Anda di halaman 1dari 13

Teori Erik Erikson

A. Inti Teori

Inti dari teori Erikson tentang perkembangan ego ialah sebuah asumsi mengenai
perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara
universal dalam kehidupan setiap manusia. Erikson mengemukakan persepsinya bahwa
pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip epigenetik. Dalam teorinya, Erikson menjelaskan
bahwa :

(1) Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian
dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu dapat
dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam
radius sosial yang lebih luas.
(2) Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat
setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha
menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan didalam
tahap-tahap yang ada.

Ego berkembang mengikuti prinsip epigenetik, artinya tiap bagian dari ego berkembang pada
tahap perkembangan tertentu dalam rentang waktu tertentu. Erikson menjelaskan bahwa semua
yang berkembang mempunyai rencana dasar, dan dari perencanaan ini muncul bagian-bagian
yang mempunyai waktu khusus untuk menjadi pusat perkembangan, sampai semua bagian
muncul untuk membentuk keseluruhan fungsi.

B. Tahap perkembangan manusia menurut Erick Erikson :

1. Fase bayi (0-1 tahun)


Tahun pertama kehidupannya, bayi memakai sebagian besar waktunya untuk makan,
eliminsi (buang kotoran) dan tidur. Ketika ia menyadari ibu akan memberikan
makan/minum secara teratur, mereka belajar dan memperoleh identitas ego yang pertama,
yaitu perasaan kepercayaan dasar (sintonik). Sebaliknya, kalau tidak ada kesesuaian
antara kebutuhan sensori-oral dengan lingkungan, bayi akan mengembangkan
ketidakpercayaan dasar (distonik). Konflik antara kepercayaan dan ketidakpercayaan
memunculkan harapan. Kebalikan dari harapan adalah menarik diri, yang disebut Erikson
sebagai sumber patologis dari bayi. Bayi dengan harapan yang kecil, akan menarik diri
dari dunia luar sehingga mudah mengalami gangguan psikologis yang seri.
2. Fase Anak-anak (1-3 tahun)
Pada tahun ke dua, penyesuaian psikoseksual terpusat pada otot anal-uretral, anak belajar
mengontrol tubuh, terutama tentang kebersihan, atau sering disebut toilet training. Nilai
sintonik dari keberhasilan menguasai otot tubuh sesuai dengan tuntutan lingkungan
memberi identitas ego, yaitu otonomi. Sebaliknya, kegagalan atau distonik memperkuat
malu dan ragu, yang akan tertinggal di dalam diri anak seumur hidupnya. Ketika anak
mampu mengatasi krisis otonomi versus malu-ragu dan anak diizinkan melatih dan
mengontrol sendiri otot-ototnya, maka akan muncul kekuatan dasar kemauan.
3. Fase Usia Bermain (3-6 tahun)
Aktivitas genital pada usia bermain diikuti dengan peningkatan fasilitas untuk bergerak.
Anak bias bergerak dengan mudah, berlari, meloncat, memanjat, tanpa harus berusaha
serius, dimana permainan mereka menunjukkan inisiatif dan imajinasi. Anak
menggunakan inisiatif untuk memilih dan mengejar berbagai tujuan, seperti kawin
dengan ibu/ayah atau meninggalkan rumah, juga untuk menekan atau menunda suatu
tujuan. Tujuan yang harus dihambat akan menimbulkan rasa berdosa. Konflik yang
terjadi antara inisiatif dan berdosa menghasilkan kekuatan dasar tujuan.
4. Usia Sekolah (6-12 tahun)
Anak yang berkembang normal akan tekun belajar membaca dan menulis, berlajar
berburu, atau keterampilan lainnya yang dibutuhkan di masyarakat. Ketika anak bermain
dan bekerja keras mempelajari teknologi dari budayanya dan mempelajari strategi
interaksi sosialnya, mereka mulai membentuk gambaran tentang diri sendiri,
berkemampuan atau tidak. Ketekunan versus inferior menjadi krisis sosial pada tahap ini.
Jika anak belajar mengerjakan sebaik-baiknya, berarti mereka mengembangkan perasaan
ketekunan, tetapi kalau pekerjaannya tidak mencapai tujuan, mereka mendapat perasaan
inferiorita. Dari konflik ini, anak akan mengembangkan kekuatan dasar kemampuan.
5. Adolesen (12-18 tahun)
Pada tahap ini, krisis antara identitas dengan kekacauan identitas mencapai puncaknya.
Pubertas menjadi aspek psikoseksual yang penting bukan karena kemasakan seksual, tapi
karena pubertas memacu harapan peran dewasa pada masa yang akan datang. Menurut
Erikson, identitas muncul dari penegasan identifikasi masa kanak-kanak dan sejarah yang
berkaitan dengan kesediaan menerima standar tertentu. Remaja harus mengalami
keraguan dan kekacauan mengenai siapa dirinya sebelum mereka memperoleh identitas
yang stabil. Kekuatan dasar kepercayaan semasa bayi akan menghasilkan kekuatan dasar
kesetiaan pada tahap ini ketika terjadi krisis identitas.
6. Dewasa Awal (18-30 tahun)
Perkembangan psikoseksual tahap ini disebut genitality yang ditandai dengan saling
percaya dan berbagi kepuasan seksual secara permanen dengan orang yang dicintai.
Krisis psikososial yang terjadi yaitu keakraban versus isolasi. Keakraban adalah
kemampuan untuk menyatukan identitas diri dengan identitas orang lain tanpa ketakutan
kehilangan identitas diri itu, sedangkan isolasi adalah ketidakmampuan untuk bekerja
sama dengan orang lain melalui berbagi intimasi yang sebenarnya. Krisis antara
keakraban dengan isolasi akan menghasilkan cinta yang memuat keakraban dan sedikit
isolasi.

