Anda di halaman 1dari 17

Ilmu Naskh dan Mansukh

Mata Kuliah : Ulumul Qur’an

Dosen Pengampu : Abdul Qadir HS, M.A

Disusun Oleh:

M.HERWANDHANI

MIFTAHUL JANNAH (200203063)

RAUDHATUL JANNAH (200203037)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR RANIRY

TAHUN 2020/2021
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan makalah berjudul Ilmu Naskh dan Mansukh tepat waktu.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Bapak Abdul Qadir, HS, M.A pada mata
kuliah ulumul Quran. Selain itu, kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah
wawasan bagi teman- teman tentang ilmu Naskh dan Mansukh.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Abdul Qadir, HS.,
M.A selaku dosen mata kuliah. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan
dan wawasan terkait bidang yang kami tekuni. kami juga mengucapkan terima kasih pada
semua pihak yang telah membantu kami.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.

Banda Aceh,28 Desember 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG
Dari awal hingga akhir al- Quran merupakan kesatuan utuh,tak ada pertentangan satu
dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan bagian satu dengan bagian yang lain.
Dari kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama,cukup jelas bagi setiap orang.
Kedua,cukup jelas bagi orang yang bisa berbahasa Arab. Ketiga,cukup jelas bagi ulama/para
ahli dan keempat, hanya Allah yang mengetahui maksudnya.

Allah menurunkan syari’at di dalam Alquran kepada Nabi Muhammad  untuk


memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah, dan muamalah. Tentang bidang ibadah
dan mu’āmalah memilki prinsip yang sama yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan
memelihara keselamatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak
dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti
dengan hukum yang sesiuai dengan tuntutan realitas zaman, waktu, dan kemaslahatan
manusia.

Dalam Al-Quran dijelaskan adanya induk pengertian Hunna umm al-kitab yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus
menjadi landasan pengertian. Sejalan dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu
hukum,hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak ditafsirkan dengan
ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut maupun undang-undang lain yang
sejenisnya yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara ayat yang
satu dengan ayat yang lainnya. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum
Sementara.unsur-unsur bahasa,sistem dan teologi dari teori interpretasi hukum masih
harus dilengkapi dengan satu unsur lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu unsur sejarah
yang melatarbelakangi terbentuknya suatu undang-undang. Dalam ilmu tafsir ada yang
disebut ilmu asbab an-nuzul,yang mempunyai unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini
para mufassir memberi tempat yang cukup tinggi terhadap pengertian ayat al-Quran. Dalam
konteks sejarah yang menyangkut interpretasi itulah kita membicarakan masalah nasikh dan
mansukh. Dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Al-qur’an diturunkan secara
berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu untuk
mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasikh mansukh dalam Al-qur’an.
B.     RUMUSAN MASALAH
Dalam hal ini, masalah yang terpenting untuk kita soroti adalah:
1. Apakah pengertian nasikh dan mansukh?
2. Bagaimana pembagiannya ?
3. Bagaimana urgensi mengetahui nasakh ?
4. Apa saja contoh ayat yang dinasakh?

C. Tujuan

 Untuk mengetahui pengertian nāsikh dan mansūkh.


 Untuk mengetahui pembagian pembagian nāsikh dan mansūkh.
 Untuk mengetahui urgensi dan hikmah dari nāsikh dan mansūkh.
 Untuk mengetahui ayat yang dimansūkh.
BAB II

PEMBAHASAN

A.     Pengertian
Nasikh dan mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi,kata ini dipakai
untuk beberapa pengertian,diantaranya:
a.       Nasikh, dapat bermakna ‘izalah (menghilangkan).
b.      Nasikh dapat bermakna tabdil (mengganti/menukar).
c.       Nasikh dapat bermakna tahwil (memalingkan).
d.      Nasikh dapat bermakna menukilkan dari suatu tempat ke tempat yang lain. 1

Sedangkan Naskh secara istilah : mengangkat (mengahapus) hukum syara’ dengan


dalil/khithab syara’ yang lain”. Maksud mengangkat hukum syara’ adalah terutusnya kitab
hukum yang Mansukh dengan perbuatan mukallaf . Adapun Mansukh secara bahasa dapat
diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan disalin/dinukil. Sedangkan secara istilah Nasakh
dapat didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain:Hukum Syara’ atau dalil Syara’
yang menghapuskan dalil Syara’ terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum baru
yang dibawahnya.Definisi di atas apabila dijelaskan lagi dapat kita tarik beberapa kesimpulan
yakni :

a. Dipastikan Naskh apabila ada 2 (dua) hal yaitu Naskh dan Mansukh

b. Naskh harus turun belakangan dari Mansukh

c. Menilai suatu ayat sebagai penaskh dan yang dinaskhkan apabilan ayat-ayat kontradiktif
itu tidak dapat dikompromikan dan diamalkan secara bersama,sedangkan syarat
kontradiksi;adanya persamaan subjek, objek, waktu dan lainlain.2

d. Al-Nasikh pada hakikatnya adalah Allah, kadang-kadang dimaksud juga dengan ayat yang
menasikh Mansukh. Sedangkan Mansukh hukum yang diangkat atau dihapus5

Dari definisi di atas dijelaskan bahwa komponen Naskh terdiri dari; adanya pernyataan yang
menunjukan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus ada naskh harus ada Mansukh

1 Tengku Mohammad, Ilmu-Ilmu Al-quran


2 Al-Zarqani, Manahil al-irfan fi Ulum al-Qur’an , hlm. 177
dan harus ada yang dibebani hukum atasnya. Mansūkh merupakan hukum yang diangkat atau
yang dihapus.3

Perbedaan terminologis yang ada antara ulama mutaqaddim dan mutaakhir terkait
pada sudut pandangan dari masing-masing kata naskh itu. Ulama mutaqaddim memberi
batasan naskh sebagai dalil syar’i yang ditetapkan kemudian,tidak hanya untuk
ketentuan/hukum yang mencabut ketentuan yang sudah berlaku sebelumnya atau mengubah
ketentuan yang pertama yang dinyatakan berakhir masa masa pemberlakuannya,sejauh
hukum yang tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tetapi juga mencakup
pengertian pembatasan bagi suatu pengertian bebas (muthlaq). Juga dapat mencakup
pengertian pengkhususan (makhasshish) terhadap suatu pengertian pengecualian (istisna). 4

Sementara menurut ulama mutaakhirin, nasakh adalah dalil yang datang kemudian,


berfungsi untuk menggugurkan dan menghilangkan hukum yang pertama.7 Dengan demikian
mereka mempersempit ruang lingkup nasakh dengan beberapa syarat, baik yang menasakh
maupun
yang dinasakh. Lebih lanjut ulama mutaakhirin mendefinisikan nasakh sebagai Mengangkat
(menghapus) hukum syara` dengan dalil hukum (khatab) syara` yang datang kemudian.5

Dengan demikian, mengacu pada definisi Al-Nasakh Wa al-Mansukh di atas baik


secara bahasa maupun istilah pada dasarnya secara eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh
mensyaratkan beberapa hal antara lain :

a.  Hukum yang di Mansukh adalah hukum Syara’. Artinya hukum tersebut bukan hukum
akal atau buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang tertuang
dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa perintah
(Wajib, Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran (Sunah)
b. Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga harus berupa dalil Syara’.

3 Abdul haris, “Nasikh dan Mansukh dalam Alquran”,

4 Abu Anwar, Sebuah Pengantar Ulum Al-quran 


5 Abi Bakar Muhammad ibn Musa al-Hazimi al-Hamdzani, Al-`Itibar fî al-Nasikh wa al-

Mansukh min al-Atsar, (Pakistan: Jami`ah al-Dirasat al-Islamiyyah Karatisyi 1982), hlm. 52


Pendapat Ulama tentang Nasikh  dan Mansukh

Ada tidaknya nasikh dan mansukh dalam  Al-Qur’an sejak dulu menjadi perdebatan


para Ulama, di mana sumber dari pada perdebatan tersebut berawal dari pemahaman mereka
tentang QS. An-Nisaa’ 82:
  Artinya : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya al-Qur'an
itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.
 Kesimpulan dari ayat tersebut mengandung prinsip yang diyakini kebenarannya oleh setiap
muslim namun mereka berbeda pendapat dalam menghadapi ayat-ayat al-Qur’an yang secara
zahir menunjukkan kontradiktif (Abu Anwar, 2002: 54).Dalam  hal ini terbagi dalam empat
golongan:

