THERAPY
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teori Konseling
dan Psikoterapi II Yang Diampu Oleh Gian Sugiana Sugara, M.Pd
Di Susun Oleh :
Kelompok 4
Fatimah Azzahra (C1886201026)
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Alloh SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah ini
dengan tepat pada waktunya.
Adapun dibuatnya makalah ini, adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori
Konseling dan Psikioterapi II pada semester 4 ini dengan judul “Eye Movement
Desensitization Repsrocessing (EMDR) Therapy”. Secara ideal, teori ini memegang
peranan penting dalam proses pengembangan potensi mahasiswa agar mampu
memahami fenomena kasus yang menjadi permasalahan individu.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu terselesainya makalah ini, dan penulis memahami jika makalah ini jauh
dari kesempurnaan maka saran maupun kritik sangat penulis butuhkan. Penulis
berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan para pembaca
pada umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................
A. Latar Belakang..........................................................................................
C. Tujuan.......................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................
A. Pengantar..................................................................................................
B. Riwayat Tokoh..........................................................................................
C. Pokok Bahasan..........................................................................................
BAB IV KESIMPULAN...................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyajian perkuliahan dari teori konseling dan psikoterapi di ranah Perguruan
Tinggi melatar belakangi pembuatan makalah ini, melihat fenomena saat ini, yang
berkembang begitu pesat dengan persaingan global, banyak dampak negatif yang
dapat mempengaruhi manusia, sehingga ia dipertemukan dengan berbagai masalah
yang sangat beragam dalam hidupnya.
Seiring dengan perkembangan zaman tekanan hidup manusia, berdampak pula
pada kesehatan kejiwaan, mental serta pola pikir seseorang yang beriringan dengan
pemecahan masalah yang dipilih sebagai jalan keluarnya. Dengan banyaknya
fenomena-fenomena psikologis yang terjadi di Indonesia khusunya dan di dunia pada
umumnya. Semakin banyak hal itu terjadi, semakin dibutuhkan pula peran konselor di
dalamnya. Seperti halnya dalam (Tribun News, Kamis, 15/03/2018) siswi kelas 3
SMP yang tinggal di Sidoarjo masih takut untuk berangkat ke sekolah. Hal ini
dikarenakan siswi tersebut mengalami bullying pada Oktober 2017. “sampai sekarang
adik saya masih takut untuk pergi ke sekolah” ujar kakaknya (15 Maret 2018).
Kepada keluarganya, korban mengaku masih sering di bully dan mnerima ancaman.
Karena takut dicegat dan terus merasa tertekan, korban meminta untuk pindah
sekolah. Dia tidak mau ke sekolah dan berulang kali meminta pindah ke luar kota.
Tapi keluarga juga bingung karena korban sudah kelas 3, sebentar lagi lulus SMP.
Disisi lain, penyidik Unit PPA Satreskim Polresta Sidoarjo mulai mengumpulkan
keterangan para saksi terkait kasus ini. Utamanya, terkait kekerasan sebagai mana
dalam rekaman video yang sempat viral di media sosial. Menurut Kasat Reskim
Polresta Sidoarjo Kompol Muhammad Harris, penyelidikan atas perkara itu dilakukan
setelah polisi menerima laporan dari keluarga korban. Dan pada langkah awal polisi
meminta keterangan korban dan saksi lain terkait kasus ini.
Melihat kejadian tersebut, maka sangat di butuhkan sekali peran konselor dalam
mencegah terjadinya hal-hal tersebut. Oleh karena itu dalam memberikan upaya
pemahaman mengenai Teori EMDR Therapy akan di bahas mengenai cara membantu
masalah seseorang dengan menggunakan teori-teori. Agar tidak terjadinya
pemahaman ataupun persepsi yang menyimpang dan memberikan kelancaran dalam
pelaksanaan konseling sehingga dapat memberikan layanan serta pemecahan yang
tepat dan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Konsep yang dikembangkan oleh EMDR Therapy adalah menekankan pada
membangun kognisi positif dengan sumber daya diri yang positif. Agar individu
dapat melakukan pemrosesan ulang dari kognisi negatifnya menjadi kognisi yang
positif. Asumsi dasar teori EMDR Therapy adalah menghilangkan distress yang
berkaitan dengan pengalaman atau ingatan traumatik yang ada pada diri individu.
Treatmen EMDR adalah terapi yang sistematis untuk berbagai disfungsi yang
dihasilkan dari pengalaman traumatis atau lainnya.
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan ruang lingkup pembahasan di atas, maka tujuan penulisan
makalah ini adalah :
C. Pokok-Pokok Bahasan
1. Hakikat Manusia
Francine Shapiro menemukan bahwa ketika orang mengalami trauma,
pengalamannya tidak sepenuhnya diproses, atau dicerna oleh orang itu. Orang
yang pernah mengalami trauma mungkin memiliki efek yang mengganggu,
mimpi buruk yang menakutkan, dan kecemasan yang terus menerus. Mereka
juga dapat menghindari lokasi, orang, dan rangsangan lain yang terkait dengan
trauma yang dialaminya. Shapiro mengembangkan EMDR untuk membantu
orang secara efektif dalam mengatasi dan memproses kenangan traumatis,
mengurangi gangguan emosi dan memungkinkan seseorang untuk mengelola
ingatan dan perilaku yang dihasilkan dari mereka.
Semua manusia diasumsikan memiliki sistem pemrosesan informasi
inheren yang secara fisiologis dan neurobiologist menjadi alat untuk
menyeimbangkan semua pemrosesan informasi. Setiap informasi tersimpan
dalam sistem jaringan memori yang terstruktur. Sistem pemrosesan informasi
merupakan proses beberapa elemen dari pengalaman atau kenangan dalam
bentuk yang dapat diakses dan bermanfaat. Ketika terjadi peristiwa traumatis,
pengolahan informasi mungkin tidak lengkap, karena perasaan negatif yang
kuat atau disosiasi mengganggu pengolahan informasi. Hal ini mencegah
penempaan hubungan dengan informasi adaptif lebih lanjut yang diadakan di
jaringan memori lainnya. Ketika orang berpikir tentang trauma, atau ketika
memori dipicu oleh situasi yang serupa, orang mungkin merasa seperti dia
telah mengenangnya
Manusia dibekali sistem pemprosesan informasi dalam keadaan normal
(secara alamiah) yang bertugas memproses elemen-elemen pengalaman
manusia sehingga tercapai keadaan adaptif yaitu keadaan mudah
menyesuaikan diri. Shapiro menjelaskan bahwa dalam berbagai keadaan
membayangkan ingatan disimpan dalam sebuah jaringan yang saling
terhubung satu sama lain dan tersusun seputar kejadian jauh di masa lalu dan
efek yang berkaitan dengan kejadian tersebut. Jaringan ingatan tersebut berisi
pikiran, gambar, emosi dan sensasi yang berkaitan. Manusia tidak sepenuhnya
dilahirkan sebagai jahat atau baik, sebaliknya pengalaman yang dilalui dalam
hidup menyebabkan manusia berpotensi untuk cenderung kepada semua jenis
tingkah laku. Manusia berupaya untuk memahami konsep dan mengawal
tingkah lakunya sendiri serta berupaya untuk melakukan tingkah laku yang
baru. lain (Shapiro, 1998; Shapiro & Forrest, 1997) dalam Corsini (2001).
b. Phase 2 : Preparation
Pada awal terapi, konselor mempersiapkan klien untuk EMDR,
ditunjukkan dengan mengarahkan klien tentang apa yang diharapkan, penjelasan
dan persetujuan. Membangun hubungan awal terapi adalah persiapan penting.
Konselor membangun komunikasi dengan klien untuk dapat menentukan level
klien pada tingkatan mana dan merencanakan kembali prosedur terapi. Tahap
persiapan melibatkan pembentukan aliansi terapeutik, menjelaskan proses EMDR
dan dampaknya, menangani masalah klien, dan memulai relaksasi dan prosedur
keselamatan. Sangat penting bahwa konselor jelas menginformasikan klien dari
kemungkinan untuk gangguan emosional selama dan setelah sesi EMDR. Hanya
dengan cara ini klien akan benar-benar berada dalam posisi untuk memberikan
penjelasan dan persetujuan. Tujuannya adalah agar klien menjadi mahir dalam
teknik relaksasi ini dan mampu menggunakannya dengan keyakinan sehingga
mereka dapat menangani setiap gangguan yang mungkin terjadi dalam sesi. Selain
itu pada fase ini gerakan mata mulai di praktekkan. Konselor akan menggerakkan
tangannya dengan cara mengacungkan dua jarinya di depan klien dan bertanya
kepadanya apakah jarak tangan konselor cukup nyaman bagi klien.
Setelah itu konselor akan menggerakkan tangannya secara horizontal
diikuti dengan gerakan mata klien dari gerakan ini terapis dapat melihat
kemampuan gerak mata kliennya sebagai manifestasi terapis untuk menggerakkan
tangan dengan cepat atau lambat dan dapat dimulai berakhir dengan spontan.
Untuk gerakan tangan selain gerak horizontal juga dapat menggerakan tangan
secara diagonal dari arah kiri bawah ke kanan atas sebgai gerakan yang dianggap
lebih efektif bagi klien yang mengalami pergolakan emosi yang tinggi, pusing dan
bagi klien yang mengalami vertigo gerakan ini sangat bermanfaat. Bagi klien
yang mengalami kesulitan mengikuti gerakan tangan terapis dapat melakukan
dengan mengangkat dua tangannya yang salah satunya dikepalkan dan yang
satunya lagi seperti apa yang telah dilakukan pada gerakan pertama dan kedua.
c. Phase 3 : Assessment
Tahap penilaian adalah prasyarat untuk penanganan EMDR. Pada tahap
ini, klien memilih target atau gambar yang paling mewakili masalah klien. Klien
kemudian mengidentifikasi gambar diri yang mewakili kognisi negatif yang
membangkitkan target. Mengidentifikasi gambar kognisi positif ideal secara
kolaboratif selfstatement yang klien cita-citakan, berkaitan dengan target /
gambar. Kognisi yang diinginkan dievaluasi untuk mendapatkan gambaran klien
pada skala Validity of Cognition (VOC) skala, di mana 1 adalah benar-benar
palsu, dan 7 adalah sepenuhnya benar. Jaringan saraf yang diduga terdapat sistem
afektif yang diblokir dan diproses kemudian membangkitkan dan membuka
dengan memegang Target gambar dalam kesadaran, ditambah dengan
selfstatement negatif, dan mengidentifikasi kedua emosi yang muncul dan lokasi
tubuh emosi. Tahap assessment (pengukuran) meliputi, identifikasi memori
traumatis yang menimbulkan kecemasan, identifikasi sensasi emosional dan fisik
yang dihubungkan dengan peristiwa traumatis, evaluasi terhadap skala Subjective
Unit of Disturbance (SUD), identifikasi terhadap kognisi negative yang
dihubungkan dengan peristiwa yang mengganggu, dan menemukan suatu
kepercayaan adaptif yang akan mengurangi tingkat kecemasan. Skala
Subject Unit Disorder (SUD) digunakan untuk menurunkan dasar intensitas
tekanan sebelum gerakan mata awal. Pada skala ini, 0 adalah benar-benar netral
atau tidak ada gangguan, dan 10 adalah tekanan paling intens yang
dibayangkan. Dalam keadaan ini desentisitasi dimulai.
d. Phase 4 : Desensitization
Fase keempat berfokus pada pengaruh negatif klien, sebagaimana
tercermin dalam Skala SUD. Fase ini memberikan semua tanggapan, termasuk
wawasan dan asosiasi baru, tanpa menghiraukan apakah tingkat kesusahan klien
meningkat, menurun atau stasioner. Selama fase desensitisasi variasi dan
perubahan fokus yang diperlukan harus sesuai sampai level SUD klien dikurangi
menjadi 0 atau 1 (sesuai untuk keadaan individu yang diberikan). Hal ini
menunjukkan bahwa disfungsi utama yang melibatkan peristiwa yang ditargetkan
telah dihapus. Namun, pemrosesan ulang masih belum lengkap, dan informasi
tersebut perlu diatasi lebih lanjut dalam fase-fase penting yang selanjutnya.
Harus ditekankan di sini bahwa dalam banyak kasus gerakan mata (atau bentuk
stimulasi alternatif) tidak cukup untuk proses lengkap. Laporan klinis
menyatakan bahwa setidaknya separuh waktu pemrosesan akan berhenti dan
konselor akan harus menggunakan berbagai strategi tambahan dan prosedur
EMDR yang baik untuk merestimulasinya.
Klien diminta untuk membuang pengalaman negatifnya serta melaporkan apa
yang dibayangkannya, dirasakan dan dipikirkannya. Pada tahap desensitisasi,
konselor membangkitkan gerakan mata klien. Perhatian klien secara sistematis
dan secara spontan bergerak melalui serangkaian jenis pengalaman unik individu
atau organisasi yang mempengaruhi urutan jenis kronologis klien, rangsangan
situasional, sensasi tubuh. Sebuah intervensi lebih maju disebut menjalin kognitif
memungkinkan digunakan pada klien untuk kembali ke proses self determined.
e. Phase 5 : Installation
Fase kelima ini dinamakan dengan fase instalasi karena fokusnya adalah pada
meningkatkan kekuatan kognisi positif bahwa klien telah mengidentifikasi dan
merubah sebagai pengganti yang asli dari kognisi negatif yang dimiliki sebelumnya.
Sebagai contoh, klien mungkin mulai dengan gambar penganiayaannya dan definisi
negatif "Saya tidak berdaya." Selama fase kelima, kognisi positif yang muncul adalah
"Saya sekarang dalam keadaan yang baik". Fase instalasi dimulai pada tingkat emosi
klien tentang peristiwa target telah turun menjadi 0 pada Skala SUD. Pada titik ini
konselor meminta klien untuk memegang kognisi positif yang paling tepat dalam
pikiran bersama dengan memori targetnya. Kemudian konselor melanjutkan gerakan
mata sampai klien dari kognisi positif mencapai tingkat 7 pada skala VOC. Perlu
diingat bahwa klien harus menilai kognisi berdasarkan bagaimana perasaannya pada
tingkat keberanian.
Kognisi positif yang paling tepat mungkin adalah klien yang diidentifikasi
selama fase asesmen dari sesi konseling EMDR, atau mungkin salah satu yang
muncul secara spontan selama berturut-turut. Bahkan jika kognitif positif baru belum
muncul, konselor biasanya menemukan bahwa penilaian VOC klien dari kognisi
positif asli telah meningkat pada akhir fase desentitisasi. Konselor harus melanjutkan
atau bahkan menetapkan (dengan klien secara bersamaan berfokus pada kognisi
positif dan peristiwa atau kejadian disekitarnya) untuk memastikan kemungkinan
penguatan kognitif. Selama pendirian itu benar, kepercayaan diri dan kepastian klien
meningkat harus dilanjutkan.
Penilaian VOC sangat penting dalam menentukan lebih lanjut apa yang harus
dilakukan untuk menyelesaikan sesi penanganan. Sebagai contoh, jika klien
melaporkan peringkat VOC kurang dari 7 setelah dua set, konselor harus
menanyainya untuk menentukan apakah tingkat validitas saat ini sesuai untuknya.
Misalnya, seorang klien mungkin mengatakan , "Saya tidak bisa memberi nilai 7
karena saya tidak percaya pada hal yang ekstrem" atau "Saya akan memiliki waktu
untuk melihat saudara saya untuk mengetahui dengan pasti bahwa saya dapat
membela dia." Ini adalah pernyataan tidak berbahaya atau keyakinan yang sesuai
dan tidak menunjukkan thology; akibatnya, fase berikutnya dari sesi perawatan dapat
dimulai. Namun, klien dapat menyuarakan keyakinan negatif seperti "Saya tidak
pantas untuk benar-benar bahagia." Karena jenis keyakinan negatif ini akan menjadi
instalasi lengkap dari kognisi positif, itu harus berfungsi sebagai target dari
pengobatan EMDR. Tujuan utamanya adalah pemasangan kognisi positif yang kuat
dan sepenuhnya valid yang akan meningkatkan rasa self-efficacy dan harga diri klien.
Menghubungkan kognisi positif dengan memori target memperkuat ikatan asosiatif
sehingga jika ingatan tentang insiden asli dipicu, kembalinya ke kesadaran sekarang
akan disertai dengan kognisi positif baru yang sangat terkait, seperti “Sudah berakhir;
Saya aman sekarang”. Klien berkonsentrasi pada kognisi positif yang kemudian
dimasukkan ke dalam target jaringan memori, di mana ia dapat
menggeneralisasikannya ke dalam memori yang terkait.
Kognisi positif dipilih berdasarkan kemampuannya untuk menggeneralisasi dan
membentuk kembali perspektif dari jumlah materi disfungsional terbesar, serta untuk
memberdayakan klien untuk kejadian saat ini dan di masa depan. Instalasi melibatkan
mengulangi kognisi positif yang diinginkan sambil memegang target dalam
kesadaran. Menghubungkan kognisi yang diinginkan dengan target semula
tampaknya nyata memperkuat ikatan asosiatif dan menyediakan efek generalisasi
maksimal bila dikombinasikan dengan citra dari masa depan yang sukses serta dalam
situasi masa depan mirip dengan situasi sasaran. Kognisi positif bertindak sebagai
pewarna dari warna yang berbeda yang menembus jaringan memori. Jelas, instalasi
dan penguatan kekuatan kognisi positif merupakan komponen penting dari sesi
EMDR. Keberadaan kognisi negatif adalah indikator bahwa peristiwa traumatis
adalah faktor yang menentukan kuat dalam kehidupan seseorang yang belum cukup
berasimilasi ke dalam kerangka kerja adaptif . Trauma yang belum terselesaikan
ditandai oleh perspektif negatif pada isu-isu pengendalian diri dan pemberdayaan,
perspektif yang dapat dimanifestasikan dalam berbagai bentuk sepanjang hidup
seseorang. Fase instalasi sesi EMDR berfokus pada kekuatan penilian positif klien,
yang tampak penting untuk efek positif yang menyeluruh selama konseling.
f. Phase 6 : Body Scan
Setelah kognisi positif sepenuhnya terhenti, klien diminta untuk mengingat
secara baik peristiwa target dan kognisi positif dan untuk memindai tubuhnya dari
atas ke bawah. Dia diminta untuk mengidentifikasi ketegangan dalam bentuk
pembentukan tubuh. Sensasi tubuh ini kemudian ditargetkan untuk set yang
berurutan. Dalam kasus-kasus manusia ketegangannya akan hilang, tetapi dalam
beberapa kasus informasi disfungsional akan terungkap. Seperti yang disebutkan
sebelumnya, tampaknya ada fisik resonansi terhadap hal yang disfungsional.
Mengidentifikasi sensasi fisik dan menargetkannya pada fase keenam EMDR dapat
membantu menyelesaikan informasi yang belum diproses yang tersisa. Fase keenam
ini adalah fase penting dan dapat mengungkapkan area ketegangan atau resistensi
yang sebelumnya tersembunyi.
g. Phase 7 : Closure
Klien harus dikembalikan ke keadaan keseimbangan emosional pada akhir
setiap sesi, apakah konseling selesai atau tidak. Selain itu, penting bahwa klien
diberikan instruksi yang tepat pada setiap akhir sesi. Artinya, konselor harus
mengingatkan klien bahwa yang mengganggu image, pemikiran, atau emosi yang
mungkin timbul di antara sesi adalah bukti pengolahan tambahan, yang merupakan
tanda positif.
Sebagai bagian dari penutupan sesi EMDR, klien diingatkan bahwa proses akan
berlanjut jika klien masih menunjukkan gejala stress atau PTSD. Konselor tidak akan
membiarkan klien dalam keadaan tersebut. Biasanya, target EMDR baru muncul
antara sesi, pengolahan. Juga biasanya, target EMDR tetap permanen sebelum pada
tingkat rendahnya gangguan yang dicapai pada akhir sesi EMDR sukses.
Klien diinstruksikan untuk menyimpan catatan tentang pikiran negatif, situasi,
mimpi, dan ingatan yang mungkin terjadi. Instruksi ini memungkinkan klien untuk
menjauhkan kognitif dirinya dari gangguan emosional melalui tindakan menulis.
Konselor harus memberikan klien harapan yang realistis tentang tanggapan negatif
(positif) yang mungkin muncul selama dan setelah konseling. Informasi ini
meningkatkan kemungkinan bahwa klien akan mempertahankan keseimbangan dalam
menghadapi kemungkinan gangguan yang disebabkan oleh penguraian disfungsional.
h. Phase 8 : Reevaluation
Reevaluasi, fase kedelapan dari perjanjian, harus dilaksanakan pada awal
setiap sesi baru. Konselor memiliki reaccess klien target sebelumnya diolah kembali
dan ulasan respons klien untuk menentukan apakah efek treatmen telah digunakan.
Konselor harus menanyakan bagaimana perasaan klien tentang materi yang
ditargetkan sebelumnya dan harus memeriksa laporan log untuk melihat apakah ada
informasi yang sudah diproses yang perlu ditargetkan atau ditangani. Konselor
mungkin memutuskan untuk menargetkan materi baru tetapi harus melakukannya
hanya setelah trauma dari treatmen sebelumnya telah benar-benar terealisasi.
Integrasi ditentukan dalam hal faktor intrapsikis serta masalah sistem. Treatmen yang
berhasil hanya dapat ditentukan setelah reevaluasi yang cukup dari pemrosesan ulang
dan efek perilaku.
BAB III
ANALISIS KASUS
Jimy adalah seorang laki-laki berusia 24 tahun. Dia pengangguran dan
mengikuti sesi konseling karena memiliki beberapa permasalahan yang
menggangunya. Masalah pertama adalah dia merasa depresi dan frustrasi dengan
hidupnya karena dia tidak mempunyai pekerjaan. Pernah dia kuliah, akan tetapi tidak
tamat karena tidak serius dan banyak bolos sehingga dia Drop Out (DO) oleh
kampusnya. Dia merasa hidupnya sudah tidak berarti dan tidak memiliki tujuan hidup
yang jelas. Ia mengatakan dalam dirinya bahwa dia tidak layak untuk hidup bahagia
seperti orang lain. Ada keinginan dalam hatinya untuk menikah dan hidup bahagia
bersama wanita pilihannya akan tetapi melihat kondisinya sekarang, dia merasa
frustrasi terhadap dirinya. Ia mengatakan setiap kali mendekati perempuan, dia
merasa cemas dan dalam pikirannya seringkali muncul pikiran bahwa perempuan itu
pasti berpikir jelek tentang kondisinya yang buruk dan tidak punya pekerjaan. Ketika
dihadapkan pada pemikiran terhadap masalah yang ia hadapi, ia langsung mabuk
dengan meminum alcohol dengan tujuan supaya menghilangkan pikirannya yang
stres. Akan tetapi kadangkala ia berpikir untuk bunuh diri agar terbebas dari tekanan
yang ia rasakan. Ia merasa hidupnya tidak berarti. Satu-satunya yang ia rasakan
berarti adalah ia memiliki ibu yang baik hati. Akan tetapi, setiap kali melihat ibunya,
seringkali muncul pikiran bahwa dirinya tidak berguna dan tidak bias
membahagiakan ibunya.