Disusun oleh :
Kelompok 5
SEMESTER 3 (TIGA)KELAS A
PRODI ILMU Al-QUR'AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
1
KATA PENGANTAR
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ii
BAB I...........................................................................................................................iii
PENDAHULUAN.......................................................................................................iii
A. Latar Belakang.................................................................................................iii
B. Rumusan Masalah............................................................................................iii
C. Tujuan Penelitian..............................................................................................iii
BAB II..........................................................................................................................1
PEMBAHASAN..........................................................................................................1
A. Orientalisme di Jerman..................................................................................1
B. Orientalisme di Perancis.............................................................................5
C. Orientalisme di Inggris...................................................................................9
BAB III......................................................................................................................11
PENUTUP..................................................................................................................11
A. KESIMPULAN..............................................................................................11
B. SARAN...........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
C. Tujuan Penelitian
PEMBAHASAN
A. Orientalisme di Jerman
menjadi ciri suatu budaya. Ira M. Lapidus dengan karyanya a History of Islamic Societies dan Bernard
Lewis dalam The Islamic Wolrd dapat ditunjuk mewakili konsepsi tersebut. Lihat John L. Esposito, The
Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. (New York:Oxford University Press, 1995), Volume
3, 8.
4
Julius Wilhausen (1844-1918) adalah seorang pakar kitab suci (Bibel) yang memperlihatkan bahwa kitab
suci Taurat merupakan gabungan dari empat dokumen yang dijadikan satu dalam bentuk akhir pada abad
lima SM. Lihat George B. Grose and Benjamin J. Hubbard(editor), the Abraham Connection: A Jew Christian
and Muslim in Dialogue, alih bahasa Santi Indra Astuti, (Bandung:Mizan, 1998), 163. Adapun karya-karya
kesejarahan Wellhausen antara lain: Muhammad in Medina (al-Waqidi’s Kitab al-Maghazi, 1882), Relics of
Arabic Paganism (Ibnu al-kalbi’s Kitab al-Asnam, 1887dan 1897), Pre-Islamic Medina, Muhammad’s
Constitution of Medina, Writings of and Missioons to Muhammad (1889), Prolegomena to the Earliest
History of Islam (1889), The Religio-Political Oppositions Parties in Early Islam (1901) dan The Arab
Empire and Its Fall (1902).Lihat Azim Nanji (Ed.), Peta Studi Islam: Orientalisme dan Arah Baru Kajian
Islam di Barat,(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), 35. Tulisan Josef Van ess yang bertitel From
Willhausen to Becker :The Emergence of Kulturgeschichte in Islamic Studies dalam Islamic Studies : A
Tradition and its Problems karya Giorgio Levi Della Vida (1886-1967) yang penulis telaah ini, ternyata tidak
menyinggung pemikiran Wellhausen kecuali sedikit dan terletak di bagian akhir naskah. Namun demikian,
pemikiran yang sedikit ini mampu memukau Becker dan banyak dikembangkan dalam dialektika pemikiran
dan pemahamannya tentang dunia ketimuran.
5
Carl Heinrich Becker (1876-1933) adalah satu di antara orientalis Jerman, yang banyak melakukan traveling
ke dunia Timur dekat terutama China hingga ia tahu tentang Islam dan bahkan pada tahun 1908 menjabat
Ketua Jurusan Sejarah dan Budaya Timur pada Kolonial Institut di Hamburg. Lihat Josef van Ess (selanjutnya
disebut Van Ess), From Wellhausen to Becker: The Emergence of Kulturgeschichte, (ttp. tth.) 30. Pada tahun
1927, Herman Kontorowitz dinominasikan untuk menjadi professor dalam hukum di Universitas Kiel di
Jerman Utara.Sayangnya, kendati telah disetujui oleh menteri kebudayaan Prussia, pencalonan Kontorowitz
dijegal oleh Menteri Luar Negeri, Gustav Streseeman, karena menurutnya, Kontorowitz tidak mendukung
pernyataan/ pidato resmi tentang dosa perang, yang dirilis oleh pemerintah Jerman. Hal yang menarik adalah,
bahwa pertentangan ideologi ini membawa Streseeman tidak lagi bisa membedakan antara kepentingan
politik dengan kepentingan intelektual. Namun, setelah menapaki jalan demikian berliku, akhirnya
Kontorowitz berhasil ditahbiskan menjadi seorang professor, dengan dukungan para ilmuwan, yang salah
satunya adalah Carl Heinrich Becker, seorang orientalis, yang pada tahun 1916, bekerja di kementerian
kebudayaan di Berlin. Pada tahun 1921 dan 1925, ia terpilih sebagai menteri. Sementara dalam karir
akademisnya, Becker memilih spesialisasi keilmuannya pada kajian politik kolonial Inggris, dan pada tahun
1929 dipromosikan sebagai .professor menggantikan Carl Brockelmann, kendati promosinya itu kontroversial.
Karena itu pula, Becker dijuluki sebagai “menteri yang melawan arus budaya Jerman”. Van Ess, From
Wellhausen…, 29.
3
Munculnya studi Islam sebagai bagian dari studi ketimuran di Eropa,
ditengarai muncul pada abad 19. Studi ketimuran yang dibangun dengan pola
studi klasik dan hampir selalu berkaitan dengan sejarah tersebut, mencakup
kajian tentang bahasa, sejarah dan budaya Asia dan Afrika Utara, yang pada
umumnya didasarkan pada filologi.6
8
Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),
pengantar.
5
pengetahuan yang benar-benar obyektif, tidak terkecuali orientalisme. 9Bahkan
dengan bahasa yang agak vulgar, Said menyatakan bahwa kekuasaan dan
pengetahuan menyatu tanpa dapat dibedakan dan bagaimana melalui sejumlah
wacana, relasi-relasi kekuasaan memproduksi serangkaian obyek analisis, yang
terus mempengaruhi karya-karya kesarjanaan tanpa bisa diantisipasi dan
diamati10 . Dengan demikian, jika logika Said ini diterima, orientalis di satu sisi
“bersekongkol” dengan imperialis sebagai abdi dan di sisi lain dituntut bersikap
baik terhadap budaya dan masyarakat Islam, yang hal ini memiliki kontribusi
besar bagi penciptaan identitas budaya Eropa modern.
B. Orientalisme di Perancis
Penulis tertarik mengambil suatu teori yang sangat terkenal, yang ditulis oleh Edward
Said pada tahun 1978 bernama Orientalisme. Dalam kajiannya tentang kebudayaan
Eropa dan Barat, Said menganalisis bahwa dari sejak dahulu hingga kini, budaya
populer masyarakat Eropa selalu menggambarkan kaum Timur (Orient) dalam hal ini
Muslim dan Arab sebagai kaum yang digambarkan tidak baik dalam berbagai citra.
Walaupun para peneliti dan ahli menganggap bahwa kajian mereka soal Timur
Tengah sudah free dari unsur ideologis, namun Said melihat sebaliknya bahwa tulisan
dan penciptaan citra dan diskursus oleh mereka di Eropa sendiri memiliki tujuan satu:
untuk melanggengkan imperialisme dan kolonialisme bangsa Eropa. Hal ini
disebabkan, citra bangsa Timur Tengah dan Islam selalu dicitrakan negatif yang
berarti di bawah Eropa seperti barbar, percaya takhayul, mistis, suka berperang,
berpikir kolot, tidak pernah berubah (statis) dan semuanya dicitrakan tidak ada
bedanya di seluruh tempat.
Karena itulah, agar bangsa ‘kolot’ ini bisa dimajukan maka praktik seperti
kolonialisme, imperialisme diperbolehkan untuk bangsa Muslim dan Timur Tengah
agar mereka bisa menjadi maju dan meninggalkan budaya barbar tersebut, dalam
program yang dikenal dengan nama “civilizing mission“. Masuknya AS sebagai
pemain internasional baru pasca PD-II tidak melunturkan hal ini. Justru citra dan
stereotip tersebut semakin kuat, yang dibuktikan dengan munculnya kartun, film,
drama, novel dll yang menggambarkan kaum Arab tetap sebagai bangsa barbar. Said
dan peneliti lainnya pun bahkan menyatakan bahwa efek orientalisme sangat
7
tampak, misalnya pada serangan AS ke Afghanistan dan Irak pada 2001-2003 dan apa
yang disebut “War on Terror” pada tahun-tahun berikutnya.
Jika dilihat apa yang dilakukan oleh Macron maka tampaknya sangat sesuai dengan
apa yang disampaikan oleh Said. Macron, layaknya para pendahulunya (dan mungkin
banyak masyarakat Prancis – perlu diingat bahwa menurut Said, orientalisme
sesungguhnya dimulai dari era pendahulu Macron yaitu Napoleon Bonaparte) masih
memegang bahwa bangsa Arab/Timur Tengah dan Muslim, walaupun sudah
berimigrasi dan tinggal lama pun masih bersikap kolot, tidak punya budaya tinggi,
tidak beradab, suka membunuh, dll.
Seakan-akan tidak ada bedanya antara yang tinggal di Prancis dengan, ambil contoh
Irak dan Afghanistan. Mengulang “civilizing mission” di era kolonial, imigran ini
perlu dididik, diatur dan dibina agar serupa dan sejajar dengan orang Eropa Prancis
yang lebih beradab dan superior. Jelas, cara pandang stereotip orientalis ini
menunjukkan bahwa mereka masih belum bisa beranjak dari cara pikir eks negara
kolonial.
Pendekatan semacam ini justru bisa saja berdampak pada pelanggaran hak beribadah
dan juga bisa mengarah ke diskriminasi dan rasisme. Selain itu, yang sangat
diperhatikan adalah, cara pikir penuh stereotip ini justru tidak menjawab akar
masalah radikalisme di Prancis dan Eropa. Masalah-masalah tersebut berupa
penerimaan yang rendah oleh masyarakat Eropa dalam berbagai bidang, seperti sulit
mendapat pekerjaan, tidak mau tinggal membaur, adanya slur, dan lain-lainnya.
Masalah rasisme sistemik ini yang justru pada akhirnya nyatanya banyak membuat
masyarakat imigran Muslim teralienasi dari lingkungannya dan mudah ditarik oleh
para penceramah yang mengajarkan ajaran yang keras. Seharusnya, pemikiran
orientalis ala kolonial ini sudah seharusnya ditinggalkan, diganti dengan cara pikir
yang progresif, untuk misalnya mengatasi latar belakang mengapa ia menjadi
“radikal”, melakukan pemberantasan radikalisme secara selektif, dan lain-lainnya
(bukan dengan stereotip yang dilekatkan pada seluruh masyarakat Muslim imigran),
dan lain-lainnya.
Memang terorisme dan radikalisme merupakan masalah yang sangat penting untuk
dihadapi oleh manusia, tapi perlu pendekatan yang tepat, bukan pendekatan kuno
yang penuh stereotip dan justru bisa melanggengkan rasisme sehingga tidak
8
menjawab masalah dari sumbernya atau menimbulkan problematika baru. Perlu
tindakan ramah, inklusif pada seluruh golongan dan kaum tanpa membedakan, agar
tercipta kesepahaman berbagai pihak.
Apa pelajaran yang bisa dipetik oleh bangsa Indonesia mengenai hal ini? Tidak bisa
dipungkiri bahwa stereotip superioritas masih banyak melekat di masyarakat kita
pada kelompok etnik tertentu. Misalnya, pada masyarakat asli Papua yang seringkali
diejek dengan kata rasialis. Tidak lupa juga, kita walaupun berusaha menyiarkan
Islam yang ramah dan moderat, kenyataannya banyak kaum radikal yang membuat
Indonesia sulit mempertahankan citra positif ini di mata internasional. Menjadi
renungan dan pertanyaan bagi kita, apakah kita sudsh bisa mengatasi hal ini?
Jangan sampai kita mengkritik dan berdemo pada tingkah laku Macron, tapi kita tidak
berkaca pada diri sendiri, layaknya peribahasa “buruk muka cermin dibelah“.
Masalah-masalah diatas, tidak bisa juga dianggap biasa saja bahkan remeh karena
banyak berakar dari cara pikir masyarakat. Sudah seharusnya Indonesia juga bergerak
bersama untuk mengatasi hal-hal yang negatif tersebut demi berkontribusi pada
kemajuan nasional dan internasional. Diharapkan, dengan solusi yang baik, maka
Indonesia dapat menjadi “model country” tentang bagaimana prinsip toleransi,
perdamaian, non-diskriminasi dan lainnya bisa menjadi contoh bagi dunia,
termasuk Prancis itu sendiri.
9
C. Orientalisme di Inggris
10
Di Inggris, istilah Orientalist mengidentifikasikan "seorang seniman". 12Istilah itu
belum merendahkan dan tidak menjadi demikian sampai
terbitnya Orientalisme karya Edward Said yang menuduh bahwa Orientalisme
adalah alat propaganda yang dimaksudkan untuk mendukung hegemoni dan
kekuasaan Barat. 13
Tokoh Orientalis Inggris
Setelah memaparkan konteks ideologi orientalisme, berikut ini adalah nama-
nama tokoh tersebut yang berasal dari Inggris, sebagaimana dirangkum buku A
Century of British Orientalists 1902-2001 (editor C Edmund Bosworth). Ada
sedikitnya 13 nama pakar terkemuka orientalisme asal Negeri Albion.
Hampir seluruhnya merupakan anggota British Academy. Namun, cakupan studi
orientalisme mereka bukan hanya Dunia Islam, melainkan juga apa yang
dinamakan Timur Jauh, yakni Cina dan Jepang, dan peradaban Hindu.
Penamaan geopolitik semisal "Timur Dekat", "Timur Tengah", atau "Timur
Jauh" itu pun jelas menunjukkan hegemoni orientalisme dalam banyak teks.
Sebab, ketimuran ketiga wilayah tersebut tentunya dilihat dari perspektif Eropa
yang secara geografis terletak di barat Asia.
Adapun dari ke-13 orientalis itu, beberapa nama seperti, Alfred Felix Landon
Beeston, Hamilton Alexander Rosskeen Gibb, dan Richard Olaf
Winstedt memiliki sumbangsih yang cukup besar untuk perkembangan studi ini
agar lebih modern.
Alfred Beeston lahir pada 1911 dan meninggal 84 tahun kemudian. Sepanjang 25
tahun kariernya, Beeston diakui sebagai akademisi yang paling pakar mengenai
bahasa Arab.
Demikian pula dengan kemampuan bahasa Ibraninya. Dia mengabdikan diri
sebagai profesor di Universitas Oxford. Risetnya secara khusus mempelajari
perkembangan sejarah dan kebudayaan Arab Selatan.
Namun, di tengah kesibukannya ia juga sempat bekerja di Badan Intelejen
Inggris selama enam tahun. Ia ditugaskan ke Palestina periode 1940-194
12
Troman, 19
13
Van der Oye, David (2010). Orientalisme Rusia, Pers Universitas Yale.
11
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tradisi studi Islam di Jerman, telah tertinggal jauh dari studi Islam di Paris dan
Leiden. Meskipun terdapat fakultas Teologi yang mengajarkan bahasa Arab,
namun studi Islam bukanlah bagian dari fakultas teologi. Baru setelah
didirikannya Universitas Halle (1694) dan Gottingen (1738), bahasa-bahasa
Timur merupakan bagian integratif dalam kurikulum fakultas filsafat meski para
sarjananya masih berkutat dalam persoalan teologis, serta memadukan filologi
kitab suci dengan semangat missioner.14
14
John L. Esposito (Editor in Chief),The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. (New
York:Oxford University Press, 1995), Volume 3, 56.
15
McCabe, Ina Baghdiantz (2008). Orientalism in Early Modern Framce. Berg Publishing, Oxford
16
Troman, 19
17
Van der Oye, David (2010). Orientalisme Rusia, Pers Universitas Yale.
12
DAFTAR PUSTAKA
Amin Abdullah, 1999. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Jaques Waardenburg, “Studi Islam di Jerman”
John L. Esposito,1995 The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. New
York:Oxford University Press.
McCabe, Ina Baghdiantz, 2008. Orientalism in Early Modern Framce. Berg Publishing, Oxford
Van der Oye, David (2010). Orientalisme Rusia, Pers Universitas Yale.
Zim Nanji, 2003. Peta Studi Islam: Orientalisme dan Arah Baru kajian Islam di Barat,
Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
13