Anda di halaman 1dari 7

TEORI PERKEMBANGAN SOSIAL/PSIKOSOSIAL

ERIK HOMBERGER ERIKSON

Ode Yahyu Herliany Yusuf1, La Ode Abdul Salam Al Amin2


STAI YPIQ Baubau
ode.yahyu85@gmail.com, salambaubau@gmail.com

Abstrak

Manusia merupakan makhluk hidup yang pertumbuhan dan perkembangannya diteliti


oleh banyaknya peneliti di dunia, salah satunya Erik H. Erikson yang menghasilkan
teori psikososial. Erikson meyakini bahwa setiap tahapan perkembangan manusia
merupakan pergulatan psikososial spesifik memberikan kontribusi bagi pertumbuhan
kepribadian. Artinya bahwa tahapan-tahapan kehidupan seseorang dimulai dari lahir
sampai kematian dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan
suatu organisme, sehingga menjadikannya matang secara fisik dan psikologis. Dalam
teori Erikson, ada 8 tahap perkembangan yang berkembang sepanjang kehidupan
dimana tiap tahap terdiri dari Kepercayaan versus ketidakpercayaan, Otonomi versus
rasa malu dan ragu–ragu, Inisiatif versus rasa bersalah, Kerja keras versus rasa
inferior, Identitas versus kebingungan identitas, Keintiman versus isolasi,
Generativitas versus stagnasi, dan Integritas versus keputusasaan.

Kata Kunci : Teori Erikson, Perkembangan Sosial, Psikososial

A. PENDAHULUAN
Erik Erikson lahir pada tahun 1902 di kota Frankfurt, Jerman, dari orang tua
berkebangsaan Denmark. Sebelum Erik lahir, orang tuanya berpisah dan ibunya
meninggalkan Denmark untuk hidup di Jerman. Saat berumur 3 tahun, Erik sakit, dan
ibunya membawanya ke dokter anak bernama dr. Homberger. Ibu Erik, yang masih
muda, jatuh cinta pada dokter tersebut, menikahinya, dan mengubah nama Erik dengan
nama ayah tirinya yang baru (George Boeree, 2006:4).
Erik menempuh sekolah dasar dari umur 6 sampai 10 tahun dan kemudian
sekolah menengah dari umur 11 hingga 18 tahun. Ia mempelajari seni dan sejumlah
bahasa. Erik tidak menyukai sekolah formal, dan sikap ini tercermin dalam nilai–
nilainya. Alih–alih mendaftar ke perguruan tinggi, Erikson yang masih remaja
berkelana keliling Eropa menyimpan buku harian tentang pengalaman–
pengalamannya. Setelah setahun, ia kembali ke Jerman dan mendaftar ke sekolah seni,
merasa tidak puas, dan mendaftar ke sekolah lain. Kemudian ia bepergian ke Florence,
Italia. Dia sedang melewati fase yang sekarang disebut moratorium, sebuah periode di
mana anak muda berusaha menemukan jati diri dengan caranya sendiri. tingkah laku
tersebut dianggap lumrah oleh anak-anak Jerman kala itu. Menurut psikiater Robert
Coles, bagi penduduk Italia, Erikson adalah “pendatang dari negara Skandinavia yang
muda, tinggi, kurus dengan rambut pirang panjang”, sedang bagi keluarga dan teman–
temannya, ia adalah “seniman pengelana yang mencoba menghadapi dirinya sendiri”.
Pada usia 25 tahun, Erikson mulai mengajar anak-anak di sekolah baru di Wina
yang didirikan oleh Anna Freud dan Dorothy Burlingham. Kemudia dua tahun
kemudian, Erikson meninggalkan Eropa tepatnya tahun 1933 dan menetap di Boston,
menjadi analis anak pertama di kota tersebut. Dorongan untuk berkelana nampaknya
tertanam kokoh dalam diri Erikson. Pindah lagi ke kota-kota lainnya dan berujung di
Harvard sampai ajal menjemputnya. Di Harvard lah Erikson mendapat gelar profesor

58
JURNAL IDRUS QAIMUDDIN, VOL.2, No. 1, JANUARI-JUNI 2020
pada tahun 1960, padahal tidak pernah memperoleh gelar formal sebelumnya, bahkan
diploma sekalipun.
Karya terpenting Erikson adalah Childhood and Society. Dibuku tersebut
memetakan delapan tahap kehidupan dan menunjukkan bagaimana tahap-tahap
tersebut bekerja dengan cara yang berbeda-beda di dalam budaya yang berbeda-beda
pula. Maka dari itu, Erikson dikenal dengan teorinya tersebut, yakni teori
perkembangan identitas. Erikson mengatakan bahwa kita berkembang dalam tahap
psikosoisal, daripada dalam tahap psikoseksual seperti yang dinyatakan oleh teori
Sigmund Freud. Bagi Freud, motivasi utama perilaku manusia bersifat seksual secara
alami, bagi Erikson motivasi utama manusia bersifat sosial dan mencerminkan suatu
keinginan untuk berhubungan dengan orang lain.

1. Tahap-tahap Perkembangan Sosial/Psikososial Erik Erikson


Teori Erikson (Dunkel & Sefcek, 2009:13) tentang pengembangan
psikososial didasarkan pada prinsip epigenetik, yang menyatakan bahwa
perkembangan terkuak dalam berbagai tahapan yang telah ditentukan, bahwa ada
waktu yang optimal untuk peningkatan tahap, dan bahwa resolusi tahap awal sangat
memengaruhi hasil tahap selanjutnya. Berdasarkan prinsip ini, Erikson (1950)
mengemukakan bahwa ada delapan tahap atau krisis psikis dan mereka menjadi
yang paling menonjol pada waktu yang berbeda sepanjang masa hidup. Tahap–
tahap perkembangan tersebut adalah:

a. Kepercayaan versus ketidakpercayaan (trust versus mistrust): masa bayi


(tahun pertama)
Rasa percaya melibatkan rasa nyaman secara fisik dan tidak ada takut
atau kecemasan akan masa depan. Rasa percaya yang dirasakan bayi akan
menjadi fondasi kepercayaan sepanjang hidup bahwa dunia akan menjadi tempat
yang baik dan menyenangkan untuk ditinggali. Kepercayaan pada bayi tumbuh
ketika mereka memahami bahwa orang tua/pengasuh layak untuk mereka
percayai dan mereka juga membangun kepercayaan bahwa dirinya juga mampu
untuk dipercayai orang lain. Hal ini tercermin ketika orang tua/pengasuh
menghilang dari pandangannya, mereka tidak cemas atau marah yang tidak perlu
karena bayi percaya dan bisa mentolerir ketidakhadiran orang tua/pengasuh.
Berbeda dengan bayi yang menganggap orang tua/pengasuhnya tidak bisa
diandalkan dan si bayi tidak percaya dirinya sendiri ketika ditinggalkan, mereka
cenderung cemas dan terserang panik bila memaksa pergi juga. Erikson bayi
juga harus mengalami rasa tidak percaya tertentu agar mereka bisa belajar
percaya lewat kepekaan dan ketepatan (Dunkel&Sefcek, 2009:
Namun adalah krusial bagi bayi yang bisa keluar dari tahapan ini dengan
keseimbangan rasa percaya lebih dari rasa tidak percaya. Karena jika mereka
berhasil melakukannya, maka mereka akan mengembangkan kekuatan inti ego
pada periode ini: harapan. Harapan adalah sebuah ekspektasi yang sekalipun
terdapat rasa frustasi, marah atau kecewa, hal–hal yang baik tetap akan terjadi di
masa depan. Harapan akan memampukan anak bergerak maju ke dunia luar,
menyambut tantangan–tantangan baru (Erikson, 1982, hal.60).

b. Otonomi versus rasa malu dan ragu–ragu (autonomy versus doubt and
shame): masa bayi (1-3 tahun)
Setelah mendapatkan rasa percaya pengasuh bayi mulai mengetahui
bahwa perilaku mereka adalah milik mereka sendiri. Mereka mulai menyatakan
kemandirian mereka, atau disebut otonomi. Mereka menyadari keinginan

59
JURNAL IDRUS QAIMUDDIN, VOL.2, No. 1, JANUARI-JUNI 2020
mereka. Otonomi muncul dari dalam, sebuah pendewasaan biologis yang
mengasuh kemampuan anak untuk melakukan segala hal dengan caranya
sendiri- mengontrol otot perut mereka sendiri, berdiri di atas kaki mereka
sendiri, menggunakan tangannya sendiri, dan sebagainya. Rasa malu dan ragu–
ragu sebaliknya, datang dari kesadaran akan ekspetasi dan tekanan sosial. Rasa
ragu berasal dari kesadaran bahwa dirinya tidak begitu berkuasa, sehingga orang
lain bisa mengontrol dia dan bertindak lebih baik daripada dia. Jika anak terlalu
dibatasi atau dihukum dengan keras, mereka mungkin memunculkan rasa malu
dan ragu–ragu.
Harapan idealnya anak bisa belajar menyesuaikan diri dengan aturan-
aturan sosial tanpa banyak kehilangan pemahaman awal mereka mengenai
otonomi. Bagi anak yang sanggup menyelesaikan krisis ini dengan positif, yaitu
menyeimbangkan rasio otonomi lebih dari rasa malu dan ragu–ragu, maka
mereka mengembangkan kekuatan ego dalm bentuk kehendak yang kokoh.
Kehendak adalah kebulatan tekad yang tidak bisa dipatahkan untuk melatih
pilihan bebas dan pengendalian diri (Erikson, 1964: hal.119).

c. Inisiatif versus rasa bersalah (initiative versus guilt): masa kanak–kanak


awal/prasekolah (3-5 tahun)
Begitu anak memasuki usia pra sekolah, anak mulai memasuki dunia
sosial yang lebih kompleks yang meminta anak untuk memikirkan tanggung
jawab terhadap tubuh, perilaku, mainan, dan hewan peliharaan mereka.
Mengembangkan rasa tanggung jawab meningkatkan inisiatif. Anak memiliki
inisiatif hal–hal apa saja yang mau dan dapat mereka lakukan, termasuk
rencana–rencana dan harapan–harapan. Namun kemudian, mereka dihadapkan
pada larangan–larangan sosial. Rasa bersalah yang tidak nyaman muncul jika
anak tidak bertanggung jawab dan dibuat cemas. Karena inilah maka anak
mengembangkan kemampuan pengendalian diri agar inisiatifnya dapat tatap
diterima demi menjaga impuls dan fantasi berbahaya tetap terkendali. Erikson
memiliki pandangan positif terhadap tahap ini bahwa sebagian besar rasa
bersalah dengan cepat digantikan oleh rasa ingin berprestasi. Orang tua bisa
membantu anak keluar dari krisis tahapan ini dengan pengertian penuh mengenai
tujuan “keberanian untuk memimpikan dan mengejar tujuan–tujuan yang
bernilai yang tidak akan bisa dirusak oleh rasa bersalah maupun larangan (1964,
hal.122)
d. Kerja keras versus rasa inferior (industry versus inferiority): masa
kanak–kanak tengah dan akhir (usia SD 6 tahun–remaja)
Inisiatif anak membawa mereka berhubungan dengan banyak
pengalaman baru. Saat mereka berpindah ke masa kanak–kanak tengah dan
akhir, mereka mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan
keterampilan intelektual. Anak lebih aktif belajar, namun dapat memunculkan
rasa inferior–merasa tidak kompeten dan tidak produktif. Erikson percaya bahwa
guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan keaktifan anak. Guru
harus “dengan lembut tetapi tegas mengajak anak ke dalam petualangan
menemukan bahwa seseorang dapat belajar mencapai sesuatu yang tidak pernah
terbayangkan sebelumnya” (Erikson, 1968, hal.127)
e. Identitas versus kebingungan identitas (identity versus identity
confusion): masa remaja (10–20 tahun)
Pada masa ini individu dihadapkan pada penemuan diri, tentang siapa
mereka sebenarnya, kemana mereka akan melangkah dalam hidup ini, banyak
peran baru dan status kedewasaan–pekerjaan dan cinta misalnya. Orang tua perlu

60
JURNAL IDRUS QAIMUDDIN, VOL.2, No. 1, JANUARI-JUNI 2020
mengiinkan remaja untuk menjelajahi peran–peran tersebut dan jalan yang
berbeda–beda di setiap peran. Jika remaja menjelajahi peran tersebut dengancara
yang baik, dan sampai pada jalan positif untuk diikuti dalam hidup, maka
identitas positif akan tercapai. Jika suatu identitas dipaksakan pada remaja oleh
orang tua, jika remaja tidak cukup menjelajahi banyak peran, dan jika di masa
depan yang positif belum jelas, maka terjadilah kebingungan identitas.
f. Keintiman versus isolasi (intimacy versus isolation): masa dewasa awal
(20-an, 30-an)
Pada masa ini, individu menghadapi tugas perkembangan yaitu
membentuk hubungan akrab dengan orang lain. Erikson menggambarkan
keintiman sebagai menemukan jati diri dan sekaligus kehilangan diri dalam diri
orang lain. Jika para dewasa muda membentuk persahabatan yang sehat dan
hubungan akrab dengan orang lain, keintiman akan tercapai, jika tidak,
akibatnya adalah isolasi diri. Isolasi diri merupakan bahaya yang bisa terjadi
pada tahap ini. Di psikopatologi, gangguan ini dapat menyebabkan “masalah-
masalah karakter” berat.
Orang dewasa muda, yang lahir dari pencarian dan insistensi identitas,
sangat berhasrat dan ingin meleburkan identitasnya dengan identitas orang lain.
Ia siap untuk intimasi, artinya kapasitas untuk mengkomitmenkan dirinya pada
afiliasi-afiliasi dan partner konkret dan untuk mengembangkan kekuatan etis
untuk ditaati oleh komitmen-komitmen tersebut meskipun mereka mungkin
membutuhkan berbagai pengorbanan dan kompromi. Sebaliknya dari intimasi
adalah penjauhan atau isolasi, artinya kesiapan untuk mengasingkan diri dan,
bila perlu, merusak kekuatan-kekuatan dan orang-orang yang esensinya tampak
berbahaya bagi eksistensi orang yang bersangkutan.
Penelitian yang dilakukan oleh Christiansen dan Palkovitz (1998:1)
bahwa identitas ayah adalah prediktor yang baik dari generativitas memberikan
dukungan untuk proposisi penggabungan peran-orang, di mana investasi
seseorang dalam suatu peran dapat memengaruhi perkembangan. Yang artinya,
ayah sangat berperan penting dalam hubungan anak dalam menghadapi masa
depan, kurang kepedulian anak mampu membuat anak mengisolasi dirinya
sendiri.
g. Generativitas versus stagnasi: masa dewasa tengah (40-an , 50-an)
Pada tahap ini kepedulian utamanya adalah membantu generasi yang
lebih muda dalam mengembangkan dan mengarahkan kehidupan menjadi
berguna, ini yang disebut generativitas. Perasaan bahwa dirinya tidak berbuat
apa–apa untuk membantu generasi mendatang disebut stagnasi. Jadi,
generativitas terutama adalah perhatian dalam membentuk dan membimbing
generasi berikutnya, meskipun ada individu-individu, yang melalui kemalangan
atau akibat bakat khusus dan tulennya diarah yang lain, tidak menerapkan
dorongan ini kepada keturunannya sendiri. Generativitas adalah salah satu tahap
yang esensial di dalam psikoseksual maupun daftar psikososial.
h. Integritas versus keputusasaan (integrity versus despair): masa dewasa
akhir (60 tahun ke atas)
Dalam tahap ini, seseorang bercermin pada masa lalu dan menyimpulkan
bahwa ia telah menjalani hidup dengan baik, atau sebaliknya menyimpulkan
bahwa hidupnya belum dimanfaatkan dengan baik. Dengan banyak cara, orang
berusia lanjut dapat mengembangkan pandangan positif pada tahap–tahap
perkembangan sebelumnya. Jika demikian, kilasan retrospektifnya akan
memunculkan gambar kehidupan yang dapat dimanfaatkan dengan baik, dan
orang tersebut akan merasakan kepuasan–integritas dapat tercapai. Jika orang

61
JURNAL IDRUS QAIMUDDIN, VOL.2, No. 1, JANUARI-JUNI 2020
berusia lanjut membentuk setiap tahap perkembangan sebelumnya secara
negatif, kilasan retrospektifnya mungkin akan memunculkan keraguan atau
kegelapan–keputusasaan yang dimaksud Erikson.
Erikson tidak percaya bahwa solusi yang baik bagi krisis tahapan
seluruhnya selalu positif. Beberapa kontak atau komitmen dengan sisi negatif
krisis tersebut kadang tidak dapat dihindari. Anda tidak dapat mempercayai
semua orang di bawah situasi apa pun dan kemudian bertahan hidup, misalnya.
Di sisi lain, dalam solusi sehat terhadap krisis tahapan, jawaban positif
mendominasi.

Kegagalan untuk berhasil menyelesaikan suatu tahap dapat mengakibatkan


berkurangnya kemampuan untuk menyelesaikan tahap lebih lanjut dan karena itu
kepribadian dan rasa diri yang lebih tidak sehat. Namun, tahap-tahap ini dapat
diselesaikan dengan sukses di lain waktu. Menurut teori tersebut, keberhasilan
penyelesaian setiap tahap menghasilkan kepribadian yang sehat dan perolehan
kebajikan dasar. Keutamaan dasar adalah kekuatan karakteristik yang dapat
digunakan ego untuk menyelesaikan krisis selanjutnya.

2. Perubahan dalam Masa Perkembangan

Bagi Erikson (1958, 1963), krisis-krisis ini bersifat psikososial karena


melibatkan kebutuhan psikologis individu (mis., psiko) yang bertentangan dengan
kebutuhan masyarakat (mis., sosial). Menurut teori tersebut, keberhasilan
penyelesaian setiap tahap menghasilkan kepribadian yang sehat dan perolehan
kebajikan dasar. Keutamaan dasar adalah kekuatan karakteristik yang dapat
digunakan ego untuk menyelesaikan krisis selanjutnya.
Hal yang terpenting dalam perkembangan identitas pada masa remaja
terutama masa remaja akhir adalah bahwa anak pertama kalinya perubahan yang
Nampak adalah fisik, kognitif, dan emosional. Sampai pada satu titik dimana
individu dapat memilah-milah dan mensistesiskan identitas dan identifikasi kanak-
kanak untuk mengkonstruk jalur yang dapat di gunakan untuk mencapai
kedewasaan sehingga mampu mengambil keputusan. Meskipun begitu selama masa
remaja ini akan membentuk inti dari individu tersebut sebagai manusia yang biasa
disebut dengan identitasnya.
Ada 4 status identitas menurut teori Erikson (Santrock, 2007:71) yaitu:
a. Identity Diffusion, individu yang belum mengalami krisis dan belum
membuat komitmen. Belum ada keputusan mengenai pilihan pekerjaan atau
ideologis, namun tidak menunjukkan minat terhadap masalah tersebut.
b. Identity Foreclosure, individu yang sudah membuat komitmen, tetatpi belum
mengalami krisis. Hal ini paling sering terjadi ketika orangtua memaksa
komitmen tertentu pada anak remaja, biasanya dengan cara otoriter, sebelum
remaja memiliki kesempatan mengeksplorasi berbagai pendekatan ideology
atau karir.
c. Identity Moratorium, individu yang tengah berada pada masa krisis tetapi
belum memiliki komitmen, atau kalaupun adamasih sangat kabur.
d. Identity Achievement, individu yang sudah melaluikrisi dan sudah sampai
pada sebuah komitmen

62
JURNAL IDRUS QAIMUDDIN, VOL.2, No. 1, JANUARI-JUNI 2020
Dapat dilihat pada tabel berikut :

Table 1 :
Status Identitas
Apakah individu sudah
membuat komitmen?
Ya Tidak
Apakah individu sudah Ya Identity Identity
mengeksplorasi alternative Achievement Foreclosure
yang penting mengenai
pertanyaan identitas
Tidak Identity Identity
Foreclosure Diffusion

Masing-masing tahap memiliki landasan biologis dalam pematangan fisik


dan perkembangan kognitif individu. Demikian pula, masing-masing tahapan
psikososial Erikson dibangun di atas yang lain, sebagai resolusi terhadap krisis
psikososial tertentu, dan, karenanya, seimbang secara positif. Remaja yang belum
sukses dalam dalam menghadapi krisis iniakan mengalami identity confussion.
Kebingungan ini mengakibatkan individu akan menarik diri, dan mengisolasi diri
dari teman dan keluarga

B. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas tentang teori Eric Erikson bahwa ada 8 tahapan
social/psikososial yang akan dihadapi oleh manusia yaitu Kepercayaan versus
ketidakpercayaan, Otonomi versus rasa malu dan ragu–ragu, Inisiatif versus rasa
bersalah, Kerja keras versus rasa inferior, Identitas versus kebingungan identitas,
Keintiman versus isolasi, Generativitas versus stagnasi, dan Integritas versus
keputusasaan. Yang sejatinya jika melewati tahap-tahap tersebut maka akan terjadi
kepincangan dalam hidup yang mengakibatkan terlambatnya suatu perkembangan
seorang anak.
Erikson juga membagi status identitas menjadi empat bagian, antara lain
Identity Diffusion, Identity Foreclosure, Identity Foreclosure, dan Identity
Achievement. Empat tahap ini melihat dan sekaligus menilai sikap para remaja dalam
mengambil keputusan. Anak yang mampu menghadapi konflik identitas ini akan
muncul dengan pribadi yang baru, yang fresh, dan dapat diterima., dan sebaliknya jika
anak tidak mampu melewati fase ini maka anak akan menarik diri atau mengisolasi
dirinya dari lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Boeree George. 2006. Personality Theory Erik Erikson (1902-1994). Psychology


Department Shippensburg University. www.social-psychology

Crain, William. 2014. Teori Perkembangan. (Terjemahan Yudi Santoso). Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Christiansen Shawn L., Palkovitz Rob. Exploring Erikson's Psychosocial Theory of


Development: Generativity and its Relationship to Paternal Identity, Intimacy,
and Involvement in Childcare. Volume: 7 issue: 1, page(s): 133-156. Issue
published: October 1, 1998

63
JURNAL IDRUS QAIMUDDIN, VOL.2, No. 1, JANUARI-JUNI 2020
Dunkel Curtis S., Sefcek Jon A.. Eriksonian Lifespan Theory and Life History Theory:
An Integration Using the Example of Identity Formation. Review of
General Psychology, American Psychological Association. 2009, Vol. 13,
No. 1, 13–23

Erikson, Erik H. 2010. Chilhood and Society. (Terjemahan Helly Prajitno & Sri
Mulyantini Soedjipto). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santrock. 2007. Perkebangan AnakEd11 (Jilid 2). Erlangga : Jakarta

64
JURNAL IDRUS QAIMUDDIN, VOL.2, No. 1, JANUARI-JUNI 2020

Anda mungkin juga menyukai