Anda di halaman 1dari 3

Nama: Ivana Ameylia Likoelangi

NIM:210405501041

Kelas: C

Tahap-tahap perkembangan peserta didik sejak masa bayi hingga masa remaja

menurut perspektif/sudut pandang teori perkembangan Psikososial Erikson.

Menurut Erikson perkembangan psikologis dihasilkan dari interaksi antara


proses-proses maturasional atau kebutuhan biologis dengan tuntutan masyarakat dan
kekuatan-kekuatan sosial yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Tahap perkembangan Psikososial dari bayi sampai remaja menurut Erikson:

 Bayi (0-18 bulan) (Trust vs Mitrust)


Pada fase ini, konflik akan berpusat pada kepercayaan atau “trust vs
mistrust”. Artinya, peran orang di sekitarnya sebagai pengasuh sangatlah
penting. Apabila pengasuh berhasil memberikan makanan, kasih sayang,
kehangatan, rasa aman, dan sebagainya, maka akan membentuk karakter
seseorang yang bisa percaya kepada orang lain.Sebaliknya, jika bayi tidak
mendapatkan pengasuhan yang konsisten, tidak dekat secara emosional,
atau merasa terabaikan, maka akan tumbuh menjadi orang yang takut dan
tidak percaya pada dunia. Hasil akhir dari proses ini adalah harapan atau
hope. Pandangan luas Erikson terhadap bayi diungkapkan dalam istilah
sensori – oral, frasa yang mencakup gaya psikoseksual utama dalam
penyesuaian diri. Tahapan sensori – oral ditandai oleh dua gaya
pembentukan, yaitu memperoleh dan menerima apa yang diberikan. Bayi
dapat memperoleh walaupun tanpa keberadaan orang lain. Akan tetapi, gaya
pembentukan kedua menyiratkan konteks sosial. Pelatihan awal dalam
hubungan interpersonal membantu mereka belajar untuk menjadi pemberi
nantinya. Untuk membuat orang lain memberi, mereka harus belajar untuk
mempercayai atau tidak mempercayai orang lain. Hal inilah yang
membangun krisis psikososial dasar di masa kanak – kanak, yang dinamai
rasa percaya dasar versus rasa tidak percaya dasar.
 Anak-anak (18 bulan -3 tahun) ( Autonomy vs Shame & Doubt)
Tahap psikososial kedua berlangsung dalam rentang usia 18 bulan – 3 tahun.
Dalam fase ini, anak memulai mengembangkan otonomi diri, kemampuan
melakukan sebuah hal secara mandiri. Selama tahun kedua kehidupan,
penyesuaian psikoseksual utama anak adalah gaya otot – uretral – anal.
Pada masa ini anak belajar untuk mengendalikan tubuh mereka, khususnya
berkaitan dengan kebersihan dan pergerakan. Misalnya waktu untuk
pelatihan menggunakan toilet (toilet training), belajar jalan, berlari, memeluk
orang tua, berpegangan pada mainan, atau objek lain. Dengan aktivitas –
aktivitas ini, anak – anak menunjukkan kecenderungan menjadi keras kepala,
melakukan sesuatu dengan kehendak mereka sendiri. Proses stimulasi
kemandirian seperti toilet training, makan minum sendiri, berpakaian, memilih
dan bermain sendiri menjadi stimulasi krusial anak untuk mengembangkan
kontrol dirinya. Jika kemandirian anak dan kontrol dirinya berkembang, anak
bisa mengatasi rasa malu dan keraguan akan kemampuannya.
 Usia pra-sekolah (3-5 tahun) ( Initiative vs Guilt)
Dalam tahap ini, anak mulai mencoba dan mengembangkan inisiatifnya. Anak
banyak bertanya dan mencoba hal-hal baru yang ada di sekitarnya. Jika
pertanyaan dan keingintahuan ini difasilitasi, anak akan mengembangkan
kepercayaan diri untuk berinisiatif. Sebaliknya, jika keingintahuan anak
diabaikan dan anak sering mendapat larangan/kritikan saat ingin mencoba
sesuatu, anak akan merasa bersalah atau inisiatif dan keingintahuannya.
 Usia sekolah (6-11 tahun) ( Industry vs Inferiority)
Dalam rentang usia ini, anak-anak mulai berinteraksi dengan temannya di
sekolah dan mulai menjalani kegiatan belajar yang lebih formal. Anak mulai
mengembangkan rasa bangga, mampu memahami/melakukan, dan
mencapai prestasi dengan kemampuan mereka. Dalam tahap ini, anak-anak
membutuhkan apresiasi, dukungan dan dorongan untuk mengembangkan
rasa mampu (kompetensi). Sebaliknya, tantangan anak pada fase ini adalah
merasa rendah diri (inferior) karena tidak mampu dan tidak mendapatkan
dukungan/apresiasi yang dibutuhkannya. Itulah mengapa hasil akhir dari fase
ini adalah “confidence” karena anak-anak akan percaya diri jika hasil akhirnya
diapresiasi
 Remaja (12-18 tahun) (Identity vs. Confusion)
Pada fase ini, anak mulai membangun identitas dirinya. Anak bertanya-tanya
dan mencari jawaban untuk pertanyaan: siapa saya? Pada fase membangun
identitas pribadi ini, anak remaja mengeksplorasi perilaku, peran, dan
identitas yang berbeda. Para remaja yang menemukan rasa identitas akan
merasa aman, mandiri, dan siap menghadapi masa depan, sementara
mereka yang tetap bingung mungkin merasa tersesat, tidak aman, dan tidak
yakin akan tempat mereka di dunia. Itulah sebabnya, penting bagi orangtua
dan orang dewasa memberikan dukungan yang memberikan anak agar bisa
menemukan identitas dirinya dengan nyaman dan aman. Jati diri ini berkaitan
dengan kepercayaan, konsep ideal, dan nilai yang membentuk karakter
seseorang. Jika berhasil, maka akan ada hasil akhir berupa fidelity,
kemampuan untuk hidup berdampingan dengan harapan dan standar
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai