Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lahan di daerah tropis termasuk Indonesia, mudah mengalami degradasi.
Degradasi tanah adalah hilang atau berkurangnya kegunaan (utility) atau potensi
kegunaan tanah dan kehilangan atau kerusakan kemampuan (featur) tanah yang
tidak dapat diganti. Menurut FAO (1993), degradasi tanah adalah proses
penguraian yang menyebabkan menurunnya kapasitas tanah untuk mendukung
suatu kehidupan. Lahan-lahan tersebut apabila dibiarkan akan bertambah rusak,
dan akhirnya menjadi kritis/marginal. Lahan marginal merupakan salah satu
penyebab kemiskinan, oleh karena itu perlu segera diatasi agar produktivitasnya
dapat ditingkatkan.
Lahan kering marginal yang terdegradasi sebagian besar tergolong jenis
Ultisol dan Oxisol. Merehabilitasi lahan yang telah terdegradasi memerlukan
input yang tidak sedikit untuk menyediakan pupuk organik dan pupuk anorganik
(Abdulrachman dan Sutono, 1998). Rehabilitasi lahan marginal merupakan
tindakan perpaduan teknologi di dalam batas-batas alam dari suatu areal untuk
optimalisasi sumberdaya lahan, air, dan tanaman dalam rangka mencukupi
kebutuhan masyarakat secara berkelanjutan.
Pengelolaan lahan marginal melalui tindakan rehabilitasi bertujuan : (a)
memanfaatkan tanah, air hujan, tumbuhan dan menangkap kelebihan air tanah, (b)
mengembangkan usahatani konservasi yang berkelanjutan dan menstabilkan hasil
produksi tanaman dan ternak, (c) menutup areal lahan yang tidak
produktif/kosong yang efektif melalui penanaman tanaman hutan, perkebunan,
buah-buahan, dan hijauan pakan ternak berdasarkan kelas kemampuan lahan, (d)
meningkatkan pendapatan petani dengan usahatani terpadu dan ternak, serta
memulihkan keseimbangan ekologi setempat.
Salah satu model untuk mendukung program utama pembangunan
pertanian kedepan adalah mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pertanian,
termasuk lahan marginal melalui perbaikan sistem usaha pertanian secara terpadu.
Ide optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian di lahan marginal didasari
oleh mulai menurunnya produktivitas lahan yang mengakibatkan daya saing
hasilnya semakin rendah dan kesejahteraan keluarga petani relatif menurun.
Pentingnya perencanaan pengelolaan lahan menjadi salah satu faktor
tercapainya optimasi tata guna lahan. Beberapa alasan pentingnya perencanaan
pengelolaan lahan diantaranya keterbatasan jumlah lahan dan sumberdaya lahan
yang non renewable, terjadinya kerusakan lahan akibat ketidak sesuaian fungsi
lahan, area resapan air yang berkurang akibat alih fungsi lahan hutan menjadi
lahan pertanian (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
Tahun 2010 di kabupaten boyolali terdapat 16749.51 ha lahan marginal
yang terus meluas tanpa pengendalian. Lahan tersebut meluas akibat bencana
seperti erupsi gunung merapi, erosi, tanah longsor, perusakan hutan, pertanian
sistem ladang berpindah dan sebagainya (BPS Kab. Boyolali, 2011).
Paket bioteknologi biofertilisasi ini telah banyak diteliti dan dicoba baik di
luar maupun di dalam negeri untuk mengembalikan kesuburan tanah lahan kering
(marginal) seperti lahan lahan transmigrasi yang telah lama terbuka agar berdaya
guna dan berhasil guna. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperbaiki atau
meningkatkan kesuburan tanah lahan marginal yang selanjutnya akan
meningkatkan pendapatan petani dengan pemanfaatan limbah peternakan
( kotoran ternak ) atau kascing ( hasil degradasi sampah bahan organik oleh cacing
tanah ) dan dengan inokulasi mikoriza melalui penerapan paket bioteknologi
biofertilisasi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja yang dimaksud pengolahan tanah dan air pada lahan margnal?

1.3 Tujuan Pembahasan


Untuk mengetahui pengolahan tanah dan air pada lahan margnal.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Air


Beberapa program pengentasan kemiskinan di lahan marginal selama ini
telah banyak dilakukan oleh pemerintah dan umumnya ditempuh melalui
pendekatan subsidi dan bantuan. Hasilnya menunjukkan bahwa tanpa persiapan
yang matang mengenai kemampuan dan kapasitas kelompok petani, pendekatan
tersebut ternyata kurang efektif dan berdampak pada menguatnya ketergantungan
masyarakat terhadap bantuan pemerintah. Berdasarkan pengalaman tersebut, maka
strategi pendekatan yang ditempuh seyogyanya adalah: 1) partisipatif, 2)
fleksibilitas, 3) perspektif gender, 4) keberlanjutan, dan 5) desentralisasi.
Dalam pengembangan lahan marginal, pengelolaannya perlu dilakukan
melalui pendekatan partisipatif dengan melibatkan masyarakat pengguna secara
penuh baik laki-laki maupun perempuan, memotivasi munculnya inisiatif dan
keswadayaan masyarakat dengan tidak selalu bergantung pada subsidi dan
bantuan pemerintah. Pengelolaan lahan marginal secara swadaya kelompok lebih
menjamin keberlanjutan. Perspektif gender akan menjamin tidak ada pihak-pihak
yang dirugikan dan dapat membuka akses kaum perempuan desa untuk
berpartisipasi dalam pengelolaan lahan marginal yang selama ini masih
didominasi oleh laki-laki. Capacity building harus sudah dirintis mulai dari awal,
berupa pembangunan pranata baru yang memupuk keswadayaan secara
partisipatif, berwawasan gender, dan lebih menjamin keberlanjutan.

2.2 Evaluasi dan Klasifikasi Lahan


Klasifikasi lahan merupakan pengembangan pemikiran dari sebuah sistem
logika yang ekuivalen dengan kesesuaian lahan dalam karakeristiknya dan
ditentukan melalui sifat-sifat lahan itu sendiri (Sitorus, 1985). Karakteristik ini
dapat diamati secara langsung seperti keadaan geografis, tekstur dan kemiringan
lereng. Ada juga yang harus diamati dengan melakukan penelitian laboratorium
untuk mengetahui struktur mineral dan komposisi kimiawi tanah.
Lahan marginal dapat dinilai secara aktual dengan ketentuan lahan
marginal yang akan dibuka memiliki riwayat pengelolaan lahan bidang pertanian,
perkebunan atau peternakan. Karena jika termasuk lahan potensial, maka harus
dilakukan usaha-usaha perbaikan terlebih dahulu (Hardjowigeno dan Widiatmaka,
2007).
Dalam membuat evaluasi kesesuaian lahan maka dibutuhkan gambaran
kerangka evaluasi. Aktifitas-aktifitas utama dalam proses evaluasi kesesuaian
lahan digambarkan dalam Gambar 2.1 adalah (FAO, 1981): Initial consultation
meliputi perumusan tujuan evaluasi, data dan asumsi, rencana kerja evaluasi, Kind
of land use, menjabarkan jenis lahan dan kegunaannya. Description land, maping,
unit, melakukan pemetaan lahan beserta kualitas lahan berdasarkan pengetahuan
untuk lahan tertentu dan batas-batasnya. Comparison of land use with land,
membandingkan lahan dengan tipe-tipe lahan yang sudah ada berdasarkan data
lahan, penggunaan lahan dan informasi ekonomi dan sosial disatukan untuk
dianalisis bersama. Land suitability classification, hasil kesesuaian lahan untuk
tujuan tertentu. Presentation of result, mempresentasikan hasil analisis kesesuaian
lahan.

2.3 Penyebaran Tanah Marginal Di Kalimantan


Secara fisiografis, tanah marginal dari batuan sedimen masam menyebar
pada landform tektonik, yaitu suatu landform yang terbentuk sebagai akibat
adanya proses-proses geomorfik dari dalam (endogen/hipogen) atau dari luar
(ekso- gen/epigen), antara lain berupa proses angkatan, lipatan, patahan, dan atau
gabungannya (Marsoedi et al. 1997). Relief atau lereng yang terbentuk pada
landform ini sangat terkait dengan proses-proses geomorfik dan atau sifat
litologinya (struktural). Gambar 1 mem- perlihatkan bentang alam lahan marginal
di Provinsi Kalimantan Selatan.
Landform dan relief yang terbentuk sebagai akibat deformasi kulit bumi
oleh proses angkatan dan patahan dapat membentuk wilayah tinggi yang relatif
datar dengan areal cukup luas, yang disebut plateau, lebih kecil (mesa), atau
sangat kecil (bute). Bahan yang terangkat umumnya berupa batu pasir, seperti
yang dijumpai di Kalimantan Barat (Suharta dan Suratman 2004). Pengangkatan
yang tidak terlalu tinggi umumnya memben- tuk teras angkatan dengan relief
datar. Bentukan landform sebagai akibat proses angkatan, lipatan, dan patahan
karena adanya pemiringan yang berlereng curam (> 35%) disebut hogback,
sedangkan yang berlereng landai (< 35%) disebut cuesta. Kedua sublandform
tersebut wilayahnya merupakan perbukitan atau pegunungan. Bentukan landform
ini banyak dijumpai di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat (Suharta et al.
1998; Hikmatullah et al. 2000).
Patahan tunggal di wilayah perbukitan atau pegunungan akan membentuk
blok memanjang terangkat yang disebut horst atau berupa pelembahan yaitu
graben. Wilayah yang terbentuk karena proses pelipatan dari strata batuan
memben- tuk punggung antiklin dengan relief berbukit, dan depresi sinklin
dengan relief datar, atau membentuk perbukitan paralel. Wilayah dengan relief
datar hingga bergelombang yang terbentuk sebagai akibat proses pendataran atau
erosi yang kuat dan cukup lama, mem- bentuk wilayah tua yang nyaris datar yang
disebut peneplain.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa pada landform tektonik dapat
terbentuk berbagai sublandform dan relief, mulai dari datar hingga berbukit atau
bergu- nung. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemanfaatan lahan marginal
sangat bergantung pada proses-proses yang terjadi dan kondisi relief lahan.
Penyebaran tanah marginal lahan kering dari batuan sedimen masam yang paling
di Kalimantan, yang meliputi penyebaran, luas terdapat di Kalimantan Timur
(12,96 juta ha), Kalimantan Tengah (7,74 juta ha), dan Kalimantan Barat (7,31
juta ha), dan terkecil di Kalimantan Selatan yaitu 2,13 juta ha (Puslittanak 2000).

2.4 Hasil Percobaan Pot Jagung


Dari data signifikansi dapat dilihat bahwa pengaruh perlakuan mikoriza
dan pupuk berjalan sendiri-sendiri, baik pada tanaman jagung maupun pada
tanaman kacang tanah. Pada perlakuan tunggal mikoriza maka semua parameter
yang diamati menunjukkan perbedaan yang nyata, walaupun masih menunjukkan
kecenderungan linier, yang berarti bahwa pemberian mikoriza untuk selanjutnya
bisa ditingkatkan dari dosis yang digunakan saat ini. Pada perlakuan pupuk
terlihat dari Tabel 4 – Tabel 10 ternyata jenis pupuk menunjukkan pengaruh yang
berbeda pada masing-masing parameter, hal ini diduga disebabkan karena pupuk
organik memang ketersediaannya dalam jangka waktu panjang, sehingga pada
percobaan ini pengaruh pupuk masih belum nyata. Dari nilai rata-rata parameter
hasil yaitu jumlah biji, berat pipilan kering dan berat kering oven biji jagung maka
hasil tertinggi diperoleh berturut-turut pada pelakuan M1D4P3, M1D4P4, dan
M1D3P4.
Dari data panjang akar dan berat kering oven akar tanaman jagung
perlakuan M1D4P4 menunjukkan hasil tetinggi, hal ini disebabkan karena
perlakuan mikoriza menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap panjang akar dan
berat kering oven akar baik kacang tanah maupun jagung. Hal ini sesuai dengan
fungsi mikoriza yaitu meningkatkan permukaan serapan terhadap hara sehingga
tanaman dapat lebih banyak menyerap unsur hara yang tersedia dalam tanah.
Pendapat (Guissou et al., 1998; Cuenca et al. 1998 dan Matsubara et al.,2000)
bahwa mikoriza dapat memperbesar penyerapan P dan unsur-unsur hara lainnya
walaupun dalam jumlah yang lebih kecil seperti N,K,S,Ca,Mg,Cu dan Zn melalui
perpanjangan micelia yang berkembang sangat luas di luar struktur akar tanaman.
Lebih lanjut dinyatakan oleh Yadi setiadi (2000) bahwa adanya hubungan
simiosis mutualisme antara tanaman inang dengan mikoriza sangat membantu
dalam penyerapan P. Hifa dari mikoriza yang berperan sebagai sistem perakaran
tanaman sehingga jangkauan penyerapan dapat mencapai + 80 mm dibandingkan
dengan tanpa mikoriza jangkauan hanya 1-2 mm. Hasil penelitian Setiawati dkk.
(2000) juga mendapatkan bahwa inokulasi cendawan mikoriza pada tanaman
kacang tanah meningkatkan serapan P tanaman secara nyata 57,14 %
dibandingkan tanapa mikoriza. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dengan
diperbaikinya status nutrisi tanaman terutama P maka dapat meningkatkan
pertumbuhan di bawah tanah (terutama akar), apalagi kalau diakitkan dengan
kondisi tanah di lahan kering, maka perkembangan akar harus semaksimal
mungkin agar dapat menyerap kara pada kedalaman tanah yang lebih dalam
(Ahiabor dan Hirata, 1995).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Program rehabilitasi lahan marginal perlu diprioritaskan terlebih dahulu
pada upaya peningkatan produktivitas lahan dan konservasi air dalam upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Variabel luas lahan marginal dan topografi menjadi variabel rank dengan
yang terpilih dari hasil perhitungan dan analisis. Jarak pusat cluster dan anggota
cluster terdefinisi dengan jelas sehingga sangat cocok dijadikan bahan
rekomendasi untuk ahli pertanian dalam mengembangkan potensi lahan dan
produksi pangan. Model ini dapat digunakan untuk lahan marginal dan jenis lahan
lainnya.
Pengaruh interaksi antara perlakuan mikoriza (M), Dosis (D) dan jenis
pupuk (P) pada semua parameter yang diamati tidak berpengaruh nyata. Pada
semua parameter yang diamati, pengaruh perlakuan mikoriza nyata tetapi masih
menunjukkan kecenderungan yang linier. Pengaruh dosis dan jenis pupuk
kandang menunjukkan pengaruh nyata tetapi kecenderungan masih linier.
Secara alami, tanah marginal dari batuan sedimen masam di Kalimantan
mempunyai cadangan mineral atau hara rendah, reaksi tanah masam, serta
kandungan bahan organik, P dan K, serta basa dapat tukar rendah, tetapi
kejenuhan Al tinggi. Oleh karena itu, perbaikan sifat kimia tanah melalui
pengapuran, penggunaan bahan organik, dan pemupukan lengkap sangat
disarankan untuk meningkatkan reaksi tanah, mengurangi reaktivitas Al, dan
meningkatkan hara tanah.

3.2 Saran
Meskipun penyusun menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan
makalah ini akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu
penyusun perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penyusun.
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
penyusun harapkan sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdulrachman, A. dan S. Sutono. 1998. Rehabilitasi lahan melalui pengelolaan


bahan organik dan pemupukan. Dalam Agus F. et al. (Eds.) Alternatif dan
Pendekatan Implementasi Teknologi Konservasi Tanah. Prosiding
Lokakarya Nasional Pembahasan Penelitian Pengelolaan DAS. Bogor, 27-
28 Oktober 1998. Puslitbangtanak, Badan Litbang Pertanian.
Ahiabor, B.D and H.Hirata. 1995. Influence of Growth Stage on The Assocation
Between Some Tropical Legumes and Two variant species of Glomus in an
Andosol. Sil Sci. Plant Nurt. 41 (3): 481-496.
Astiari, A. 2003. Efek Dosis Inokulan Mikoriza terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Beberapa Varietas Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) di lahan Kering
Desa Kubu, Karangasem. Thesi Magister Pertanian Lahan Kering.
Universitas Udayana Denpasar.
Badan Pusat Statistik Propinsi Bali, 2003. Bali Dalam Angka. Badan Pusat
Statistik Propinsi Bali
Alsabti Khaled, Sanjaya Ranka, Vinet Singh. An Efficient K-Means Clustering
Algorithm.
Information Technology Lab (ITL) of Hitachi America Ltd. 2010
Aziz, Anifuddin., Bambang Sunarmito., Medhanita Renanti. Evaluasi Kesesuaian
Lahan Untuk Budidaya Tanaman Pangan Menggunakan Jaringan Syaraf
Tiruan . Berkala MIPA, 16(1), 2006.
Alvaro-Fuentes, J., M.V. Lopez, C. Cantero- Martinez, and J.L. Arrue. 2008.
Tillage effects on soil organic carbon fractions in mediterranean dryland
agroecosystems. Soil Sci. Soc. Am. J.

Anda mungkin juga menyukai