Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kalamullah yang merupakan mu’jizat bagi Nabi
Muhammad SAW. Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk
mencapai kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Dari awal hingga akhir, Al-
Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya.
Dalam Al-Qur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran. Al-Qur’an
memuat ayat yang mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan,
Ilmu pengetahuan, tentang cerita-cerita, seruan kepada uma tmanusia untuk
beriman dan bertaqwa, memuat tentang ibadah, muamalah, dan lain lain.
Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dalam penjelasan Al
Qur’an ada yang dikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya
saja, Ada yang khusus, ada yang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-
ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi yang menurut
Quraish Shihab para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi
ayat-ayat tersebut. Sehingga timbul pembahasan tentang Nasikh dan Mansukh.
Allah menurunkan kitab Al-Quran kepada nabi Muhammad untuk
memperbaiki umatnya diakhlak, ibadah, dan muamalahnya. Muamalah
memiliki perinsip sama dengan tugas untuk membersihkan jiwa dan
memelihara keselametan manusia. Manusia tidak dapat di letakkan dalam
bentuk kemaslahatan, adanya nasikh mansukh terhadap beberapa hukum yang
terdahulu dan diganti dengan hukum sesuai zaman, waktu, dan kemaslahatan
manusia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Apa Pengertian Nasakh?
2. Apa saja Syarat-syaratnya?
3. Apa Pengertian Nasakh Secara Istilah?

1
4. Bagiamana Hal-hal Yang Mengalami Nasakh?
5. Bagaimana Pedoman Mengetahui Nasakh dan Manfaatnya?
6. Apa Pendapat Tentang Nasakh dan Dalil Ketetapannya?

C. Tujuan dan Manfaat


1. Untuk mengetahui apa Pengertian Nasakh .
2. Untuk mengetahui apa saja Syarat-syaratnya.
3. Untuk mengetahui apa Pengertian Nasakh Secara Istilah.
4. Untuk mengetahui bagiamana Hal-hal Yang Mengalami Nasakh.
5. Untuk mengetahui bagaimana Pedoman Mengetahui Nasakh dan
Manfaatnya.
6. Untuk mengetahui apa Pendapat Tentang Nasakh dan Dalil Ketetapannya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasakh
Naskh ( ‫خ‬888‫ ) نس‬adalah kata dalam bahasa Arab yang biasanya
diterjemahkan sebagai "pembatalan". Dalam penafsiran hukum Islam (atau
tafsir), naskh adalah teori yang dikembangkan untuk menyelesaikan putusan-
putusan wahyu Islam yang tampaknya kontradiktif dengan menggantikan atau
membatalkan wahyu sebelumnya. Dalam bentuk naskh dan "klasik" yang
diakui secara luas, peraturan/hukum Islam (hukum) dibatalkan demi yang lain,
tetapi teks yang menjadi dasar hukum tidak dihilangkan
Beberapa contoh peraturan Islam berdasarkan naskh termasuk larangan
konsumsi alkohol secara bertahap (semula alkohol tidak dilarang tetapi umat
Islam diberi tahu bahwa keburukan dalam meminum alkohol melebihi
manfaatnya), dan perubahan arah (kiblat) yang harus dihadapi ketika shalat
(awalnya Muslim menghadap ke Yerusalem, tetapi diubah menjadi
menghadap ke Kabah di Mekah). Teks atau putusan yang telah dicabut disebut
mansukh; sebuah teks atau putusan yang membatalkan dikenal sebagai nasikh.
Beberapa ayat Al-Quran menyatakan bahwa beberapa wahyu telah
dibatalkan dan digantikan oleh wahyu kemudian, dan narasi dari sahabat-
sahabat nabi Muhammad menyebutkan ayat-ayat atau aturan agama yang
dibatalkan. Prinsip pencabutan ayat yang lebih tua dengan ayat baru dalam Al-
Quran, atau dalam Hadits adalah prinsip yang diterima dari keempat maḏāhib
Sunni atau mazhab fiqih (yurisprudensi), dan merupakan prinsip yang mapan
dalam Syariah paling tidak pada abad ke-9, (meskipun sejak abad ke-19,
Moderniseme Islam dan Islamisme menentang konsep naskh, mempertahankan
keabsahan absolut dari Al-Quran). Namun, dengan sedikit pengecualian,
wahyu Islam tidak menyatakan ayat atau hadis Quran mana yang telah
dibatalkan, dan para ahli tafsir dan ahli hukum Islam tidak sepakat tentang
mana dan berapa banyak hadis dan ayat Al-Quran yang diakui sebagai
dibatalkan, dengan perkiraan bervariasi dari kurang dari sepuluh hingga lebih
dari 500.