1. Orang Syi’ah Rafidah, Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan nasakh dan
meluaskannya, mereka mandang konsep al-bada’ yakni suatu yang nampak jelas setelah
kabur (tidak jelas) adalah sebagai suatu hal yang sangat mungkin terjadi bagi Allah SWT.
Mereka sangat kontradiktif dengan orang Yahudi yang tidak mengakui keberadaan nasakh.
Kelompok Syi’ah Rafidah berargumentasi dengan firman Allah SWT dalam ar-Ra’d [13]:39:

          Artinya: “ Allah menghapuskan apa yang ia kehendaki dan menetapkan (apa yang
ia kehendaki).”
Menurut al-Qattan yang dikutip oleh Anwar, bahwa pendapat ini kurang tepat, Allah
menghapuskan sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika
penetapannya mengandung maslahat.

2. Abu Muslim al-Asfahani seorang mufassir Mu’tazilah, tidak setuju adanya naskh, baik
secara garis besar maupun secara terperinci, karena apabila ada ayat yang secara sepintas
dinilai kontradiktif tidak diselesaikan secara naskh tetapi dengan jalan takhsis, sebab al-
Qur,an adalah syari’at yang muhkam tidak ada yang Mansukh. Al-Qur’an menyatakan
dalam  QS Fushshilat: 42:

Artinya :”Tidak datang kepadanya kebathilan al-Qur,an baik dari depan atau belakang yang
diturunkan dari sisi Tuhan yang Maha bijaksana lagi Maha terpuji 
Ayat  di atas yang dijadikan landasan bagi Abu Muslim untuk menyatakan bahwa nasakh
Mansukh tidak ada dalam al-Qur,an, yang ada hanya ‘am- takhshis. Hal ini menghindari
pembatalan hukum yang telah diturunkan oleh Allah karena hal itu mustahil. Jika ada
pembatalan hukum maka akan memunculkan  adanya pemahaman, Allah tidak tahu kejadian
yang akan datang, sehungga Dia perlu mengganti/membatalkan suatu hukum dengan hukum
yang lain. Jika pembatalan hukum itu dilakukan oleh Allah, berarti Dia melakukan kesia-
siaan dan permainan belaka.

3. Pendapat Jumhur Ulama, kelompok ini mengakui adanya nasikh dan mansukh dalam al-
Qur’an dan tetap berlaku, (Mereka berpendapat bahwa Naskh adalah suatu yang dapat
diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum Syara’ berdasarkan dalili-dalil, baik
naqli ataupun aqli (Anwar,..54), Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 106:

 Artinya : “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”

4. Menurut pendapat segolongan Ulama’ bahwa Allah berbuat secara mutlak, artinya bahwa
Allah SWT. dapat berbuat sesuatu dalam waktu tertentu dan dapat melarangnya dalam waktu
tertentu pula (mengikuti kemaslahatan dan menghindari kamudharatan).

B. Pembagian Nasakh dan Mansukh

Pembagian Nasakh dapat diklarifikasikan kepada empat bagian :

1. Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ( Nasakh semacam ini disepakati kebolehannya


oleh para ulama dan telah terjadi secara hukum ), seperti ayat tetang iddah yang
masanya satu tahun menjadi empat bulan sepuluh hari.6 Contoh lainnya ada di Q.S Al-
Anfal ayat 65 ayat al-Qur’an yang di-nasakh dengan al-Qur’an. Allah swt berfirman:

َ‫صابِرُوْ نَ يَ ْغلِبُوْ ا ِمائَتَي ۚ ِْن َواِ ْن يَّ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم ِّمائَةٌ يَّ ْغلِب ُْٓوا اَ ْلفًا ِّمن‬ ِ ۗ ‫ض ْال ُم ْؤ ِمنِ ْينَ َعلَى ْالقِت‬
َ َ‫َال اِ ْن يَّ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم ِع ْشرُوْ ن‬ ٓ
ِ ‫ٰياَيُّهَا النَّبِ ُّي َح ِّر‬
َ‫الَّ ِذ ْينَ َكفَرُوْ ا بِاَنَّهُ ْم قَوْ ٌم اَّل يَ ْفقَهُوْ ن‬

“Wahai Nabi (Muhammad) kobarkanlah semangat para Mukmin untuk berperang.Jika ada
dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus

6 Al-Qaththan, Mahabits fi ‘Ulum Al-Qur’an, hlm. 228.


orang musuh.Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu, niscaya mereka dapat
mengalahkan seribu orang kafir, karena orag-orang kafir itu adalah kaum yang tidak
mengerti.” (QS. al-Anfāl [8]: 65)

Kemudian, ayat di atas di-nasakh dengan al-Qur’an.  Allah swt berfirman:

‫ف يَّ ْغلب ُْٓوا اَ ْلفَيْن با ْذن هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬


ِ ِ ِِ ِ َ ٌ‫ض ْعفً ۗا فَا ِ ْن يَّ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم ِّمائَة‬
ِ ٌ ‫صابِ َرةٌ يَّ ْغلِبُوْ ا ِمائَتَ ْي ۚ ِن َواِ ْن يَّ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم اَ ْل‬ َ ‫ٔـٰٔنَ خَ فَّفَ ُ َع ْن ُك ْم َو َعلِ َم اَ َّن فِ ْي ُك ْم‬Žٰ‫اَ ْل‬
َ‫صبِ ِر ْين‬ ّ ٰ ‫ۗ َوهّٰللا ُ َم َع ال‬

“Sekarang Allah telah meringankan kamu karena, Dia mengetahui bahwa ada kelemahan
padamu. Maka jika di antara kamu ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus (orang musuh); dan jika diantara kamu ada seribu orang (yang sabar),
niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizing Allah. Allah beserta
orang-orang yang sabar.” (Q. S. Al-Anfal (8) : 66)

2. Naskh Al-Qur’an dengan Sunnah. Naskh yang macam ini terbagi menjadi dua. Pertama
naskh Al-Qur’an dengan hadits ahad. Jumhur ulama berpendapat, hadits ahad tidak bisa
menaskhan Al-Qur’an karena Al-Qur’an adalah naskh yang mutawatir, menunjukan
keyakinan tanpa ada praduga atau dugaan padanya, sedangkan hadist ahad adalah naskh yang
bersifat zhanni dan tidak sah pula menghapus suatu yang sudah diketahui dengan suatu yang
sifat dugaan/diduga.7

a).Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir


Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau menyatakan,
“Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…”
Namun Syaekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata, “(Berdasarkan) penelitian,
boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5
kali penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan
Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya.”

b).Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad.Pada bagian ini ulama juga berselisih.
Yang rajih dan terjadi contohnya firman Allah: "Katakanlah: 'Aku tidak mendapati dalam
wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging
7 Al-Qaththan, Mahabits fi ‘Ulum Al-Qur’an, hlm. 237.
babi—karena sesungguhnya semua itu kotor –atau binatang disembelih atas nama selain
Allah." (QS Al An’am: 145)

Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan—pada saat ayat ini
diturunkan—hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, pada saat itu, daging keledai jinak
boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh
hadits-hadits shahih yang datang kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak.
Karena ayat di atas termasuk surat Al-An’am, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun
sebelum hijrah, dengan kesepakatan ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak
dengan Sunnah terjadi setelah itu di Khaibar

3. Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur’an. (Naskh dalam semacam ini disepakati oleh jumhur
ulama, dalam hal ini nabi memerintahkan kaum muslimin dalam menghadap kiblat Baitul
Maqdis kemudian dinaskh oleh Al-Qur’an dalam surat al Baqarah ; 144).8

‫ْث َما ُك ْنتُ ْم فَ َولُّوْ ا ُوجُوْ هَ ُك ْم‬ ُ ‫ط َر ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام ۗ َو َحي‬ ْ ‫ك َش‬ َ َ‫ضىهَا ۖ فَ َو ِّل َوجْ ه‬ ٰ ْ‫ك قِ ْبلَةً تَر‬ َ َّ‫ك فِى ال َّس َم ۤا ۚ ِء فَلَنُ َولِّيَن‬ َ ُّ‫قَ ْد ن َٰرى تَقَل‬
َ ‫ب َوجْ ِه‬
َ‫ق ِم ْن َّربِّ ِه ْم ۗ َو َما هّٰللا ُ بِغَافِ ٍل َع َّما يَ ْع َملُوْ ن‬
ُّ ‫ب لَيَ ْعلَ ُموْ نَ اَنَّهُ ْال َح‬َ ‫ط َر ٗه ۗ َواِ َّن الَّ ِذ ْينَ اُوْ تُوا ْال ِك ٰت‬ْ ‫َش‬

"Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil
Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya." (QS Al-
Baqarah: 144)

4. Naskh as-Sunnah dengan As-Sunnah.


Dalam katagori ini, ulama membolehkan, dengan ketentuan :
- Naskh mutawwatir dengan mutawatir,
- Naskh ahad dengan ahad,
- Naskh ahad dengan mutawatir,
- Naskh mutawatir dengan ahad.9
Contoh: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
ِ ‫ار ِة ْالقُب‬
‫ُورفَ ُزورُوهَا‬ َ َ‫نَهَ ْيتُ ُك ْم َع ْن ِزي‬

8 Al-Qaththan, Mahabits fi ‘Ulum Al-Qur’an, hlm. 229


9 Al-Qaththan, Mahabits fi ‘Ulum Al-Qur’an, hlm. 299.
Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah
(kubur). [HR. Muslim, no: 977] Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-
Qur’an ada nasikh (ayat yang menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh
(ayat yang dihapus) hukumnya atau lafazhnya.

dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga bagian:

1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap


Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak
diamalkan, namun lafazhnya tetap.

Hikmah naskh jenis ini adalah tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan
umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan dimudahkan.

Contohnya firman Allah: "Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk
berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu,
maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang
kafir itu kaum yang tidak mengerti." (QS Al Anfal: 65).

Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200
orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1.000 orang-
orang kafir.

Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya: "Sekarang Allah telah
meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika
ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus
orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan
dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS Al Anfal: 66).
2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap
Al-Aamidi menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan)
tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri
dari kalangan Muktazilah.
Hikmah naskh jenis ini adalah agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu
di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat),
yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an.
Sebagaimana Nabi Ibrahim AS bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap
anaknya, Nabi Ismail, dengan sumber mimpi. Sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah
jalan wahyu kepada para nabi.

Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin. Ia berkata, “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk
menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan
mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda dengan orang-
orang Yahudi yang berusaha menutupi nash rajam di dalam Taurat.”

Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajam. Umar bin Al-Khathab berkata, "Sesungguhnya aku
khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan berkata: “Kita
tidak mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat dengan sebab
meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah, sesungguhnya
rajam adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau
ada kehamilan, atau ada pengakuan.” Sufyan berkata, “Demikianlah yang aku ingat. Ingatlah,
Rasulullah SAW telah melakukan rajam, dan kita telah melakukan rajam setelah beliau.” (HR
Bukhari)
3. Nash Yang Mansukh Hukumnya dan Lafazhnya
Contoh, ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah
berkata, "Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh
kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan,” kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan
“Lima kali penyusuan yang diketahui.” Kemudian Rasulullah SAW wafat dan itu termasuk
yang dibaca di antara Al-Qur’an." (HR Muslim).

Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an” adalah:
• Yaitu: Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak.
• Atau: Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap membacanya.

C. Ugensi mengetahui Nasakh dan Mansukh


Urgensi mengetahui Nasakh dalam Al – Qur’an Ilmu nasakh merupakan suatu
penggalian ajaran dan hukum Islam dalam al-Quran yang sangat penting untuk dapat
mengetahui proses tashri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam yang sejalan dengan
dinamika kebutuhan masyarakatnya yang selalu berubah, sejauhmana suatu elastisitas ajaran
dan hukumnya, serta sejauhmana suatu perubahan hukum itu berlaku. Disamping itu untuk
dapat menelusuri suatu tujuan ajaran, dan illat hukum (alasan ditetapkannya suatu hukum),
sehingga dapat dipastikan bahwa suatu hukum serta ajarannya boleh diberlakukan secara
longgar dan ketat sebagaimana hukum asalnya sesuai kondisi yang mengitarinya atas dasar
tujuan ajaran dan illat hukum tersebut. Adanya nasikh dan mansukh juga tidak dapat
dipisahkan dari sifat turunnya Al-Qur’an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya.
Turunnya Al-Qur’an sebagai kitab suci ummat islam tidak terjadi sekaligus melainkan
berangsur-angsur dalam kurun waktu 20 tahun lebih. Dalam hal ini Syekh al-Qasimi berkata,
sesungguhnya Allah mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses tadarruj (bertahap)
sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-
hukum itu mulanya bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang
lain sehingga bersifat universal.

Perlu diketahui bahwa naskh (penghapusan) adalah undang-undang alami yang lazim,
baik dalam bidang material maupun spiritual. Seperti proses kejadian manusia dari unsur-
unsur sperma dan telur kemudian menjadi janin, lalu berubah menjadi anak dan kemudian
tumbuh menjadi remaja,dewasa hingga orang tua. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam
raya ini tidak lagi diingkari terjadinya,mengapa kita mempersoalkan adanya penghapusan dan
proses pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke yang lebih tinggi?

Hikmah Nasikh dan Mansukh

1. Untuk menunjukkan bahwa syari’at islam adalah syariat yang paling sempurna.
2. Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara
dalam semua keadaan dan disepanjang zaman.
3. Untuk menjaga agar perkembangan hukum islam selalu relavan dengan semua situasi
dan kondisi umat yang mengamalkan,mulai dari yang sederhana sampai ke tingkat
yang sempurna.
4. Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-
penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat,setia mengamalkan hukum-hukum
Allah atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan membangkang.
5. Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan
hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah kepada yang sukar.
6. Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi ummat islam,sebab dalam beberapa
nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna
menikmati kebijaksanaan dan kemurahan Allah swt Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.

D. Contoh ayat yang dinasakh

QS. Al-Baqarah : 240


‫اح َعلَ ْي ُك ْم‬Ž ٍ ‫اج ِهم َّمتَاعًا إِلَى ْال َحوْ ِل َغ ْي َر إِ ْخ َر‬
َ Žَ‫ َرجْ نَ فَالَ ُجن‬Žَ‫إ ِ ْن خ‬Žَ‫اج ف‬ ِ ‫صيَّةً ألَ ْز َو‬
ِ ‫َوالَّ ِذينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِمن ُك ْم َويَ َذرُونَ أَ ْز َواجًا َو‬
-240: ‫َزي ُُز َح ِكي ُُم – البقرة‬ ٍ ‫فِي َما فَ َع ْلنَ فِي أَنفُ ِس ِه َّن ِمن َّم ْعر‬
ِ ‫ُوف َوهللاُ ع‬
Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi bafkah hingga
setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka
pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal)
membiarkan mereka berbuat ma'ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. (QS.Al-Baqarah 2:240)

Dinaskh dengan ayat Al-Baqarah : 234.

‫ا‬ŽŽ‫ا َح َعلَ ْي ُك ْم فِي َم‬ŽŽَ‫َوالَّ ِذينَ يُتَ َوفَّوْ نَ ِمن ُك ْم َويَ َذرُونَ أَ ْز َواجًا يَت ََربَّصْ نَ بِأَنفُ ِس ِه َّن أَرْ بَ َعةَ أَ ْشه ٍُر َو َع ْشرًا فَإ ِ َذا بَلَ ْغنَ أَ َجلَه َُّن فَالَ ُجن‬
– 234 : ‫ البقرة‬- * ‫ُوف َوهللاُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َخبِي ُر‬ ِ ‫فَ َع ْلنَ فِي أَنفُ ِس ِه َّن بِ ْال َم ْعر‬

Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-


isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh
hari. Kemudian apabila telah habis masa 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu(para wali)
memberiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui
apa yang kamu perbuat. ( QS. Al-Baqarah /2:234)

Dan hukum tersebut bagi yang tidak hamil, bagi yang hamil dinaskh denga ayat Al-
Thalaq : 4
‫ال أَ َجلُه َُّن أَن‬Ž ُ َ‫نَ َوأُوْ ال‬Ž ‫ض‬
ِ Ž‫ت ْاألَحْ َم‬ ْ ‫يض ِمن نِّ َسآئِ ُك ْم إِ ِن ارْ تَ ْبتُ ْم فَ ِع َّدتُه َُّن ثَالَثَةُ أَ ْشه ٍُر َواالَّئِى لَ ْم يَ ِح‬
ِ ‫َواالَّئِى يَئِ ْسنَ ِمنَ ْال َم ِح‬
- 4 : ‫ق هللاَ يَجْ َعل لَّهُ ِم ْن أَ ْم ِر ِه يُ ْسرًا – الطالق‬ ِ َّ‫ض ْعنَ ِح ْملَه َُّن َو َمن يَت‬
َ َ‫ي‬
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara perempuan-
perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga
bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya. Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan
baginya kemudahan dalam urusannya. (QS. 65:4)

QS. Al-Baqarah : 185.