7. Dewasa (30-65 tahun)


Menurut Erikson, manusia mempunyai insting untuk mempertahankan jenisnya. Sintonik
pada tahap dewasa adalah generativativa, yaitu penurunan kehidupan baru, serta produk
dan ide baru. Sebaliknya, siklus generativitas akan lumpuh jika orang terlalu
mementingkan diri sendiri, dan perkembangan budaya menjadi terhenti, ini disebut
stagnasi. Kepedulian merupakan kekuatan dasar tahap ini yang membutuhkan semua
kekuatan dasar ego sebelumnya.Kebalikan dari kepedulian adalah penolakanyang
diwujudkan dalam bentuk mementingkan diri sendiri.
8. Usia Tua (>65 tahun)
Tahap terakhir dari psikoseksual adalah generalisasi sensualitasyang ditunjukkan dengan
memberi perhatian lebih besar kepada gaya hidup pasangannya. Orang yang memiliki
identitas ego yang kuat akan mencapai integritas yaitu kemampuan menyatukan perasaan
keakukan dan mengurangi kekuatan fisik dan intelektual. Integritas ego sering sukar
dipertahankan ketika orang telah kehilangan aspek yang akrab dengan dirinya, sehingga
muncul tekanan dan orang akan merasa putus asa (despair). Orang dengan kebijaksanaan
yang matang, tetap mempertahankan integritasnya ketika kemampuan fisik dan
mentalnya menurun. Antithesis dari kebijaksanaan adalah penghinaan yang merupakan
kelanjutan dari patologi masa dewasa, yaitu penolakan.

Setiap tahap perkembangan kepribadian pada tokoh Emed memiliki unsur secara
tidak langsung berkaitan dengan lingkungan dan tempat ia tinggal. Erikson berpendapat
bahwa tiap tahap-tahap perkembangan juga disertai krisis. Keberhasilan atau kegalalan
pada setiap krisis yang dilalui tokoh Emed akan terrefleksikan di masa yang akan datang,
ada 7 faktor yang mendukung tahap ini, yaitu :

1. Kepercayaan VS Ketidak percayaan


2. Otonomi VS Rasa malu dan Ragu-ragu
3. Inisiatif VS Rasa Bersalah
4. Identitas VS Kebingungan Peran
5. Keintiman VS Isolasi
6. Generativitas VS Stagnasi
7. Integritas VS Putus Asa

C. Struktur Kepribadian
Erikson (Alwisol, 2009:85-88) membagi struktur kepribadian manusia menjadi tiga
bagian, yaitu:

1. Ego Kreatif

Ego kreatif adalah ego yang mampu memberikan solusi untuk mengatasi
permasalahan baru pada setiap tahap kehidupan dengan cara yang kreatif. Ketika
menemukan hambatan, ego akan bertahan dan bereaksi dengan menggabungkan potensi
yang ada dalam diri dan kesempatan yang disediakan lingkungan. Ego yang baik
memiliki 3 dimensi, yaitu faktualisasi, universalitas dan aktualitas.

a) Faktualisasi merupakan kumpulan hasil interaksi individu dengan lingkungannya


yang dikemas dalam bentuk data dan fakta.
b) Universalitas berkaitan dengan sense of reality, merupakan
pengkombinasianpandangan alam semesta dengan sesuatu yang dianggap konkrit dan
praktis.
c) Aktualitas merupakan realitas masa kini yang berusaha mengembangkan cara
baru untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapi, menjadi lebih efektif,
progresif, dan prospektif.