3
Masalah ketidaksepakatan lainnya termasuk apakah Quran (teks agama
utama Islam) dapat dicabut oleh Sunnah (tubuh kebiasaan sosial dan hukum
tradisional dan praktik komunitas Islam), atau sebaliknya - ketidaksepakatan
antara Shafi'i dan sekolah-sekolah fikih Hanafi; dan apakah ayat-ayat Al-
Qur'an dapat dicabut sama sekali, alih-alih ditafsirkan ulang dan didefinisikan
secara lebih sempit - suatu pendekatan yang disukai oleh sebagian kecil
ulama.

B. Syarat-syarat Nasakh
Dalam pembahasan mengenai ayat-ayat nasikh dan mansukh, perlu
diketahui syarat-syarat nasakh. Syarat-syarat nasakh yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
1. Adanya mansukh (ayat yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang
dihapus itu adalah berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat
atau tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab, bila terikat dengan waktu
maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Karena
itu, maka yang demikian itu tidak dapat dinamakan dengan nasakh. Di
samping itu, mansukh (ayat yang dihapus) tidak bersifat “ajeg” secara
nashshi, dan ayat yang mansukh itu lebih dahulu diturunkan daripada ayat
yang nasikh (menghapus).
2. Adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), dengan
syarat, datangnya dari Syari’ (Allah) atau dan Rasulullah s.a.w. sendiri
yang bertugas menyampaikan wahyu dari Allah. Sebab penghapusan
sesuatu hukum tidak dapat dilakukan dengan menggunakan ijma’
(konsensus) ataupun qiyas (analogi).
3. Adanya nasikh (yang berhak menghapus), yaitu Allah. Kadang-kadang
ketentuan hukum yang dihapus itu berupa al-Qur’an dan kadang-kadang
pula berupa sunnah.
4. Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-orang
yang sudah aqil-baligh atau mukallaf), karena yang menjadi sasaran
hukum yang menghapus dan atau yang dihapus itu adalah tertuju kepada
mereka.

4
Sedang ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy mengemukakan, bahwa nasakh baru
dapat dilakukan apabila :
a. Adanya dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, dan tidak dapat
dikompromikan, serta tidak dapat diamalkan secara sekaligus dalam segala
segi.
b. Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan
daripada ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.
c. Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut,
sehingga yang lebih dahulu diturunkan ditetapkan sebagai mansukh, dan
yang diturunkan kemudiannya sebagai nasikh.

C. Pengertian Nasakh Secara Istilah


Nasakh adalah pembatalan hukum, baik dengan menghapuskan dan
melepaskan teks yang menunjuk hukum dari bacaan atau membiarkan teks
tersebut tetap ada sebagai petunjuk adanya hukum yang dimansukh. Penelitian
ini adalah deskriptif kualitatif yang membatasi kajiannya pada ayat-ayat
mawaris dan ayat-ayat wasiat.

D. Hal-hal Yang Mengalami Nasakh


Dari uraian di atas diketahui bahwa naskh hanya terjadi pada perintah
dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang
diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna amr (perintah)
atau nahy (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan
akidah, yang berhubungan dengan Dzat Allah, sifat-sifat-Nya, kitab-kitab-
Nya, para rasul-Nya dan Hari Kemudian, juga etika dan akhlak atau dengan
pokok-pokok ibadah dan muamalah. Hal ini karena semua syari’at ilahi tidak
lepas dari pokok-pokok tersebut. dalam masalah prinsip ini semua syari’at
adalah sama.
Allah berfirman,

‫َش َر َع َلُك م ِّم َن الِّديِن َم اَو َّص ى ِب ِه ُنوًح ا َو اَّل ِذ ي َأْو َح ْيَن آ ِإَلْي َك َو َم اَو َّص ْيَنا ِب ِه ِإْب َر اِهيَم‬
‫َوُم وَس ى َو ِع يَس ى َأْن َأِقيُم وا الِّد يَن َو َالَتَتَفَّر ُقوا ِفيِه‬

