PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kalamullah yang merupakan mu’jizat bagi Nabi
Muhammad SAW. Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia untuk
mencapai kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Dari awal hingga akhir, Al-
Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya.
Dalam Al-Qur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran. Al-Qur’an
memuat ayat yang mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan,
Ilmu pengetahuan, tentang cerita-cerita, seruan kepada uma tmanusia untuk
beriman dan bertaqwa, memuat tentang ibadah, muamalah, dan lain lain.
Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dalam penjelasan Al
Qur’an ada yang dikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya
saja, Ada yang khusus, ada yang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-
ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi yang menurut
Quraish Shihab para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi
ayat-ayat tersebut. Sehingga timbul pembahasan tentang Nasikh dan Mansukh.
Allah menurunkan kitab Al-Quran kepada nabi Muhammad untuk
memperbaiki umatnya diakhlak, ibadah, dan muamalahnya. Muamalah
memiliki perinsip sama dengan tugas untuk membersihkan jiwa dan
memelihara keselametan manusia. Manusia tidak dapat di letakkan dalam
bentuk kemaslahatan, adanya nasikh mansukh terhadap beberapa hukum yang
terdahulu dan diganti dengan hukum sesuai zaman, waktu, dan kemaslahatan
manusia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Apa Pengertian Nasakh?
2. Apa saja Syarat-syaratnya?
3. Apa Pengertian Nasakh Secara Istilah?
1
4. Bagiamana Hal-hal Yang Mengalami Nasakh?
5. Bagaimana Pedoman Mengetahui Nasakh dan Manfaatnya?
6. Apa Pendapat Tentang Nasakh dan Dalil Ketetapannya?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nasakh
Naskh ( خ888 ) نسadalah kata dalam bahasa Arab yang biasanya
diterjemahkan sebagai "pembatalan". Dalam penafsiran hukum Islam (atau
tafsir), naskh adalah teori yang dikembangkan untuk menyelesaikan putusan-
putusan wahyu Islam yang tampaknya kontradiktif dengan menggantikan atau
membatalkan wahyu sebelumnya. Dalam bentuk naskh dan "klasik" yang
diakui secara luas, peraturan/hukum Islam (hukum) dibatalkan demi yang lain,
tetapi teks yang menjadi dasar hukum tidak dihilangkan
Beberapa contoh peraturan Islam berdasarkan naskh termasuk larangan
konsumsi alkohol secara bertahap (semula alkohol tidak dilarang tetapi umat
Islam diberi tahu bahwa keburukan dalam meminum alkohol melebihi
manfaatnya), dan perubahan arah (kiblat) yang harus dihadapi ketika shalat
(awalnya Muslim menghadap ke Yerusalem, tetapi diubah menjadi
menghadap ke Kabah di Mekah). Teks atau putusan yang telah dicabut disebut
mansukh; sebuah teks atau putusan yang membatalkan dikenal sebagai nasikh.
Beberapa ayat Al-Quran menyatakan bahwa beberapa wahyu telah
dibatalkan dan digantikan oleh wahyu kemudian, dan narasi dari sahabat-
sahabat nabi Muhammad menyebutkan ayat-ayat atau aturan agama yang
dibatalkan. Prinsip pencabutan ayat yang lebih tua dengan ayat baru dalam Al-
Quran, atau dalam Hadits adalah prinsip yang diterima dari keempat maḏāhib
Sunni atau mazhab fiqih (yurisprudensi), dan merupakan prinsip yang mapan
dalam Syariah paling tidak pada abad ke-9, (meskipun sejak abad ke-19,
Moderniseme Islam dan Islamisme menentang konsep naskh, mempertahankan
keabsahan absolut dari Al-Quran). Namun, dengan sedikit pengecualian,
wahyu Islam tidak menyatakan ayat atau hadis Quran mana yang telah
dibatalkan, dan para ahli tafsir dan ahli hukum Islam tidak sepakat tentang
mana dan berapa banyak hadis dan ayat Al-Quran yang diakui sebagai
dibatalkan, dengan perkiraan bervariasi dari kurang dari sepuluh hingga lebih
dari 500.
3
Masalah ketidaksepakatan lainnya termasuk apakah Quran (teks agama
utama Islam) dapat dicabut oleh Sunnah (tubuh kebiasaan sosial dan hukum
tradisional dan praktik komunitas Islam), atau sebaliknya - ketidaksepakatan
antara Shafi'i dan sekolah-sekolah fikih Hanafi; dan apakah ayat-ayat Al-
Qur'an dapat dicabut sama sekali, alih-alih ditafsirkan ulang dan didefinisikan
secara lebih sempit - suatu pendekatan yang disukai oleh sebagian kecil
ulama.