Erikson (Alwisol, 2009:86) berpendapat bahwa sebagian ego yang ada pada individu
bersifat tak sadar, mengatur dan menyusun pengalaman yang terjadi pada masa lalu dan
pengalaman yang akan terjadi pada masa mendatang. Dalam hal ini, Erikson menemukan
tiga aspek yang saling berhubungan, yaitu ego tubuh, ego ideal dan ego identitas. Ketiga
aspek ini akan terus terjadi pada setiap fase kehidupan dan akan mengalami
perkembangan pesat pada masa dewasa.

a) Ego tubuh mengacu pada pengalaman-pengalaman dengan tubuh kita, yaitu cara
memandang fisik diri kita sebagai sesuatu yang berbeda dengan orang lain.
b) Ego ideal merupakan suatu gambaran terkait dengan konsep diri yang ideal.
c) Ego identitas menggambarkan bagaimana diri sendiri berperan dalam ragam
peran sosial yang dimainkan pada lingkungan tertentu.

2. Ego Otonomi Fungsional


Ego otonomi fungsional adalah ego yang berfokus pada penyesuaian ego terhadap
realita.Contohnya, yaitu hubungan ibu dan anak.Meskipun Erikson sependapat dengan
Freud mengenai hubungan ibu dan anak mampu memengaruhi serta menjadi hal
terpenting dari perkembangan kepribadian anak, tetapi Erikson tidak membatasi teori
teori hubungan id-ego dalam bentuk usaha memuaskan kebutuhan id oleh ego. Erikson
(Alwisol, 2009:86) menganggap bahwa proses pemberian makanan pada bayi merupakan
model interaksi sosial antara bayi dengan lingkungan sosialnya.

3. Pengaruh Masyarakat

Kapasitas yang dibawa sejak lahir oleh individu penting dalam perkembangan
kepribadian, akan tetapi pengaruh masyarakat juga tidak kalah penting dalam proses
pembentukan ego. Erikson mengemukakan faktor yang memengaruhi kepribadian yang
berbeda dengan Freud. Meskipun Freud menyatakan bahwa kepribadian dipengaruhi oleh
biologikal, Erikson memandang kepribadian dipengaruhi oleh faktor sosial dan
historikal.Erikson (Alwisol, 2009:88) menyatakan bahwa potensi yang dimiliki individu
adalah ego yang muncul bersama kelahiran dan harus ditegakkan dalam lingkungan
budaya. Anak yang diasuh dalam budaya masyakarat berbeda, cenderung akan
membentuk kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan budaya sendiri.

D. Dinamika Kepribadian

Feist dan Feist (2008, 215-217) menyatakan bahwa perwujudan dinamika kepribadian
adalah hasil interaksi antara kebutuhan biologis yang mendasar dan pengungkapannya
melalui tindakan-tindakan sosial. Hal ini berarti bahwa perkembangan kehidupan
individu dari bayi hingga dewasa umumnya dipengaruhi oleh hasil interaksi sosial
dengan individu lainnya sehingga membuat individu menjadi matang baik secara fisik
maupun secara psikologis. Ego berkembang melalui respon terhadap kekuatan dalam dan
kekuatan lingkungan sosial. Erikson (Alwisol, 2009:87) menyatakan bahwa ego adalah
sumber kesadaran diri individu, bersifat adaptif dan kreatif, berjuang aktif membantu diri
menangani dunianya. Selama menyesuaikan diri dengan realita, ego mengembangkan
perasaan keberlanjutan diri dengan masa lalu dan masa yang akan datang.
Teori Kepribadian Carl Gustav Jung

