Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MODERNITAS MUHAMMADIYAH

Disusun Untuk Memenuhi tugas Mata Kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan


II

Dosen Pengampu: Alfadl Habiebie, M.Pd

Disusun Oleh:

Kelompok 6

Siti Mardianti M C2086201028

Rika Andriyani C2086201003

Qurrota A’yun Dimyati C2086201097

Visca Kusdiantika C2086201070

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan
nikmat sehat kepada hamba-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini
dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penulis tidak akan
sanggup menyelesaikan makalah yang berjudul ”Modernitas Muhammadiyah“ ini
dengan baik. Dan Alhamdulillah makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan.

Dalam penyelesaian tugas makalah ini penulis mengakui mendapat


bantuan dari banyak pihak, maka sepantasya penulis mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberi dukungan,
arahan, dan bimbingannya pada proses penyelesaian makalah ini.

Penulis berharap setelah adanya makalah ini bisa memberikan manfaat


khususnya kepada diri saya sendiri umumnya kepada para pembaca. Makalah ini
dirasa masih sangat jauh dari kata sempurna. Maka dari itu penulis harap pembaca
dapat memberikan kritik dan saran kepada penulis demi perbaikan makalalh ini.

Tasikmalaya, 19 Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i

DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. iii

A. Latar Belakang.................................................................................................... iii


B. Rumusan Masalah .............................................................................................. iii
C. Tujuan Masalah .................................................................................................. iii

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 1

A. Kondisi Sosial Keagamaan ................................................................................... 1


B. Kondisi Pendidikan Islam ..................................................................................... 2
C. Gelombang Modernisasi ....................................................................................... 3
D. Modernisasi Pendidikan ........................................................................................ 4
E. Pendirian Madrasah Modern ................................................................................. 5
F. Faktor-Faktor Yang Melahirkan Gerakan Muhammadiyah ................................. 6

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 8

A. Simpulan ................................................................................................................. 8
B. Saran ........................................................................................................................ 8

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Muhammadiyah merupakan suatu organisasi Islam sosial keagamaan
yang memiliki peran penting dalam modernisasi di Indonesia salah satunya
moderninasi pendidikan. Tajdid dan Ijtihad merupakan gerakan sosial
keagamaan Muhammadiyah yang mengimplementasikan program sosial
sebagai gerakan Islam Modern. Muhammadiyah dipandang sebagai pendorong
gerakan reformasi yang cukup berpengaruh dalam pembaruan Islam di
Indonesia khususnya dalam penyelenggaraan pendidikan Islam modern. K.H
Ahmad Dahlan adalah pendiri Muhammadiyah yang melancarkan aktivisme
amal usaha dengan mendirikan sekolah, panti asuhan, dan modernisasi
pendidikan. Oleh karena itu, kami akan membahas lebih dalam lagi mengenai
Modernisasi Muhammadiyah terkait kondisi sosial keagamaan, pendidikan
Islam dan gelombang modernisasi di Indonesia, modernisasi pendidikan
Muhammadiyah, pendirian madrasah modern serta faktor-faktor yang
melahirkan gerakan Muhammadiyah.
B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana kondisi sosial keagamaan di Indonesia?
2) Bagaimana kondisi pendidikan Islam di Indonesia?
3) Bagaimana gelombang modernisasi di Indonesia?
4) Bagaimana modernisasi pendidikan Muhammadiyah?
5) Bagaimana pendirian madrasah modern?
6) Apa saja faktor-faktor yang melahirkan gerakan Muhammadiyah?
C. Tujuan Masalah
1) Untuk mengetahui kondisi sosial keagamaan di Indonesia.
2) Untuk mengetahui kondisi pendidikan Islam di Indonesia.
3) Untuk mengetahui gelombang modernisasi di Indonesia.
4) Untuk mengetahui modernisasi pendidikan Muhammadiyah.
5) Untuk mengetahui pendirian madrasah modern.

