Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“MANSUKH”

Tugas ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama
Dosen Pengampu : Dr.H. Abdurrohim.,M.Pd

Disusun Oleh Kelompok 2:


Abir Syarifatur Ramadhan (2010631030042)
Dahlia Hafsari Soleiman (2010631030067)
Reni Rianti Prastiti (2010631030116)
Julianti Pratiwi (2010631030150)
Andien Noveliana (2010631030155)
Andre Hendro Wijaya (2010631030156)
Mugi Restu Sukarya (2010631030163)
Muhamad Rizhan Zulbahri (2010631030165)
Kelas : 2A Akuntansi

PROGRAM STUDI S-1 AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
limpahan kenikmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktu yang ditentukan. Shalawat dan salam semoga elalu dilimpahkan
kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW. Makalah yang berjudul
“Mansukh” ini disusun guna memenuhi tugas yang diberikan oleh Bapak Dr.H.
Abdurrohim.,M.Pd dari mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Tak lupa ucapan terimakasih kami ucapkan kepada semua pihak yang
telah membantu kami sehingga makalah kami dapat terselesaikan dengan baik.
Kami selaku penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna baik
dalam segi bahasa, penyusunan, maupun pengetikannya, untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran untuk kami terkait makalah ini agar kami bisa
menyusun makalah lebih baik lagi.
Semoga dalam makalah ini para pembaca dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan dan diharapkan kritik yang membangun dari para pembaca guna
memperbaiki kesalahan sebagaimana mestinya.

Karawang, 10 Juni 2021

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang pertama bagi umat Islam,
sehingga diyakini oleh setiap Muslim yang bersifat abadi dan universal.
Pernyataan tersebut disepakati semua ulama. Abadi berarti terus berlaku
sampai akhir zaman. Sedangkan universal berarti syari’atnya berlaku untuk
seluruh dunia tanpa memandang perbedaan struktur etnis dan geografis.
Hanya saja, dalam menjabarkan arti abadi dan universal itu menjadi bahan
diskusi para ulama karena adanya perbedaan masalah yang mereka tekankan.
Sebagian dari mereka melihat bahwa faktor kesucian al-Qur’an yang paling
menonjol sedangkan yang lainnya melihat faktor kelanggengan al-Qur’an
dalam menjawab setiap tuntutan situasi dan kondisi
Dalam Ulumul al-Qur’an yang mengundang perdebatan para ulama adalah
mengenai nāsikh mansūkh. Perbedaan pendapat para ulama dalam
menetapkan ada atau tidak adanya ayat-ayat mansūkh (dihapus) dalam al-
Qur’an, antara lain disebabkan adanya ayat-ayat yang tampak kontradiksi bila
dilihat dari lahirnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa di antara yat-ayat
tersebut, ada yang tidak bisa dikompromikan. Oleh karena itu, mereka
menerima teori nāsikh (penghapusan) dalam al-Qur’an. Sebaliknya, bagi para
ulama yang berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut keseluruhannya bisa
dikompromikan, tidak mengakui teori penghapusan itu
Banyak sekali kalangan-kalangan yang membincangkan masalah adanya
nāsikh mansūkh diantaranya kalangan ahli hukum Islam tradisional maupun
kontemporer. Tidak hanya diperbincangkan, namun keberadaannya dianggap
begitu penting dalam memahami dan menafsirkan hukum-hukum dalam al-
Qur’an. Begitu pentingnya, bahkan teori abrogation ini juga digunakan oleh
para pakar hermeneutik dalam menghadapi ayat-ayat hukum yang tampak
kontradiktif, dengan dasar keyakinan bahwa tidak ada satupun pertentangan
dalam al-Qur’an.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah antara lain
sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud Nasikh Mansukh?
2. Apa saja Rukun dan Syarat Nasikh?
3. Apa contoh ayat Nasikh Mansukh?
4. Apa perbedaan pendapat para Ulama?
5. Apa saja yang bisa dijadikan hikmah dalam mempelajari Nasikh
Mansukh?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan Rumusan Masalah di atas, tujuan penulisan makalah antara
lain sebagai berikut.
1. Mengetahui pengertian dari Nasikh Mansukh.
2. Mengetahui Rukun dan Syarat Nasikh.
3. Mengetahui contoh ayat Nasikh Mansukh.
4. Mengetahui serta memahami perbedaan pendapat para Ulama.
5. Mengetahui hikmah mempelajari Nasikh Mansukh.
1.4 Manfaat Penulisan
Berdasarkan Tujuan Penulisan di atas, manfaat penulisan makalah antara
lain sebagai berikut.
1. Manfaat bagi pembuat yaitu menambah wawasan dan pengetahuan
terhadap Nasikh dan Mansukh.
2. Manfaat bagi pembaca yaitu mendapatkan informasi terkait Nasikh
dan Mansukh.