Carl Jung lahir 26 Juli di Kesswil dengan masa kanak-kanak yang sulit dan tidak
bahagia. Jung memiliki kehidupan yang dapat dikatakan memprihatinkan terutama
dengan dampak dari kehidupannya tersebut yang membuat kepribadiannya kurang
diterima oleh lingkungannya. Tetapi dari kisah hidupnya itulah ia dapat menciptakan
teori kepribadian, sama halnya tokoh – tokoh kepribadian lain yang menciptakan teori
berdasarkan kisah hidup mereka yang juga memprihatinkan. Dalam teorinya ia
menjelaskan bahwa kepribadian yang dimiliki setiap manusia saat ini tidak hanya berasal
dari pengalaman masa lalu/lampau tetapi juga oleh masa mendatang/masa depan.
Adapun struktur kepribadian manusia menurut Jung, terdiri dari dua dimensi yaitu
dimensi kesadaran/alam sadar (consciousness) dan dimensi ketidaksadaran/alam bawah
sadar (unconscious). Kedua dimensi mempunyai fungsi masing-masing dalam
penyesuaian diri setiap individu. Dimensi keasadaran berupaya menyesuaikan terhadap
dunia luar individu. Adapun dimensi ketidaksadaran berupaya menyesuaikan terhadap
dunia dalam individu. Dalam penajabarannya dimensi kesadaran yang dimaksud disini
ialah ego, sedangkan dimensi ketidaksadaran dijabarkan menjadi alam bawah sadar
personal/personal unconscious dan alam bawah sadar kolektif/collective unconscious.

A. Dimensi kesadaran
Ego merupakan tingkah laku yang ditampilkan secara sadar oleh manusia. Ego
adalah jiwa sadar yang terdiri dari persepsi, ingatan, pikiran, perasaan sadar manusia.
Ego juga melahirkan perasaan identitas dan kontinuitas seseorang. Dari segi pribadi ego
dipandang berada pada dimensi keasadaran. Dimensi kesadaran manusia dapat
diklasifikasikan kedalam tipe – tipe psikologis, yakni fungsi jiwa dan sikap jiwa yang
masing-masing berperan penting dalam orientasi hidup manusia.
Fungsi jiwa adalah aktivitas jiwa yang tidak berubah meski dalam situasi atau
lingkungan yang berbeda beda. Jung membagi fungsi jiwa kedalam empat pokok fungsi,
yaitu thinking (pikiran), felling (perasaan), sensing (penginderaan), dan intuiting
(intuisi). Pikiran dan perasaan adalah dua fungsi jiwa yang rasional, sedangkan
penginderaan dan intuisi adalah dua fungsi jiwa yang irasional. Adapun sikap jiwa
adalah arah dari energi psikis/libido.
Jika dijabarkan bagaimana penilaian dan cara kerja dari fungsi jiwa, maka :

No Fungsi Jiwa Sifatnya Cara Bekerjanya


1 Pikiran Rasional Penilaian benar, salah
2 Perasaan Rasional Penilaian senang, tidak
senang
3 Penginderaan Irrasional Tanpa penilaian sadar
melalui indra
4 Intuisi Irrasional Tanpa penilaian, melalui
naluri.

Keempat fungsi jiwa tersebut berpasangan, dalam artian jika satu fungsi jiwa itu
menjadi superior, yaitu menguasai kehidupan alam sadar, maka fungsi pasangannya
interior, yaitu ada dalam ketidaksadaran. Adapun fungsi jiwa yang lainnya menjadi
fungsi pembantu, sebagian terletak dalam alam sadar dan sebagian lagi dalam alam
tidak sadar.

