Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an sebagi mu’jizat Nabi Muhammad, ia merupakan panduan dasar bagi umat
Islam selain al-Hadis dalam menetapan hukum Islam. Sebagai Huda al-Nash al-Qur’an
memiliki kekayaan dimensi hukum, baik dalam hal sifat universalitasnya maupun bentuk
pola-pola hukum syara’ yang tidak terlepas dari aspek sosio cultural masyarakat Arab saat
itu. Sebab, diakui atau tidak turunnya al-Qur’an secara bertahap adalah terkait dengan
problem masyarakat arab waktu itu.
Dalam kerangka itu, dalam menetapkan dan menggali hukum Islam yang tertuang
dalam al-Qur’an, tentunya dibutuhkan alat untuk mengupas dimensi hukumnya. Antara lain
ilmu Qur’an yang didalamnya terdapat kajian seperti tafsir, muhkam mutasyabih, Al-
Nasakh Wa al-Mansukh dan yang lainnya serta pemahaman kaidah ushuliyah dan
fiqhiyah. Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai salah satu bagian dalam kajian ulumul Qur’an,
memiliki kontribusi yang sangat penting, sebab dengan memahaminya kita akan mampu
memahami apakah hukum yang termaktum dalam ayat-ayat Qur’an tersebut masih berlaku
atau tidak.
Oleh karena itu, makalah ini mencoba menguraikan apa, dan bagaimana
sebenarnya Al-Nasakh Wa al-Mansukh. Namun demikian harus dipahami bahwa makalah
ini hanya merupakan acuan dasar yang patut mendapatkan pembahasan dan kajian ulang
baik terkait data yang disajikan maupun conten dari makalah. Dengan demikian kita akan
memperoleh pemahaman yang holistik terhadap Al-Nasakh Wa al-Mansukh.

B. Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh?
2.      Bagaimanakah cara mengetahui Al-Nasakh Wa al-Mansukh?
3.      Sebutkan macam dan jenis Al-Nasakh Wa al-Mansukh?
4.      Apakah hikmah dari Al-Nasakh Wa al-Mansukh?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh
Secara etimologi Nasakh dapat diartikan menghapus, menghilangkan, yang
memindahkan, menyalin, mengubah dan menggganti. Sejalan dengan pengertian tersebut
Ahmad Syadali mengartikan Nasakh dengan 2 macam yaitu : pertama ‫االزلة‬: yang berarti
hilangkan, hapuskan. Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang sering berkata  ‫نسحت‬
‫الشمس الظل‬ (Cahaya Matahari menghilangkan bayang-bayang). Kedua ‫نقل الشيئ الى موضع‬ .yaitu
memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang lainnya. Difinisi ini juga merujuk
pada QS.al-Jaziyah:29
Sedangkan secara istilah Nasakh dapat didefinisikan dengan beberapa pengertian antara
lain:
a. Hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang menghapuskan dalil Syara’ terdahulu
danmenggantinya dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah
jika akan menghadap rasul menjadi bebas.
b. Nasakh adalah Allah SWT. Artinya otoritas menghapus dan menggantikan hukum syara’
hakikatnya adalah Allah SWT. Definisi ini didasarkan pada S. al-Anam:5 dan al-Baqorah :
106
c. ‫رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي شرحياعنه‬ artinya mengangkatkan hukum syara’ dengan perintah
atau khitab Allah yang datang kemudian dari padanya.
Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya Nasakh tidak lain
sebagai proses penghapusan ayat dan hukum yang tertuang dalam al-Qur’an. Selain itu
kedatangan ayat yang menghapus mutlak adanya setelah ayat yang di hapus.
Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan
disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan dengan ‫الحكم المرتفع‬ Hukum yang
diangkat. Contoh QS. Al-Nisa : 11 Menasakh QS. Al-Baqarah: 180 tentang wasiat.
Artinya : “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan[ dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[ Maka bagi mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana.”
Artinya :”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf[ (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Sedangkan secara istilah Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil
syara’ yang pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum dari
dalil syara’ baru yang datang kemudian.
Dengan demikian, mengacu pada definisi Al-Nasakh Wa al-Mansukh di atas baik
secara bahasa maupun istilah pada dasarnya secara eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh
mensyaratkan beberapa hal antara lain :
a)      Hukum yang di Mansukh adalah hukum Syara’. Artinya hukum tersebut bukan
hukum akal atau buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum Syara’ adalah
hukum yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan
Mukalaf baik berupa perintah (Wajib, Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun
anjuran (Sunah)
b)      Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga harus berupa dalil Syara’. Hal ini
sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’: 59
c)      Dalil/ayat yang di Mansukh harus datang setelah dalil yang di hapus.
d)     Terdapat kontradiksi atau pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua
sehingga tidak bisa dikompromikan
B. Cara Mengetahui Al-Nasakh Wa al-Mansukh
Setelah memahami pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh diatas pertanyaan yang
muncul kemudian adalah bagaimana cara untuk mengetahuinya. Menjawab pertanyaan ini
al-Qattan memberikan rumusan bahwa Al-Nasakh Wa al-Mansukh dapat di ketahui dengan
cara-cara sebagai berikut :
1)      Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat.
Contoh :‫ االفزوروها‬,‫كنت نهيتكم عن زيارة القبور‬.Hadis tersebut Menasakh Hadis sebelumnya
yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
2)      Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh dan ayat yang Di Mansukh.
Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat diketahui dalam kalimat-
kalimat dalil itu sendir, maka harus ada ijmak ulama yang menetapkan hal tersebut.
3)      Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan mana yang kedua.
Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang Menasakh: 13 tentang keharusan bersedekah
ketika menghadap Rasul.
C. Urgensitas Al-Nasakh Wa al-Mansukh
Dalam Kajian Hukum Islam Terdapat alasan yang mendasar mengapa Al-
Nasakh Wa al-Mansukh perlu di pelajari mengingat kontribusinya terhadap proses Istinbath
Hukum. Alasan-alasan tersebut adalah :
a. Terkait status hukum Islam.
b. Sering kali menjadi pangkal perselisishan para ulama ushul, tafsir dan fiqh terkait dalam
proses istinbath Hukum.
c. Sebagai antitesa terhadap pandangan para orientalis atas kehujahan al-Qur’an.
d. Terungkapnya Tarikhut Tasyri’ dan hikmatut Tasyri
e. Salah satu bukti bahwa al-Qur’an bukan produk Muhammad
f. Solusi atas kebingungan umat atas kontradiksi ayat.

