Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH ORIENTALISME DAN OKSIDENTALISME

“ORIENTALISME DI JERMAN, PRANCIS DAN


INGGRIS”

Dosen Pengampu:Akbar Imanuddin, S.Th.I.,M.Ud

Disusun oleh :

Kelompok 5

Ahmad Rizam (301200009)


Lola Pertiwi (301200015)

SEMESTER 3 (TIGA)KELAS A
PRODI ILMU Al-QUR'AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha


Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga penulis dapat
melakukan penyusunan makalah dengan judul “Orientalisme di Jerman, Prancis
dan Inggris ” tepat pada waktunya. Makalah ini dibuat guna untuk mengetahui
bagaimana keadaan orientalisme di Jerman, Prancis, dan Inggris serta
memenuhi tugas kelompok dari Bapak Akbar Imanuddin, S.Th.I.,M.Ud selaku
dosen pada mata kuliah Orientalisme dan Oksidentalisme di UIN STS Jambi.
Penyusunan makalah sudah semaksimal mungkin penulis upaya kan
dengan sebaik-baiknya. Penulis mengetahui akan kualitas tulisan yang jauh dari
kata sempurna dan masih butuh sumber-sumber terpercaya, ditambah dengan
adanya kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek kepenulisan
lainnya.
Oleh karena itu, dengan lapang dada penulis membuka selebar-
lebarnya indra pendengaran maupun penglihatan. Bagi anda, para pembaca
yang budiman, kami hanya meminta dimaafkan kekurangan yang tentu tak
sedikit dalam tulisan ini, dan selanjutnya melayangkan saran dan kritik sebagai
bahan perbaikan. Agar ke depannya, penulis dapat menampilkan karya tulis
yang lebih berbobot, berkualitas dan baik sebagai salah satu tulisan yang
berguna bagi semua.
Atas perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih banyak.

Jambi, 29 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I...........................................................................................................................iii
PENDAHULUAN.......................................................................................................iii
A. Latar Belakang.................................................................................................iii
B. Rumusan Masalah............................................................................................iii
C. Tujuan Penelitian..............................................................................................iii
BAB II..........................................................................................................................1
PEMBAHASAN..........................................................................................................1
A. Orientalisme di Jerman..................................................................................1
B. Orientalisme di Perancis.............................................................................5
C. Orientalisme di Inggris...................................................................................9
BAB III......................................................................................................................11
PENUTUP..................................................................................................................11
A. KESIMPULAN..............................................................................................11
B. SARAN...........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada abad pertengahan, dunia Islam sedang mengalami era keemasan.


Di zaman itu abad ke 7 hingga 13 M peradaban Islam menguasai dunia.
Kota-kota Islam, seperti Baghdad di Irak, serta Andalusia (Spanyol Islam)
menjadi lautan ilmu pengetahuan dan peradaban. Berbagai ilmu
pengetahuan muncul dan berkembang.
Kemajuan dunia Islam dalam berbagai bidang yang amat pesat itu
sangat kontras dengan kondisi negara-negara yang ada di Barat. Kemajuan
peradaban di dunia Islam akhirnya memberi pengaruh bagi kehidupan
bangsa Eropa. Masyarakat Eropa yang menjadi penduduk asli Andalusia
menggunakan bahasa Arab dan adat istiadat Arab dalam kehidupan sehari-
hari.  
Jika menilik pada pembagian periode tiga munculnya orientalisme,
yang dimulai pada  masa sebelum meletusnya Perang Salib,  pada zaman
itulah orientalisme sudah mulai berlangsung. Orientalisme pada periode
sebelum Perang Salib juga dibuktikan dengan banyaknya pelajar dari
berbagai penjuru Eropa, seperti Prancis, Inggris, Jerman, dan Italia yang
datang untuk belajar ke dunia Islam.
B. Rumusan Masalah

a) Bagaimana orientalisme di Jerman?


b) Bagaimana orientalisme di Prancis?
c) Bagaimana orientalisme di Inggris?

C. Tujuan Penelitian

a) Untuk mengetahui orientalisme di Jerman


b) Untuk mengetahui orientalisme di Prancis
c) Untuk mengetahui orientalisme di Inggris
1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Orientalisme di Jerman

Di era abad pertengahan, sebenarnya telah terjadi kontak antara


negaranegara berbahasa Jerman dengan kekhalifahan Islam di Baghdad,
terutama selama perang Salib dan penaklukan Usmaniyah atas sebagian wilayah
Eropa Tenggara. Namun kontak ini tidak menyisakan catatan
akademikintelektual yang sistematis. Bahkan era ini biasa disebut sebagai era
“pra-sejarah” dan studi-studi Islam dan Arab bagi Jerman.
Tradisi studi Islam di Jerman, telah tertinggal jauh dari studi Islam di Paris
dan Leiden. Meskipun terdapat fakultas Teologi yang mengajarkan bahasa Arab,
namun studi Islam bukanlah bagian dari fakultas teologi. Baru setelah
didirikannya Universitas Halle (1694) dan Gottingen (1738), bahasa-bahasa
Timur merupakan bagian integratif dalam kurikulum fakultas filsafat meski para
sarjananya masih berkutat dalam persoalan teologis, serta memadukan filologi
kitab suci dengan semangat missioner.1Hal ini karena para intelektual Jerman
terlanjur “mesra” dengan bahasa Latin yang secara khusus mendapatkan
perhatian dalam tradisi kesarjanaan mereka.
Di era revolusi Perancis (abad 18)2 , terdapat minat besar para sarjana Eropa
terhadap studi ketimuran kontemporer yang mengillustrasikan ilfiltrasi
pemikiran ketimuran seperti beberapa karya penulis Arab, Persi dan Usmaniyah
terhadap beberapa sarjana sekaliber Johan Wolfgang dan Friderick Rucket.
Kajian terhadap dunia ketimuran secara kontinyu terus dilakukan oleh para
sarjana Jerman seperti Theodor Noldeke3 yang berminat pada sejarah al-Qur’an
1
John L. Esposito (Editor in Chief),The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. (New
York:Oxford University Press, 1995), Volume 3, 56.
2
Tidak hanya saat revolusi Perancis studi mengenai ketimuran terjadi, apalagi pasca revolusi Perancis dan
Inggris menghasilkan prestasi besar bagi tradisi keilmiahan terutama gagasan yang diwariskan dari
pencerahan Perancis dan Jerman, yang diwakili oleh semua aliran utama dalam filsafat semisal dualisme
(Kant),idealisme subyektif (Fitche), idealisme obyektif ( Schelling dan Hegel) serta materialisme
(Feurbach). Lebih lanjut lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat,(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996),
266.
3
Kelaziman pendekatan filologi dalam tradisi kesarjanaan Jerman, terlihat dalam berbagai karya penting
Noldeke dalam studi tentang sejarah al-Qur’an, Ignaz Goldziher tentang hadis dan Margoliouth tentang
historiografi muslim. Dalam konsepsi awal kesarjanaan barat, Islam seringkali didefinisikan secara
tradisional sebagai sekumpulan kepercayaan dan norma abstrak yang menentukan berbagai bidang yang
2
dan Muhammad, serta Julius Wilhausen 4dalam karyanya Das Arabische Reich
und Sein Sturz (1902). Karya-karya para sarjana tentang ketimuran tersebut
mengilhami munculnya filologi arus utama yang menganjurkan penelitian
terpadu mengenai Timur kontemporer tanpa terbatasi secara konvensional antar
disiplin keilmuan dalam studi sosiologis dan historis, yang dibidani antara lain
oleh Carl Heinrich Becker5 (selanjutnya disebut Becker).