1. Dimensi Ketidaksadaran
a. Alam bawah sadar personal (personal unconscious)
Secara sederhana alam bawah sadar personal dapat diartikan sebagai
pengalaman yang dilupakan atau diabaikan atau dapat bermakna berisi
pengalaman yang ditekan, dan yang gagal menimbulkan kesan sadar. Bagian
terbesar dari isi tak sadar pribadi, yakni ingatan siap yang sewaktu-waktu dapat
dimunculkan ke kesadaran. Adapun riset asosiasi kata oleh Jung menghasilkan
suatu hal yang disebut complex yang berkaitan dengan tak sadar pribadi.
Kompleks sendiri bermakna, sekelompok idea (perasaan-perasaan, fikiran-fikiran,
persepsi-persepsi, ingatan-ingatan) mungkin mengorganisir diri menjadi satu.
b. Alam bawah sadar kolektif (collective unconscious)
Alam bawah sadar kolektif bermakna ingatan yang diwariskan dari masa
lampau leluhur. Biasa disebut dengan transpersonal unconscious dan termasuk
konsep asli Jung yang paling controversial, suatu sistem psikis yang paling kuat dan
paling berpengaruh, dan pada kasus-kasus patologik mengungguli ego dan
ketidaksadaran pribadi. Tak sadar kolektif merupakan fondasi ras yang diwariskan
dalam keseluruhan strukutur kepribadian. Diatasnya dibangun ego, taksadar pribadi
dan pengalaman individu. Jadi apa yang dipelajari dari pengalaman secara
substansial dipengaruhi oleh tak sadar kolektif yang menyeleksi dan mengarahkan
tingkah laku sejak bayi.
Dalam alam bawah sadar kolektif, Jung menjelaskan bahwa, tak sadar kolektif
berisi image dan bentuk pikiran yang banyaknya tak terbatas, sehingga ia
memusatkan diri pada image dan bentuk pikiran yang muatan emosinya besar
disebut juga archetype dengan nama lain ( dominan, primordial image, imago,
mitologic image, atau pola tingkah laku).
Archetype adalah bentuk tanpa isi, mewakili atau melambangkan peluang
munculnya jenis persepsi dan aksi tertentu, memiliki kekuatan yang sangat besar,
kekuatan pengalaman manusia yang berusia ribuan tahun. Jung telah
mengidentifikasi berbagai macam bentuk archetype dan yang paling dominan dalam
membentuk kepribadian dan tingkah laku manusia diantaranya adalah persona,
anima dan animus, shadow, dan self.
Persona dimaknai sebagai topeng atau citra diri yang ingin ditunjukkan kepada
public. Topeng inilah yang akan dipersepsikan masyarakat mengenai kepribadian dan
tingkah laku kita. Persona disebut sebagai lawan dari kepribadian privat yang berada
dibalik wajah sosial. Persona sering kali dibutuhkan untuk survival, membantu diri
mengontrol fikiran, perasaan dan tingkah laku manusia. Tujuannya adalah
menciptakan kesan tertentu kepada orang lain dan sering juga bertujuan
menyembunyikan hakikat pribadi yang sebenarnya dari orang lain.
Anima dan animus dimaknai sebagai sisi feminim (anima) pada laki-laki dan sisi
maskulin (animus) pada wanita. Sesudah mengalami hidup bersama berabad-abad,
pria menjadi memiliki sifat feminin dan sebaliknya wanita menjadi memiliki sifat
maskulin. Sifat tersebutlah yang diturunkan dalam bentuk archetype, anima, dan
animus. Anima dan animus menyebabkan masing-masing jenis menunjukkan ciri
lawan jenisnya, sekaligus berperan sebagai gambaran kolektif yang memotivasi
masing-masing jenis untuk tertarik dan memahami lawan jenisnya. Pria memahami
wanita berdasarkan animanya, sedangkan wanita memahami kodrat pria berdasarkan
animusnya.
Shadow dapat dimaknai sebagai sisi gelap berupa insting hewan/kebinatangan
yang diwarisi manusia dari evolusi binatang. Sehingga, sifat-sifat kebinatangan tetap
ada dalam diri manusia dalam wujud archetype shadow atau bayangan. Apabila
bayangan dan ego bekerja sama, kekuatan bayangan tersalur kedalam tingkah laku
yang positif dan dampaknya orang menjalani hidup dengan penuh semangat. Tetapi
jika bayangan tidak tersalurkan dengan baik, kekuatan bayangan menjadi agresi,
sehingga dapat merusak diri sendiri dan orang lain.
Self bermakna sebagai keseluruhan dari kepribadian atau pusat kepribadian. Self
dikatakan sebagai arsetip yang memotivasi perjuangan seseorang menuju keutuhan.
Arsetip self menyatakan diri dalam berbagai symbol, seperti lingkaran magis atau
mandala, dimana self menjadi pusat lingkaran itu. Self mengarahkan manusia menuju
proses yang disebut individuisasi.
Secara sederhana, individuasi meliputi bagaimana menjadi seorang individu,
memenuhi kapasitas seseorang, dan mengembangkan diri sendiri. Untuk mencapai
individuasi, maka orang pada usia pertengahan harus meninggalkan perilaku dan
nilai-nilai yang memandu paruh pertama kehidupan dan menghadapi alam tak sadar
mereka membawanya ke dalam kesadaran dan menerima apa yang diperintahkannya.
B. Tipologi Jung
Dalam tipologi Jung, ia mengembangkan teori kepribadiannya berdasarkan
kombinasi dari empat fungsi jiwa (pikiran, perasaan, peingderaan, dan intuisi) dengan
dua sikap jiwa yaitu (ekstraversi dan introversi). Adapun yang dimaksud dari
ekstraversi (terbuka) ialah berupa sikap yang berorientasi pada dunia luar dan orang
lain atau lebih kita kenal dengan sebutan orang ekstrovert, sedangkan introversi
(tertutup) ialah berupa sikap yang hanya berorientasi pada pikiran dan perasaan diri
sendiri atau yang lebih dikenal dengan sebutan orang introvert. Sehingga diperoleh
delapan macam tipe manusia :
a. Introversi pikiran : orang yang termasuk dalam tipe ini ialah orang dengan
emosi datar, mengambil jarak dengan orang lain, cenderung menyenangi ide-ide
abstrak alih-alih menyenangkan orang dan benda kongkrit lainnya. Mereka
mengembara dengan pikiran mereka sendiri, tidak peduli apakah ide-idenya bisa
diterima orang lain. Terkesan keras kepala, kurang perhatian, arogan, dan
dingin/tidak ramah.
b. Ekstraversi pikiran : orang yang termasuk dalam tipe ini tentu sangat
berkebalikan dengan orang dengan tipe introversi pikiran. Orang dengan tipe ini
ialah orang yang cenderung tampil seperti tidak dikenal orang (impersonal),
dingin atau angkuh, menekan fungsi perasaannya, orang yang berprinsip
kenyataan objektif, bukan hanya untuk dirinya tetapi juga mengharap orang lain
seperti dirinya.
c. Introversi perasaan : orang yang termasuk dalam tipe ini ialah orang yang
mengalami perasaan emosional kuat tetapi menyembunyikan perasaannya
sendiri. Orang yang menilai segala hal secara subjektif alih-alih fakta obyektif,
mengabaikan pandangan dan keyakinan tradisional, pendiam, sederhana, tidak
dapat diduga. Terkesan memiliki rasa percaya diri dan kehidupan jiwa yang
harmonis, tetapi perasaannya tiba-tiba bias hancur oleh badai emosi.
d. Ekstraversi perasaan : orang yang termasuk dalam tipe ini ialah orang yang
perasaannya mudah berubah begitu situasinya berubah. Emosional dan penuh
perasaan, tetapi juga senang bergaul dan cenderung pamer. Mudah bergaul,
akrab dalam waktu pendek, mudah meyesuaikan diri.
e. Introversi penginderaan : orang dengan tipe ini cenderung terbenam dalam
sensasi-sensasi jiwanya sendiri, dan memandang dunia sebagai sesuatu yang
tidak menarik. Orang yang tampil kalem, pasif, bias mengontrol diri, dan
membosankan. Introversi pengindraan yang ekstrim dapat ditandai dengan
halusinasi, bicara yang tidak bias dipahami, atau esoteris.
f. Ekstraversi penginderaan : orang dengan tipe ini bersifat realistis, praktif, dan
keras kepala. Menerima fakta apa adanya tanpa dipikirkan lagi secara mendalam.
Terkadang mereka juga sensitif, orang yang menikmati cinta dan kegairahan.
Sensasi inderanya tidak dipengaruhi oleh sikap subjektif.
g. Introversi intuisi : orang dengan tipe ini tidak mampu berkomunikasi dengan
orang lain secara efektif, cenderung tidak praktis, memahami fakta secara
subjektif. Namun persepsi intuitif mereka sering sangat kuat dan mampu
mendorong dalam mengambil keputusan yang istimewa, pemimpi, dan unik.
h. Ekstraversi intuisi : orang dengan tipe ini orientasinya faktual, tetapi
pemahamannya sangat dipengaruhi oleh intuisi, yang mungkin sekali
bertentangan dengan fakta itu. Data sensoris justru menjadi sarana untuk
menciptakan data baru secara intuitif, untuk memecahkan suatu masalah. Selalu
mencari dunia baru untuk ditaklukkan. Mereka sangat hebat dalam mendirikan
dan mengembangkan usaha baru, tetapi minatnya terus menerus
bergerak/berubah.