iii
6) Untuk mengetahui faktor-faktor yang melahirkan gerakan Muhammadiyah.

iv
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kondisi Sosial Keagamaan


Sebelum Islam datang, masyarakat di Nusantara memiliki
kepercayaan yang telah menyatu dengan sistem hidup mereka.
Kepercayaan-kepercayaan itu adalah dinamisme, animisme, Hinduisme
dan Budhaisme. Snouck Hurgronye menulis bahwa di Indonesia, terutama
di Jawa, Sumatera Tengah dan Aceh, masyarakat percaya pada benda-
benda gaib, suatu kepercayaan yang sebagian merupakan pikiran orang
Polinesia, sebagian merupakan pikiran orang Hindu; slametan-slametan
orang Jawa disajikan bagi semangat (jiwa) nenek moyang mereka,
semangat-semangat yang dianggap melindungi desa-desa dan sawah-
sawah; ia mengunjungi tempat keramat-keramat, kubur-kubur sakti dari
wali-wali, diantaranya berasal dari keramat-keramat zaman pra agama; ia
membakar kemenyan di bawah pohon-pohon yang dianggap sakti; bacaan-
bacaan doanya penuh dengan nama-nama makhluk halus seperti demit,
peri, dan periangan dan lainnya serta jin; Dalam hatinya ia sebenarnya
orang-orang yang tidak beragama (Noer, 1980:20). Setelah Islam datang
kepercayaan-kepercayaan itu tetap eksis dan tidak mudah dihapuskan,
bahkan bercampur baur dengan ajaran Islam. Dalam kondisi seperti inilah
Islam hadir dan berkembang menjadi ajaran yang berbeda dengan Islam
yang murni sebagaimana diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, Muhammad
SAW.
Terkait dengan paham keagamaam, Daliman menyebut ada 3 corak
ajaran Islam yang berkembang saat awal masuknya Islam ke Indonesia,
yaitu mazhab Syi’ah, Mazhab Syafii dan Mazhab hanafi. Pada abad ke-16,
ajaran Syi’ah telah dijadikan sebagai ajaran resmi di Persia. Para penganut
syi’ah banyak ditemukan di Perlak dan Samudera Pasai. Dalam catatan
sejarah kerajaan Samudera Pasai sesungguhnya menganut paham syi’ah
(Daliman, 2012:44-45). Ajaran syi’ah menganut paham tasauf, yaitu

1
paham wujudillah (emanasi), dimana manusia adalah percikan dari sinar
Ilahi. Ajaran ini dicetuskan oleh al-Hallaj. Saat itu, ajaran ini diikuti dan
disebarkan oleh Hamzah Fansyuri dan Syamsuddin al-Samatrani. Dalam
catatan sejarah, mazhab Syafii masuk ke Sumatera Timur dibawa oleh
Syekh Ismail dari Mesir dan berhasil mengubah paham Kerajaan
Samudera Pasai menjadi paham Syafiiyyah. Sejak itulah faham Syafiiyyah
menyebar ke seluruh penjuru nusantara (Daliman, 2012:50-51). Adapun
Mazhab Hanafi berkembang di pantai utara pulau Jawa dibawa dari negeri
Campa, sebuah kerajaan kuno di dataran Asia Tenggara yang terletak di
Vietnam Selatan. Menurut Daliman, Kerajaan Demak menganut ajaran
Hanafi, hal ini didasarkan pada kronik yang mengisahkan bahwa ketika
Fatahillah sebagai panglima tentara Demak menyerang Cirebon pernah
memberi gelar “Maulana Idil Hanafi” bagi seorang Muslim Cina yang
telah berjasa dalam membantu merebut Cirebon.
B. Kondisi Pendidikan Islam
Ada dua model pendidikan sebagai representasi pendidikan Islam
yang berkembang di Indonesia sejak masuknya Islam hingga memasuki
abad ke-20, yaitu model pesantren dan surau. Model pesantren tumbuh dan
berkembang di Jawa, sedangkan surau di Sumatera. Kedua model
pendidikan ini masih sangat tradisioal, konsevatif, kolot dan tidak
memenuhi standar pendidikan Eropa (Riklefs, 2005:336-337). Dari aspek
manajemen, pesantren ataupun surau dipimpin oleh seorang Kiyai. Kiyai
adalah figur tunggal dan sentral yang memiliki otoritas penuh dalam
segala hal terhadap murid atau santrinya, bahkan masyarakat luas. Dalam
pandangan kiyai, seperti disebut Dhofier, pesantren yang dipimpinnya
seperti kerajaan kecil dan dirinya sebagai sumber mutlak atas seluruh
kewenangan atau kekuasaan dalam kehidupan pesantren (Dhofier,
1994:56).
Dari aspek proses pendidikan, hampir dipastikan metode
pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah yang monoton, tanpa
dialog. Materi yang diajarkan hanya terfokus pada pelajaran agama seperti