3. Manfaat bagi bidang keilmuan dan referensi baca.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Nasikh Mansukh
Pengertian nasakh secara etimologi (bahasa) ini terjadi perbedaan
pendapat menurut para Ulama’ karena kata tersebut memang memiliki arti
lebih dari satu (Subhi Al-Shalih, tt: 259-260), di antaranya: (1) al-Izaalah
artinya menghilangkan atau meniadakan; (2) al-Tahwîlartinya pengalihan,
“At-tahwîl ma’a baqaaihi fi Nafsihi, Yakni: Nasakh itu berarti memindahkan
sesuatu barang dari suatu tempat ketempat lain, tetapi barang itu tetap sama
saja; (3) al-Naql yang berarti menyalin/mengutip; (4) al-Tabdîl yang artinya
mengubah dan membatalkan, “Al-taghyîr wa ibthal wa Iqaamah al-syai’
maqamahu”(bahwa mengubah/membatalkan sesuatu yang lain sebagai
gantinya).
Secara Terminologi, Wahbah al-Dzuhaily (2001: 962) mendefinisikan
naskh adalah menghapus hukum syar’i dengan dalil yang datang kemudian.
Lengkapnya, nasakh ialah menghapuskan hukum syara’ dengan memakai dalil
syara’ dengan adamya tenggang waktu, dengan catatan kalau sekiranya tidak
ada nasakh itu tentulah hukum yang pertama itu tetap berlaku.
Nasihk menurut bahasa artinya sama dengan Nasakh, hanya saja bedanya
Naskh itu kata Masdar sedangkan Nasikh adalah isim fa’il yang berarti
pelakunya. Sedangkan menurut istilah,ada dua macam (A. Abdul Djalal, 2008:
120-121); (1) Nasikh adalah hukum Syara’ atau dalil syara’ yang
menghapuskan/mengubah hukum/dalil syara’ yang terdahulu dan
menggantinya dengan ketentuan hukum yang baru yang di bawahnya. Nasikh
itu ialah Allah SWT. Artinya, bahwa sebenarnya yang menghapus dan
menggantikan hukum-hukum syara’ itu adalah Allah.
Adapun Mansukh menurut bahasa, berarti sesuatu yang dihapus/
dihilangkan/ dipindah atau disalin/dinukil. Sedangkan menurut istilah,
Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama,
yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil
syara’ baru yang datang kemudian (Djalal, 120-121).
Pedoman untuk mengetahui naskh dan Mansukh ada beberapa cara
berikut.
1. Ada keterangan pegas pentransimisian yang jelas dari Nabi SAW.
2. Konsensus (Ijma) umat bahwa ayat ini naskh dan ayat Mansukh.
3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang belakangan
berdasarkan histori.
2.2 Rukun dan Syarat
Sesuai dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum, hubungan
antara ketentuan hukum satu dengan yang lainnya harus benar-benar
diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat
lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, ada beberapa rukun dan syarat yang
harus diterapkan:
1. Rukun Nasikh
a) Adat naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan
hukum yang telah ada.
b) Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada.
Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang
membuat hukum dan menghapusnya.
c) Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, yang dihapuskan, atau
dipindahkan.
d) Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
2. Syarat-Syarat Nasikh Mansukh
a) Yang dimansukhkan adalah hukum syara’
b) Dalil yang menghapus hukum syara’ tersebut harus berupa dalil
syara’ seperti Al-Qur’an, hadist, Ijma’ dan Qiyas. Hal ini sesuai
dengan firman Allah pada surat an-Nisa’ ayat 59.
c) Adanya tenggang waktu antara nasakh dan mansukh dalam satu ayat
atau dalil pertama dan kedua datang berurut (gandeng ayat).
Contoh :
‫يام‬NN‫ ثم اتموالص‬bukan merupakan mansukh dari kalimat ‫( إلى الليل‬yang
dianggap nasikh). Kalau ditemukan ada kalimat antara nasakh dan
mansukh dalam satu kalimat yang harus dilihat adalah apakah kalimat
tersebut termasuk kalimat berita berarti kalimat tersebut bukanlah
nasakh melainkan takhsis.
d) Antara dua dalil nasakh dan mansukh adanya pertentangan nyata,
sehingga kedua dalil tersebut tidak bisa dikompromikan.
3. Syarat Nasikh
Sebagaiman telah dibahas diatas, bahwa jumhur mengakui kebenaran
nasakh dalam al-qur’an, namun harus memenuhi beberapa persyaratan.
Syarat-syarat tersebut ada yang disepakati dan ada yang tidak.
Diantara syarat-syarat yang disepakati antara lain:
a) Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
b) Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’
c) Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu
pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban
berpuasa, tidak berarti dinasakh setelah selesai melaksanakan puasa
tersebut.
d) Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian.
Adapun persyaratan yang diperselisihkan, antara lain:
a) Alasan yang dikemukakan oleh Mu’tazilah dan sebagian Hanafiyah
yang menyatakan bahwa hukum yang dinasakh itu pernah
dilaksanakan, atau syara’ telah memberi kesempatan untuk
melaksanakan hukum tersebut, yang menunjukkan bahwa hukum itu
baik.
b) Golongan Mu’tazilah dan Maturidiyah berpendapat bahwa
disyaratkan hukum yang dinasakh itu haruslah ditujukan untuk
sesuatu yang baik yang diterima akal pembatalannya. Syarat tersebut
tidak diterima Jumhur dengan alasan bahwa baik dan buruknya suatu
perbuatan itu ditentukan oleh syara’ bukan oleh akal.
c) Sebagian ulama ushul fiqih mensyaratkan adanya pengganti terhadap
hukum yang dibatalkan. Mereka beralasan dengan firman Allah surat
al-baqarah ayat 2.
d) Sebagian ahli ushul dari golongan Hanafiyah mensyaratkan bahwa
apabila akan menasakh terhadap nash al-qur’an atau hadis yang
mutawatir, maka nasikh itu harus sederajat, tidak boleh yang
kualitasnya lebih rendah, seperti menasakh hadis mutawatir dengan
hadis ahad.
2.3 Contoh ayat
Pertama : Macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh
(dihapus) ada tiga bagian:
1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap.
Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i
dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap.
Hikmah naskh jenis ini adalah: tetapnya pahala membaca ayat tersebut
dan mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum
yang diringankan dan dimudahkan.
Contohnya firman Allah Azza wa Jalla.
َ ٰ َ‫ض ۡٱل ُم ۡؤ ِمنِينَ َعلَى ۡٱلقِتَا ۚ ِل إِن يَ ُكن ِّمن ُكمۡ ِع ۡشرُون‬
ْ ‫صبِرُونَ يَ ۡغلِب‬
‫اْئَت َۡي ۚ ِن َوإِن يَ ُكن‬NN‫ُوا ِم‬ ٓ
ِ ِّ‫ٰيَأَيُّهَا ٱلنَّبِ ُّي َحر‬
ْ ‫َة يَ ۡغلِب ُٓو ْا أَ ۡل ٗفا ِّمنَ ٱلَّ ِذينَ َكفَر‬ٞ ‫ِّمن ُكم ِّماْئ‬
)٦٥( . َ‫م اَّل يَ ۡفقَهُون‬ٞ ‫ُوا بِأَنَّهُمۡ قَ ۡو‬
Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang.
Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka
dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.
Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka
dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan
orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. [Al Anfal :65]
Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam
berperang menghadapi 200 orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100
umat Islam berperang menghadapi 1000 orang-orang kafir.
Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.
ْ Nُ‫ة يَ ۡغلِب‬ٞ ‫ابِ َر‬N‫ص‬
‫اْئَت َۡي ۚ ِن َوإِن يَ ُكن‬NN‫وا ِم‬N َ ‫ة‬Nٞ Nَ‫إِن يَ ُكن ِّمن ُكم ِّماْئ‬N َ‫ ۡع ٗف ۚا ف‬N ‫ض‬ َ ۡ‫ٔـ ََٰٔنَ خَ فَّفَ ٱهَّلل ُ عَن ُكمۡ َو َعلِ َم أَ َّن فِي ُكم‬Nٰ‫ۡٱل‬
)٦٦(. َ‫صبِ ِرين‬ َّ ٰ ‫ف يَ ۡغلِب ُٓو ْا أَ ۡلفَ ۡي ِن بِإ ِ ۡذ ِن ٱهَّلل ۗ ِ َوٱهَّلل ُ َم َع ٱل‬
ٞ ‫ِّمن ُكمۡ أَ ۡل‬
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah
mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu
seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus
orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya
mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-
orang yang sabar. [Al Anfal :66]
Abdullah bin Abbas berkata:
َ‫لِ ِمينَ ِحين‬N‫ك َعلَى ْال ُم ْس‬ َّ N‫ائَتَ ْي ِن ) َش‬N‫وا ِم‬NNُ‫ابِرُونَ يَ ْغلِب‬N‫ص‬
َ Nِ‫ق َذل‬ َ َ‫رُون‬N‫ت ( إِ ْن يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِع ْش‬ ْ َ‫لَ َّما نَزَ ل‬
‫ا َل ( اآْل نَ َخفَّفَ هَّللا ُ َع ْن ُك ْم َو َعلِ َم أَ َّن‬NNَ‫فُ فَق‬NN‫ ا َء التَّ ْخفِي‬N‫ َر ٍة فَ َج‬N‫َش‬
َ ‫ ٌد ِم ْن ع‬N‫ َّر َوا ِح‬Nِ‫ض َعلَ ْي ِه ْم أَ ْن اَل يَف‬ َ ‫فُ ِر‬
‫ص‬ َ َ‫ َّد ِة نَق‬N‫ال فَلَ َّما خَ فَّفَ هَّللا ُ َع ْنهُ ْم ِمنَ ْال ِع‬N َ ٌ‫فِي ُك ْم ضُ ْعفًا فَإ ِ ْن يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِمائَة‬
َ Nَ‫صابِ َرةٌ يَ ْغلِبُوا ِمائَتَ ْي ِن ) ق‬
‫صب ِْر بِقَ ْد ِر َما ُخفِّفَ َع ْنهُ ْم‬ َّ ‫ِمنَ ال‬
Ketika turun (firman Allah): “Jika ada dua puluh orang yang sabar
diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang
musuh” (Al-Anfal: 65), hal itu berat atas umat Islam, yaitu ketika
diwajibkan atas mereka, bahwa satu orang tidak boleh lari menghadapi
10 (musuh).
Kemudian datanglah keringanan, Allah berfirman: “Sekarang Allah
telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa
ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar,
niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.” (Al-Anfal: 66)
Ketika Allah telah meringankan dari mereka jumlah (musuh yang
wajib dihadapi-red), kesabaranpun berkurang seukuran apa yang Allah
telah meringankan dari mereka”. [HR. Bukhari, no: 4653]
Inilah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan
mansukhnya hukum dalam ayat 65 surat Al-Anfal di atas, selain dari
Ibnu Abbas, juga diriwayatkan dari Mujahid, Atho’, ‘Ikrimah, Al-
Hasan Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho Al-Khurosani, Adh-Dhohhak,
dan lainnya.
2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap.
Al-Aamidi rahimahullah menyatakan bahwa ulama telah bersepakat
atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh
hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari
kalangan Mu’tazilah.
Hikmah naskh jenis ini adalah: agar kadar ketaatan umat kepada Allah
menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari
sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-
Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an.
Sebagaimana Nabi Ibrahim Alaihissallam bersegera akan
melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Isma’il, dengan
sumber mimpi, sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah jalan
wahyu kepada para nabi. Wallahu a’lam. Selain itu, di antara
hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata: “Hikmah naskh
lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap
amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan
mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Allah turunkan.
Berbeda dengan orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi nash
rajm di dalam Taurat”.
Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajm Umar bin Al-Khathab berkata:
ِ ْ‫ر‬NNَ‫لُّوا بِت‬N‫ض‬
‫ك‬ ِ َ‫ب هَّللا ِ فَي‬ ِ ‫ا‬NNَ‫ان َحتَّى يَقُو َل قَائِ ٌل اَل ن َِج ُد الرَّجْ َم فِي ِكت‬ ِ َّ‫يت أَ ْن يَطُو َل بِالن‬
ٌ ‫اس َز َم‬ ُ ‫لَقَ ْد خَ ِش‬
‫ ُل‬Nَ‫انَ ْال َحب‬NN‫ةُ أَوْ َك‬Nَ‫ت ْالبَيِّن‬ َ ْ‫ق َعلَى َم ْن زَ نَى َوقَ ْد أَح‬
ِ ‫صنَ ِإ َذا قَا َم‬ ٌّ ‫ض ٍة أَ ْن َزلَهَا هَّللا ُ أَاَل َوإِ َّن الرَّجْ َم َح‬
َ ‫فَ ِري‬
َ ِ ‫ت أَاَل َوقَ ْد َر َج َم َرسُو ُل هَّللا‬
ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َو َر َج ْمنَا بَ ْع َده‬ ْ ِ‫أَ ِو ااِل ْعتِ َرافُ قَا َل ُس ْفيَانُ َك َذا َحف‬
ُ ‫ظ‬
Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia
sehingga seseorang akan berkata: “Kita tidak mendapati rajm di dalam
kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat dengan sebab
meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah.
Ingatlah, sesungguhnya rajm adalah haq atas orang yang berzina dan
dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau ada
pengakuan”. Sufyan berkata: “Demikianalh yang aku ingat”. “Ingatlah,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan rajm, dan
kita telah melakukan rajm setelah beliau”. [HR. Bukhari, no: 6829;
Muslim, no: 1691; dan lainnya]
Adapun lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan
bunyi:
ِ ‫ال َّش ْي ُخ َوال َّش ْي َخةُ ِإ َذا زَ نَيَا فَارْ ُج ُموهُ َما ْالبَتَّةَ نَ َكاالً ِمنَ هللاِ َو هللاُ ع‬
‫َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬
Laki-laki yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) dan wanita
yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) jika berzina, maka
rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang
mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha
Bijaksana. [Lihat Fathul Bari, 12/169, Darul Hadits, Kairo, cet: 1, th:
1419 H / 1998 M, syarh hadits no: 6829]
3. Nash Yang Mansukh Hukumnya Dan Lafazhnya.
Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan
pernikahan. Aisyah berkata:
ٍ ‫ا‬NN‫س َم ْعلُو َم‬
‫ ُوفِّ َي‬Nُ‫ت فَت‬ ٍ ‫ ْخنَ بِ َخ ْم‬N‫ت يُ َح ِّر ْمنَ ثُ َّم نُ ِس‬ ٍ ‫ت َم ْعلُو َما‬ َ ‫َكانَ فِي َما أُ ْن ِز َل ِمنَ ْالقُرْ آ ِن َع ْش ُر َر‬
ٍ ‫ض َعا‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َوه َُّن فِي َما يُ ْق َرأُ ِمنَ ْالقُرْ آ ِن‬
َ ِ ‫َرسُو ُل هَّللا‬
Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah:
“Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan”, kemudian
itu dinaskh (dihapuskan) dengan: “Lima kali penyusuan yang
diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat
dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR. Muslim, no:
1452]
Makna perkataan ‘Aisyah “dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-
Qur’an” adalah: • Yaitu : Dibaca hukumnya, namun lafazhnya tidak. •
Atau : Orang yang belum kesampaian naskh bacaannya, masih tetap
membacanya.
Kedua : Macam-macam naskh dilihat dari nash yang naasikh (menghapus)
–secara ringkas- ada empat bagian:
1. Al-Qur’an Dimansukh Dengan Al-Qur’an.
Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama’, adapun orang yang
beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka
perkataannya tidak dianggap. Contohnya adalah ayat 65, yang
mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal, sebagaimana telah kami
sampaikan di atas.
Contoh lain: firman Allah Azza wa Jalla.
ۚ
‫إِن‬Nَ‫ ۚ ُر ف‬Nَ‫ر لَّ ُكمۡ َوأَ ۡطه‬ٞ N‫خَي‬
ۡ ‫ك‬ َ ِ‫ص َدقَ ٗة ٰ َذل‬ ْ ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا إِ َذا ٰنَ َج ۡيتُ ُم ٱل َّرسُو َل فَقَ ِّد ُم‬
َ ۡ‫وا بَ ۡينَ يَد َۡي ن َۡج َو ٰى ُكم‬
)١٢( ‫َّحي ٌم‬ ِ ‫ور ر‬ ْ ‫لَّمۡ تَ ِجد‬
ٞ ُ‫ُوا فَإ ِ َّن ٱهَّلل َ َغف‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan
pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan
sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang
demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu
tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al Mujadilah :12]
Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum
berbisik-bisik dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan
kewajiban tersebut.
Lihat hal ini dalam Tafsir Ibnu Katsir. Allah Azza wa Jalla firmanNya:
َ‫لَ ٰوة‬N‫ٱلص‬ ْ ‫أَقِي ُم‬NNَ‫اب ٱهَّلل ُ َعلَ ۡي ُكمۡ ف‬N
َّ ‫وا‬ َ Nَ‫وا َوت‬N ٖ ۚ َ‫ َد ٰق‬N‫ص‬
ْ ُ‫إ ِ ۡذ لَمۡ ت َۡف َعل‬Nَ‫ت ف‬ َ ۡ‫َج َو ٰى ُكم‬ ْ ‫ ِّد ُم‬Nَ‫فَ ۡقتُمۡ أَن تُق‬N‫َءأَ ۡش‬
Nۡ ‫د َۡي ن‬Nَ‫وا بَ ۡينَ ي‬
)١٣( . َ‫ُوا ٱهَّلل َ َو َرسُولَ ۚۥهُ َوٱهَّلل ُ خَ بِي ۢ ُر بِ َما ت َۡع َملُون‬
ْ ‫وا ٱل َّز َك ٰوةَ َوأَ ِطيع‬
ْ ُ‫َو َءات‬
Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan
sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada
memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al
Mujadilah:13]
2. Al-Qur’an Dimansukh Dengan As-Sunnah.
Pada jenis ini ada dua bagian:
a) Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir.
Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad
rahimahullah bahwa beliau menyatakan: “Al-Qur’an tidak dinaskh
(dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…”.
Namun Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah
berkata: “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an
dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali
penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan
Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya”.
b) Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad.
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih –wallohu a’lam- hal
ini ada dan terjadi. Contohnya: Firman Allah Azza wa Jalla.
‫طا ِع ٖم يَ ۡط َع ُم ٓۥهُ إِٓاَّل أَن يَ ُكونَ َم ۡيتَةً أَ ۡو د َٗما َّم ۡسفُوحًا أَ ۡو لَ ۡح َم‬
َ ‫ي ُم َح َّر ًما َعلَ ٰى‬ ِ ُ‫قُل ٓاَّل أَ ِج ُد فِي َمٓا أ‬
َّ َ‫وح َي إِل‬
ٞ Nُ‫ك َغف‬ ُ ۡ ‫ ِر ٱهَّلل ِ بِ ِۚۦه فَ َم ِن‬N‫ َّل لِغ َۡي‬N‫ير فَإِنَّهۥُ ِر ۡجسٌ أَ ۡو فِ ۡسقًا أُ ِه‬
‫ور‬N َ َّ‫إ ِ َّن َرب‬Nَ‫اد ف‬N ٖ Nَ‫ َر ب‬N‫ط َّر غ َۡي‬N‫ٱض‬
ٖ N‫اغ َواَل َع‬N ٖ ‫نز‬
ِ ‫ِخ‬
)١٤٥( .‫أيها‬- ‫يم قل‬ٞ ‫َّر ِح‬
Katakanlah:”Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang
hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah
yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu
kotor – atau binatang disembelih atas nama selain Allah. [Al An’am :
145]
Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan -di saat ayat
ini diturunkan- hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, di saat itu,
daging keledai jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian
kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang
datang kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak. Karena
ayat di atas termasuk surat Al-An’am, yang merupakan surat
Makiyyah, yang turun sebelum hijroh, dengan kesepakatan ulama.
Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi
setelah itu di Khoibar.
ِ َ‫ا َل أُ ِكل‬NNَ‫ ا ٍء فَق‬N‫ ا َءهُ َج‬N‫لَّ َم َج‬N‫ ِه َو َس‬N‫لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬N‫ص‬
‫ت‬ َ ِ ‫ضي هَّللا ُ َع ْنهُ أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬ ِ ‫ع َْن أَن‬
ٍ ِ‫َس ْب ِن َمال‬
ِ ‫ك َر‬
ِ َ‫ال أُ ْفنِي‬N
‫ادَى فِي‬NNَ‫ا فَن‬NNً‫أ َ َم َر ُمنَا ِدي‬NNَ‫ ُر ف‬N‫ت ْال ُح ُم‬ ِ َ‫ْال ُح ُم ُر ثُ َّم َجا َءهُ َجا ٍء فَقَا َل أُ ِكل‬
َ Nَ‫ ا ٍء فَق‬N‫ت ْال ُح ُم ُر ثُ َّم َجا َءهُ َج‬
ِ َ‫ُوم ْال ُح ُم ِر اأْل َ ْهلِيَّ ِة فَإِنَّهَا ِرجْ سٌ فَأ ُ ْكفِئ‬
‫و ُر‬NNُ‫ت ْالقُدُو ُر َوإِنَّهَا لَتَف‬ ِ ‫اس إِ َّن هَّللا َ َو َرسُولَهُ يَ ْنهَيَانِ ُك ْم ع َْن لُح‬
ِ َّ‫الن‬
‫بِاللَّحْ ِم‬
Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
didatangi oleh seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-
keledai telah dimakan”. Kemudian datang lagi kepada beliau seseorang
yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”.
Kemudian datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu
mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian beliau
memerintahkan seorang penyeru, lalu dia menyeru di kalangan orang
banyak: “Sesungguhnya Alloh dan RasulNya melarang kamu dari
daging keledai jinak, sesungguhnya ia kotor/najis”. Maka periuk-
periuk dibalikkan, sedangkan periuk-periuk itu mendidih (berisi)
daging (keledai jinak).
Antara ayat di atas dengan hadits yang mengharamkan daging keledai
jinak tidak bertentangan, karena waktu keduanya berbeda. Di saat ayat
di atas turun, daging keledai jinak halal, karena yang diharamkan
hanyalah empat jenis makanan. Kemudian setelah itu datang
pengharaman daging keledai jinak. [Mudzakiroh, hal: 153-155]
3. As-Sunnah Dimansukh Dengan Al-Qur’an.
Contoh jenis ini adalah: syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis,
yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskannya dengan firman Allah
Azza wa Jalla.
‫ َر ۚ ِام‬N‫ ِج ِد ۡٱل َح‬N‫ ۡط َر ۡٱل َم ۡس‬N‫كَ َش‬NNَ‫و ِّل َو ۡجه‬N َ Nَ‫ ٰىهَ ۚا ف‬N‫ض‬َ ‫ة ت َۡر‬Nٗ Nَ‫ك قِ ۡبل‬
َ َّ‫ َمٓا ۖ ِء فَلَنُ َولِّيَن‬N‫ٱلس‬ َ N‫ب َو ۡج ِه‬
َّ ‫ك فِي‬ َ ُّ‫ر ٰى تَقَل‬N
َ Nَ‫قَ ۡد ن‬
‫ا‬NN‫ق ِمن َّربِّ ِهمۡۗ َو َم‬ ُّ N‫ونَ أَنَّهُ ۡٱل َح‬NN‫ب لَيَ ۡعلَ ُم‬ َ َ‫وا ۡٱل ِك ٰت‬N
ْ Nُ‫وا ُوجُوهَ ُكمۡ َش ۡط َر ۗهۥُ َوإِ َّن ٱلَّ ِذينَ أُوت‬ ْ ُّ‫ث َما ُكنتُمۡ فَ َول‬ ُ ‫َو َح ۡي‬
)١٤٤( . َ‫ٱهَّلل ُ بِ ٰ َغفِ ٍل َع َّما يَ ۡع َملُون‬
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka
sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja
kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. [Al Baqarah :144]
4. As-Sunnah Dimansukh Dengan As-Sunnah
Contoh: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
ِ ‫نَهَ ْيتُ ُك ْم ع َْن ِزيَا َر ِة ْالقُب‬
‫ُور فَ ُزورُوهَا‬
Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang
hendaklah kamu berziarah (kubur). [HR. Muslim, no: 977]
Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada
nasikh (ayat yang menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan
mansukh (ayat yang dihapus) hukumnya atau lafazhnya.
2.4 Perbedaan Pendapat Ulama
Ada tidaknya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur'an sejak dulu menjadi
motivasi para Ulama, di mana sumber dari permulaan tersebut berawal dari
pemahaman mereka tentang QS. An-Nisa' 82 :
ٗ ِ‫ٱختِ ٰلَ ٗفا َكث‬
‫يرا‬ ْ ‫أَفَاَل يَتَ َدبَّرُونَ ۡٱلقُ ۡر َء ۚانَ َولَ ۡو َكانَ ِم ۡن ِعن ِد غ َۡي ِر ٱهَّلل ِ لَ َو َجد‬
ۡ ‫ُوا فِي ِه‬
Artinya : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau
kiranya a l - Qur'an itu Allah, tentulah mereka bukan mendapat yang banyak
di dalamnya.”
Kesimpulan dari ayat tersebut mengandung prinsip yang diyakini
kebenarannya oleh setiap muslim namun mereka berbeda pendapat dalam
menghadapi ayat-ayat al-Qur'an yang secara zahir menunjukkan (Abu Anwar,
2002: 54).
Dalam hal ini terbagi dalam empat golongan:
1. Orang Syi'ah Rafidah, Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan
nasakh dan meluaskannya, mereka mandang konsep al-bada' yakni
suatu yang tampak jelas setelah kabur (tidak jelas) adalah sebagai
suatu hal yang sangat mungkin terjadi bagi Allah SWT. Mereka
sangat kontradiktif dengan orang Yahudi yang tidak mengakui
keberadaan nasakh. Kelompok Syi'ah Rafidah berargumentasi
dengan firman Allah SWT dalam ar-Ra'd [13]:39 :
‫ب‬ ُ ۖ ِ‫ُوا ٱهَّلل ُ َما يَ َشٓا ُء َوي ُۡثب‬
ِ َ‫ت َو ِعن َد ٓۥهُ أُ ُّم ۡٱل ِك ٰت‬ ْ ‫يَمۡ ح‬
Artinya: “Allah menghapuskan apa yang ia kehendaki dan
menetapkan (apa yang iai).”
Menurut al-Qattan yang dikutip oleh Anwar, bahwa pendapat ini
kurang tepat, Allah menghapuskan sesuatu yang perlu dihapuskan
dan menetapkan penetapannya mengandung maslahat.
2. Abu Muslim al-Asfahani seorang mufassir Mu'tazilah, tidak setuju
adanya naskh, baik secara garis besar maupun secara rinci, karena
jika ada ayat yang secara sepintas dinilai tidak akan diselesaikan
secara naskh tetapi dengan jalan takhsis , sebab al-Qur,an adalah
syari 'at yang muhkam tidak ada yang mansukh. Al-Qur'an
menyatakan dalam QS Fushshilat: 42 :
ۡ ۡ ۡ
‫يل ِّم ۡن َح ِك ٍيم َح ِم ٖيد‬ ِ ‫اَّل يَأتِي ِه ٱل ٰبَ ِط ُل ِم ۢن بَ ۡي ِن يَد َۡي ِه َواَل ِم ۡن َخلفِ ِۖۦه ت‬
ٞ ‫َنز‬
Artinya :”Tidak datang kepadanya kebathilan al-Qur,an baik dari
depan atau belakang yang diturunkan dari sisi Tuhan yang Maha
bijaksana lagi Maha terpuji
Ayat di atas yang dijadikan landasan bagi Abu Muslim untuk
menyatakan bahwa nasakh Mansukh tidak ada dalam al-Qur,an, yang
ada hanya 'am-takhshis . Hal ini sebelum hukum yang telah
diturunkan oleh Allah karena hal itu kemungkinan. Jika ada hukum
hukum maka akan memunculkan pemahaman, Allah tidak tahu
kejadian yang akan datang, sehungga dia perlu
mengganti/membatalkan hukum yang lain. Jika hukum itu dilakukan
oleh Allah, berarti Dia melakukan kesia-siaan dan permainan belaka.
3. Pendapat Jumhur Ulama, kelompok ini mengakui adanya nasikh dan
mansukh dalam al-Qur'an dan tetap berlaku, (Mereka berpendapat
bahwa Naskh adalah suatu yang dapat diterima akal dan telah pula
terjadi dalam hukum-hukum Syara' berdasarkan dalil-dalil, baik naqli
atau apapun aqli (Anwar,..54), Firman Allah dalam surat al-Baqarah
ayat 106:
ِ ‫َما نَن َس ۡخ ِم ۡن َءايَ ٍة أَ ۡو نُن ِسهَا ن َۡأ‬
۞‫ت بِخ َۡي ٖر ِّم ۡنهَٓا أَ ۡو ِم ۡثلِهَ ۗٓا أَلَمۡ ت َۡعلَمۡ أَ َّن ٱهَّلل َ َعلَ ٰى ُكلِّ َش ۡي ٖء قَ ِدي ٌر‬
Artinya: “ Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami adalah
(manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik darinya
atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”
4. Menurut pendapat segolongan Ulama' bahwa Allah melakukan
secara mutlak, artinya bahwa Allah SWT. dapat berbuat sesuatu
dalam waktu tertentu dan dapat melarangnya dalam waktu tertentu
pula (mengikuti kemaslahatan dan menghindari kamudharatan).
2.5 Hikmah Mempelajari Naskh Mansukh
Adapun hikmah yang dapat diambil dari mempelajari Nasikh dan
Mansukh, yaitu :
1. Meneguhkan keyakinan akan keberadaan Allah SWT., bahwa Allah
takkan pernah terikat dengan ketentuan-ketentuan logika manusia.
Allah SWT dapat melakukan apapun, sekalipun menurut manusia hal
tersebut tidak logis. Sehingga manusia diharapkan meningkatkan
imannya kepada Allah SWT.
2. Meyakinkan kita bahwa Allah adalah Maha Bijak, Maha Kasih, Maha
Sayang. Karena dengan adanya hukum Nasikh dan Mansukh dapat
memberikan kita kemaslahatan dan juga kebaikan.
3. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh
itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan
pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung
kemudahan dan keringanan.
4. Cobaan dan ujian bagi seorang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
5. Mengetahui proses tasyri dan perkembangan tasyri menuju tingkat yang
sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan juga kondisi umat
islam.
BAB II
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita ketahui bahwa naskh adalah
mengangkat (menghapus) hukum syara’ dengan dalil atau khitab syara’ yang
lain. Dalam Nasikh diperlukan syarat, yaitu hukum yang Mansukh adalah
syara’ dalil penghapusan hukum tersebut adalah khitab syar’I yang datang
lebih kemudian dari khitab yang di Mansukh, dan khitab yang dihapus dan
diangkat hukumnya tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu. Dalam
hal ini naskh dalam alqur’an dapat dbagi tiga bagian, nash Al Qur’an dengan
Al-Qur’an, Nasikh Al-Qur’an dengan sunnah dan nasikh alqur,an dengan
sunnah.
Nasakh adalah menghilangkan, memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke
tempat lain,mengganti atau menukar, membatalkan atau mengubah, dan
pengalihan. Sedangkan Mansukh ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil
syara’ yang pertama, yang belumdiubah dengan dibatalkan dan diganti dengan
hukum dari dalil syara’ baru yang dating kemudian, Syarat-syarat nasakh
adalah adanya Mansukh (ayat yang dihapus), adanya mansukh bih (ayat yang
digunakan untuk menghapus), adanya nasikh (yang berhak
menghapus),adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah
orang-orang yang sudah aqil-baligh atau mukallaf).
Umumnya para ulama’ membagi Nasakh menjadi empat macam, yaitu
nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah,
nasakh sunnah dengan Al-Qur’an, nasakh sunnah dengan sunnah. Ruang
lingkup nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang
diungkapkandengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan
kalimat khabar (berita) yang bermakna amar (perintah) atau nahy (larangan)
tidak berhubungan dengan soal akidahserta tidak berkaitan pula dengan etika
dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan mu’amalah.
Hikmah nasakh secara umum ialah untuk menunjukkan bahwa syari’at
agama islamadalah syari’at yang paling sempurna, selalu menjaga
kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam
semua keadaan dan di sepanjang zaman,untuk menjaga agar perkembangan
hukun Islam selalu relevan dengan semua situasi dankondisi umat yang
mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ke tingkat yangsempurna,
untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan
penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamalkan
hukum-hukum Tuhan, atau tidak, untuk menambah kebaikan dan pahala bagi
hamba yang selalusetia mengamalkan hukum-hukum perubahan, untuk
member dispensasi dan keringanan bagi ummat Islam.
3.2 Saran
Kita sebagai umat islam harus memahami dan menerapkan serta
mengamalkan pengetahuan tentang nasikh dan mansukh sehingga kita tidak
lagi ragu dan bingung dengan hal-hal tersebut agar tidak ada lagi
persengketaan dan perpecahan dikarnakan belum benar-benar memahami
mengenai hal-hal tersebut.
Selanjutnya sangat kami sadari bahwa makalah yang kami buat ini jauh
dari kesempurnaan maka dari itu kami butuh kritik dan saran yang
konstruktif/membangun dari segenap pembaca yang budiman.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.nata.ponpes.id/blog/NASIKH-DAN-MANSUKH-DALAM-
PERDEBATAN-2
http://quranhaditsknowledge.blogspot.com/2013/10/ulumul-quran-nasikh-
mansukh.html?m=1
Dainori. (n.d.). NASIKH MANSUKH DALAM STUDI ILMU ALQURAN.
2, 16–18. https://core.ac.uk/download/pdf/229474059.pdf
http://izalkimi.blogspot.com/2014/09/v-behaviorurldefaultvmlo.html
https://www.academia.edu/38475120/Makalah_Ulumul_Quran_Nasikh_dan_
Mansukh_docx

Anda mungkin juga menyukai