B. Syarat-syarat Nasakh
Dalam pembahasan mengenai ayat-ayat nasikh dan mansukh, perlu
diketahui syarat-syarat nasakh. Syarat-syarat nasakh yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
1. Adanya mansukh (ayat yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang
dihapus itu adalah berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat
atau tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab, bila terikat dengan waktu
maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut. Karena
itu, maka yang demikian itu tidak dapat dinamakan dengan nasakh. Di
samping itu, mansukh (ayat yang dihapus) tidak bersifat “ajeg” secara
nashshi, dan ayat yang mansukh itu lebih dahulu diturunkan daripada ayat
yang nasikh (menghapus).
2. Adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), dengan
syarat, datangnya dari Syari’ (Allah) atau dan Rasulullah s.a.w. sendiri
yang bertugas menyampaikan wahyu dari Allah. Sebab penghapusan
sesuatu hukum tidak dapat dilakukan dengan menggunakan ijma’
(konsensus) ataupun qiyas (analogi).
3. Adanya nasikh (yang berhak menghapus), yaitu Allah. Kadang-kadang
ketentuan hukum yang dihapus itu berupa al-Qur’an dan kadang-kadang
pula berupa sunnah.
4. Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-orang
yang sudah aqil-baligh atau mukallaf), karena yang menjadi sasaran
hukum yang menghapus dan atau yang dihapus itu adalah tertuju kepada
mereka.
4
Sedang ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy mengemukakan, bahwa nasakh baru
dapat dilakukan apabila :
a. Adanya dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, dan tidak dapat
dikompromikan, serta tidak dapat diamalkan secara sekaligus dalam segala
segi.
b. Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan
daripada ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.
c. Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut,
sehingga yang lebih dahulu diturunkan ditetapkan sebagai mansukh, dan
yang diturunkan kemudiannya sebagai nasikh.
َش َر َع َلُك م ِّم َن الِّديِن َم اَو َّص ى ِب ِه ُنوًح ا َو اَّل ِذ ي َأْو َح ْيَن آ ِإَلْي َك َو َم اَو َّص ْيَنا ِب ِه ِإْب َر اِهيَم
َوُم وَس ى َو ِع يَس ى َأْن َأِقيُم وا الِّد يَن َو َالَتَتَفَّر ُقوا ِفيِه
5
Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya.Amat berat bagi orang-orang musyrik agama
yang kamu seru mereka kepadanya.Allah menarik kepada agama itu orang
yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang
yang kembali (kepada-Nya). (as-Syura: 13)
َيا َأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُن وا ُك ِتَب َع َلْيُك ُم الِّص َياُم َك َم ا ُك ِتَب َع َلى اَّل ِذ يَن ِم ْن َقْبِلُك ْم َلَع َّلُك ْم َتَّتُق وَن
]183 : [البقرة
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa (al-Baqarah:
183)
]27 : َو َأِّذ ْن ِفي الَّناِس ِباْلَح ِّج َيْأُتوَك ِر َج ااًل َو َع َلى ُك ِّل َض اِم ٍر َيْأِتيَن ِم ْن ُك ِّل َفٍّج َع ِم يٍق [الحج
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,niscaya mereka
akan datang kepadamu dengan berjalan kaki,dan mengendarai unta yang
kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (al-Hajj: 27)
َو َك َتْبَنا َع َلْيِهْم ِفيَه ا َأَّن الَّنْفَس ِب الَّنْفِس َو اْلَع ْيَن ِب اْلَع ْيِن َو اَأْلْن َف ِب اَأْلْنِف َو اُأْلُذ َن ِب اُأْلُذ ِن
َو الِّس َّن ِبالِّس ِّن َو اْلُجُروَح ِقَص اٌص َفَم ْن َتَص َّدَق ِب ِه َفُه َو َك َّف اَر ٌة َل ُه َو َم ْن َلْم َيْح ُك ْم ِبَم ا
]45 : َأْنَز َل ُهَّللا َفُأوَلِئَك ُهُم الَّظاِلُم وَن [المائدة
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada
qishasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishas) nya, maka melepaskan
hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang zalim” (al-Maidah: 45)
6
Tentang jihad, Allah berfirman:
]146 : عمران َو َك َأِّيْن ِم ْن َنِبٍّي َقاَتَل َم َع ُه ِرِّبُّيوَن َك ِثيٌر [آل
“Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah
besar dari pengikut (nya) yang bertaqwa… “ (Ali Imran: 146)
7
Untuk mengetahui nasikh dan mansukh terdapat beberapa cara:
1. Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat, seperti hadits:
“Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah kubur, maka kini berziarah
kuburlah.” (HR. Al-Hakim). Juga seperti perkataan Anas mengenai kisah
orang yang dibunuh di dekat sumur Ma’unah, sebagaimana akan
dijelaskan nanti, “berkenaan dengan mereka turunlah ayat Al-Qur’an yang
pernah kami baca sampai kemudian ia diangkat kembali.”