5
Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya.Amat berat bagi orang-orang musyrik agama
yang kamu seru mereka kepadanya.Allah menarik kepada agama itu orang
yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang
yang kembali (kepada-Nya). (as-Syura: 13)

‫َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُن وا ُك ِتَب َع َلْيُك ُم الِّص َياُم َك َم ا ُك ِتَب َع َلى اَّل ِذ يَن ِم ْن َقْبِلُك ْم َلَع َّلُك ْم َتَّتُق وَن‬
]183 : ‫[البقرة‬
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (al-Baqarah:
183)

]27 : ‫َو َأِّذ ْن ِفي الَّناِس ِباْلَح ِّج َيْأُتوَك ِر َج ااًل َو َع َلى ُك ِّل َض اِم ٍر َيْأِتيَن ِم ْن ُك ِّل َفٍّج َع ِم يٍق [الحج‬
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,niscaya mereka
akan datang kepadamu dengan berjalan kaki,dan mengendarai unta yang
kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (al-Hajj: 27)

Dalam hal qishash, Allah berfirman:

‫َو َك َتْبَنا َع َلْيِهْم ِفيَه ا َأَّن الَّنْفَس ِب الَّنْفِس َو اْلَع ْيَن ِب اْلَع ْيِن َو اَأْلْن َف ِب اَأْلْنِف َو اُأْلُذ َن ِب اُأْلُذ ِن‬
‫َو الِّس َّن ِبالِّس ِّن َو اْلُجُروَح ِقَص اٌص َفَم ْن َتَص َّدَق ِب ِه َفُه َو َك َّف اَر ٌة َل ُه َو َم ْن َلْم َيْح ُك ْم ِبَم ا‬
]45 : ‫َأْنَز َل ُهَّللا َفُأوَلِئَك ُهُم الَّظاِلُم وَن [المائدة‬
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada
qishasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishas) nya, maka melepaskan
hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang zalim” (al-Maidah: 45)

6
Tentang jihad, Allah berfirman:
]146 : ‫عمران‬ ‫َو َك َأِّيْن ِم ْن َنِبٍّي َقاَتَل َم َع ُه ِرِّبُّيوَن َك ِثيٌر [آل‬
“Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah
besar dari pengikut (nya) yang bertaqwa… “ (Ali Imran: 146)

Mengenai akhlak, Allah berfirman:


]18 : ‫[لقمان‬ ‫َو اَل ُتَص ِّعْر َخ َّدَك ِللَّناِس َو اَل َتْم ِش ِفي اَأْلْر ِض َم َر ًحا‬
“Dan janganlah memalingkan muka dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh” (Luqman: 18)
Naskh tidak terjadi dalam berita, khabar, yang jelas-jelas tidak bermakna
thalab (seperti perintah atau larangan), atau seperti janji (al-wa’d) dan
ancaman (al-wa’id)

E. Pedoman Mengetahui Nasakh dan Manfaatnya


Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan
manfaat besar bagi para ulama, terutama para fuqaha, mufassir, dan ahli ushul
fikih, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kabur. Oleh sebab itu,
terdapat banyak atsar yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Seperti
yang diriwayatkan Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya,
“Apakah kamu mengetahui yang nasikh dan yang mansukh?” “Tidak”, jawab
hakim itu. Maka Ali berkata, “Celakalah kamu dan kamu pun akan
mencelakakan orang lain”.

Dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata tentang firman Allah,


‫ُيْؤ ِتي اْلِح ْك َم َة َم ْن َيَش اُء َو َم ْن ُيْؤ َت اْلِح ْك َم َة َفَقْد ُأوِتَي َخ ْيًرا َك ِث يًرا َو َم ا َي َّذ َّك ُر ِإاَّل ُأوُل و‬
]269 : ‫اَأْلْل َباِب [البقرة‬
“(al-Baqarah: 269). Yang dimaksud ialah (yang diberi ilmu tentang nasikh dan
mansukhnya, muhkam dan mutasyabihnya, muqaddam dan mu’akhkharnya,
serta haram dan halalnya)”

7
Untuk mengetahui nasikh dan mansukh terdapat beberapa cara:
1. Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat, seperti hadits:
“Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah kubur, maka kini berziarah
kuburlah.” (HR. Al-Hakim). Juga seperti perkataan Anas mengenai kisah
orang yang dibunuh di dekat sumur Ma’unah, sebagaimana akan
dijelaskan nanti, “berkenaan dengan mereka turunlah ayat Al-Qur’an yang
pernah kami baca sampai kemudian ia diangkat kembali.”
2. Ijma’ umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh.
3. Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang belakangan
berdasarkan sejarah.

Nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan pada ijtihad, pendapat


mufassir atau kontradiksi dalil-dalil secara lahiriah, atau terlambatnya
keislaman salah seorang dari dua perawi.

F. Pendapat Tentang Nasakh dan Dalil Ketetapannya


Dalam masalah naskh, para ulama terbagi atas empat golongan:
1. Orang Yahudi.
Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurut mereka,
naskh mengandung konsep “al-badaa’” yakni nampak jelas setelah kabur
[tidak jelas]. Yang mereka maksud ialah, naksh itu adakalanya tanpa
hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan adakalanya karena sesuatu
hikmah yang sebelumnya tidak tampak. Ini berarti suatu kejelasan yang
didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pun mustahil pula bagi-Nya.
Cara berdalil mereka ini tidak dapat dibenarkan, karena masing-
masing hikmah nasikh dan mansukh telah diketahui Allah lebih dahulu.
Jadi, pengetahuan-Nya tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru
muncul. Dia membawa hamba-hamba-Nya dari suatu hukum ke hukum
lain adalah karena sesuatu maslahat yang telah diketahui-Nya jauh
sebelum itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolut
terhadap segala milik-Nya.

8
Orang Yahudi sendiri mengakui bahwa syariat Musa menghapuskan
syariat sebelumnya. Dan dalam nas-nas Taurat pun terdapat naskh, seperti
pengharaman sebagian besar binatang atas Bani Israil, yang semula
dihalalkan. Berkenaan dengan mereka Allah berfirman yang artinya:
“Semua makanan adalah hala bagi bani Israil melainkan makanan yang
diharamkan oleh Israil [Ya’qub] untuk dirinya sendiri.” (Ali ‘Imraan: 93)
Dan firman-Nya yang artinya:
“Dan kepada orang-orang Yahudi Kami haramkan segala binatang yang
berkuku.” (al-An’am: 146)

Ditegaskan dalam Taurat, bahwa Adam menikah dengan saudara


perempuannya. Tetapi kemudian Allah mengharamkan pernikahan
demikian atas Musa, dan Musa memerintahkan bani Israil agar membunuh
siapa saja di antara mereka yang menyembah patung anak sapi namun
kemudian perintah itu dicabut kembali.

2. Orang Syi’ah Rafidah.


Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh dan
meluaskannya. Mereka memandang konsep al-badaa’ sebagai suatu hal
yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi mereka
sangat kontradiksi dengan orang Yahudi.
Untuk mendukung pendapatnya itu, mereka mengajukan
argumentasi dengan ucapan-ucapan yang mereka nisbahkan kepada Ali ra.
secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah yang artinya:
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan [apa
yang Dia kehendaki].” (ar-Ra’d: 39), dengan pengertian bahwa Allah
siap untuk menghapus dan menetapkan.
Paham demikian merupakan kesesatan yang dalam dan
penyelewengan terhadap al-Qur’an. Sebab makna ayat tersebut adalah:
Allah menghapus sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan
menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung maslahat. Di

9
samping itu, penghapusan dan penetapan terjadi dalam bentuk banyak hal,
misalnya menghapuskan keburukan dan kebaikan:
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan [dosa]
perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Huud: 114)
Juga penghapusan kekafiran dan kemaksiatan orang-orang yang
bertaubat dengan taubatnya, serta penetapan iman dan ketaatan mereka.
Hal demikian itu tidak menuntut adanya kejelasan yang didahului
kekaburan bagi Allah. Tetapi Dia melakukan itu semua berdasarkan
pengetahuan-Nya tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi.

3. Abu Muslim al-Asfahani.


Menurutnya, secara logika naskh dapat saja terjadi, tetapi tidak
mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa ia menolak
sepenuhnya naskh dalam al-Qur’an berdasarkan firman-Nya yang artinya:
“Yang tidak datang kepadanya [al-Qur’an] kebatilan baik dari depan
maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari sisi Rabb Yang
Mahabijaksana lagi Mahaterpuji.” (Fushshilat: 42).
Dengan pengertian bahwa hukum-hukum al-Qur’an tidak akan
dibatalkan selamanya. Dan mengenai ayat-ayat tentang naskh, semuanya
ia takhsiskan.
Pendapat Abu Muslim ini tidak dapat diterima, karena makna ayat
tersebu ialah bahwa al-Qur’an tidak didahului oleh kitab-kitab yang
membatalkannya dan tidak datang pula sesudahnya sesuatu yang
membatalkannya.

4. Jumhur Ulama.
Mereka berpendapat, naskh adalah suatu hal yang dapat diterima
akal dan telah terjadi pula dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-
dalil:
a. Perbuatan-perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan.
Dia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan

10
melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dia lah yang lebih
mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
b. Nas-Nas Kitab dan Sunnah menunjukkan kebolehan naskh dan
terjadinya, antara lain:
Firman Allah yang artinya: “Dan apabila Kami mengganti suatu ayat
di tempat ayat yang lain…” (an-Nahl: 101) dan firman-Nya yang
artinya:
“Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan [manusia]
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding
dengannya.” (al-Baqarah: 106)

Dalam sebuah hadits shahih, dari Ibnu Abbas ra, Umar ra. berkata:
“Yang paling paham dan paling menguasai al-Qur’an di antara kami
adalah Ubai. Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian
perkataannya karena ia mengatakan: ‘Aku tidak akan meninggalkan
sedikitpun apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah saw.’ padahal
Allah telah berfirman: ‘Apa saja yang Kami nasakhkan, atau Kami
jadikan [manusia] lupa kepadanya…’ (al-Baqarah: 106).”

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Naskh adalah menghapus hukum syara’ dengan dalil/khitab syara’
yang lain. Naskh terdiri dari; adanya pernyataan yang menunjukkan terjadi
pembatalan hukum yang telah ada, harus ada nāsikh, harus ada mansūkh dan
harus ada yang dibebani hukum atasnya. Dalam menghapus hukum shara’
tersebut ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni : Hukum yang
mansūkh (dihapus) adalah hukum shara’, Dalil naskh harus datang lebih dulu
daripada mansūkh, khitab yang mansūkh hukumnya tidak terikat dengan
waktu.
Dalam cakupannya naskh dibagi menjadi tiga, antara lain : Naskh
quran dengan quran, naskh sunnah dengan sunnah, naskh sunnah dengan
quran. Terdapat beberapa pendapat mengenai ayat yang mansūkh. Di
antaranya, pendapat mengenai jumlah ayat dan ayat tersebut. al Nahas
berpendapat jumlah ayat yang dimansūkh berjumlah 100 ayat. Suyuṭiy
berpendapat terdapat 20 ayat, sedangkan Al Shaukaniy berpendapat 8 ayat.

B. Saran
Penulis yakin masih jauh dari sempurnanya makalah ini. Maka dari itu
penyusun berharap kritik dan saran yang membangun agar dapat diperbaiki
sedemikian mungkin. Supanya makalah ini lebih sempurna.

12
DAFTAR PUSTAKA

Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,Syaikh Manna’ Al-Qaththan,Pustaka al-Kautsar,


Hal.286
https://id.wikipedia.org/wiki/Nasakh_(tafsir). Diakses pada tanggal 15 Maret 2024
https://www.academia.edu/38475120/
Makalah_Ulumul_Quran_Nasikh_dan_Mansukh_docx Diakses pada
tanggal 15 Maret 2024
https://www.academia.edu/45038937/Makalah_NASIKH_DAN_MANSUKH
https://alsofwa.com/hal-hal-yang-mengalami-naskh/ Diakses pada tanggal 15
Maret 2024
https://alquranmulia.wordpress.com/2016/03/18/pendapat-tentang-naskh-dan-
dalil-ketetapannya/ Diakses pada tanggal 15 Maret 2024

13

Anda mungkin juga menyukai