Anda di halaman 1dari 19

KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM ZAMAN PENJAJAHAN

BELANDA

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Sejarah Peradaban Islam

Dosen Pengampu:

Dwi Putra Syahrul Muharom, M.Ag.

Disusun Oleh :

1. Ninda Zulva (21401114)


2. Vicky Wahyu Meilany (21401115)
3. Amirul Mu’minin (931354815)

PROGAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah
serta inayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan penyusunan makalah Sejarah
Peradaban Islam ini, dengan judul “Kerajaan-Kerajaan Islam Zaman Penjajahan
Belanda”. Makalah ini akan membahas mengenai Situasi dan kondisi kerajaan-
kerajaan Islam di Indonesia Ketika Belanda datang, Latar Belakang Kedatangan
Belanda, VOC, Hindia Belanda, dan Perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Hal
ini tersebut kami bahas serta menambah wawasan mengenai Kerajaan-Kerajaan
Islam Zaman Penjajahan Belanda.

Selain itu, makalah ini juga kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah
yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Sejarah Peradaban Islam pada
semester 1 Prodi Ekonomi Syari’ah di Institut Agama Islam Negeri Kediri. Kami
menyadari jika masih terdapat banyak kesalahan dalam penyusunan makalah kami
ini, oleh karena itu kami mohon agar pembaca berkenan memberi kritik dan saran
agar kami dapat memperbaiki dan menyusun makalah yang lebih baik lagi
selanjutnya. Kami juga mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada
seluruh pihak yang terlibat dalam penyusun makalah ini. Semoga makalah Sejarah
Peradaban Islam ini bermanfaat bagi pembaca. Amin

Kediri, 15 Desember 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang .............................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ......................................................................... 1
C. Tujuan Pembahasan ....................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 2

A. Situasi dan Kondisi Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia Ketika


Belanda Datang .............................................................................. 2
B. Latar Belakang Kedatangan Belanda, VOC, Hindia Belanda ........ 5
C. Perlawanan terhadap penjajahan Belanda ...................................... 7

BAB III PENUTUP ....................................................................................... 14

A. Kesimpulan .................................................................................... 14
B. Saran .............................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mengetahui dan memahami sejarah perkembangan Islam di nusantara


pada masa-masa sebelum kemerdekaan Indonesia menjadi salah satu topik yang
menarik untuk didiskusikan ketika bicara tentang sejarah peradaban Islam di
Indonesia. Para pengkaji sejarah Indonesia, utamanya sejarah Islam, perlu
informasi yang mendalam mengenai hal tersebut. Makalah ini ingin mengkaji
bagaimana sebenarnya kondisi dan situasi kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
pada saat sebelum kemerdekaan dan bagaimana pula penetrasi politik Hindia
Belanda saat itu. Untuk mengetahui secara lebih detail tentang masalah ini akan
dibahas beberapa masalah yang secara garis besar dituangkan dalam rumusan
masalah berikut. (1) Bagaimana Situasi dan Kondisi Kerajaan Islam di
Indonesia ketika Belanda Datang? (2) Apa Latar Belakang Kedatangan
Belanda, VOC, Hindia Belanda? (3) Bagaimana Perlawanan Terhadap Penjajah
Belanda?

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Situasi dan Kondisi Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia
Ketika Belanda Datang?
2. Apa Latar Belakang Kedatangan Belanda, VOC, Hindia Belanda?
3. Bagaimana Perlawanan Terhadap Penjajahan Belanda?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk Mengetahui Situasi dan Kondisi Kerajaan-Kerajaan Islam di
Indonesia Ketika Belanda Datang
2. Untuk Mengetahui Latar Belakang Kedatangan Belanda, VOC, Hindia
Belanda
3. Untuk Mengetahui Perlawanan Terhadap Penjajahan Belanda

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Situasi dan Kondisi Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia Ketika Belanda


Datang

Keadaan kerajaan-kerajaan Islam menjelang datangnya Belanda di akhir


abad-16 M dan awal abad-17 M ke Indonesia yang berbeda-beda, bukan hanya
berkenaan dengan kemajuan politik, tetapi juga proses Islamisasinya. Pada saat
Belanda datang, di Sumatera penduduknya sudah Islam sekitar tiga abad,
semetara di Maluku dan Sulawesi proses Islamisasi baru saja berlangsung.1
Di pulau Sumatera kondisi kerajaan dan masyarakat Islam sudah lama
terbentuk. Pada abad ke-16, kerajaan Aceh menjadi sangat dominan, terutama
karena para pedagang di sana menghindar dari Malaka dan memilih Aceh
sebagai pelabuhan transit. Aceh berusaha menarik perdagangan internasional
dan antar kepulauan Nusantara. Bahkan, ia mencoba menguasai pelabuhan-
pelabuhan pengekspor lada, yang ketika itu sedang banyak permintaan. Setelah
berhasil menguasai daerah-daerah di Sumatera bagian Utara, Aceh berusaha
menguasai Jambi, pelabuhan pengekspor lada yang banyak dihasilkan di
daerah-daerah pedalaman, seperti di Batanghari. Jambi, yang ketika itu sudah
Islam, juga merupakan pelabuhan transito, tempat beras dan bahan-bahan lain
dari Jawa, Cina, India, dan lain-lain diekspor ke Malaka. Selain itu, ekspansi
Aceh ketika itu berhasil menguasai perdagangan pantai barat Sumatera dan
mencakup Tiku, Pariaman, dan Bengkulu. Ketika itu, Aceh memang sedang
berada pada masa kejayaannya di bawah Sultan Iskandar Muda. Beliau wafat
dalam usia 46 tahun pada 27 Desember 1636.
Setelah Sultan Iskandar Muda wafat, beliau digantikan oleh Sultan
Iskandar Tsani, yang berasal dari Pahang. Di zaman pemerintahannya, Aceh

1
Yudi Armansyah, “Dinamika Perkembangan Islam Politik di Nusantara: Dari Masa Tradisional
Hingga Modern”, Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol. 2, No. 01, (2017), hlm. 31.

2
dan Semenanjung Tanah Melayu telah melalui satu zaman yang berbeda dari
yang pernah dialami sejak Iskandar muda berkuasa. Secara khusus, Kerajaan
Aceh yang dipimpin Iskandar Tsani tidak lagi mengikuti satu dasar luar yang
militan. Sebagai seorang yang wara, Iskandar Tsani mencurahkan perhatiannya
ke arah pembangunan masyarakat dan mengembangkan pendidikan Islam.
Usahanya untuk menyebarkan ajaran Islam tidak saja terbatas di daerah-daerah
Aceh besar, tetapi beliau juga mengirimkan surat dan dua buah kitab, yaitu,
"Surat Al Mustaqim" dan "Babun Nikah", kepada Sultan Kedah (sekarang
Malaysia) ketika mengetahui bahwa Islam telah berkembang pesat di sana.
Setelah beliau meninggal dunia, Aceh secara berturut-turut didampingi
oleh 3 wanita selama 59 tahun. Ketika itulah Aceh mulai mengalami
kemunduran. Daerah-daerah di Sumatera yang dulu berada di bawah
kekuasaannya mulai memerdekakan diri. Meskipun sudah jauh menurun, Aceh
masih dapat bertahan lam menikmati kedaulatannya dari intervensi kekuasaan
asing.2
Di Jawa, kerajaan Demak (1518-1550 M) dipandang sebagai kerajaan
Islam pertama dan terbesar di Jawa. Kerajaan ini berdiri setelah kerajaan
Majapahit mengalami keruntuhan pada 1527 M. Menurut tradisi Jawa Barat
(sejarah Banten), konfrontasi antara Demak dan Majapahit berlangsung
beberapa tahun. Dua kekuatan yang berhadapan adalah antara barisan Islam
Demak, yaitu para ulama dari Kudus, imam Masjid Demak, di bawah pimpinan
Pangeran Ngudung, melawan Majapahit yang dibantu vasal-vasalnya dari
Klungkung, Pengging, dan Terung.3 Di jawa, pusat kerajaan Islam sudah pindah
dari pesisir ke pedalaman, yaitu dari Demak ke Pajang kemudian ke Mataram.
Berpindahnya pusat pemerintahan itu membawa pengaruh besar, diantaranya
adalah:
1. Kekuasaan dan sistem politik didasarkan atas basis agraris.

2
Badri Yatim, “Sejarah Peradaban Islam Dirosah Islamiyah II” (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2008), hlm. 231-232.
3
Yudi Armansyah, “Dinamika Perkembangan Islam Politik di Nusantara: Dari Masa Tradisional
Hingga Modern”, Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol. 2, No. 01, (2017), hlm. 30

3
2. Peranan daerah pesisir dalam perdagangan dan pelayaran mundur.
3. Terjadinya pergeseran pusat-pusat perdagangan.
Pada tahun 1619, seluruh Jawa Timur sudah berada dibawah kekuasaan
Mataram, yang ketika itu di bawah pimpinan Sultan Agung. Pada masa
pemerintahan Sultan Agung inilah, kontak-kontak bersenjata antara Mataram
dengan VOC mulai terjadi.
Sementara itu, Banten di pantai Jawa Barat muncul sebagai simpul
penting antara lain karena, perdagangan ladanya, Banten menarik perdagangan
lada dari Indrapura, Lampunng, dan Palembang. Produksi ladanya sendiri
sebenarnya kurang berarti. Merosotnya peran pelabuhan-pelabuhan Jawa
Timur akibat politik Mataram dan munculnya Makassar sebagai pusat
perdagangan membuat jaringan perdagangan dan rute pelayaran dagang di
Indonesia bergeser.Kalau di awal abad ke-16, rute yang ditempuh ialah Maluku
- Jawa Selat - Malaka, maka diakhir abad itu menjadi Maluku – Makassar -
Selat Sunda.
Di Sulawesi, pada akhir abad ke-16, pelabuhan Makassar berkembang
dengan pesat. Letaknya memang strategis, yaitu tempat persinggahan ke
Maluku, Filipina, Cina, Patani, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Kepulauan
Indonesia bagian Barat. Akan tetapi ada faktor-faktor historis lain yang
mempercepat perkembangan itu. Pertama, pendudukan Malaka oleh portugis
mengakibatkan terjadinya migrasi pedagang Melayu, antara lain ke Makassar.
Kedua, arusmigrasi Melayu bertambah besar setelah Aceh mengadakan
ekspedisi terus menerus ke Johor dan pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung
Melayu. Ketiga, blokade Belanda terhadap Malakadihindari oleh pedagang-
pedagang, baik Indonesia maupun India, Asia Barat da Asia Timur. Keempat,
merosotnya pelabuhan Jawa Timur mengakibatkan fungsinya diambil oleh
pelabuhan Makassar. Kelima, usaha Belanda memonopoli perdagangan
rempah-rempah diMaluku membuat Makassar mempunyai kedudukan sentral
bagi perdagangan antara Malaka dan Maluku. Itu semua membuat pasar
berbagai macam barang berkembang di sana.

4
Kehadiran orang-orang Belanda di Indonesia juga sangat mengancam
institusi perpolitikan umat Islam. Ancaman ini terlihat manakala keinginan
memonopoli perdagangan timbul, orang-orang Belanda pun mulai
mengintervensi institusi perpolitikan Islam yang pada umumnya tidak stabil.
Pada Maret 1602, Belanda mendirikan VOC (Verrenigde Oost-Indische
Compagnie) atau perserikatan Maskapai Hindia-Timuruntuk menyaingi
pelayaran dan perdagangan orang-orang Barat lainnya. Dengan politik “belah
bambu” satu demi satu kerajaan Islam hancur. Apabila kerajaan itu masih
berdiri. Maka hegemoni dan pengaruh VOC cukup kuat disana. Karenanya
kerajaan itu hanya sebagai bayangan dari VOC.4

B. Latar Belakang Kedatangan Belanda, VOC, Hindia Belanda

Datangnya penjajah Belanda dengan kedok perdagangan dan


mendirikan VOC pada tahun 1619 di Batavia yang kemudian secara bertahap
menguasai lahan dan daerah kekuasaankesultanan di Jawa dan pulau lain dan
mementahkan proses pemantapan kualitas umatIslam. Penjajah secara licik
mengadu domba pewaris kesultanan Banten, Mataram dan berbagai kesultanan
di Kalimantan, Sulawesi, Aceh dan lainnya. Maka praktis pada masa itu
kekuasaan kesultanan praktis luntur dari misi dakwah Islamiah, karena penjajah
itupun secara bertahap memisahkan kekuasaan formal (kenegaraan) dari misi
dakwah agama Islam sebagai salah satu persyaratan bantuan pada pihak pewaris
kerajaan yang dibantunya.5

Tujuan Belanda datang di Indonesia, pertama-tama adalah untuk


mengembangkan usaha perdagangan, yaitu mendapatkan rempah-rempah yang
mahal harganya di Eropa. Perseroan Amsterdam mengirim armada kapal
dagangnya yang pertama ke Indonesia tahun 1595, terdiri dari empat kapal,

4
Yudi Armansyah, “Dinamika Perkembangan Islam Politik di Nusantara: Dari Masa Tradisional
Hingga Modern”, Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol. 2, No. 01, (2017), hlm. 31-
32.
5
Duriana, “Islam di Indonesia Sebelum Kemerdekaan”, Jurnal Dialektika, Vol. 9, No. 2, (Januari -
Desember 2015), hlm. 62-63.

5
dibawah pimpinan Cornelis De Houtman, menyusul kemudian angkatan kedua
tahun 1598 dibawah pimpinan Van Nede, Van Nedmskerck dan Van
Warwiejck. Disamping dari Amsterdam, juga datang beberapa kapal dari
berbagai kota di Belanda. Angkatan ketiga berangkat tahun 1599 di bawah
pimpinan Van Der Hegen, dan angkatan ke empat tahun 1600 di bawah
pimpinan Van Neck.

Melihat hasil yang diperoleh Perseroan Amsterdam itu, banyak


perseroan lain berdiri yang juga ingin berdagang dan berlayar ke Indonesia.
Pada tahun 1602 perseroan-perseroan itu bergabung dan disahkan oleh Staten
General Republic dengan satu piagam yang memberi hak khusus kepada
perseroan gabungan tersebut untuk berdagang, berlayar dan memegang
kekuasaan di kawasan antara Tanjung Harapan dan kepulauan Solomon
termasuk kepulauan Nusantara. Perseroan itu bernama Vercenigde Oost
Indische Compagnie (VOC).6

Dalam pelayaran pertama VOC sudah mencapai Banten dan selat Bali.
Pada pelayaran kedua, mereka sampai ke Maluku untuk membeli rempah-
rempah. Dalam angkatan ketiga, mereka sudah terlibat perang melawan
Portugis di Ambon, tetapi gagal, mereka kali ini sudah berhasil membuat
kontrak dengan pribumi mengenai jual beli rempah-rempah. Dalam angkatan
ke empat mereka berhasil membuka perdagangan Banten dan Ternate, tetapi
mereka gagal merebut Benteng Portugis di Tidore.

Dalam usaha mengembangkan perdagangannya, VOC nampak ingin


memonopoli, karena itu aktivitasnya yang ingin menguasai perdagangan di
Indonesia menimbulkan perlawanan pedagang-pedagang pribumi yang merasa
kepentingannya terancam.

Pada tahun 1798, VOC dibubarkan dengan saldo sebesar 134.7 Juta
Gulden, sebelumnya, 1795 izin operasinya dicabut, kemunduran, kebangrutan

6
Badri Yatim, “Sejarah Peradaban Islam Dirosah Islamiyah II” (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2008), hlm. 234.

6
dan dibubarkannya VOC oleh berbagai faktor, antara lain pembukuan yang
curang, pegawai tidak cakap dan korup, hutang besar, dan sistem monopoli serta
sistem paksa dalam pengumpulan bahan-bahan/hasil tanaman penduduk
menimbulkan kemerosotan moril baik para penguasa maupun penduduk yang
sangat menderita.

Dengan bubarnya VOC, pada pergantian abad ke 18 secara resmi


Indonesia pindah ke tangan pemerintah Belanda. Pemerintahan Belanda ini
berlangsung sampai tahun 1942, hanya diinterupsi pemerintahan Inggris selama
beberapa tahun pada 1811 – 1816. Sampai tahun 1811, Pemerintahan Hindia
Belanda tidak mengadakan perubahan yang berarti, bahkan pada tahun 1816,
Belanda malah memanfaatkan daerah jajahan untuk memberi keuntungan
sebanyak-banyaknya kepada negeri induk, guna menanggulangi masalah
ekonomi Belanda yang sedang mengalami kebangkrutan akibat perang. Pada
tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda menjalankan sistem tanam paksa,
setelah terusan sues dibuka dan industri di negeri Belanda sudah berkembang,
pemerintah menerapkan politik liberal di Indonesia. Perusahaan dan modal
swasta dibuka seluas-luasnya. Meskipun dalam politik liberal itu kepentingan
dan hak pribumi mendapat perhatian, tetapi pada dasarnya tidak mengalami
perubahan yang berarti. Baru pada tahun 1901 Belanda menerapkan politik etis,
politik balas budi.7

C. Perlawanan Terhadap Penjajahan Belanda

Berikut adalah empat perlawanan terbesar dan terlama dalam melawan


penjajahan Belanda, antara lain yaitu:
1. Perang Padri

7
Wafiyah, “Prioritas Dakwah pada Masa Penjajahan Belanda di Indonesia”, Jurnal Ilmu Dakwah,
Vol. 34, No. 2 (Juli - Desember, 2014), hlm. 271-272.

7
Gerakan Padri sebagaimana gerakan-gerakan lokal di berbagai
belahan bumi Nusantara pada periode perang kemerdekaan melawan
penjajahan Belandadi samping penjajahan Portugis dan Inggrisyang masuk
ke kepulauan Nusantara,merupakan tonggak yang penting dalam sejarah
Indonesia. Gerakan Padri menurut Sartono Kartodirdjo, selain berhasil
dalam membersihkan agama Islam dari pengaruh-pengaruh kebudayaan
setempat yang dianggap menyalahi ajaran agama Islam yang ortodoks, juga
merupakan kekuatan mobilisasi yang besar dari berbagai wilayah
kekuasaannya di ranah kerajaan Minangkabau untuk menggabungkan diri
melawan penjajah. Lebih-lebih setelah gerakan Padri di bawah
kepemimpinan Imam Bonjol dengan basis benteng Bonjol-nya di Alam
Panjang, karena itu Belanda, setelah kembali ke Minangkabau tahun 1816
yang sebelumnya dikuasai Inggris, mengerahkan segala kekuatannya untuk
melumpuhkan Padri. Sartono mencatat sebagai berikut:

“... Dalam menghadapi perjuangan kaum Padri, Belanda lama kelamaan


sadar bahwa pada hakikatnya Gerakan itu tidak hanya mempertahankan
kepentingan agama akan tetapi juga melakukan perlawanan terhadap
penetrasi kolonial, sebagai ancaman terhadap kemerdekaan mereka.
Proses pasifikasi berjalan lambat, bahkan sering kali Belanda terpaksa
bersikap defensif karena kaum Padri mengadakan serangan-serangan ke
daerah pantai. Belanda memandang pemerintahan kaum Padri
menimbulkan suatu anarki, maka ada alasan untuk menjalankan
“pasifikasinya”; yang jelas ialah bahwa gerakan menjalankan ekspansi ke
jurusan Mandailing, tanah Batak, dan Riau sehingga “perang dalam”
(internal war) berkobar; maka timbul situasi yang banyak mengakibatkan
penderitaan. Bagi penguasa colonial konflik dan perpecahan memberi
dalih untuk menjalankan intervensinya dan menanam pengaruhnya.”
(Kartodirdjo, 1993).
Kendati sejak ditandatangani perjanjian Bonjol pada awal tahun
1824 dan dengan berbagai tipu muslihat Belanda terhadap Padri, tetapi
perlawanan gerakan ini terhadap penjajah terus berlangsung dan tidak

8
mudah dipadamkan (Kartodirdjo,1993). Politik Belanda mengikuti pola
lama, yakni cenderung memihak yang lebih “lunak” danmau bekerjasama
dengan Belanda, sebaliknya keras dan tidak memberi ruangdan bahkan
menggunakan segala macam cara untuk menumpas gerakan-gerakan yang
keras seperti Padri. Dalam posisi yang demikian, pihak Padri kadang
berjuang segitiga yaitu, internal melawan kaum adat dan sekaligus melawan
penjajah Belanda yang memiliki strategi canggih dalam memecah-belah dan
memanfaatkan situasi,sambil tidak segan-segan melakukan tipu muslihat.
Perlawanan Padri di bawah Tuanku Imam Bonjol yang tidak mengenal
menyerah dalam usianya ke-92 tahun, berakhir setelah Benteng Bonjol jatuh
tanggal 16 Agustus 1837, dan dengan tipu muslihat dengan
mengatasnamakan ajakan berunding maka Imam Bonjol pun ditangkap di
Palupuh secara tidak kesatria (Kutoyo,2003).
Tuanku Imam Bonjol karena demikian kuat ancaman pengaruhnya,
bahkan setelah dipenjara pun harus dipindah-pindah dari Bukittinggi ke
Padang, terus ke Cianjur, Ambon, dan akhirnya ke Manado hinggawafat
pada 8 November 1839 dalam kesendirian jauh dari kampung halaman
ranah tempat dia dan seluruh kekuatan gerakan Padri berjuang melawan
penjajah.Atas jasa dan perjuangannya, Tuanku Imam Bonjol oleh
Pemerintah Republik Indonesia kemudian diangkat menjadi Pahlawan
Nasional.8
2. Perang Diponegoro

Perang Diponegoro berlangsung pada saat Sultan yang masih balita


(Sultan Hamengku Buwono V) bertahta di Kesultanan Yogyakarta. Karena
usia Sultan yang masih balita, maka Gubermen Belanda mengangkat
Pangeran Diponegoro sebagai salah satu wali, sampai Sultan berusia
dewasa. Berbagai kebijakan yang diusulkan Pangeran Diponegoro sebagai
wali Sultan kepada Gubermen Belanda selalu diacuhkan. Atas kebijakan

8
Haedar Nashir, “Purifikasi Islam dalam Gerakan Padri di Minangkabau”, Jurnal Unisia, Vol.
XXXI, No. 69, (September, 2008), hlm. 226-227.

9
gubermen Belanda yang sewenang-wenang, Pangeran memutuskan untuk
pindah ke Tegalrejo dan memilih tidak ikut campur lagi dengan urusan
Keraton.9

Terjadinya Perang Diponegoro disebabkan karena kekuasaan Raja


semakin melemah, Belanda ikut campur tangan dalam urusan pemeritahan
dan pengangkatan Raja yang mengakibatkan Raja berada di bawah kendali
Belanda, adat istiadat keraton menjadi rusak dan kehidupan beragama serta
moral para bangsawan semakin merosot akibat dari masuknya budya Barat
yang semakin kuat, penderitaan rakyat sebagai akibat beban berbagai
macam pajak, bea cukai dan sewa tanah. Pemasangan patok sebagai tanda
pembangunan jalan yang melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro
oleh Danurejo IV atas perintah Smissaert merupakan sebab khusus yang
mengawali terjadinya Perang. Setiap peristiwa/kejadian perlawanan yang
terjadi, pastilah didahului oleh sebab-sebab yang dapat mengakibatkan
meletusnya perlawanan tersebut. Hal-hal di atas merupakan sebab-sebab
yang mengakibatkan terjadinya perang.10

Pada saat segenting itu muncullah seorang pemimpin besar, yang


dapat membimbing rakyat, yaitu Pangeran Diponegoro. Ia adalah putra
sulung Sultan Hamengku Buwono (HB) III dari garwa ampeyan. Dilahirkan
pada tanggal 11 November 1785 dengan nama kecil Raden Mas Ontowiryo.
Sejak kecil beliau dididik oleh neneknya, Kanjeng Ratu Ageng di Tegalrejo,
terkenal sebagai orang yang amat saleh. Buah usahanya ternyata sekali pada
diri Diponegoro. Beliau selalu berusaha memperdalam soal agama.11

Sepeninggal HB IV, yang diangkat sebagai Sultan bukan Pangeran


Diponegoro tetapi Raden Mas Menol dengan gelar Sultan HB V. Karena

9
Nur Laeli Zahro, Mardikun, “Perang Diponegoro dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan
Masyarakat Jawa 1825-1830”, Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol. 19, No. 1, (April, 2020), hlm. 90.
10
Ibid, hlm. 91.
11
A Kardiyat Wiharyanto, “Perlawanan Indonesia Terhadap Belanda pada Abad XIX”, diakses
dari https://sumberbelajar.seamolec.org, (pada tanggal 19-11-2021, pukul 20.15 WIB), hlm. 11.

10
raja tersebut baru berusia tiga tahun, maka pemerintah Belanda mengangkat
beberapa orang wali yaitu Pangeran Diponegoro, Pangeran Mangkubumi,
Ibu dan Nenek Sultan. Dengan kedudukannya itu, pengaruh Pangeran
Diponegoro semakin bertambah besar.

Melihat pengaruh Diponegoro yang sebesar itu, baik di kalangan


istana maupun di segala lapisan masyarakat, sebetulnya pemerintah Belanda
menyesal memilih beliau sebagai wali Sultan. Dari sebab itu diaturnya
supaya wali-wali tersebut jangan sampai ikut campur dalam
pemerintahan.12

3. Perang Banjarmasin
Belanda mulai memasuki wilayah Kerajaan Banjarmasin pada tahun
1826, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Adam. Namun sejak tahun
1850 hubungan antara Kerajaan Banjarmasin dan Belanda mulai tegang
karena ikut campurnya Belanda dalam pemerintahan, terutama dengan
masalah pergantian tahta Kerajaan Banjarmasin.
Ketika Sultan Adam meninggal pada tahun 1857, Belanda
mengangkat Tamjidillah sebagai Sultan Banjarmasin. Namun, Tamjidillah
sangat dibenci oleh semua bangsawan dan rakyat. Prabu Anom yang
merupakan saingannya diasingkan ke Jawa oleh Belanda sehingga tinggal
Pangeran Hidayatullah sebagai saingan berat bagi Tamjidillah.
Di tengah-tengah kekacauan itu, meletuslah Perang Banjarmasin
pada tahun 1859 yang digerakkan oleh Pangeran Antasari. Pangeran
Antasari adalah putra Sultan Muhammad yang sangat anti-Belanda. Dalam
Perang itu, Tamjidillah diturunkan dari tahta kerajaan dan Belanda
mengangkat Pangeran Hidayatullah sebagai Sultan. Hal itu dilakukan oleh
Belanda untuk menarik simpati rakyat Banjarmasin. Namun, Pangeran
Hidayatullah menolak usul itu dan ia secara terang terangan memihak

12
A Kardiyat Wiharyanto, “Perlawanan Indonesia Terhadap Belanda pada Abad XIX”, diakses
dari https://sumberbelajar.seamolec.org, (pada tanggal 19-11-2021, pukul 20.15 WIB), hlm. 12.

11
Pangeran Antasari. Pada tahun 1862, Pangeran Hidayatullah berhasil
ditangkap oleh Belanda dan selanjutnya dibuang ke Cianjur.
Perang Banjarmasin terus dilanjutkan oleh Pangeran Antasari yang
kemudian ia diangkat oleh rakyat sebagai Sultan. Namun, perang terus
berkobar. Dalam peperangan itu, Pangeran Antasari mendapat luka-luka
yang cukup parah dan akhirnya beliau meninggal pada tahun 1862.
Walaupun beliau sudah meniggal, perang terus dilanjutkan oleh putra
putranya.
4. Perang Aceh

Perang Aceh merupakan perang terlama yang berkecamuk antara


kesultanan Aceh dengan Belanda. Perang selama 40 tahun tersebut yang
terbagi dalam empat periode menjadi bukti kegigihan dan kuatnya
persatuanrakyat Aceh dalam menghadapi upaya Belandauntuk menaklukan
wilayah Aceh yang kaya akan sumber daya alam yang dicari bangsa eropa
kala itu. Perang yang terjadi bermula dari ketamakan Belanda untuk
menguasai seluruh sumatera, namun niat itu mendapat perlawanan oleh
kesultanan Aceh yang masa itu telah memiliki kekuatan militer yang
disegani di wilayah malaka bahkan sampai ke Turki.

Perang yang dilakukan rakyat Aceh sejak awal telah melibatkan


seluruh potensi dan elemen kekuatan yang ada di wilayah Aceh. Hal ini
tergambar dalam perang yang berlangsung. Para ulama meminta seluruh
rakyat bahu membahu membantu perjuangan seluruh rakyat dalam
mengusir penjajah, baik tenaga, harta benda bahkan upaya untuk memberi
bantuan menginap dan melindungi para pejuang. Selain itu, dalam perang
Aceh telah dijalankan suatu upaya diplomasi yang terlihat bagaimana
kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kesultanan Turki baik
dalam bidang perdagangan, politik bahkan pertahanan. Diplomasi ini
terlihat ketika Turki memberikan bantuan terhadap Aceh dalam pelatihan
kemiliteran, bantuan senjata berupa meriam.