D. Macam Dan Jenis Nasakh


Para ulama membagi Al-Nasakh Wa al-Mansukh menjadi 4 bagian :
a.       Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Jenis Nasakh ini memperoleh kesepakatan para ulama atas kebolehan hukumnya.
Dengan kata lain jenis Nasakh ini bisa di terima.
Contoh : Penghapusan kewajiban bersedekah ketika akan menghadap Rasul
sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Mujadalah:12 yang di Nasakh ayat 13
b. Nasakh Qur’an dengan Sunah
Nasakh jenis ini terbagi menjadi 2 macam yaitu :
1.  Nasakh Qur’an dengan Hadis Ahad.
Menurut Jumhur ulama’ jenis Nasakh ini tidak diperbolehkan, sebab Qur’an adalah
Muatawatir dan bersifat Qot’I sedangkan Hadis Ahad adalah bersifat Dzanni ( Dugaan ).
Adalah tidak logis manakala sesuatu yang mutlak kebenarannya harus di
hapus oleh sesuatu yang masih bersifat dugaan (Dzan)
2. Nasakh Qur’an dengan Hadis Mutawatir.
 Jumhur ulama’, Menurut  Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad, Nasakh jenis ini
diperbolehkan, sebab keduanya adalah berangkat dari wahyu. Hal ini di dukung dengan
firman Allah SWT. Yang terdapat dalam QS. Al-Najm:3-4
Namun demikian, bagi al-Syafi’I dan ahli Dzahir menolak jenis Nasakh ini, sebab Hadis
tidaklah lebih baik atau sebanding dengan Qur’an. Hal ini di dukung firman
Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:106
c.        Sunah dengan Qur’an
Bagi Jumhur ulama’ Nasakh jenis ini bisa di terima. Hal ini di dasarkan atas
keberadaan Sunah Riwayat Bukhari-Muslim tentang kewajiban puasa pada bulan as-
Syura.

‫ فلما انزل رمضان كان من شاء صام ومن شاء افطر‬,‫ كان عاشوراء صياما‬:‫عن عائشة قالت‬

(‫)رواه بخارى ومسلم‬


Artinya : dari Aisyah beliau berkata :” Hari as-Syura itu adalah wajib berpuasa, ketika
diturunkan (kewajiban Puasa ) bulan Ramadha, maka ada yang mau berpuasa dan ada pula
yang tidak berpuasa.
Sunah ini di Nasakh oleh firman Allah yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah:185
Artinya : “ (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena
itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.”
Walaupun demikian menurut as-Syafi’I Nasakh jenis ini tidak dapat diterima, sebab
antara Qur’an dengan sunah harus berjalan beriringan dan tidak boleh bertentangan.
Dengan kata lain bagi as-Syafi’i adalah tidak mungkin mana kala ada Hadis yang
bertentangan dengan Qur’an. Selain itu, pandangan ini juga mengisyaratkan bahwa adanya
Nasakh menunjukkan adanya ketidak tepatan dalam Hadis, padahal sebagaimana yang kita
ketahui keberadaan Hadis pada dasarnya sebagai penjelasan atas Qur’an.
d. Nasakh Sunah dengan Sunah.
Jenis Nasakh ini terdapat 4 macam, yaitu :
 Mutawatir dengan Mutawatir
 Ahad dengan Ahad
 Ahad dengan Mutawatir
 Mutawatir dengan Ahad.
Bagi Jumhur ulama’ dari keempat nasakh tersebut tidak menjadi masalah menjadi
bagian dari Nasakh dengan kata lain dapat diterima kecuali jenis yang ke empat yaitu
Mutawatir dengan Ahad. Argumentasinya tentu tidak terlepas dari tingkat nilai kebenaran
yang terkandung di dalamnya.

D. Bentuk Nasakh Dalam al-Qur’an


Al-Qattan dalam bukunya Mabahis Fi Ulumil Qur’an membagi Nasakh dalam al-
Qur’an dalam 3 macam, yaitu :
1.      Pertama Nasakh Tilawah (bacaan) beserta Hukumnya.
 Artinya keberadaan ayat dan hukumnya telah dihapus sehingga tidak dapat kita jumpai lagi
dalam al-Qur’an. Jenis Nasakh ini menjadi debatable, sebab apakah mungkin hal yang
demikian itu terjadi. Tentunya keraguan yang demikian itu adalah wajar, sebab bisa jadi
keberadaan jenis Nasakh ini tereduksi dengan kepentingan tertentu. Namun demikian dalam
literatur yang ada, pada dasarnya bentuk Nasakh ini merujuk pada Hadis riwayat Muslim
yang menyatakan bahwa :

)‫ (وهن مما يقرأ من القران‬.‫م‬.‫ فتف فى رسول هللا ص‬.‫كان فيما أنزل عشر رضعات معلومات فنسخن بخمسى معلومات‬
Menurut Qodi Abu Bakar, Nasakh yang demikian ini tidak dapat diterima, sebab keberadaan
jenis Nasakh ini ditentukan oleh khabar Ahad. Namun bagi al-Qattan berpendapat bahwa
penetapan Nasakh dan penetapan sesuatu sebagai bagian dalam Qur’an adalah dua hal
yang berbeda. Artinya dalam penetapan Nasakh cukup bisa dengan Khabar ahad
sedangkan sesuatu sebagai Qur’an harus dengan dalil qot’I atau khabar Muatawatir.
2.       Kedua Nasakh Hukum sedang tilawah (bacaannya) tetap.
Contoh Nasakh ini adalah ayat idah selama satu tahun yang di Nasakh menjadi 4
bulan 10 hari. Sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 240
Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan
isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun
lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri),
Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka
berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Ayat tersebut di Nasakh QS. Al-Baqarah : 234
Artinya : “ Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila Telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.”
Hikmah yang dapat kita petik atas keberadaan jenis Nasakh ini adalah :
1. Bahwa al-Qur’an sebagai Kalamullah, ia bukan hanya untuk diketahuai dan diamalkan
hukumnya, namun ia juga untuk dibaca untuk mendapatkan pahala.
2. Sebagai pengingat manusia atas segala nikmat Allah SWT, sebab Nasakh pada dasarnya
untuk meringankan.
3.       Nasakh tilawah sedangkan hukum tetap.
Keberadaan Nasakh jenis ini merujuk pada Hadis dari Umar Bin khatob dan Ubay Bin Ka’ab.
Yang menyatakan :
‫ك[[[[[[[[ان فيم[[[[[[[[ا ان[[[[[[[[زل من ال[[[[[[[[ق ران الش[[[[[[[[يخ والش[[[[[[[[يخة اذأ زني[[[[[[[[ا ف[[[[[[[[ارجمو هم[[[[[[[[ا البت[[[[[[[[ة نك[[[[[[[[اال من هللا‬
Artinya :“Termasuk dari ayat al-Qur’an yang diturunkan ialah ayat (Yang artinya) “orang tua
laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berzina, maka rajamlah (dihukum
lempar batu sampai mati ) sekaligus sebagai balasan dari Allah”
Ketentuan hukum rajam dari Hadis diatas apabila kita mencari lafalnya dalam
Mushaf Usmani (al-Qur’an) tentu kita tidak akan menemukannnya, sebab ayat tersebut
sudah dimansukh. Namun ketentuan hukumnya ( Rajam bagi orang tua ) masih tetap
berlaku. Menurut sebagian ahli ilmu jenis Nasakh ini tidak dapat di terima, sebab khabarnya
adalah khabar ahad. Padahal tidak dibenarkan memastikan turunnya al-Qur’an dan
Nasakhnya dengan khabar ahad.

F. Nasakh Berpengganti Dan Tidak Berpengganti


1. Nasakh berpengganti
Di lihat dari sisis penggantinya jenis Nasakh ini terdapat 3 macam yaitu :
a. Nasakh dengan badal akhof ( pengganti yang lebih ringan )
b. Nasakh dengan badal Mumatsil ( pengganti serupa )
c. Nasakh dengan badal Atsqal ( pengganti yang lebih berat ).
2. Nasakh tanpa Badal.
Jenis Nasakh ini contohnya adalah sebagaimana yang terdapat dalam penghapusan
kewajiban bersedekah ketika hendak menghadap Rasul sebagaimana yang terdapat dalam
QS. Al-Mujadalah : 12 yang di Nasakh ayat 13
G. Pandangan para ulama terhadap Al-Nasakh Wa al-Mansukh
Keberadaan Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai mana yang telah diungkap dalam
awal pembicaraan di atas, menunjukkan bahwa Nasakh dan Mansukh sangat penting dalam
kajian hukum Islam, sebab ia bukan hanya terkait dengan aspek hukum syara’ melainkan
juga tak jarang berkaitan dengan teologi. Oleh karena itu Al-Nasakh Wa al-Mansukh dalam
pandangan para ulama tentunya beraneka ragam. Di antara pendapat-pendapat tersebut
adalah :
1.      Nasakh secara akal bisa terjadi dan secara sam’I telah terjadi.
Pendapat pertama ini merupakan pendapat dari kalangan Jumhur ulama’. Dasar
hukum yang mereka pakai adalah : Bahwa perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan
dan tujuan. Sehingga dengan ketidak ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan alasan
tersebut, maka adalah hak prerogativeNya untuk menghapus ataupun tidak.
Adanya Nash Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti :
a. Dalam Qur’an surat an-Nahl : 101
b. QS. Al-Baqarah:106
c. Hadis Dari Ibn Abbas yang menyatakan :
.‫م‬.‫ ال ادع شئا سمعته من رسول هللا ص‬:‫ اقرؤنا ابى واقعنانا وانا لتدع من قول ابى وذاك ان أبيا يقول‬.‫قال عمر رضى هللا عنه‬
)‫(رواه ابن عباس‬.…‫وقد قال هللا عز وجل ننسخ من ايته اوننسها‬

2.       Nasakh secara akal mungkin terjadi namun secara syara’ tidak.


Pendapat ini di motori oleh abu Muslim al-Asfihani. Ia berpendapat Nasakh mungkin
terjadi secara logika namun secara syara’ tidak. Sebab ia berpedoman pada QS. Fushilat:42
3.       Nasakh tidak mungkin terjadi baik secara akal maupun pandangan.
Pendapat ini berasal dari kaum Nasrani. Menurut pandangan kaum Nasrani Nasakh
mengandung konsep al-Ba’da yang hal itu mustahil bagi Allah SWT. Dengan demikian
adalah mustahil Allah menghapus apa yang telah di FirmankanNya.

H. Hikmah Al-Nasakh Wa al-Mansukh
Dari uraian di atas, maka dapatlah kita pahami bahwa kajian Nasakh dan Mansukh
memiliki hikmah yang teramat penting. Adapun hikmah tersebut dapat kita petakan menjadi
2 macam yaitu hikmah secara umum dan hikmah secara khusus yang merujuk pada jenis
penggati hukumnya. Hikmah-hikmah tersebut adalah :
a. Secara umum hikmah Al-Nasakh Wa al-Mansukh adalah :
1)      Membuktikan Bahwa Syariat Agama Islam adalah Syari’at yang sempurna.
2)      Memelihara kepentingan hamba.
3)      Cobaan bagi mukalaf untuk mengikuti ataupun tidak mengikuti.
4)      Sebagai bukti relevansi hukum syara’ di setiap kondisi umat manusia.
5)      Kemudahan dan kebaikan bagi umat.
b. Secara khusus hikmah Al-Nasakh Wa al-Mansukh di lihat dari segi penggantinya adalah:
1)      Nasakh tanpa pengganti memiliki hikmah untuk menjaga kemaslahatan manusia.
Sebagaimana yang terdapat dalam penghapusan bersedekah ketika menghadap
Rasul.
2)      Nasakh dengan badal seimbang, hikmahnya adalah menentukan hukum baru
sebagaimana yang terdapat dalam perintah untuk menghadap Baitul Maqdis yang di
3)      Nasakh menghadap Ka’bah.
4)      Nasakh dengan Badal Astqal hikmanya adalah untuk menambah kebaikan dan
pahala umat.
5)      Nasakh dengan badal lebih ringan hikmanya adalah sebagai bentuk dispensasi bagi
umat manusia.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :


1. Nasakh dapat di pahami sebagai hukum yang membatalkan atau mengganti hokum yang
telah terlebih dahulu disyari’atkan oleh Allah SWT. Sedangkan Mansukh adalah hukum yang
dibatalkan atau yang di ganti.
2. Keberadaan Nasakh dan Mansukh dapat di identifikasi dengan beberapa cara yang
telah di tentukan oleh para ulama, yang terdiri atas :
a. Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau sahabat
b. Terdapat kesepakatan ulama mana ayat yang Nasakh dan Mansukh
c. Diketahui dari sala satu Nash mana yang pertama dan mana yang kedua.
3. Jenis Nasakh terdiri atas :
a. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an
b. Nasakh al-Qur’an dengan Sunah yang terbagi atas Qur’an dengan Hadis Ahad dan
Qur’an dengan Hadis Mutawatir
c. Nasakh Sunah dengan Qur’an
d. Nasakh Sunah dengan Sunah yang terdiri atas Mutawatir dengan Mutawatir, Ahad
dengan Ahad, Ahad dengan Mutawatir dan Mutawatir dengan Ahad
4. Adapun bentuk Nasakh yang terdapat dala al-Qur’an adalah terdiri atas :
a. Nasakh Tilawah dan hukumnya sekaligus
b. Nasakh Hukum sedangkan Tilawahnya tetap
c. Nasakh Tilawah sedangkan Hukumnya tetap
5. Keberadaan Nasakh dan Mansukh dalam al-Qur’an di lihat dari sisi penganti hukumnya
bisa di petakan menjadi tiga macam yaitu pertama dengan pengganti yang setara (Amtsal ),
kedua dengan pengganti yang lebih berat ( Astqol ) ketiga dengan pengganti yang lebih
ringan ( Akhof )

DAFTAR PUSTAKA

Djalal, H. Abdul, Ulumul Qur’an, Surabaya : Dunia Ilmu, 1998


Marzuki, Kamaluddin, Ulumul Qur’an, Bandung : PT. Remaja Rosdakarria, 1992
Syadali, Ahmad, ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka Setia, 2000
Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahist Fi Ulumil Qur’an, alih bahasa Mudzakir As Bogor :
Litera Antaranusa, 2007
http://kajianislam.wordpress.com/2007/06/26/soal-nasikh-dan-mansukh/. Akses tanggal
15 Desember 2009

Anda mungkin juga menyukai