2. Ijma’ umat bahwa ayat ini nasikh dan yang itu mansukh.
3. Mengetahui mana yang terlebih dahulu dan mana yang belakangan
berdasarkan sejarah.
8
Orang Yahudi sendiri mengakui bahwa syariat Musa menghapuskan
syariat sebelumnya. Dan dalam nas-nas Taurat pun terdapat naskh, seperti
pengharaman sebagian besar binatang atas Bani Israil, yang semula
dihalalkan. Berkenaan dengan mereka Allah berfirman yang artinya:
“Semua makanan adalah hala bagi bani Israil melainkan makanan yang
diharamkan oleh Israil [Ya’qub] untuk dirinya sendiri.” (Ali ‘Imraan: 93)
Dan firman-Nya yang artinya:
“Dan kepada orang-orang Yahudi Kami haramkan segala binatang yang
berkuku.” (al-An’am: 146)
9
samping itu, penghapusan dan penetapan terjadi dalam bentuk banyak hal,
misalnya menghapuskan keburukan dan kebaikan:
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan [dosa]
perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Huud: 114)
Juga penghapusan kekafiran dan kemaksiatan orang-orang yang
bertaubat dengan taubatnya, serta penetapan iman dan ketaatan mereka.
Hal demikian itu tidak menuntut adanya kejelasan yang didahului
kekaburan bagi Allah. Tetapi Dia melakukan itu semua berdasarkan
pengetahuan-Nya tentang sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi.
4. Jumhur Ulama.
Mereka berpendapat, naskh adalah suatu hal yang dapat diterima
akal dan telah terjadi pula dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-
dalil:
a. Perbuatan-perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan.
Dia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan
10
melarangnya pada waktu yang lain. Karena hanya Dia lah yang lebih
mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
b. Nas-Nas Kitab dan Sunnah menunjukkan kebolehan naskh dan
terjadinya, antara lain:
Firman Allah yang artinya: “Dan apabila Kami mengganti suatu ayat
di tempat ayat yang lain…” (an-Nahl: 101) dan firman-Nya yang
artinya:
“Apa saja ayat yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan [manusia]
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding
dengannya.” (al-Baqarah: 106)
Dalam sebuah hadits shahih, dari Ibnu Abbas ra, Umar ra. berkata:
“Yang paling paham dan paling menguasai al-Qur’an di antara kami
adalah Ubai. Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian
perkataannya karena ia mengatakan: ‘Aku tidak akan meninggalkan
sedikitpun apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah saw.’ padahal
Allah telah berfirman: ‘Apa saja yang Kami nasakhkan, atau Kami
jadikan [manusia] lupa kepadanya…’ (al-Baqarah: 106).”
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Naskh adalah menghapus hukum syara’ dengan dalil/khitab syara’
yang lain. Naskh terdiri dari; adanya pernyataan yang menunjukkan terjadi
pembatalan hukum yang telah ada, harus ada nāsikh, harus ada mansūkh dan
harus ada yang dibebani hukum atasnya. Dalam menghapus hukum shara’
tersebut ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni : Hukum yang
mansūkh (dihapus) adalah hukum shara’, Dalil naskh harus datang lebih dulu
daripada mansūkh, khitab yang mansūkh hukumnya tidak terikat dengan
waktu.
Dalam cakupannya naskh dibagi menjadi tiga, antara lain : Naskh
quran dengan quran, naskh sunnah dengan sunnah, naskh sunnah dengan
quran. Terdapat beberapa pendapat mengenai ayat yang mansūkh. Di
antaranya, pendapat mengenai jumlah ayat dan ayat tersebut. al Nahas
berpendapat jumlah ayat yang dimansūkh berjumlah 100 ayat. Suyuṭiy
berpendapat terdapat 20 ayat, sedangkan Al Shaukaniy berpendapat 8 ayat.
B. Saran
Penulis yakin masih jauh dari sempurnanya makalah ini. Maka dari itu
penyusun berharap kritik dan saran yang membangun agar dapat diperbaiki
sedemikian mungkin. Supanya makalah ini lebih sempurna.
12
DAFTAR PUSTAKA
13