 18.0 0.857
6 0.687 37.0 17.0 0.841
7 0.698 43.0 14.0 0.874
8 0.682 21.0 15.0 0.865
9 0.692 27.0 16.0 0.865
10 0.698 36.0 16.0 0.874
Rata-rata 0.697 36.9 16.1 0.856

81
Lampiran 8. (Lanjutan)

a) Pembajakan
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.733 jam
Total waktu berhenti : 0.108 jam
Total waktu bekerja : 0.625 jam
Lebar implemen : 0.400 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 9.7581 × 10-2
KLT (ha/jam) : 1.0032 × 10-1
ELP (%) : 97.268

b) Pelumpuran
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 1.550 jam
Total waktu berhenti : 0.271 jam
Total waktu bekerja : 1.279 jam
Lebar implemen : 1.300 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 4.7709 × 10-2
KLT (ha/jam) : 4.0056 × 10-1
ELP (%) : 11.911

4. Lahan 4
Luas lahan yang diolah adalah sebesar 374 m2 dengan gambaran bentuk
seperti pada gambar berikut

82
Lampiran 8. (Lanjutan)

Tabel Hasil pengukuran pada kegiatan pengolahan tanah


dengan traktor tangan pada Lahan 4

Pembajakan Pelumpuran
Titik Kecepatan kerja Lebar Kerja Kedalaman Olah Kecepatan kerja
(m/det) (cm) (cm) (m/det)
1 0.720 38.0 15.0 0.714
2 0.714 57.0 16.0 0.826
3 0.714 36.0 17.0 0.692
4 0.709 35.0 21.0 0.833
5 0.698 38.0 18.0 0.849
6 0.698 37.0 15.0 0.818
7 0.703 36.0 16.0 0.857
8 0.714 36.0 16.0 0.857
9 0.726 38.0 18.0 0.818
10 0.714 33.0 18.0 0.833
Rata-rata 0.711 38.4 17.0 0.810

a) Pembajakan
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.917 jam
Total waktu berhenti : 0.400 jam
Total waktu bekerja : 0.517 jam
Lebar implemen : 0.400 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 7.2387 × 10-2
KLT (ha/jam) : 1.0238 × 10-1
ELP (%) : 70.701

b) Pelumpuran
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.867 jam
Total waktu berhenti : 0.042 jam
Total waktu bekerja : 0.825 jam
Lebar implemen : 1.300 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 4.5349 × 10-2
KLT (ha/jam) : 3.7902 × 10-1
ELP (%) : 11.965

83
Lampiran 8. (Lanjutan)

5. Lahan 5
Luas lahan yang diolah adalah sebesar 775.209 m2 dengan gambaran bentuk
seperti pada gambar berikut

Tabel Hasil pengukuran pada kegiatan pengolahan tanah


dengan traktor tangan pada Lahan 5

Pembajakan Pelumpuran
Titik Kecepatan kerja Lebar Kerja Kedalaman Olah Kecepatan kerja
(m/det) (cm) (cm) (m/det)
1 0.687 27.0 15.0 0.882
2 0.703 38.0 21.0 0.833
3 0.703 31.0 13.0 0.857
4 0.703 32.0 14.0 0.841
5 0.709 52.0 17.0 0.882
6 0.720 41.0 17.0 0.891
7 0.720 36.0 16.0 0.874
8 0.738 38.0 15.0 0.865
9 0.732 39.0 16.0 0.857
10 0.738 38.0 17.0 0.849
Rata-rata 0.715 37.2 16.1 0.863

84
Lampiran 8. (Lanjutan)

a) Pembajakan
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.767 jam
Total waktu berhenti : 0.127 jam
Total waktu bekerja : 0.640 jam
Lebar implemen : 0.400 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 7.0045 × 10-2
KLT (ha/jam) : 1.0299 × 10-1
ELP (%) : 68.011

b) Pelumpuran
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 1.233 jam
Total waktu berhenti : 0.034 jam
Total waktu bekerja : 1.199 jam
Lebar implemen : 1.300 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 3.7383 × 10-2
KLT (ha/jam) : 4.0401 × 10-1
ELP (%) : 9.253

6. Lahan 6
Luas lahan yang diolah adalah sebesar 346.5 m2 dengan gambaran bentuk
seperti pada gambar berikut

85
Lampiran 8. (Lanjutan)

Tabel Hasil pengukuran pada kegiatan pengolahan tanah


dengan traktor tangan pada Lahan 6

Pembajakan Pelumpuran
Titik Kecepatan kerja Lebar Kerja Kedalaman Olah Kecepatan kerja
(m/det) (cm) (cm) (m/det)
1 0.698 20.0 16.0 0.849
2 0.714 35.0 15.0 0.882
3 0.714 40.0 15.0 0.849
4 0.687 31.0 17.0 0.938
5 0.692 33.0 19.0 0.857
6 0.682 35.0 17.0 0.865
7 0.726 25.0 17.0 0.849
8 0.703 37.0 18.0 0.857
9 0.709 20.0 15.0 0.841
10 0.709 33.0 14.0 0.857
Rata-rata 0.703 30.9 16.3 0.864

a) Pembajakan
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.517 jam
Total waktu berhenti : 0.016 jam
Total waktu bekerja : 0.501 jam
Lebar implemen : 0.400 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 6.9146 × 10-2
KLT (ha/jam) : 1.0128 × 10-1
ELP (%) : 68.269

b) Pelumpuran
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.950 jam
Total waktu berhenti : 0.084 jam
Total waktu bekerja : 0.866 jam
Lebar implemen : 1.300 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 4.0010 × 10-2
KLT (ha/jam) : 4.0458 × 10-1
ELP (%) : 9.889

