Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

Ilmu nasikh wal mansukh


Dosen pengempuh:
Dr.Mukhtar M.Th.I

STAIN MAJENE

Oleh:

Program Studi Semeste : Hukum Ekonomi Syariah (II)

Kelompok : IX

Nama Nim : Muh. Ikbal (20256123033)

Nur Rabbi (20256123031)

STAIN MAJENE TAHUN AJARAN 2023/2024


Kata Pengantar
Puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Yang mana telah
memberikan Rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga saya
mampu menyusun makalah yang berjudul ilmu Naskh Walmansukh dengan baik
dan tepat waktu guna untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ulumul
Qur’an. Shalawat dan salam semoga tercurah limpahkan kepada junjungan kita
yakni Nabi besar Muhammad Saw. Kepada keluarganya, sahabatnya, dan kita
selaku umatnya. Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.
Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah
ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Terima kasih.

Majene, 13 November 2023

Kelompok IX
Daftar isi
Contents
BAB I...................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..................................................................................................................4
B.rumusan masalah........................................................................................................4
C.tujuan masalah............................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................5
PEMBAHASAN....................................................................................................................5
A. Pengertian Nasikh dan Mansukh.............................................................................5
B. Klasifikasi Nasikh dan Mansukh..............................................................................6
C. Perbedaan antara Nasikh dan Mansukh..................................................................6
D. Perbedaan Pendapat tentang Ayat-ayat Mansukh..................................................6
BAB III...............................................................................................................................11
PENUTUP..........................................................................................................................11
A. KESIMPULAN.........................................................................................................11
B. SARAN...................................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
A.latar belakang
Nasikh mansukh (abrogasi) merupakan salah satu cabang ilmu-ilmu Al-Qur’an yang
controversial sepanjang sejarah. Ini disebabkan dengan adanya setidaknya dua pandangan
yang bertentangan mengenai apakah Al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang nasikh dan
ayat-ayat yang manuskh. Pengakuan ada dan tidaknya nasikh mansukh dalam Al-Qur’an
memiliki implikasi yang sangat serius bagi kehidupan manusia sehari-hari.

Dalam Ulumul Al-Qur’an yang mengundang perdebatan para ulama adalah mengenai
nāsikh mansūkh. Perbedaan pendapat para ulama dalam menetapkan ada atau tidak
adanya ayat-ayat mansūkh (dihapus) dalam Al-Qur’an, antara lain disebabkan adanya
ayat-ayat yang tampak kontradiksi bila dilihat dari lahirnya. Sebagian ulama berpendapat
bahwa di antara ayat-ayat tersebut, ada yang tidak bisa dikompromikan. Oleh karena itu,
mereka menerima teori nāsikh (penghapusan) dalam Al-Qur’an. Sebaliknya, bagi para
ulama yang berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut keseluruhannya bisa dikompromikan,
tidak mengakui teori penghapusan itu.

Persoalan menjadi semakin rumit jika dikaitkan dengan landasan hukum adanya nāsikh
mansūkh itu sendiri yang lahir secara ijtihad, mulai dari landasan hukum naqliyahnya,.
penafsirannya, pertimbangan illat al-hukm dan hikmah al-hukmnya, hingga derivasi-
derivasi yang kemungkinan timbul kemudian seiring perkembangan waktu penerapan
hukumnya. Banyak sekali kalangan-kalangan yang membincangkan masalah adanya
nāsikh mansūkh diantaranya kalangan ahli hukum Islam tradisional maupun kontemporer.
Tidak hanya diperbincangkan, namun keberadaannya dianggap begitu penting dalam
memahami dan menafsirkan hukum-hukum dalam Al-Qur’an.

B.rumusan masalah
1. Apa pengertian dari Nasikh dan Mansukh.
2. Bagaimana klasifikasi Nasikh dan Mansukh.
3. Apa perbedaan antara Nasikh dan Mansukh.
4. Apa perbedaan Pendapat tentang Ayat-ayat Mansukh.
C.tujuan masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Nasikh dan Mansukh
2. Untuk mengetahui klasifikasi Nasikh dan Mansukh
3. Untuk mengetahui perbedaan antara Nasikh dan Mansukh
4. Untuk mengetahui pebedaan pendapat tentang ayat-ayat
Mansukh
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Secara bahasa nasakh adalah menghapus, sedangkan mansukh adalah yang dihapus.
Dengan demikian ada dua hal yang terkait yakni Nasikh dan Mansukh. Sedangkan
menurut istilah yang dimksud dengan Nasaikh adalah meñghapuskan suatu ketentuan
hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datangnya kemudian. Atau Iebih jelasnya Nasikh
adalah menghapus/ membatalkan berlakunya sesuatu hukum syara’ yang telah ada oleh
hukum syara’ yang datang kemudian. Sedangkan Mansukh adalah sesuatu ketentuan
hukum syara yang dihapuskan oleh hukum yang datang kemudian itu. Jadi Nasikh berarti
mnghapus sedangkan Mansukh berarti dihapus.