C. Dinamika Kepribadian
Dalam dinamika kepribadian ada dua prinsip pokok, yaitu prinsip ekuivalens dan
entropi. Prinsip ekuivalens dalam kepribadian menyatakan bahwa suatu energi tidak
dapat hilang hanya bisa berkurang dan berubah dalam bentuk energy lain sama halnya
dengan hokum termodinamika. apabila sesuatu nilai menurun atau hilang, maka
jumlah energi yang didukung oleh nilai itu tidak hilang dari kepribadian melainkan
akan muncul kembali dalam nilai baru. Misalnya apabila penghormatan anak kepada
keluarganya sendiri menurun maka penghormatan kepada orang lain akan meningkat.
Apabila orang meninggalkan kegemarannya, maka dia akan menggantikannya dengan
kegemaran yang lain. Prinsip yang kedua yang diambil Jung adalah entropi untuk
menggambarkan dinamika kepribadian yaitu distribusi dalam kepribadian itu selalu
menuju keseimbangan untuk menghasilkan keharmonisan, relaksasi, dan kepuasan.
Selain kedua prinsip diatas, Jung juga menjelaskan tentang prinsip oposisi yang
bermakna bahwa konflik antara proses atau kecenderungan yang berlawanan
dibutuhkan untuk menghasilkan energi mental. Semakin tajam konflik antara
polaritas, semakin besar energi yang dihasilkan.