‫ا ُكنتُ ْم فَ َولُّوا‬ŽŽ‫ْث َم‬ ْ Ž‫ك َش‬
ُ ‫ َر ِام َو َحي‬Ž‫ ِج ِد ْال َح‬Ž‫ط َر ْال َم ْس‬ َ Žَ‫ َو ِّل َوجْ ه‬Žَ‫اهَا ف‬Ž‫ض‬ َ ْ‫ةً تَر‬Žَ‫ك قِ ْبل‬ َ َّ‫ َمآ ِء فَلَنُ َولِّيَن‬Ž‫الس‬ َ Ž‫ب َوجْ ِه‬
َّ ‫ك فِي‬ َ ُّ‫قَ ْد ن ََرى تَقَل‬
) 144 : ‫ق ِمن َّربِّ ِه ْم َو َما هللاُ بِغَافِ ٍل َع َّما يَ ْع َملُونَ (البقرة‬ َ ‫ط َرهُ َوإِ َّن الَّ ِذينَ أُوتُوا ْال ِكت‬
ُّ ‫َاب لَيَ ْعلَ ُمونَ أَنَّهُ ْال َح‬ ْ ‫ُوجُوهَ ُك ْم َش‬
Artinya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh
Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan
sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil)
memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Rabb-nya;
dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah
/2:144)

BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat kita ketahui bahwa naskh adalah mengangkat
(menghapus) hukum syara’ dengan dalil atau khitab syara’ yang lain. Dalam Naskh
diperlukan syarat, yaitu hukum yang Mansukh adalah syara’ dalil penghapusan hukum
tersebut adalah khitab syar’I yang datang lebih kemudian dari khitab yang di Mansukh, dam
khitab yang dihapus dan diangakat hukumnya tidak terikat atau dibatasi dengan waktu
tertentu. Dalam hal ini naskh dalam alqur’an dapat dbagi tiga bagian, nash AlQur’an dengan
Al-Qur’an, Naskh Al-Qur’an dengan sunnah dan naskh alqur,an dengan sunnah.
Nasikh menurut bahasa yaitu mengaitkan kepada arti yang hilang. Nasikh mengandung
beberapa makna yaitu: menghilangkan, mengganti, memalingkan, dan menukilkan.
Sedangkan menurut istilah, ialah membuang hukum syar’i dengan kitab syar’i. Ulama’
mutaqoddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar’i yang ditetapkan kemudian, tidak
hanya untuk ketentuan-ketentuan hukum, tapi juga mencakup pengertian pembatasan bagi
suatu pengertian bebas. Sebaliknya ulama’ mutaakhir memperciut batasan-batasan pengertian
tersebut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh, mukhossim, dan muqoyyid sehingga
pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang kemudian.
Adapun bagaimana cara mengetahui nasikh  adalah harus melalui banyak jalan,
diantaranya: naskh yang sharih dari Rosulullah SAW, keterangan para sahabat, perlawqanan
yang tidak dapat dikompromikan, serta diketahui tarih turunnya ayat-ayat itu. Masalah nasikh
bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang berada dalam disiplin ilmu
tafsir dan ilmu ushul fiqih.

Daftar Pustaka
- http://makalahkampus15.blogspot.com/2017/10/makalah-studi-quran-nasikh-dan-
mansukh.html
- https://www.binaaku.web.id/2012/08/makalah-nasikh-wal-mansukh.html
- http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:_fNX6_wfD-
UJ:a2dcollection.blogspot.com/2018/03/nasikh-mansukh-dan-
urgensinya.html+&cd=8&hl=en&ct=clnk&gl=id
- http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:L0j_9VLkxuoJ:khaidirsyafruddin.blogspot.com/2013/02/babi-pendahuluan-
a.html+&cd=2&hl=en&ct=clnk&gl=id
- https://almanhaj.or.id/3087-nasikh-dan-mansukh.html

Anda mungkin juga menyukai