86
Lampiran 8. (Lanjutan)

7. Lahan 7
Luas lahan yang diolah adalah sebesar 154 m2 dengan gambaran bentuk
seperti pada gambar berikut

Tabel Hasil pengukuran pada kegiatan pengolahan tanah


dengan traktor tangan pada Lahan 7

Pembajakan Pelumpuran
Titik Kecepatan kerja Lebar Kerja Kedalaman Olah Kecepatan kerja
(m/det) (cm) (cm) (m/det)
1 0.595 38.0 18.0 0.490
2 0.552 21.0 15.0 0.526
3 0.595 36.0 17.0 0.538
4 0.568 37.0 13.0 0.532
5 0.562 51.0 14.0 0.538
6 0.633 23.0 15.0 0.562
7 0.602 33.0 14.0 0.521
8 0.595 20.0 15.0 0.526
9 0.588 38.0 17.0 0.490
10 0.602 41.0 18.0 0.543
Rata-rata 0.589 33.8 15.6 0.527

a) Pembajakan
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.583 jam
Total waktu berhenti : 0.443 jam
Total waktu bekerja : 0.140 jam
Lebar implemen : 0.400 m

87
Lampiran 8. (Lanjutan)

Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:


KLE (ha/jam) : 1.0978 × 10-1
KLT (ha/jam) : 8.4876 × 10-2
ELP (%) : 129.345

b) Pelumpuran
Dari pengamatan yang dilakukan:
Total waktu di lahan : 0.983 jam
Total waktu berhenti : 0.215 jam
Total waktu bekerja : 0.768 jam
Lebar implemen : 1.300 m
Maka berdasarkan perhitungan diperoleh:
KLE (ha/jam) : 2.0051 × 10-2
KLT (ha/jam) : 2.4646 × 10-1
ELP (%) : 8.135

88
Lampiran 9. Tingkat pelumpuran dengan sumber tenaga yang berbeda

Rata-rata IP Rata-rata PBG Rata-rata IK


Lahan
(%) (cm) (%)
1 80.290 2.380 79.900
2 85.031 2.440 75.600
3 83.178 2.730 72.700
4 82.443 2.380 76.200
Satu kerbau
5 83.704 2.490 75.100
6 85.153 2.520 74.800
7 79.287 2.440 75.600
8 79.108 2.400 76.000
9 82.035 2.520 74.800
10 80.438 2.500 75.000
Rata-rata 82.657 2.480 75.482
Standar deviasi 2.228 0.103 1.804
Koefisien veriasi 2.714 4.160 2.388
1 73.294 2.430 75.700
2 89.795 3.010 69.900
Dua Kerbau
3 90.902 2.610 73.900
4 86.466 2.667 73.333
Rata-rata 85.109 2.679 73.208
Standar deviasi 8.103 0.243 2.425
Koefisien veriasi 9.520 9.052 3.313
1 92.717 0.960 90.400
2 89.316 1.000 90.000
Traktor tangan 3 90.907 1.030 89.700
4 90.747 1.030 89.700
5 90.835 1.000 90.000
6 90.570 0.830 91.700
7 91.972 0.900 91.000
Rata-rata 91.009 0.964 90.357
Standar deviasi 1.081 0.075 0.746
Koefisien veriasi 1.188 7.734 0.825

89
Lampiran 10. Pengambilan sampel lumpur hasil pelumpuran dengan sumber
tenaga pengolahan traktor tangan

Lahan 1 dengan traktor tangan

Lahan 2 dengan traktor tangan

Lahan 3 dengan traktor tangan

Lahan 4 dengan traktor tangan

Lahan 5 dengan traktor tangan

Lahan 6 dengan traktor tangan

Lahan 7 dengan traktor tangan

90
Lampiran 11. Pengambilan sampel lumpur hasil pelumpuran dengan sumber
tenaga pengolahan satu kerbau

Lahan 1 dengan satu kerbau

Lahan 2 dengan satu kerbau

Lahan 3 dengan satu kerbau

Lahan 4 dengan satu kerbau

Lahan 5 dengan satu kerbau

Lahan 6 dengan satu kerbau

Lahan 7 dengan satu kerbau

91
Lahan 8 dengan satu kerbau

Lahan 9 dengan satu kerbau

Lahan 10 dengan satu kerbau

Lampiran 12. Pertumbuhan tanaman padi dengan beberapa sumber tenaga


pengolahan tanah

0 hari 20 hari 40 hari 60 hari


Sumber Tinggi Tanaman Tinggi Tanaman Tinggi Tanaman Tinggi Tanaman
Tenaga tanaman per tanaman per tanaman per tanaman per
(cm) rumpun (cm) rumpun (cm) rumpun (cm) rumpun
Satu kerbau 12.21 5.32 32.25 15.50 42.77 24.99 61.35 32.66
Dua kerbau 12.4 5.05 31.35 15.05 44.05 25.35 61.35 32.2
Traktor tangan 12.46 5.37 34.74 15.99 45.34 28.26 64.61 32.99

92

Anda mungkin juga menyukai