Anda di halaman 1dari 8

MUHAMMAD YUNUS ANIS “IMAM TENTARA YANG MENGABDI

UNTUK MUHAMMADIYAH DAN BANGSA”

Muhammad Yunus Anis lahir di Kauman Yogyakarta pada 3 Mei 1903. Ayahnya adalah seorang abdi
dalem Kraton Yogyakarta, Sejak kecil beliau dididik agama oleh kedua orangtuanya dan kakeknya sendiri,
terutama membaca Al-Quran dan pendidikan akhlak. Pendidikan formalnya dimulai dari Sekolah Rakyat
Muhammadiyah Yogyakarta, kemudian dilanjutkan di Sekolah al-Attas dan Sekolah al-Irsyad di Batavia Jakarta)
yang dibimbing oleh syaikh Akhmad Surkati, teman akrab KH Ahmad Dahlan. Pendidikan yang diterima di
sekolah-sekolah tersebut telah membawa dirinya tampil sebag pemimpin Islam di Indonesia yang tangguh.

Setelah menamatkan pendidikan, M. Yunus Anis aktif  sebagai seorang muballigh. Beliau banyak terjun ke
masyarakat berbagai daerah di Indonesia untuk mengembangkan misi dakwah dan Muhammadiyah. Beliau juga
banyak mendirikan caba Muhammadiyah di berbagai daerah di Indonesia. Beliau dikenal sebagai seorang ahli di
bidang administrasi dan organisasi.

Pada tahun 1924-1926, beliau menjabat sebagai pengurus Cabang Muhammadiyah di Jakarta Sejak saat
itu, kepemimpinan semakin menonjol dan memperoleh kepercayaan dari keluarga besar  Muhammadiyah. Pada
tahun 1934-1936 dan 1953-1958, beliau dipercaya sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Dalam posisinya sebagai seorang Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, pada tahun 1954, TNI
memberikan kepercayaan kepadanya dengan diangkat sebagai Kepala Pusroh (imam tentara) Angkatan Darat
Republik Indonesia. Sebagai imam tentara, beliau banyak memberikan pembinaan mental bagi tentara.

Pembubaran Masyumi membawa dampak buruk terhadap umat Islam. Nyaris kepentingan umat Islam di
parlemen tidak terwakili. Dalam kondisi dan situasi yang demikian genting, Yunus Anis kemudian diminta oleh
berbagai kalangan termasuk A. H. Nasution, agar bersedia menjadi anggota DPR yang sedang disusun oleh
Presiden Soekarno. Kesediaannya menjadi anggota DPR mengundang banyak kritik dari tokoh-tokoh
Muhammadiyah lainnya, sebab disadari bahwa Muhammadiyah saat itu tidak mendukung kebijakan Presiden
Soekarno yang membubarkan Masyumi, serta bertindak otoriter dalam penyusunan anggota parlemen. Namun
kritik itu dijawabnya dengan ungkapan sederhana, bahwa keterlibatannya di dalam parlemen bukanlah untuk
kepentingan politik jangka pendek, melainkan untuk kepentingan jangka panjang. Yakni, mewakili umat Islam
yang nyaris tidak terwakili dalam parlemen.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai berlakunya kembali UUD 1945 dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia, menyulut timbulnya berbagai macam peristiwa politik yang tidak sehat. Tidak sedikit
manuver dan intrik dilakukan oleh partai politik, terutama Partai Komunis Indonesia yang sangat
membahayakan bagi stabilitas kondisi politik Tanah Air. Dalam situasi seperti itulah Yunus Anis terpilih sebagai
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1959-1962 pada Muktamar Muhammadiyah ke-34 di Yogyakarta.
sumber
FB : Persyarikatan Muhammadiyah
 
Selama periode kepemimpinannya, Yunus Anis mengawal gagasan tentang kepribadian Muhammadiyah.
Perumusan tersebut digarap oleh sebuah tim yang dipimpin oleh KH. Faqih Usman, dan diputuskan dalam
Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 yang bertepatan dengan setengah abad Muhammadiyah.

Ditengah kesibukannya M Yunus Anis tetap melaksanakan tabligh di tengah masyarakat. Sehingga tidak
ada waktu luang yang tidak terisi dengan kegiatan yang memberikan manfaat untuk umat. Beliau memiliki
komitmen dan sikap untuk selalu memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya sebagai bentuk pengamalan
salah satu ajaran Islam.
KH Faqih Usman (Ketua 1968 – 1971)

Kyai Haji Faqih Usman dilahirkan di Gresik, Jawa Timur tanggal 2 Maret 1904. Ia berasal dari keluarga
santri sederhana dan taat beribadah. Faqih Usman merupakan anak keempat dalam keluarga yanga
gemar akan ilmu pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun pengetahuan umum.

Masa kecilnya dilalui dengan belajar membaca al-Quran dan ilmu pengetahuan umum dari ayahnya
sendiri. Menginjak usia remaja ia belajar di pondok pesantren di Gresik tahun 1914-1918. Kemudian,
antara tahun 1918-1924 dia menimba ilmu pengetahuan di pondok pesantren di luar daerah Gresik.
Dengan demikian, ia juga banyak menguasai buku-buku yang diajarkan di pesantren-pesantren
tradisional, karena penguasaannya dalam bahasa Arab. Dia juga terbiasa membaca surat kabar dan
majalah berbahasa Arab, terutama dari Mesir yang berisi tentang pergerakan kemerdekaan. Apalagi,
pada penghujung abad 19 dan awal abad 20 itu di dunia Islam pada umumnya sedang terjadi gerakan
kebangkitan.

Faqih Usman dikenal memiliki etos enterpreneurship yang kuat. Kegiatan bisnis yang dilakukannya
cukup besar dengan mendirikan beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan alat-alat
bangunan, galangan kapal, dan pabrik tenun di Gresik. Bahkan, dia juga diangkat sebagai Ketua
Persekutuan Dagang Sekawan Se-Daerah Gresik.

Keterlibatannya dalam Muhammadiyah dimulai pada tahun 1925, ketika ia diangkat sebagai Ketua
Group Muhammadiyah Gresik, yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi salah satu Cabang
Muhammadiyah di Wilayah Jawa Timur. Selanjutnya, karena kepiawaiannya sebagai ulama-
cendekiawan, ia diangkat sebagai Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah Jawa Timur periode 1932-1936
yang berkedudukan di Surabaya. Ketika Mas Mansur dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar
Muhammadiyah, ia menggantikan kedudukan Mas Mansur sebagai Konsul Muhammadiyah Jawa Timur
pada tahun 1936. Pada tahun 1953, untuk pertama kalinya dia diangkat dan duduk dalam susunan
kepengurusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan seterusnya selalu terpilih sebagai salah seorang
staf Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Menjelang meninggalnya, beliau dikukuhkan sebagai Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di
Yogyakarta untuk periode 1968-1971. Namun, jabatan itu sempat diemban hanya beberapa hari saja,
karena ia segera dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa pada tanggal 3 Oktober 1968. Selanjutnya
kepemimpinan Muhammadiyah dilanjutkan oleh Abdul Rozak Fachruddin yang masih sangat muda.

MateriTerkait
Pidato Djuanda di Hadapan Presiden Soekarno: Jasa Besar Kiai Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah
Terhadap Bangsa Indonesia
Ada Dua Tokoh Muhammadiyah di Uang Baru, Siapa Saja?
Fatmawati, Pahlawan Nasional, Aktivis Nasyiatul Aisyiah
 

Faqih Usman banyak terlibat aktif di berbagai gerakan Islam yang sangat membantu pengembangan
Muhammadiyah. Dia pernah memimpin majalah Bintang Islam sebagai media cetak Muhammadiyah
Jawa Timur. Kegiatannya dalam Muhammadiyah memperluas jaringan pergaulannya, sehingga iapun
terlibat aktif di berbagai organisasi masyarakat, seperti Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada tahun
1937.

Pada tahun 1940-1942, dia menjadi anggota Dewan Kota Surabaya. Pada tahun 1945 dia menjadi
anggota Komite Nasional Indonesia Pusat dan Ketua Komite Nasional Surabaya. Pada tahun 1959, dia
menerbitkan majalah Panji Masyarakat (Panjimas) bersama-sama dengan Buya Hamka, Joesoef
Abdullah Poear, dan Joesoef Ahmad. Majalah ini memiliki ikatan yang erat dengan Muhammadiyah. Dia
juga ikut andil dalam Partai Masyumi sejak didirikannya pada tanggal 7 Nopember 1945 dalam
Muktamar Ummat Islam di Yogyakarta. Dia duduk sebagai salah seorang Pengurus Besar Masyumi, dan
pada tahun 1952 duduk sebagai Ketua II sampai dengan tahun 1960, yaitu pada saat Masyumi
dibubarkan.

Pembubaran Masyumi pada masa rezim Soekarno menancapkan luka yang mendalam bagi para tokoh
ummat Islam saat itu, sehingga ketika rezim itu tumbang digantikan oleh rezim Orde Baru, maka Faqih
Usman bersama dengan Hasan Basri (mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia) dan Anwar
Haryono (mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) mengirim nota politik kepada pemerintah
Orde Baru. Nota politik ini kemudian dikenal dengan Nota K.H. Faqih Usman, yang isinya permintaan
agar Pemerintah RI Orde Baru mau merehabilitasi Masyumi dari partai terlarang.

Faqih Usman banyak terlibat dalam aktivitas politik di negeri ini. Dia pernah dipercaya Pemerintah RI
untuk memimpin Departemen Agama pada masa Kabinet Halim Perdanakusumah sejak 21 Januari
1950 sampai 6 September 1950. Pada tahun 1951 ia ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Agama Pusat.
Situasi politik di tanah air yang tidak stabil saat itu menyebabkan susunan kabinet pun jatuh bangun. Ia
dipercaya kembali sebagai Menteri Agama pada masa Kabinet Wilopo sejak 3 April l952 sampai 1
Agustus 1953. Fenomena terpilihnya Faqih Usman sebagai Menteri Agama yang kedua kalinya sempat
menimbulkan konflik politik antara Masyumi dan Nahdhatul Ulama. K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang
merupakan representasi kubu NU menuntut agar jabatan Menteri Agama diberikan kepada unsur NU.
Namun, setelah diadakan pemungutan suara, ternyata Faqih Usman (representasi Masyumi) yang
terpilih. Hal ini mempengaruhi peta politik Islam di tanah air, karena akhirnya justru mempercepat
proses pemisahan Nahdhatul Ulama (NU) dari Masyumi.
Selepas dari jabatan Menteri Agama RI, ia masih tetap duduk sebagai anggota aktif Konstituate, di
samping jabatannya sebagai pegawai tinggi yang diperbantukan pada Departeman Agama sejak tahun
l954. Sebagai salah seorang tokoh Masyumi, dia juga terlibat aktif dalam resolusi konflik politik dalam
negeri. Hal itu terlihat menjelang meletusnya gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI) di Sumatera Utara. Bersama dengan Mohammad Roem, dia berusaha menjadi mediator untuk
mendamaikan konflik antara PRRI dengan pemerintah pusat saat itu. Ia berusaha menemui rekan-
rekannya di Masyumi yang terlibat dalam kegiatan PRRI tersebut, seperti Muhammad Natsir,
Boerhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara untuk mendialogkan persoalan yang semakin
menajam menjadi perang saudara tersebut. Upaya ini tidak membawa hasil yang memuaskan, bahkan
bisa dianggap gagal. Dalam keputusasaan tersebut, akhirnya Fakih Usman kembali ke Muhammadiyah
yang menjadi basis aktivitas kemasyarakatannya.

Sebagai salah seorang Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada kepengurusan KHA. Badawi
yang pertama (1962-1965), KH Fakih Usman merumuskan sebuah konsep pemikiran yang kemudian
dikenal dengan Kepribadian Muhammadiyah. Rumusan pemikirannya ini diajukan dalam Muktamar
Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 di Jakarta, yang akhirnya diterima sebagai pedoman bagi warga
Muhammadiyah.
KH Abdur Rozak Fachrudin (Ketua 1968
– 1990)

Pak AR demikian nama panggilan akrab Kiai Haji Abdur Rozak Fachruddin, adalah pemegang
rekor paling lama memimpin Muhammadiyah, yaitu selama 22 tahun (1968-1990). Pak AR lahir 14
Februari 1916 di Cilangkap, Purwanggan, Pakualaman, Yogyakarta. Ayahnya, K.H. Fachruddin adalah
seorang Lurah Naib atau Penghulu di Puro Pakualaman yang diangkat oleh kakek Sri Paduka Paku Alam
VIII, berasal dari Bleberan, Brosot, Galur, Kulonprogo. Sementara ibunya adalah Maimunah binti K.H.
Idris, Pakualaman.

Pada tahun 1923, untuk pertama kalinya A.R. Fachruddin bersekolah formal di Standaard School
Muhammadiyah Bausasran, Yogyakarta. Setelah ayahnya tidak menjadi Penghulu dan usahanya dagang
batik juga jatuh, maka ia pulang ke desanya di Bleberan, Galur, Kulonprogo. Pada tahun 1925, ia pindah
ke sekolah Standaard School (Sekolah Dasar) Muhammadiyah Prenggan, Kotagede, Yogyakarta. Setamat
dari Standaard School Kotagede tahun 1928, ia masuk ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah
Yogyakarta. Baru belajar dua tahun di Muallimin, ayahnya memanggilnya untuk pulang ke Bleberan,
dan belajar kepada beberapa kiai di sana, seperti ayahnya sendiri, K.H. Abdullah Rosad, dan K.H. Abu
Amar. Sehabis Mahgrib sampai pukul 21.00, ia juga belajar di Madrasah Wustha Muhammadiyah
Wanapeti, Sewugalur, Kulonprogo.
Setelah ayahnya meninggal di Bleberan dalam usia 72 tahun (1930), pada tahun 1932 A.R. Fach-
ruddin masuk belajar di Madrasah Darul Ulum Muhammadiyah Wanapeti, Sewugalur. Selanjutnya, pada
tahun 1935 A.R. Fachruddin melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Tablighschool (Madrasah
Muballighin) Muhammadiyah kelas Tiga.

Pada tahun 1935, A.R. Fachruddin dikirim (dibenum) oleh Hoofdbestuur Muhammadiyah ke Talangbalai


(sekarang Ogan Komering Ilir) dengan tugas mengembangkan gerakan dakwah Muhammadiyah. Di
sana, ia mendirikan Sekolah Wustha Muallimin Muhammadiyah, setingkat SMP. Pada tahun 1938, ia
juga mengembangkan hal yang sama di Ulak Paceh, Sekayu, Musi Ilir (sekarang Kabupaten Musi Banyu
Asin). Pada tahun 1941, ia pindah ke Sungai Batang, Sungai Gerong, Palembang sebagai pengajar HIS
(Hollandcse Inlanders School) Muhammadiyah, setingkat dengan SD.  
Pada tanggal 14 Februari 1942, Jepang menyerbu pabrik minyak Sungai Gerong. Dengan sendirinya
sekolah tempat mengajarnya ditutup. Kemudian A.R. Fachruddin dipindahkan ke Tebing Grinting, Muara
Meranjat, Palembang sampai tahun 1944. Selama bertugas itu Pak AR mengajar di sekolah
Muhammadiyah serta memimpin dan melatih HW, memberi Pengajian dan sebagainya

Ketika kembali Yogyakarta, ke desanya Bleberan, Kulon Progo (tahun 1944), A.R. Fachruddin
terus aktif berdakwah dalam Muhammadiyah. Ketika pada tahun 1950 pindah ke Kauman Yogyakarta,
A.R. Fachruddin tetap aktif sambil terus belajar kepada para assabiqunal
awwalun  Muhammadiyah,  seperti K.H. Syudjak, KHA. Badawi, KRH. Hadjid, K.H. Muchtar, Ki Bagus
Hadikusumo, K.H. Djohar, K.H. Muslim, K.H. Hanad, K.H. Bakir Saleh, K.H Basyir Mahfudz, Ibu Hj. Badilah
Zuber dan sebagainya.
Keterlibatan A.R. Fachruddin di pusat Muhammadiyah mengantarkan beliau menjadi Ketua
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta, kemudian menjadi Ketua Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah DIY, selanjutnya menjadi anggota Dzawil Qurba Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
sampai akhirnya dipercaya memimpin Muhammadiyah selama kira-kira 22 tahun (1968-1990).

Pak AR menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sejak tahun 1968 setelah di-fait
accomply untuk menjadi Pejabat Ketua PP Muhammadiyah sehubungan dengan wafatnya K.H. Faqih
Usman. Dalam Sidang Tanwir di Ponorogo (Jawa Timur) pada tahun 1969, akhirnya Pak AR dikukuhkan
menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sampai Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Makassar
pada tahun 1971. Sejak saat itu ia terpilih secara berturut-turut dalam empat kali Muktamar
Muhammadiyah berikutnya untuk periode 1971-1974, 1974-1978, 1978-1985 dan terakhir 1985-1990.
Dari riwayat perjalanan dakwahnya, dapat ditarik kesimpulan, Pak AR meniti karir di Muhammadiyah
sejak dari bawah, yaitu menjadi anggota, menjadi muballigh yang ditugaskan di pelosok Sumatera
Selatan dan di kampungnya sendiri, sampai pada pimpinan puncak yakni dipercaya sebagai Ketua
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pak AR menjadi pemimpin setelah melalui proses yang amat panjang.

Melihat sosok Pak AR, akan didapatkan sebuah cermin, bahwa seorang pemimpin perlu
menghayati bagaimana kehidupan ummat secara riil. Bagaimana derita dan nestapa ummat
di tingkat bawah, bagaimana pahit getir berdakwah dan menggerakkan organisasi di tingkat Ranting
yang jauh dari kota, yang serba kekurangan prasarana dan sarana. Susah payah, kesulitan-kesulitan, dan
suka duka yang dialami seorang pemimpin yang bekerja di tingkat Ranting dan Cabang dapat memberi
pengalaman yang berharga dan menjadikan seorang pemimpin menjadi arif dalam mengambil
kebijakan dalam memimpin umat.

Pak AR adalah ulama besar yang berwajah sejuk dan bersahaja. Kesejukannya sebagai pemimpin
ummat Islam bisa dirasakan oleh ummat beragama lain. Ketika menyambut kunjungan pimpinan
Vatikan, Paus Yohanes Paulus II di Yogyakarta, sebenarnya Pak AR menyampaikan kritikan kepada
umat Katholik, tetapi kritik itu disampaikannya secara halus dan sejuk berupa sebuah surat terbuka.

Dalam surat itu, Pak AR mengungkapkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia adalah muslim.
Namun, ada hal yang terasa mengganjal bagi umat Islam Indonesia, bahwa umat Katholik banyak
menggunakan kesempatan untuk mempengaruhi ummat Islam yang masih menderita dan miskin agar
mau masuk ke agama Katolik. Mereka diberi uang, dicukupi kebutuhannya, dibangunkan rumah-rumah
sederhana, dipinjami uang untuk modal dagang, tetapi dengan ajakan agar menjadi umat kristen. Umat
Islam dibujuk dan dirayu untuk pindah agama. Dalam tulisannya kepada Paus Yohanes Paulus II itu, Pak
AR menyatakan bahwa agama harus disebarluaskan dengan cara-cara yang perwira dan sportif. Kritik
ini diterima dengan lapang dada oleh ummat lain karena disampaikan dengan lembut dan sejuk dalam
bahasa Jawa halus, serta dijiwai semangat toleransi yang tinggi.

Orang mengatakan bahwa Pak AR adalah penyejuk. Orang selalu mengatakan bahwa kelebihan Pak AR
adalah kesejukan dalam menyampaikan dakwah. Gaya kepemimpinan Pak AR yang terasa adalah
kesejukan.

Semasa hidupnya Pak AR memberi contoh hidup welas asih dalam ber-Muhammadiyah. Sikap
hidup beliau yang teduh, sejuk, ramah, menyapa siapa saja, sering humor, dan bersahaja, adalah
pantulan dari mutiara terpendam dalam nuraninya. Pak AR adalah penyebar rasa kasih sayang dalam
kehidupan ber-Muhammadiyah, baik dengan sesama Muslim, bahkan juga non Muslim dalam
persaudaraan kemanusiaan yang luhur. Beliau tidak pernah menyebarkan sikap dan suasana saling
membenci, curiga, iri hati, saling ingin menapikan, apalagi suka menebar aib sesama dalam kehidupan
ber-Muhammadiyah.

Selain dikenal sebagai seorang mubaligh yang sejuk, ia juga dikenal sebagai penulis yang
produktif. Karya tulisnya banyak dibukukan untuk dijadikan pedoman. Di antara karya-karyanya ialah
Naskah Kesyukuran; Naskah Enthengan, Serat Kawruh Islam Kawedar; Upaya Mewujudkan Muhammadiyah
sebagai Gerakan Amal; Pemikiran dan Dakwah Islam; Syahadatain Kawedar; Tanya Jawab Entheng-
Enthengan; Muhammadiyah adalah Organisasi Dakwah Islamiyah; Al-Islam Bagian Pertama; Menuju
Muhammadiyah; Sekaten dan Tuntunan Sholat Basa Jawi; Kembali kepada Al-Qur‘an dan Hadis;
Chutbah Nikah dan Terjemahannya; Pilihlah Pimpinan Muhammadiyah yang Tepat; Soal-Jawab Entheng-
enthengan; Sarono Entheng-enthengan Pancasila; Ruh Muhammadiyah; dan lain-lain.
Ulama kharismatik ini tidak bersedia dipilih kembali menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta, walaupun masih banyak Muktamirin
yang mengharapkannya. Ia berharap ada alih generasi yang sehat dalam Muhammadiyah. Setalah tidak
menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah, dan menjabat sebagai Penasehat PP Muhammadiyah, Pak
AR masih aktif melaksanakan kegiatan tabligh ke berbagai tempat. Hingga akhirnya, penyakit vertigo
memaksanya harus beristirahat, sesekali di rumah sakit. Namun, dalam keadaan demikian, sepertinya
beliau tidak mau berhenti. Pak AR wafat pada 17 Maret 1995 di Rumah Sakit Islam Jakarta pada usia 79
tahun.

Anda mungkin juga menyukai