Menurut Manna’ Khalil Al Qattan dalam bukunya “Ulumul Qur’an” bahwa nasakh
adalah mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang
datang kemudian. Mengenai nasakh, Al Syatibi menegaskankan bahwa para ulama
mutaqaddimin (ulama abad ke I hingga abad ke III H.) memperluas arti nasakh di
ataranya:

1. Pembatalan hukum yang ditetapkan kemudian.


2. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat
khusus yang datang kemudian.
3. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang belum jelas
(samar)
4. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Bahkan menurut Muhammad Azhim al Zarqani dalam bukunya “Manahil Al-Urfan Fi-
Ulum Al-Quran” beranggapan bahwa ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi
tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya
kondisi lain.

Misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Mekkah di saat
kaum muslim lemah, dianggap telah dinasakh oleh adanya perintah atau izin
berperang pada periode Madinah karena kondisi mereka sudah kuat. Bahkan
ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa sebelum
Islam termasuk dalam pengertian nasakh.

Pengertian yang begitu luas tersebut dipersempit oleh para ulama muta’akhirin (ulama
setelah abad ke III M.). Menurut mereka, nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang
datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa
pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan hukum yang berlaku ada yang
ditetapkan terakhir.

B. Klasifikasi Nasikh dan Mansukh


 Klasifikasi Nasikh
Para ahli ushul yang mengakui keberadaan nasakh itu, membagi nasakh menladi beberapa
bagian, yaitu :
 Nasakh yang gantinva tidak ada, seperti nasakh terhadap keharusan orang
yang akan berbicara dengan Nabi SAW untuk bersedekah kepada orang
miskin.
 Nasakh yang gantinya ada, seperfi kewajiban shalat yang asalya sebanyak
50 kali sehari semalam, menjadi hanya 5 kali sehari-semalam.
 Nasakh bacaannya, tetapi hukumnva tetap berlaku, seperti hukum ranjam
bagi laki-laki dan wanita tua yang telah menikah dan ini dinasakh dengan
ayat lain.
 Nasakh hukumnya, tetapi bacaannva masih ada. seperti nasakh terhadap
kewajiban sedekah kepada orang miskin.
 Nasakh hukumnya dan bacaannya sekaligus, seperti hukurn haramnya
menikahi saudara sesusuan dengan batasan 10 kali menjadi hanya 5 (Hadis
riwayat Bukhari-Muslim dari ‘Aisvah).
 Penambahan hukum dari hukum yang pertama.
C. Perbedaan antara Nasikh dan Mansukh
Ayat yang kandungan hukumnya mengganti disebut nasikh dan ayat yang
kandungan hukumnya diganti disebut mansukh.

Secara etimologis, kata naskh yang bentuk isim failnya “nasikh” dan isim maf
’ulnya “mansukh”, mempunyai arti yang beragam, antara lain : menghilangkan,
menghapuskan, membatalkan. Yang berarti membatalkan atau memindah dari
satu wadah ke wadah yang lain. Atau juga berarti penukilan dan penyalinan. Jadi
“nasikh” adalah sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan dan
mengubah, sedang “mansukh” adalah sesuatu yang dibatalkan, dihapus,
dipindahkan, dirubah dan lain sebagainya. Sedang menurut istilah ulama’ ushul,
nasikh ialah membatalkan pelaksanaan hukum syara’ dengan dalil yang datang
kemudian, yang menunjukkan penghapusannya secara jelas ataupun implisit
(Dzonni), baik penghapusan itu secara keseluruhan atau sebagian menurut
kepentingan yang ada.

D. Perbedaan Pendapat tentang Ayat-ayat Mansukh


 Surah-surah yang ada mansukhnya saja, ada 40 Surah
 Surah-surah yang ada nasikh-mansukhnya, ada 25 Surah
 Surah-surah yang ada nasikhnya saja , ada 6 Surah

Bertitik tolak dari ayat 106 Al Baqarah dan ayat 101 An Nahl sebagai subyek timbulnya
faham tentang naskhul Qur’an, sekaligus menjadi sebab timbulnya perbedaan pendapat
dikalangan Musfasirin, yang kemudian menjadi dua kelompok antara yang mengakui dan
yang menolak.

Kedua ayat tersebut adalah :


‫ٌ َم ا َنْنَس ْخ ِم ْن ٰا َيٍة َاْو ُنْنِس َها َنْأِت ِبَخ ْيٍر ِّم ْنَهٓا َاْو ِم ْثِلَها ۗ َاَلْم َتْع َلْم َاَّن َهّٰللا َع ٰل ى ُك ِّل َش ْي ٍء َقِدْي‬

“Apa-apa saja ayat yang kami nasakhkan kami jadikan manusia lupa kepadanya, atau
kami gantikan dengan yang lebih baik dari padanya, atau yang sebanding dengannya.
Tidaklah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”

Ayat kedua :

‫َوِاَذ ا َبَّد ْلَنٓا ٰا َيًة َّم َك اَن ٰا َيٍة َّۙوُهّٰللا َاْع َلُم ِبَم ا ُيَنِّز ُل َقاُلْٓو ا ِاَّنَم ٓا َاْنَت ُم ْفَتٍۗر َبْل َاْك َثُرُهْم اَل َيْع َلُم ْو َن‬

“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat dengan ayat yang lain, dan Allah lebih
mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata, “Sesungguhnya engkau
(Muhammad) hanya mengada-ada saja.” Sebenarnya kebanyakan mereka tidak
mengetahui”.

Kedua ayat diatas ini telah menimbulkan dualisme penafsiran dikalangan Ulama pentafsir
Al-Qur’an. Segolongan yang mansukh. Dengan kedua ayat ini pula Mufassir yang lain
menolak adanya nasakh beberapa qarinah. Sebab kata nasakh itu sendiri beberapa arti.
Pertama yaitu nasakh bisa menghapus atau menghilangkan, Kedua yaitu nasakh bisa
bermakna menyalin atau memindahkan.

Sebagian ulama ada yang menggunakan alasan dengan bahasa karena dihapus, dihilangkan,
diganti, dan sebagainya, yang pada intinya memiliki makna yang sama, yaitu tidak
diberlakukannya suatu hukum karena dianggap telah diganti oleh hukum yang lain,
dengan tujuan untuk memberikan kemudahan dan keringanan kepada umat, sesuai dengan
kebutuhan.

Maka dari itu, pergantian hukum dalam Al-Qur’an (mansukh) sangat memungkinkan
terjadi, untuk menyesuaikan makna teks dengan situasi dan kondisi seiring dengan
perjalanan waktu dan perkembangan umat dari berbagai aspek. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Thabathaba’i, bahwa setiap teks Al-Qur’an yang diturunkan memiliki
kemaslahatan masing-masing. Ayat-ayat yang dinasakh (mansukh) memiliki
kemaslahatan (kesesuaian) pada masanya, sedangkan ayat-ayat yang menasakh juga
memiliki kemaslahatan tersendiri pada masa setelahnya. Akan tetapi, menetapkan nasikh
dari yang mansukh dalam ayat-ayat Al-Qur’an pada dasarnya di dasarkan pada
pengetahuan yang cermat tentang sejarah azbabun nuzul dan kronologi turunnya ayat, dan
ini bukan masalah mudah, sebagaimana yang dikatakan Ikrimah ketika ditanya oleh
Muhammad bin Sirrin, tentang mengapa para sahabat tidak menyusun Al-Qur’an
berdsarkan kronologi turunya, Ia menjawab: “Andaikata manusia dan jin berkumpul
untuk bersamasama menyusunya dengan cara itu, mereka tidak akan mampu.

Faktor inilah yang menjadikan upaya menetapkan mana yang nasikh dan mana yang
mansukh tidak selalu gampang. Barangkali faktor inilah yang menjadi sebab mengapa
ulama Al-Qur’an belebih-lebihan dalam memberikan contoh-contoh yang mereka
bicarakan dalam masalah ini. Mereka menjadikan setiap perbedaan sebagai satu jenis
naskh. Dan dalam hal ini mereka mencampur adukkan antara sarana-sarana takhshih
kebahasaan dalam satu ayat dengan perubahan hukum karena perubahan situasi dan
kondisi.

Berangkat dari sulitnya menentukan kronologi turunya ayat tersebut, pambahasan nasikh
mansukh selalu kontroversial dikalangan ulama. Silang pendapat mereka tidak hanya
dalam wilayah pro dan kontra tentang adanya ayat-ayat yang dimansukd dalam Al-
Qur’an. Lebih dari itu, mereka juga berselisih dalam menentukan tempat ayat, serta
jumlah ayat-ayat mansukh dalam al-Quran, sekalipun sesama ulama yang pro dengan
adanya konsep nasakh. Sebagaimana yang dikatakan oleh Musthafa Zayd, berdasarkan
penelitiannya tentang jumlah ayat-ayat mansukh bahwa, jumlah ayat-ayat mansukh yang
dikatakan oleh beberapa ulama berbeda-beda, yaitu:

1. Menurut Ibnu Hazm: 214 ayat


2. Menurut An-Nuhas: 134 ayat
3. Menurut Ibnu Salamah dan Al-Ajhuri: 213 ayat
4. Menurut Ibnu Barakat: 210 Ayat
5. Menurut Ibnu Al-Jawzi: 147 Ayat
6. Menurut Abdul Qodir al-Baghdadi: 66 ayat
Secara keseluruhan kalau dijumlahkan ayat yang dimansukh sbanyak 279 ayat, kemudian
s-Suyuthi hanya menyebut 22 ayat. Al-Syauqi 12 ayat, Al-Dihlawi 5 ayat, yang kelima itu
sudah dikompromikan oleh Sayyid Amir Ali.

Perbedaan jumlah tersebut berimbas pada perbedaan tempat ayat yang mereka anggap
mansukh, sehingga ayat yang dianggap nasikh orang satu kalangan, ternyata ditolak oleh
kalangan yang lain, bahkan sebagian ada yang sangat kontradikfif dalam ketentuan
tersebut. Ayat yang dianggap nasikh oleh satu kalangan malah oleh kalangan yang lain
dianggap mansukh. Hal ini karena mereka juga berbeda pendapat tentang orentasi ayat-
ayat nasikh. Sebagaimana yang dikatakan oleh ulama tradisional, bahwa ayat-ayat yang
pesannya tidak terbatas dinasakh oleh ayat-ayat yang terbatas.

Sedangkan ulama yang lain, seperti yang dikatakan oleh Thabathaba‟i, bahwa ayat yang
terbatas dinasakh oleh ayat yang kandungan pesannya tidak terbatas. Hal ini
menunjukkan bahwa permasalahan nasikh mansuk dan al-Quran merupakan
permasalahan yang sangat komplik, baik dari segi perbedaan pendapat mengenai pro dan
kontra adanya nasakh, maupun dalam tataran konsep nasakh.

Kalangan ulama yang menganggap bahwa ada nasikh dalam al-Quran mula-mula
berpegang pada keterangan ayat Makkiyah dan madaniyah.

Sebagian ulama yang lain menganggap bahwa tidak ada nasakh dalam Al-Qur’an, mereka
mengatakan bahwa tidak mungkin firman Allah Swt, bertentangan satu sama lain, ”yang
tidak datang kepadanya (al-Quran) kebathilan baik dari depan maupun dari belakangnya,
yang diturunkan dari sisi Tuhan yang Maha bijaksana lagi Maha terpuji”. (QS. Fussilat:
42).

Secara ringkas, pendapat ulama mengenai adanya nasikh dalam al-Quran dapat
dikelompokkan yaitu :

1. Pendapat orang yahudi mereka tidak mengakui adanya nasakh, karena


menurutnya, nasakh mengandung konsep bada‟ yakni nampak jelas setelah
kabur (tidak jelas). Yang dimaksud mereka adalah nasakh itu ada kalanya
tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi Allah. Dan ada kalanya karena sesuatu
hikmah yang sebelumnya tidak tampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan
yang di dahului oleh ketidak jelasan.
2. Pendapat Syi‟ah Rafidah, mereka sangat berlebihan dalam menetapkan
nasakh dan meluaskannya. Mereka memandang konsep al-bada‟ sebagai
sesuatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, maka posisi
mereka sangat kontradiksi dengan orang yahudi. Mereka mengajukan
argumentasi untuk memperkuat pendapatnya dengan ucapanucapan yang
dinisbatkan kepada Ali ra. Secara dusta dan palsu. Juga dengan firman Allah:
(Al-Baqarah: 269).
3. Pendapat Abu Muslim Al-Ashfahani, menurutnya, secara logika nasakh dapat
saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara‟. Dikatakan pula
bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi nasakh dalam Al-Qur’an berdasarkjan
firman-Nya: (Fussilat: 42).
4. Pendapat Jumhur Ulama, mereka berpendapat bahwa nasakh adalah suatu hal
yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara‟,
berdasarkan dalil-dalil:
5. Perbuatan-perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh
saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu
yang lain. Karena hanya Dialah yang mengetahui kepentingan hamba-
hambanya.
6. Nash-nash kitab dan sunnah menunjukkan kebolehan nasakh dan terjadinya,
antara lain: surat An-Nahl: 101 dan Al-Baqarah: 106. Kemudian dalam hadis
shahih, dari Ibnu Abbas ra, berkata: yang paling paham dan paling menguasai
al-Quran diantara kami adalah Ubai, namun demikian, kami meninggalkan
sebagian kata-katanya karena ia mengatakan: aku tidak akan meninggalkan
sedikitpun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah Saw.
Menurut jumhur yang lebih baik dari padanya, maksudnya adalah kebaikan diantara
hukum-hukum. Yaitu hukum pada An Nasakh itu lebih baik dari pada hukum yang ada
pada Al Mansukh, sesuai dengan waktu dan kepentingannya, dan bukanlah yang di
maksud itu bahwa lafadz sesuatu ayat lebih baik dari pada lafadz yang lain. Kalau
masalahnya terletak dalam hal ini, maka hukum yang ada pada An Nasikh akan selalu
lebih baik dari pada yang ada pada Al Mansukh, baik An Nasikh itu Al Q ur’an maupun
As Sunnah, karena semuanya merupakan bentuk dari dzat Yang Maha Bijaksana lagi
Maha Mengetahui. (Ash Shabuni : 62 ).

Dengan demikian, pemikiran nasakh jelas berpotensi melahirkan kontroversi di kalangan


ulama, karena ayat-ayat yang dimansukh, sangat paradoksal dengan eksistensi Al-Qur’an
sendiri sebagai kitab yang selalu sesuai di setiap ruang dan waktu (shalihu likulli zaman
wa makan), terbukti, adanya ayat mansukh tersebut secara hukum tidak diberlakukan lagi
karena telah diganti dengan hukum dalam ayat yang lain. Di samping itu, dasar hukum
(ayat) yang menegaskan adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an mengandung
pemahaman yang multi tafsir, karena kata ”ayat” yang menjadi dasar tersebut berbentuk
isim Nakirah yang berpotensi melahirkan penafsiran yang variatif. Akibatnya, pemaknaan
terhadap ayat tersebut tidak hanya dapat dipahami secara tekstual, melainkan juga
kontekstual. Kedua cara pemaknaan itu pada akhirnya berimbas pada perbedaan pendapat
dan pandangan di kalangan ulama tafsir.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara bahasa nasakh adalah menghapus, sedangkan mansukh adalah yang dihapus.
Dengan demikian ada dua hal yang terkait yakni Nasikh dan Mansukh. Sedangkan
menurut istilah yang dimksud dengan Nasaikh adalah meñghapuskan suatu ketentuan
hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datangnya kemudian. Atau Iebih jelasnya Nasikh
adalah menghapus/ membatalkan berlakunya sesuatu hukum syara’ yang telah ada oleh
hukum syara’ yang datang kemudian. Sedangkan Mansukh adalah sesuatu ketentuan
hukum syara yang dihapuskan oleh hukum yang datang kemudian itu. Jadi Nasikh berarti
mnghapus sedangkan Mansukh berarti dihapus.

Nasikh memang ada dan terjadi dalam syariat islam, khususnya selama dalam
proses pembentukannya. Tentang ayat-ayat Al-Qur’an dalam mushaf yang seperti
keadaanya yang sekarang ini yakin telah disepakati tidak ada yang mansukh. Bahwa
didalam Al-Qur’an yang ada itu juga terdapat nasikh dan mansukh, hanya saja
kejadiannya adalah di zaman Rasulullah Saw. Lalu apa yang ada di dalam Al-Qur’an
sekarang ini tidak ada lagi nasikh-mansukh, dan tidak akan ada atau terjadi penasakhan di
dalamnya hingga hari kiamat.

B. SARAN
Demikianlah makalah tentang Nasikh dan Mansukh yang telah saya buat, saya
meminta maaf jika ada kesalahan atau kekurangan pada makalah ini, semoga bisa
bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai