Anda di halaman 1dari 23

KERAJAAN ISLAM ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA

DOSEN PENGAMPU: ALI AZMI, M. Ag.

SEJARAH PERADABAN ISLAM

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 9:
-Endah Lisleli Yanti (12070320727)
-Lin Nurul Hidayah (12070321790)
-Wisnu Mulyadi (12070312516)

JURUSAN AKUNTASI
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UIN SUSKA RIAU
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami ucapkan atas kehadirat Allah Swt. Yang
senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah Sejarah Peradaban Islam ini. Tidak lupa pula
shalawat berangkaikan salam kami hadiahkan kepada Rasulullah SAW, yang
semoga kita semua mendapatkan syafaat beliau di hari akhir kelak. Aamiin.

Dalam tugas makalah kali ini kami membahas materi yang berjudul
“KERAJAAN ISLAM ZAMAN PENJAJAHAN BELANDA”. Tujuan dari penulisan
makalah kami ini untuk memenuhi tugas dari dosen Sejarah Peradaban
Islam Bapak Ali Azmi, M. Ag.

Terlepas dari itu kami menyadari sepenuhnya, bahwa tugas ini masih
banyak kekurangan. Sehingga kami mohon maaf kepada pembaca dan
mohon kritik serta saran yang bersifat membangun. Agar nantinya dapat
menjadi masukan untuk memperbaiki tugas makalah ini ke depannya.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca. Terima kasih.

Pekan Baru, 25 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.........................................................................
Daftar Isi...................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................
Latar Belakang Masalah.................................................................
Rumusan Masalah..........................................................................
BAB II PEMBAHASAN.................................................................
A. Situasi dan Kondisi Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia Ketika
Belanda Datang

B. Latar Belakang Kedatangan Belanda, VOC, Hindia Belanda ……………

C. Penetrasi Politik Belanda dan Politik Islam Hindia-Belanda …………...

D. Perlawanan Terhadap Penjajahan Belanda…....................................

BAB III PENUTUP........................................................................


Kesimpulan.....................................................................................
Saran...............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah merupakan catatan yang berusaha merekonstruksi hari


lampau yang harus di bahas secara cermat dan jujur untuk mendapatkan
fakta sejarah yang tersembunyi. Karena dari pengalaman sejarah kita dapat
bercermin dan mendapat I'tibar dalam menata dan mengatur serta
memperjuangkan Islam di masa kini dan mendatang.

Penyebaran agama Islam di Indonesia melalui berbagai jalur, baik dari jalur
perdagangan maupun dari perkawinan. Dan masuknya Islam di Indonesia
terjadi sebelum orang-orang Barat mencari rempah-rempah di Indonesia
sekitar abad ke-13 M, dimana masyarakat muslim sudah berada di Samudra
Pasai, Perlak dan Palembang di Sumatra. Sampai berdirinya kerajaan-
kerajaan Islam itu, perkembangan Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi 3
fase, dari singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan
Nusantara, adanya komunitas Islam dari beberapa daerah kepulauan
Indonesia, sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.

Sehingga dapat tergambar bahwa jauh sebelum Bangsa Eropa tiba di


kepulauan Nusantara, Islam telah berkembang luas di wilayah ini dan
bahkan bisa dikatakan sudah menjadi agama mayoritas masyarakat
nusantara. Sejak abad ke-13 di Pulau Sumatera telah berdiri kerajaan Islam
yaitu kerajaan Samudra Pasai, disusul kerajaan Aceh Darussalam, sehingga
pada awal abad ke-15 Islam telah mampu menguasai wilayah Malaka (pusat
perdagangan Asia Tenggara).

Pada bulan April tahun 1595, empat armada kapal Belanda di bawah
komando Corniles De Houtman berlayar menuju kepulauan Melayu, dan
tiba di Jawa Barat (pelabuhan Banten) pada bulan Juni 1596. Adapun
tujuan mereka datang ke Indonesia ialah untuk mengembangkan usaha
perdagangan, yaitu mencari rempah-rempah yang kemudian akan dijual di
negara mereka. Keberhasilan orang Belanda di bawah perintah De Houtman
membuat orang Belanda makin tertarik untuk mengembangkan
dagangannya di Indonesia, maka pada tahun 1598 angkatan kedua di bawah
pimpinan Van Nede Van Haskerck dan Van Warwisk datang ke Indonesia.
Kedatangan Belanda yang bertepatan dengan melemahnya pertahanan
maritim dari kesultanan-kesultanan Indonesia yang diakibatkan banyaknya
peperangan yang dilakukan oleh kesultanan Indonesia dalam usahanya
menutup lautan Indonesia dari perluasan wilayah imperialis Portugis,
menjadikan Belanda lebih mudah menguasai perdagangan di Indonesia,
sehingga pada tahun 1599 armada Belanda kembali datang ke Indonesia di
bawah pimpinan van der Hagen dan pada tahun 1600 di bawah pimpinan
van Neck.

Sebelum datangnya bangsa-bangsa Barat kondisi dan situasi politik


kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia berbeda, ada yang mengalami
perluasan daerah kekuasaan seperti Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7
sampai ke-10 M., dan ada pula yang kekuasaannya mengalami
kegoncangan, seperti Kerajaaan Majapahit. Situasi itu dapat berlangsung
lama sampai abad ke-15. Di samping itu juga setelah datangnya Belanda ke
Indonesia sekitar abad ke-15, situasi dan kondisi kerajaan-kerajaannya juga
berbeda, bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik tetapi juga proses
Islamisasi.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas maka pemakalah akan membuat rumusan
masalah sebagai berikut :

Bagaimana situasi dan kondisi kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia ketika


Belanda datang?

Bagaimana latar belakang kedatangan VOC, Hindia-Belanda?

Bagaimana penetrasi politik dan politik Islam Hindia-Belanda?

Bagaimanakah perlawanan bangsa Indonesia terhadap Penjajahan Belanda?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Situasi dan Kondisi Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia ketika


Belanda Datang

Menjelang kedatangan Belanda di Indonesia pada akhir abad ke-16


dan awal abad ke-17 keadaan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia tidaklah
sama. Perbedaan keadaan tersebut bukan hanya berkenaan dengan kemajuan
politik, tetapi juga dalam proses pengembangan Islam di kerajaan-kerajaan
tersebut. Misalnya di Sumatra, penduduk sudah memeluk Islam sekitar tiga
abad, sementara di Maluku dan Sulawesi penyebaran agama Islam baru saja
berlangsung.

Di Sumatera, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, percaturan


politik di kawasan Selat Malaka merupakan perjuangan segitiga: Aceh,
Portugis, dan Johor yang merupakan kelanjutan dari kerajaan Malaka Islam.
[1] Pada abad ke-16, tampaknya Aceh menjadi lebih dominan, terutama
karena para pedang Muslim menghindar dari Malaka dan memilih Aceh
sebagai pelabuhan transit. Aceh berusaha menarik perdagangan
internasional dan antar kepulauan nusantara. Bahkan, ia mencoba menguasai
pelabuhan-pelabuhan pengekspor lada, yang ketika itu sedang banyak
permintaan. Kemenangan Aceh atas Johor, membuat kerajaan terakhir ini
pada tahun 1564 M menjadi daerah vasal dari Aceh.

Selain itu ekspansi Aceh ketika itu berhasil menguasai perdagangan


pantai barat Sumatra. Ketika itu Aceh memang sedang berada dalam masa
kejayaan dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda. Dan ketika Sultan
Iskandar Muda telah wafat kemudian di gantikan oleh Sultan Iskandar
Tsani. Menantunya yang liberal ini dapat mengembangkan Aceh dalam
beberapa tahun kedepan. Dengan lembut dan adil, Iskandar Tsani
mendorong perkembangan agama dan melarang pengadilan dengan
penyiksaan fisik. Pada masa ini, pengetahuan keagamaan juga maju pesat.
Setelah ia meninggal dunia aceh secara bedrturut-turut di pimpin oleh tiga
orang wanita selama 59 tahun (1641-1699 M). Ketika itulah Aceh mulai
mengalami kemunduran. Banyak wilayah taklukannya yang lemah dan
kesultanan pun terpecah-pecah.[3] Dan kemudian kondisi negeri juga mulai
mengalami penurunan disebabkan oleh banyaknya peperangan dan krisis
ekonomi. Karena peperangan yang terus-menerus melawan Barat, yang
menyebabkan penderitaan yang sangat berat bagi Aceh. Akhirnya, negeri ini
jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1322 H/ 1904 M.
Di Jawa, pusat kerajaan Islam sudah pindah dari pesisir ke
pedalaman, yaitu dari Demak ke Pajang kemudian ke Mataram.
Berpindahnya pusat pemerintahan itu membawa pengaruh besar yang sangat
menentukan perkembangan sejarah Islam di Jawa, diantaranya :

1. Kekuasaan dan sistem politik didasarkan atas basis agraris,

2. Peranan daerah pesisir dalam perdagangan dan pelayaran mundur,


demikian juga peranan pedagang dan pelayar Jawa, dan

3. Terjadinya pergeseran pusat-pusat perdagangan dalam abad ke-17


dengan segala akibatnya.

Pada tahun 1619, seluruh Jawa Timur praktis sudah didalam


kekuasaan Mataram, yang ketika itu di bawah Sultan Agung. Pada Masa
pemerintahan Sultan Agung inilah kontak-kontak bersenjata antar kerajaan
Mataram dan VOC Mulai terjadi.

Meskipun ekspansi Mataram telah menghancurkan kota-kota pesisir


dan mengakibatkan perdagangan setengahnya menjadi lumpuh, namun
sebagai penghasil utama pengekspor beras, posisis Mataram dalam jaringan
perdagangan di Nusantara masih berpengaruh.

Sementara itu di Banten, di pantai Jawa Barat muncul sebagai


simpul penting antara lain karena perdagangan ladanya dan tempat
penampungan pelarian dari pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Merosotnya peran pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur akibat politik Mataram
dan munculnya Makasar sebagai pusat perdagangan membuat jaringan
perdagangan dan rute pelayaran dagang di Indonesia bergeser. Kalau di
awal abat ke-16 rute yang ditempuh ialah Maluku – Jawa – Selat Malaka,
maka diakhir abad itu menjadi Maluku - Makasar - Selat Sunda.
Sehubungan dengan perubahan itu Banten dan saingannya, Sunda Kelapa,
Bertambah strategis.

Di Sulawesi, pada akhir abad ke-16, pelabuhan Makasar


berkembang dengan pesat. Letaknya memang strategis. Adapun faktor-
faktor historis yang mempercepat perkembangan tersebut adalah :

1. Pendudukan Malaka oleh Portugis mengakibatkan terjadinya migrasi


pedagang Melayu, antara lain ke Makasar.

2. Arus migrasi Melayu bertambah besar setelah Aceh mengadakan


ekspedisi terus menerus ke Johor dan pelabuhan-pelabuhan ke Semenanjung
Melayu.
3. Blokade Belanda terhadap Malaka dihindari oleh pedagang-pedagang,
baik Indonesia maupun India, Asia Barat dan Asia Timur.

4. Merosotnya pelabuhan Jawa Timur mengakibatkan fungsinya diambil


oleh pelabuhan Makassar.

5. Usaha Belanda memonopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku


membuat Makasar mempunyai kedudukan sentral bagi perdagangan antara
Malaka dan Maluku. Itu semua membuat pasar berbagai macam barang
berkembang di sana.

Sementara itu, Maluku, Banda, Seram, dan Ambon sebagai pangkal


atau ujung perdagangan rempah-rempah menjadi sasaran pedagang Barat
yang ingin menguasainya dengan politik monopolinya. Ternate dan Tidore
dapat terus dan berhasil mengelakkan dominasi total dari Portugis dan
Spanyol, namun ia mendapat ancaman dari Belanda yang datang ke sana.
B. Latar Belakang Kedatangan Belanda, VOC, Hindia Belanda

Perkembangan dan pertumbuhan Islam di Indonesia menyebabkan


berdirinya beberapa kerajaan Islam. Kemudian karena Indonesia kaya raya,
maka datanglah bangsa-bangsa Barat, diantaranya Portugis di tahun 1512
M, kemudian disusul Spanyol pada tahun 1521 M, lalu Prancis pada tahun
1529 M, dan Belanda tahun 1596 M, baru Inggris datang kemudian.

Maksud awal dari kedatangan mereka semua adalah hendak berniaga


di samping mengembangkan kristen, sebagai alat menanamkan pengaruh
dan kekuasaan, di samping itu juga untuk mengembangkan usaha
perdagangan yaitu ingin mendapatkan rempah-rempah yang mahal harganya
di Eropa. Namun olehnya mereka melakukan tekanan dan paksaan, sehingga
Indonesia menjadi jajahan bangsa barat (Belanda) tiga setengah abad
lamanya.

Karena melihat hasil yang diperoleh perseroan Amsterdam, yang


mengirim armada kapal dagangnya yang pertama ke Indonesia tahun 1595
M terdiri dari empat kapal, di bawah pimpinan Cornelis De Houtman.
Menyusul kemudian angkatan kedua tahun 1598 M di bawah pimpinan Van
Nede, Van Heemskerck, dan Van Warwijck. Selain dari Amsterdam, juga
datang beberapa kapal dari berbagai kota di Belanda. Angkatan ketiga
berangkat tahun 1599 M dibawah pimpinan Van Der Hagen dan angkatan
keempat tahun 1600 M dibawah pimpinan Van Neck. Sehingga banyak
perseroan lain berdiri yang juga ingin berdagang dan berlayar ke Indonesia.
Pada bulan Maret 1602 M, perseroan-perseroan ini bergabung dan disahkan
oleh Staten-General Republik dengan satu piagam yang memberi hak
khusus kepada perseroan gabungan tersebut untuk berdagang, berlayar dan
memegang kekuasaan di kawasan antara Tanjung Harapan dan kepulauan
Solomon, termasuk kepulauan Nusantara. Perseroan itu bernama
Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).

Melihat isi piagam tersebut, jelas bahwa VOC, disamping berdagang


dan berlayar, juga diberi hak untuk melakukan kegiatan-kegiatan politik
dalam rangka menunjang uasaha perdagangannya. Boleh jadi, hak politik itu
diberikan karena hal yang sama juga berlaku bagi negara-negara Eropa
lainnya, seperti Portugis yang datang ke kepulauan Indonesia hampir seabad
sebelum Belanda. Sebelum itu, Belanda sudah berhasil mendirikan faktotai
di Aceh (1601 M), Patani (1601 M) dan Gresik (1602 M).

Dalam pelayaran pertama, VOC sudah mencapai Banten dan Selat


Bali. Pada pelayaran kedua, mereka sampai ke Maluku untuk membeli
rempah-rempah. Dalam angkatan ketiga, mereka sudah terlibat perang
melawan Portugis di Ambon, tetapi gagal, yang memaksa mereka
mendirikan benteng tersendiri. Mereka kali ini sudah berhasil membuat
kontrak dengan pribumi mengenai jual beli rempah-rempah. Dalam
angkatan keempat, mereka berhasil membuka perdagangan dengan Banten
dan Ternate, tetapi mereka gagal merebut benteng Portugis di Tidore.

Dalam perjalanan selanjutnya VOC berhasil menguasai perdagangan


di hampir seluruh wilayah Indonesia. Berbagai jenis rempah-rempah
mereka monopoli. Para penduduk harus menjual hasil panen mereka kepada
VOC dengan harga yang telah ditentukan oleh mereka yang tentunya sangat
murah. VOC melarang penjualan rempah-rempah ke pihak lain. Tindakan
sewenang-wenang VOC ini tentunya telah terlebih dahulu mendapat izin
atau pengakuan oleh pengusa setempat.

VOC terlebih dahulu menguasai atau mengalahkan penguasa


setempat dengan cara apapun misalnya dengan politik adu domba. Mereka
saling mengadu domba para penguasa akibatnya mereka saling berperang
dan VOC tampil seolah-olah sebagai pahlawan atau pihak penengah yang
membantu salah satu pihak dan pada akhirya VOC mendesak diberikan
imbalan misal imbalan memonopoli perdagangan. Dengan persenjataan
yang lebih modern VOC tak jarang melakukakan penyerangan ke daerah
tertentu. Walaupun melakukan perlawanan namun karena kalah strategi dan
persenjataan mereka harus menyerah dan menerima segala persyaratan yang
diajukan oleh VOC.

Dalam usaha mengembangkan usaha perdagangannya, VOC nampak


ingin melakukan monopoli. Karena itu, aktivitas ingin menguasai
perdagangan Indonesia menimbulkan perlawanan pedagang-pedagang
pribumi karena merasa terancam.

Pada tahun 1798 M, VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar


134,7 juta golden. Sebelumnya pada tahun 1795 M izin operasinya dicabut.
Kemunduran, kebangkrutan, dan dibubarkannya VOC disebabkan oleh
berbagai faktor, antara lain pembukuan yang curang, pegawai yang tidak
cakap dan korup, hutang besar, dan sistem monopoli serta sistem paksa
dalam pengumpulan bahan-bahan / hasil tanaman penduduk menimbulkan
kemeresotan moril baik para penguasa maupun penduduk yang sangat
menderita.

Dengan bubarnya VOC, pada pergantian abad ke-18 secara resmi


Indonesia pindah ke tangan pemerintah Belanda. Pemerintahan Belanda ini
berlangsung sampai tahun 1942 M dan hanya diinterupsi pemerintahan
Inggris selama beberapa tahun pada 1811-1816 M. Sampai pada tahun 1811
M, pemerintahan Hindia Belanda tidak mengadakan perubahan yang berarti.
Bahkan pada tahun 1816 M, Belanda malah memanfaatkan daerah jajahan
untuk memberi keuntungan sebanyak-banyaknya kepada negeri induk, guna
menanggulangi masalah ekonomi Belanda yang sedang mengalami
kebangkrutan akibat perang. Pada tahun 1830 M, pemerintahan Hindia
Belanda menjalankan sistem tanam paksa. Setelah terusan Suez dibuka dan
industri di negeri Belanda sudah berkembang pemerintah menerapkan
politik liberal di Indonesia.
C. Penetrasi Politik Belanda dan Politik Islam Hindia-Belanda

1. Penetrasi Politik Belanda

VOC sejak semula memang diberi izin oleh pemerintah belanda


untuk melakukan kegiatan politik dalam rangka mendapatkan hak monopoli
dagang di Indonesia. Oleh karena itu, VOC dibantu oleh kekuatan militer
dan armada tentara serta hak-hak yang bersifat kenegaraan mempunyai
wilayah mengadakan perjanjian politik, dan sebagainya. Dengan
perlengkapan yang lebih maju VOC, melakukan politik ekspansi. Dengan
kata lain abad ke 17 dan 18 adalah priode ekspansi dan monopoli dalam
sejarah kolonial di Indonesia. Menjelang akhir abad ke 18 ekspansi di
wilayah iniberhasil di Jawa.

Sejak awal Belanda melihat bahwa dalam jaringan perdagangan di


Indonesia bagian barat, kedudukan Malaka, Johor, dan Banten adalah sangat
penting. Mereka berpendapat, pelabuhan-pelabuhan itu harus dikuasai.
Akhirnya, mereka memilih Jakarta, daerah yang paling lemah, sebagai basis
kegiatannya.

Sultan Agung sejak semula sudah melihat bahwa Belanda adalah


ancaman. Pada tahun 1628 dan 1629, Mataram dua kali melakukan serangan
ke Batavia, tetapi gagal. Masuknya pengaruh Belanda ke pusat kekuasaan
Mataram adalah karena Amangkurat II (1677-1703) meminta bantuan VOC
untuk memadamkan pemberontakan Trunojoyo, adipati Madura,dan
pemberontakan Kajoran.

Hubungan Belanda dengan Banten menjadi runcing ketika Sultan Ageng


Tirtayasa naik tahta tahun 1651. Ia sangat memusuhi Belanda, karena
Belanda dipandangnya menghalangi usaha Banten memajukan dunia
perdagangan. Pada tahun 1656, dua kali kapal Belanda dirampas Banten,
tetapi itu tidak menimbulkan perang terbuka antara dua pelah pihak. Anak
Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Haji, yang di angkat menjadi Sultan Muda
tahun 1676, ternyata tidak menyenangi sikap politik ayahnya yang
memusuhi Belanda. Ia ingin mengadakan hubungan baik dengan orang
Barat ini. Pada 27 Februari 1682, Sultan Ageng Tirtayasa menyerang
Surosowan.

Penetrasi Belanda dalam dunia politik seringkali justru diundang oleh


konflik-konflik internal suatu kerajaan atau konflik antar kerajaan di
Indonesia. Yaitu di Sulawesi terdapat konflik dalam negeri antara Gowa-
Tallo dengan Bone. Sehingga VOC mampu memonopoli di Makasar
maupun di Indonesia bagian timur.
Ketika terjadi pertentangan mengenai monopoli antara Gowa dan VOC,
Sultan Gowa, Sultan Hasanuddin, mengambil langkah mengadakan
pengawasan ketat terhadap Bone dan mengerahkan tenaga kerja untuk
memperkuat pertahanan Makasar. Dalam pertempuran antara Gowa dan
Bone, Bone mengalami kekalahan besar. Orang-orang Bugis kemudian
bersatu di bawah pimpinan Arung Palaka untuk melawan Makasar. VOC
mendapat keuntungan besar dari persekutuan orang-orang itu, persekutuan
Soppeng dan Bone, bahkan Belanda juga berhasil mengajak Ternate untuk
terlibat dalam peperangan melawan Makasar. Dalam peperangan itu
Makasar mengalami kekalahan. Konfrontasi antara Makasar dan VOC baru
berakhir setelah diadakan genjatan pada tanggal 6 November 1667.

Selanjutnya penetrasi politik Belanda terjadi di Banjarmasin. Pada mulanya


Belanda datang pada abad ke-17, dengan susah payah mendapat izin untuk
berdagang di situ, namun diusir beberapa kali. Akhirnya Belanda mendapat
izin dari Sultan Tahlilillah. Perebutan kekuasaan oleh Pangeran Amir dan
Pangeran Nata, yang mana dimenangkan Pangeran Nata dengan bantuan
Belanda, membuat kekuasaan Belanda semakin besar dan kokoh. Dan
akhirnya secara de facto, Belanda sudah menjadi penguasa politik di
Banjarmasin.

Di samping itu juga Indonesia terjadi konflik intern, sehingga seperti bola
dalam keranjang yang mudah dipermainkan oleh penjajah. Dan itu terjadi
karena politik pecah belah penjajah itu. Ini semua mempengaruhi ajaran
agama Islam menjadi mundur, kerajaan-kerajaan Islam dari hari ke hari
menjadi kecil dan lemah.

Penetrasi VOC ke Minangkabau dijalankan dengan menggunakan berbagai


strategi sejak tahun 1663 M. Panglima Aceh yang berkedudukan di
Minangkabau dan raja Minangkabau diberi kredit dalam transaksinya. VOC
menuntut jabatan wali negara ditempatkan di sana dan secara de facto
berarti kekuasaan ada di tangan VOC. Setelah itu, dengan cepat
mengadakan kontrak dengan daerah-daerah yang berada di bawah
kekuasaan kerajaan Minangkabau. Akibatnya, hubungan baik antara
Minangkabau dan Aceh terputus.
D. Perlawanan Terhadap Penjajahan Belanda

Penjajahan Belanda terhadap Bangsa Indonesia mendapat perlawanan sengit


dari rakyat dan bangsa Indonesia pada umumnya. Mereka mengadakan
perlawanan terhadap penjajah Belanda karena bangsa Indonesia merasa
dijajah dan diperlakukan semena-mena oleh Belanda. Perlawanan tersebut
tidak hanya bermotif politik kebangsaan, melainkan juga karena motif
agama. Penjajah Belanda di samping ingin menguasai Indonesia, juga
menyebarkan agama mereka, yaitu Kristenisasi terhadap penduduk pribumi.
Akibatnya rakyat dan bangsa Indonesia dihampir semua wilayah
mengadakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

Di samping itu perlawanan-perlawanan rakyat terhadap penjajahan


juga berlangsung terus-menerus di satu wilayah dan wilayah yang lainnya.