2
tertuang dalam kitab Islam klasik, misalanya terkait dengan praktik salat
lima waktu, khutbah, salat jumat dan lainnya. Jika diklasifikasikan, kitab
yang dipelajari di pesantren dapat dibagi menjadi 8, yaitu: nahwu, sharaf,
fikih, usul fikih, hadis, tafsir, tauhid, tasawuf dan etika, serta cabang-
cabang yang lain seperti tarikh, dan balaghah (Dhofier, 1994:49-50). Dari
8 jenis kitab tersebut, pengajaran fikih, nahwu, sharaf dan akidah menjadi
prioritas. Sedangkan pengajaran tasauf, tafsir al-Qur’an, dan juga hadis
sebagai ilmu yang bersifat sophisticated, yang hanya dapat dipelajari oleh
orang-orang tertentu (Madjid, 1997:93).
C. Gelombang Modernisasi
Modernisasi di Dunia Islam pertama kali terjadi tahun 1803 di
Sumatera Barat, Minagkabau. Saat itu, Haji Sumanik, Haji Piobang dan
Haji Miskin baru pulang dari Mekah setelah selesai menunaikan ibadah
haji membawa semangat ajaran Wahhabi. Tentang bagaimana mereka
terpengaruh ajaran Wahhabi diceritakan oleh para sejarahwan bahwa
jamaah haji sebelum pulang ke Indonesia mereka bermukim dan belajar
agama di Mekkah. Salah seorang tokoh ternama asal Bukit Tinggi yang
tinggal menjadi penduduk Mekah dan memiliki kedudukan prestesius
sebagai Imam mazhab Syafii di Masjid Haram bernama Syekh Ahmad
Khatib. Disamping itu, ia menyetujui aliran Tarekat Naqsabandiyah. Ia
mulai belajar di Mekkah sejak tahun 1855, saat usianya 21 tahun.
Meskipun memiliki kedudukan yang tinggi, ia seorang yang familiar,
cerdas, toleran dan terbuka, sehingga banyak murid-muridnya berasal dari
Indonesia. Karena toleran dan terbuka, ia memberikan kekebasan murid-
muridnya untuk membaca dan mempelajari kitab-kitab yang ditulis oleh
para pembaharu di dunia Islam saat itu, seperti tafsir al-Manar yang ditulis
oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dan Majalah Urwatul Wutsqa
yang diterbitkan oleh Jamaluddin al-Aghani dan Muhammad Abduh.
Tujuannya agar setelah mengetahui ide-ide pembaharuan tersebut para
muridnya dapat meng-counter, menentang dan menolaknya.

3
Murid-muridnya yang tetap menolak ide-ide pembaharuan tersebut
dan tetap memegang teguh mazhab Syafii antara lain adalah Syekh
Sulaiman ar-Rasuli, KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dan sebagainya.
Sementara murid yang lain di luar dugaan bukannya menolak ide-ide
pembaharaun tersebut, tetapi menerimanya bahkan menjadi pembelanya.
Mereka adalah Syekh Muhammad Jamil Jambek, Abdul Karim Amrullah,
Abdullah Ahmad, KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan
lainya. Dengan demikian KH. Ahamd Dahlan adalah teman sekaligus
sahabat KH. Hasyim Asy’ari. Mereka sama-sama menjadi murid Syekh
Ahmad Khatib. Pada awal abad ke-20 gelombang modernisasi Islam di
Indonesia semakin meluas. Secara kronologis, organisasi Islam modern
yang didirikan di Indonesia saat itu, adalah: Pertama, Jami’at Khair,
berdiri pada 15 Juli 1905. Kedua, Muhammadiyah berdiri pada 18
Nopember 1912. Ketiga, Al-Irsyad, berdiri pada 6 September 1914.
Keempat, Persatuan Islam (Persis), berdiri pada 12 Seprember 1923, dan
NU pada 31 Januari 1926.
D. Modernisasi Pendidikan
Kondisi sosial kegamaan di nusantara membawa Kiyai Dahlan
menggagas urgensi modernisasi pendidikan. Kuntowijoyo menyatakan
bahwa saat Muhammadiyah baru lahir sesungguhnya menghadapi 3 front,
yaitu tradisionalisme (pesantren dan kiyai), Jawaisme (animisme dan
dinamisme) dan modernisme (penjajahan Belanda). Tradisionalisme
dihadapi oleh Kiyai Dahlan dengan tabligh (menyampaikan) dengan
mencari dan mengunjungi murid. Melalui tabligh secara langsung
berimplikasi kepada perlawanan terhadap idolatry (pemujaan tokoh), dan
secara tidak langsung melawan mistifikasi (agama dibuat misterius).
Sedangkan Jawaisme dihadapi dengan positive action (mengedepankan
amar makruf, mengurangi nahi munkar). Adapun modernisme dihadapi
salah satuya dengan pendidikan melalui pendidirian sekolah-sekolah
(Kuntowijoyo dalam Mulkhan, 2000: xiii-xvii).

4
Dalam pandangan Kiyai Dahlan, keterbelakangan yang dihadapi
oleh umat Islam sebenarnya akibat dari kebodohan, karena itu untuk
mengatasinya, menurutnya, harus melalui pendidikan. Menurutnya ada 3
nilai dasar pendidikan yang harus ditegakkan untuk membangun sebuah
bangsa, yaitu pertama, Pendidikan Akhlak, sebagai ikhtiar menanamkan
karakter yang berlandaskan Al-Qur’an dan hadis. Kedua, Pendidikan
Individu, sebagai upaya menumbuhkan kesadaran individu yang utuh,
yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani, keyakinan dan
intelektualitas, prasaan dan akal, dunia dan akhirat. Ketiga, Pendidikan
Sosial, sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup
bermasyarakat (Hidayat dkk, 2014:185).
Sebagai seorang “alumni tanah suci” yang terpengaruh dengan
pembaharuan Islam, Kiyai Dahlan mulai merintis sistem penddidikan yang
berbeda dengan sistem pendidikan saat itu. Ia tidak menolak 2 sistem
pendidikan yang sedang berkembang saat itu, yaitu sistem pendidikan
pesantren dan Belanda. Tetapi berusaha membuat terobosan baru dan
mendesain sistem baru dalam bentuk konvergensi, yaitu mengadaptasikan
sistem pendidikan pesantren dengan model sekolah Belanda. Sebagai
realisasinya, langkah pertama yang ia lakukan adalah dengan mengadopsi
sistem pendidikan Barat (Belanda), terutama terkait dengan metode
belajar, sementara isinya tetap Islam (Maarif, 1993:145).
E. Pendirian Madrasah Modern
Pada tanggal 1 Desember 1911, artinya satu tahun sebelum
Muhammadiyah berdiri dan setelah Kiyai Dahlan pulang dari ibadah haji
yang ke-2, ia membangun Madrasah Diniyyah Ibtidaiyyah di rumahnya
(Steenbrink, 1986:52). Madrasah Ibtidaiyyah yang dibangun oleh Kiyai
Dahlan merupakan perpaduan antara pesantren dan sekolah Belanda. Ia
ingin mengadopsi spirit keislaman yang dikembangkan di pesantren di
satu sisi, dan pada sisi yang lain instrumen dan kurikulumnya ia ingin
mengadaptasikannya dari sistem sekolah Belanda. Materi pelajaran yang
diajarkan di Madrasah Diniyah ini lebih banyak diadopsi dari karya

5
pembaharu Islam, seperti tauhid, tafsir, dan ilmu falak yang menjadi salah
satu bidang kompetensi khusus Kiyai Dahlan.
Hal pertama dilakukan oleh Kiyai Dahlan adalah mendesain
kurikulum dan intrumen belajar secara modern yang diadopsi dari model
pendidikan Belanda. Untuk pertama kalinya sebuah madrasah di
Yogyakarta mengajarkan pelajaran umum dan agama secara bersamaan.
Selain itu, instrument belajarnya mengikuti cara Belanda, yaitu
menggunakan papan tulis yang terbuat dari kayu suren dan bangku dari
kayu jati bekas mori, yang semua biaya pengadaannya dari uang pribadi
Kiyai Dahlan (Setiawan, 2015:169).
F. Faktor-Faktor Yang Melahirkan Gerakan Muhammadiyah
Faktor-faktor yang turut melahirkan gerakan Muhammadiyah kala
itu memang sangat komplek. Sedikitnya ada dua faktor yang ikut
berpengaruh dalam menjelaskan lahirnya Muhammadiyah. Pertama, faktor
internal bahwa kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah respons terhadap
tantangan ideologis yang telah berlangsung lama dalam masyarakat jawa.
Dalam masyarakat jawa, kondisi kehidupan keagamaan umat Islam secara
historis dipengaruhi oleh budaya keagamaan sebelumnya. Agama Hindu
dan Budha adalah warisan budaya yang sangat kuat di masyarakat jawa.
Prilaku keagamaan jawa, khususnya di daerah pedalaman masih kental
dengan budaya sinkritisme, yakni pencampur adukan dari berbagai unsur
nilai agama. Lebih-lebih, ada sebagian masyarakat jawa masih
memistikkan sesuatu (tahayyul dan khurafat) yang dianggap memiliki
kekuatan supranatual. Di samping itu, sebagain umat Islam juga sering
menambah-nambahi dalam masalah ibadah atau yang disebut bid’ah, yakni
praktek keagamaan yang tidak ada dasarnya yang jelas baik dari alquran
maupun as-sunnah. Keyakinan inilah yang membuat Muhammadiyah
benar-benar tertantang untuk melakukan pemahaman keagamaan yang
lurus dan benar sesuai doktrin Islam yang sesungguhnya.
Kedua, faktor eksternal bahwa kelahiran Muhammadiyah didorong
oleh tersebarnya pembaharuan Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-

6
tahun pertama abad 20. Seperti kita ketahui, bahwa Islam pasca jatuhnya
Bagdad pada abad 13 Umat Islam mengalami kemunduran dalam berbagai
persoalan. Sehingga baru pada abad 19 umat Islam mulai ada gagasan baru
yang agak menggembirakan. Meskipun abad 13, ada seorang tokoh Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Jauziyah sebagai tokoh peletak dasar ide pembaharuan,
tetapi hasilnya pun juga belum signifikan. Baru mulai abad 19 tokoh-tokoh
pembaharu mulai melakukan pembenahan dibidang keagamaan dan
pemikiran. Seperti Muhamad ibn Abd al-wahab, Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh yang kemudian dilanjutkan oleh murid-murid mereka.
Semua gagasan dan ide yang dicetuskan para tokoh pembaharu tersebut
lambat laum ikut mempengaruhi perkembangaan keagamaan dipenjuru
dunia, termasuk wilayah Indonesia.

7
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan

Adapun modernisasi yang bersentuhan dengan aspek sosial dipahami oleh


tokoh-tokoh Muhammadiyah Ranting Ulujami sebagai kesalehan sosial.
Seorang Muslim dapat dikatakan modern ketika dia tidak semata-mata
bertumpu pada kesalehan individu seperti shalat dan membaca Al-Quran,
tetapi juga mengamalkan ajaran Islam yang terkait dengan kemaslahatan
banyak orang. Sebagai salah satu organisasi Islam di Indonesia yang
mengkampanyekan reformasi agama, Muhammadiyah dikenal memiliki
orientasi keislaman yang modernis atau berkemajuan. Ideologi Islam
modernis ini ditunjukan dalam dua prinsip, yaitu purifikasi dan
modernisasi atau dinamisasi. Yang dimaksud purifikasi di sini adalah
pemurnian terhadap aspek akidah dan juga ibadah. Muhammadiyah
memegang teguh prinsip bahwa segala hal yang terkait ibadah (ibadah
mahdhahatau ‘ubuudiyyah; ibadah dalam pengertian yang sempit) adalah
haram untuk dilakukan, kecuali ada perintah dari Al-Quran ataupun Hadits
Nabi Muhammad. Sedangkan yang dimaksud modernisasi atau dinamisasi
adalah pembaruan penafsiran agama agar sesuai dengan konteks zaman
kontemporer. Modernisasi atau dinamisasi biasanya dilakukan pada aspek
‘keduniaan’ (sosial, politik, ekonomi, pendidikan, budaya, dan seterusnya)
atau non-ibadah. Dalam hal ini Muhammadiyah berprinsip bahwa dalam
hal ‘keduniaan’, masyarakat yang hidup dalam konteks zamannya lebih
mengetahui bagaimana mengelola kehidupan ini. Modernisasi atau
dinamisasi tidak mengandung arti bahwa Muhammadiyah tidak
menjadikan ajaran Islam sebagai referensi kehidupan umat islam.

B. Saran

Makalah ini berisi materi dari kajian Pustaka yang bertujuan untuk
menambah wawasan yang bertujuan untuk menambah wawasan dan
sebagai acuan dalam pembelajaran. Namun, makalah ini masih jauh dari

8
kesempurnaan sebagai mana manusia yang tidak luput dari kesalahan.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapan kritik dan saran dari para
pembaca untuk kesempurnaan makalah-makalah selanjutnya.

9
DAFTAR PUSTAKA

 https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/sangkep/article/view/606
 https://gema.uhamka.ac.id/2016/07/19/muhammadiyah-sebagai-gerakan-
purifikasi-dan-modernisasi/
Penilaian Perencanaan Pembuatan Makalah

Nama Rencana pembagian Realita pengerjaan Persentase peran


Mahasiswa tugas pengerjaan
dalam kelompok
Rika Andriyani Membuat Cover, Kata Sesuai dengan rencana 20%
Pengantar, Daftar Isi, dan
pembagian tugas
Menyusun Seluruh
Bagian Makalah
Siti Mardianti M Membuat dan menyusun Sesuai dengan rencana 20%
Materi pembahasan, pembagian tugas
Simpulan dan Saran
Visca Kusdiantika Membuat dan menyusun Sesuai dengan rencana 20%
materi pembahasan, pembagian tugas
Simpulan dan Saran
Qurrota A’yun Membuat Pendahuluan Sesuai dengan rencana 20%
Dimyati (Latar Belakang, pembagian tugas
Rumusan Masalah,
Tujuan Masalah) dan
Membuat Power Point
dari Pembahasan

Anda mungkin juga menyukai