Tahap-tahap perkembangan peserta didik sejak masa bayi hingga masa remaja
menurut perspektif/sudut pandang teori perkembangan Psikososial Erikson.
Menurut Erikson perkembangan psikologis dihasilkan dari interaksi antara
proses-proses maturasional atau kebutuhan biologis dengan tuntutan masyarakat dan kekuatan-kekuatan sosial yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Tahap perkembangan Psikososial dari bayi sampai remaja menurut Erikson:
Bayi (0-18 bulan) (Trust vs Mitrust)
Pada fase ini, konflik akan berpusat pada kepercayaan atau “trust vs mistrust”. Artinya, peran orang di sekitarnya sebagai pengasuh sangatlah penting. Apabila pengasuh berhasil memberikan makanan, kasih sayang, kehangatan, rasa aman, dan sebagainya, maka akan membentuk karakter seseorang yang bisa percaya kepada orang lain.Sebaliknya, jika bayi tidak mendapatkan pengasuhan yang konsisten, tidak dekat secara emosional, atau merasa terabaikan, maka akan tumbuh menjadi orang yang takut dan tidak percaya pada dunia. Hasil akhir dari proses ini adalah harapan atau hope. Pandangan luas Erikson terhadap bayi diungkapkan dalam istilah sensori – oral, frasa yang mencakup gaya psikoseksual utama dalam penyesuaian diri. Tahapan sensori – oral ditandai oleh dua gaya pembentukan, yaitu memperoleh dan menerima apa yang diberikan. Bayi dapat memperoleh walaupun tanpa keberadaan orang lain. Akan tetapi, gaya pembentukan kedua menyiratkan konteks sosial. Pelatihan awal dalam hubungan interpersonal membantu mereka belajar untuk menjadi pemberi nantinya. Untuk membuat orang lain memberi, mereka harus belajar untuk mempercayai atau tidak mempercayai orang lain. Hal inilah yang membangun krisis psikososial dasar di masa kanak – kanak, yang dinamai rasa percaya dasar versus rasa tidak percaya dasar. Anak-anak (18 bulan -3 tahun) ( Autonomy vs Shame & Doubt) Tahap psikososial kedua berlangsung dalam rentang usia 18 bulan – 3 tahun. Dalam fase ini, anak memulai mengembangkan otonomi diri, kemampuan melakukan sebuah hal secara mandiri. Selama tahun kedua kehidupan, penyesuaian psikoseksual utama anak adalah gaya otot – uretral – anal. Pada masa ini anak belajar untuk mengendalikan tubuh mereka, khususnya berkaitan dengan kebersihan dan pergerakan. Misalnya waktu untuk pelatihan menggunakan toilet (toilet training), belajar jalan, berlari, memeluk orang tua, berpegangan pada mainan, atau objek lain. Dengan aktivitas – aktivitas ini, anak – anak menunjukkan kecenderungan menjadi keras kepala, melakukan sesuatu dengan kehendak mereka sendiri. Proses stimulasi kemandirian seperti toilet training, makan minum sendiri, berpakaian, memilih dan bermain sendiri menjadi stimulasi krusial anak untuk mengembangkan kontrol dirinya. Jika kemandirian anak dan kontrol dirinya berkembang, anak bisa mengatasi rasa malu dan keraguan akan kemampuannya. Usia pra-sekolah (3-5 tahun) ( Initiative vs Guilt) Dalam tahap ini, anak mulai mencoba dan mengembangkan inisiatifnya. Anak banyak bertanya dan mencoba hal-hal baru yang ada di sekitarnya. Jika pertanyaan dan keingintahuan ini difasilitasi, anak akan mengembangkan kepercayaan diri untuk berinisiatif. Sebaliknya, jika keingintahuan anak diabaikan dan anak sering mendapat larangan/kritikan saat ingin mencoba sesuatu, anak akan merasa bersalah atau inisiatif dan keingintahuannya. Usia sekolah (6-11 tahun) ( Industry vs Inferiority) Dalam rentang usia ini, anak-anak mulai berinteraksi dengan temannya di sekolah dan mulai menjalani kegiatan belajar yang lebih formal. Anak mulai mengembangkan rasa bangga, mampu memahami/melakukan, dan mencapai prestasi dengan kemampuan mereka. Dalam tahap ini, anak-anak membutuhkan apresiasi, dukungan dan dorongan untuk mengembangkan rasa mampu (kompetensi). Sebaliknya, tantangan anak pada fase ini adalah merasa rendah diri (inferior) karena tidak mampu dan tidak mendapatkan dukungan/apresiasi yang dibutuhkannya. Itulah mengapa hasil akhir dari fase ini adalah “confidence” karena anak-anak akan percaya diri jika hasil akhirnya diapresiasi Remaja (12-18 tahun) (Identity vs. Confusion) Pada fase ini, anak mulai membangun identitas dirinya. Anak bertanya-tanya dan mencari jawaban untuk pertanyaan: siapa saya? Pada fase membangun identitas pribadi ini, anak remaja mengeksplorasi perilaku, peran, dan identitas yang berbeda. Para remaja yang menemukan rasa identitas akan merasa aman, mandiri, dan siap menghadapi masa depan, sementara mereka yang tetap bingung mungkin merasa tersesat, tidak aman, dan tidak yakin akan tempat mereka di dunia. Itulah sebabnya, penting bagi orangtua dan orang dewasa memberikan dukungan yang memberikan anak agar bisa menemukan identitas dirinya dengan nyaman dan aman. Jati diri ini berkaitan dengan kepercayaan, konsep ideal, dan nilai yang membentuk karakter seseorang. Jika berhasil, maka akan ada hasil akhir berupa fidelity, kemampuan untuk hidup berdampingan dengan harapan dan standar masyarakat.