12
Perang Aceh adalah suatu bentuk nyata perang semesta yang
dilakukan kesultanan Aceh yang mendapat dukungan dari para ulama dan
seluruh rakyat Aceh. Perang semesta yang didefinisikan sebagai perang
total seluruh rakyat dengan mengerahkan segenap kekuatan dan sumber
daya yang ada tercermin dalam perang Aceh. Sifat kesemestaan yang
melibatkan seluruh rakyat Aceh sesuai denganperan, kemampuan, profesi
dan keahlian telahdibuktikan rakyat Aceh. Ciri kesemestaan diwujudkan
dalam pengerahan kekuatan dan sumber daya yang ada di Aceh dimobilisasi
untuk kepentingan perang yang berlangsung.13

13
Sotardodo Siahaan, Afrizal Hendra, I Wayan Midh, “Strategi Perang Semesta dalam Perang Aceh
(1873-1912)”, Jurnal Inovasi Penelitian, Vol. 1, No. 11, (April, 2021), hlm. 10-11.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara garis besar kondisi dan situasi kerajaan-kerajaan Islam nusantara


menjelang datangnya Belanda di akhir abad ke-16 dan abad ke-17 ke Indonesia
berbeda-beda. Ada kerajaan Islam yang sudah lebih dulu terbentuk dan proses
islamisasinya sudah berlangsung lama, tapi ada juga kerajaan Islam yang baru
ada dan baru memulai proses islamisasi.

Pada kali pertama, tujuan bangsa Belanda datang ke Indonesia adalah


untuk mengembangkan usaha perdagangan, yaitu mendapatkan rempah-rempah
sangat dibutuhkan di Eropa. Serikat dagang Vereenigde Oost Indische
Compagnie (VOC) didirikan dengan tujuan untuk menyaingi pelayaran dan
perdagangan bangsa-bangsa Barat lainnya, dan juga ingin memperoleh
keuntungan sebanyak-banyaknya dalam perdagangan. Terdapat empat
perlawanan terbesar dan terlama dalam melawan penjajahan Belanda, antara
lain yaitu: 1) Perang Padri, 2) Perang Diponegoro, 3) Perang Banjarmasin, dan
4) Perang Aceh.

B. Saran

Dari penulisan makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca dalam


memamhami materi-materi yang telah diuaraikan di atas, dengan berbagai
keterbatasan sumber dan bahan yang dikumpulkan sehingga, tidak menutup
kemungkinan adanya kekurangan. Sebagai pertimbangan, penulis menyarankan
agar pembaca dapat mencari berbagai literatur lain demi melengkapi materi
terkait yang belum secara sempurna dibahas dalam makalah ini.

14
KATA PENGANTAR

Armansyah, Y. (2017). Dinamika Perkembangan Islam Politik di Nusantara: Dari


Masa Tradisional Hingga Indonesia Modern. Jurnal Kajian Keislaman dan
Kemasyarakatan, Vol. 2, No. 01.

Duriana. (2015, Januari-Desember). Islam di Indonesia Sebelum Kemerdekaan.


Jurnal Dialektika, Vol. 9, No. 2.

Nashir, H. (2008, September). Purifikasi Islam dalam Gerakan Padri di


Minangkabau. Jurnal Unisia, Vol. XXXI, No. 69.

Wafiyah. (2014, Juli - Desember). Prioritas Dakwah pada Masa Penjajahan Belanda
di Indonesia. Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 34, No. 2.

Yatim, B. (2008). Sejarah Peradaban Islam Dirosah Islamiyah II. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

Zahro, N. L., & Mardikun. (2020, April ). Perang Diponegoro dan Pengaruhnya
Terhadap Kehidupan Masyarakat Jawa 1825-1830. Jurnal Ilmiah
Kependidikan, Volume. 19, No. 1.

Wiharyanto, A. K. (n.d.). Perlawanan Indonesia Terhadap Belanda pada Abad XIX.


Diakses pada tanggal 19-11-2021, dari https://sumberbelajar.seamolec.org

Siahaan, S., Hendra, A., & Midhio, I. W. (2021, April). Strategi Perang Semesta
dalam Perang Aceh (1873-1912). Jurnal Inovasi Penelitian, Vol. 1, No. 11.

15
16

Anda mungkin juga menyukai