Perlawanan-perlawanan itu antara lain sebagai berikut:

1. Perang Padri di Minangkabau

Perang melawan kolonialisme di daerah Minangkabau bermula dari


pertentangan antara dua pihak dalam masyarakat, dan sering dinamakan
gerakan padri yang di mulai pada awal abad ke-19. Tujuannya adalah untuk
memurnikan ajaran agama Islam, membasmi adat dan kebiasaan yang
bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah Nabi.

Perkembangan yang kemudian tampak di Minangkabau adalah


timbulnya kebiasaan-kebiasaan buruk yaitu menyabung ayam, berjudi dan
minum-minuman keras. Kebiasaan ini makin meluas dan mempengaruhi
kelompok pemudanya.

Menghadapi keadaan ini kaum ulama/padri mulai mengadakan


reaksi, sehingga gerakannya dikenal dengan gerakan Padri. Kaum Padri ini
memperbaiki keadaan masyarakat dengan cara mengembalikan pada ajaran
Islam yang murni, sejak itu timbul bibit-bibit pertentangan antara kaum
Padri dan kaum Adat.

Pusat kekuasaan Minangkabau adalah Pagaruyung, tetapi raja hanya


berfungsi sebagai lambang. Kekuasaan sesungguhnya berada di tangan
penghulu adat. Walaupun Islam sudah masuk sejak abad ke-16, tetapi proses
sinkretisme berlangsung lama. Pemurnian Islam di mulai oleh Tuanku Koto
Tuo dengan pendekatan damai. Tetapi, pendekatan itu tidak di terima oleh
murid-muridnya yang lebih radikal, terutama Tuanku Nan Renceh, seorang
yang amat berpengaruh dan memiliki banyak murid di daerah Luhak Agam.
Pada akhir abad ke-18, seorang ulama dari kampung Kuta Tuo yaitu
Tuanku Koto Tuo mulai mengajarkan pembaharuan-pembaharuan. Beliau
mengajarkan bahwa masyarakat sudah terlalu jauh menyimpang dari ajaran
Islam yang murni. Kemudian ditunjukkannya bagaimana seharusnya hidup
sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Sementara itu, pada tahun 1803 telah kembali dari Makkah tiga
orang haji, yakni Haji Miskin, Pandai Sikat, dan Haji Sumanik, dari delapan
kota, dan Haji Piobang dari Tanah Datar. Ketiga ulama ini menyaksikan
secara langsung bagaimana kaum Wahabbi di Makkah meluruskan agama
dan membasmi bid’ah, sehingga mereka ingin meluruskan pula agama di
negerinya Minangkabau.

Di antara kedudukan kaum padri yang kuat adalah Bonjol. Di sini


didirikan benteng yang cukup besar, di dalamnya terdapat sebuah masjid, 40
rumah dan 3 gubug kecil.

Ketika Datuk Bandoro meninggal karena terkena racun. Ia


digantikan oleh Muhammad Syahab atau Pelo (Pendito) Syarif yang
kemudian dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol. Tuanku Imam Bonjol yang
lahir pada tahun 1774 adalah anak dari Tuanku Rajanuddin dari kampung
Padang Bubus, Tanjung Bungo, daerah lembah Alahan Panjang.

Perang saudara ini meluas terus dan kemudian mengalami


perkembangan baru setelah kekuasaan asing mulai campur tangan.
Kemudian kaum adat ini minta bantuan kepada Belanda.

Pada tanggal 10 Februari 1821, Residen Do Puy beserta Tuanku


Suruaso (pemerintah dari Belanda) dan 14 penghulu yang mewakili
Minangkabau mengadakan perjanjian. Dengan dasar perjanjian ini maka
beberapa daerah di Minangkabau diduduki Belanda. Langkah Belanda tidak
semata-mata ditujukan untuk melawan kaum Padri akan tetapi lebih banyak
ditujukan untuk menanamkan kekuasaannya. Pada tanggal 18 Februari
1821, Belanda menduduki Simawang dengan membawa dua meriam dan
100 orang tentara. Sejak itu dimulailah perang padri melawan Belanda.
Peranan kaum adat sebagai musuh utama kaum padri digantikan oleh
Belanda. Kaum padri menghadap Belanda yang mempunyai sistem
persenjataan yang modern serta personel yang terlatih.

Peperangan ini dapat dibagi dalam tiga masa. Masa pertama


berlangsung antara 1821-1825, ditandai dengan meluasnya perlawanan
rakyat ke seluruh daerah Minangkabau. Masa kedua antara tahun 1825-
1830, ditandai dengan meredanya pertempuran karena Belanda berhasil
mengadakan perjanjian dengan gerakan kaum padri yang mulai melemah.
Ketika itu pihak Belanda sedang memusatkan perhatiannya pada perang
Diponegoro di Jawa. Masa ketiga antara tahun 1830-1838, ditandai dengan
perlawanan padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-
besaran. Kemudian diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin
padri.

Kaum Padri mulai bergerak menyerang pos-pos Belanda dan


melakukan pencegatan terhadap pasukan patroli mereka. Pos Belanda di
Semarang menjadi sasaran penyerangan kaum Padri dalam bulan September
1821 M.

Baru pada akhir tahun 1834 Belanda dapat memusatkan kekuatannya


untuk menyerang Bonjol. Setelah jalan-jalan yang menghubungkan Bonjol
dengan daerah pantai dikuasai oleh Belanda. Pada akhir september 1834
pasukan Belanda menyiapkan pasukan besar untuk mulai menyerang
Bonjol. Pada tanggal 11 Mei 1835 benteng Padri di sebuah bukit dekat
Bonjol juga telah diduduki pasukan Belanda.

Pada tanggal 10 Agustus 1837 Tuanku Imam Bonjol menyatakan


bersedia lagi untuk mengadakan perundingan perdamaian. Tetapi
perundingan perdamaian itu gagal. Sehingga menyebabkan timbulnya lagi
pertempuran pada tanggal 12 Agustus 1837.

Dalam pertempuran bulan Oktober 1837 pengepungan dilakukan oleh


pasukan-pasukan Belanda di luar Benteng Bonjol. Tembak-menembak
terjadi antara pasukan Belanda di luar benteng dan pasukan padri di dalam
benteng. Akhirnya benteng Bonjol yang dipatahkan oleh kaum padri dengan
sekuat tenaga dapat dimasuki oleh pasukan Belanda. Penyerahan Tuanku
Imam Bonjol beserta pasukannya terjadi pada tanggal 25 Oktober 1837 dan
merupakan pukulan berat bagi penawanan kaum padri pada umumnya.
Kaum padri terpaksa meninggalkan Bonjol untuk meneruskan perang di
hutan-hutan.

Tuanku Imam Bonjol kemudian di buang ke Cianjur, Jawa Barat


pada tanggal 19 Januari 1839 dibuang ke Ambon pada tahun 1841
dipindahkan ke Menado, dan meninggal disana pada tanggal 6 Nopember
1864.

2. Perang Diponegoro

Perang melawan penjajahan di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang


berlangsung antara tahun 1825 sampai dengan 1830, disebut juga perang
Diponegoro atau Perang Jawa, karena meletus di hampir seluruh daerah di
Jawa. Perjuangan ini ditujukan pada kekuasaan asing, yaitu penguasa Hindia
Belanda yang selalu ikut campur dalam urusan pemerintahan Yogyakarta.
Yang menjadi pemimpin peperangan ini adalah Putra Sultan Hamengku
Buwono III dari selirnya yang bernama Pangeran Diponegoro.

Makin meluasnya pengaruh Belanda dalam urusan tata pemerintahan


Mataram, sebenarnya tidak terlepas dari faktor intern dalam negara Mataram
sendiri, yaitu adanya gejala pertentangan antar bangsawan. Kericuhan
istana, perebutan tahta, perang antara bangsawan merupakan gejala kronis
dalam sejarah negara Mataram sampai abad ke-18.

Sementara itu, gejala baru yang timbul sebagai akibat hubungan


dengan kekuasaan itu, ialah makin meluasnya peredaran minuman keras
baik dikalangan bangsawan maupun rakyat umum. Gejala umum ini oleh
golongan agama dalam istana dianggap membahayakan kehidupan agama
Islam. Golongan bangsawan yang taat menjalankan syariat agama,
diantaranya termasuk Pangeran Diponegoro, menyaksikan gejala tersebut
dengan kekhawatiran.

Kekecewaan terhadap pemerintah kerajaan, yang dalam bidang


politik banyak dipengaruhi oleh Belanda, adalah sebab utama mengapa
Diponegoro lebih banyak tinggal di Tegalrejo dari pada di istana. Di tempat
ini ia lebih memusatkan perhatian pada soal-soal agama, pengetahuan
tentang adat, sejarah maupun hal-hal yang mengenai kerokhanian.[29]

Pangeran Diponegoro menggariskan maksud dan tujuan perlawanan


terhadap Belanda, para pejabat dan agen Belanda; pertama, untuk mencapai
cita-cita luhur mendirikan masyarakat yang bersendikan agama Islam.
Kedua, mengembalikan keluhuran adat Jawa, yang bersih dari pengaruh
barat. Tekat yang luhur itu memantapkan hati para pengikutnya untuk
memulai peperangan besar melawan Belanda.

Pada tahun 1826, jalan perang menunjukkan pasang surut. Banyak


korban berguguran di pihak Belanda. Tahun 1827, Belanda memperkuat diri
dengan melakukan benteng stelsel untuk mempersempit gerak tentara
Pangeran Diponegara. Belanda juga mengerahkan bantuan dari negeri
Belanda sekitar 3000 orang.

Pada waktu merayakan idul fitri 28 Maret 1830, Pangeran


Diponegoro diundang ke rumah residen untuk melanjutkan perundingan.
Dalam perundingan tersebut Pangeran Diponegoro menuntut agar diberi
kebebasan untuk mendirikan negara yang merdeka yang bersendikan Islam.
Akhirnya Ia ditawan karena tetap mempertahankan tuntutannya, kemudian
di buang ke Manado pada 3 Mei 1830. Pada tahun 1834 ia dipindahkan ke
Ujung Pandang, Makasar. Di pengasingan terakhir inilah ia meninggal dunia
pada tanggal 8 Januari 1855 dalam usia kurang lebih 70 tahun.[31]
Walaupun perang besar ini berakhir dengan kekalahan, tetapi peran politik
ulama telah menjadi pelajaran politik umat Islam Indonesia. Penggalangan
atas nama Islam telah memupuk cinta tanah air dan anti kolonial.

3. Perang Banjarmasin

Perlawanan yang terjadi di Kalimantan Selatan, di wilayah Kerajaan


Banjar berlangsung hampir setengah abad lamanya. Perang Banjar
berlangsung antara tahun 1854-1864 M, berawal dari ketidaksenangan
rakyat Banjar terhadap tindakan campur tangan pemerintah kolonial dalam
urusan intern kerajaan. Ketidaksenangan itu memuncak saat pemerintah
mengakui Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan Banjar. Sultan baru itu tidak
disenangi rakyat.[32] Di kalangan rakyat terpendam rasa tidak senang
karena persoalan pajak. Selain pajak, rakyat juga dikenakan kerja-wajib
untuk kepentingan golongan yang berkuasa. Ketidaksenangan itu juga
disebabkan karena Pangeran Tamjid adalah anak Sultan Muda dengan Nyai
Aminah. Ia amat dibenci baik oleh golongan kraton maupun rakyat.
Kebiasaan mabuk menyebabkan ia dimusuhi oleh golongan agama.[33] Dan
juga menimbulkan kekecewaan di kalangan rakyat dan para pembesar
lainnya. Akibatnya timbul kericuhan di dalam wilayah kerajaan
Banjarmasin. Melihat kericuhan yang terjadi, Belanda kembali memasuki
persoalan politik untuk mengambil keuntungan yang lebih besar. Colonel
Andresen sengaja didatangkan dari Batavia (Jakarta) untuk meneliti
persoalan dari dekat. Andresen berkesimpulan bahwa Pangeran Tamjid
adalah sumber kericuhan tersebut. Ia kemudian diturunkan dari tahta dan
kekuasaannya diambil alih oleh Belanda.

Pengambil alihan kekuasaan itu mengalihkan penentangan rakyat


yang semua diarahkan kepada sultan Tamjidillah, kini ditunjukan kepada
pemerintahan kolonial Belanda. Ketika itulah perang Banjarmasin dianggap
dimulai. Perlawanan rakyat terhadap Belanda berkobar di daerah-daerah
yang di pimpin oleh Pangeran Antasari yang berhasil menghimpun pasukan
sebanyak 3600 orang yang menyerbu pos-pos Belanda. Ia di dukung oleh
pembesar-pembesar kerajaan lainnya. Pangeran Hidayat sendiri berbelot
kepada Pangeran Antasari untuk bersama-sama berperang melawan
Belanda.

Dalam pertempuran tersebut banyak pasukan Belanda yang tewas.


Gerakan cepat yang dilakukan Antasari sangat menyulitkan pasukan
Belanda. Namun akhirnya beberapa pembesar kerajaan yang melawan
Belanda satu demi satu dapat dikalahkan atau menyerah. Pangeran Hidayat
sendiri tertangkap dan di buang ke Jawa.

Sebelas hari setelah pembuangan Pangeran Hidayat, pada tanggal 14


Maret 1862, Pangeran Antasari memproklamasikan suatu pemerintahan
kerajaan Banjarmasin yang bebas dan merdeka, pengganti kerajaan
Banjarmasin yang dirampas Belanda. Ketika itu diumumkan pengangkatan
raja baru yaitu Pangeran Antasari sendiri, dengan gelar Panembahan
Amiruddin Khalifatul Mukminin. Ibu kota sementara di tetapkan di Teweh,
yang ketika itu merupakan markas besar perjuangan melawan Belanda.

Akan tetapi, tujuh bulan setelah proklamasi Pangeran Antasari jatuh


sakit dan pada tanggal 11 Oktober 1862, ia wafat di Hulu Teweh. Kemudian
ia digantikan oleh anaknya, Pangeran Muhammad Seman. Perlawanan terus
berlangsung sampai tahun 1905, ketika raja ini terbunuh sebagai syahid
dalam medan pertempuran.

4. Perang Aceh

Perang Aceh berlangsung selama 31 tahun, antara tahun 1837-1904.


Belanda memang membutuhkan waktu lama untuk memadamkan perang
itu, mengingat perang ini melibatkan seluruh rakyat Aceh.

Diantara perlawanan-perlawanan besar yang terjadi di daerah-daerah di


Indonesia dalam abad ke-19, perlawanan di Aceh termasuk yang paling
berat dan terlama bagi Belanda.

Pada tanggal 17 maret 1824, sebuah persetujuan antara Inggris dan


Belanda mengenai pembagian wilayah jajahan di Indonesia dan
Semenanjung Malaya di tandatangani. Isinya antara lain, bahwa setelah
memperoleh kembali jajahan yang selama perang direbut oleh Inggris,
Belanda tidak dibenarkan mengganggu kemerdekaan negara Aceh. Aceh
tetap merdeka dan bebas menjalankan politik dalam berkembang.
Tampaknya jaminan untuk mempertahankan kemerdekaan Aceh hanyalah
bersifat politik saja.[36] Dorongan untuk menguasai Aceh semakin kuat
sejak dibukanya Terusan Suez. Setelah Terusan Suez dibuka pelabuhan
Aceh menjadi sangat strategis karena berada dalam urat nadi pelayaran
internasional. Sementara itu, imperialisme dan kapitalisme memuncak dan
negara-negara barat berlomba-lomba mencari daerah jajahan baru.

Pada tanggal 30 Maret 1857 ditandatanganilah kontrak antara Aceh


dan Hindia Belanda. Dicantum di dalamnya kebebasan perdagangan dan
larangan perdagangan budak dan perampokan. Pada tanggal 2 November
1871, Inggris dan Belanda bersepakat menandatangani Traktat Sumatra.
Berdasarkan perjanjian tersebut pihak Belanda diberi kebebasan
memperluas daerah kekuasaannya di Aceh. Sedang Inggris mendapat
kebebasan berdagang di daerah Siak.

Traktat itu memberi keluasaan kepada Belanda untuk meneruskan


agresinya. Diplomasi Aceh untuk melawannya, antara lain lewat hubungan
dengan wakil Itali dan Amerika serikat, tidak berhasil. Setelah ultimatum
tidak ditanggapi, pemakluman terhadap Aceh dinyatakan pada tanggal 26
Maret 1873.

Itulah awal perang Aceh yang menurut waktu dan ruang tidak ada
taranya dalam sejarah perlawanan terhadap kekuasaan kolonial. Perang ini
disebut juga perang rakyat, karena seluruh rakyat Aceh terlibat secara aktif
melawan kolonial. Pejuang aceh dipersenjatai oleh ideologi perang sabil
sepanjang berlangsungnya perang yang jelas mempersulit belanda.

Pada tanggal 5 April 1873, tentara Belanda mendarat dengan


kekuatan sekitar 3000 personil. Dalam serangan pertama itu, masjid
diserang dan dapat diduduki tentara Belanda, tetapi segera direbut kembali
oleh pasukan Aceh. Karena kuatnya tentara Aceh, pasukan Belanda ditarik
untuk menunggu bala bantuan di Batavia. Bulan November tahun itu juga,
Belanda mengirikm ekspedisi kedua dengan kekuatan sekitar 13.000
prajurit. Kali ini dengan mudah Belanda menduduki masjid dan keraton,
karena sultan dan penghuninya sudah mengungsi. Jatuhnya keraton tidak
melunturkan semangat juang rakyat Aceh.

Tidak lama setelah itu, pada 1874, Sultan meninggal dunia karena
penyakit kolera dan para pengikutnya mengungsi lebih jauh lagi. Belanda
berusaha mengadakan perundingan, tetapi tidak ditanggapi oleh pihak Aceh.
Belanda kemudian memakai strategi menunggu dan menjalankan sistem
pasifikasi. Dengan sistem ini, Belanda berusaha menguasai dan
mengamankan lembah Sungai Aceh dan Aceh besar. Mereka mendirikan
benteng-benteng sebagai pos untuk mengawasi daerah sekitarnya.

Pos-pos pengawasan itu terus-menerus mendapat serangan dari


tentara Aceh yang mulai terorganisasi. Di samping itu, di sekitar pos-pos
tersebut berjangkit penyakit kolera. Akhirnya hubungan antarpos tersebut
dapat ditembus dan diputus oleh tentara Aceh pada tahun 1877. Setelah itu,
belanda melakukan ofensif dengan mengirim ekspedisi ke Mukim XXII,
tempat Panglima Polim memimpin perlawanan. Panglima Polim terpaksa
mengungsi dan daerah- daerah sekitar Aceh Besar jatuh ketangan Belanda.
Gerakan pelawanan masih terus berlangsung, walaupun pengganti
sultan belum ditunjuk dan keraton telah diduduki Belanda. Perlawanan
masih perpusat di daerah sultan, karena putra mahkota, Muhammad Daud,
tetap berperan sebagai pusat dan pemimpin perang. Dia baru dinobatkan
sebagai sultan pada tahun 1884.[39]

Dalam tahun itu juga Belanda mulai melaksanakan sistem


konsentrasinya. Kotaraja sebagai pusatnya, dikelilingi benteng-benteng
yang terletak dalam setengah lingkaran serta berjarak 5-6 km dari kota itu.
Dibuat jalan untuk saling berhubungan, kemudian benteng-benteng itu
dihubungkan dengan term. Di bagian luar benteng, hutan dan semak belukar
ditebang, sehingga ada tanah lapang selebar 1 km sebagai pengamanan
terhadap penyelundupan pasukan Aceh. Selama pembangunan benteng-
benteng itu banyak korban yang jatuh karena serbuan dari pihak Aceh.
Strategi berdasarkan sistem konsentrasi ternyata memberi peluang luas
kepada pejuang Aceh untuk menggalakkan perang gerilya, maka serangan
dapat dilancarkan sampai ke dalam kotanya dimana terjadi banyak
pembunuhan.

Perang Aceh yang sangat menguras perbendaharaan keuangan


Belanda ini menjadi dilematis. Biaya perang yang banyak dikeluarkan
memaksa pemerintah melakukan penghematan pada tahun 1884-1885.
Namun, kebijakan ini menjadikan wilayah-wilayah pedalaman kembali
dalam kekuasaan pihak gerilyawan Aceh. Belanda akhirnya menemukan
cara pemecahan di dalam kebijakannya. Pemecahan ini diajukan oleh
Dr.C.Snouck Hugronje (1857-1936) dan Johannes Benedictus Van Heutsz
(1851-1921).

Pada tahun 1890, Gubernur Deykerhoff berusaha mendekati kaum


bangsawan atau ulebalang. Dengan demikian, perlawanan kembali bergolak
di seluruh Aceh besar. Belanda kembali melakukan ofensif yang memaksa
pihak Aceh bersikap defensif. Setelah itu, Belanda melakukan pengejaran
terhadap rombongan Sultan. Bahkan, untuk memancing agar Sultan mau
menyerahkan diri, Belanda melakukan penyanderaan terhadap istri-istri dan
putra sultan. Akhirnya,Sultan menyerah pada 3 Januari 1903. Taktik yang
sama juga dilakukan terhadap Panglima Polim, yang terpaksa menyerah
pada 6 September 1903.

Meskipun Sultan tertawan dan Panglima Polim menyerah,


peperangan terus berlangsung, sampai Belanda meninggalkan Indonesia
tahun 1942. Antara 1903-1930-an, di daerah Pidie Aceh tengah dan
tenggara, namun di Aceh Barat dan Aceh timur masih sering muncul
perlawanan sengit yang sebagian besar dipimpin oleh para ulama. Bahkan,
tahun 1942, kelompok-kelompok kecil pejuang Aceh masih melakukan
perlawanan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari pemaparan makalah di atas adalah :

1. Sebelum datangnya bangsa-bangsa Barat kondisi dan situasi politik


kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia berbeda, baik kemajuan politik, atau
pun proses Islamisasi.

2. Perkembangan dan pertumbuhan Islam di Indonesia menyebabkan


berdirinya beberapa kerajaan Islam. Kemudian karena Indonesia kaya raya,
maka datanglah bangsa-bangsa barat, termasuk Belanda.

3. Penetrasi Belanda dalam dunia politik seringkali justru diundang oleh


konflik-konflik internal suatu kerajaan atau konflik antar kerajaan di
Indonesia. Kedatangan Snouck Hurgronje seorang yang sangat ahli tentang
Islam membuat sebuah teori yang di sebut dengan “Islam politik” dengan
dalih “asosiasi”.

4. Penjajahan Belanda terhadap Bangsa Indonesia mendapat perlawanan


sengit dari Bangsa Indonesia pada umumnya. Mereka mengadakan
perlawanan terhadap penjajah Belanda karena merasa dijajah dan
diperlakukan semena-mena. Perlawanan-perlawanan tersebut diantaranya:
Perang Padri, Perang Diponegoro, Perang Banjar dan perang Aceh.

B. Saran

Kita, sebagai generasi penerus perjuangan Islam, tidaklah pantas


menelantarkan sejarah, karena dengan sejarah kita bisa belajar dari pejuang-
pejuang masa lampau untuk dijadikan pelajaran dan pengalaman dalam
menghadapi berbagai tantangan zaman sebab experience is the best teacher.
Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua Amin.

Anda mungkin juga menyukai