Anda di halaman 1dari 19

“TEORI PSIKOANALITIK MENURUT ERIKSON” DALAM

FREUD’S AND ERIKSON’S PSYCHOANALYTIC THEORIST


CHAPTER 3

Oleh Kelompok 3:
Arin Firdalina (P27824420011)
Asryanty Amelinda Pane (P27824420012)
Aulya Ernika Peni (P27824420013)
Aurora Ratih Indah A. (P27824420014)
Belinda Anindita (P27824420015)
ORIENTASI DARI TEORI
PSIKOANALITIK
Erikson menerima pengertian dasar teori
Freudian: struktur psikologis, ketidaksadaran dan
kesadaran, dorongan, tahapan psikoseksual, kontinum
normal-abnormal, dan metodologi psikoanalitik.
Namun, ia memperluas teori Freud dengan
mengembangkan satu set delapan tahap psikososial
yang mencakup rentang hidup, dengan mempelajari
perkembangan identitas, dan dengan mengembangkan
metode yang menjangkau di luar pengaturan
psikoanalitik terstruktur yang digunakan dengan
orang dewasa.
Pandangan pada ketiga kontribusi ini berfungsi
sebagai orientasi pada teori. Ia digambarkan sebagai
"seorang moralis, seniman, dan intelektual yang
berusaha menghadapi budaya yang mulai kehilangan
kekuatannya sebagai instrumen untuk memenuhi
potensi dan aspirasi orang-orang yang hidup di
dalamnya“.
TAHAPAN-TAHAPAN DALAM TEORI
PSIKOANALITIK

Erikson membagi seluruh siklus hidup menjadi "DELAPAN


USIA MANUSIA". DELAPAN USIA ini mengacu pada
delapan periode kritis, ketika berbagai masalah ego seumur hidup mencapai
klimaks.
Tahap 1: Kepercayaan Dasar versus
Ketidakpercayaan Dasar (Kasar Dari Lahir
hingga 1 Tahun)

Tugas utama masa kanak-kanak adalah


memperoleh rasio yang menguntungkan antara
kepercayaan dan ketidakpercayaan.
Erikson menjelaskan kepercayaan dasar sebagai
"kepercayaan esensial dari orang lain serta rasa dasar
dari kepercayaan diri sendiri“ dan perasaan bahwa
"ada beberapa korespondensi antara kebutuhan Anda
dan dunia Anda“.
Beberapa ketidakpercayaan diperlukan di semua
usia untuk mendeteksi bahaya atau ketidaknyamanan
yang akan datang dan untuk membedakan antara
orang yang jujur dan tidak jujur.
Namun, jika ketidakpercayaan mengalahkan
kepercayaan, anak, atau kemudian orang dewasa,
mungkin frustrasi, menarik diri, curiga, dan kurang
percaya diri.
Tahap 2: Otonomi versus Rasa Malu dan
Keraguan (Kira-kira 2 hingga 3 Tahun)
Dengan perkembangan neurologis dan otot lebih lanjut,
berjalan, berbicara, dan potensi untuk kontrol anal. Ketika
anak-anak menjadi lebih bergantung secara fisik dan
psikologis, ada kemungkinan baru untuk pengembangan
kepribadian.
Namun, pada saat yang sama, ada kerentanan baru yaitu,
kecemasan akan perpisahan dari orang tua, ketakutan
bahwa kontrol anal tidak selalu memungkinkan, dan
hilangnya harga diri ketika kegagalan dating.
Pada tahap kedua ini, anak-anak menghadapi aturan
seperti kapan mereka boleh buang air besar atau area rumah
mana yang boleh mereka jelajahi. Aturan-aturan ini
merupakan petunjuk awal dari masyarakat “hukum dan
ketertiban” yang akan mereka hadapi
Masalahnya di sini, menurut Erikson, adalah “apakah kita
tetap menjadi penguasa aturan yang dengannya kita ingin
membuat segala sesuatunya lebih mudah diatur (tidak lebih
rumit) atau apakah aturan tersebut menguasai penguasa”
(1959, hlm. 72-73). Dalam masyarakat yang berfungsi dengan
baik, rasa otonomi yang didorong pada anak-anak
dipertahankan sepanjang hidup mereka oleh struktur ekonomi
dan politik masyarakat tersebut.
Tahap 3: Inisiatif versus Rasa Bersalah
(Kira-kira 4 hingga 5 Tahun)

Tema dari tahapan ini adalah identifikasi anak


dengan orang tua yang dianggap besar, berkuasa, dan
mengganggu. Erikson menerima garis besar dasar
kisah Freud tentang bagaimanaanak-anak mencapai
identifikasi melalui kompleks Oedipus, tetapi ia lebih
menekankan komponen sosial daripada seksual.
Seperti yang kita lihat dalam teori Freud, identifikasi
membawa serta hati nurani dan serangkaian
ketertarikan, sikap, dan perilaku jenis kelamin.
Tahap 4: Industri versus Inferioritas
(Kira-kira 6 Tahun hingga Pubertas)

Tema mereka adalah "Saya adalah apa


yang saya pelajari“. Peristiwa besar adalah
masuk ke sekolah, di mana mereka diekspos ke
teknologi masyarakat mereka: buku, tabel
perkalian, seni dan kerajinan, peta,
mikroskop, film, dan alat perekam. Akan
tetapi, belajar tidak hanya terjadi di sekolah
tetapi juga di jalan, di rumah teman, dan di
rumah.
Tahap 5: Identitas dan Repudiasi versus Difusi
Identitas (Remaja)

Modalitas psikososial dari tahap ini adalah menjadi diri


sendiri atau tidak menjadi diri sendiri. Pemuda mencari jati
dirinya melalui kelompok sebaya, klub, agama, gerakan politik,
dan sebagainya. Kelompok-kelompok ini memberikan
kesempatan untuk mencoba peran baru dengan cara yang sama
seperti seseorang mencoba jaket di toko sampai menemukan
yang cocok. Itu Ideologi masyarakat, mitra tahap ini dalam
tatanan sosial, memandu permainan peran ini dengan
menyampaikan peran mana yang dihargai oleh masyarakat.
Tahap 6: Keintiman dan Solidaritas versus
Isolasi (Dewasa Muda)

Hanya jika identitas yang terintegrasi dengan baik muncul


dari tahap 5, keintiman psikologis dengan orang lain (atau
bahkan diri sendiri) dapat dimungkinkan. Jika seorang remaja
takut dia akan kehilangan dirinya sendiri pada orang lain, dia
tidak dapat menyatukan identitasnya dengan orang lain.
Meskipun orang muda biasanya membentuk hubungan penting
dengan lawan jenis selama waktu ini, persahabatan mereka
dengan sesama jenis dan bahkan akses mereka ke perasaan dan
pikiran yang tepat juga menandai tahap ini.
Tahap 7: Pembangkitan versus Stagnasi dan
Penyerapan Diri (Dewasa Pertengahan)

Tahap 7, kemudian, menyediakan


mekanisme untuk kelangsungan masyarakat
dari generasi ke generasi. Kurangnya
generativitas diekspresikan dalam stagnasi,
penyerapan diri (pemanjaan diri), kebosanan,
dan kurangnya pertumbuhan psikologis.
Tahap 8: Integritas versus Keputusasaan
(Dewasa Akhir)

Pada tahap akhir ini, orang harus hidup dengan apa yang
telah mereka bangun selama hidup mereka. Idealnya, mereka
mencapai integritas. Integritas melibatkan penerimaan
keterbatasan hidup, rasa menjadi bagian dari sejarah yang lebih
besar yang mencakup generasi sebelumnya, rasa memiliki
kebijaksanaan berabad-abad, dan integrasi terakhir dari semua
tahap sebelumnya. Antitesis dari integritas adalah keputusasaan
penyesalan atas apa yang telah dilakukan atau tidak dilakukan
seseorang dengan hidupnya, takut mendekati kematian, dan
muak dengan diri sendiri
MEKANISME PERKEMBANGAN
TEORI PSIKOANALITIK

a. Mekanisme pembangunan
Erikson memandang pembangunan sebagai
penyelesaian konflik dari kekuatan yang
berlawanan. Erikson (1977) telah menguraikan
mekanisme perkembangan yang lebih spesifik:
bermain. Bermain digunakan dalam arti luas yang
berarti penggunaan citra untuk mencoba,
menguasai dan beradaptasi dengan dunia, untuk
mengekspresikan emosi, untuk menciptakan
kembali situasi masa lalu atau membayangkan
situasi masa depan,.
b. Posisi Masalah Perkembangan
Tidak seperti teori Freud, teori Erikson
memiliki elemen pandangan dunia kontekstualis.
Dia melihat seorang anak yang berubah dalam
dunia dan sistem konteks yang dibangun secara
budaya yang ditujukan untuk sosialisasi anak-anak
ke dalam budaya itu. Sifat dari pengaturan ini
berkontribusi serta mempengaruhi penyelesaian
dan krisis di setiap tahap.
Aplikasi Teori Psikoanalitik bagi Profesi Bidan dan
Tenaga Kesehatan Lain

◦ Bidan dapat membantu remaja


yang mengalami krisisidentitas karena
memiliki masalah dengan kemampuannya
mengendalikan emosi, bermasalah
menempatkan diri dengan teman sebayanya,
bermasalah dengan penampilancdirinya, tidak
mendapat figur yang tepat untuk
mencapai identitas diri yang baik.
◦ Bidandapatmembantu orang tua memfasilitasi
perkembangan anak dan mendidik anak- anak
mereka dengan membantu mereka mencapai
keseimbangan di setiap tahap usia.
◦ Memberikan informasi kepada bidan bahwa
kehamilan, persalinan, dan nifas ditandai adanya
krisis perkembangan.
TERIMAKASIH 

Anda mungkin juga menyukai