 Latar Historis Studi Islam di Jerman

menjadi ciri suatu budaya. Ira M. Lapidus dengan karyanya a History of Islamic Societies dan Bernard
Lewis dalam The Islamic Wolrd dapat ditunjuk mewakili konsepsi tersebut. Lihat John L. Esposito, The
Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. (New York:Oxford University Press, 1995), Volume
3, 8.
4
Julius Wilhausen (1844-1918) adalah seorang pakar kitab suci (Bibel) yang memperlihatkan bahwa kitab
suci Taurat merupakan gabungan dari empat dokumen yang dijadikan satu dalam bentuk akhir pada abad
lima SM. Lihat George B. Grose and Benjamin J. Hubbard(editor), the Abraham Connection: A Jew Christian
and Muslim in Dialogue, alih bahasa Santi Indra Astuti, (Bandung:Mizan, 1998), 163. Adapun karya-karya
kesejarahan Wellhausen antara lain: Muhammad in Medina (al-Waqidi’s Kitab al-Maghazi, 1882), Relics of
Arabic Paganism (Ibnu al-kalbi’s Kitab al-Asnam, 1887dan 1897), Pre-Islamic Medina, Muhammad’s
Constitution of Medina, Writings of and Missioons to Muhammad (1889), Prolegomena to the Earliest
History of Islam (1889), The Religio-Political Oppositions Parties in Early Islam (1901) dan The Arab
Empire and Its Fall (1902).Lihat Azim Nanji (Ed.), Peta Studi Islam: Orientalisme dan Arah Baru Kajian
Islam di Barat,(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), 35. Tulisan Josef Van ess yang bertitel From
Willhausen to Becker :The Emergence of Kulturgeschichte in Islamic Studies dalam Islamic Studies : A
Tradition and its Problems karya Giorgio Levi Della Vida (1886-1967) yang penulis telaah ini, ternyata tidak
menyinggung pemikiran Wellhausen kecuali sedikit dan terletak di bagian akhir naskah. Namun demikian,
pemikiran yang sedikit ini mampu memukau Becker dan banyak dikembangkan dalam dialektika pemikiran
dan pemahamannya tentang dunia ketimuran.
5
Carl Heinrich Becker (1876-1933) adalah satu di antara orientalis Jerman, yang banyak melakukan traveling
ke dunia Timur dekat terutama China hingga ia tahu tentang Islam dan bahkan pada tahun 1908 menjabat
Ketua Jurusan Sejarah dan Budaya Timur pada Kolonial Institut di Hamburg. Lihat Josef van Ess (selanjutnya
disebut Van Ess), From Wellhausen to Becker: The Emergence of Kulturgeschichte, (ttp. tth.) 30. Pada tahun
1927, Herman Kontorowitz dinominasikan untuk menjadi professor dalam hukum di Universitas Kiel di
Jerman Utara.Sayangnya, kendati telah disetujui oleh menteri kebudayaan Prussia, pencalonan Kontorowitz
dijegal oleh Menteri Luar Negeri, Gustav Streseeman, karena menurutnya, Kontorowitz tidak mendukung
pernyataan/ pidato resmi tentang dosa perang, yang dirilis oleh pemerintah Jerman. Hal yang menarik adalah,
bahwa pertentangan ideologi ini membawa Streseeman tidak lagi bisa membedakan antara kepentingan
politik dengan kepentingan intelektual. Namun, setelah menapaki jalan demikian berliku, akhirnya
Kontorowitz berhasil ditahbiskan menjadi seorang professor, dengan dukungan para ilmuwan, yang salah
satunya adalah Carl Heinrich Becker, seorang orientalis, yang pada tahun 1916, bekerja di kementerian
kebudayaan di Berlin. Pada tahun 1921 dan 1925, ia terpilih sebagai menteri. Sementara dalam karir
akademisnya, Becker memilih spesialisasi keilmuannya pada kajian politik kolonial Inggris, dan pada tahun
1929 dipromosikan sebagai .professor menggantikan Carl Brockelmann, kendati promosinya itu kontroversial.
Karena itu pula, Becker dijuluki sebagai “menteri yang melawan arus budaya Jerman”. Van Ess, From
Wellhausen…, 29.
3
Munculnya studi Islam sebagai bagian dari studi ketimuran di Eropa,
ditengarai muncul pada abad 19. Studi ketimuran yang dibangun dengan pola
studi klasik dan hampir selalu berkaitan dengan sejarah tersebut, mencakup
kajian tentang bahasa, sejarah dan budaya Asia dan Afrika Utara, yang pada
umumnya didasarkan pada filologi.6

Studi ketimuran di Eropa mengalami perkembangan di abad 19, seiring


dengan ekspansi ekonomi dan politik ke Asia dan Afrika, yang kemudian
menumbuhkan minat para sarjana Eropa (terutama Jerman) terhadap
keberagamaan dan budaya di Timur. Sebagaimana dilakukan Becker misalnya,
dengan traveling ke Egypt, Nubia, Sudan, Palestina dan Syiria pada tahun 1900-
1901, hingga pada akhirnya studi tentang sastra dan bahasa Timur menjadi
disiplin tersendiri di universitas-universitas. Karena berkat pengalamannya itu
pulalah, akhirnya pada tahun 1906-1907, ia mengajar Islam dan dinobatkan
sebagai ahli Sejarah Peradaban Islam pada tahun 1908 di Institut Kolonial
Hamburg. Dalam posisinya sebagai kota komersial dan bisnis, kampus ini
membuka kuliah-kuliah orientalisme tentang timur dekat. Kajian terhadap
bahasa-bahasa utama dalam Islam, yakni Arab, Persi dan Turki juga merupakan
bagian integral dari tradisi kesarjanaan di Jerman.

Bukti lain dari ketertarikan sarjana Jerman terhadap dunia ketimuran


tersebut tercermin dari hasil seminar untuk bahasa-bahasa ketimuran (seminar fur
orientalische Sprachen) yang diadakan di Berlin tahun 1887, didirikannya Institut
Kolonial (kolonialinstitut) di Hamburg dengan kajian khusus tentang sejarah dan
budaya timur, munculnya lembaga pengkajian Islam kontemporer di tahun 1912,
terbitnya jurnal Der Islam di tahun 1910 serta The Word of Islam (Die welt des
Islam, Le monde de l’Islam) tahun 1914.7
Di Jerman, kajian terhadap bahasa, budaya dan agama bahkan menjadi inti
dari Studi Islam yang kemudian dikenal dengan istilah “Seminar Orientalis”
(Orientalisches Seminar). Studi ini berada di bawah naungan fakultas Seni dan
bukan di bawah fakultas teologi, sebagaimana di Swedia dan Belanda.
Perkembangan tradisi kesarjanaan di Jerman, telah memberikan kontribusi
besar bagi kemajuan studi Islam di Eropa pada umumnya. Ini karena
6
Azim Nanji (Ed.), Peta Studi Islam: Orientalisme dan Arah Baru kajian Islam di Barat,(Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2003),2.
7
Jaques Waardenburg, “Studi Islam di Jerman” dalam Azim Nanji (Ed.), Peta Studi…, 11.
4
orientalisme Jerman dalam studi Islam memiliki tradisi yang demikian kuat,
terbukti dengan munculnya berbagai nama besar pada periode pertama, yakni
Theodor Noldeke, Julius Wellhausen dan Ignaz Goldziher, menyusul Helmut
Ritter, Carl Brockelman dan Becker (yang banyak diulas dalam tulisan van Ess
ini) pada periode kedua.
Berbeda dengan Brockelmann, seorang ilmuan yang cukup produktif,
Becker merupakan seorang pendatang baru dalam dunia akademis, yang dititinya
ketika berusia 40-an setelah berpindah dari karir politik. Kendati belum pernah
menerbitkan buku, tetapi Becker adalah seorang ahli papeerology dan menguasai
sejarah Mesir. Salah satu kelebihannya dibanding Brockelmann adalah
kemampuan imajinatifnya serta kepiawaiannya mengolah fakta sehingga terlihat
lebih menarik.
Kelebihan Becker ini terbukti ketika mereview publikasi paling penting
tentang seni dan arckeologi muslim. Ia menulis banyak hal tentang peradaban
muslim di Afrika, mengembangkan ide-ide awal tentang hubungan Islam awal
dengan Kristen dan tentang ritual Islam yang original. Kendati mempelajari hal
tersebut, Becker berkeyakinan bahwa bukanlah agama yang menciptakan
peradaban, tetapi jusru peradabanlah yang membentuk agama. Becker, dengan
demikian seperti halnya tokoh yang dikaguminya, Wellhausen mendekati Islam
dengan menanggalkan Islam dari doktrin dan ritusnya. Karena itu, dalam konteks
ini, benar jika dinyatakan bahwa Becker adalah salah seorang tokoh sosiologi
(dalam bentuknya yang masih sederhana), yang mempelajari agama dari
fenomena keberagamaannya, menyangkut pemahaman dan praktik keagamaan
yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang tentang atau terhadap agama
yang diyakininya, atau yang dalam bahasa Amin Abdullah lazim dikenal sebagai
aspek historisitas dan bukan aspek normativitas ajaran agama.8
Setelah berpindah dari karir politik, bertepatan dengan meletusnya Perang
Dunia I, Becker menulis gagasannya tentang perbedaan konsepsi antara Inggris
setelah mengamati kebijakan politik Inggris terhadap dunia Islam terutama Mesir
dengan konsepsi Jerman, yang di dalamnya terdapat ambiguitas imperialism
(yang cenderung berorientasi pada kekuasaan yang eksploitatif) di satu sisi dan
penegakan perdamaian dalam konteks ini pengetahuan/kebudayaan di sisi lain.
Hal ini pulalah yang agaknya, dicemaskan oleh Edward Said dalam karyanya
Orientalism. Menurut analisis Said, semua pengetahuan adalah produk dari
masanya dan pasti bergantung pada masanya, sehingga karenanya, tidak ada

8
Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),
pengantar.
5
pengetahuan yang benar-benar obyektif, tidak terkecuali orientalisme. 9Bahkan
dengan bahasa yang agak vulgar, Said menyatakan bahwa kekuasaan dan
pengetahuan menyatu tanpa dapat dibedakan dan bagaimana melalui sejumlah
wacana, relasi-relasi kekuasaan memproduksi serangkaian obyek analisis, yang
terus mempengaruhi karya-karya kesarjanaan tanpa bisa diantisipasi dan
diamati10 . Dengan demikian, jika logika Said ini diterima, orientalis di satu sisi
“bersekongkol” dengan imperialis sebagai abdi dan di sisi lain dituntut bersikap
baik terhadap budaya dan masyarakat Islam, yang hal ini memiliki kontribusi
besar bagi penciptaan identitas budaya Eropa modern.

B. Orientalisme di Perancis

Orientalisme di Prancis modern awal mengacu pada interaksi Prancis pra-


modern dengan Timur , dan terutama dampak budaya, ilmiah, artistik, dan intelektual
dari interaksi ini, mulai dari bidang akademik studi
Oriental hingga Orientalisme dalam mode dalam seni dekoratif .  11
Kita tentu masih ingat beberapa bulan lalu hebohnya sebuah kasus di Prancis
mengenai gambar Nabi Muhammad yang dianggap melecehkan Islam, yang menuai
reaksi keras. Dalam kasus dimana seorang guru dibunuh karena menampilkan
gambar Charlie Hebdo yang dianggap menghina Islam, reaksi keras ditunjukkan
Presiden Prancis Macron: ia menyatakan bahwa Islam sedang dalam krisis, dan
banyak (pemeluknya) melakukan tindakan “separatisme Islam” di Prancis. Dengan
alasan “memberantas separatisme”, Macron berusaha melakukan tindakan seperti
mengeluarkan rancangan aturan yang misalnya mewajibkan pengaturan imam,
mengatur pendanaan masjid, dll.
9
John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. (New York:Oxford University Press,
1995), Volume 4, 214.
10
Bryan S. Turner, Orientalism, Postmodernism and Globalism, alih bahasa Sirajuddi Arif dkk., (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Press, 2002), 29. Azyumardi Azra, dengan menunjuk tesis Edward Said, dengan lugas menyatakan
bahwa masih banyak studi-studi yang berpretensi ilmiah, namun pada esensinya diabdikan untuk kepentingan-
kepentingan politik barat tertentu, di mana studi-studi semacam itu memproyeksikan citra Islam dan kaum
muslimin secara simplistis dan distortif. Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam
(Jakarta:Paramadina, 1996), 204-205.
11
McCabe, Ina Baghdiantz (2008). Orientalism in Early Modern Framce. Berg Publishing, Oxford
6
Macron bahkan menegaskan dukungannya pada kartun yang melecehkan tersebut,
dan bahkan kartun itu ditampilkan di gedung-gedung. Tidak pelak, sikap Macron
(yang diinterpretasikannya untuk “memperbaiki” Islam menjadi ala Prancis) menuai
protes, boikot dan demo besar di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Sesungguhnya, jika diamati lebih jauh, sikap Macron tersebut seperti


menginterpretasikan bahwa adanya stigma bahwa Muslim Prancis adalah kaum yang
tidak baik. Mereka dianggap imigran yang keras kepala dan tidak bisa menjadi men-
Prancis layaknya warga lainnya. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kasus
pembunuhan tersebut (dan sejenisnya, seperti kasus Charlie Hebdo tahun 2015) telah
menimbulkan kegeraman pada sebagian lapisan masyarakat Prancis. Namun, dengan
mengecap semuanya sebagai radikal seakan-akan Macron menganggap seluruh
Muslim dan imigran di Prancis adalah kaum tidak beradab yang harus ‘dididik’.
Bagaimana kita mencermati hal ini dan melihatnya untuk konteks Indonesia?

Penulis tertarik mengambil suatu teori yang sangat terkenal, yang ditulis oleh Edward
Said pada tahun 1978 bernama Orientalisme. Dalam kajiannya tentang kebudayaan
Eropa dan Barat, Said menganalisis bahwa dari sejak dahulu hingga kini, budaya
populer masyarakat Eropa selalu menggambarkan kaum Timur (Orient) dalam hal ini
Muslim dan Arab sebagai kaum yang digambarkan tidak baik dalam berbagai citra.

Walaupun para peneliti dan ahli menganggap bahwa kajian mereka soal Timur
Tengah sudah free dari unsur ideologis, namun Said melihat sebaliknya bahwa tulisan
dan penciptaan citra dan diskursus oleh mereka di Eropa sendiri memiliki tujuan satu:
untuk melanggengkan imperialisme dan kolonialisme bangsa Eropa. Hal ini
disebabkan, citra bangsa Timur Tengah dan Islam selalu dicitrakan negatif yang
berarti di bawah Eropa seperti barbar, percaya takhayul, mistis, suka berperang,
berpikir kolot, tidak pernah berubah (statis) dan semuanya dicitrakan tidak ada
bedanya di seluruh tempat.

Karena itulah, agar bangsa ‘kolot’ ini bisa dimajukan maka praktik seperti
kolonialisme, imperialisme diperbolehkan untuk bangsa Muslim dan Timur Tengah
agar mereka bisa menjadi maju dan meninggalkan budaya barbar tersebut, dalam
program yang dikenal dengan nama “civilizing mission“. Masuknya AS sebagai
pemain internasional baru pasca PD-II tidak melunturkan hal ini. Justru citra dan
stereotip tersebut semakin kuat, yang dibuktikan dengan munculnya kartun, film,
drama, novel dll yang menggambarkan kaum Arab tetap sebagai bangsa barbar. Said
dan peneliti lainnya pun bahkan menyatakan bahwa efek orientalisme sangat
7
tampak, misalnya pada serangan AS ke Afghanistan dan Irak pada 2001-2003 dan apa
yang disebut “War on Terror” pada tahun-tahun berikutnya.

Jika dilihat apa yang dilakukan oleh Macron maka tampaknya sangat sesuai dengan
apa yang disampaikan oleh Said. Macron, layaknya para pendahulunya (dan mungkin
banyak masyarakat Prancis – perlu diingat bahwa menurut Said, orientalisme
sesungguhnya dimulai dari era pendahulu Macron yaitu Napoleon Bonaparte) masih
memegang bahwa bangsa Arab/Timur Tengah dan Muslim, walaupun sudah
berimigrasi dan tinggal lama pun masih bersikap kolot, tidak punya budaya tinggi,
tidak beradab, suka membunuh, dll.

Seakan-akan tidak ada bedanya antara yang tinggal di Prancis dengan, ambil contoh
Irak dan Afghanistan. Mengulang “civilizing mission” di era kolonial, imigran ini
perlu dididik, diatur dan dibina agar serupa dan sejajar dengan orang Eropa Prancis
yang lebih beradab dan superior. Jelas, cara pandang stereotip orientalis ini
menunjukkan bahwa mereka masih belum bisa beranjak dari cara pikir eks negara
kolonial.

Pendekatan semacam ini justru bisa saja berdampak pada pelanggaran hak beribadah
dan juga bisa mengarah ke diskriminasi dan rasisme. Selain itu, yang sangat
diperhatikan adalah, cara pikir penuh stereotip ini justru tidak menjawab akar
masalah radikalisme di Prancis dan Eropa. Masalah-masalah tersebut berupa
penerimaan yang rendah oleh masyarakat Eropa dalam berbagai bidang, seperti sulit
mendapat pekerjaan, tidak mau tinggal membaur, adanya slur, dan lain-lainnya.

Masalah rasisme sistemik ini yang justru pada akhirnya nyatanya banyak membuat
masyarakat imigran Muslim teralienasi dari lingkungannya dan mudah ditarik oleh
para penceramah yang mengajarkan ajaran yang keras. Seharusnya, pemikiran
orientalis ala kolonial ini sudah seharusnya ditinggalkan, diganti dengan cara pikir
yang progresif, untuk misalnya mengatasi latar belakang mengapa ia menjadi
“radikal”, melakukan pemberantasan radikalisme secara selektif, dan lain-lainnya
(bukan dengan stereotip yang dilekatkan pada seluruh masyarakat Muslim imigran),
dan lain-lainnya.

Memang terorisme dan radikalisme merupakan masalah yang sangat penting untuk
dihadapi oleh manusia, tapi perlu pendekatan yang tepat, bukan pendekatan kuno
yang penuh stereotip dan justru bisa melanggengkan rasisme sehingga tidak

8
menjawab masalah dari sumbernya atau menimbulkan problematika baru. Perlu
tindakan ramah, inklusif pada seluruh golongan dan kaum tanpa membedakan, agar
tercipta kesepahaman berbagai pihak.

Apa pelajaran yang bisa dipetik oleh bangsa Indonesia mengenai hal ini? Tidak bisa
dipungkiri bahwa stereotip superioritas masih banyak melekat di masyarakat kita
pada kelompok etnik tertentu. Misalnya, pada masyarakat asli Papua yang seringkali
diejek dengan kata rasialis. Tidak lupa juga, kita walaupun berusaha menyiarkan
Islam yang ramah dan moderat, kenyataannya banyak kaum radikal yang membuat
Indonesia sulit mempertahankan citra positif ini di mata internasional. Menjadi
renungan dan pertanyaan bagi kita, apakah kita sudsh bisa mengatasi hal ini?

Jangan sampai kita mengkritik dan berdemo pada tingkah laku Macron, tapi kita tidak
berkaca pada diri sendiri, layaknya peribahasa “buruk muka cermin dibelah“.
Masalah-masalah diatas, tidak bisa juga dianggap biasa saja bahkan remeh karena
banyak berakar dari cara pikir masyarakat. Sudah seharusnya Indonesia juga bergerak
bersama untuk mengatasi hal-hal yang negatif tersebut demi berkontribusi pada
kemajuan nasional dan internasional. Diharapkan, dengan solusi yang baik, maka
Indonesia dapat menjadi “model country” tentang bagaimana prinsip toleransi,
perdamaian, non-diskriminasi dan lainnya bisa menjadi contoh bagi dunia,
termasuk Prancis itu sendiri.

9
C. Orientalisme di Inggris

Dalam karya besarnya, Orientalism, kritikus sastra dan budayawan Edward W


Said (wafat 2003) menyebut Inggris Raya sebagai negara yang memiliki sejarah
panjang ihwal tradisi orientalisme. Orientalisme merupakan suatu gaya berpikir
yang didasarkan pada pembedaan ontologis dan epistemologis antara Timur dan
Barat

Berbicara tentang orientalisme pada prinsipnya mempersoalkan "proyek-proyek"


kebudayaan Inggris dan Prancis atas negeri-negeri di Anak Benua India dan Asia
Barat, utamanya pesisir timur Laut Tengah. Kedua negara di Eropa itu memang
mendominasi perspektif tentang Timur sejak abad ke-19 hingga usainya Perang
Dunia II. Adapun setelah itu, peran mereka digantikan Amerika Serikat.
Kejadian Said yang mengeksplorasi penggambaran Timur Tengah sebagai
sesuatu yang pasif dan feminin, dinamika kekuatan satu arah ini juga
mengurangi pertukaran budaya antara Timur dan Barat.
Jelas bahwa aspek kolonialisme dari Orientalisme mengambil jauh lebih banyak
daripada yang pernah mereka berikan dari subjek yang mereka gambarkan.
Pameran Museum Inggris berupaya menjelaskan berapa banyak seni dan
arsitektur Islam diterima dalam budaya Eropa selama ratusan tahun. Elisabeth
Fraser setuju bahwa hubungan itu telah lama pasif, tetapi sekarang "para peneliti
mengakui bahwa situasinya jauh lebih rumit dari itu".

10
Di Inggris, istilah Orientalist mengidentifikasikan "seorang seniman". 12Istilah itu
belum merendahkan dan tidak menjadi demikian sampai
terbitnya Orientalisme karya Edward Said yang menuduh bahwa Orientalisme
adalah alat propaganda yang dimaksudkan untuk mendukung hegemoni dan
kekuasaan Barat.  13
 Tokoh Orientalis Inggris
Setelah memaparkan konteks ideologi orientalisme, berikut ini adalah nama-
nama tokoh tersebut yang berasal dari Inggris, sebagaimana dirangkum buku A
Century of British Orientalists 1902-2001 (editor C Edmund Bosworth). Ada
sedikitnya 13 nama pakar terkemuka orientalisme asal Negeri Albion.
Hampir seluruhnya merupakan anggota British Academy. Namun, cakupan studi
orientalisme mereka bukan hanya Dunia Islam, melainkan juga apa yang
dinamakan Timur Jauh, yakni Cina dan Jepang, dan peradaban Hindu.
Penamaan geopolitik semisal "Timur Dekat", "Timur Tengah", atau "Timur
Jauh" itu pun jelas menunjukkan hegemoni orientalisme dalam banyak teks.
Sebab, ketimuran ketiga wilayah tersebut tentunya dilihat dari perspektif Eropa
yang secara geografis terletak di barat Asia.
Adapun dari ke-13 orientalis itu, beberapa nama seperti, Alfred Felix Landon
Beeston, Hamilton Alexander Rosskeen Gibb, dan Richard Olaf
Winstedt memiliki sumbangsih yang cukup besar untuk perkembangan studi ini
agar lebih modern.
Alfred Beeston lahir pada 1911 dan meninggal 84 tahun kemudian. Sepanjang 25
tahun kariernya, Beeston diakui sebagai akademisi yang paling pakar mengenai
bahasa Arab.
Demikian pula dengan kemampuan bahasa Ibraninya. Dia mengabdikan diri
sebagai profesor di Universitas Oxford. Risetnya secara khusus mempelajari
perkembangan sejarah dan kebudayaan Arab Selatan.
Namun, di tengah kesibukannya ia juga sempat bekerja di Badan Intelejen
Inggris selama enam tahun. Ia ditugaskan ke Palestina periode 1940-194

12
Troman, 19
13
Van der Oye, David (2010). Orientalisme Rusia, Pers Universitas Yale.
11
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Tradisi studi Islam di Jerman, telah tertinggal jauh dari studi Islam di Paris dan
Leiden. Meskipun terdapat fakultas Teologi yang mengajarkan bahasa Arab,
namun studi Islam bukanlah bagian dari fakultas teologi. Baru setelah
didirikannya Universitas Halle (1694) dan Gottingen (1738), bahasa-bahasa
Timur merupakan bagian integratif dalam kurikulum fakultas filsafat meski para
sarjananya masih berkutat dalam persoalan teologis, serta memadukan filologi
kitab suci dengan semangat missioner.14

Orientalisme di Prancis modern awal mengacu pada interaksi Prancis pra-


modern dengan Timur , dan terutama dampak budaya, ilmiah, artistik, dan
intelektual dari interaksi ini, mulai dari bidang akademik studi
Oriental hingga Orientalisme dalam mode dalam seni dekoratif .  15

Di Inggris, istilah Orientalist mengidentifikasikan "seorang seniman". 16Istilah itu


belum merendahkan dan tidak menjadi demikian sampai
terbitnya Orientalisme karya Edward Said yang menuduh bahwa Orientalisme
adalah alat propaganda yang dimaksudkan untuk mendukung hegemoni dan
kekuasaan Barat.  17
B. SARAN
Menurut penulis, bagaimanapun keadaan orientalisme di berbagai belahan dunia,
semoga umat Islam tidak akan terpengaruh dengan pemikiran sesat para
orientalisme. Sekian, terimakasjh Telah membaca makalah ini, penulis memohon
saran dari pembaca atas tulis.

14
John L. Esposito (Editor in Chief),The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. (New
York:Oxford University Press, 1995), Volume 3, 56.
15
McCabe, Ina Baghdiantz (2008). Orientalism in Early Modern Framce. Berg Publishing, Oxford
16
Troman, 19
17
Van der Oye, David (2010). Orientalisme Rusia, Pers Universitas Yale.
12
DAFTAR PUSTAKA

Amin Abdullah, 1999. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Jaques Waardenburg, “Studi Islam di Jerman”
John L. Esposito,1995 The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. New
York:Oxford University Press.
McCabe, Ina Baghdiantz, 2008. Orientalism in Early Modern Framce. Berg Publishing, Oxford
Van der Oye, David (2010). Orientalisme Rusia, Pers Universitas Yale.
Zim Nanji, 2003. Peta Studi Islam: Orientalisme dan Arah Baru kajian Islam di Barat,
Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

13

Anda mungkin juga menyukai