D. Perkembangan Kepribadian
Dalam teorinya, Jung menjelaskan tentang perkembangan kepribadian yang
melewati proses yang disebut individuasi menuju transendensi. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya tentang apa makna dari individuasi itu sendiri, maka tahap
perkembangan selanjutnya ialah transendensi, yakni kecenderungan bawaan menuju
kesatuan atau keutuhan dalam kepribadian, menyatukan semua aspek yang
berlawanan dalam kepribadian. Faktor-faktor lingkungan seperti perkawinan yang
tidak memuaskan atau pekerjaan yang membuat frustasi dapat menghambat proses
transendensi sehingga mencegah pencapaian diri yang sepenuhnya.
Dalam prosesnya dijelaskan dari masa anak (childhood). Dalam masa
perkembangan ini ego dimulai ketika anak dapat membedakan antara dirinya dengan
orang lain. Proses perkembangannya dibedakan dari perbedaan umur mereka. Pada
tahap pertama disebut tahap anarkis (0-6 tahun) ditandai dengan kesadaran yang
kacau dan sporadic/kadang ada kadang tidak. Tahap kedua disebut tahap monarkis (6-
8 tahun) ditandai dengan perkembangan ego, dan mulainya pikiran verbal dan logika.
Tahap terkahir pada anak anak ialah tahap dualistik (8-12 tahun) ditandai dengan
pembagian ego menjadi objektif dan subjektif.
Proses perkembangan selanjutnya ialah masuk pada usia pemuda yakni
berlangsung mulai dari pubertas hingga usia pertengahan. Dimana pada usia ini
mereka berjuang mandiri secara fisik dan psikis dari orang tuanya. Lalu beralih pada
usia pertengahan yang ditandai dengan aktualisasi potensi yang sangat bervariasi.
Usia tua menjadi tahap perkembangan kepribadian terakhir dimana mulai
tenggelamnya alam sadar kedalam alam tak sadar karena berorientasi pada masa lalu
dan menjalani hidup tanpa tujuan.
DAFTAR PUSTAKA

Alwisol.(2009). Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. Malang: UMM Press

Cloninger, Susan. 2004. Theories of Personality Understanding Persons. Amerika: Pearson.


Yusuf, Syamsul., Nurihsan, Juntika. 2007. Teori kepribadian. Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya

Feist, J. & Feist, G.J. (2013). Teori Kepribadian (Edisi 7). Jakarta: Salemba Humanika

Friedman, H. S. & Schuctack M. W. (2006). Kepribadian: Teori klasik dan riset modern (edisi
ketiga). Jakarta: Erlangga.

Monte, C.F. & Sollod, R.N. (2003). Beneath The Mask: An Introduction to Theories of
Personality (7th Ed.). USA: John Wiley & Sons, Inc

Schultz, D.P. & Schultz, S.E. (2014). Teori Kepribadian (Edisi 10). Jakarta : Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai