Anda di halaman 1dari 9

Teori Perkembangan Sosial Pada Implementasi Kurikulum Merdeka

2.3 Teori Perkembangan social

Sosial adalah relasi diantara dua atau lebih individu (Chaplin, 2008). Sedangkan
Perkembangan sosial adalah sebuah proses interaksi yang dibangun oleh seseorang dengan orang
lain. Setiap kehidupan di dunia ini tergantung pada kemampuan beradaptasi terhadap
lingkungannya dalam arti luas. Menurut Ahmad Susanto (2012:54), perkembangan sosial
merupakan Pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses
belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, dan tradisi,
meleburkan diri menjadi satukesatuan dan saling berkomunikasi dan bekerja sama. Jadi dapat
dikatakan hubungan sosial merupakan hubungan antarmanusia yang saling membutuhkan, yang
dimulai dari tingkat sederhana dan didasari oleh kebutuhan yang sederhana. Semakin dewasa,
kebutuhan manusia menjadi kompleks dan dengan demikian tingkat hubungan sosial juga
berkembang menjadi amat kompleks

Menurut (Daeng, 1996) teori perkembangan sosial yang dikemukakan oleh Erik H.
Erikson adalah sebagai berikut:

1. Massa Bayi: Rasa Percaya vs Rasa tidak Percaya


Pecapaian sosial pertama bayi adalah kerelaannya untuk membiarkan ibunya hilang dari
pandangan tanpa kecemasan atau kemarahan yang tidak semestinya karena ibunya telah menjadi
sebuah kepastian batin maupun sebuah prediksi lahiriah. Tahap ini dari lahir sampai sampai
sekitar tahun pertama, dan berkolerasi erat dengan tahap oral perkembangan Psikoseksual Freud.
Inilah waktu anak paling tidak berdaya dan karenanya bergantung penuh denganorang dewasa.
Dalam tahap ini, bayi berusaha keras untuk mendapatkan pengasuhan dan kehangatan, jika ibu
berhasil memenuhi kebutuhan anaknya,sang anak akan mengembangkan kemampuan untuk
dapat mempercayai dan mengembangkan asa (hope), namun jika orang tua menolak dan
memuaskan kebutuhan mereka dengan cara yangtidak konsisten, yang muncul adalah
ketidakpercayaan dasar. Jika krisis ego ini tidak pernah terselesaikan, individu tersebut akan
mengalami kesulitan dalam membentuk rasa percayadengan orang lain sepanjang hidupnya,
selalu meyakinkan dirinya bahwa orang lain berusaha mengambil keuntungan dari dirinya. Krisis
rasa percaya dasar lawan rasa tidak percaya dasar disebut terselasaikan secara positif ketika anak
lebih banyak mengembangkan rasa percaya dari pada tidak. Perbandingan dua jenis solusi ini
yang penting,bukannya mutlak absennya rasa tidak percaya.

Menurut Erikson, rasa tidak percaya tepat dialami anak yang pengasuhan orang tuanya
penuh cinta dan konsisten, bukan karena negatifnya pengasuhan itu, melainkan anak
mulaibelajar, bahwa jika dia mempercayai setiap orang dan segala sesuatu sama besarnya seperti
ia percaya orang tua mereka, kesulitan kadang muncul. Sejumlah kecil rasa tidak percaya sehat
adanya, dan justru kondusif bagi upaya anak menjaga kelangsungan hidup. Namun, anak yang
dominandengan rasa percayalah yang memiliki keberanian untuk mengambil resiko dan tiadak
mudah dikalahakan rasa kecewa dan putus asa

2. Kanak-kanak: Otonomi Versus Rasa Malu


Tahap ini muncul sejak akhir tahun pertama dalam hidup manusia.Kurang lebih hingga
akhir tahun ketiga, dan berkolerasi erat dengan tahapanal perkembangan psikoseksual Freud.
Selama tahap ini anak dengan cepatbelajar banyak keterampilan. Mereka belajar berjalan,
memenjat, menarik, mendorong dan bicara. Secaran umum, mereka belajar bagaimana
menahandan melepas sesuatu. Bukan hanya diaplikasikan keobjek-objek fisik, namun menahan
dan melepas juga berkaitan dengan feses dan urin juga. Dengankata lain, anak sekarang bisa
memutuskan ‘dari dirinya’ untuk memutuskan sesuatu atau tidak. Kalau begitu anak menjadi
terlibat dalam peperangan kehendak dengan orang tuanya.

Orang tua mengemban tugas yang tidak mudah untuk mengendalikan perilaku anak kearah
yang bisa diterima secara sosial tanpa melukai persaan anak mengontrol dirinya atau
otonominya. Dengan kata lain, orang tua harus cukup toleran namun cukup tegas untuk
memastikan prilaku yang disetujui secara sosial. Jika orang tua terlalu protektif atau tidak adil
didalam penggunaan hukuman, anak akan menjadi ragu-ragu akan dirinya dan mengalami
perasaan malu.

Tahap ini, kalau begitu, menjadi sangat menentukan bagi perbandingan cintadan benci,
kerjasama dan kesedihan, kebebasan mengekspresikan diri dan pensupresiannya. Dari rasa boleh
mengedalikan diri tanpa harus kehilangan penghargaan diri, datanglah rasa kehendak baik dan
kebanggaan yang akan bertahan lama; dari hilangnya rasa boleh mengendalikan diri selain harus
takluk pada kendali dari luar, datanglah rasa ragu dan rasa malu yang memberatkan. Jika anak
lebih mengambangkan otonomi daripada rasa malu dan ragu ditahap ini, kebajikan berupa
kehendak yang akan muncul. Erikson mendefinisikan kehendak sebagai kegigihan tak tertembus
untuk menggunakan kehendak bebas selain juga pembatasan diri, tak peduli pengalaman rasa
malu dan ragu yang dirasakan dimasa bayi. Sekali lagi penting untuk dicatat kalao refolusi yang
positif bagi krisis yang mencirikan ditahap ini tidak berarti anak tidak lagi mersa malu dan ragu.
Sebaliknya, ego anak menajdi cukup kuat untuk mengahadapi secara tepat pengalaman-
pengalam malu dan ragu yang tak terelakan datangnya itu.

3. Usia Prasekolah: Inisiatif versus Rasa Bersalah


Tahap ini muncul sekitar tahun keempat sampai tahun ke lima dan berkorelasi dengan
tahap perkembangan psikoseksual Freud. Pada tahap ini anak semakin besar kemampuannya
didalam aktifitas motorik, dapat menggunakan bahasa lebih baik, dan mulai menggunakan
imajinasi secara lebih jelas. Keterampilan-keterampilan ini memampukan anak untuk
menginisiatifkan ide-ide, tindakan-tindakan dan fantasi-fantasi, dan untuk merencanakan
kejadian-kejadian di masa depan. Menurut Erikson, anak ditahap ini “siap untuk
mengembangkan keingintahuan yang tidak kenal lelah tentang berbedaan-perbedaan ukuran pada
umumnya, dan perbedaan jenis kelamin pada khususnya. Anak belajar lebih aktif dan detail
sehingga membawa anak menjauh dari keterbatasan dirinya menuju kemungkinan-kemungkinan
dimasa depan

Setelah belajar bahwa mereka adalah manusia, selanjutnya anak mengeksplorasi jenis
manusia. Manusia seperti apa yang mereka inginkan. Pada tahap ini, jika orang tua menguatkan
perilaku dan fantasi yang di inisiatifkan sendiri oleh anak, mereka akan meninggalkan tahap ini
dengan rasa inisiatif yang sehat. Namun, jika orang tua mengolok, mengejek, tidak
mempedulikan atau memarahi perilaku dan imajinasi yang diinisiatifkan sendiri oleh anak,
mereka akan meninggalkan tahap ini dengan buruk. Mereka tidak bersemangat untuk menjadi
yang mereka mau.

4. Usia Sekolah: Kegigihan versus Inverioritas


Tahap ini berlangsung sejak usia 6 tahun hingga sekitar 11 tahunan, berkolerasi dengan
tahap latensi perkembangan psikososial Freud. Umumnya sebagian besar anak sibuk bersekolah
di usia-usia ini dan ditahap ini anak banyak belajar keterampilan yang dibutuhkan bagi
kelangsungan ekonomi, keterampilan-keterampilan teknologis yang akan membawa mereka
menjadi anggota yang produktif dalam budaya mereka. Sekolah adalah tempat anak dilatih bagi
pekerjaan dimasa depan dan penyesuaian dengan budaya. Karena kelangsungan hidup
mensyaratkan kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain, keterampilan sosial termasuk
diantara pelajaran yang penting diajarkan disekolah. Namun, pelajaran yang paling penting yang
dipelajari anak ditahap ini adalah kesenangan menyelesaikan tugas lewat pelatihan yang terus-
menerus danmemeliahara kerajinan. Dari pelajaran ini datanglah rasa kegigihan, yang
menyiapkan anak untuk mencari dengan penuh rasa kepercayaan dari tempat-tempat yang
produktif didalam masyarakat diantara invidiu-individu lainnya. Jika anak tidak mengembangkan
rasa kegigihan, mereka akan mengembangkan perasaan inverioritas, menyebabkan mereka
kehilanganakeyakinan akan kemampuan diri mereka untuk bisa kmenjadi anggota masyarakat
yang meberikan sebuah kontribusi. Anak-anak yang seperti ini cenderung mengembangkan
sebuah identitas negatif.

5. Remaja: Identitas versus Kebingungan Peran


Tahap ini muncul antara usia 12 sampai 20 tahunan, berkolerasi dengan genital
perkembangan psikoseksual. Erikson yakin bahwa tahap ini mempresentasikan periode transisi
antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Di tahap-tahap sebelumnya, anak belajar siapa diri
mereka dan apa yang dapat merka lakukan, yaitu berbagai peran siapa diri mereka dan apa yang
dapat mereka lakukan. Di tahap ini anak harus berhati-hati mempertimbangkan semua informasi
yang sudah dikumpulkan tentang diri dan masyarakat mereka, dan akhirnya mengingatkan diri
mereka pada komitmen sejumlah strategi untuk menjalani hidup. Setelah merka mengerjakan hal
ini, mereka akan memperoleh sebuah identitas dan kemudian menjadi orang dewasa. Meraih
sebuah identitas pribadi menandai tujuan yang memuaskan dari tahap perkembangan ini. Tahap
ini sendiri dilihat sebagai waktu mencari identitas namun bukan yan gseperti yang sudah
dimilikinya. Erikson menyebut interval anatara remaja sampai dewasa ini moratorium
Psikososial seperti pemain trapeze, anak muda berada ditengah gerakan yang berisiko,
melepaskan pegangannya terhadap kanak-kanak dan melompat untuk meraih suatu pegangan
yang kukuh dimasa dewasa.

6. Dewasa Muda: Keintiman versus Isolasi


Tahap ini berlangsung sekitar usia 20 sampai 24 tahun/ Menurut Erikson, ‘yang normal’
bagi dewasa muda terdiri atas sebagian besar , sanggup mencintai dan bekerja secara efektif,
Individu dewasa muda dengan identitas yang kuat sangat ingin mencari hubungan intim dengan
orang lain.Individu yang tidak mengembangkan sebuah kapasitas bagi kerjaproduktif dan
keintiman yang ditarik kedalam dirinya, menghindari kontak-kontak dekat, dan karenanya
mengembangkan sebuah perasaan isolasi. Jika individu mengembangkan sebuah kapasitas yang
lebih besar bagi keintimandaripada isolasi ditahap ini, mereka akan muncul dengan kebajikan
cinta. Erikson mendefinisikan cinta sebagai kesetiaan timbal balik yang selamanya dapat
menaklukan antagonisme-antagonisme yang inheren didalam fungsi yang terpilah.

7. Dewasa: Generativitasi versus Stagnasi


Tahap ini muncul sekitar usia 25 sampai 64 tahunan, disebut juga sebagai tahap dewasa
madya. Jika individu cukup beruntung mengembangkan sebuah identitas yang positif dan
menjalani hidup yang produktif dan bahagia, dia akan berusaha melanjutkan situasi-situasi yang
sudah menyebabkan hidup demikian ke generasi berikutnya. Ini dapat dilakukan entah lewat
berinteraksi dengan anak secara langsung (meski tidakharus anaknya sendiri) atau dengan
memproduksi atau menciptakan pengalaman-pengalaman yang akan mengembangkan hidup
orang-orang digenerasi selanjutnya..

8. Usia Senja: Integritas Ego versus Rasa Putus Asa


Tahap ini muncul dari sekitar 65 tahun hingga meniggal, dan disebut tahap dewasa akhir.
Erikson mendefinisikan integritas ego, solusi positif bagi krisis di tahap ini. Menurut Erikson,
individu yang dapat menengok kembali semua hal dimasa lalu dengan cara yang konstruktif dan
kaya, hidupnya bisa disebut bahagia dan tidak pernah takut pada kematian. Individu yang seperti
ini memiliki perasaan yang disebut ‘lengkap/utuh’ dan ‘penuh’ namun individu yang menengok
masa lalu dengan rasa frustasi akan mengalami keputusasaan.

2.3.1 Karakteristik Perkembangan Sosial Anak, Remaja, dan Dewasa

Pada usia dini, anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri sendiri (egosentris)
kepada sikap yang kooperatif (bekerja sama) atau sosiosentris (mau memperhatikan kepentingan
orang lain). Berkat perkembangan sosial anak dapat menyesuaikan dirinya dengan kelompok
teman sebayanya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Dalam proses belajar di
sekolah, kematangan perkembangan sosial ini dapat dimanfaatkan atau dimaknai dengan
memberikan tugas-tugas kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik maupun tugas yang
membutuhkan pikiran. Hal ini dilakukan agar peserta didik belajar tentang sikap dan kebiasaan
dalam bekerja sama, saling menghormati, dan bertanggung jawab. Pada masa remaja
berkembang social cognition, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain.

Remaja memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat pribadi,
minat, nilai-nilai, maupun perasaannya. Pada masa ini juga berkembang sikap conformity, yaitu
kecenderungan untuk menyerah atau megikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran atau
keinginan orang lain (teman sebaya). Apabila kelompok teman sebaya yang diikuti menampilkan
sikap dan perilaku yang secara moral dan agama dapat dipertanggung jawabkan, maka
kemungkinan besar remaja tersebut akan menampilkan pribadinya yang baik. Sebaliknya,
apabila kelompoknya itu menampilkan sikap dan perilaku yang melecehkan nilai-nilai moral
maka sangat dimungkinkan remaja akan melakukan perilaku seperti kelompoknya tersebut.
Selama masa dewasa, dunia sosial dan personal dari individu menjadi lebih luas dan kompleks
dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Pada masa dewasa, individu memasuki peran
kehidupan yang lebih luas.

Pola dan tingkah laku sosial orang dewasa berbeda dalam beberapa hal dari orang yang
lebih muda. Perbedaan tersebut tidak disebabkan oleh perubahan fisik dan kognitif yang
berkaitan dengan penuaan, tetapi lebih disebabkan oleh peristiwa-peristiwa kehidupan yang
dihubungkan dengan keluarga dan pekerjaan. Selama periode ini, orang melibatkan diri secara
khusus dalam karir, pernikahan, dan hidup berkeluarga. Menurut Erikson (1963), perkembangan
psikososial selama masa dewasa dan tua ini ditandai dengan tiga gejala penting, yaitu keintiman,
generatif, dan integritas.

2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Sosial

Perkembangan sosial manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu keluarga,


kematangan anak, status sosial ekonomi keluarga, tingkat pendidikan, dan kemampuan mental
terutama emosi dan inteligensi (Anggia, 2019). Secara lebih rinci sebagai berikut.

1. Keluraga
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap
berbagai aspek perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata
cara kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Di
dalam keluarga berlaku norma-norma kehidupan keluarga, dan dengan demikian pada
dasarnya keluarga merekayasa perilaku kehidupan anak. Proses pendidikan yang
bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga. Pola
pergaulan dan bagaimana norma dalam menempatkan diri terhadap lingkungan yang
lebih luas ditetapkan dan diarahkan oleh keluarga.
2. Kematangan anak
Bersosialisasi memerlukan kematangan fisik dan psikis. Untuk mampu
mempertimbangkan hubungan dalam proses sosial, memberi dan menerima pendapat
orang lain, memerlukan kematangan intelektual, dan emosional. Di samping itu,
kemampuan berbahasa ikut pula menentukan. Dengan demikian, untuk mampu
bersosialisasi dengan baik diperlukan kematangan fisik sehingga setiap orang fisiknya
telah mampu menjalankan fungsinya dengan baik.
3. Status ekonomi
Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi atau status kehidupan sosial
keluarga dalam lingkungan masyarakat. Masyarakat akan memandang anak, bukan
sebagai anak yang independen, akan tetapi akan dipandang dalam konteksnya yang utuh
dalam keluarga anak itu. Sehubungan dengan itu, dalam kehidupan sosial anak akan
senantiasa “menjaga” status sosial dan ekonomi keluarganya. Dalam hal tertentu,
maksud“menjaga status sosial keluarganya” itu mengakibatkan menempatkan dirinya
dalampergaulan sosial yang tidak tepat. Hal ini dapatberakibat lebih jauh yaitu anak
menjadi“terisolasi” dari kelompoknya. Akibat lainmereka akan membentuk kelompok
elit dengan normanya sendiri.
4. Pendidikan
Pendidikan merupakan proses sosialisasi anakyang terarah. Hakikat pendidikan
sebagaiproses pengoperasian ilmu yang normatif akanmemberikan warna kehidupan
sosial anak di dalam masyarakat dan kehidupan mereka di masa yang akan datang.
Pendidikan dalam arti luas harus diartikan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh
kehidupan keluarga, masyarakat, dan kelembagaan. Penanaman norma perilaku yang
benar secara sengaja diberikan kepada peserta didik yang belajar di kelembagaan
pendidikan (sekolah). Kepada peserta didik bukan saja dikenalkan kepada norma-norma
lingkungan dekat, tetapi dikenalkan kepada norma kehidupan bangsa (nasional) dan
norma kehidupan antarbangsa. Etik pergaulan membentuk perilaku kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
5. Kapasitas Mental, Emosi, dan Intelegensi
Kemampuan berpikir banyak memengaruhi banyak hal, seperti kemampuan
belajar, memecahkan masalah, dan berbahasa. Anak yang berkemampuan intelektual
tinggi akan berkemampuan berbahasa secara baik. Oleh karena itu, kemampuan
intelektual tinggi, kemampuan berbahasa baik, dan pengendalian emosional secara
seimbang sangat menentukan keberhasilan dalam perkembangan sosial anak. Sikap saling
pengertian dan kemampuan memahami orang lain merupakan modal utama dalam
kehidupan sosial dan akan dengan mudah dicapai oleh remaja yang berkemampuan
intelektual tinggi.

2.3.3 Penerapan teori belajar social pada Kurikulum Merdeka

Permendikbud nomor 37 tahun 2014 dijelaskan bahwa pendidikan anak usia dini merupakan
pendidikan yang ditujukan pada anak usia untuk merangsang dan memaksimalkan aspek-aspek
perkembangannya. Terdapat 6 aspek perkembangan yang harus dikembangkan oleh guru Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD). Keenam aspek tersebut adalah aspek perkembangan nilai agama dan moral,
koginitf, sosial emosional, Bahasa, fisik motorik, dan seni (Kemendikbud, 2014).

Merdeka Belajar adalah program kebijakan baru yang dicanangkan oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) yang dicanangkan oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI Kabinet Indonesia Maju, Nadiem Anwar Makarim. Sebelum memaknai
merdeka belajar secara keseluruhan haruslah mengetahui apa yang dimaksut dengan merdeka dan
belajar.
Daftar Pustaka

Anggia, R. 2019. Perkembangan Sikap Sosial Peserta Didik Di Lingkungan Sekolah. Jurnal
Sosial Humaniora, 4(2): 1-4

Chaplin, J. P. (2008). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajagrafindo Persada

Daeng Sari, dkk. (1996). Metode Mengajar di Taman Kanak-kanak. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.

Erikson EH. 1963. Childhood and Society. Norton, New York.

Anda mungkin juga menyukai