NASIKH MANSUKH
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ulumul Qur’an
Disusun Oleh:
Rahma Nur Aulia (19020103013)
Aprisanto martono (19020103009)
Oksa datu risal (19020103008)
1
Kata pengantar
Alhamdulillah Puji syukur kita panjatkan khadirat Allah SWT, Karena hanya dengan
segala rahmat-nyalah akhirnya kami bisa menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada dosen Dr Muh Alifuddin M.ag selaku dosen Ulumul
Quran kami yang telah memberikan tugas kepada kami sehingga kami mendapatkan banyak
tambahan pengetahuan khususnya dalam ilmu nasikh dan mansukh.
Kami selaku penyusun berharap makalah yang telah kami susun ini bisa memberikan banyak
manfaat serta menambah pengetahuan terutama dalam ilmu nasikh dan mansukh yang dapat
disusun dengan baik.
Semoga makalah yang kami susun ini turut menambah pengetahuan dan wawasan selayaknya
kalimat yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna. Kami juga menyadari
bahwa makalah ini juga masih memiliki banyak kekurangan. Maka dari itu kami mengharapkan
saran serta masukan dari teman-teman sekalian demi penyusunan makalah ini dengan tema
serupa yang lebih baik lagi.
3 september 2019
Penyusun
2
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai mu’jizat Nabi Muhammad merupakan panduan dasar bagi
umat Islam selain Hadis dalam menetapan hukum Islam. Diakui atau tidak turunnya al-
Qur’an secara bertahap adalah terkait dengan problem masyarakat arab waktu itu.
Dalam menetapkan dan menggali hukum Islam yang tertuang dalam al-Qur’an,
tentunya dibutuhkan alat untuk mengupas dimensi hukumnya. Antara lain ilmu Qur’an
yang didalamnya terdapat kajian seperti tafsir, muhkam mutasyabih, Al-Nasakh Wa al-
Mansukh dan yang lainnya serta pemahaman kaidah ushuliyah dan fiqhiyah.
Nasikh dan Mansukh sebagai salah satu bagian dalam kajian ulumul Qur’an,
memiliki kontribusi yang sangat penting, sebab dengan memahaminya kita akan
mampu memahami apakah hukum yang termaktum dalam ayat-ayat Qur’an tersebut
masih berlaku atau tidak.
Oleh karena itu, makalah ini mencoba menguraikan apa, dan bagaimana
sebenarnya Al-Nasakh Wa al-Mansukh. Namun demikian harus dipahami bahwa
makalah ini hanya merupakan acuan dasar yang patut mendapatkan pembahasan dan
kajian ulang.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana pengertian Nasikh Mansukh?
b. Apa saja syarat-syarat Naskh?
c. Apa saja perbedaan antara naskh dan takhshish?
d. Bagaimana pemahaman terhadap perbedaan pendapt tentang ayat al-qur’an yang
mansukh?
C. Tujuan
a. Mengetahui pengertian Nasikh Mansukh
b. Mengetahui syarat-syarat Naskh
c. Mengetahui perbedaan antara nasikh dan takhshish
d. Mengetahui pemahaman terhadap perbedaan pendapat tentang ayat al-qur’an yang
mansukh
3
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut istilah naskh ialah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dail
hukum (khitab) syara’ lain. Dengan perkataan “hukum”, maka tidak termasuk dalam pengertian
4
naskh menghapuskan “kebolehan” yang bersifa asal (al-bara’ah al-asliyah). Dan kata-kata
“dengan khitab syara” mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum disebabkan mati
atau gila, atau penghapusan dengan ijma’ atau qiyas.
Kata nasikh (yang menghapus) dapat diartikan dengan “Allah”, seperti yang dilihat dalam
(al-baqarah/2: 106); dengan “ayat” atau sesuatu yang dengannya naskh diketahui.
Ada sejumlah ayat hukum didalam al-qur’an yang turun menggantikan kedudukan ayat
ayat hukum yang telah diturunkan sebelumnya,dan mengakhiri berlakunya ketentuan dan
hukum dari ayat ayat yang diturunkan sebelumnya.ayat-ayat yang diturunkan sebelumnya
disebut mansukh,sedangkan ayat ayat yang diturunkan sebelumnya disebut nasikh.sebagai
contoh,pada permulaan kerasulan muhammad s.a.w kaum muslimin diperintahkan untuk
bersikap ramah pada ahlul kitab.
Naskh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas
dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna amar
(perintah) atau nahi (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah,
yang berfokus kepada zat Allah, sifat-sifatnya, kitab-kitabnya, rasul-rasulnya, dan hari
kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah
dan muamalah. Hal ini karena semua syariat ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut.
Sedang dalam masalah pokok (ushul) semua syari’at adalah sama. Naskh tidak terjadi dalam
berita, khabar yang jelas-jelas tidak bermakna tholab (tuntutan; perintah atau larangan ), seperti
janji (al-wa’d) dan ancaman (al-wa’id).
5
Secara terminologi naskh adalah mengangkat (menghapuskan) dalil hukum syar'i dengan
dalul hukum syar'i yang lain. Naskh adalah dalil syara' yang menghapus suatu hukum,dan
mansukh ialah hukum syara' yang telah di hapus. Sebagaimana hadis Nabi, yang artinya:
" Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah" (HR.AT-tirmidzi).
Hukum syara' larangan berziarah kubur ini telah mansukh (telah di hapus) dengan kebolehan
berdasarkan hadis ini.
Macam-macam Naskh
Karena sumber atau dalil-dalil syara' ada dua, yaitu Al-Qur'an dan sunnah nabi Muhammad
Saw. Maka ada empat jenis naskh yaitu:
Suatu hukum yang dasarnya sunnah kemudian di naskh dengan dalil syara' dari sunnah juga.
Contohnya : larangan ziarah kubur yang di naskh menjadi boleh seperti pada hadis di atas.
Suatu hukum yang telah di tetapkan dengan dalil sunnah kemudian di nasakh atau dihapus
dengan dalil Al-Qur'an. Seperti ayat tentang shalat yang semula menghadap baitul maqdis
diganti dengan menghadap ke qiblat setelah turun Q.S. Al-Baqoroh:144.
Artinya: " Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit maka sungguh
kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu kearah
Masjidil Haram."
A beberapa pendapat ulama tentang naskh Al-Qur'an dengan Al-Qur'an ada yang
mengatakan tidak ada nasikh dan mansukh dalam ayat-ayat Al-Qur'an karena tidak ada yang
batil dalam Al-Qur'an, diantaranya adalah Abu Muslim Al-isfahani, berdasatkan firman
Allah:
6
Artinya:" Yang tidak datang padanya (Al-Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya yang diturunkan dari Rabb yang maha bijaksana lagi maha terpuji (QS. AL-
Fushilat:42).
Hukum yang didasarkan pada dalil Al-Qur'an dinasakh dengan dalil sunnah. Untuk hal ini
para ulama sepakattidak ada karena Al-Qur'an posisinya lebih tinggi dari sunnah.
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh menjadi tiga
macam yaitu:
Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan diamalkan lagi. Misal,
sebuah riwayat Bukhari dan Mulim dari Aisyah, yang artinya:
"Dahulu termasuk yang diturnkan (ayat Alqur'an) adalah sepuluh kali susuan yang diketahui,
kemudian di naskh dengan lima susuan yang diketahui.Setelah Rosululloh Saw wafat,
hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian Al-Qur'an".
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus
dengan Rasul, hendaknya kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum
pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu
tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah maha pengampun
lagi maha penyayang."
Ayat ini dinaskh oleh ayat selanjutnya (ayat 13), yang artinya:
"Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi
7
tobat kepada mu, maka dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepasa Allah dan
Rasul-Nya, dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan".
Mula-mula ayat rajam ini termasuk ayat Alqur'an. Ayat ini dinyatakan mansukh bacaannya,
sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah, yang artinya:
" Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina maka rajamlah keduanya".
Cerita tentang orangtua yang berzina dan kemudian di nasakh di atas riwayatkan oleh Ubay
Ibnu Ka'ab Bin Abu Umamah bin Sahl.
Tidak semua nash(dalil) dalam Al-Qur'an maupun hadis dapat di naskh, diantara yang tidak
dapat di naskh antara lain yaitu:
a. Nash yang berisi hukum-hukum yang tidak berubah oleh perubahan keadaan manusia baik
atau buruk, atau dalam situasi apapun. Misalnya kepercayaan kepada Allah, Rosul, kitab suci,
hari Akhirat, dan yang menyangkut pada pokok-pokok aqidah dan ibadah lainnya, termasuk
juga pada pokok-pokok keutamaan, seperti menghormati orang tua, jujur, adil dll. Demikian
pula dengan nash yang berisi pokok-pokok keburukan atau dosa, seperti syirik, membunuh
orang tanpa sadar, durhaka kepada orang tua, dll.
b. Nash yag mencakup hukum-hukum dalm bentuk yang dikuatkan atau ditentukan berlaku
selamanya. Seperti tidak diterimanya persaksian penuduh zina (kasus li'an) untuk selamanya
(Q.S An-Nur:4).
c. Nash yang menunjukan kejadian atau berita yang telah terjadi pada masa lampau. Seperti
kisah kaum 'Ad, kaum Samud, dll. Me-naskh kan yang demikian berarti mendustakan berita
tersebut.
8
2. SYARAT-SYARAT NASAKH
Syarat-syarat nasakh yang menyebabkan proses nasakh bisa terjadi ada lima:
Pertama,hendaklah hukum yang terkandung dalam nasakh dan mansukh bertetangan,sehingga
tidak mungkin untuk diambil upaya jama’(kompromi).kalau ternyata keduanya masih mungkin
mengalami proses jama’,maka salah satu diantaranya tidak bisa menasakh yang lainnya.kasus
seperti ini bisa terjadi karna dua kemungkinan:
a. Hukum yang terkandung pada dalil pertama ternyata tercakup pada dalil
yang kedua,kerena maknanya yang lebih umum.begitu juga dalil yang
kedua masih tercakup pengertiannya pada dalil pertama karena maknanya
yang lebih khusus,sebab memng dalil khash(bersifat lebih khusus)tidak bisa
menasakh dalil ‘am(bersifat lebih umum).akan tetapi harus dijelaskan
bahwa sesuatu yang dikhususkan tidak bisa masuk dalam kategori dalil
umum.
b. Masing-masing dari hukum memiliki kondisi sendiri yang tidak dipengaruhi
oleh kondisi hukum yang lainnya.contohnya status haram bagi wanita yang
ditalak tiga.status haram ini hanya berlaku bagi suami yang telah
menalaknya.status haram ini hanya berlaku bsgi suami yang mentalak
selama sang istri belum ada yang menikahi lagi.kalau ternyata sudah ada
suami lain yang menikahi wanita itu,maka hukum haram bagi suami yang
mentalak tersebut tentu saja secara otomatis menjadi hilang.status haram itu
terangkat sehingga dia memiliki status baru,yakni mubah untuk menikahi
istrinya yang telah ditalak tiga tersebut(jika memang kembali berstatus
janda).kasus seperti ini tentu saja tidak bisa dikatakan sebagai nasikh,karena
kondisi haram lelaki itu berbeda dengan kondisinya ketika halal(menikahi
istrinya yang sudah tertalak tiga)
Kedua,hendaklah hukum dalil yang mansukh sudah berlaku dan digantikan dengan
hukum nasikh . hal ini bisa terjadi melalui 2 cara yaitu:
a) Diketahui dari pertimbangan rasio.
b) Bisa diketahui melalui kronologi sejarah,yakni diberitakan bahwa hukum
yang pertama telah ada lebih dahulu daripada hukum yang datang terakhir
sebab sekalipun ada 2 hukum yang sifatnya bertentangan dan tidak mungkin
untuk di amalkan secara bersamaan,namun apabila tidak ada keterangan
9
yang menyebutkan salah satu dari 2 hukum itu berlaku lebih dahulu,maka
dalam kasus seperti ini tidak boleh ada proses nasakh.
Ketiga,hendaklah hukum yang di nasakh adalah hukum yang di tetapkan melalui nash syar’i.
Kalau hukumnya hanya sebatas ditetapkan oleh tradisi atau kebiasaan ,maka hukum baru yang
membatalkannya tidak bisa dibilang sebagai nasikh, akan tetapi dianggap sebagai awal mula
dalam pensyariatan hukum baru. Pendapat ini seperti yang di kemukakan oleh para ulama ahli
tafsir yang telah mengatakan kalau praktek thalak pada masa Jahiliyah tidak dibatasi dengan
jumlah bilangan yang pasti telah dinasakh. Menurut mereka,praktek ini dihapus dengan firman
Allah Ta’ala, “thalak (yang dapat dirujuki) dua kali.” (Qs.Al-Baqarah (2): 229) tentu saja
pendapat seperti ini hanya muncul dari orang yang tidak paham. Karena seorang yang betul-
betul paham akan mengetahui kalau ayat ini sebenarnya aturan permulaan dalam syariat islam,
(bukan sebgai nasikh untuk sebuah tradisi jahiliyah).
Keempat, hendaklah hukum dalil yang berfungsi sebaagai nasikh harus berasal dari nash syar’i,
sebagaimana hukum pada dalil yang mansukh. Kalau hukum dalam dalil nasikh ternyata bukan
di tetapkan melalui nash yang di nukil secara syar’i, maka dia tidak boleh menjadi nasikh bagi
dalil yang di nukil (melalu nash syar’i). Oleh karena itulah, jika da sebuah hukum yang
ditetapkan melalui nash syar’i, maka tidak boleh di nasakh hanya dengan putusan ijma atau
Qyas.
Kelima, hendaklah proses penetapan dalil nasikh minimal setara dengan proses penetapan dalil
mansukh. Akan lebih baik kalau proses penetapannya memiliki status yang lebih tinggi.
Adapun kalau statusnya lebih rendah diandingkan dengan status penetapan dalil yang akan di
nasakh, maka dia tidak boleh menjadi nasikh bagi sebuah hukum yang lebih kuat status
penetapannya.
11
3. Takhshish dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun
menyertai dan mendahuluinya.
4. Takhshish tidak menghapuskan hukum ‘amm sama sekali hukum
‘amm tetap berlaku meskipun sudah di-khususkan.
5. Setelah terjadi takhshish, sisa satuan yang terdapat pada ‘amm
tetap terikat oleh dalil ‘amm.
Para ulama telah bersepakat kalau di dalam alquran ada beberapa ayat yang dinasakh
(dihapuskan). Ulama-ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Syafi'i (204 H), An
Nahas (388 H), As Suyuti (911 H) dan Asy Syukani (1250 H).
Sebahagian besar ulama mengatakan bahawa konsep naskh ada dalam al-Quran tidak boleh
dibantah, sebagai bukti bahawa konsep itu mejadikan al Qur'an memperhatikan keadaan
ummat, baik dari segi maslahat ataupun kebaikan pada saat itu. Terlebih lagi memberikan
justifikasi bahawa al Qur'an tersusun secara berperingkat (tadarruji).
Ibn Kathir menyatakan tidak mustahil ada Nasikh dan Mansukh sementara al-Maraghi pula
menyatakan bahawa hukum tidak diwartakan kecuali untuk kepentingan manusia. Namun
kiranya kepentingan manusia berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat, penggantian
hukum harus terjadi.
Ulama pertama yang menolak adanya naskh dan mansukh dalam al-Quran adalah Abu Muslim
Al Ashfahani. Alasan Abu Muslim al Ashfahani menolak adanya nasikh mansukh adalah
12
bahawa hukum (syari'at) agama terdahulu yang telah habis masa berlakunya masih berkaitan
dengan datangnya hukum undang-undang yang terdapat dalam syari'at Islam. Termasuk juga
sebaliknya, undang-undang undang-undang Islam yang habis masa berlakunya berkaitan
dengan munculnya undang-undang baru bertentangan dengan undang-undang Islam sebelum
ini. Jadi disana tidak berlaku penyingkiran dan pembatalan nas, masih ada kaitan antara ajaran
tersebut, maka yang berlaku adalah pengkhususan undang-undang undang-undang yang umum
dan tidak ada pertentangan kerana nasakh cenderung memandangkan ada pertentangan nas
dengan nas yang lain sedangkan Allah sendiri berkata
"Dalam al-Quran tidak ada yang batil baik dari depan atupun dari belakangnya, yang
diturunkan Allah Yang Maha Bijaksana lagi Terpuji" (QS. 41; 42).
Artinya nash nash yang terdapat dalam Al-Quran tidak ada yang bertentangan apalagi
kebathilan, sebab kebatilan itu suatu yang mustahil bagi Allah. Yang berlaku sebenarnya
adalah tujuan undang-undang (takhsis) yang sebelumnya bersifat umum. Spesifikasi hukum ini
muncul sesuai dengan konteks yang diperlukan saat itu (takhsisul Amm).
Pendapat ini kemudian diambil oleh Iman Fakhrur al Razi ditambah dengan dalil "Tidak
seorangpun yang dapat merobah kalimat kalimat Nya, dan kamu tidak akan dapat menemukan
tempat berlindung selain dari padanya" (QS. 18; 27)
Muhammad Abduh sendiri mengatakan tidak adanya nasakh dan mansukh dalam al-Quran,
seperti yang ia tulis kitabnya (Tafsir al Manar). Abduh mengatakan bahawa nasakh dan
mansukh adalah mu'jizat sebagai jawapan bagi orang Yahudi yang lebih mengutamakan
mu'jizat bahan seperti mu'jizat Nabi Musa dan Isa.
Jika di dalam Al-Qur'an ada ayat-ayat yang mansukhah berarti membatalkan sebagian isinya.
Membatalkan itu berarti menetapkan bahwa di dalam Al-Qur'an ada yang batal (yang salah.)
Padahal Allah telah menerangkan ciri-ciri Al-Qur'an. Al-Qur'an adalah syari'at yang di
abadikan hingga akhir zaman, dan menjadi hujjah bagi manusia sepanjang zaman. Tidak
layak bila di dalamnya terdapat ayat-ayat yang mansukhah.
13
Kebanyakan ayat-ayat yang tertuang di dalam Al-Qur'an bersifat kulliyah bukan juz'iy-khas,
dan hukum-hukumnya di dalam Al-Qur'an di terangkan secara ijmaliy masyarakat.
Al-Qur'an, surah Al-Baqarah:106 tidak memastikan kepada adanya nskh ayat Al-Qur'an,
karena mungkin ayat yang di maksud adalah:
Mu'jizat.
Kitab-kitab suci terdahulu seperti Taurat, Inji, dan sebagainya. Yang di nasikh hukumnya
oleh Nabi Muhammad SAW.
Makna nasikh dalam arti mengindahkan atau mengutip atau menukil ayat-ayat dari lauh
makhhuz kepada Nabi yang kemudian di tulis ke dalam mushaf.
Makna nskh jika berarti mengangkat hukum, dan ayat bila di maksud ayat Al-Qur'an, maka
hal itu tidak berarti telah terjadi, namun hanya menunjukkan kemungkinan (kebolehan)
nasikh.
Adanya ayat-ayat yang sepintas nampak kontradiksi, tidak memastikan adanya naskh. Karna
ayat-ayat tersebut semakin mampu dibuktikan pengompromiannya dengan sedikit
memberikan ta'wil atau penafsiran di dalamnya. Upaya ini juga membuktikan kebenaran Q.S
An-Nisa' : 82.
Tidak adanya kesepakatan ulama' tentang ayat-ayat yang di anggap mansukhah dan tentang
penetapan adanya naskh.
Bila dapat di tafsirkan (di kompromikan), maka tidak lagi di anggap mansukhah.
14
Hikmah adanya nasikh mansukh tidak nyata.
Dalam penggalian ajaran dan hukum islam dalam Al-Qur'an sangat penting, antara lain:
Untuk mengetahui proses tashri' (penetapan dan penerapan hukum) islam sejalan dengan
dinamika kebutuhan masyarakat yang selalu berubah. Sejauh mana elastisitas ajaran dan
hukumnya, serta sejauh mana perubahan hukum itu berlaku.
Untuk menelusuri tujuan ajaran, dan illat hukum (alasan di kitabkannya suatu hukum)
sehingga suatu hukum dan ajarannya boleh di berlakukan secara longgar (rukhsah) dan ketat
sebagaimana hukum asalnya (a'zimah) sesuai kondisi yang mengitarinya atas dasar tujuan
ajaran dan illat hukum tersebut.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan nasakh
1. pengertian hukum berlaku mengenai yang sudah diketahui dan tidak mengenai
ilmunya.
2. perubahan berlaku pada makhluk dan tidak pada khalik(pencipta/allah)
15
3. terbuka dan jelas bagi kita berdasarkan uraian yang lalu,bahwa ilmu allah yang qadim
meliputi segala sesuatu.
DAFTAR PUSTAKA
16
Prof.dr. Rosihon anwar m.ag.2013.ulumul quran.maman abdul
djaliel,editor.bandung(ID):pustaka setia
Abi bakr muhammad ibnu musa hazimy al hamdany Al i’tibar: fi al nasikh wa mansukh min al
athar.abi bakr muhammad,hamdany
17