Anda di halaman 1dari 11

ULUMUL QUR’AN

ILMU NASIKH DAN MANSUKH


DOSEN PENGAMPU : Dr.Siti Munawati,Spd.I M.pd.I

KELAS : 1 B

KELOMPOK 4

Ahmad Sulfi Al-Hamdi 2303020026

Muhammad Ainur Rofiq 2303020048

Arizcha Marwatussoffah 2303020064

Siti Maysaroh 2303020067

Fakultas Agama Islam ( Pai )

Universitas Islam Syekh Yusuf

Jln. Syekh Yusuf No.10, rt001/003, Babakan, kec.Tangerang, kota Tangerang, Banten.
KATA PENGANTAR

Puji yukur atas kehadirat Allah SWT. yang atas rahmat nya dan limpahan rezeki nya
karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktu nya.Adapun tema dari
makalah ini adalah “Ilmu Naskhi Dan Mansukh.

Kami sadar betul dalam penggerapan makalah ini tak lepas dari bantuin pihak,termasuk Ibu
Dosen Dr.Siti Munawati,Spd.I M.pd.I yang sudah membingbing kelompok 4 dari mulai
penggarapan sampai rampungnya makalah.

Selain itu,makalah yang kami garap masih jauh dari kata sempurna karena keterbatasan
pengalaman dan pengatahuan kami.kiranya kami berharap adanya saran dan kritik untuk
makalah yang baru kami buat.Terakhir,kami berharap semoga makalah ini bisa memberi
manfaat yang banyak bagi pembaca.

Tanggerang,september,2023

Tim Kelompok
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................ii

Bab 1. Pendahuluan................................................................................

Bab 2. Pembahasan............................................................................

1. Pengertian nasikh........................................................................

Bab 3. Perbedaan Antara Nasikh Dan Takhshish................................

Bab 4. Perbedaan Pendapat Tentang Ayat-ayat Mansukh...................


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Al-Qur’an adalah kalamullah merupakan mu’jizat bagi nabi Muhammad SAW.


Al-Qur’an merupakan tuntunan bagi umat manusia untuk mencapai bukan hanya kebahagiaan
di dunia saja, terlebih lagi adalah merupakan tuntunan untuk mencapai kebahagiaan di
akhirat. Dalam Al-Qur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran. Al-Qur’an memuat ayat
tentang cerita-cerita, seruan kepada umat manusia untuk beriman dan bertaqwa, memuat
tentang ibadah, muamalah, dan lain sebagainya.

Mengenai ibadah dan muamalah, prinsip dasar umumnya adalah sama, yaitu
bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta mengikatnya
dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan.

Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dalam pejelasan Al-Qur’an ada


yang dikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya saja. Ada yang khusus, ada
yang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya
gejala kontraindikasi yang menurut Quraish Shihab para ulama berbeda pendapat tentang
bagaimana menghadapi ayat-ayat tersebut. Sehingga timbul pemabahasan tentang Nasikh dan
Mansukh.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Nasikh

Pengertian nasikh secara umum ialah menghilangkan atau menghapus,


sedangkan bagian yang dihapus dinamakan mansukh. Menurut Manna’ Khalil Al-Qattan
dalam bukunya “Ulumul Qur’an” bahwa nasakh adalah mengangkat atau menghapus hukum
syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian.

Misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Mekkah di saat
kaum muslim lemah, dianggap telah dinasakh oleh adanya perintah atau izin berperang pada
periode Madinah karena kondisi mereka sudah kuat. Bahkan ketetapan hukum islam yang
membatalkan hukum yang berlaku pada masa sebelum islam termasuk dalam pengertian
nasakh.

Pengertian yang begitu luas tersebut dipersempit oleh para ulamamuta’akhirin


(ulama setelah abad ke III M). Menurut mereka, nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang
datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa
pemberlakuan hukum yang terdahulu hingga ketentuan hukum yang berlaku yang ditetapkan
terakhir.

Jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, zat Allah, sifat
Allah, kitab-kitabNya, para rosulNya, dan hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan
etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah.

Mengenai nasakh, Al-Syatibi sebagaimana dikutip oleh Dr. M Quraish Syihab


menandaskan bahwa para ulama mutaqaddimin (ulama abad ke 1 hingga abad ke 3)
memperluaskan arti nasakh, mencakup hal-hal, yaitu :

a. Pembatasan hukum yang ditetapkan kemudian


b. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus
yang datang kembali
c. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang belum jelas (samar),
dan penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat
d. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat

Bahkan menurut Muhammad Azkhim Al-Zarqani seperti dikutip oleh Quraish


Syihab diantara para ulama tersebut ada yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum
yang ditetapkan oleh suatu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain
yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau
menahan diri pada periode Mekkah disaat kaum muslim lemah, dianggap telah di nasakh oleh
adanya perintah atau izin berperang pada periode Madinah karena kondisi mereka sudah kuat.
Bahkan ketetapan hukum islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa terdahulu
sebelum islam termasuk dalam pengertian nasakh.
2. Macam-macam al-Nasakh (dari segi kejelasan cakupannya)
Menurut tinjauan ahli tafsir, jenis-jenis nasikh (bagi ulama yang memandang adanya
nasikh dalam al-Qur’an), Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, nasikh dalam Al-quran
dibagi menjadi empat macam yaitu:
1. Nasikh sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat
terdahulu. Misalnya ayat tentang perang (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal yang
mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh kafir:
2. Nasikh dhimmy, yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan tidak
dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta kedua-
keduanya diketahui waktu turunnya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat
yang terdahulu. Contohnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-
orang yang akan mati yang terdapat dalam surat Al-Baqarah 180
3. Nasikh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan.
Contohnya, ketentuan 'iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat
234.
4. Nasikh juz'iy, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu
dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum
yang bersifat muthlaq dengan hukum yang muqayyad. Contohnya, hukum dera 80
kali bagi orang yang menuduh seorang wanita Tanpa adanya saksi pada surat An-Nur
ayat 4.

1. Pembagian al-Naskh (dari segi bacaan dan hukumnya)


Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi nasikh kepada tiga
macam yaitu1:
1. Nasakh bacaan dan hukum.
Misalnya apa yang diriwayatkan oleh muslim yang lain, dari asiyah ra, ia
berkata: “diantara yang diturunkan kepada beliau adalah bahwa sepuluh susunan
yang diketahui itu menyebabkan pemahraman, kemudian dinasakh oleh lima
susunan yang diketahui”. Ketika Rasulullah wafat, ‘lima susunan ini termasuk
ayat al-Qur’an yang di baca (baca:berlaku).” Ucapan aisyah “lima susunan ini
termasuk ayat al-Qur’an yang dibaca” secara zhahir menunjukan bahwa
1
bacaannya masih tetap (ada). Tetapi tidak demikian halnya, karena ia tidak
terdapat dalam Mushaf Utsmani. Kesimpulan ini dijawab, bahwa yang dimaksud
dengan perkataan aisyah tersebut ialah ketika menjelang beliau wafat.
Yang jelas ialah bahwa tilawahnya itu tetap dinaskh (dihapuskan), tetapi penghapusan ini
tidak sampai kepada semua orang kecuali sesudah Rasulullah

wafat. Oleh karena itu, ketika beliau wafat, sebagian orang masih tetap
membacanya (sebagai bagian dari al-Qur’an)
2. Nasakh hukum, sedangkan bacaannya tetap ada.
Misalnya nasakh hukum ayat-ayat ‘iddah selama satu tahun, sedang
tilawahnya tetap. Mengenai nasakh macam ini banyak disusun kitab-kitab yang
didalamnya disebutkan beracam-macam ayat. Padahal setelah diteliti, ayat-ayat
seperti itu hanya sedikit jumlahnya, sebagaimana dijelaskan al-Qadhi Abu bakr
bin al-‘Arabi.
Dalam hal ini mungkin tibul pertanyaan, apakah hikmah penghapusan
hukum, sedang tilawahnya tetap ada? Hal ini bisa dijawab dari dua sisi:
 Al-Qu’an, disamping dibaca untuk diketahui dan diamalkan
hukumnya, juga ia dibaca karena ia adalah Kalamullah yang
membacanya mendapat pahala. Maka ditetapkanlah tilawah karena
hikmah ini.
 Pada umumnya nasakh itu untuk meringankan. Maka ditetapkanlah
tilawah untuk mengingatkan akan nikmat dihapuskannya kesulitan
(masyaqqah) suatu kewajiban.
3. Nasakh bacaan sedangkan hukumnya tetap.
contoh kategori ini biasanya diambil dari ayat rajam. Mula-mula ayat
rajam ini terbilang ayat Al-Quran. Ayat yang dinyatakan mansukh bacaannya,
sementara hukumnya telap berlaku itu adalah:
Artinya: Apabila seorang lelaki dewasa dan seorang perempuan dewasa
berzina, maka rajamlah keduanya, itulah kepastian hukum dari Tuhan dan Tuhan
maha kuasa lagi bijaksana.
Ada beberapa kontroversi dengan ayat tersebut, riwayat Bukhari mengatakan bahwa posisi
semula ayat tersebut berada pada surat an-Nur ayat 24, tetapi terdapat batasan yang jelas
mengenai hukuman perbuatan zina tersebut dengan cambukan, sedangkan ayat di atas dengan
rajam.

4. Pembagian al-Nasakh (dari segi nash yang dinasakh dan yang menasakh)
Umumnya para ulama membagi nasakh menjadi empat bagian, yaitu nasakh sunnah
dengan sunnah, nasakh sunnah dengan Al Qur’an, nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an, dan
nasakh Al Qur’an dengan sunnah. Berikut penjelasannya seperti terdapat dalam Al Qur’an
dan tafsirnya.
a. Nasakh Sunnah dengan Sunnah
Suatu hukum syara’ yang dasarnya sunnah kemudian dinasakh atau dihapus
dengan dalil syara’ dari sunnah juga. Contohnya adalah larangan ziarah kubur yang
dinasakh menjadi boleh.
b. Nasakh Sunnah dengan Al Qur’an
Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah kemudian dinasakh
dengan dalil Al Qur’an. Seperti shalat yang semula menghadap ke Baitul Maqdis
kemudian menjadi menghadap Ka’bah di Masjidil Haram setelah turun ayat Al
Qur’an surah Al Baqarah ayat 144. Namun nasakh seperti itu pun ditolak oleh Syafi’i
sebagaimana dikutip Syaikh Manna’ dari Al Itqan, menurut Syafi’i, apa saja yang
ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al Qur’an, dan apa saha yang di tetapkan Al
Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal tersebut menurut beliau antara Kitab
dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan.
c. Nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an
Hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil ayat Al Qur’an kemudian dinasakh
dengan dalil ayat Al Qur’an pula. Tentang hal ini terdapat perbedaan pendapat
dikalangan ulama. Mereka yang berpendapat bahwa nasikh dan mansukh ada
terdapat dalam ayat Al Qur’an, berdasarkan surah Al Baqarah ayat 106. Menurut
para ulama yang menerima adanya nasikh mansukh dalam Al Qur’an ini, bahwa
adanya nasikh dan mansukh dalam Al Qur’an dapat diterima akal karena Allah Maha
Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, sehingga hukum yang ringan pada mulanya
memang perlu ditetapkan, dan kemudian perlu diganti dengan hukum yang tidak
ringan lagi setelah orang-orang Islam menghadapi keadaan normal dan dipandang
sudah mampu menghadapi hukum yang tidak ringan lagi. Hal terebut termasuk
kebijakan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mengetahui. Tetapi sebagian ulama lain
berpendapat bahwa tidah ada nasikh mansikh dalam ayat-ayat Al Qur’an. Menurut
ulama-ulama ini Al Qur’an memang telah menasakh kitab-kitab suci terdahulu, tetapi
semua ayat Al Qur’an yang ada sekarang tidak ada lagi yang mansukh. Hal tersebut
menurut mereka sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Fussilat/41 ayat 42.
d. Nasakh Al Qur’an dengan Sunnah
Nasakh jenis ini menurut Syaikh Manna’ terbagi dua, yaitu:
 Nasakh Al Qur’an dengan hadist ahad.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa hal itu tidak boleh, karena, hadist
ahad itu bersifat dzanni(relatif benar)sementara Al Qur’an bersifat
qath’ie(pasti benar).2
 Nasakh Al Qur’an dengan Hadist Mutawatir
Nasakh jenis ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam
satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Dasarnya adalah
firman Allah alam surah An Najm ayat 3-4.
5. Pendapat Ulama tentang al-Naskh
a. Mutaqaddimin
Menurut ulama mutaqaddimin, nasakh adalah Mengangkat hukum syar‘i
(menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (kitab) syara‘ yang lain.
Misalnya, dikeluarkannya hukum syar’i dengan berdasarkan kitab syara’dari
seseorang karena dia mati atau gila. Contoh tentang waris, di mana hukum waris
dinasakhkan oleh hukum wasiat ibu bapak dan karib kerabat.

b. Mutaakhirin
Pengertian yang begitu luas kemudian dipersempit oleh ulama yang
datang kemudian. Pengertian nasakh menurut ulama mutaakhirin di antaranya
adalah sebagaimana diungkapkan Quraish Shihab: “Nasakh terbatas pada
ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan, mencabut atau
menyatakan berakhirnya pemberlakuan hukum yang terdahulu, hingga
ketentuan hukum yang ada yang ditetapkan terakhir”.
Syarat-syarat Nasakh sebagai berikut:
 Hukum yang mansukh adalah hukum syara’
 Dalil penghapusan hukum tersebut adalah kitab syar’ i yang tentang lebih kemudian
dari kitab yang hukumnya mansukh.
 Kitab yang mansukh hukumnya tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
2
A. KESIMPULAN
Pengertian nasikh-mansukh sangat beragam dari berbagai kalangan, secara ringkasnya
nasikh adalah yang menghapus, yang menggantikan, atau yang memindahkan. Sedangkan
mansukh adalah yang digantikan, yang dihapus, atau yang dipindahkan.
Macam-macam al-Nasakh (dari segi kejelasan cakupannya) ada 4 yaitu : Nasikh sharih,
Nasikh dhimmy, Nasikh kully, dan Nasikh juz’iy.
Pembagian al-Nasakh (dari segi nash yang dinasakh dan yang menasakh) ada 4 yaitu:
 Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an.
 Nasakh al-Qur’an dengan al-Sunnah.
 Nasakh al-Sunnah dengan Al-Qur’an.
 Nasakh al-Sunnah dengan Al-Sunnah.
Sedangkan Pembagian al-Naskh (dari segi bacaan dan hukumnya) ada 3 yaitu :
 Nasakh tulisan, bacaan dan hukumnya.
 Nasakh tulisan dan bacaannya tetapi hukumnya tetap.
 Nasakh hukumnya tetapi tulisan dan bacaannya tetap.

Kontroversi merupakan sebuah keniscayaan, sampai sekarang masih belum


menemukan titik temu yang baik. Namun, sebagian besar jumhur ulama, termasuk Imam
Syafi’i, tidak menyetujui adanya nasakh al-Qur’an dengan al-Sunnah. Jubriy mengatakan
bahwa ketika perdebatan tidak menemukan titik temu, maka kembali ke al-Qur’an.
Hikmah adanya naskh adalah:3
 Untuk kemashlahatan bersama agar kebutuhan selalu terpelihara sepanjang zaman.
 Menjaga perkembangan hukum Islam agar relevan mulai dari yang sederhana hingga
yang tingkat sempurna.
 Untuk menguji mukallaf (orang ynag baru masuk Islam), dengan perubahan tersebut
apakah mereka tetap menaati peraturan atau tidak.

Anda mungkin juga menyukai